Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang teran, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah s.a.w. menyampaikan al-Qur’an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. 1 Terkait dengan mukjizat yang relevansinya menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab. Merupakan 1 Manna Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU QUR’AN, Jakarta:Litera AntarNusa, 2007, hlm. 1 1

Transcript of Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

Page 1: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya diperkuat oleh

kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah s.a.w. untuk

mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang teran, serta

membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah s.a.w. menyampaikan al-

Qur’an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka

dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami

ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan kepada

Rasulullah s.a.w.1

Terkait dengan mukjizat yang relevansinya menunjukkan kehebatan mukjizat

al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan

kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab.

Merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah.

Kesadaran akan historisitas dan kontekstualitas pemahaman manusia pada

gilirannya akan bersinggungan dengan ranah al-Qur’an dan pemaknaannya.

Sebenarnya secara umum disepakati oleh umat Islam bahwa al-Qur’an adalah

sakral, karena ia adalah Kalamullah yang diturunkan melalui Rasulullah. Namun

ketika melihat fakta bahwa al-Qur’an memakai bahasa Arab, berbagai informasi

yang disajikan di dalamnya banyak yang memakai logika budaya Arab, kemudian

berbagai istilah yang dipakai di dalamnya juga menggunakan terminologi yang

akrab di kalangan orang Arab saat itu, maka muncullah berbagai kajian dan

1 Manna Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU QUR’AN, Jakarta:Litera AntarNusa, 2007, hlm. 1

1

Page 2: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

pembahasan tentang status original al-Qur’an, sejauh manakah al-Qur’an itu

berdimensi ilahiah dan sejauh mana ia berdimensi manusiawi.

Telah banyak kajian bahkan perdebatan terhadap persoalan ini, bukan hanya

para orientalis Barat yang ‘berpihak’ yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu tidak

memiliki sisi ilahiah sama sekali, karena ia ciptaan Muhammad. Tetapi juga dari

kalangan Islamolog kontemporer yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri.

Salah seorang Islamolog kontemporer yang sangat dikenal dengan isu

kontroversial bahwa al-Qur’an adalah produk budaya adalah tokoh intelektual dari

Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia adalah professor bahasa Arab dan Studi al-

Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga menjadi dosen tamu di

Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun 1995 sampai sekarang.

Proyek utama Nashr Hamid Abu Zayd sebenarnya adalah proyek

pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban

Islam. Proyek besar ini tampak antara lain dalam tulisannya yang berjudul

Mafhum al-Nash. Menurutnya, peradaban Islam dapat dikatakan sebagai perdaban

teks karena dengan berporos pada teks (al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam

bergulir. Lebih jauh ternyata dalam pengamatan Abu Zayd, para ulama’ terdahulu

terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar

memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai

pedoman yang sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai obyek dari

pedoman tersebut di sisi yang lain. Pemahaman semacam ini membawa implikasi

yang tidak ringan, karena ada kalanya dalam kondisi tertentu dalam diri seseorang

2

Page 3: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

atau sekelompok orang, maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan

tersebut teks dijadikan sarana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya.

Dengan mengajukan sebuah pertanyaan utama ”Apakah pengertian teks itu

dan bagaimana memahaminya?” ia mencoba untuk mengatasi pemutarbalikan

pemahaman teks. Lebih jauh dalam metodologinya ia menggunakan semiotika

dan hermeneutika. Dengan dua alat bedah inilah ia menyimpulkan bahwa al-

Qur’an adalah Cultural Product, al-Muntaj al-Saqafi atau produk budaya.

Isu yang dilontarkan oleh Abu Zayd ini menantang kesepakatan umum di

kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi al-Qur’an ia menyatakan bahwa al-

Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk budaya. Tentu saja

pernyataan semacam ini mengundang reaksi yang tidak ringan, bahkan demi

pandangannya ini Abu Zayd harus menanggung resiko diceraikan dari isterinya

sebagai konsekuensi dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.2

Dasar pemikiran Abu Zayd sebelum menyimpulkan status al-Qur’an ini

sebenarnya adalah pembagiannya terhadap dua fase teks al-Qur’an yang

menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya:

1. Fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkostruksikan diri secara

struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana aspek kebahasaan

merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode

keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks al-Qur’an.

2 Ia harus menjalani vonis pengadilan sebagai orang yang murtad, menceraikan istrinya, meninggalkan Kairo, dan menjadi ilmuwan yang ”hidup” di negeri orang selama kurang lebih 6 tahun. Untuk kisah lengkapnya minus perjalanan hidupnya di Leiden, tempat ia mendapatkan suaka sebagai dosen tamu, lihat Abu Zaid, al-Qawl al-Mufid fi Qadiya Abu Zaid, Kairo: Maktaba Madbuli, 1995. Kini, ia telah mendapatkan hak-nya kembali sebagai ilmuwan yang terhormat setelah kunjungannya ke Kairo tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi, pers, maupun pejabat pemerintah.

3

Page 4: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

2. Fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem

budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda

dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem

kebudayaannya. Dalam fase ini, Abu Zayd menyebutnya sebagai periode

pembentukan (marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk

kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.3

Al-Qur’an ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad tentu memakai

bahasa yang dapat dimengerti oleh umat dimana ia diturunkan. Sehubungan

dengan proses pewahyuan al-Qur’an yang berlangsung di Arab, maka dia

menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar makna yang terkandung dalam teks

ketuhanan. Untuk itu, pemahaman al-Qur’an sebagai teks al-Qur’an tidak dapat

dipisahkan dari masyarakat dan perdaban bangsa Arab. Ringkasnya, al-Qur’an

yang kita lihat dan kita baca sekarang merupakan teks budaya yang dipengaruhi

oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu (marhalah al-tasyakkul), dan

selanjutnya teks ini berfungsi menuntun menuju satu budaya yang baru, yaitu

budaya Islam (marhalah al-tasykil).

Pada hakikatnya dengan konsepnya ini Abu Zayd ingin mengatakan bahwa

ketika diwahyukan kepada Muhammad yang hidup di Jazirah Arab dengan segala

budaya dan tradisinya, itu berarti al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan

manusia, maka merupakan keniscayaan bagi al-Qur’an untuk memakai struktur

dan tata-bahasa dan tata-budaya Arab untuk menyampaikan misi Risalahnya

melalui Muhammad. Namun pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini malah

3 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Saqafi, 1994), 24-25.

4

Page 5: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

mengundang berbagai serangan terhadap dirinya. Diantara yang menjadi bahan

’serangan’ terhadap Abu Zayd adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya,

Naqd Khitab ad-Diny, bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia

berubah status dari sebuah teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks manusiawi

(nash Insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia, maka ia berubah dari

wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran (ta’wil). Orang

pertama yang melakukan perubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu saja adalah

Rasul sendiri, sehingga harus dipilah tegas perbedaan antara pemahaman Rasul

tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan wahyu Tuhan:4 padahal

al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini jelas melalui Rasulullah Muhammad.

Dengan pernyataannya inilah kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek

ketuhanan al-Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diutarakan di atas, terlihat bahwa tawaran studi

‘Ulūm al-Qur’ān sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abus

Zayd merupakan bidang kajian yang sangat menarik dan menantang. Atas dasar

itulah penulis berusaha untuk menelitinya lebih dalam.

Dalam penelitian ini Penulis hanya akan membatasi pada kajian tentang status

(eksistensi) Al-Qur’an yang akar masalahnya terletak pada konsepsi Wahyu

menurut Nashr Hamid Abu Zayd.

4 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994), hlm. 126.

5

Page 6: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

Untuk lebih mempermudah proses penelitian, secara rinci permasalahan yang

akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsepsi yang dipakai Nashr Hamid Abu Zayd dalam

memandang otentitas al-Qur’an yang berakar pada konsepsi Wahyu?

2. Bagaimanakah implikasi yang ditimbulkan atas interpretasi Nasr Hamid

Abu Zayd tentang otentitas al-Qur’an terhadap konsensus pemikiran Islam

secara general pada kontemporer ini ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan secara esensial penyusun dalam membahas penelitian dengan judul

sebagaimana tersebut di atas adalah ingin mengetahui bagaimanakah pemikiran

tentang Wahyu yang dipakai Nashr Hamid Abu Zayd serta implikasi apakah yang

timbul atas interpretasi Nashr Hamid Abu Zayd dalam memandang otentitas al-

Qur’an terhadap konsensus pemikiran Islam secara general pada saat ini.

Adapun secara makro, dengan adanya penelitian ini bagi penyusun

memberikan beberapa manfaat dan kegunaan, yaitu di antaranya :

1. Persyaratan bagi penyusun dalam rangka mengakhiri kuliah program

sarjana (sebagai salah satu syarat bagi penyusun untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan Islam dan Sarjana Theologi Islam) pada Fakultas

Tarbiyah dan Ushuluddin Sekolah Tinggi Islam Syubbanul Wathon

Magelang Jawa Tengah.

2. Sebagai sumbangsih penyusun khususnya kepada Almamater dan

masyarakat pada umumnya dengan harapan semoga bermanfaat khususnya

6

Page 7: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

sebagai pertimbangan studi komparatif dalam melakukan penelitian

pengkajian keilmuan keIslaman untuk masa mendatang.

D. Telaah Pustaka

Perdebatan tentang status al-Qur’an sebenarnya bukan perdebatan yang baru.

Perdebatan serupa ini dapat dibandingkan dengan perdebatan yang terjadi di

kalangan Mutakallim klasik tentang apakah al-Qur’an itu Qodim ataukah

Makhluq (baru). Perdebatan klasik ini bahkan melahirkan sebuah fenomena

memilukan, yaitu mihnah oleh kelompok Mu’tazilah yang didukung penguasa

untuk memaksakan pandangannya bahwa al-Qur’an itu makhluq atau baru.

Dalam wacana ‘Ulūm al-Qur’ān, konsep Wahyu merupakan tema yang mutlak

untuk dikaji karena ia merupakan bagian integral dari metode dan cara memahami

dan menafsirkan al-Qur'an. Bahkan Nashr Hamid Abu Zayd memandang tema

inilah pijakan dasar bagi tema ‘Ulūm al-Qur’ān yang lain selain konsep teks dan

wahyu.5 Selain dua alasan diatas, motivasi penulis untuk melakukan penelitian ini

lebih lanjut juga muncul karena di dasarkan pada alasan konsep Asbāb al-Nuzūl

merupakan sebuah konsep atau tema kajian yang sangat penting dan menarik

untuk dipelajari karena dari dulu sampai sekarang perdebatan mengenai hal itu

tidak pernah selesai.

Dalam beberapa paragraf buku autobiografi yang ditulis Navid Kermani,

sahabat setia Abu Zayd berkebangsaan Jerman, Nashr – begitu Abu Zayd biasa

disapa – sempat berujar.

5Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash :Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Op.Cit., hal. 115

7

Page 8: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

”Der Koran ist ein religioses Werk, ein buch der Rechtleitung, wie Abduh es ausdruckt. Aber wie gelangen wir zur Rechtleitung? Wie mussen wir den Text verstehen, um zu ihr zu gelangen? Wir mussen ihr dekodieren.. Der Koran ist eine Botschaft, die ihren Kode und ihren Kanal hat. Der Kode ist die arabische Sprache. Zur Dekodierung bedarf ich der Textanalyse, die mehr als nur Philologie ist. Sie behandelt der Koran als einen poetisch strukturierten Text. Deswegen gehohrt der Koran noch nicht zur Gattung der Poesie. Er bleibt ein religioser Text mit unterschiedlichen Funktionen.”6

(al-Qur’an adalah “karya keagamaan”, kitab petunjuk, seperti yang pernah dikatakan Abduh. Tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana seharusnya kita memahami teks, agar petunjuk tersebut bisa diraih?. Kita harus “mentafsirkannya”. Al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan “saluran”, yakni berupa bahasa Arab. Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan al-Qur’an sebagai tex poetik yang terstruktur. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak masuk kategori teks puisi, sebaliknya ia tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi). Perlu dipahami bahwa Abu Zayd sangat akrab dengan pemikiran Heidegger

dengan teori hermeneutikanya,7 Hans George Gadamer dengan pertemuan dengan

Ada melalui bahasa serta hermeneutika filosofisnya,8 Schleiermacher dengan

lingkaran hermeneutisnya,9 serta Emilio Betti dengan penempatan hermeneutik

sebagai ilmu humaniora, die Hermeneutik als allgemeine Methodik der

Geisteswissenschaften merupakan fakta yang tak terbantah. Namun, keakraban

Abu Zayd dengan para filosof bahasa ini mendorongnya untuk melihat kembali ke

hasanah turats dengan maksud melihat elemen-elemen kritis dalam pemikiran

filsafat bahasa dan sastra. Rupanya, ia berhasil menemukan mutiara-mutiara

dalam karya klasik, terutama pada al-Jahiz (w. 255 H), al-Qadi Abdul Jabbar (w.

417 H) dan Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H). Di sinilah letak signifikansi karya

6 Nashr Hamid Abu Zayd, Ein Leben mit dem Islam: erzahelt von Navid Kermani, Freiburg, Herder 2001, 100.

7 Heidegger, Vom Wesen der Wahrheit, Franfurt: Klotermann 1967, 27.8 Gadamer, Wahrheit und Method: Grundzuge einer philosophischen Hermeneutik,

Tuebingen 1960, 476.9 Schleiermacher, Hermeneutik und Kritik. Mit einem Anhang sprachphilosophischer

Texte Schleiermacher, (ed.), Manfred Frank, Frankfurt 1995, 35-36.

8

Page 9: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

Abu Zayd, yakni untuk membangkitkan semangat intelektual dengan melihat

kepada khazanah turats sebagai pangkal pemikiran kritis dan orientasi pembacaan

kontemporer.

Sementara, referensi lain yang berbahasa Indonesia yang jumlahnya sangat

banyak sekali terdapat dalam buku-buku yang membahas secara global mengenai

kumpulan tema-tema ulum al-Qur’an. Formatnya hampir sama dengan kitab-kitab

‘Ulūm al-Qur’ān diatas, yakni kajian mengenai Asbāb al-Nuzūl merupakan bagian

dari pembahasan ‘Ulūm al-Qur’ān secara umum, hal ini disebabkan karena

kebanyakan referensi tentang kajian ‘Ulūm al-Qur’ān yang berbahasa Indonesia

merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab yang berbahasa Arab, seperti Studi

ilmu-ilmu al-Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qattan. Meskipun penulis tidak

menutup mata adanya beberapa kitab yang asli karangan orang Indonesia sendiri

seperti, karya Teungku Hasby as-Shieddieqy10 yang berjudul Ilmu-ilmu al-Qur'an,

Quraisy Shihab dengan judul Membumikan al-Qur’ān11 dan lain-lain--yang

kalaupun diteliti secara cermat mengenai muatan dan isinya kebanyakan juga

tidak jauh berbeda dengan buku dan kitab yang telah disebut diatas--. Hal ini

disebabkan karena hasil karya mereka kebanyakan juga menyadur dari kitab-kitab

yang berbahasa Arab.

Mengenai skripsi, dilingkungan STAIA (Sekolah Tinggi Agama Islam Al-

Husain) Magelang— tempat Penulis menimba retorika agama, yang menulis

tentang konsep dan rekonstruksi Wahyu setahu Penulis belum ada, bukan hanya

karena semata masih terbilang kampus baru, namun karena juga dari segi

10Teungku Hasby as-Shieddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu-ilmu al-Qur'an/Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, Cet. XIV, 1992)

11Quraisy Shihab, “Membumikan” al-Qur’ān, (Bandung : Mizan, Cet. XV, 1997)

9

Page 10: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

mayoritas sumberdaya manusia (Baca: Mahasiswa,red) adalah para pengajar,

sehingga lebih tertarik dan cenderung pada kajian tentang Pendidikan sesuai

dengan basic mereka.

E. Kerangka Teoritik

Kegelisahan Abu Zayd bahwa seringkali terjadi manipulasi teks yang

dilakukan umat Islam demi mendapatkan legitimasi atas berbagai kepentingan

politis dan otoritarianistik, seharusnya juga menjadi kegelisahan semua umat

Islam. Karena hal semacam itu telah menjadi maklum di kalangan umat Islam.

Sakralisasi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya yang mengatasnamakan

agama dan kitab suci sudah seharusnya mulai dikritisi, demi dinamika yang sehat

dalam peradaban Islam sendiri.

Mengapa tafsir – dalam bahasa Abu Zayd adalah ta’wil – atas teks keagamaan

itu sangat penting? Sebelum masuk ke dalam pertanyaan tersebut, perlu

dikemukakan pandangan dia tentang al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an

adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Dengan berpendapat

demikian ia tidak bermaksud bahwa menyederhanakan bahwa peradaban Arab

Islam Islam itu hanya peradaban teks saja. Maksud pernyataan tersebut adalah

bahwa peradaban Arab Islam itu tidak mungkin melupakan sentralitas teks.

Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu

tumbuh dan berdiri di atas teks.12 Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa

kalau tidak ada campur tangan dari manusia. Artinya, teks tidak akan mampu

mengembangkan peradaban dan keilmuan Islam Arab apabila ia tidak

12 Nasr Hamid Abu Zayd, 9.

10

Page 11: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian,

dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaannya

tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan

peradaban Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia

dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya. Al-

Qur’an dalam peradaban kita ini memiliki peranan yang tidak mungkin kita

melupakannya.

Apabila teks keagamaan itu menjadi kunci bagi peradaban, maka ta’wil (cara

pemahaman) adalah hal yang sangat penting dalam kerangka ini. Dengan kata

lain, teks keagamaan tersebut hanya akan memiliki makna apabila ada kegiatan

yang disebut dengan istilah ta’wil. Dalam hal ini Abu Zayd sengaja menggunakan

istilah ta’wil sebagai ganti istilah tafsir karena beberapa alasan; pertama, istilah

tafsir pada mulanya digunakan untuk makna ”yang jelas” (al-wadih) dan ”terang”

(al-bayyin), dan ini sudah dicakup dalam istilah ta’wil yang berarti gerakan hati

yang bersifat pengetahuan; kedua, istilah ta’wil adalah istilah yang digunakan oleh

ulama-ulama awal seperti Muhammad Ibn Jarir al-Thabari dalam kitabnya Jami’

al-Bayan ala Ta’wil Ayyi al-Qur’an demikian juga yang ditunjukkan di dalam

keteranga Imam Sibawaih, seorang Imam besar dalam bidang ilmu Nahwu, selain

istilah ta’wil memang memiliki makna yang lebih dalam dibandingkan tafsir.13

Selanjutnya Abu Zayd menyatakan apabila kebudayaan Arab Islam itu

memberikan teks Qur’ani semacam kelebihan, dan menjadikan ta’wil sebagai

jalan untuk memahaminya, maka wajib untuk peradaban ini sebuah konsep

13 Nashr Hamid Abu Zayd, Isykaliyyatul al-Qia’ah wa Aliyyatul al-Ta’wil, al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi: Beirut, 1996, h. 192.

11

Page 12: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

mengenai apa hakikat teks dan cara-cara untuk penta’wilan. Dan berbicara

mengenai teks, maka sesungguhnya adalah berbicara mengenai apa sesungguhnya

al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad dan

memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin)

dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Disinilah kemudian al-Qur’an menjadi

terhumanisasi (muta’annas), mengejawantahkan elemen-elemen, ideologis,

politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M. Jadi Abu Zayd

membagi masa ketika teks menjadi wahyu dan masa ketika teks menjadi

pemahaman kemanusiaan. Bedasarkan pandangan yang demikian, al-Qur’an

adalah kitab suci yang dibentuk dan terus dibentuk kembali melalui akal manusia.

Abu Zayd percaya bahwa al-Qur’an itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang

kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, group dan klas),

berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Berangkat dari sini,

pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an menurutnya adalah dengan cara

mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi Quraisy. Pemahaman yang

demikian terhadap al-Qur’an sudah barang tentu berbeda banyak dengan

pemahaman ahli-ahli tafsir masa lalu yang menempatkan al-Qur’an baik teks dan

maknanya sebagai sesuatu yang supra-manusiawi. Respon-respon al-Qur’an

terhadap peristiwa sosial pada zamannya tetap dipahami sebagai intervensi

ketuhanan atas tatanan sosial tersebut.

Dalam rangka melakukan ta’wil ini Abu Zayd mencoba merumuskan satu

konsep yang obyektif dan ilmiah untuk menafsirkan teks-teks keagamaan. Konsep

yang Abu Zayd coba bangun adalah mempertemukan ta’wil (tafsir bi al-ra’yi)

12

Page 13: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

dalam Islam dan hermeneutika yang menurutnya merupakan kecenderungan yang

juga ada dalam tradisi penafsiran Islam.14

Ia menyatakan,

”Al-Hermeneutika – idzan – qadliyyatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkiziha ’ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadis ’ala al-sawa.”15

Terjemahannya, Hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsiran dan teks itu bukan hanya diskursus dalam pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam tradisi Arab baik Arab lama maupun sekarang.

Mengapa hermeneutika Barat? Abu Zayd melihat bahwa sistem penafsiran

yang disediakan oleh tradisi Islam tidak mencukupi untuk membaca teks-teks

Islam dalam realitas kekinian. Persoalan-persoalan bacaan (isykaliyyatul qira’ah)

terutama yang berasala dari tantangan sosiologis dan historis tidak mampu

dijawab dengan menggunakan cara baca konvensional. Dan harus diakui secara

metodologis, perkembangan ilmu penafsiran dalam tradisi Islam memang tidak

berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan telah mandeg. Upaya-upaya

pembaharuan memang sedang dilakukan misalnya oleh Arkoun, tetapi alat yang

digunakan sudah tidak bisa bergantung pada ulum al-qur’an secara konvensional.

Secara umum, proyek hermeneutika Abu Zayd ini mengandung dua hal;

pertama adalah bertujuan untuk menemukan makna asal (dalalatuhu al-asaliyyah)

dari sebuah teks dengan menempatkannya pada sebuah konteks sosio-hitorisnya.

Kedua adalah bertujuan untuk mengklarifikasi kerangka sosio-kultural

14 Nashr Hamid Abu Zayd, Iskaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, Markaz al-Tsiqafi al-Arabi: Beirut, 1994, Cet. III, h. 14.

15 Ibid.

13

Page 14: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

kontemporer dan tujuan-tujuan praktis yang mendorong dan mengarahkan

penafsiran.16

Berpijak dari persoalan bahasa dalam khazanah turats di atas, Abu Zayd

kemudian mengembangkan diskusinya tentang majaz, metafor. Hal ini ia lakukan

mengingat metafor merupakan salah satu elemen penting dalam perbincangan

mengenai teks keagamaan, khususnya dalam seni pemahamannya, Art des

Verstehens, yang melibatkan pluralitas penafsiran. Seperti pembahasan

sebelumnya, Abu Zayd tidak melewatkan perdebatan konseptual antar teolog

mengenai eksistensi metafor dalam bahasa secara umum, dan pada khususnya teks

keagamaan. Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari madzhab teologis yang

dianut, dan secara garis besar dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yakni pertama

adalah kecenderungan Mu’tazilah yang menjadikan majaz sebagai senjata untuk

memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan dasar-dasar

pemikiran mereka. Kedua adalah kelompok Dzahiriyah yang menentang

pemahaman apapun terhadap teks yang melampaui lahiriah bahasa. Mereka

menolak interpretasi terhadap hal-hal yang tidak jelas dalam teks al-Qur’an, dan

teks-teks tersebut mereka anggap sebagai monopoli Allah semata untuk

mengetahuinya. Bahkan mereka menolak adanya majaz tidak hanya dalam al-

Qur’an tetapi juga dalam bahasa. Sedangkan yang ketiga kelompok Asy’ariyyah

yang berusaha memposisikan diri secara moderat di antara kelompok-kelompok

yang berlebih-lebihan di dalam menggunakan majaz dalam menafsirkan teks,

dengan kelompok yang menolak adanya majaz.

16 Lihat Charles Hirschkind.

14

Page 15: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

Pemilahan atas tiga kelompok ini kemudian menjadi pijakan Abu Zayd dalam

merambah wilayah kebahasaan al-Qur’an secara lebih intensif. Baginya, teks

keagamaan – al-Qur’an – banyak yang metaforis, sehingga penafsiran

terhadapnya menghasilkan keragaman. Dalam aspek tertentu, terutama pandangan

rasional terhadap teks keagamaan, Abu Zayd mirip-mirip dengan pemikir

Mu’tazilah. Beberapa tulisannya, Abu Zayd banyak ”membela” argumentasi

kelompok rasionalis dalam ”memperlakukan” teks keagamaan. Salah satunya

adalah penilaian dia terhadap madzhab Mu’tazilah yang memandang hubungan

antara manusia-bahasa dan teks suci sebagai relasi yang thinkable. Manusia

sebagai obyek dan sasaran teks, sedangkan bahasa merupakan konvensi manusia

karena ia merefleksikan konvensi sosial atas hubungan antara suara dengan

makna. Bahasa, di sisi lain, tidak mengacu secara langsung kepada realitas,

sebaliknya, realitas-lah yang dikonsepsi dan disimbolkan dalam bunyi bahasa.

Meski ada kecenderungan rasionalis dalam corak pemikiran Abu Zayd, ia juga

tidak mengingkari prestasi yang dilakukan oleh kelompok Sunni. Hal ini

ditunjukkan oleh kutipan Abu Zayd terhadap teolog Sunni, Ibn Qutaiba (w.276),

tentang pembelaan Ibn Qutaiba terhadap eksistensi metafor, sebagai berikut:

”Mereka yang menyerang majaz al-Qur’an karena alasan bahwa majaz

merupakan kebohongan; karena ’dinding tidak memiliki keinginan’ dan ’kampung

tidak dapat bertanya’. Pendapat ini merupakan salah satu kebodohan mereka yang

sangat naif, dan sekaligus menunjukkan betapa jelek nalar mereka dan betapa

sedikit pengetahuan mereka. Andaikata majaz merupakan kebohongan, dan semua

tindakan yang dinisbatkan kepada selainhewan adalah keliru, tentunya sebagian

15

Page 16: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

besar ujaran kita adalah salah, sebab kita mengatakan: ’sayur itu tumbuh’, ’pohon

itu panjang’, ’buah itu matang’, ’gunung itu meninggi’, ’harga murah’. Kita

katakan: ”kana Allah” Allah ada (dalam waktu lampau). Kata ”kana” dalam

pengertian telah terjadi, padahal Allah, sebelum segala sesuatu tanpa batas, tidak

terjadi, sehingga ia akan ada setelah sebelumnya tidak ada. Andaikata kita

mengajukan pertanyaan kepada orang yang menolak ungkapan: ’dinding yang

hendak roboh’, bagaimana anda akan mengatakan fenomena sebuah dinding yang

anda lihat nyaris roboh: Saya melihat sebuah dinding bagaimana? Ia tidak dapat

menemukan selain mengatakan: dinding yang hendak roboh atau nyaris roboh,

mendekati roboh. Bagaimanapun yang akan ia katakan, tentu dia akan menjadikan

dinding sebagai subjek. Dan, kalaupun dia menggunakan bahasa asing untuk

sampai pada pengertian tersebut, ia akan menggunakan ungkapan yang seperti

itu”.17

Dengan demikian, ada dua aliran pemikiran yang menopang eksistensi

metafor, baik dalam bahasa secara umum, maupun teks keagamaan. Dalam bagian

lain beberapa tulisannya, Abu Zayd tidak tertarik untuk mendiskusikan majaz

sebagai bagian dari ilmu sastra Arab, balaghah, melainkan ia menjadikannya

sebagai semacam ilmu terapan untuk mengidentifikasi dan mendekati teks-teks

keagamaan, sekaligus menjadikannya sebagai perangkat analisis gejala-gejala

kebahasaan yang ia temukan dalam teks tersebut.

Pengembangan majaz sebagai ”sumber” segala bentuk gaya bahasa dan

bahkan menjadi perhatia banyak sarjana klasik dalam menteorisasi menjadikan

17 Abu Zayd, Isykaliyyat al-Qira’ah, 124, bandingkan Ibn Qutaiba, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (ed), al-Sayyid Ahmad Shaqr, Kairo, Dar al-Turats, cet. II, 1973, h. 132-133.

16

Page 17: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

majaz menduduki tempat penting dalam wacana sastra Arab klasik. Hal ini pada

gilirannya turut mempengaruhi perkembangan apa yang dalam era modern

dikatakan sebagai pendekatan sastra terhadap al-Qur’an, al-lawn al-adabi li tafsir

al-Qur’an. Satu model hermeneutika al-Qur’an yang dikembangkan Amin al-

Khuli (w.1978) bersama dengan beberapa muridnya,18 termasuk Abu Zayd

sebagai generasi penerusnya. Model ini menggunakan telaah sastrawi dalam

mengkaji al-Qur’an dengan menempatkannya sebagai teks estetik yang sarat

dengan elemen-elemen psikologis, tidak semata-mata sebagai teks ”kaku” yang

biasa dipahami oleh mufassir-mufassir teologis dan fiqih.

Diskursus dan perdebatan yang intensif dalam persoalan bahasa serta majaz

membuat Abu Zayd tidak kunjung henti mengutip pendapat-pendapat yang

berseberangan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan dinamika yang terjadi

dalam khazanah tradisi tentang hakikat bahasa yang menjadi titik tolak teorisasi

pemahaman, ta’wil, dalam tradisi intelektualisme Islam. Sebagai contoh, Abu

Zayd mengambil pendapat yang dilontarkan oleh Ibn al-Qayyim tentang bahasa,

yakni:

”Ibn Qayyim tidak hanya menolak dasar konvensi bahasa saja, tetapi ia juga menolak klaim bahwa yang hakiki mendahului eksistensinya daripada yang majazi. Ia memandang penggunaan bahasa bersifat sinkronik. Kata-kata tidak dapat dibayangkan sebagai diciptakan lebih dahulu kemudian dipergunakan, atau yang hakiki mendahului yang majazi. Klaim yang dikemukakan mereka yang mengakui majaz, bahwa pembagian ke dalam haqiqi dan majazi dalam bahasa hanya absah menurut penggunaannya semata, ditolak oleh Ibn al-Qayyim atas dasar bahwa kata-kata dalam bahasa tidak terlepas dari penggunaan.19 Selama kata-kata dipergunakan untuk mengacu

18 Mereka adalah A’isya Abdurrahman binti al-Syati’, penulis al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Cairo 1978, Muhammad Ahmad Khalafallah, penulis buku controversial al-Fann al-Qasasi fi al-Qur’an al-Karim, Kairo 1973, Syukri ‘Ayyad, penulis Yaum al-Qiyama fi al-Qur’an, Kairo 1974.

19 Al-Shawa’iq, al-Mursalah fi al-Radd ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’aththilah, (ed.), Zakaria Ali Yusuf, al-Imam, Mesir 1380 H, h. 241-244.

17

Page 18: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

pada berbagai makna yang berbeda, klaim adanya haqiqi dan majazi dalam bahasa tidak berdasar sama sekali. Benar, kata-kata tersebut terabstraksikan dalam pikiran, namun pada saat demikian, ia bukanlah kata-kata, melainkan dinilai sebagai kata-kata yang tidak memiliki status”.20

Perbincangan Abu Zayd tentang turats dilanjutkan dengan banyak mengambil

teori bahasa dari kritikus Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H). Pertimbangannya

adalag data yang menunjukkan bahwa teorisasi bahasa dan sastra Arab, dalam

hubungannya dengan eloquency teks keagamaan mencapai tahap

”penyempurnaan” di tangan al-Jurjani.21 Teorisasi bahasa dan sastra yang

dilakukan oleh al-Jurjani memang tidak bisa dipisahkan dari setting perdebatan

tentang status ke-i’jaz-an al-Qur’an, untuk membedakan teks keagamaan dari

teks-teks kemanusiaan lainnya. Hanya saja, dalam penalaran yang dilakukan oleh

al-Jurjani sejatinya tidak bisa dipisahkan dari pengertian bahasa dalam konstruk

budaya. Baginya, bahasa memiliki fungsi sebagai penanda atas makna sesuatu

dari petanda. Bahkan, Abdul Qahir, menurut Abu Zayd, telah menyadari

perbedaan antara ”bahasa”, langue, dengan ”ujaran”, parole, perbedaan yang

dasar-dasarnya telah dibangun oleh sarjana Switzerland, Ferdinand de Saussure,

dan dikembangkan oleh Chomsky di dalam membedakan antara ”kompetensi” dan

”performance”. Hukum-hukum Nahwu dan makna-makna kosa kata menurut

Abdul Qahir merepresentasikan ”sistem” bahasa yang sudah mapan dalam

kesadaran kolektif, yang mendasari dua fungsi komunikasi bahasa, sementara

20 Ibid, hlm. 244.21 Bandingkan Abu Deeb, al-Jurjani’s Theory of Poetig Imagery, Warmister 1979;

Margaret Larkin, The Theology of Meaning: Abd al-Qahir al-Jurjani’s Theory of Discourse, New Haven 1995.

18

Page 19: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

ujaran merupakan perwujudan aktual dari hukum-hukum tersebut dalam tindak

bicara itu sendiri.22

F. Methodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini adalah merupakan penelitian pustaka

atau library research, maka yang menjadi obyek penelitian adalah literatur

yang relevan dengan tema tersebut. Artinya, penelitian ini berkonsentrasi

pada data tertulis baik itu berbentuk buku, jurnal, makalah ataupun artikel

yang terkait dengan pemikiran Nashr Hamid secara langsung maupun

tidak langsung. Dalam hal ini data primer adalah buku karya Nashr Hamid

Abu Zayd. Sedangakan tulisan yang berupa pembahasan, respon maupun

kritikan terhadapnya ditempatkan sebagai sumber data sekunder.

2. Pendekatan

Adapun pendekatan yang akan Penulis gunakan adalah pendekatan

Hermeneutik, maksudnya penyusun mencoba menganalisa dan

mengidentifikasi pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd tentang

interpretasinya yang sangat dianggap kontroversial di kalangan umat Islam

bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (Cultural Product, al-Muntaj al-

Saqafi).

22 Abu Zayd, Isykaliyyat, 176, al-Jurjani, Asrar al-Balaghah, ed. Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Maktabah al-Qahirah, cet. VI, 1959, h. 280.

19

Page 20: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

3. Metode Analisa Data

Penelitian ini oleh Penulis dalam hal mengolah dan menganalisa data

menggunakan metode deskriptif-analitis, maksudnya penyusun mencoba

mendata referensi-referensi yang relevan dengan tema, dikumpulkan dan

dianalisis serta diinterpretasi secara kritis sebelum dituangkan dan

diimplementasikan dalam sebuah gagasan. Yakni untuk mendapatkan

gambaran konsepsional tentang interpretasi Nashr Hamid Abu Zayd yang

melakukan distorsi paradigma bahwa al-Qur’an adalah produk budaya.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pemahaman dan mendapatkan gambaran yang

sistematis akan isi penelitian ini, maka penyusun membuat sebuah sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama: Pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah,

Rumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Telaah pustaka, Kerangka

teoritik, Metodologi penelitian yang digunakan serta Sistematika pembahasan.

Pembahasan ini dilanjutkan dengan Bab dua yang memaparkan biografi

Nashr Hamid Abu Zayd baik menyangkut lingkup keluarga

maupun lingkungan pergaulan Beliau, studi al-Qur'annya, juga karya-

karya Beliau. Sub bahasannya antara lain, sketsa biografi, karier intelektual, dan

distorisitas pemikiran Beliau tentang studi al-Qur'an (khususnya tentang konsepsi

Wahyu).

20

Page 21: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

Dalam Bab ketiga akan kami paparkan konstruksi seputar konsep Wahyu yang

meliputi definisi baik secara etimologis maupun terminologis, cara dan kaidah

turunnya Wahyu, juga persinggungan seputar Wahyu. Bab ini akan diakhiri

dengan diskusi obyektif tentang konsep Wahyu yang dirincikan dengan sub

bahasan, urgensitas Wahyu, serta cara dan kaidah mengetahui keberadaan Wahyu,

ditilik dari segi konteks sosio-historisnya. Bab ini diasumsikan sebagai titik tolak

dalam mengidentifikasi pandangan Nashr Hamid Abu Zayd.

Pembahasan tentang tawaran “Rekonstruksi” konsep Wahyu Nashr Hamid

Abu Zayd kami posisikan dalam Bab empat yang memuat penjelasan tentang

tema-tema pokok Mafhum Al-Nash seputar Wahyu, sebagai buku karangan Beliau

dalam merepresentasikan konsep Wahyu, konsep dan signifikansi Wahyu dalam

studi al-Qur'an, cara menentukan Wahyu dalam studi Al-Qur’an. Bab ini ditutup

dengan pembahasan relevansi konsep Wahyu Nashr Hamid Abu Zayd dalam

studi al-Qur’an dan realitas masyarakat saat ini.

Akhirnya penelitian ini ditutup dengan Bab lima yang berisi kesimpulan

dalam bentuk esai pendek dan saran-saran sebagai tawaran gagasan sekaligus

motivasi kepada para pembaca dan peminat studi al-Qur’an untuk dapat

mengembangkan lebih lanjut.

Itulah beberapa rancangan penelitian yang akan kami laksanakan. Dengan

senantiasa mengharap ridho, rahmat dan hidayah Allah SWT, kami berharap

semoga rancangan yang telah kami susun ini dapat berjalan dengan baik, lancar

dan sukses tanpa halangan suatu apapun. Amin

21

Page 22: Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an

22