BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

57
22 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1998, pasca runtuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki era reformasi yang membuka peluang demokratisasi oleh negara. Implikasinya adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi masyarakat sipil, termasuk media, untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan negara. Ruang publik yang sebelumnya dibatasi oleh sikap dan perilaku otoriter pemerintah, sejak tahun 1998 hingga saat ini terbuka bagi seluruh entitas negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. CSO sebagai bagian dari entitas negara saat ini memiliki ruang untuk melakukan kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Civil society menurut Alexis de Tocqueville dalam Rahmat (2003:15) dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang negara. Civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengontrol intervensi negara karena peranannya sebagai sumber input dalam proses politik bernegara dengan sistem demokrasi. Sementara itu, civil society memiliki dimensi kultural sehingga membuatnya juga dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian ketika berhadapan dengan negara. Artinya, keberadaan civil society penting dalam proses demokratisasi di Indonesia karena peranannya sebagai penghubung antara warga negara dengan pemerintah, fungsinya sebagai mitra ktitis pemerintah, sekaligus dimensi kultural yang dimilikinya membuat keberadaannya dalam hubungan Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM Pasca Reformasi kepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangan diskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei 2012) CITRA SEKARJATI Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

22

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 1998, pasca runtuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki

era reformasi yang membuka peluang demokratisasi oleh negara. Implikasinya

adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

masyarakat sipil, termasuk media, untuk berpartisipasi dalam proses

pembangunan negara. Ruang publik yang sebelumnya dibatasi oleh sikap dan

perilaku otoriter pemerintah, sejak tahun 1998 hingga saat ini terbuka bagi seluruh

entitas negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. CSO sebagai

bagian dari entitas negara saat ini memiliki ruang untuk melakukan kebebasan

berekspresi, berpikir, dan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi

yang berlaku.

Civil society menurut Alexis de Tocqueville dalam Rahmat (2003:15)

dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang negara. Civil society memiliki

kekuatan politis yang dapat mengontrol intervensi negara karena peranannya

sebagai sumber input dalam proses politik bernegara dengan sistem demokrasi.

Sementara itu, civil society memiliki dimensi kultural sehingga membuatnya juga

dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri

kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian ketika

berhadapan dengan negara. Artinya, keberadaan civil society penting dalam proses

demokratisasi di Indonesia karena peranannya sebagai penghubung antara warga

negara dengan pemerintah, fungsinya sebagai mitra ktitis pemerintah, sekaligus

dimensi kultural yang dimilikinya membuat keberadaannya dalam hubungan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

23

politik dengan negara tetap berorientasi pada kepentingan publik. CSO yang

berkembang di Indonesia sejak era reformasi dapat dilihat dalam bentuk

organisasi, perkumpulan, paguyuban, LSM, ormas Islam, dan kelompok

kepentingan lainnya yang aktif dalam mengadvokasi dan mengawal isu-isu

kenegaraan dengan memiliki ciri-ciri berhadapan dengan negara, swadaya

(menghimpun kekuatan sendiri), swasembada (mencukupi kebutuhan sendiri)

(Otho, H, 2010:118).

Fenomena menguatnya peran CSO dalam pembangunan dapat dimaknai

dari dua sisi. Sisi pertama secara positif menguntungkan bagi kelompok-

kelompok minoritas dan rentan yang sebelumnya terpinggirkan dan sulit

mendapatkan akses pelayanan publik di pemerintahan menjadi lebih diperhatikan

dan diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat sipil yang memiliki prinsip

memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM). Sisi lain secara negatif dimaknai

sebagai peluang tumbuhnya gerakan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan

tertentu untuk ‘menghancurkan’ sistem demokrasi itu sendiri. Kelompok-

kelompok ini disebut sebagai kelompok intoleran atau Sidney Jones (2015:6)

mengatakan sebagai masyarakat madani intoleran. Kelompok intoleran ini

memanfaatkan peluang demokrasi justru untuk melemahkan nilai-nilai demokrasi

dan menggunakan kekerasan dan intimidasi sebagai taktik advokasi (Jones,

2015:6). Contohnya adalah organisasi keagamaan fundamentalis-radikal yang

berusaha untuk mempertahankan identitas kolektif atau keyakinan mereka dengan

cara apapun. Keberadaan kelompok ini memang harus diakui sebagai bagian dari

proses demokratisasi itu sendiri dan keberadaannya tidak bisa dihalang-halangi.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

24

Jika keberadaan mereka dibatasi, artinya terjadi pembatasan hak asasi mereka

sebagai warga negara.

Fenomena menguatnya organisasi masyarakat keagamaan yang

fundamentalis-radikal pasca reformasi sebagai produk hasil reformasi yang tidak

bisa dianggap remeh. Fenomena tersebut menurut Najib Azca (2013:17) dalam

tulisannya berjudul “Yang Muda, Yang Radikal” terjadi karena (1) dinamika

sosial politik di fase awal transisi ditandai dengan tingginya derajat gejolak dan

ketidakpastian dan (2) transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki

genealogi pada periode awal kemerdekaan (memiliki akar histori pada Masyumi

dan Darul Islam). Najib Azca (2013:18) juga mengemukakan terdapat tiga varian

gerakan keagamaan Islam yang berkembang pesat pasca reformasi, yaitu (1)

aktivisme Islam jihadi, (2) saleh/salafi, dan (3) politik. Gerakan jihadi memiliki

karakteristik menjustifikasi penggunaan kekerasan dan terorisme untuk mencapai

tujuan politiknya, yaitu mendirikan struktur pemerintahan Islam (Azca, 2013:18).

Contoh gerakan ini adalah Jamaah Islamiyah, NII, dan sebagainya. Gerakan

saleh/salafi memiliki karakteristik memfokuskan diri pada dimensi akhlak,

kemurnian iman, dan identitas keislaman, serta tidak begitu tertarik untuk

mencapai kekuasaan politik (Azca, 2013:18). Varian gerakan terakhir ialah

gerakan Islam poltik yang memiliki karakteristik terlibat dalam proses politik,

baik secara langsung maupun tidak langsung, serta bekerja di dalam kerangka

konstitusi kenegaraan (Azca, 2013:18). Menurut varian gerakan kelompok ini

berpartisipasi dalam proses politik di bawah sistem demokrasi adalah absah dan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

25

perlu, termasuk dalam rangka memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam

(Azca, 2013:18).

Fenomena menguatnya gerakan Islam fundamentalis-radikal pasca

reformasi menuntut keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk

merespon fenomena tersebut. Pasalnya, gerakan tersebut tidak jarang

menimbulkan gesekan-gesekan dan problem dalam masyarakat. Tidak jarang juga

hak-hak asasi warga negara terenggut karena gerakan tersebut melakukan aksi

main hakim sendiri dalam menentukan hal yang benar dan salah. Pemerintah perlu

bersikap dan berperilaku selayaknya sesuai tugas, wewenang, dan fungsi

pemerintah yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 berlandaskan ideologi

Pancasila.

Pada hakikatnya, sistem demokrasi menuntut keterlibatan aktif masing-

masing entitas negara. Oleh karena itu, keberadaan pemerintah harus kuat dalam

melindungi masing-masing entitas negara tetap pada jalur yang benar sesuai

dengan konstitusi dan hukum yang berlaku, dan juga peran CSO toleran dan

berdaya memperjuangkan dan mengadvokasi isu penegakan dan perlindungan

HAM bagi warga negara. Pemerintah yang kuat dapat memberikan pelayanan

publik yang baik kepada masyarakat (Ruhana, 2010:7). Di sisi lain, CSO yang

toleran dan berdaya akan mendinamisasi perubahan untuk berjalannya tugas dan

fungsi pemerintahan yang baik, melalui peran kritisnya sebagai mitra kritis

pembangunan dan balancing power bagi pemerintah (Ruhana, 2010:7).

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

26

Fenomena Pelanggaran HAM di DIY oleh Sekelompok Ormas Islam

Fundamentalis-Radikal: Kasus Penyerangan Diskusi Irshad Manji di

LKiS Tahun 2012

Tanggal 9 Mei 2012 menjadi momen penting dalam proses pendewasaan

sistem demokrasi yang terjadi di Indonesia, khususnya DIY. Pasalnya telah terjadi

aksi intoleran yang dilakukan oleh sekelompok ormas Islam fundamentalis-radikal

yang mengatasnamakan masyarakat sekitar di Yayasan LKiS, Bantul. Aksi yang

dilakukan adalah pembubaran paksa sekaligus penyerangan terhadap kegiatan

diskusi rutin LKiS reboan yang menghadirkan sosok yang dianggap oleh

kelompok tersebut kontroversial (Irshad Manji) dan hal ini pun memunculkan

sejumlah isu di masyarakat luas. Penyerangan tersebut mengakibatkan tujuh orang

terluka, lima orang di antaranya perempuan dan dua orang laki-laki. Peristiwa ini

menjadi preseden buruk bagi aparat kepolisian dan konteks masyarakat

Yogyakarta yang terkenal toleran terhadap pluralisme, menjunjung tinggi budaya

dan nilai-nilai akademik.

Diskusi Irshad Manji yang bertempat di LKiS merupakan hasil kerjasama

antara Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dengan anggota jaringannya, yaitu

LKiS. JPY mengadakan diskusi tersebut lantaran dahulu pada tahun 2008, JPY

pernah bertemu dengan Irshad Manji dalam tur buku pertamanya berjudul “The

Trouble with Islam Today”. Atas dasar tersebut, ketika mengetahui bahwa Irshad

Manji datang ke Indonesia melalui tur buku keduanya berjudul “Allah, Liberty,

and Love”, JPY berinisiatif untuk mengontak Irshad Manji yang kebetulan juga

akan mengunjungi Yogyakarta karena ada jadwal diskusi dan launching buku di

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

27

CRCS UGM. Diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan reaksi spontan JPY ketika

mengetahui kedatangan Irshad Manji dan kebetulan di LKiS terdapat diskusi rutin

bernama “reboan”. Oleh karena itu, JPY mengundang Irshad Manji dalam diskusi

rutin tersebut untuk sharing dan temu kangen. Konsep acara diskusi di LKiS

sendiri merupakan diskusi rutin yang didatangi oleh teman-teman LSM, baik

akademisi, mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sekitar. Peserta yang hadir pada

waktu itu sekitar 15-20 jaringan (PUSHAM UII, 2013:80).

LKiS ketika mendapat ancaman dan teror dari ormas Islam, yakni Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI), mengaku kaget karena diskusi ini merupakan diskusi

rutin dan tidak mengandung unsur-unsur penyebaran paham tertentu atau

brainwash peserta yang hadir. Semua orang boleh datang ke diskusi tersebut,

tanpa harus setuju ataupun tidak setuju. Ketika MMI memaksa LKiS

membatalkan diskusi tersebut, LKiS menganjurkan bahwa lebih baik MMI

bersama teman-teman datang dan menolak ide dan gagasan Irshad Manji secara

langsung. Akan tetapi, MMI tidak mau dan mengancam jika diskusi tidak

dibatalkan, maka pihaknya akan melakukan aksi kekerasan. Mengetahui hal

tersebut, pihak LKiS dan JPY bersikeras bahwa pihaknya harus

menyelenggarakan diskusi tersebut karena kebebasan berpikir, berekspresi, dan

berpendapat telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, jika pihaknya

menggagalkan berarti pihaknya juga telah melanggar hak orang lain untuk

mendengar dan beraspirasi terhadap pemikiran Irshad Manji.

Pada saat diskusi berlangsung, MMI bersama ormas lslam lain melakukan

pembubaran paksa, penyerangan terhadap peserta, dan pengrusakan gedung LKiS.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

28

Kedatangan mereka langsung diwarnai aksi penyerangan, tanpa mengajak dialog

terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara. Mereka memaksa masuk dengan

membuka paksa gerbang LKiS dan mencari sosok Irshad Manji. Selain itu,

mereka juga menyakiti peserta diskusi dengan alat-alat keras, dan melakukan

pengrusakan aset, seperti kaca gedung, monitor komputer, piring, dan buku-buku.

Aksi intoleran tersebut dilakukan secara leluasa oleh ratusan orang dari

ormas Islam tanpa adanya penjagaan dari pihak kepolisian maupun pihak

keamanan setempat. Ketidakhadiran aparat kepolisian untuk melindungi dan

mengamankan peserta terjadi lantaran LKiS tidak memperoleh izin untuk

penyelenggaraan diskusi oleh pihak kepolisian setempat. Menurut salah satu pihak

penyelenggara sekaligus aktivis LSM DIY, Tri Wahyu, mengatakan bahwa

sebenarnya pihak penyelenggara telah melakukan pemberitahuan informal kepada

Kapolda DIY, tetapi Kepala Satuan Intel Polres Bantul, Sutikno mengaku polisi

tidak mengetahui terkait penyelenggaraan diskusi di LKiS1. Pernyataan Tri

Wahyu pun disepakati oleh Direktur LKiS, Farid Wajidi yang sempat menelepon

aparat kepolisian setempat terkait penyelenggaraan diskusi tersebut. Namun,

pihak kepolisian yang dihubungi oleh Farid Wajidi mengatakan lebih baik tidak

mengadakan, dan apabila tetap dilaksanakan dan terjadi demonstrasi, pihak

kepolisian tidak bisa menjamin keamanannya2

.

1http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402825/Buntut-Diskusi-Irshad-Manji-Majelis-Mujahidin-Serang-LKiS, dipublikasikan pada Rabu, 9 Mei 2012 pukul 21:44 WIB 2 Diolah dari program TV Indonesia Lawyers Club, bertajuk ‘Lady Gaga Vs. FPI’ dipublikasikan di youtube.com pada tanggal 16 Mei 2012

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

29

Pelanggaran HAM: Ancaman Terhadap Kebebasan Berpikir dan

Berpendapat

Kasus pembubaran paksa dan penyerangan terhadap peserta dalam diskusi

Irshad Manji di LKiS lalu menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi

manusia untuk berpikir dan berpendapat. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi

III DPR menilai terlepas dari sosok Irshad Manji yang kontroversial, Irshad Manji

adalah tamu sah negara dan masuk secara legal, sehingga negara memiliki

kewajiban untuk melindunginya3

3 http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-irshad-manji-kapolri-harus-bertanggung-jawab.html , dipublikasikan pada Senin, 7 Mei 2012, pukul 10:26 WIB

. Sosok Irshad Manji sebagai lesbian sehingga

ormas Islam menganggap bahwa Irshad Manji tidak pantas diberi ruang untuk

berbicara, apalagi pandangannya terkait agama yang dianutnya, tentunya tidak

bisa dijadikan alat untuk lantas menggagalkan, sekaligus menyerang diskusi

tersebut. Apakah karena sosok Irshad Manji berbeda, lesbian, lantas dirinya tidak

memiliki kesempatan untuk berbicara dan berpendapat nampaknya akan selalu

menuai perdebatan di masyarakat asli Jawa yang masih tabu dalam memandang

homoseksual, apalagi dirinya juga merupakan Muslim di mana homoseksual tidak

dibenarkan dalam ajaran Islam. Akan tetapi, terlepas dari substansi permasalahan

tersebut, telah terjadi tindak pidana dalam kasus tersebut, terdapat tujuh korban

luka-luka. Penolakan terhadap penyelenggaran diskusi sah-sah saja dilakukan,

tetapi tindakan anarkis terhadap peserta diskusi yang hadir, dan tidak semua

peserta tersebut juga setuju dengan gaya pemikiran Irshad Manji, tentu tidak dapat

dibenarkan.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

30

Selain itu, pengabaran berita melalui media memainkan peran penting

dalam konstruksi wacana publik mengenai kelompok minoritas dan rentan, seperti

Irshad Manji (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Idealnya, media seharusnya

mengambil posisi untuk menyediakan keseimbangan gagasan, atau setidaknya

menyediakan ruang wacana bagi kemungkinan (atau ketidakmungkinan) hidup

bersama (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Akan tetapi, dalam banyak kasus

LGBT, media sebagai elemen penting dalam demokrasi, cenderung memilih

untuk bungkam (Nugroho, Nugraha et al., 2012:66). Dalam hal ini, media lebih

banyak memposisikan sosok Irshad Manji yang lesbian, sehingga pantas untuk

ditolak, daripada sebagai individu yang menjadi korban penyerangan.

Penggambaran dan pembingkaian berita yang keliru oleh media, serta kehadiran

kelompok-kelompok Islam radikal diduga sebagai penyebab yang mendorong

meningkatnya homofobia di lingkungan masyarakat (Nugroho, Nugraha et al.,

2012:65). Implikasinya, hal itu dapat memperburuk situasi ketidakadilan terhadap

kelompok LGBT. Berangkat dari hal tersebut, terdapat indikasi bahwa kurangnya

dukungan media terhadap isu HAM, khususnya kasus Irshad Manji ini dapat

mempengaruhi pengambilan kebijakan atau keputusan publik yang nantinya bias

atau mendiskriminasikan kelompok tertentu.

Peraturan hukum yang berlaku di Indonesia mengacu pada UUD 1945

hasil amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 1945 telah mengatur tiga

ketentuan yang secara khusus dan eksplisit dalam memberikan jaminan

perlindungan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pertama, pasal 28

mengatakan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

31

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Kedua, pasal 28 E ayat 3 mengatakan “setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketiga, pasal 28 F

mengatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak

untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal ini

berarti kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat merupakan hak

konstitusional setiap warga negara yang tidak dapat diganggu gugat. Artinya,

peserta yang hadir dalam diskusi pun memiliki hak untuk memperoleh,

mendengarkan, dan mengolah gagasan yang dikatakan Irshad Manji dan

menyampaikan kesetujuan maupun ketidaksetujuaanya kepada Irshad Manji,

tanpa harus dihalang-halangi oleh orang lain. Hal ini juga berlaku bagi kelompok

minoritas dan rentan, seperti kelompok LGBT. Demokrasi menuntut adanya peran

serta publik, publik yang dimaknai tidak hanya mayoritas, tetapi juga minoritas

dan rentan, termasuk LGBT. Oleh karena itu, tindakan anarkis yang dilakukan

oleh ormas Islam terhadap peserta yang menjadi korban tidak dibenarkan dalam

konstitusi dan merupakan tindakan pidana yang perlu diselesaikan melalui proses

hukum.

Upaya Advokasi LKiS dalam Menegakkan dan Memenuhi HAM

Warga Negara

Advokasi ialah serangkaian aktivitas yang diselenggarakan dalam rangka

mempengaruhi para penganbil kebijakan dalam merumuskan suatu kebijakan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

32

publik. Serangkaian aktivitas advokasi ini menjadi penting dalam upaya

menegakkan dan memenuhi hak asasi warga negara, sehingga keputusan atau

kebijakan publik yang diambil oleh para pemangku kepentingan, tidak

mendiskriminasikan suatu kelompok atau golongan tertentu.

Adanya kasus penyerangan tersebut tidak hanya membuat resah warga

sekitar yayasan LKiS, tetapi juga hak-hak korban yang terenggut. Kasus ini pun

juga menyita perhatian publik secara luas karena isu-isu yang banyak

bermunculan pada kasus ini melalui pemberitaan media yang cenderung tidak

berimbang. DIY dengan keistimewaannya sebagai daerah berbudaya, toleran

terhadap keberagaman, dan sekaligus daerah yang menjunjung tinggi iklim

akademik menjadi terciderai dengan adanya kasus tersebut.

LKiS merupakan salah satu CSO di DIY yang bernuansa Islam liberal dari

kalangan tradisional NU yang muncul pasca reformasi. Sebagai CSO di DIY,

LKiS bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat dan juga

pencerdasan masyarakat, pengkajian, dan penyikapan isu-isu strategis. Oleh

karena itu, menyikapi kasus pembubaran diskusi Irshad Manji, LKiS terus

mengadvokasikan pengusutan kasus ini secara tuntas kepada pemerintah dan

aparat kepolisian, pengembalian citra DIY yang toleran terhadap keberagaman

kepada masyarakat sekitar, dan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya

didapatkan oleh kelompok minoritas dan rentan, termasuk korban penyerangan.

Upaya advokasi LKiS dalam memperjuangkan penegakan dan perlindungan HAM

bagi masyarakat tidak dilakukan secara sendirian. LKiS memiliki jaringan dan

koalisi untuk mencapai tujuan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LKiS,

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

33

meliputi advokasi kepada masyarakat melalui edukasi, advokasi kebijakan kepada

pemerintah daerah DIY dan Polda DIY, dan advokasi kasus melalui

pengorganisasian masyarakat dan jaringan seperti LBH, Komnas HAM, dan

Ombudsman DIY.

Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin memaparkan

pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS kepada masyarakat dan

pemerintah dalam menegakkan dan melindungi HAM melalui kasus penyerangan

diskusi Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012 lalu. Selain itu, peneliti juga ingin

memaparkan respon pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan media dalam

menaggapi kasus tersebut. Hal itu dirasa penting karena dalam studi administrasi

negara, perwujudan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik,

memerlukan partisipasi dari ketiga pilar yaitu pemerintah, bisnis, dan civil society,

termasuk media. Sehingga, dengan adanya penggambaran respon pemerintah

daerah, aparat kepolisian, dan media terkait kasus ini dapat menggambarkan

apakah pemerintah daerah dan aparat kepolisian memiliki komitmen dan

keseriusan yang tinggi dalam mengusut kasus, melindungi dan menegakkan HAM

bagi masyarakat DIY, dan apakah relasi di antara civil society dan pemerintah

daerah telah terbangun cukup baik dalam melindungi dan menegakkan HAM bagi

masyarakat DIY, serta sejauh mana keberpihakan media terhadap kelompok

minoritas dan rentan (LGBT).

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

34

1.2. Rumusan Masalah

Kasus penyerangan terhadap diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan

preseden buruk bagi konteks masyarakat DIY yang dulunya terkenal toleran

terhadap keberagaman dan kebebasan yang dijunjung tinggi. Tiga tahun setelah

terjadinya kasus tersebut, LKiS telah melakukan upaya advokasi baik kepada

masyarakat maupun kepada pemerintah untuk menuntut pengusutan kasus

tersebut secara tuntas, sebagai bentuk komitmen LKiS sebagai CSO yang

bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat. Oleh karena itu,

penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah yaitu, “Bagaimana

pengalaman LKiS dalam melakukan advokasi terhadap isu penegakan dan

perlindungan HAM dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS

pada tahun 2012 kepada masyarakat dan pemerintah daerah, termasuk

aparat kepolisian?” Dalam upaya menjawab pertanyaan besar tersebut,

penelitian ini akan turut menjelaskan:

1. Bagaimana respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian dalam

menanggapi kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS?

2. Bagaimana relasi antara LKiS sebagai CSO dengan pemerintah daerah

dalam menegakkan dan melindungi HAM bagi masyarakat DIY?

3. Bagaimana respon media melalui surat kabar online nasional dan Islam

radikal dalam mengabarkan dan merespon kasus penyerangan terhadap peserta

diskusi Irshad Manji di LKiS?

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

35

1.3. Tujuan dan Siginifikansi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan advokasi yang

dilakukan oleh CSO, yakni LKiS, dalam mengawal isu penegakan dan

perlindungan HAM melalui kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS.

CSO merupakan salah satu pilar dari demokrasi sehingga kontribusinya

diperlukan dalam melindungi dan memperjuangkan HAM bagi warga negara.

Selain itu, penelitian ini juga ingin menggambarkan bagaimana respon pemerintah

daerah, termasuk aparat kepolisian dalam kasus tersebut, sehingga nantinya dapat

dilihat sejauh mana komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam

menegakkan dan melindungi hak asasi masyarakat, dan relasi antara CSO (LKIS)

dengan pemerintah daerah dalam mengawal isu HAM, serta apakah media cukup

netral dalam mengabarkan isu kelompok minoritas dan rentan (LGBT), seperti

Irshad Manji.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan kontribusi

bagi ilmu administrasi negara, seperti teori kepublikan yang memandang publik

secara luas, tidak hanya publik yang didefinisikan sebagai ruang pemerintah,

tetapi juga aktor bisnis dan masyarakat sipil; teori ilmu sosial dasar yang

membahas tentang civil society; dan teori advokasi kebijakan yang membahas

tentang serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk membela dan

memperjuangkan kelompok minoritas dan rentan yang tereksklusi secara sosial

dan politik, dan juga mempengaruhi pemerintah agar tidak membuat kebijakan

yang non-diskriminatif.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

36

Adapun signifikansi dari penelitian ini terhadap jurusan Administrasi

Negara (Manajemen dan Kebijakan publik) adalah studi CSO sebagai salah satu

pilar dalam good governance yang sama penting kedudukannya dengan

pemerintah dan sektor bisnis dalam memberikan pelayanan publik, dalam hal ini

melalui advokasi pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi masyarakat.

1.4. Kerangka Berpikir

Dwiyanto (2004:17) menyebutkan fenomena munculnya aktor non-

pemerintah dalam aktivitas pembangunan negara atau biasa disebut dengan

fenomena governance bodies mulai berkembang di Indonesia semenjak era orde

baru berakhir. Era reformasi sebagai momentum arah pembangunan negara

Indonesia yang lebih demokratis membuka peluang bagi masuknya CSO dalam

memajukan pembangunan nasional. Hal tersebut membuat pemerintah tidak lagi

menjadi aktor tunggal dalam aktivitas pembangunan negara, melainkan terdapat

dan terbangun relasi antara pemerintah dan non-pemerintah dalam mewujudkan

public purposes.

Keterlibatan aktor non-pemerintah dalam aktivitas pembangunan negara

merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan good governance. LAN

(2000) dalam Nugroho D. (2003:221) mendefinisikan good governance sebagai

penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan

efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-

domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini artinya, masyarakat atau

warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung

maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya (Nugroho

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

37

D, 2003:221). Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi

dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Nugroho D, 2003:220).

Selain itu, prinsip good governace juga mensyaratkan adanya rule of law, artinya

kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama

hukum untuk hak asasi manusia (Nugroho D, 2003:220).

Peran CSO menjadi penting dalam pembangunan negara karena

pemerintah perlu aktor lain dalam mengawal isu yang terjadi di masyarakat,

khususnya isu HAM. Meskipun setiap manusia memiliki hak dan kewajiban

sebagai warga negara, tetapi masih terdapat individu-individu yang haknya belum

terpenuhi, meski kewajibannya telah terpenuhi. Pengawalan isu ini dilakukan oleh

CSO melalui upaya advokasi, baik ke masyarakat maupun ke pemerintah.

Serangkaian kegiatan advokasi diperlukan untuk menghindari praktik-praktik

pemerintah dalam membuat keputusan publik yang diskriminatif.

Media juga berperan penting dalam sistem demokrasi. Fungsi media

idealnya adalah sebagai sumber informasi dan fakta, serta pencerdasan bagi

masyarakat. Media dalam era demokrasi dapat digunakan sebagai alat pengawas

atau kontrol bagi para pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan atau

keputusan publik. Media yang baik dapat berguna bagi pendukung proses

pengambilan keputusan atau kebijakan agar tidak diskriminatif.

Melihat kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS

pada tahun 2012 lalu, LKiS telah melakukan advokasi baik kepada masyarakat

dan juga kepada pemerintah untuk menghindari terjadinya perumusan kebijakan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

38

atau keputusan publik yang bersifat diskriminatif dalam kasus penyerangan

diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012. LKiS menginginkan pemerintah, baik

itu pemerintah daerah maupun aparat kepolisian, untuk bertindak selayaknya

pemerintah, tidak memihak dan melakukan tugas, fungsi, dan wewenangnya

secara benar, sehingga pengusutan kasus bisa dilaksanakan sesuai dengan

konstitusi yang berlaku. Tanpa melihat sosok Irshad Manji yang kontroversial,

pemerintah tetap harus mengusut kasus tersebut hingga tuntas karena telah terjadi

tindak pidana yang harus diselesaikan melalui proses hukum sebagai upaya dari

penegakan dan perlindungan HAM sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, terdapat

indikasi bahwa advokasi yang dilakukan LKiS sebagai CSO tidak akan cukup

kuat untuk menekan pemerintah, jika tidak ada dukungan media dalam mengawal

kasus ini. Oleh karena itu, dalam menuntut pengusutan kasus ini oleh LKiS

diperlukan hubungan sinergi yang dibangun dengan media karena selama ini

banyak kasus mendapat perhatian pemerintah karena dukungan media yang kuat.

Advokasi yang dilakukan oleh LKiS adalah advokasi kebijakan yang

artinya dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat, negosiasi, dan desakan

massa (demonstrasi) untuk memperjuangkan pengusutan tuntas kasus dan hak-hak

peserta diskusi yang menjadi korban dalam kasus pembubaran diskusi Irshad

Manji di LKiS. Berikut merupakan skema dalam menggambarkan pengalaman

LKiS dalam mengadvokasi isu HAM kepada masyarakat dan pemerintah daerah

dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu:

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

39

Gambar 1.Skema Kerangka Berpikir Penelitian*

*) diolah oleh peneliti

Dalam hal ini, penulis ingin menggambarkan upaya LKiS mengadvokasi

tentang pentingnya isu penegakan dan perlindungan HAM dengan mengambil

contoh kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS kepada dua aktor, antara

lain masyarakat umum dan pemerintah daerah (termasuk aparat kepolisian).

Bentuk advokasi kepada masyarakat dilakukan melalui edukasi masyarakat yang

menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang tidak

bisa dibatasi oleh siapapun, termasuk pemerintah. Dalam melakukan advokasi

kepada masyarakat, secara tidak langsung terjadi proses negosiasi antara LKiS

dengan warga masyarakat terkait pentingnya kebebasan atas hak berpikir,

berpendapat, dan berekspresi. Berkaca pada kasus penyerangan Irshad Manji di

LKiS pada tahun 2012, LKiS ingin merundingkan dan mengajak masyarakat

untuk menekan pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk melindungi dan

menegakkan HAM melalui pengusutan tuntas kasus penyerangan terhadap peserta

diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, keberadaan media juga diharapkan

Media

LKiS

Pemerintah Daerah dan Polda DIY

Masyarakat

Keputusan publik non-

diskriminatif

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

40

dapat mengabarkan fakta dan memberikan pencerdasan kepada masyarakat,

sehingga masyarakat menjadi tergerak untuk mengawal kasus ini. Demand yang

dimaksud pada skema di atas adalah perlindungan HAM dan penegakan hukum

dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, support

yang dimaksud dalam skema di atas adalah pemerintah daerah dan aparat

kepolisian memiliki sensitivitas dan pemahaman bahwa kasus ini penting untuk

diusut tuntas yang dilihat dari respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian. Di

sisi lain, LKiS juga melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah dan

aparat kepolisian untuk segera menuntaskan kasus tersebut karena tindak pidana

merupakan pelanggaran HAM dan aparat kepolisian harus mengusut tuntas kasus

tanpa memihak kelompok atau golongan tertentu, sesuai dengan konstitusi yang

berlaku. Output yang dihasilkan dari advokasi yang dilakukan LKiS dan

dukungan media yang kuat adalah action dari pemerintah daerah dan aparat

kepolisian untuk membuat kebijakan maupun keputusan publik yang tidak

diskriminatif.

1.5. Konsep Penelitian

1.5.1. Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Governance

Ilmu administrasi publik sebagai ilmu governance melihat bahwa peran

pemerintah dalam tata kelola negara menjadi tidak begitu dominan. Konsep

publik dalam administrasi publik tidak lagi diartikan secara kelembagaan, tetapi

lebih pada orientasi dan nilai-nilai publicness (Dwiyanto, 2004:9). Birokrasi

pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam proses kebijakan. Perkembangan

ilmu administrasi publik tersebut semakin menguatkan terwujudnya democratic

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

41

governance di Indonesia, di mana lembaga non-pemerintah seperti, asosiasi

sukarela dan civil society atau masyarakat sipil sama-sama memiliki misi yang

sama dengan lembaga pemerintah untuk mewujudkan publicness.

Dwiyanto (2004:9) menyebutkan di Indonesia terjadi fenomena di mana

banyak lembaga non-pemerintahan yang juga menjalankan misi dan fungsi yang

dulunya secara tradisional dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, justru

banyak birokrasi publik yang memproduksi barang dan jasa privat. Munculnya

fenomena governance bodies (lembaga non-pemerintah diberi kewenangan untuk

mengambil kebijakan) tersebut menunjukkan bahwa proses kebijakan, baik

formulasi maupun implementasinya, yang berkembang sekarang ini tidak selalu

terjadi di lembaga pemerintah, tetapi juga di lembaga non-pemerintah (Dwiyanto,

2004). Fenomena governance bodies ini salah satunya dapat dilihat dari

keterlibatan civil society dalam kegiatan pembangunan.

Gambar 2. Skema Hubungan CSO dengan Pemda DIY

Sumber: diolah oleh peneliti

Pemda DIY

(Sultan HB X)

CSO Pluralis

CSO Anti Pluralis

Masyarakat Awam

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

42

Pada gambar 1.5.1 menunjukkan pola hubungan antara elemen civil

society, baik yang pluralis maupun anti pluralis dengan pemerintah daerah yang

melakukan take and give. Civil society sebagai salah satu pilar pengokoh

demokrasi perannya sangat penting sebagai penyeimbang negara. Tocquivele

dalam Ruhana (2010:200) menegaskan pentingnya peran civil society dalam

kehidupan bernegara dan meyakini civil society cukup otonom dan subordinan,

serta mempunyai kapasitas politik cukup tinggi untuk mengimbangi kekuatan

negara. Dwiyanto (2004:17) menyebutkan proses perumusan kebijakan publik di

era demokrasi juga perlu melibatkan peran aktor non-negara seperti civil society

karena mereka memiliki informasi, pengalaman, dan tacit knowledge yang lebih

baik daripada pemerintah sebagai pemegang otoritas yang sah. Sehingga, semakin

banyak governance bodies dalam kegiatan bernegara dapat meningkatkan kualitas

penyelenggaraan public affairs dan public interest yang lebih baik.

Keberadaan CSO pluralis dengan anti pluralis kenyataannya sering tidak

akur dalam kegiatan bernegara. CSO pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti

LKiS yang memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan islam inklusif

yang bergerak bersama dengan jaringan-jaringan yang dihimpunnya. Sedangkan,

CSO anti pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti ormas Islam fundamentalis-

radikal yang memperjuangkan identitas kolektifnya dengan cara apapun,

contohnya MMI. Kepentingan kelompok di antara kedua CSO ini jelas-jelas

bertentangan dan keduanya pun saling menekan pemerintah daerah untuk

mendapatkan kepentingannya. CSO pluralis melakukan advokasi dan menekan

Sultan HB X untuk menciptakan masyarakat Yogyakarta yang toleran dan anti

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

43

kekerasan dalam hal apapun, sedangkan CSO anti pluralis juga menekan Sultan

HB X untuk menerapkan syariat Islam atau nilai-nilai Islam murni dalam

kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sultan sebagai Pemda DIY harus mampu

menempatkan dirinya sebagai kepala pemerintahan DIY secara bijak dan adil,

sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta yang terkenal toleran dan

pluralis. Hal ini karena jika hal ini tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan

kegamangan yang berpotensi pada perpecahan masyarakat awam Yogyakarta dan

berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa

dan toleran.

Good Governance

Praktik keterlibatan tiga aktor dalam kehidupan bernegara tersebut

merupakan prasyarat dalam mewujudkan good governance di Indonesia. Good

governance memiliki makna sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik,

bukan kepemerintahan yang baik (Nugroho D., 2003:208). Namun dalam

praktiknya, di Indonesia, government yang memahami dirinya sebagai pemerintah

mempunyai kecenderungan untuk bertindak sebagai penguasa daripada pelayan

(Nugroho D., 2003:208). Hal ini bisa dilihat dari buruknya public services dari

birokrasi. Padahal good governance, mensyaratkan pemerintah memiliki

semangat sebagai abdi masyarakat, bukan abdi kekuasaan (Nugroho D.,

2003:208).

World bank dalam Nugroho D. (2003:218), mendefinisikan karakteristik

good governance, yaitu “an efficient public service, an independent judicial

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

44

system and legal framework to enforce contracts; the accountable administration

of public funds; an independent public auditor, responsible to a representative

legislature; respect for law and human rights at all levels of government; a

pluralistic institutional structure; and free press”. Hal ini artinya untuk

mewujudkan good governance¸ terdapat aspek-aspek yang harus dipenuhi seperti

yang telah disebutkan di atas. Untuk lebih memahami karakteristik good

governance, berikut sembilan karakteristik yang harus dipenuhi (Nugroho D.,

2003:219):

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi

keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi

yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar

kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus

informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi secara

langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus

dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan

harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.

5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara

kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

45

kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun

prosedur-prosedur.

6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,

mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan

mereka.

7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga

menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan

menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor

swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik

dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada

organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut

untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai

persepektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan

jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan

semacam ini.

Terkait dengan isu penegakan dan perlindungan HAM, tampak jelas

bahwa good governance mendukung adanya praktik itu. Pertama, karakteristik

participation, berarti masyarakat melalui CSO memiliki hak secara legal untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan, mencerdaskan masyarakat,

berpartisipasi aktif dalam memberikan pemikiran konstruktif bagi pemerintah

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

46

dalam menjalankan tugas dan fungsinya melalui serangkaian aktivitas advokasi

kepada masyarakat umum dan juga advokasi kebijakan kepada pemerintah.

Kedua, adanya rule of law, penulis memahami bahwa praktik hukum yang

berlaku di Indonesia harus berlaku secara adil dan tidak memihak sesuai dengan

kontitusi yang berlaku. Pelanggaran terhadap praktik pemenuhan HAM bagi

setiap warga negara tidak dapat dibenarkan, apalagi terjadi tindak pidana. Ketiga,

responsiveness. Pemerintah sebagai garda terdepan harus responsif dalam

menanggapi dan menyelesaikan masalah publik. Pemerintah harus bertindak

selayaknya pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang

diamanatkan oleh undang-undang. Seringkali, pemerintah tidak bertindak

responsif karena terlalu banyak menghitung untung-rugi dalam menyelesaikan

permasalahan publik, sehingga justru mengorbankan kepentingan dan hak-hak

masyarakat. Keempat, equity. Hal ini berarti, semua warga negara, tanpa

terkecuali berhak mendapatkan akses pelayanan publik dan pemenuhan apa yang

menjadi haknya sebagai warga negara, tanpa ada usaha dihalang-halangi,

diimbangi dengan pemenuhan kewajiban sebagai warga negara, dan pemerintah

wajib menjamin itu. Kelima, effectiveness dan efficiency, karakteristik ini melihat

bahwa pemerintah harus menghasilkan suatu keputusan dan kebijakan publik

yang memang telah diamanatkan oleh konstitusi dengan menggunakan segala

sumber terbaik yang ada. Keenam, accountability. Hal ini penting karena

pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dapat

dipertanggungjawabkan di mata publik. Ketujuh, terkait strategic vision,

pemerintah harus memiliki visi strategis ke depan karena seiring berkembangnya

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

47

zaman, tuntutan publik akan semakin meluas, sehingga memerlukan visi dan misi

pemerintah yang tajam ke depan. Kedelapan, transparency, dibutuhkan dalam

setiap penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang harus transparan dan publik

dapat mengakses informasi akan hal tersebut sebagai bentuk kontrol.

Kesembilan, yakni consensus orientation, artinya adanya pengutamaan

konsensus ini pilihan-pilihan yang akan diambil negara akan mempertimbangkan

kelompok-kelompok yang ada, sehingga keputusan yang bersifat diskriminatif

dapat dihindari. Untuk memenuhi, menegakkan, dan melindungi praktik HAM

diperlukan karakteristik good governance dalam praktik pemerintahan di era

demokrasi sekarang ini, antara lain kesembilan prinsip-prinsip good governance

yang sudah dijelaskan di atas.

1.5.2. Dinamika Perkembangan Konsep Civil Society di Eropa

Pemahaman konsep civil society selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Istilah civil society atau masyarakat sipil pertama kali muncul pada zaman

renaissance atau pada masa kebangkitan Eropa. Thomas Hobbes (1588-1679)

dalam teori kontrak sosial melihat kemunculan konsep civil society yang bermula

pada sekumpulan manusia pada kondisi alamiahnya memiliki hasrat untuk

menguasai manusia lain, sehingga manusia membuat kondisi di mana manusia

mempercayakan hak yang mereka miliki pada lembaga yang diberikan kedaulatan

penuh untuk menjaga kesepakatan (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Pemegang

kedaulatan ini berhak memerintah demi keselamatan masyarakat sendiri dan

mereka tidak dapat diganggu gugat. Hal inilah yang dinamakan kontrak sosial,

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

48

artinya bukan kontrak yang terjadi antara penguasa dan yang dikuasai, melainkan

kontrak antara masyarakat sendiri (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132).

George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831) dalam bukunya yang

berjudul Philosopy and Right, menempatkan negara (dalam hal ini dilihat sebagai

pemerintah) dan civil society dalam kerangka dialektika, yaitu keluarga sebagai

tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis, dan negara sebagai sintesis (Wibawa dan

Pradhikna, 2011:132). Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari

adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja. Negara dalam hal

ini berperan sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat sipil yang

melaksanakan fungsinya melalui hukum untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan

tiap individu (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Hal ini membuat Karl Marx

(1818-1883) melihat civil society tidak lebih dari masyarakat borjuis. Marx

menganggap negara semata-mata alat bagi masyarakat borjuis untuk

melanggengkan kekuasaan atas kaum buruh (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132).

Pandangan ini berbeda dengan pandangan Adam Ferguson (1723-1816),

Thomas Paine (737-1809), dan Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang melihat

civil society sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan

pluralisme (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Konsep civil society menurut

Alexis de Tocquile tersebut banyak digunakan sebagai acuan di Indonesia melihat

Indonesia yang sedang berproses menuju masa demokrasi yang dewasa.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

49

Tabel 1Perkembangan Makna Civil Society di Eropa Menurut Para Ahli*

*) diolah oleh peneliti

Berdasarkan, pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society

yang berkembang di Eropa, Konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville

yang paling pas menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia pasca

reformasi. Civil society di Indonesia banyak berkembang setelah rezim orde baru

berakhir. Pada saat itu, era reformasi berlangsung, di mana masyarakat tidak lagi

terkungkung oleh rezim pemerintah yang otoriter. Masyarakat memiliki ruang

Thomas Hobbes (1588-1679)

Kondisi di mana manusia menguasai manusia lain, sehingga perlu adanya kontrak sosial untuk mengatur hal tersebut.

George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831)

Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja.

Karl Marx (1818-1883)

Civil society = masyarakat borjuis

Alexis de Tocquile (1805-1859)

Civil society sebagai prasyarat mewujudkan masyarakat demokratis.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

50

untuk bebas berpendapat dan turut serta dalam dalam kemajuan pembangunan

sesuai asas-asas demokrasi.

1.5.3. Konsep Civil society di Indonesia

Pekembangan konsep civil society juga terjadi di Indonesia. Nurcholis

Madjid memiliki pemikiran bahwa civil society diterjemahkan sebagai

masyarakat madani. Pemikiran ini dicetuskannya melihat pengalaman masyarakat

madinah di masa Nabi Muhammad SAW. Civil society dilihat sebagai suatu

masyarakat yang dipenuhi nilai-nilai keadaban dengan ciri-ciri egalitarianisme,

penghargaan kepada orang yang berprestasi, keterbukaan dan partisipasi warga

secara aktif, kepatuhan terhadap norma dan hukum, toleransi, pluralisme,

musyawarah dan penegakan hukum serta keadilan (Rahmat, 2003:18)4

Paulus Wirotomo (2001) dalam Rahmat (2003:18) mengembangkan

konsep civil society menjadi masyarakat adab yang yang tidak hanya memberikan

posisi warga negara yang lebih mandiri terhadap negara, tidak hanya budaya

demokrasi yang menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi juga

menekankan pembenahan moral pada hubungannya dengan antar warga negara itu

sendiri dan nilai-nilai kerukunan yang menghasilkan sikap kepedulian di antara

warga negara

.

5

Civil society menurut Sumarto (2003:5) dalam Rahmat (2003:18) dapat

diartikan sebagai kumpulan institusi atau organisasi di luar pemerintah dan sektor

.

4 Nucholis Madjid (1996) dalam Tesis Rahmat, Abdi.2003.Peran LSM dalam penguatan civil society di Indonesia studi kasus Walhi.Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Indonesia. hal. 18 5 Ibid. hal. 18

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

51

swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan

bergerak6

Berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society

yang berkembang di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa civil society merupakan

sekumpulan masyarakat beradab yang memiliki ciri-ciri terbuka, berpartisipasi

secara aktif dalam kegiatan bernegara, mandiri dari campur tangan pemerintah,

memperjuangkan hak-hak individu, dan turut serta dalam memajukan

pembangunan. Civil society di sini dapat disebut sebagai mitra kritis pemerintah,

sekaligus balancing power dalam menentukan arah kebijakan pembangunan ke

depan. Keberadaannya pun bersifat penting karena posisinya sebagai

penyeimbang hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan aktor bisnis.

Civil society yang dapat berupa LSM, organisasi non-pemerintah, organisasi

masyakarakat akar rumput, dan asosiasi lainnya dapat dimanfaatkan sebagai

modal sosial dalam menentukan arah kebijakan bersama pemerintah dalam

mekanisme kerja sama yang fleksibel.

. Komponen-komponen civil society antara lain, LSM, organisasi non-

pemerintah, institusi masyarakat di akar rumput, media, institusi pendidikan,

asosiasi profesi, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Keberadaan civil society

yang kuat dan aktif dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dapat

menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah dan privat, sehingga kebijakan

yang akan dirumuskan nantinya dapat mengakomodasi pandangan masing-masing

pihak. Proses kebijakan yang terjadi pun menjadi lebih partisipatoris, transparan,

dan akuntabel (Rahmat, 2003:18).

6 Ibid.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

52

1.5.4. Definisi Civil Society

Melihat fenomena menguatnya civil society di Indonesia pasca reformasi,

konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville dilihat penulis sebagai konsep

yang menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia. Civil society menurut

Alexis de Tocqueville diartikan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang negara.

Hal ini karena civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengontrol

intervensi negara. Civil society tidak bisa dipisahkan dengan hubungan poltik

karena pada dasarnya civil society merupakan sumber input dalam proses-proses

politik bernegara dengan sistem demokrasi. Civil society dipahami sebagai

wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan,

keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian dalam berhadapan dengan

negara (Rahmat, 2003:19). Tocqueville juga menekankan adanya dimensi kultural

dalam civil society, sehingga civil society dapat berperan sebagai kekuatan

penyeimbang, yaitu keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap norma dan nilai

hukum yang yang dipatuhi oleh warganya (Rahmat, 2003:19). Adanya dimensi

kultural dalam civil society membuat keberadaannya dalam hubungan politik tetap

berorientasi pada kepentingan publik.

Konsep civil society menurut Tocqueville tersebut mendukung definisi

civil society menurut Alison Van Rooy (1998) dalam Feulner (2001:44)

memberikan terdapat enam poin penting definisi civil society, meliputi (1) civil

society as values and norms, (2) civil society as collective nouns, (3) civil society

as a space of action, (4) civil society as historical moment, (5) civil society as

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

53

anti-hegemony, dan (6) civil society as anti-state7

Kondisi sosial dan politik di Indonesia semenjak bangkitnya era reformasi

dengan sistem demokrasi memerlukan keberadaan civil society yang kuat sebagai

penyeimbang hubungan antar negara dengan warga negara. Civil society

memperjuangkan kebebasan individu dalam berekspresi dan bernegara, tetapi juga

perlu disertai dengan rasa tanggung jawab antar diri setiap individu. Civil society

menolak intervensi negara, tetapi tetap membutuhkan negara dalam mewujudkan

cita-cita politis demi kepentingan publik bersama dan sebagai penengah konflik

dalam konteks internal dan eksternalnya(Rahmat, 2003:19). Civil society juga

. Pada enam poin definisi yang

dikemukan oleh Alison van rooy, munculnya istilah civil society dapat dilihat

sebagai momen kebangkitan di mana society merupakan sebuah nilai dan norma

baru tentang aksi kolektif yang merupakan bentuk perlawanan terhadap negara

dan pasar. Adanya civil society dicita-citakan sebagai kondisi untuk mewujudkan

bentuk negara yang optimal.

Berdasarkan ulasan pendapat ahli di atas, merujuk pada situasi dan kondisi

politik di Indonesia, civil society dapat didefinisikan sebagai suatu kekuatan

kolektif, norma dan nilai baru dalam masyarakat sebagai bentuk kebangkitannya

melawan rezim otoriter. Civil society mengedepankan prinsip bebas dari campur

tangan politik negara dan mandiri dalam bertindak. Pemerintah dilihat tidak lagi

memiliki dominasi kekuatan dalam kegiatan bernegara, meskipun pemerintah

memiliki otoritas yang sah secara hukum.

7 Working paper UNSFIR: Consolidating Democracy in Indonesia: Contributions of Civil society and State, Part One: Civil society. Penulis:Frank Feulner (2001) Hal. 44

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

54

menolak intervensi pasar yang berlebihan (Rahmat, 2003:19). Peran civil society

di sini turut menjadi agen kontrol kegiatan pasar yang justru kadang dapat

merugikan warga masyarakat. Demi mewujudkan keharmonisan hubungan dalam

bernegara antara pemerintah, bisnis, dan kelompok-kelompok masyarakat yang

beragam diperlukan civil society yang kuat, bebas dari segala macam bentuk

kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

1.5.5. Fungsi-fungsi civil society di Indonesia

Menurut Feulner (2001:9) dalam papernya berjudul “Consolidating

Democracy in Indonesia: Contributions of Civil society and State”,

mengemukakan terdapat lima fungsi dasar keberadaan civil society di Indonesia,

antara lain:

1. Civil society merupakan platform independen untuk melakukan

diskusi dalam rangka merumuskan ide-ide alternatif bagi pemerintah,

bisnis, dan masyarakat. Kedudukan organisasi civil society penting

karena merupakan sarana untuk memobilisasi dan mengumpulkan

kepentingan, keprihatinan, dan kebutuhan masing-masing dari kelompok

masyarakat, bisnis, dan pemerintah dan selanjutnya dibawa untuk

dikomunikasikan kepada pemegang kekuasaan atau perwakilan politik

yang ada.

2. Civil society melakukan monitoring dan sebagai agen watchdog.

Organisasi-organisasi civil society diperlukan untuk membantu dalam

mengawasi dan mengontrol institusi-institusi negara dan juga praktik

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

55

regulasi dan hukum. Dalam hal ini, organisasi-organisasi seperti media dan

kelompok pengawas HAM harus berada di garda terdepan dalam

menjalankan fungsi ini.

3. Civil society sebagai advokasi dan penasihat legal. Civil society harus

aktif dalam menjalankan fungsi ini yaitu melakukan advokasi dan

memberikan nasihat legal terhadap isu-isu terkait HAM dan hukum

terhadap warga negara. Target utama dalam hal ini adalah pekerja dan

komunitas kurang mampu. Bagaimanapun, organisasi civil society yang

aktif dalam bidang ini harus juga ikut serta dalam menjamin terpenuhinya

hak-hak standar bagi setiap warga negara indonesia dan memelihara nilai-

nilai kewarganegaraan.

4. Civil society berkontribusi pada bidang penelitian, pendidikan, dan

resolusi konflik. Organisasi civil society dapat memfasilitasi mediasi

dalam persoalan konflik sosial, agama, dan kepentingan budaya. Aktivitas

rekonsiliasi, penelitian, dan pendidikan dapat membantu mengurangi

terjadinya konflik dan mencari jalan resolusi konflik terbaik. Mekanisme

komunitas dan memainkan peran utama dalam hal stabilisasi dan mediasi

konflik.

5. Fungsi civil society dalam peningkatan kesejahteraan dan

pelayanan kesehatan. Civil society harus menjalankan fungsi yang kuat

dalam bidang kemanusiaan dan sosial, termasuk peningkatan

kesejahteraan, pelayanan kesehatan, pelayanan bagi pensiunan, dan bagi

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

56

kalangan kurang mampu. Fungsi ini sangat dibutuhkan khususnya bagi

negara yang sedang mengalami transisi atas sistem pemerintahan dan

keterlibatan civil society sangat dibutuhkan sampai pemerintah dapat

menyediakan strategi-strategi yang efisien dalam menyelesaikan isu-isu

sosial.

Kelima fungsi ini perlu diterapkan oleh organisasi-organisasi civil society di

Indonesia melihat kedudukannya sebagai penengah atau mediator hubungan

antara negara dengan masyarakat dalam sistem demokrasi.

1.5.6. Karakteristik Civil Society

Konsep civil society dalam sistem demokrasi lebih dilihat sebagai sesuatu

yang otonom atau mandiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa civil society

yang bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi, perkumpulan, organisasi

keagamaan, LSM, paguyuban, dan kelompok kepentingan lainnya ini dapat dilihat

sebagai suatu entitas yang mampu memajukan diri sendiri, dapat membatasi

intervensi pemerintah dan negara dalam realitas yang diciptakannya, dan

senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik (Otho H.,

2010:118). Karakteristik dari civil society menurut Otho H. (2010:118) pun dapat

dilihat dalam tiga aspek, yaitu aspek otonomi politik yang berhadapan dengan

negara, aspek keswadayaan (menghimpun kekuatan sendiri), dan aspek

keswasembadaan (mencukupi kebutuhan sendiri).

Civil society meskipun memiliki karakteristik mandiri, swadaya,

swasembada, bebas campur tangan dari pemerintah, melakukan pemberdayaan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

57

dan memihak kepada kepentingan masyarakat tanpa mengharapkan dukungan

politik, tidak lantas membuat civil society yang ada di Indonesia benar-benar

bersifat independen. Berdasarkan sejarahnya, di Indonesia, civil society dalam

bentuk LSM ada yang merupakan bentukan pemerintah dan ada yang tidak. LSM

bentukan pemerintah cenderung dibentuk untuk menggalang kepentingan politik

tertentu. Selain itu, terdapat juga LSM yang berkerja sama dengan lembaga donor

atau mitra funding. Hal ini karena permasalahan utama yang ditemui LSM pada

umumnya adalah terkait dana. Sehingga, dalam melakukan gerakan, LSM ini

membutuhkan mitra yang fokus pada hal yang sama. Oleh karena itu, di

Indonesia, tidak semua LSM benar-benar independen dan bebas dari afiliasi

kepentingan manapun.

Dalam hal ini, LKiS sebagai LSM termasuk dalam kategori LSM yang

hidup dari lembaga donor dan bebas campur tangan politik pemerintah. LKiS

memiliki jaringan dengan mitra funding dalam melakukan program pemberdayaan

masyarakatnya yang bekerja sama dengan The Asia Foundation dan lembaga

donor lainnya. LKiS juga sering dalam mengkritik pemerintah melalui kritik yang

membangun dan mengawal perumusan kebijakan di level pemerintah daerah

sebagai bentuk kontrol CSO kepada pemerintah.

1.5.7. Advokasi Kebijakan

Definisi Advokasi menurut Margaret Schuler (1995) adalah sejumlah

tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu dan

mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi juga

berisi aktifitas-aktifitas legal dan politik yang dapat mempengaruhi bentuk dan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

58

praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir,

digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta

mobilisasi8. Sementara itu, menurut Socorro Reyes (1997) advokasi adalah aksi

strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat

bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan

merugikan masyarakat9

Advokasi dalam kebijakan publik menyangkut tentang bagaimana

menyuarakan, membela, memajukan kepentingan dan mencari dukungan

berkenaan dengan suatu kebijakan publik tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dari

advokasi kebijakan ialah persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan

kebijakan yang ada. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang dilakukan

adalah memperkuat posisi tawar menawar atau bargaining position melalui

penyadaran kelompok atau komunitas, pemberdayaan, pemberian bantuan hukum

.

Dapat disimpulkan dari kedua pendapat ahli di atas, advokasi adalah

sejumlah aktifitas strategis yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat

akan isu tertentu dan mempengaruhi pemangku kepentingan untuk menciptakan

kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat luas, tidak diskriminatif,

melalui upaya pengorganisian masyarakat atau mobilisasi.

8 Margaret Schuler. Human Rights Manual. 1995 dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum 9 Soccorro Reyes, 1997,Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

59

yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan masyarakat yang akan

dibela, lobby, serta negosiasi10

Advokasi kebijakan tidak hanya berguna bagi pihak yang diperjuangkan,

tetapi juga bagi pemangku kepentingan atau pembuat kebijakan karena mereka

membutuhkan (1) informasi yang berkaitan dengan isu-isu yang ada dalam

masyarakat, (2) opini publik dan konstituen, dan (3) bahan masukan yang

membantu proses pembuatan peraturan

.

11

2. Strategi persuasi. Penggunaan strategi ini, CSO bertindak seperti sebuah

kelompok penekan untuk mendesak perubahan-perubahan kebijakan dan

.

Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:344), terdapat beberapa

strategi yang dapat dilakukan CSO dalam melakukan advokasi kebijakan, antara

lain:

1. Strategi Edukasi. Strategi ini adalah di mana CSO mencoba untuk

memberi pemerintah banyak informasi, analisis, dan alternatif kebijakan.

CSO juga mendidik pemerintah dengan menciptakan dan menguji

pendekatan pembangunan yang inovatif yang dapat ditiru oleh negara.

Pendidikan dilakukan melalui lokakarya, konferensi, kunjungan-

kunjungan fisik dan prakarsa proyek-proyek percontohan. Strategi ini

dapat pula menargetkan kelompok-kelompok lain, selain pemerintah

misalnya masyarakat umum, media, dan CSO lain atau anggota komunitas.

10 Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum 11 Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

60

menunjukkan dukungan publik. Idenya di sini ialah bahwa meyakinkan

pemerintah bahwa CSO mendukung kebijakan atau perubahan kebijakan,

perlu diakui dan ditegakkan menjadi undang-undang. Persuasi dilakukan

melalui berbagai cara yang mencakup rapat-rapat, lokakarya, konferensi,

undangan ke tempat, melobi, demo, dan pemogokan. Tujuan utamanya

adalah menyajikan informasi kepada pemerintah yang dapat mengubah

sikap pemerintah atau arah kebijakan.

Upaya advokasi tidak akan berhasil dengan efektif, jika pelaku advokasi

tidak secara matang mengidentifikasi aktor, baik itu sebagai pelaku advokasi

dengan membangun koalisi atau jaringan, maupun target sasaran advokasi.

Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:83), terdapat beberapa kategori

stakeholders dalam konsep advokasi, yaitu target advokasi, target oposisi,

organisasi dan konstituen mereka, dan sekutu-sekutu. Target advokasi adalah

orang-orang yang ingin dipengaruhi oleh suatu kelompok agar mereka mau

mendukung tujuan-tujuan kebijakan kelompok itu. Dalam hal ini, target advokasi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu primer (mereka yang memiliki kekuasaan

langsung untuk memberi apa yang dikehendaki kelompok) dan sekunder (mereka

yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan atau primer) (Ritu R.

Sharma, 2004:67). Target oposisi adalah orang yang oleh CSO diketahui sebagai

lawan mereka dalam isu tertentu atau juga bisa dikatakan sebagai orang yang

memiliki kekuasaan dan ingin menghentikan kelompok dalam mencapai tujuan

advokasi mereka (Miller dan Covey, 2005:84). Organisasi dan konstituen adalah

orang-orang yang berperan dalam menganalisis kekuatan, kelemahan, dan

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

61

kekuasaan mereka sendiri dan konstituen mereka atau bisa dikatakan mereka yang

melakukan strategi advokasi (Miller dan Covey, 2005:85). Terakhir, sekutu adalah

orang dan kelompok yang memiliki cukup banyak kepentingan pada isu CSO

hingga bergabung dengannya dalam aliansi atau koalisi. Aliansi yang kuat dan

bertanggung jawab biasanya merupakan alat paling efektif untuk mendapat

kemenangan kebijakan sebab aliansi tersebut dapat menghimpun kekuasaan dan

pengaruh yang perlu bagi perubahan (Miller dan Covey, 2005:86).

1.5.8. Negosiasi

Rangkaian kegiatan advokasi kebijakan juga tidak lepas dari negosiasi.

Negosiasi yang dimaksud adalah upaya mendialogkan kepada pihak-pihak yang

bertentangan terkait sebuah isu atau masalah publik tertentu, sehingga nantinya

dapat ditentukan bagaimana arah perumusan kebijakan dan bagaimana kebijakan

akan diimplementasikan. Negosiasi juga dapat diartikan sebagai sebuah langkah

yang harus ditempuh untuk memadukan kepentingan para aktor yang berbeda

hingga mereka mencapai suatu tujuan yang sama demi terwujudnya kebutuhan

publik12

Negosiasi dalam advokasi kebijakan juga dapat dipahami sebagai

merundingkan atau membicarakan kemungkinan atas suatu kondisi untuk

disepakati dengan orang lain. Negosiasi di dalam advokasi kebijakan

keberadaannya cukup penting agar masing-masing aktor memiliki kesamaan

.

12 Pengertian ini diolah dari definisi Henry Kissinger (1969) yang mendefinisikan negosiasi sebagai “a process of combining conflicting positions into a common position, under a decision rule of unanimity” dalam Alfredson, Tanya dan Cungu, Azeta.2008.Negotiation Theory and Practice.Food and Arigulture Organization of The United Nation. Hal 12

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

62

persepsi dalam memandang suatu isu dan masalah publik, sehingga masing-

masing aktor dapat bersinergi satu sama lain dalam menyelesaikan permasalahan

yang ada.

Negosiasi sebagai upaya mendialogkan untuk menyelesaikan

permasalahan dan mencapai kesepakatan dapat dilihat sebagai negosiasi dengan

teknik win-win atau menang-menang. Negosiasi dengan teknik menang-menang

dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu: (1) membina kepercayaan, (2) mencapai

rasa terikat atau komitmen, (3) mengatur perlawanan (Herb Cohen, 1986:173).

Secara lebih jauh akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Membina kepercayaan. Dalam suatu hubungan yang berkesinambungan,

semakin banyak kepercayaan yang didapatkan dari orang lain, maka

semakin banyak juga orang lain membenarkan keyakinan yang ada pada

diri seseorang (Cohen, 1986:173). Melalui hubungan saling percaya,

masing-masing pihak menaruh kepercayaan yang kuat. Hubungan saling

percaya ini merupakan sumber utama dalam negosiasi menang-menang.

Sehingga, peluang untuk mencapai suatu kesepakatan semakin tinggi.

2. Mencapai rasa terikat (komitmen). Maksudnya antara pihak yang

bernegosiasi harus mencapai rasa terikat karena kedua belah pihak saling

bergantung dan membutuhkan. Hal ini terjadi karena adanya persamaan

persepsi dan pola pikir dalam memandang suatu isu atau masalah publik.

Selain itu, pada tahap ini, masing-masing pihak memiliki tujuan yang

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

63

sama akan sesuatu. Tahap ini dapat dicapai, ketika masing-masing pihak

telah membangun hubungan saling percaya (Cohen, 1986:189)

3. Mengatur perlawanan atau oposisi. Dalam rangka memperoleh tujuan

yang diinginkan, CSO harus melawan oposisi. Hal ini bisa diartikan

sebagai sebuah kendala atau rintangan untuk mencapai suatu kesepakatan.

Oposisi atau lawan ada dalam dua bentuk, yaitu berupa pikiran dan

peraasaan. Pada dasarnya perbedaan antara seseorang dengan orang lain

adalah berdasar pada kedua hal tersebut (Cohen, 1986:196)

Dalam praktik advokasi kebijakan, negosiasi dapat dilakukan untuk

mencapai kesepakatan dalam menanggapi suatu isu publik. Adanya negosiasi

diperlukan agar pihak-pihak yang bernegosiasi memiliki kesamaan cara berpikir

dan perspektif dalam memandang sebuah isu, sehingga ada kemungkinan masing-

masing pihak yang bernegosiasi bergerak bersama untuk mengadvokasi atau

mengawal isu dan masalah publik yang butuh untuk dibela dan diperjuangkan

demi kepentingan masyarakat luas.

1.5.9. Relasi Antara CSO Dengan Pemerintah

Menurut Affan Gafar (2006:208) mengungkapkan relasi antara CSO (civil

society organization) dengan pemerintah tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan

sejarahnya hubungannya mengalami dinamika, dari yang awalnya cooperative

hingga conflictual. James V. Ryker dalam Gafar (2006) mengemukakan pola

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

64

hubungan antara CSO (seperti LSM) dengan pemerintah dapat terjadi pada lima

kondisi, yaitu13

:

1. autonomous begin neglect

Pada kondisi ini pemerintah tidak menganggap posisi CSO (seperti LSM)

sebagai ancaman dan tidak melakukan intervensi terhadap CSO, serta CSO

dapat bekerja secara mandiri dan independen;

2. facilitation/promotion

Pada kondisi ini, pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang

keberadaannya bersifat komplementer. Tugas pemerintah menyediakan

kondisi yang kondusif bagi beroperasinya CSO;

3. collaboration/cooperation

Pada kondisi ini, pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih

menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah;

4. cooptation/absobtion

Pada kondisi ini, pemerintah melakukan kontrol terhadap CSO, baik dalam

konteks programatik maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya

suplai finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO, dan

sebagainya;

13 Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 208

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

65

5. containment/sabotage/dissolution

Pada kondisi ini, pemerintah melihat CSO sebagai tantangan dan sekaligus

ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja CSO dan bahkan

sampai menindak.

Berdasarkan hal tersebut, relasi yang terbangun antara LKiS dengan pemerintah

daerah DIY adalah lebih kepada pola relasi autonomous begin neglect dan

collaboration. Hal ini karena pemda DIY memberikan ruang yang terbuka bagi

CSO-CSO yang ada di DIY untuk melakukan aktivitasnya dan justru membantu

pemerintah dalam mengawal suatu isu atau masalah publik yang terjadi di DIY.

Philip Elderige dalam Afan Gafar (2006:209) melihat konsep relasi LSM

dengan pemerintah yang dapat dilihat melalui tiga model pendekatan, yaitu:

1. high level partnership: grassroots partnership

LSM yang termasuk dalam kategori ini pada prinsipnya sangat partisipatif

dan kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan

pembangunan daripada advokasi. Kegiatan LSM pada kategori ini sama

sekali tidak bersinggungan dengan proses politik. Namun, LSM tersebut

memiliki perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah

dengan cara memberikan dorongan dan motivasi kepada pemerintah. LSM

jenis ini umumnya tidak begitu besar dan banyak bersifat lokal;

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

66

2. high level politics: grassroots mobilization

LSM dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam

kegiatan politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat,

baik dalam upaya perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu

kebijakan yang menjadi wilayah perhatiannya;

3. empowerment at the grassroots

LSM yang termasuk dalam kategori ini pusat perhatiannya terletak pada

usaha meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar

rumput akan hak-haknya. Dalam hal ini, LSM tidak berminat untuk

mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah dan percaya bahwa

perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas

masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah14

.

Ketiga pendekatan ini akan menggambarkan pola hubungan yang dibangun antara

LSM dengan pemerintah ke depannya. LSM yang menganut pendekatan high

level partnership, relasinya dengan pemerintah akan berupa dorongan dan

motivasi kepada pemerintah karena LSM ini fokus pada kegiatan pembangunan

daripada advokasi. Hal tersebut berbeda dengan LSM yang menganut pendekatan

high level politics. LSM tersebut cukup kuat dalam membangun relasi politik

dengan pemerintah karena orientasi LSM ini menempatkan dirinya sebagai

pembela rakyat dengan memanfaatkan akses politik yang dimilikinya.

14 Ibid. hal. 209

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

67

Peran yang dilakukan LSM sebagai aktor lembaga non-pemerintah

dilakukan sebagai reaksi atas ketidakmampuan pemerintah dalam mencapai public

purposes. Pemerintah sebagai aktor internal dalam pemerintahan seharusnya

mampu menciptakan nilai-nilai publicness dalam kehidupan bermasyarakat.

Kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah, diatasi oleh kehadiran civil society

yang bisa berbentuk LSM, jaringan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya

untuk menyelesaikan masalah bersama. Hal ini tampak nyata dengan yang

dilakukan oleh LKiS. LKiS sebagai CSO melakukan program-program yang

bertujuan untuk memberikan ruang bagi kelompok minoritas dan rentan yang

selama ini tereksklusi baik secara sosial dan politik. Kelompok-kelompok yang

selama ini belum terjangkau oleh pemerintah, berusaha dirangkul oleh LKiS

melalui advokasi yang dilakukannya baik di lingkup masyarakat, maupun di level

pemerintah agar pemerintah daerah tidak membuat keputusan atau kebijakan yang

diskriminatif bagi kelompok-kelompok tersebut.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, penelitian ini akan menggunakan

metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono

(2014:14) adalah metode penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah

dan peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data

dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Tujuan dari

penelitian menggunakan metode kualitatif adalah untuk mengeksplor lebih

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

68

mendalam terkait fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga data yang

diperoleh dapat menjadi jawaban atas permasalahan sosial yang terjadi di

masyarakat. Alasan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

karena peneliti ingin mengeksplor dan memahami secara lebih mendalam terkait

pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS sebagai CSO dalam isu

penegakan dan perlindungan HAM, khususnya advokasi yang dilakukan dalam

mengawal kasus penyerangan diskusi buku Irshad Manji “Allah, Liberty, and

Love” di Yayasan LKiS, Bantul pada tanggal 9 Mei 2012

1.6.2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi pada studi kasus. Alasan penelitian ini menggunakan

fenomenologi pada kasus yang dikaji untuk melihat cara berpikir aktor, apa yang

dilakukan, strategi dan metode apa yang dilakukan, serta bagaimana respon

masing-masing aktor dalam menanggapi kasus tersebut.

1.6.3. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

depth interview. Depth interview dilakukan dengan orang-orang kunci atau key

person yang terlibat dalam kasus penyerangan diskusi bedah buku Irshad Manji di

LKiS pada tanggal 9 Mei 2012.

1.6.4. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lokasi

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

69

penelitian melalui depth interview. Data sekunder merupakan data-data yang

diperoleh dari hasil penelitian terkait yang dilakukan sebelumnya, buku, dan

media. Perlunya data sekunder ini berfungsi untuk mendukung data primer yang

bisa diperoleh saat melakukan depth interview.

1.6.5. Kebutuhan data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini melihat penelitian ini adalah

fenomenologi, sehingga diperoleh data terkait pengalaman dan respon masing-

masing aktor yang terlibat dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di

Yayasan LKiS, yaitu LKiS, JPY, Peserta Diskusi, Ketua RT 9 Kampung

Sorowajan, Anggota HTI, MMI, Pemda DIY, Kemenag DIY, dan Polda DIY.

Selain itu, untuk mendapatkan informasi pendukung, peneliti juga melakukan

wawancara dengan asisten dari Ombudsman RI Perwakilan DIY dan Polisi Polda

Metro Jaya. Berikut secara lebih jauh merupakan key person dan informan

pendukung yang menjadi sumber penelitian ini, yaitu:

Tabel 2. Informan (Key Person)* No. Informan Data yang diperoleh Sumber data

1. LSM: LKiS dan

JPY

Data yang diperoleh adalah

terkait pengalaman dan

respon LKiS dan JPY

sebagai penyelenggara

diskusi bedah buku Irshad

Manji. Dalam melihat

1. Primer: depth

interview dengan

Azzah (anggota LKiS)

pada 26 Februari 2015,

Hafizen (anggota

LKiS) pada 26 April

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

70

pengalaman dan respon

LSM tersebut, peneliti ingin

memaparkan sikap, cara

berpikir, metode yang

ditempuh, strategi dalam

melakukan advokasi baik

ke masyarakat maupun

pemerintah. Data ini

diperoleh melalui

wawancara kepada Azzah

(anggota LKiS), Hafizen

(anggota LKiS), Siti Jazila

Habibah (anggota LKiS),

dan Ika Ayu (anggota JPY)

2015, Habibah

(anggota LKiS), dan

Ika Ayu (anggota JPY)

pada 6 Maret 2015.

2. Sekunder:

-Penelitian

Perlindungan Polisi

terhadap Kaum

Minoritas dan

Pelayanan Publik di

Wilayah Polda DIY

(PUSHAM UII,2013)

-Buku Reorientasi

Pembaruan Islam,

Sekularisme,

Liberalisme, dan

Pluralisme Paradigma

Baru Islam di

Indonesia (Budhy

Munawar-Rachman,

2011)

- media online

nasional: tempo.co,

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

71

news.viva.co.id, dll

2. Peserta Diskusi:

Dian Paramita

Data yang diperoleh adalah

gambaran tentang kronologi

peristiwa pembubaran dan

penyerangan diskusi yang

dilakukan oleh Laskar

Islam.

Sekunder: informasi

terkait kronologi

kejadian diperoleh dari

informasi yang

diberikan Dian

Paramita melalui media

sosial twitter karena

keterbatasan peneliti.

3. Anggota HTI:

Siska

Data yang diperoleh adalah

tentang cara berpikir aktor:

mengapa menolak diskusi

dan tanggapannya tentang

sosok Irshad Manji.

Primer: depth interview

dengan Siska anggota

HTI aktif periode 2012

hingga sekarang pada 4

Maret 2015.

4. MMI:

Pimpinan MMI

yakni Irfan S.

Awwas

Data yang diperoleh adalah

tentang tanggapan pimpinan

MMI kejadian di LKiS

tahun 2012 lalu.

Sekunder: pernyataan

Irfan S. Awwas dalam

acara TV Indonesia

Lawyers Club bertajuk

‘Lady Gaga Vs. FPI’

yang dipublikasikan di

youtube.com tanggal

16 Mei 2012.

5. Ketua RT 9 Data yang diperoleh adalah Primer: depth interview

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

72

Kampung

Sorowajan: Pak

Arif

cara berpikir aktor dan

tanggapan aktor tentang

keberadaan LKiS sebagai

CSO yang berkontribusi

pada pemenuhan dan

perlindungan HAM, apa

yang dilakukan pada saat

terjadi penolakan diskusi

dari Laskar Islam

dengan Pak Arif yang

merupakan Ketua RT 9

aktif pada periode 2012

hingga sekarang pada

21 Mei 2015.

6. Pemerintah daerah

Provinsi DIY:

Sultan HB X

Data yang diperoleh adalah

respon dan tanggapan

Sultan HB X selaku

Gubernur DIY terkait kasus

tersebut, yaitu apa yang

dilakukan, upaya resolusi

konflik apa yang

ditawarkan, dan strategi apa

yang dilakukan Pemda

DIY.

1. Primer: respon dan

tanggapan Sultan HB

X diperoleh melalui

wawancara dengan Ika

Ayu yang sempat

beberapa kali

melakukan audiensi

dengan Sultan HB X

2. Sekuder: karena

kendala yang dialami

peneliti, dilakukan

melalui olah data

sekunder melalui

media online nasional

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

73

yaitu tempo.co,

news.viva.co.id, dll

7. Kemenag DIY:

Kepala Kanwil

Kemenag DIY,

Pak Nizar dan

Kepala Divisi

Hukum dan KUB

Kemenag DIY,

Pak Fauzi.

Peneliti mencari tahu apa

yang dilakukan oleh

Kemenag DIY dalam

membina ormas Islam yang

radikal.

1.Primer: informasi

didapatkan dari

sosialisasi yang

disampaikan oleh Pak

Nizar dan sesi tanya

jawab sosialisasi

kebijakan dengan

media yang dilakukan

Kemenag DIY pada

tanggal 15 April 2015

2.Sekunder: power

point presentasi

kebijakan Kemenag

DIY dalam mengelola

kerukunan antar umat

beragama yang

diberikan oleh Pak

Fauzi, Kepala Divisi

Hukum dan KUB

Kemenag DIY.

8. Polda DIY: Data yang diperoleh adalah 1.Primer: depth

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

74

Kompol Hasan

Rusyadi, S. Ag

(Kanit C Subdit 3

Ditintelkam Polda

DIY) dan Pak

Suyatno (Kanit A

Subdit 3

Ditintelkam Polda

DIY)

terkait bagaimana respon

Polda DIY dalam kasus

penyerangan diskusi Irshad

Manji Di DIY.

interview dengan

Kompol Hasan dan

Kompol Suyatno

Subdit 3 Ditintelkam

Polda DIY pada 14

April 2015.

2. Sekunder:

Penelitian

Perlindungan Polisi

terhadap Kaum

Minoritas dan

Pelayanan Publik di

Wilayah Polda DIY

(PUSHAM UII,2013)

*)diolah oleh peneliti

Untuk mendapat data yang lebih mendalam, peneliti mewawancarai

informan pendukung, yakni:

Tabel 3. Informan Pendukung* No. Informan Data yang diperoleh Sumber data

1. Ombudsman RI

Perwakilan DIY:

Pak Jaka, asisten

Data yang diperoleh adalah

terkait bagaimana kinerja

Polda DIY dalam kasus ini

Primer: depth

interview dengan Pak

Jaka yang menjadi

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

75

dalam pengurusan

kasus ini.

yang ditemukan oleh

Ombudsman dan bagaimana

melihat kasus ini dari

perspektif hukum.

asisten dalam

mengawal kasus ini di

Ombudsman RI

Perwakilan DIY pada

1 Mei 2015.

2. Polisi Polda Metro

Jaya: Armyanto

Nur Setiawan

Data yang diperoleh adalah

tentang tata cara

penyelenggaraan diskusi

menurut kepolisian

Primer: wawancara

dengan Armyanto Nur

Setiawan pada 14

Maret 2015.

*)diolah oleh peneliti

1.6.6. Penentuan Subjek Penelitian

Penelitian ini dalam menentukan subjek penelitian atau informan akan

menggunakan teknik sampling snowball. Teknik sampling snowball mengandung

pengertian bahwa dengan menggunakan teknik ini, peneliti akan mendapatkan

informasi tentang informan-informan lain dari informan yang menjadi key person

utama dalam penelitian ini, dan begitu seterusnya.

1.6.7. Hambatan Penelitian

Hambatan yang dirasakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini

adalah pertama, salah satu dari informan kunci yang berasal dari LKiS sudah

berdomisili di luar negeri, yaitu Siti Jazila Habibah (anggota LKiS), sehingga

wawancara dilakukan melalui media sosial facebook. Kedua, peserta diskusi Dian

Paramita juga sulit ditemui karena keterbatasan peneliti, sehingga peneliti hanya

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

76

bisa menghubungi melalui akun media sosial, twitter miliknya. Namun, untuk

menjamin validitas informasi yang diberikan oleh peserta diskusi, Dian Paramita,

peneliti mengkonfirmasi kembali informasi yang diperoleh dengan pihak panitia

penyelenggara diskusi, yaitu Azzah (anggota LKiS). Ketiga, kesulitan peneliti

untuk dapat mewawancarai dari pihak Pemda DIY, khususnya respon Sultan

Hamengku Buwono X, peneliti menggunakan analisis dari media online berita

nasional yaitu tempo.co dan news.viva.co.id melalui pertimbangan peneliti dan

rekomendasi sejumlah informan dari LKiS yang melihat kedua media cukup utuh

dalam mengabarkan berita terkait kasus tersebut. Keempat, karena faktor belum

tuntasnya proses hukum dalam kasus ini, izin penelitian yang dilakukan oleh

peneliti di Polda DIY hanya bisa tembus pada bagian Intelkam Polda DIY.

Padahal untuk dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam terkait

perkembangan kasus, peneliti perlu mewawancarai pihak reskrim Polda DIY.

Namun demikian, untuk menutupi kekurangan atau hambatan tersebut peneliti

menggunakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan oleh PUSHAM UII

(2013) tentang sikap dan perilaku Polda DIY dalam melakukan pengusutan kasus

ini. Kelima, pada saat mencari informasi di Kemenag DIY, peneliti hanya bisa

mengikuti sosialisasi kebijakan Kemenag DIY dengan media dan menggali

informasi melalui sesi tanya jawab yang diberikan. Peneliti sebenarnya ingin

mewawancari Kepala Divisi Hukum dan KUB Kemenag DIY, tetapi pihak yang

bersangkutan sulit ditemui dan hanya bisa memperoleh data sekunder dari pihak

divisi Hukum dan KUB. Keenam, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari

informan dari MMI Yogyakarta di Kotagede yang benar-benar terlibat pada saat

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

77

kejadian penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu, sehingga

peneliti hanya bisa menggali pendapat dari anggota MMI yang ada di tempat,

namun tidak bisa menggali secara mendalam karena pihaknya tidak bersedia

dimintai pendapatnya lebih jauh terkait kejadian tahun 2012 tersebut. Sehingga,

peneliti hanya menggunakan pendapat dari MMI melalui pernyataan Irfan S.

Awwas dalam publikasi acara ‘Indonesia Lawyers Club’ di Youtube.

1.6.8. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan nantinya akan dianalisis secara deskriptif.

Teknik analisis deskriptif yang dimaksud adalah teknik yang mendeskripsikan

pengalaman advokasi yang dilakukan LKiS dalam isu penegakan dan

perlindungan HAM, khususnya dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di

LKiS dan respon para aktor yang terlibat dalam kasus tersebut. Berikut

merupakan tahapan yang akan dilakukan peneliti dalam melakukan studi

fenomenologi mengacu pada Creswell (1998:54) dan Moustakas (1994:235)

dalam Hasbiansyah (2008:171-172)15

2. Data yang telah terkumpul akan dianalisis oleh peneliti menggunakan

pendekatan fenomenologi. Pada tahap awal, peneliti mendeskripsikan sepenuhnya

fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Seluruh rekaman hasil wawancara

:

1. Peneliti mengumpulkan data dari para aktor yang terlibat dalam kasus ini.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data ini diperoleh melalui

depth interview.

15 Hasbiansyah, O.2008.Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Ilmu Sosial dan Komunikasi. Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 1, Juni 2008. Hal 171-172

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85747/potongan/S1-2015-312246...adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi

78

ditranskripkan ke dalam bahasa tulisan. Pada tahap kedua disebut tahap

horizonalitazation, maksudnya dari hasil transkrip wawancara, peneliti

menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik

penelitian. Dalam hal ini, subyektivitas peneliti harus dikesampingkan dari data

penelitian yang telah diperoleh. Pada tahap selanjutnya disebut cluster of

meaning, maksudnya, peneliti mengklasifikasikan pernyataan-pernyataan hasil

penelitian tadi ke dalam tema atau unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang

tumpang tindih. Pada tahap ini peneliti melakukan (a) textural description, yaitu

peneliti menuliskan deskripsi tentang apa yang dialami informan, (b) structural

description, yaitu peneliti menuliskan bagaimana fenomena tersebut dialami oleh

para informan. Peneliti juga bisa mencari segala makna yang mungkin

berdasarkan refleksi peneliti sendiri, berupa opini, penilaian, perasaan, dan

harapan subyek penelitian tentang fenomena yang dialaminya. Tahap terakhir

yaitu deskripsi esensi yaitu peneliti membangun dekripsi menyeluruh mengenai

makna dan esensi pengalaman para subjek.

Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/