22
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 1998, pasca runtuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki
era reformasi yang membuka peluang demokratisasi oleh negara. Implikasinya
adalah fenomena menguatnya civil society organization (CSO) atau organisasi
masyarakat sipil, termasuk media, untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan negara. Ruang publik yang sebelumnya dibatasi oleh sikap dan
perilaku otoriter pemerintah, sejak tahun 1998 hingga saat ini terbuka bagi seluruh
entitas negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. CSO sebagai
bagian dari entitas negara saat ini memiliki ruang untuk melakukan kebebasan
berekspresi, berpikir, dan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi
yang berlaku.
Civil society menurut Alexis de Tocqueville dalam Rahmat (2003:15)
dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang negara. Civil society memiliki
kekuatan politis yang dapat mengontrol intervensi negara karena peranannya
sebagai sumber input dalam proses politik bernegara dengan sistem demokrasi.
Sementara itu, civil society memiliki dimensi kultural sehingga membuatnya juga
dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri
kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian ketika
berhadapan dengan negara. Artinya, keberadaan civil society penting dalam proses
demokratisasi di Indonesia karena peranannya sebagai penghubung antara warga
negara dengan pemerintah, fungsinya sebagai mitra ktitis pemerintah, sekaligus
dimensi kultural yang dimilikinya membuat keberadaannya dalam hubungan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
politik dengan negara tetap berorientasi pada kepentingan publik. CSO yang
berkembang di Indonesia sejak era reformasi dapat dilihat dalam bentuk
organisasi, perkumpulan, paguyuban, LSM, ormas Islam, dan kelompok
kepentingan lainnya yang aktif dalam mengadvokasi dan mengawal isu-isu
kenegaraan dengan memiliki ciri-ciri berhadapan dengan negara, swadaya
(menghimpun kekuatan sendiri), swasembada (mencukupi kebutuhan sendiri)
(Otho, H, 2010:118).
Fenomena menguatnya peran CSO dalam pembangunan dapat dimaknai
dari dua sisi. Sisi pertama secara positif menguntungkan bagi kelompok-
kelompok minoritas dan rentan yang sebelumnya terpinggirkan dan sulit
mendapatkan akses pelayanan publik di pemerintahan menjadi lebih diperhatikan
dan diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat sipil yang memiliki prinsip
memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM). Sisi lain secara negatif dimaknai
sebagai peluang tumbuhnya gerakan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan
tertentu untuk ‘menghancurkan’ sistem demokrasi itu sendiri. Kelompok-
kelompok ini disebut sebagai kelompok intoleran atau Sidney Jones (2015:6)
mengatakan sebagai masyarakat madani intoleran. Kelompok intoleran ini
memanfaatkan peluang demokrasi justru untuk melemahkan nilai-nilai demokrasi
dan menggunakan kekerasan dan intimidasi sebagai taktik advokasi (Jones,
2015:6). Contohnya adalah organisasi keagamaan fundamentalis-radikal yang
berusaha untuk mempertahankan identitas kolektif atau keyakinan mereka dengan
cara apapun. Keberadaan kelompok ini memang harus diakui sebagai bagian dari
proses demokratisasi itu sendiri dan keberadaannya tidak bisa dihalang-halangi.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
Jika keberadaan mereka dibatasi, artinya terjadi pembatasan hak asasi mereka
sebagai warga negara.
Fenomena menguatnya organisasi masyarakat keagamaan yang
fundamentalis-radikal pasca reformasi sebagai produk hasil reformasi yang tidak
bisa dianggap remeh. Fenomena tersebut menurut Najib Azca (2013:17) dalam
tulisannya berjudul “Yang Muda, Yang Radikal” terjadi karena (1) dinamika
sosial politik di fase awal transisi ditandai dengan tingginya derajat gejolak dan
ketidakpastian dan (2) transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki
genealogi pada periode awal kemerdekaan (memiliki akar histori pada Masyumi
dan Darul Islam). Najib Azca (2013:18) juga mengemukakan terdapat tiga varian
gerakan keagamaan Islam yang berkembang pesat pasca reformasi, yaitu (1)
aktivisme Islam jihadi, (2) saleh/salafi, dan (3) politik. Gerakan jihadi memiliki
karakteristik menjustifikasi penggunaan kekerasan dan terorisme untuk mencapai
tujuan politiknya, yaitu mendirikan struktur pemerintahan Islam (Azca, 2013:18).
Contoh gerakan ini adalah Jamaah Islamiyah, NII, dan sebagainya. Gerakan
saleh/salafi memiliki karakteristik memfokuskan diri pada dimensi akhlak,
kemurnian iman, dan identitas keislaman, serta tidak begitu tertarik untuk
mencapai kekuasaan politik (Azca, 2013:18). Varian gerakan terakhir ialah
gerakan Islam poltik yang memiliki karakteristik terlibat dalam proses politik,
baik secara langsung maupun tidak langsung, serta bekerja di dalam kerangka
konstitusi kenegaraan (Azca, 2013:18). Menurut varian gerakan kelompok ini
berpartisipasi dalam proses politik di bawah sistem demokrasi adalah absah dan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
perlu, termasuk dalam rangka memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam
(Azca, 2013:18).
Fenomena menguatnya gerakan Islam fundamentalis-radikal pasca
reformasi menuntut keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk
merespon fenomena tersebut. Pasalnya, gerakan tersebut tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan dan problem dalam masyarakat. Tidak jarang juga
hak-hak asasi warga negara terenggut karena gerakan tersebut melakukan aksi
main hakim sendiri dalam menentukan hal yang benar dan salah. Pemerintah perlu
bersikap dan berperilaku selayaknya sesuai tugas, wewenang, dan fungsi
pemerintah yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 berlandaskan ideologi
Pancasila.
Pada hakikatnya, sistem demokrasi menuntut keterlibatan aktif masing-
masing entitas negara. Oleh karena itu, keberadaan pemerintah harus kuat dalam
melindungi masing-masing entitas negara tetap pada jalur yang benar sesuai
dengan konstitusi dan hukum yang berlaku, dan juga peran CSO toleran dan
berdaya memperjuangkan dan mengadvokasi isu penegakan dan perlindungan
HAM bagi warga negara. Pemerintah yang kuat dapat memberikan pelayanan
publik yang baik kepada masyarakat (Ruhana, 2010:7). Di sisi lain, CSO yang
toleran dan berdaya akan mendinamisasi perubahan untuk berjalannya tugas dan
fungsi pemerintahan yang baik, melalui peran kritisnya sebagai mitra kritis
pembangunan dan balancing power bagi pemerintah (Ruhana, 2010:7).
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Fenomena Pelanggaran HAM di DIY oleh Sekelompok Ormas Islam
Fundamentalis-Radikal: Kasus Penyerangan Diskusi Irshad Manji di
LKiS Tahun 2012
Tanggal 9 Mei 2012 menjadi momen penting dalam proses pendewasaan
sistem demokrasi yang terjadi di Indonesia, khususnya DIY. Pasalnya telah terjadi
aksi intoleran yang dilakukan oleh sekelompok ormas Islam fundamentalis-radikal
yang mengatasnamakan masyarakat sekitar di Yayasan LKiS, Bantul. Aksi yang
dilakukan adalah pembubaran paksa sekaligus penyerangan terhadap kegiatan
diskusi rutin LKiS reboan yang menghadirkan sosok yang dianggap oleh
kelompok tersebut kontroversial (Irshad Manji) dan hal ini pun memunculkan
sejumlah isu di masyarakat luas. Penyerangan tersebut mengakibatkan tujuh orang
terluka, lima orang di antaranya perempuan dan dua orang laki-laki. Peristiwa ini
menjadi preseden buruk bagi aparat kepolisian dan konteks masyarakat
Yogyakarta yang terkenal toleran terhadap pluralisme, menjunjung tinggi budaya
dan nilai-nilai akademik.
Diskusi Irshad Manji yang bertempat di LKiS merupakan hasil kerjasama
antara Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dengan anggota jaringannya, yaitu
LKiS. JPY mengadakan diskusi tersebut lantaran dahulu pada tahun 2008, JPY
pernah bertemu dengan Irshad Manji dalam tur buku pertamanya berjudul “The
Trouble with Islam Today”. Atas dasar tersebut, ketika mengetahui bahwa Irshad
Manji datang ke Indonesia melalui tur buku keduanya berjudul “Allah, Liberty,
and Love”, JPY berinisiatif untuk mengontak Irshad Manji yang kebetulan juga
akan mengunjungi Yogyakarta karena ada jadwal diskusi dan launching buku di
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
CRCS UGM. Diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan reaksi spontan JPY ketika
mengetahui kedatangan Irshad Manji dan kebetulan di LKiS terdapat diskusi rutin
bernama “reboan”. Oleh karena itu, JPY mengundang Irshad Manji dalam diskusi
rutin tersebut untuk sharing dan temu kangen. Konsep acara diskusi di LKiS
sendiri merupakan diskusi rutin yang didatangi oleh teman-teman LSM, baik
akademisi, mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sekitar. Peserta yang hadir pada
waktu itu sekitar 15-20 jaringan (PUSHAM UII, 2013:80).
LKiS ketika mendapat ancaman dan teror dari ormas Islam, yakni Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), mengaku kaget karena diskusi ini merupakan diskusi
rutin dan tidak mengandung unsur-unsur penyebaran paham tertentu atau
brainwash peserta yang hadir. Semua orang boleh datang ke diskusi tersebut,
tanpa harus setuju ataupun tidak setuju. Ketika MMI memaksa LKiS
membatalkan diskusi tersebut, LKiS menganjurkan bahwa lebih baik MMI
bersama teman-teman datang dan menolak ide dan gagasan Irshad Manji secara
langsung. Akan tetapi, MMI tidak mau dan mengancam jika diskusi tidak
dibatalkan, maka pihaknya akan melakukan aksi kekerasan. Mengetahui hal
tersebut, pihak LKiS dan JPY bersikeras bahwa pihaknya harus
menyelenggarakan diskusi tersebut karena kebebasan berpikir, berekspresi, dan
berpendapat telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, jika pihaknya
menggagalkan berarti pihaknya juga telah melanggar hak orang lain untuk
mendengar dan beraspirasi terhadap pemikiran Irshad Manji.
Pada saat diskusi berlangsung, MMI bersama ormas lslam lain melakukan
pembubaran paksa, penyerangan terhadap peserta, dan pengrusakan gedung LKiS.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
Kedatangan mereka langsung diwarnai aksi penyerangan, tanpa mengajak dialog
terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara. Mereka memaksa masuk dengan
membuka paksa gerbang LKiS dan mencari sosok Irshad Manji. Selain itu,
mereka juga menyakiti peserta diskusi dengan alat-alat keras, dan melakukan
pengrusakan aset, seperti kaca gedung, monitor komputer, piring, dan buku-buku.
Aksi intoleran tersebut dilakukan secara leluasa oleh ratusan orang dari
ormas Islam tanpa adanya penjagaan dari pihak kepolisian maupun pihak
keamanan setempat. Ketidakhadiran aparat kepolisian untuk melindungi dan
mengamankan peserta terjadi lantaran LKiS tidak memperoleh izin untuk
penyelenggaraan diskusi oleh pihak kepolisian setempat. Menurut salah satu pihak
penyelenggara sekaligus aktivis LSM DIY, Tri Wahyu, mengatakan bahwa
sebenarnya pihak penyelenggara telah melakukan pemberitahuan informal kepada
Kapolda DIY, tetapi Kepala Satuan Intel Polres Bantul, Sutikno mengaku polisi
tidak mengetahui terkait penyelenggaraan diskusi di LKiS1. Pernyataan Tri
Wahyu pun disepakati oleh Direktur LKiS, Farid Wajidi yang sempat menelepon
aparat kepolisian setempat terkait penyelenggaraan diskusi tersebut. Namun,
pihak kepolisian yang dihubungi oleh Farid Wajidi mengatakan lebih baik tidak
mengadakan, dan apabila tetap dilaksanakan dan terjadi demonstrasi, pihak
kepolisian tidak bisa menjamin keamanannya2
.
1http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402825/Buntut-Diskusi-Irshad-Manji-Majelis-Mujahidin-Serang-LKiS, dipublikasikan pada Rabu, 9 Mei 2012 pukul 21:44 WIB 2 Diolah dari program TV Indonesia Lawyers Club, bertajuk ‘Lady Gaga Vs. FPI’ dipublikasikan di youtube.com pada tanggal 16 Mei 2012
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Pelanggaran HAM: Ancaman Terhadap Kebebasan Berpikir dan
Berpendapat
Kasus pembubaran paksa dan penyerangan terhadap peserta dalam diskusi
Irshad Manji di LKiS lalu menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi
manusia untuk berpikir dan berpendapat. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi
III DPR menilai terlepas dari sosok Irshad Manji yang kontroversial, Irshad Manji
adalah tamu sah negara dan masuk secara legal, sehingga negara memiliki
kewajiban untuk melindunginya3
3 http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-irshad-manji-kapolri-harus-bertanggung-jawab.html , dipublikasikan pada Senin, 7 Mei 2012, pukul 10:26 WIB
. Sosok Irshad Manji sebagai lesbian sehingga
ormas Islam menganggap bahwa Irshad Manji tidak pantas diberi ruang untuk
berbicara, apalagi pandangannya terkait agama yang dianutnya, tentunya tidak
bisa dijadikan alat untuk lantas menggagalkan, sekaligus menyerang diskusi
tersebut. Apakah karena sosok Irshad Manji berbeda, lesbian, lantas dirinya tidak
memiliki kesempatan untuk berbicara dan berpendapat nampaknya akan selalu
menuai perdebatan di masyarakat asli Jawa yang masih tabu dalam memandang
homoseksual, apalagi dirinya juga merupakan Muslim di mana homoseksual tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam. Akan tetapi, terlepas dari substansi permasalahan
tersebut, telah terjadi tindak pidana dalam kasus tersebut, terdapat tujuh korban
luka-luka. Penolakan terhadap penyelenggaran diskusi sah-sah saja dilakukan,
tetapi tindakan anarkis terhadap peserta diskusi yang hadir, dan tidak semua
peserta tersebut juga setuju dengan gaya pemikiran Irshad Manji, tentu tidak dapat
dibenarkan.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Selain itu, pengabaran berita melalui media memainkan peran penting
dalam konstruksi wacana publik mengenai kelompok minoritas dan rentan, seperti
Irshad Manji (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Idealnya, media seharusnya
mengambil posisi untuk menyediakan keseimbangan gagasan, atau setidaknya
menyediakan ruang wacana bagi kemungkinan (atau ketidakmungkinan) hidup
bersama (Nugroho, Nugraha et al., 2012:65). Akan tetapi, dalam banyak kasus
LGBT, media sebagai elemen penting dalam demokrasi, cenderung memilih
untuk bungkam (Nugroho, Nugraha et al., 2012:66). Dalam hal ini, media lebih
banyak memposisikan sosok Irshad Manji yang lesbian, sehingga pantas untuk
ditolak, daripada sebagai individu yang menjadi korban penyerangan.
Penggambaran dan pembingkaian berita yang keliru oleh media, serta kehadiran
kelompok-kelompok Islam radikal diduga sebagai penyebab yang mendorong
meningkatnya homofobia di lingkungan masyarakat (Nugroho, Nugraha et al.,
2012:65). Implikasinya, hal itu dapat memperburuk situasi ketidakadilan terhadap
kelompok LGBT. Berangkat dari hal tersebut, terdapat indikasi bahwa kurangnya
dukungan media terhadap isu HAM, khususnya kasus Irshad Manji ini dapat
mempengaruhi pengambilan kebijakan atau keputusan publik yang nantinya bias
atau mendiskriminasikan kelompok tertentu.
Peraturan hukum yang berlaku di Indonesia mengacu pada UUD 1945
hasil amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 1945 telah mengatur tiga
ketentuan yang secara khusus dan eksplisit dalam memberikan jaminan
perlindungan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pertama, pasal 28
mengatakan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Kedua, pasal 28 E ayat 3 mengatakan “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ketiga, pasal 28 F
mengatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal ini
berarti kebebasan berekspresi, berpikir, dan berpendapat merupakan hak
konstitusional setiap warga negara yang tidak dapat diganggu gugat. Artinya,
peserta yang hadir dalam diskusi pun memiliki hak untuk memperoleh,
mendengarkan, dan mengolah gagasan yang dikatakan Irshad Manji dan
menyampaikan kesetujuan maupun ketidaksetujuaanya kepada Irshad Manji,
tanpa harus dihalang-halangi oleh orang lain. Hal ini juga berlaku bagi kelompok
minoritas dan rentan, seperti kelompok LGBT. Demokrasi menuntut adanya peran
serta publik, publik yang dimaknai tidak hanya mayoritas, tetapi juga minoritas
dan rentan, termasuk LGBT. Oleh karena itu, tindakan anarkis yang dilakukan
oleh ormas Islam terhadap peserta yang menjadi korban tidak dibenarkan dalam
konstitusi dan merupakan tindakan pidana yang perlu diselesaikan melalui proses
hukum.
Upaya Advokasi LKiS dalam Menegakkan dan Memenuhi HAM
Warga Negara
Advokasi ialah serangkaian aktivitas yang diselenggarakan dalam rangka
mempengaruhi para penganbil kebijakan dalam merumuskan suatu kebijakan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
publik. Serangkaian aktivitas advokasi ini menjadi penting dalam upaya
menegakkan dan memenuhi hak asasi warga negara, sehingga keputusan atau
kebijakan publik yang diambil oleh para pemangku kepentingan, tidak
mendiskriminasikan suatu kelompok atau golongan tertentu.
Adanya kasus penyerangan tersebut tidak hanya membuat resah warga
sekitar yayasan LKiS, tetapi juga hak-hak korban yang terenggut. Kasus ini pun
juga menyita perhatian publik secara luas karena isu-isu yang banyak
bermunculan pada kasus ini melalui pemberitaan media yang cenderung tidak
berimbang. DIY dengan keistimewaannya sebagai daerah berbudaya, toleran
terhadap keberagaman, dan sekaligus daerah yang menjunjung tinggi iklim
akademik menjadi terciderai dengan adanya kasus tersebut.
LKiS merupakan salah satu CSO di DIY yang bernuansa Islam liberal dari
kalangan tradisional NU yang muncul pasca reformasi. Sebagai CSO di DIY,
LKiS bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat dan juga
pencerdasan masyarakat, pengkajian, dan penyikapan isu-isu strategis. Oleh
karena itu, menyikapi kasus pembubaran diskusi Irshad Manji, LKiS terus
mengadvokasikan pengusutan kasus ini secara tuntas kepada pemerintah dan
aparat kepolisian, pengembalian citra DIY yang toleran terhadap keberagaman
kepada masyarakat sekitar, dan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya
didapatkan oleh kelompok minoritas dan rentan, termasuk korban penyerangan.
Upaya advokasi LKiS dalam memperjuangkan penegakan dan perlindungan HAM
bagi masyarakat tidak dilakukan secara sendirian. LKiS memiliki jaringan dan
koalisi untuk mencapai tujuan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LKiS,
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
meliputi advokasi kepada masyarakat melalui edukasi, advokasi kebijakan kepada
pemerintah daerah DIY dan Polda DIY, dan advokasi kasus melalui
pengorganisasian masyarakat dan jaringan seperti LBH, Komnas HAM, dan
Ombudsman DIY.
Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin memaparkan
pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS kepada masyarakat dan
pemerintah dalam menegakkan dan melindungi HAM melalui kasus penyerangan
diskusi Irshad Manji di LKiS pada tahun 2012 lalu. Selain itu, peneliti juga ingin
memaparkan respon pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan media dalam
menaggapi kasus tersebut. Hal itu dirasa penting karena dalam studi administrasi
negara, perwujudan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik,
memerlukan partisipasi dari ketiga pilar yaitu pemerintah, bisnis, dan civil society,
termasuk media. Sehingga, dengan adanya penggambaran respon pemerintah
daerah, aparat kepolisian, dan media terkait kasus ini dapat menggambarkan
apakah pemerintah daerah dan aparat kepolisian memiliki komitmen dan
keseriusan yang tinggi dalam mengusut kasus, melindungi dan menegakkan HAM
bagi masyarakat DIY, dan apakah relasi di antara civil society dan pemerintah
daerah telah terbangun cukup baik dalam melindungi dan menegakkan HAM bagi
masyarakat DIY, serta sejauh mana keberpihakan media terhadap kelompok
minoritas dan rentan (LGBT).
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
1.2. Rumusan Masalah
Kasus penyerangan terhadap diskusi Irshad Manji di LKiS merupakan
preseden buruk bagi konteks masyarakat DIY yang dulunya terkenal toleran
terhadap keberagaman dan kebebasan yang dijunjung tinggi. Tiga tahun setelah
terjadinya kasus tersebut, LKiS telah melakukan upaya advokasi baik kepada
masyarakat maupun kepada pemerintah untuk menuntut pengusutan kasus
tersebut secara tuntas, sebagai bentuk komitmen LKiS sebagai CSO yang
bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak asasi masyarakat. Oleh karena itu,
penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah yaitu, “Bagaimana
pengalaman LKiS dalam melakukan advokasi terhadap isu penegakan dan
perlindungan HAM dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS
pada tahun 2012 kepada masyarakat dan pemerintah daerah, termasuk
aparat kepolisian?” Dalam upaya menjawab pertanyaan besar tersebut,
penelitian ini akan turut menjelaskan:
1. Bagaimana respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian dalam
menanggapi kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS?
2. Bagaimana relasi antara LKiS sebagai CSO dengan pemerintah daerah
dalam menegakkan dan melindungi HAM bagi masyarakat DIY?
3. Bagaimana respon media melalui surat kabar online nasional dan Islam
radikal dalam mengabarkan dan merespon kasus penyerangan terhadap peserta
diskusi Irshad Manji di LKiS?
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
1.3. Tujuan dan Siginifikansi Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan advokasi yang
dilakukan oleh CSO, yakni LKiS, dalam mengawal isu penegakan dan
perlindungan HAM melalui kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS.
CSO merupakan salah satu pilar dari demokrasi sehingga kontribusinya
diperlukan dalam melindungi dan memperjuangkan HAM bagi warga negara.
Selain itu, penelitian ini juga ingin menggambarkan bagaimana respon pemerintah
daerah, termasuk aparat kepolisian dalam kasus tersebut, sehingga nantinya dapat
dilihat sejauh mana komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam
menegakkan dan melindungi hak asasi masyarakat, dan relasi antara CSO (LKIS)
dengan pemerintah daerah dalam mengawal isu HAM, serta apakah media cukup
netral dalam mengabarkan isu kelompok minoritas dan rentan (LGBT), seperti
Irshad Manji.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan kontribusi
bagi ilmu administrasi negara, seperti teori kepublikan yang memandang publik
secara luas, tidak hanya publik yang didefinisikan sebagai ruang pemerintah,
tetapi juga aktor bisnis dan masyarakat sipil; teori ilmu sosial dasar yang
membahas tentang civil society; dan teori advokasi kebijakan yang membahas
tentang serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk membela dan
memperjuangkan kelompok minoritas dan rentan yang tereksklusi secara sosial
dan politik, dan juga mempengaruhi pemerintah agar tidak membuat kebijakan
yang non-diskriminatif.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Adapun signifikansi dari penelitian ini terhadap jurusan Administrasi
Negara (Manajemen dan Kebijakan publik) adalah studi CSO sebagai salah satu
pilar dalam good governance yang sama penting kedudukannya dengan
pemerintah dan sektor bisnis dalam memberikan pelayanan publik, dalam hal ini
melalui advokasi pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi masyarakat.
1.4. Kerangka Berpikir
Dwiyanto (2004:17) menyebutkan fenomena munculnya aktor non-
pemerintah dalam aktivitas pembangunan negara atau biasa disebut dengan
fenomena governance bodies mulai berkembang di Indonesia semenjak era orde
baru berakhir. Era reformasi sebagai momentum arah pembangunan negara
Indonesia yang lebih demokratis membuka peluang bagi masuknya CSO dalam
memajukan pembangunan nasional. Hal tersebut membuat pemerintah tidak lagi
menjadi aktor tunggal dalam aktivitas pembangunan negara, melainkan terdapat
dan terbangun relasi antara pemerintah dan non-pemerintah dalam mewujudkan
public purposes.
Keterlibatan aktor non-pemerintah dalam aktivitas pembangunan negara
merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan good governance. LAN
(2000) dalam Nugroho D. (2003:221) mendefinisikan good governance sebagai
penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan
efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-
domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini artinya, masyarakat atau
warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung
maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya (Nugroho
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
D, 2003:221). Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi
dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Nugroho D, 2003:220).
Selain itu, prinsip good governace juga mensyaratkan adanya rule of law, artinya
kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama
hukum untuk hak asasi manusia (Nugroho D, 2003:220).
Peran CSO menjadi penting dalam pembangunan negara karena
pemerintah perlu aktor lain dalam mengawal isu yang terjadi di masyarakat,
khususnya isu HAM. Meskipun setiap manusia memiliki hak dan kewajiban
sebagai warga negara, tetapi masih terdapat individu-individu yang haknya belum
terpenuhi, meski kewajibannya telah terpenuhi. Pengawalan isu ini dilakukan oleh
CSO melalui upaya advokasi, baik ke masyarakat maupun ke pemerintah.
Serangkaian kegiatan advokasi diperlukan untuk menghindari praktik-praktik
pemerintah dalam membuat keputusan publik yang diskriminatif.
Media juga berperan penting dalam sistem demokrasi. Fungsi media
idealnya adalah sebagai sumber informasi dan fakta, serta pencerdasan bagi
masyarakat. Media dalam era demokrasi dapat digunakan sebagai alat pengawas
atau kontrol bagi para pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan atau
keputusan publik. Media yang baik dapat berguna bagi pendukung proses
pengambilan keputusan atau kebijakan agar tidak diskriminatif.
Melihat kasus penyerangan terhadap peserta diskusi Irshad Manji di LKiS
pada tahun 2012 lalu, LKiS telah melakukan advokasi baik kepada masyarakat
dan juga kepada pemerintah untuk menghindari terjadinya perumusan kebijakan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
atau keputusan publik yang bersifat diskriminatif dalam kasus penyerangan
diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012. LKiS menginginkan pemerintah, baik
itu pemerintah daerah maupun aparat kepolisian, untuk bertindak selayaknya
pemerintah, tidak memihak dan melakukan tugas, fungsi, dan wewenangnya
secara benar, sehingga pengusutan kasus bisa dilaksanakan sesuai dengan
konstitusi yang berlaku. Tanpa melihat sosok Irshad Manji yang kontroversial,
pemerintah tetap harus mengusut kasus tersebut hingga tuntas karena telah terjadi
tindak pidana yang harus diselesaikan melalui proses hukum sebagai upaya dari
penegakan dan perlindungan HAM sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, terdapat
indikasi bahwa advokasi yang dilakukan LKiS sebagai CSO tidak akan cukup
kuat untuk menekan pemerintah, jika tidak ada dukungan media dalam mengawal
kasus ini. Oleh karena itu, dalam menuntut pengusutan kasus ini oleh LKiS
diperlukan hubungan sinergi yang dibangun dengan media karena selama ini
banyak kasus mendapat perhatian pemerintah karena dukungan media yang kuat.
Advokasi yang dilakukan oleh LKiS adalah advokasi kebijakan yang
artinya dilakukan melalui pengorganisasian masyarakat, negosiasi, dan desakan
massa (demonstrasi) untuk memperjuangkan pengusutan tuntas kasus dan hak-hak
peserta diskusi yang menjadi korban dalam kasus pembubaran diskusi Irshad
Manji di LKiS. Berikut merupakan skema dalam menggambarkan pengalaman
LKiS dalam mengadvokasi isu HAM kepada masyarakat dan pemerintah daerah
dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu:
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
Gambar 1.Skema Kerangka Berpikir Penelitian*
*) diolah oleh peneliti
Dalam hal ini, penulis ingin menggambarkan upaya LKiS mengadvokasi
tentang pentingnya isu penegakan dan perlindungan HAM dengan mengambil
contoh kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS kepada dua aktor, antara
lain masyarakat umum dan pemerintah daerah (termasuk aparat kepolisian).
Bentuk advokasi kepada masyarakat dilakukan melalui edukasi masyarakat yang
menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang tidak
bisa dibatasi oleh siapapun, termasuk pemerintah. Dalam melakukan advokasi
kepada masyarakat, secara tidak langsung terjadi proses negosiasi antara LKiS
dengan warga masyarakat terkait pentingnya kebebasan atas hak berpikir,
berpendapat, dan berekspresi. Berkaca pada kasus penyerangan Irshad Manji di
LKiS pada tahun 2012, LKiS ingin merundingkan dan mengajak masyarakat
untuk menekan pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk melindungi dan
menegakkan HAM melalui pengusutan tuntas kasus penyerangan terhadap peserta
diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, keberadaan media juga diharapkan
Media
LKiS
Pemerintah Daerah dan Polda DIY
Masyarakat
Keputusan publik non-
diskriminatif
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
dapat mengabarkan fakta dan memberikan pencerdasan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat menjadi tergerak untuk mengawal kasus ini. Demand yang
dimaksud pada skema di atas adalah perlindungan HAM dan penegakan hukum
dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS. Sementara itu, support
yang dimaksud dalam skema di atas adalah pemerintah daerah dan aparat
kepolisian memiliki sensitivitas dan pemahaman bahwa kasus ini penting untuk
diusut tuntas yang dilihat dari respon pemerintah daerah dan aparat kepolisian. Di
sisi lain, LKiS juga melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah dan
aparat kepolisian untuk segera menuntaskan kasus tersebut karena tindak pidana
merupakan pelanggaran HAM dan aparat kepolisian harus mengusut tuntas kasus
tanpa memihak kelompok atau golongan tertentu, sesuai dengan konstitusi yang
berlaku. Output yang dihasilkan dari advokasi yang dilakukan LKiS dan
dukungan media yang kuat adalah action dari pemerintah daerah dan aparat
kepolisian untuk membuat kebijakan maupun keputusan publik yang tidak
diskriminatif.
1.5. Konsep Penelitian
1.5.1. Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Governance
Ilmu administrasi publik sebagai ilmu governance melihat bahwa peran
pemerintah dalam tata kelola negara menjadi tidak begitu dominan. Konsep
publik dalam administrasi publik tidak lagi diartikan secara kelembagaan, tetapi
lebih pada orientasi dan nilai-nilai publicness (Dwiyanto, 2004:9). Birokrasi
pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam proses kebijakan. Perkembangan
ilmu administrasi publik tersebut semakin menguatkan terwujudnya democratic
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
governance di Indonesia, di mana lembaga non-pemerintah seperti, asosiasi
sukarela dan civil society atau masyarakat sipil sama-sama memiliki misi yang
sama dengan lembaga pemerintah untuk mewujudkan publicness.
Dwiyanto (2004:9) menyebutkan di Indonesia terjadi fenomena di mana
banyak lembaga non-pemerintahan yang juga menjalankan misi dan fungsi yang
dulunya secara tradisional dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, justru
banyak birokrasi publik yang memproduksi barang dan jasa privat. Munculnya
fenomena governance bodies (lembaga non-pemerintah diberi kewenangan untuk
mengambil kebijakan) tersebut menunjukkan bahwa proses kebijakan, baik
formulasi maupun implementasinya, yang berkembang sekarang ini tidak selalu
terjadi di lembaga pemerintah, tetapi juga di lembaga non-pemerintah (Dwiyanto,
2004). Fenomena governance bodies ini salah satunya dapat dilihat dari
keterlibatan civil society dalam kegiatan pembangunan.
Gambar 2. Skema Hubungan CSO dengan Pemda DIY
Sumber: diolah oleh peneliti
Pemda DIY
(Sultan HB X)
CSO Pluralis
CSO Anti Pluralis
Masyarakat Awam
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
Pada gambar 1.5.1 menunjukkan pola hubungan antara elemen civil
society, baik yang pluralis maupun anti pluralis dengan pemerintah daerah yang
melakukan take and give. Civil society sebagai salah satu pilar pengokoh
demokrasi perannya sangat penting sebagai penyeimbang negara. Tocquivele
dalam Ruhana (2010:200) menegaskan pentingnya peran civil society dalam
kehidupan bernegara dan meyakini civil society cukup otonom dan subordinan,
serta mempunyai kapasitas politik cukup tinggi untuk mengimbangi kekuatan
negara. Dwiyanto (2004:17) menyebutkan proses perumusan kebijakan publik di
era demokrasi juga perlu melibatkan peran aktor non-negara seperti civil society
karena mereka memiliki informasi, pengalaman, dan tacit knowledge yang lebih
baik daripada pemerintah sebagai pemegang otoritas yang sah. Sehingga, semakin
banyak governance bodies dalam kegiatan bernegara dapat meningkatkan kualitas
penyelenggaraan public affairs dan public interest yang lebih baik.
Keberadaan CSO pluralis dengan anti pluralis kenyataannya sering tidak
akur dalam kegiatan bernegara. CSO pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti
LKiS yang memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan islam inklusif
yang bergerak bersama dengan jaringan-jaringan yang dihimpunnya. Sedangkan,
CSO anti pluralis dalam hal ini dapat dilihat seperti ormas Islam fundamentalis-
radikal yang memperjuangkan identitas kolektifnya dengan cara apapun,
contohnya MMI. Kepentingan kelompok di antara kedua CSO ini jelas-jelas
bertentangan dan keduanya pun saling menekan pemerintah daerah untuk
mendapatkan kepentingannya. CSO pluralis melakukan advokasi dan menekan
Sultan HB X untuk menciptakan masyarakat Yogyakarta yang toleran dan anti
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
kekerasan dalam hal apapun, sedangkan CSO anti pluralis juga menekan Sultan
HB X untuk menerapkan syariat Islam atau nilai-nilai Islam murni dalam
kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sultan sebagai Pemda DIY harus mampu
menempatkan dirinya sebagai kepala pemerintahan DIY secara bijak dan adil,
sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta yang terkenal toleran dan
pluralis. Hal ini karena jika hal ini tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
kegamangan yang berpotensi pada perpecahan masyarakat awam Yogyakarta dan
berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa
dan toleran.
Good Governance
Praktik keterlibatan tiga aktor dalam kehidupan bernegara tersebut
merupakan prasyarat dalam mewujudkan good governance di Indonesia. Good
governance memiliki makna sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik,
bukan kepemerintahan yang baik (Nugroho D., 2003:208). Namun dalam
praktiknya, di Indonesia, government yang memahami dirinya sebagai pemerintah
mempunyai kecenderungan untuk bertindak sebagai penguasa daripada pelayan
(Nugroho D., 2003:208). Hal ini bisa dilihat dari buruknya public services dari
birokrasi. Padahal good governance, mensyaratkan pemerintah memiliki
semangat sebagai abdi masyarakat, bukan abdi kekuasaan (Nugroho D.,
2003:208).
World bank dalam Nugroho D. (2003:218), mendefinisikan karakteristik
good governance, yaitu “an efficient public service, an independent judicial
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
system and legal framework to enforce contracts; the accountable administration
of public funds; an independent public auditor, responsible to a representative
legislature; respect for law and human rights at all levels of government; a
pluralistic institutional structure; and free press”. Hal ini artinya untuk
mewujudkan good governance¸ terdapat aspek-aspek yang harus dipenuhi seperti
yang telah disebutkan di atas. Untuk lebih memahami karakteristik good
governance, berikut sembilan karakteristik yang harus dipenuhi (Nugroho D.,
2003:219):
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi
keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar
kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi secara
langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus
dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan
harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur-prosedur.
6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan
mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik
dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai
persepektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan
jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan
semacam ini.
Terkait dengan isu penegakan dan perlindungan HAM, tampak jelas
bahwa good governance mendukung adanya praktik itu. Pertama, karakteristik
participation, berarti masyarakat melalui CSO memiliki hak secara legal untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, mencerdaskan masyarakat,
berpartisipasi aktif dalam memberikan pemikiran konstruktif bagi pemerintah
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
dalam menjalankan tugas dan fungsinya melalui serangkaian aktivitas advokasi
kepada masyarakat umum dan juga advokasi kebijakan kepada pemerintah.
Kedua, adanya rule of law, penulis memahami bahwa praktik hukum yang
berlaku di Indonesia harus berlaku secara adil dan tidak memihak sesuai dengan
kontitusi yang berlaku. Pelanggaran terhadap praktik pemenuhan HAM bagi
setiap warga negara tidak dapat dibenarkan, apalagi terjadi tindak pidana. Ketiga,
responsiveness. Pemerintah sebagai garda terdepan harus responsif dalam
menanggapi dan menyelesaikan masalah publik. Pemerintah harus bertindak
selayaknya pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang
diamanatkan oleh undang-undang. Seringkali, pemerintah tidak bertindak
responsif karena terlalu banyak menghitung untung-rugi dalam menyelesaikan
permasalahan publik, sehingga justru mengorbankan kepentingan dan hak-hak
masyarakat. Keempat, equity. Hal ini berarti, semua warga negara, tanpa
terkecuali berhak mendapatkan akses pelayanan publik dan pemenuhan apa yang
menjadi haknya sebagai warga negara, tanpa ada usaha dihalang-halangi,
diimbangi dengan pemenuhan kewajiban sebagai warga negara, dan pemerintah
wajib menjamin itu. Kelima, effectiveness dan efficiency, karakteristik ini melihat
bahwa pemerintah harus menghasilkan suatu keputusan dan kebijakan publik
yang memang telah diamanatkan oleh konstitusi dengan menggunakan segala
sumber terbaik yang ada. Keenam, accountability. Hal ini penting karena
pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dapat
dipertanggungjawabkan di mata publik. Ketujuh, terkait strategic vision,
pemerintah harus memiliki visi strategis ke depan karena seiring berkembangnya
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
zaman, tuntutan publik akan semakin meluas, sehingga memerlukan visi dan misi
pemerintah yang tajam ke depan. Kedelapan, transparency, dibutuhkan dalam
setiap penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang harus transparan dan publik
dapat mengakses informasi akan hal tersebut sebagai bentuk kontrol.
Kesembilan, yakni consensus orientation, artinya adanya pengutamaan
konsensus ini pilihan-pilihan yang akan diambil negara akan mempertimbangkan
kelompok-kelompok yang ada, sehingga keputusan yang bersifat diskriminatif
dapat dihindari. Untuk memenuhi, menegakkan, dan melindungi praktik HAM
diperlukan karakteristik good governance dalam praktik pemerintahan di era
demokrasi sekarang ini, antara lain kesembilan prinsip-prinsip good governance
yang sudah dijelaskan di atas.
1.5.2. Dinamika Perkembangan Konsep Civil Society di Eropa
Pemahaman konsep civil society selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Istilah civil society atau masyarakat sipil pertama kali muncul pada zaman
renaissance atau pada masa kebangkitan Eropa. Thomas Hobbes (1588-1679)
dalam teori kontrak sosial melihat kemunculan konsep civil society yang bermula
pada sekumpulan manusia pada kondisi alamiahnya memiliki hasrat untuk
menguasai manusia lain, sehingga manusia membuat kondisi di mana manusia
mempercayakan hak yang mereka miliki pada lembaga yang diberikan kedaulatan
penuh untuk menjaga kesepakatan (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Pemegang
kedaulatan ini berhak memerintah demi keselamatan masyarakat sendiri dan
mereka tidak dapat diganggu gugat. Hal inilah yang dinamakan kontrak sosial,
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
artinya bukan kontrak yang terjadi antara penguasa dan yang dikuasai, melainkan
kontrak antara masyarakat sendiri (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132).
George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831) dalam bukunya yang
berjudul Philosopy and Right, menempatkan negara (dalam hal ini dilihat sebagai
pemerintah) dan civil society dalam kerangka dialektika, yaitu keluarga sebagai
tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis, dan negara sebagai sintesis (Wibawa dan
Pradhikna, 2011:132). Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari
adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja. Negara dalam hal
ini berperan sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat sipil yang
melaksanakan fungsinya melalui hukum untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
tiap individu (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Hal ini membuat Karl Marx
(1818-1883) melihat civil society tidak lebih dari masyarakat borjuis. Marx
menganggap negara semata-mata alat bagi masyarakat borjuis untuk
melanggengkan kekuasaan atas kaum buruh (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132).
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Adam Ferguson (1723-1816),
Thomas Paine (737-1809), dan Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang melihat
civil society sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan
pluralisme (Wibawa dan Pradhikna, 2011:132). Konsep civil society menurut
Alexis de Tocquile tersebut banyak digunakan sebagai acuan di Indonesia melihat
Indonesia yang sedang berproses menuju masa demokrasi yang dewasa.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
Tabel 1Perkembangan Makna Civil Society di Eropa Menurut Para Ahli*
*) diolah oleh peneliti
Berdasarkan, pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society
yang berkembang di Eropa, Konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville
yang paling pas menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia pasca
reformasi. Civil society di Indonesia banyak berkembang setelah rezim orde baru
berakhir. Pada saat itu, era reformasi berlangsung, di mana masyarakat tidak lagi
terkungkung oleh rezim pemerintah yang otoriter. Masyarakat memiliki ruang
Thomas Hobbes (1588-1679)
Kondisi di mana manusia menguasai manusia lain, sehingga perlu adanya kontrak sosial untuk mengatur hal tersebut.
George Wilhelm Frederich Hegel (1770-1831)
Civil society adalah masyarakat yang bekerja dilihat dari adanya pembagian kelas sosial berdasarkan pembagian kerja.
Karl Marx (1818-1883)
Civil society = masyarakat borjuis
Alexis de Tocquile (1805-1859)
Civil society sebagai prasyarat mewujudkan masyarakat demokratis.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
untuk bebas berpendapat dan turut serta dalam dalam kemajuan pembangunan
sesuai asas-asas demokrasi.
1.5.3. Konsep Civil society di Indonesia
Pekembangan konsep civil society juga terjadi di Indonesia. Nurcholis
Madjid memiliki pemikiran bahwa civil society diterjemahkan sebagai
masyarakat madani. Pemikiran ini dicetuskannya melihat pengalaman masyarakat
madinah di masa Nabi Muhammad SAW. Civil society dilihat sebagai suatu
masyarakat yang dipenuhi nilai-nilai keadaban dengan ciri-ciri egalitarianisme,
penghargaan kepada orang yang berprestasi, keterbukaan dan partisipasi warga
secara aktif, kepatuhan terhadap norma dan hukum, toleransi, pluralisme,
musyawarah dan penegakan hukum serta keadilan (Rahmat, 2003:18)4
Paulus Wirotomo (2001) dalam Rahmat (2003:18) mengembangkan
konsep civil society menjadi masyarakat adab yang yang tidak hanya memberikan
posisi warga negara yang lebih mandiri terhadap negara, tidak hanya budaya
demokrasi yang menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi juga
menekankan pembenahan moral pada hubungannya dengan antar warga negara itu
sendiri dan nilai-nilai kerukunan yang menghasilkan sikap kepedulian di antara
warga negara
.
5
Civil society menurut Sumarto (2003:5) dalam Rahmat (2003:18) dapat
diartikan sebagai kumpulan institusi atau organisasi di luar pemerintah dan sektor
.
4 Nucholis Madjid (1996) dalam Tesis Rahmat, Abdi.2003.Peran LSM dalam penguatan civil society di Indonesia studi kasus Walhi.Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Indonesia. hal. 18 5 Ibid. hal. 18
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan
bergerak6
Berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli terkait konsep civil society
yang berkembang di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa civil society merupakan
sekumpulan masyarakat beradab yang memiliki ciri-ciri terbuka, berpartisipasi
secara aktif dalam kegiatan bernegara, mandiri dari campur tangan pemerintah,
memperjuangkan hak-hak individu, dan turut serta dalam memajukan
pembangunan. Civil society di sini dapat disebut sebagai mitra kritis pemerintah,
sekaligus balancing power dalam menentukan arah kebijakan pembangunan ke
depan. Keberadaannya pun bersifat penting karena posisinya sebagai
penyeimbang hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan aktor bisnis.
Civil society yang dapat berupa LSM, organisasi non-pemerintah, organisasi
masyakarakat akar rumput, dan asosiasi lainnya dapat dimanfaatkan sebagai
modal sosial dalam menentukan arah kebijakan bersama pemerintah dalam
mekanisme kerja sama yang fleksibel.
. Komponen-komponen civil society antara lain, LSM, organisasi non-
pemerintah, institusi masyarakat di akar rumput, media, institusi pendidikan,
asosiasi profesi, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Keberadaan civil society
yang kuat dan aktif dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dapat
menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah dan privat, sehingga kebijakan
yang akan dirumuskan nantinya dapat mengakomodasi pandangan masing-masing
pihak. Proses kebijakan yang terjadi pun menjadi lebih partisipatoris, transparan,
dan akuntabel (Rahmat, 2003:18).
6 Ibid.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
1.5.4. Definisi Civil Society
Melihat fenomena menguatnya civil society di Indonesia pasca reformasi,
konsep civil society menurut Alexis de Tocqueville dilihat penulis sebagai konsep
yang menggambarkan eksistensi civil society di Indonesia. Civil society menurut
Alexis de Tocqueville diartikan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang negara.
Hal ini karena civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengontrol
intervensi negara. Civil society tidak bisa dipisahkan dengan hubungan poltik
karena pada dasarnya civil society merupakan sumber input dalam proses-proses
politik bernegara dengan sistem demokrasi. Civil society dipahami sebagai
wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan,
keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian dalam berhadapan dengan
negara (Rahmat, 2003:19). Tocqueville juga menekankan adanya dimensi kultural
dalam civil society, sehingga civil society dapat berperan sebagai kekuatan
penyeimbang, yaitu keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap norma dan nilai
hukum yang yang dipatuhi oleh warganya (Rahmat, 2003:19). Adanya dimensi
kultural dalam civil society membuat keberadaannya dalam hubungan politik tetap
berorientasi pada kepentingan publik.
Konsep civil society menurut Tocqueville tersebut mendukung definisi
civil society menurut Alison Van Rooy (1998) dalam Feulner (2001:44)
memberikan terdapat enam poin penting definisi civil society, meliputi (1) civil
society as values and norms, (2) civil society as collective nouns, (3) civil society
as a space of action, (4) civil society as historical moment, (5) civil society as
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
anti-hegemony, dan (6) civil society as anti-state7
Kondisi sosial dan politik di Indonesia semenjak bangkitnya era reformasi
dengan sistem demokrasi memerlukan keberadaan civil society yang kuat sebagai
penyeimbang hubungan antar negara dengan warga negara. Civil society
memperjuangkan kebebasan individu dalam berekspresi dan bernegara, tetapi juga
perlu disertai dengan rasa tanggung jawab antar diri setiap individu. Civil society
menolak intervensi negara, tetapi tetap membutuhkan negara dalam mewujudkan
cita-cita politis demi kepentingan publik bersama dan sebagai penengah konflik
dalam konteks internal dan eksternalnya(Rahmat, 2003:19). Civil society juga
. Pada enam poin definisi yang
dikemukan oleh Alison van rooy, munculnya istilah civil society dapat dilihat
sebagai momen kebangkitan di mana society merupakan sebuah nilai dan norma
baru tentang aksi kolektif yang merupakan bentuk perlawanan terhadap negara
dan pasar. Adanya civil society dicita-citakan sebagai kondisi untuk mewujudkan
bentuk negara yang optimal.
Berdasarkan ulasan pendapat ahli di atas, merujuk pada situasi dan kondisi
politik di Indonesia, civil society dapat didefinisikan sebagai suatu kekuatan
kolektif, norma dan nilai baru dalam masyarakat sebagai bentuk kebangkitannya
melawan rezim otoriter. Civil society mengedepankan prinsip bebas dari campur
tangan politik negara dan mandiri dalam bertindak. Pemerintah dilihat tidak lagi
memiliki dominasi kekuatan dalam kegiatan bernegara, meskipun pemerintah
memiliki otoritas yang sah secara hukum.
7 Working paper UNSFIR: Consolidating Democracy in Indonesia: Contributions of Civil society and State, Part One: Civil society. Penulis:Frank Feulner (2001) Hal. 44
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
menolak intervensi pasar yang berlebihan (Rahmat, 2003:19). Peran civil society
di sini turut menjadi agen kontrol kegiatan pasar yang justru kadang dapat
merugikan warga masyarakat. Demi mewujudkan keharmonisan hubungan dalam
bernegara antara pemerintah, bisnis, dan kelompok-kelompok masyarakat yang
beragam diperlukan civil society yang kuat, bebas dari segala macam bentuk
kepentingan, baik politik maupun ekonomi.
1.5.5. Fungsi-fungsi civil society di Indonesia
Menurut Feulner (2001:9) dalam papernya berjudul “Consolidating
Democracy in Indonesia: Contributions of Civil society and State”,
mengemukakan terdapat lima fungsi dasar keberadaan civil society di Indonesia,
antara lain:
1. Civil society merupakan platform independen untuk melakukan
diskusi dalam rangka merumuskan ide-ide alternatif bagi pemerintah,
bisnis, dan masyarakat. Kedudukan organisasi civil society penting
karena merupakan sarana untuk memobilisasi dan mengumpulkan
kepentingan, keprihatinan, dan kebutuhan masing-masing dari kelompok
masyarakat, bisnis, dan pemerintah dan selanjutnya dibawa untuk
dikomunikasikan kepada pemegang kekuasaan atau perwakilan politik
yang ada.
2. Civil society melakukan monitoring dan sebagai agen watchdog.
Organisasi-organisasi civil society diperlukan untuk membantu dalam
mengawasi dan mengontrol institusi-institusi negara dan juga praktik
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
55
regulasi dan hukum. Dalam hal ini, organisasi-organisasi seperti media dan
kelompok pengawas HAM harus berada di garda terdepan dalam
menjalankan fungsi ini.
3. Civil society sebagai advokasi dan penasihat legal. Civil society harus
aktif dalam menjalankan fungsi ini yaitu melakukan advokasi dan
memberikan nasihat legal terhadap isu-isu terkait HAM dan hukum
terhadap warga negara. Target utama dalam hal ini adalah pekerja dan
komunitas kurang mampu. Bagaimanapun, organisasi civil society yang
aktif dalam bidang ini harus juga ikut serta dalam menjamin terpenuhinya
hak-hak standar bagi setiap warga negara indonesia dan memelihara nilai-
nilai kewarganegaraan.
4. Civil society berkontribusi pada bidang penelitian, pendidikan, dan
resolusi konflik. Organisasi civil society dapat memfasilitasi mediasi
dalam persoalan konflik sosial, agama, dan kepentingan budaya. Aktivitas
rekonsiliasi, penelitian, dan pendidikan dapat membantu mengurangi
terjadinya konflik dan mencari jalan resolusi konflik terbaik. Mekanisme
komunitas dan memainkan peran utama dalam hal stabilisasi dan mediasi
konflik.
5. Fungsi civil society dalam peningkatan kesejahteraan dan
pelayanan kesehatan. Civil society harus menjalankan fungsi yang kuat
dalam bidang kemanusiaan dan sosial, termasuk peningkatan
kesejahteraan, pelayanan kesehatan, pelayanan bagi pensiunan, dan bagi
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
56
kalangan kurang mampu. Fungsi ini sangat dibutuhkan khususnya bagi
negara yang sedang mengalami transisi atas sistem pemerintahan dan
keterlibatan civil society sangat dibutuhkan sampai pemerintah dapat
menyediakan strategi-strategi yang efisien dalam menyelesaikan isu-isu
sosial.
Kelima fungsi ini perlu diterapkan oleh organisasi-organisasi civil society di
Indonesia melihat kedudukannya sebagai penengah atau mediator hubungan
antara negara dengan masyarakat dalam sistem demokrasi.
1.5.6. Karakteristik Civil Society
Konsep civil society dalam sistem demokrasi lebih dilihat sebagai sesuatu
yang otonom atau mandiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa civil society
yang bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi, perkumpulan, organisasi
keagamaan, LSM, paguyuban, dan kelompok kepentingan lainnya ini dapat dilihat
sebagai suatu entitas yang mampu memajukan diri sendiri, dapat membatasi
intervensi pemerintah dan negara dalam realitas yang diciptakannya, dan
senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik (Otho H.,
2010:118). Karakteristik dari civil society menurut Otho H. (2010:118) pun dapat
dilihat dalam tiga aspek, yaitu aspek otonomi politik yang berhadapan dengan
negara, aspek keswadayaan (menghimpun kekuatan sendiri), dan aspek
keswasembadaan (mencukupi kebutuhan sendiri).
Civil society meskipun memiliki karakteristik mandiri, swadaya,
swasembada, bebas campur tangan dari pemerintah, melakukan pemberdayaan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
57
dan memihak kepada kepentingan masyarakat tanpa mengharapkan dukungan
politik, tidak lantas membuat civil society yang ada di Indonesia benar-benar
bersifat independen. Berdasarkan sejarahnya, di Indonesia, civil society dalam
bentuk LSM ada yang merupakan bentukan pemerintah dan ada yang tidak. LSM
bentukan pemerintah cenderung dibentuk untuk menggalang kepentingan politik
tertentu. Selain itu, terdapat juga LSM yang berkerja sama dengan lembaga donor
atau mitra funding. Hal ini karena permasalahan utama yang ditemui LSM pada
umumnya adalah terkait dana. Sehingga, dalam melakukan gerakan, LSM ini
membutuhkan mitra yang fokus pada hal yang sama. Oleh karena itu, di
Indonesia, tidak semua LSM benar-benar independen dan bebas dari afiliasi
kepentingan manapun.
Dalam hal ini, LKiS sebagai LSM termasuk dalam kategori LSM yang
hidup dari lembaga donor dan bebas campur tangan politik pemerintah. LKiS
memiliki jaringan dengan mitra funding dalam melakukan program pemberdayaan
masyarakatnya yang bekerja sama dengan The Asia Foundation dan lembaga
donor lainnya. LKiS juga sering dalam mengkritik pemerintah melalui kritik yang
membangun dan mengawal perumusan kebijakan di level pemerintah daerah
sebagai bentuk kontrol CSO kepada pemerintah.
1.5.7. Advokasi Kebijakan
Definisi Advokasi menurut Margaret Schuler (1995) adalah sejumlah
tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu dan
mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi juga
berisi aktifitas-aktifitas legal dan politik yang dapat mempengaruhi bentuk dan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
58
praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir,
digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta
mobilisasi8. Sementara itu, menurut Socorro Reyes (1997) advokasi adalah aksi
strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat
bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan
merugikan masyarakat9
Advokasi dalam kebijakan publik menyangkut tentang bagaimana
menyuarakan, membela, memajukan kepentingan dan mencari dukungan
berkenaan dengan suatu kebijakan publik tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dari
advokasi kebijakan ialah persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan
kebijakan yang ada. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang dilakukan
adalah memperkuat posisi tawar menawar atau bargaining position melalui
penyadaran kelompok atau komunitas, pemberdayaan, pemberian bantuan hukum
.
Dapat disimpulkan dari kedua pendapat ahli di atas, advokasi adalah
sejumlah aktifitas strategis yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat
akan isu tertentu dan mempengaruhi pemangku kepentingan untuk menciptakan
kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat luas, tidak diskriminatif,
melalui upaya pengorganisian masyarakat atau mobilisasi.
8 Margaret Schuler. Human Rights Manual. 1995 dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum 9 Soccorro Reyes, 1997,Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development dikutip dari materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 28 Februari 2013 disampaikan oleh Bu Ambar Widaningrum
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
59
yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan masyarakat yang akan
dibela, lobby, serta negosiasi10
Advokasi kebijakan tidak hanya berguna bagi pihak yang diperjuangkan,
tetapi juga bagi pemangku kepentingan atau pembuat kebijakan karena mereka
membutuhkan (1) informasi yang berkaitan dengan isu-isu yang ada dalam
masyarakat, (2) opini publik dan konstituen, dan (3) bahan masukan yang
membantu proses pembuatan peraturan
.
11
2. Strategi persuasi. Penggunaan strategi ini, CSO bertindak seperti sebuah
kelompok penekan untuk mendesak perubahan-perubahan kebijakan dan
.
Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:344), terdapat beberapa
strategi yang dapat dilakukan CSO dalam melakukan advokasi kebijakan, antara
lain:
1. Strategi Edukasi. Strategi ini adalah di mana CSO mencoba untuk
memberi pemerintah banyak informasi, analisis, dan alternatif kebijakan.
CSO juga mendidik pemerintah dengan menciptakan dan menguji
pendekatan pembangunan yang inovatif yang dapat ditiru oleh negara.
Pendidikan dilakukan melalui lokakarya, konferensi, kunjungan-
kunjungan fisik dan prakarsa proyek-proyek percontohan. Strategi ini
dapat pula menargetkan kelompok-kelompok lain, selain pemerintah
misalnya masyarakat umum, media, dan CSO lain atau anggota komunitas.
10 Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum 11 Disampaikan pada saat materi kuliah Advokasi Kebijakan pada tanggal 12 Maret 2013 oleh Bu Ambar Widaningrum
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
60
menunjukkan dukungan publik. Idenya di sini ialah bahwa meyakinkan
pemerintah bahwa CSO mendukung kebijakan atau perubahan kebijakan,
perlu diakui dan ditegakkan menjadi undang-undang. Persuasi dilakukan
melalui berbagai cara yang mencakup rapat-rapat, lokakarya, konferensi,
undangan ke tempat, melobi, demo, dan pemogokan. Tujuan utamanya
adalah menyajikan informasi kepada pemerintah yang dapat mengubah
sikap pemerintah atau arah kebijakan.
Upaya advokasi tidak akan berhasil dengan efektif, jika pelaku advokasi
tidak secara matang mengidentifikasi aktor, baik itu sebagai pelaku advokasi
dengan membangun koalisi atau jaringan, maupun target sasaran advokasi.
Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005:83), terdapat beberapa kategori
stakeholders dalam konsep advokasi, yaitu target advokasi, target oposisi,
organisasi dan konstituen mereka, dan sekutu-sekutu. Target advokasi adalah
orang-orang yang ingin dipengaruhi oleh suatu kelompok agar mereka mau
mendukung tujuan-tujuan kebijakan kelompok itu. Dalam hal ini, target advokasi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu primer (mereka yang memiliki kekuasaan
langsung untuk memberi apa yang dikehendaki kelompok) dan sekunder (mereka
yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan atau primer) (Ritu R.
Sharma, 2004:67). Target oposisi adalah orang yang oleh CSO diketahui sebagai
lawan mereka dalam isu tertentu atau juga bisa dikatakan sebagai orang yang
memiliki kekuasaan dan ingin menghentikan kelompok dalam mencapai tujuan
advokasi mereka (Miller dan Covey, 2005:84). Organisasi dan konstituen adalah
orang-orang yang berperan dalam menganalisis kekuatan, kelemahan, dan
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
61
kekuasaan mereka sendiri dan konstituen mereka atau bisa dikatakan mereka yang
melakukan strategi advokasi (Miller dan Covey, 2005:85). Terakhir, sekutu adalah
orang dan kelompok yang memiliki cukup banyak kepentingan pada isu CSO
hingga bergabung dengannya dalam aliansi atau koalisi. Aliansi yang kuat dan
bertanggung jawab biasanya merupakan alat paling efektif untuk mendapat
kemenangan kebijakan sebab aliansi tersebut dapat menghimpun kekuasaan dan
pengaruh yang perlu bagi perubahan (Miller dan Covey, 2005:86).
1.5.8. Negosiasi
Rangkaian kegiatan advokasi kebijakan juga tidak lepas dari negosiasi.
Negosiasi yang dimaksud adalah upaya mendialogkan kepada pihak-pihak yang
bertentangan terkait sebuah isu atau masalah publik tertentu, sehingga nantinya
dapat ditentukan bagaimana arah perumusan kebijakan dan bagaimana kebijakan
akan diimplementasikan. Negosiasi juga dapat diartikan sebagai sebuah langkah
yang harus ditempuh untuk memadukan kepentingan para aktor yang berbeda
hingga mereka mencapai suatu tujuan yang sama demi terwujudnya kebutuhan
publik12
Negosiasi dalam advokasi kebijakan juga dapat dipahami sebagai
merundingkan atau membicarakan kemungkinan atas suatu kondisi untuk
disepakati dengan orang lain. Negosiasi di dalam advokasi kebijakan
keberadaannya cukup penting agar masing-masing aktor memiliki kesamaan
.
12 Pengertian ini diolah dari definisi Henry Kissinger (1969) yang mendefinisikan negosiasi sebagai “a process of combining conflicting positions into a common position, under a decision rule of unanimity” dalam Alfredson, Tanya dan Cungu, Azeta.2008.Negotiation Theory and Practice.Food and Arigulture Organization of The United Nation. Hal 12
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
62
persepsi dalam memandang suatu isu dan masalah publik, sehingga masing-
masing aktor dapat bersinergi satu sama lain dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada.
Negosiasi sebagai upaya mendialogkan untuk menyelesaikan
permasalahan dan mencapai kesepakatan dapat dilihat sebagai negosiasi dengan
teknik win-win atau menang-menang. Negosiasi dengan teknik menang-menang
dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu: (1) membina kepercayaan, (2) mencapai
rasa terikat atau komitmen, (3) mengatur perlawanan (Herb Cohen, 1986:173).
Secara lebih jauh akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Membina kepercayaan. Dalam suatu hubungan yang berkesinambungan,
semakin banyak kepercayaan yang didapatkan dari orang lain, maka
semakin banyak juga orang lain membenarkan keyakinan yang ada pada
diri seseorang (Cohen, 1986:173). Melalui hubungan saling percaya,
masing-masing pihak menaruh kepercayaan yang kuat. Hubungan saling
percaya ini merupakan sumber utama dalam negosiasi menang-menang.
Sehingga, peluang untuk mencapai suatu kesepakatan semakin tinggi.
2. Mencapai rasa terikat (komitmen). Maksudnya antara pihak yang
bernegosiasi harus mencapai rasa terikat karena kedua belah pihak saling
bergantung dan membutuhkan. Hal ini terjadi karena adanya persamaan
persepsi dan pola pikir dalam memandang suatu isu atau masalah publik.
Selain itu, pada tahap ini, masing-masing pihak memiliki tujuan yang
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
63
sama akan sesuatu. Tahap ini dapat dicapai, ketika masing-masing pihak
telah membangun hubungan saling percaya (Cohen, 1986:189)
3. Mengatur perlawanan atau oposisi. Dalam rangka memperoleh tujuan
yang diinginkan, CSO harus melawan oposisi. Hal ini bisa diartikan
sebagai sebuah kendala atau rintangan untuk mencapai suatu kesepakatan.
Oposisi atau lawan ada dalam dua bentuk, yaitu berupa pikiran dan
peraasaan. Pada dasarnya perbedaan antara seseorang dengan orang lain
adalah berdasar pada kedua hal tersebut (Cohen, 1986:196)
Dalam praktik advokasi kebijakan, negosiasi dapat dilakukan untuk
mencapai kesepakatan dalam menanggapi suatu isu publik. Adanya negosiasi
diperlukan agar pihak-pihak yang bernegosiasi memiliki kesamaan cara berpikir
dan perspektif dalam memandang sebuah isu, sehingga ada kemungkinan masing-
masing pihak yang bernegosiasi bergerak bersama untuk mengadvokasi atau
mengawal isu dan masalah publik yang butuh untuk dibela dan diperjuangkan
demi kepentingan masyarakat luas.
1.5.9. Relasi Antara CSO Dengan Pemerintah
Menurut Affan Gafar (2006:208) mengungkapkan relasi antara CSO (civil
society organization) dengan pemerintah tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan
sejarahnya hubungannya mengalami dinamika, dari yang awalnya cooperative
hingga conflictual. James V. Ryker dalam Gafar (2006) mengemukakan pola
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
64
hubungan antara CSO (seperti LSM) dengan pemerintah dapat terjadi pada lima
kondisi, yaitu13
:
1. autonomous begin neglect
Pada kondisi ini pemerintah tidak menganggap posisi CSO (seperti LSM)
sebagai ancaman dan tidak melakukan intervensi terhadap CSO, serta CSO
dapat bekerja secara mandiri dan independen;
2. facilitation/promotion
Pada kondisi ini, pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang
keberadaannya bersifat komplementer. Tugas pemerintah menyediakan
kondisi yang kondusif bagi beroperasinya CSO;
3. collaboration/cooperation
Pada kondisi ini, pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih
menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah;
4. cooptation/absobtion
Pada kondisi ini, pemerintah melakukan kontrol terhadap CSO, baik dalam
konteks programatik maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya
suplai finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO, dan
sebagainya;
13 Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 208
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
65
5. containment/sabotage/dissolution
Pada kondisi ini, pemerintah melihat CSO sebagai tantangan dan sekaligus
ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja CSO dan bahkan
sampai menindak.
Berdasarkan hal tersebut, relasi yang terbangun antara LKiS dengan pemerintah
daerah DIY adalah lebih kepada pola relasi autonomous begin neglect dan
collaboration. Hal ini karena pemda DIY memberikan ruang yang terbuka bagi
CSO-CSO yang ada di DIY untuk melakukan aktivitasnya dan justru membantu
pemerintah dalam mengawal suatu isu atau masalah publik yang terjadi di DIY.
Philip Elderige dalam Afan Gafar (2006:209) melihat konsep relasi LSM
dengan pemerintah yang dapat dilihat melalui tiga model pendekatan, yaitu:
1. high level partnership: grassroots partnership
LSM yang termasuk dalam kategori ini pada prinsipnya sangat partisipatif
dan kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan
pembangunan daripada advokasi. Kegiatan LSM pada kategori ini sama
sekali tidak bersinggungan dengan proses politik. Namun, LSM tersebut
memiliki perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah
dengan cara memberikan dorongan dan motivasi kepada pemerintah. LSM
jenis ini umumnya tidak begitu besar dan banyak bersifat lokal;
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
66
2. high level politics: grassroots mobilization
LSM dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam
kegiatan politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat,
baik dalam upaya perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu
kebijakan yang menjadi wilayah perhatiannya;
3. empowerment at the grassroots
LSM yang termasuk dalam kategori ini pusat perhatiannya terletak pada
usaha meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar
rumput akan hak-haknya. Dalam hal ini, LSM tidak berminat untuk
mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah dan percaya bahwa
perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas
masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah14
.
Ketiga pendekatan ini akan menggambarkan pola hubungan yang dibangun antara
LSM dengan pemerintah ke depannya. LSM yang menganut pendekatan high
level partnership, relasinya dengan pemerintah akan berupa dorongan dan
motivasi kepada pemerintah karena LSM ini fokus pada kegiatan pembangunan
daripada advokasi. Hal tersebut berbeda dengan LSM yang menganut pendekatan
high level politics. LSM tersebut cukup kuat dalam membangun relasi politik
dengan pemerintah karena orientasi LSM ini menempatkan dirinya sebagai
pembela rakyat dengan memanfaatkan akses politik yang dimilikinya.
14 Ibid. hal. 209
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
67
Peran yang dilakukan LSM sebagai aktor lembaga non-pemerintah
dilakukan sebagai reaksi atas ketidakmampuan pemerintah dalam mencapai public
purposes. Pemerintah sebagai aktor internal dalam pemerintahan seharusnya
mampu menciptakan nilai-nilai publicness dalam kehidupan bermasyarakat.
Kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah, diatasi oleh kehadiran civil society
yang bisa berbentuk LSM, jaringan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya
untuk menyelesaikan masalah bersama. Hal ini tampak nyata dengan yang
dilakukan oleh LKiS. LKiS sebagai CSO melakukan program-program yang
bertujuan untuk memberikan ruang bagi kelompok minoritas dan rentan yang
selama ini tereksklusi baik secara sosial dan politik. Kelompok-kelompok yang
selama ini belum terjangkau oleh pemerintah, berusaha dirangkul oleh LKiS
melalui advokasi yang dilakukannya baik di lingkup masyarakat, maupun di level
pemerintah agar pemerintah daerah tidak membuat keputusan atau kebijakan yang
diskriminatif bagi kelompok-kelompok tersebut.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, penelitian ini akan menggunakan
metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono
(2014:14) adalah metode penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah
dan peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Tujuan dari
penelitian menggunakan metode kualitatif adalah untuk mengeksplor lebih
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
68
mendalam terkait fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga data yang
diperoleh dapat menjadi jawaban atas permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Alasan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
karena peneliti ingin mengeksplor dan memahami secara lebih mendalam terkait
pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LKiS sebagai CSO dalam isu
penegakan dan perlindungan HAM, khususnya advokasi yang dilakukan dalam
mengawal kasus penyerangan diskusi buku Irshad Manji “Allah, Liberty, and
Love” di Yayasan LKiS, Bantul pada tanggal 9 Mei 2012
1.6.2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi pada studi kasus. Alasan penelitian ini menggunakan
fenomenologi pada kasus yang dikaji untuk melihat cara berpikir aktor, apa yang
dilakukan, strategi dan metode apa yang dilakukan, serta bagaimana respon
masing-masing aktor dalam menanggapi kasus tersebut.
1.6.3. Prosedur pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
depth interview. Depth interview dilakukan dengan orang-orang kunci atau key
person yang terlibat dalam kasus penyerangan diskusi bedah buku Irshad Manji di
LKiS pada tanggal 9 Mei 2012.
1.6.4. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lokasi
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
69
penelitian melalui depth interview. Data sekunder merupakan data-data yang
diperoleh dari hasil penelitian terkait yang dilakukan sebelumnya, buku, dan
media. Perlunya data sekunder ini berfungsi untuk mendukung data primer yang
bisa diperoleh saat melakukan depth interview.
1.6.5. Kebutuhan data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini melihat penelitian ini adalah
fenomenologi, sehingga diperoleh data terkait pengalaman dan respon masing-
masing aktor yang terlibat dalam kasus pembubaran diskusi Irshad Manji di
Yayasan LKiS, yaitu LKiS, JPY, Peserta Diskusi, Ketua RT 9 Kampung
Sorowajan, Anggota HTI, MMI, Pemda DIY, Kemenag DIY, dan Polda DIY.
Selain itu, untuk mendapatkan informasi pendukung, peneliti juga melakukan
wawancara dengan asisten dari Ombudsman RI Perwakilan DIY dan Polisi Polda
Metro Jaya. Berikut secara lebih jauh merupakan key person dan informan
pendukung yang menjadi sumber penelitian ini, yaitu:
Tabel 2. Informan (Key Person)* No. Informan Data yang diperoleh Sumber data
1. LSM: LKiS dan
JPY
Data yang diperoleh adalah
terkait pengalaman dan
respon LKiS dan JPY
sebagai penyelenggara
diskusi bedah buku Irshad
Manji. Dalam melihat
1. Primer: depth
interview dengan
Azzah (anggota LKiS)
pada 26 Februari 2015,
Hafizen (anggota
LKiS) pada 26 April
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
70
pengalaman dan respon
LSM tersebut, peneliti ingin
memaparkan sikap, cara
berpikir, metode yang
ditempuh, strategi dalam
melakukan advokasi baik
ke masyarakat maupun
pemerintah. Data ini
diperoleh melalui
wawancara kepada Azzah
(anggota LKiS), Hafizen
(anggota LKiS), Siti Jazila
Habibah (anggota LKiS),
dan Ika Ayu (anggota JPY)
2015, Habibah
(anggota LKiS), dan
Ika Ayu (anggota JPY)
pada 6 Maret 2015.
2. Sekunder:
-Penelitian
Perlindungan Polisi
terhadap Kaum
Minoritas dan
Pelayanan Publik di
Wilayah Polda DIY
(PUSHAM UII,2013)
-Buku Reorientasi
Pembaruan Islam,
Sekularisme,
Liberalisme, dan
Pluralisme Paradigma
Baru Islam di
Indonesia (Budhy
Munawar-Rachman,
2011)
- media online
nasional: tempo.co,
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
71
news.viva.co.id, dll
2. Peserta Diskusi:
Dian Paramita
Data yang diperoleh adalah
gambaran tentang kronologi
peristiwa pembubaran dan
penyerangan diskusi yang
dilakukan oleh Laskar
Islam.
Sekunder: informasi
terkait kronologi
kejadian diperoleh dari
informasi yang
diberikan Dian
Paramita melalui media
sosial twitter karena
keterbatasan peneliti.
3. Anggota HTI:
Siska
Data yang diperoleh adalah
tentang cara berpikir aktor:
mengapa menolak diskusi
dan tanggapannya tentang
sosok Irshad Manji.
Primer: depth interview
dengan Siska anggota
HTI aktif periode 2012
hingga sekarang pada 4
Maret 2015.
4. MMI:
Pimpinan MMI
yakni Irfan S.
Awwas
Data yang diperoleh adalah
tentang tanggapan pimpinan
MMI kejadian di LKiS
tahun 2012 lalu.
Sekunder: pernyataan
Irfan S. Awwas dalam
acara TV Indonesia
Lawyers Club bertajuk
‘Lady Gaga Vs. FPI’
yang dipublikasikan di
youtube.com tanggal
16 Mei 2012.
5. Ketua RT 9 Data yang diperoleh adalah Primer: depth interview
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
72
Kampung
Sorowajan: Pak
Arif
cara berpikir aktor dan
tanggapan aktor tentang
keberadaan LKiS sebagai
CSO yang berkontribusi
pada pemenuhan dan
perlindungan HAM, apa
yang dilakukan pada saat
terjadi penolakan diskusi
dari Laskar Islam
dengan Pak Arif yang
merupakan Ketua RT 9
aktif pada periode 2012
hingga sekarang pada
21 Mei 2015.
6. Pemerintah daerah
Provinsi DIY:
Sultan HB X
Data yang diperoleh adalah
respon dan tanggapan
Sultan HB X selaku
Gubernur DIY terkait kasus
tersebut, yaitu apa yang
dilakukan, upaya resolusi
konflik apa yang
ditawarkan, dan strategi apa
yang dilakukan Pemda
DIY.
1. Primer: respon dan
tanggapan Sultan HB
X diperoleh melalui
wawancara dengan Ika
Ayu yang sempat
beberapa kali
melakukan audiensi
dengan Sultan HB X
2. Sekuder: karena
kendala yang dialami
peneliti, dilakukan
melalui olah data
sekunder melalui
media online nasional
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
73
yaitu tempo.co,
news.viva.co.id, dll
7. Kemenag DIY:
Kepala Kanwil
Kemenag DIY,
Pak Nizar dan
Kepala Divisi
Hukum dan KUB
Kemenag DIY,
Pak Fauzi.
Peneliti mencari tahu apa
yang dilakukan oleh
Kemenag DIY dalam
membina ormas Islam yang
radikal.
1.Primer: informasi
didapatkan dari
sosialisasi yang
disampaikan oleh Pak
Nizar dan sesi tanya
jawab sosialisasi
kebijakan dengan
media yang dilakukan
Kemenag DIY pada
tanggal 15 April 2015
2.Sekunder: power
point presentasi
kebijakan Kemenag
DIY dalam mengelola
kerukunan antar umat
beragama yang
diberikan oleh Pak
Fauzi, Kepala Divisi
Hukum dan KUB
Kemenag DIY.
8. Polda DIY: Data yang diperoleh adalah 1.Primer: depth
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
74
Kompol Hasan
Rusyadi, S. Ag
(Kanit C Subdit 3
Ditintelkam Polda
DIY) dan Pak
Suyatno (Kanit A
Subdit 3
Ditintelkam Polda
DIY)
terkait bagaimana respon
Polda DIY dalam kasus
penyerangan diskusi Irshad
Manji Di DIY.
interview dengan
Kompol Hasan dan
Kompol Suyatno
Subdit 3 Ditintelkam
Polda DIY pada 14
April 2015.
2. Sekunder:
Penelitian
Perlindungan Polisi
terhadap Kaum
Minoritas dan
Pelayanan Publik di
Wilayah Polda DIY
(PUSHAM UII,2013)
*)diolah oleh peneliti
Untuk mendapat data yang lebih mendalam, peneliti mewawancarai
informan pendukung, yakni:
Tabel 3. Informan Pendukung* No. Informan Data yang diperoleh Sumber data
1. Ombudsman RI
Perwakilan DIY:
Pak Jaka, asisten
Data yang diperoleh adalah
terkait bagaimana kinerja
Polda DIY dalam kasus ini
Primer: depth
interview dengan Pak
Jaka yang menjadi
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
75
dalam pengurusan
kasus ini.
yang ditemukan oleh
Ombudsman dan bagaimana
melihat kasus ini dari
perspektif hukum.
asisten dalam
mengawal kasus ini di
Ombudsman RI
Perwakilan DIY pada
1 Mei 2015.
2. Polisi Polda Metro
Jaya: Armyanto
Nur Setiawan
Data yang diperoleh adalah
tentang tata cara
penyelenggaraan diskusi
menurut kepolisian
Primer: wawancara
dengan Armyanto Nur
Setiawan pada 14
Maret 2015.
*)diolah oleh peneliti
1.6.6. Penentuan Subjek Penelitian
Penelitian ini dalam menentukan subjek penelitian atau informan akan
menggunakan teknik sampling snowball. Teknik sampling snowball mengandung
pengertian bahwa dengan menggunakan teknik ini, peneliti akan mendapatkan
informasi tentang informan-informan lain dari informan yang menjadi key person
utama dalam penelitian ini, dan begitu seterusnya.
1.6.7. Hambatan Penelitian
Hambatan yang dirasakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah pertama, salah satu dari informan kunci yang berasal dari LKiS sudah
berdomisili di luar negeri, yaitu Siti Jazila Habibah (anggota LKiS), sehingga
wawancara dilakukan melalui media sosial facebook. Kedua, peserta diskusi Dian
Paramita juga sulit ditemui karena keterbatasan peneliti, sehingga peneliti hanya
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
76
bisa menghubungi melalui akun media sosial, twitter miliknya. Namun, untuk
menjamin validitas informasi yang diberikan oleh peserta diskusi, Dian Paramita,
peneliti mengkonfirmasi kembali informasi yang diperoleh dengan pihak panitia
penyelenggara diskusi, yaitu Azzah (anggota LKiS). Ketiga, kesulitan peneliti
untuk dapat mewawancarai dari pihak Pemda DIY, khususnya respon Sultan
Hamengku Buwono X, peneliti menggunakan analisis dari media online berita
nasional yaitu tempo.co dan news.viva.co.id melalui pertimbangan peneliti dan
rekomendasi sejumlah informan dari LKiS yang melihat kedua media cukup utuh
dalam mengabarkan berita terkait kasus tersebut. Keempat, karena faktor belum
tuntasnya proses hukum dalam kasus ini, izin penelitian yang dilakukan oleh
peneliti di Polda DIY hanya bisa tembus pada bagian Intelkam Polda DIY.
Padahal untuk dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam terkait
perkembangan kasus, peneliti perlu mewawancarai pihak reskrim Polda DIY.
Namun demikian, untuk menutupi kekurangan atau hambatan tersebut peneliti
menggunakan data sekunder dari penelitian yang dilakukan oleh PUSHAM UII
(2013) tentang sikap dan perilaku Polda DIY dalam melakukan pengusutan kasus
ini. Kelima, pada saat mencari informasi di Kemenag DIY, peneliti hanya bisa
mengikuti sosialisasi kebijakan Kemenag DIY dengan media dan menggali
informasi melalui sesi tanya jawab yang diberikan. Peneliti sebenarnya ingin
mewawancari Kepala Divisi Hukum dan KUB Kemenag DIY, tetapi pihak yang
bersangkutan sulit ditemui dan hanya bisa memperoleh data sekunder dari pihak
divisi Hukum dan KUB. Keenam, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari
informan dari MMI Yogyakarta di Kotagede yang benar-benar terlibat pada saat
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
77
kejadian penyerangan diskusi Irshad Manji di LKiS tahun 2012 lalu, sehingga
peneliti hanya bisa menggali pendapat dari anggota MMI yang ada di tempat,
namun tidak bisa menggali secara mendalam karena pihaknya tidak bersedia
dimintai pendapatnya lebih jauh terkait kejadian tahun 2012 tersebut. Sehingga,
peneliti hanya menggunakan pendapat dari MMI melalui pernyataan Irfan S.
Awwas dalam publikasi acara ‘Indonesia Lawyers Club’ di Youtube.
1.6.8. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan nantinya akan dianalisis secara deskriptif.
Teknik analisis deskriptif yang dimaksud adalah teknik yang mendeskripsikan
pengalaman advokasi yang dilakukan LKiS dalam isu penegakan dan
perlindungan HAM, khususnya dalam kasus penyerangan diskusi Irshad Manji di
LKiS dan respon para aktor yang terlibat dalam kasus tersebut. Berikut
merupakan tahapan yang akan dilakukan peneliti dalam melakukan studi
fenomenologi mengacu pada Creswell (1998:54) dan Moustakas (1994:235)
dalam Hasbiansyah (2008:171-172)15
2. Data yang telah terkumpul akan dianalisis oleh peneliti menggunakan
pendekatan fenomenologi. Pada tahap awal, peneliti mendeskripsikan sepenuhnya
fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Seluruh rekaman hasil wawancara
:
1. Peneliti mengumpulkan data dari para aktor yang terlibat dalam kasus ini.
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data ini diperoleh melalui
depth interview.
15 Hasbiansyah, O.2008.Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Ilmu Sosial dan Komunikasi. Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 1, Juni 2008. Hal 171-172
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
78
ditranskripkan ke dalam bahasa tulisan. Pada tahap kedua disebut tahap
horizonalitazation, maksudnya dari hasil transkrip wawancara, peneliti
menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik
penelitian. Dalam hal ini, subyektivitas peneliti harus dikesampingkan dari data
penelitian yang telah diperoleh. Pada tahap selanjutnya disebut cluster of
meaning, maksudnya, peneliti mengklasifikasikan pernyataan-pernyataan hasil
penelitian tadi ke dalam tema atau unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang
tumpang tindih. Pada tahap ini peneliti melakukan (a) textural description, yaitu
peneliti menuliskan deskripsi tentang apa yang dialami informan, (b) structural
description, yaitu peneliti menuliskan bagaimana fenomena tersebut dialami oleh
para informan. Peneliti juga bisa mencari segala makna yang mungkin
berdasarkan refleksi peneliti sendiri, berupa opini, penilaian, perasaan, dan
harapan subyek penelitian tentang fenomena yang dialaminya. Tahap terakhir
yaitu deskripsi esensi yaitu peneliti membangun dekripsi menyeluruh mengenai
makna dan esensi pengalaman para subjek.
Advokasi Civil Society Organization (CSO) dalam Isu Penegakan dan Perlindungan HAM PascaReformasikepada Masyarakat, Pemda, dan Aparat Kepolisian di DIY (studi fenomenologi terkait penyerangandiskusi Irshad Manji "Allah, Liberty, and Love" di LKiS, Bantul, DIY pada tanggal 9 Mei2012)CITRA SEKARJATIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Top Related