Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an
-
Upload
agus-sugito -
Category
Documents
-
view
4.124 -
download
0
Transcript of Bab i Pendahuluan a. Latar Belakang Al-qur’an
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya diperkuat oleh
kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah s.a.w. untuk
mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang teran, serta
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah s.a.w. menyampaikan al-
Qur’an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka
dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami
ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan kepada
Rasulullah s.a.w.1
Terkait dengan mukjizat yang relevansinya menunjukkan kehebatan mukjizat
al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan
kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab.
Merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah.
Kesadaran akan historisitas dan kontekstualitas pemahaman manusia pada
gilirannya akan bersinggungan dengan ranah al-Qur’an dan pemaknaannya.
Sebenarnya secara umum disepakati oleh umat Islam bahwa al-Qur’an adalah
sakral, karena ia adalah Kalamullah yang diturunkan melalui Rasulullah. Namun
ketika melihat fakta bahwa al-Qur’an memakai bahasa Arab, berbagai informasi
yang disajikan di dalamnya banyak yang memakai logika budaya Arab, kemudian
berbagai istilah yang dipakai di dalamnya juga menggunakan terminologi yang
akrab di kalangan orang Arab saat itu, maka muncullah berbagai kajian dan
1 Manna Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU QUR’AN, Jakarta:Litera AntarNusa, 2007, hlm. 1
1
pembahasan tentang status original al-Qur’an, sejauh manakah al-Qur’an itu
berdimensi ilahiah dan sejauh mana ia berdimensi manusiawi.
Telah banyak kajian bahkan perdebatan terhadap persoalan ini, bukan hanya
para orientalis Barat yang ‘berpihak’ yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu tidak
memiliki sisi ilahiah sama sekali, karena ia ciptaan Muhammad. Tetapi juga dari
kalangan Islamolog kontemporer yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri.
Salah seorang Islamolog kontemporer yang sangat dikenal dengan isu
kontroversial bahwa al-Qur’an adalah produk budaya adalah tokoh intelektual dari
Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia adalah professor bahasa Arab dan Studi al-
Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Selain itu ia juga menjadi dosen tamu di
Universitas Leiden, Belanda, mulai tahun 1995 sampai sekarang.
Proyek utama Nashr Hamid Abu Zayd sebenarnya adalah proyek
pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban
Islam. Proyek besar ini tampak antara lain dalam tulisannya yang berjudul
Mafhum al-Nash. Menurutnya, peradaban Islam dapat dikatakan sebagai perdaban
teks karena dengan berporos pada teks (al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam
bergulir. Lebih jauh ternyata dalam pengamatan Abu Zayd, para ulama’ terdahulu
terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar
memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai
pedoman yang sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai obyek dari
pedoman tersebut di sisi yang lain. Pemahaman semacam ini membawa implikasi
yang tidak ringan, karena ada kalanya dalam kondisi tertentu dalam diri seseorang
2
atau sekelompok orang, maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan
tersebut teks dijadikan sarana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya.
Dengan mengajukan sebuah pertanyaan utama ”Apakah pengertian teks itu
dan bagaimana memahaminya?” ia mencoba untuk mengatasi pemutarbalikan
pemahaman teks. Lebih jauh dalam metodologinya ia menggunakan semiotika
dan hermeneutika. Dengan dua alat bedah inilah ia menyimpulkan bahwa al-
Qur’an adalah Cultural Product, al-Muntaj al-Saqafi atau produk budaya.
Isu yang dilontarkan oleh Abu Zayd ini menantang kesepakatan umum di
kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi al-Qur’an ia menyatakan bahwa al-
Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk budaya. Tentu saja
pernyataan semacam ini mengundang reaksi yang tidak ringan, bahkan demi
pandangannya ini Abu Zayd harus menanggung resiko diceraikan dari isterinya
sebagai konsekuensi dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.2
Dasar pemikiran Abu Zayd sebelum menyimpulkan status al-Qur’an ini
sebenarnya adalah pembagiannya terhadap dua fase teks al-Qur’an yang
menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya:
1. Fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkostruksikan diri secara
struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana aspek kebahasaan
merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode
keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks al-Qur’an.
2 Ia harus menjalani vonis pengadilan sebagai orang yang murtad, menceraikan istrinya, meninggalkan Kairo, dan menjadi ilmuwan yang ”hidup” di negeri orang selama kurang lebih 6 tahun. Untuk kisah lengkapnya minus perjalanan hidupnya di Leiden, tempat ia mendapatkan suaka sebagai dosen tamu, lihat Abu Zaid, al-Qawl al-Mufid fi Qadiya Abu Zaid, Kairo: Maktaba Madbuli, 1995. Kini, ia telah mendapatkan hak-nya kembali sebagai ilmuwan yang terhormat setelah kunjungannya ke Kairo tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi, pers, maupun pejabat pemerintah.
3
2. Fase ketika al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem
budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda
dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem
kebudayaannya. Dalam fase ini, Abu Zayd menyebutnya sebagai periode
pembentukan (marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk
kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.3
Al-Qur’an ketika diwahyukan Allah kepada Muhammad tentu memakai
bahasa yang dapat dimengerti oleh umat dimana ia diturunkan. Sehubungan
dengan proses pewahyuan al-Qur’an yang berlangsung di Arab, maka dia
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar makna yang terkandung dalam teks
ketuhanan. Untuk itu, pemahaman al-Qur’an sebagai teks al-Qur’an tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat dan perdaban bangsa Arab. Ringkasnya, al-Qur’an
yang kita lihat dan kita baca sekarang merupakan teks budaya yang dipengaruhi
oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu (marhalah al-tasyakkul), dan
selanjutnya teks ini berfungsi menuntun menuju satu budaya yang baru, yaitu
budaya Islam (marhalah al-tasykil).
Pada hakikatnya dengan konsepnya ini Abu Zayd ingin mengatakan bahwa
ketika diwahyukan kepada Muhammad yang hidup di Jazirah Arab dengan segala
budaya dan tradisinya, itu berarti al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan
manusia, maka merupakan keniscayaan bagi al-Qur’an untuk memakai struktur
dan tata-bahasa dan tata-budaya Arab untuk menyampaikan misi Risalahnya
melalui Muhammad. Namun pada kenyataannya pernyataan Abu Zayd ini malah
3 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Saqafi, 1994), 24-25.
4
mengundang berbagai serangan terhadap dirinya. Diantara yang menjadi bahan
’serangan’ terhadap Abu Zayd adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya,
Naqd Khitab ad-Diny, bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia
berubah status dari sebuah teks ketuhanan (nash Ilahi) menjadi teks manusiawi
(nash Insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia, maka ia berubah dari
wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran (ta’wil). Orang
pertama yang melakukan perubahan dari tanzil menjadi ta’wil ini tentu saja adalah
Rasul sendiri, sehingga harus dipilah tegas perbedaan antara pemahaman Rasul
tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan wahyu Tuhan:4 padahal
al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini jelas melalui Rasulullah Muhammad.
Dengan pernyataannya inilah kemudian Abu Zayd dituduh mengingkari aspek
ketuhanan al-Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diutarakan di atas, terlihat bahwa tawaran studi
‘Ulūm al-Qur’ān sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abus
Zayd merupakan bidang kajian yang sangat menarik dan menantang. Atas dasar
itulah penulis berusaha untuk menelitinya lebih dalam.
Dalam penelitian ini Penulis hanya akan membatasi pada kajian tentang status
(eksistensi) Al-Qur’an yang akar masalahnya terletak pada konsepsi Wahyu
menurut Nashr Hamid Abu Zayd.
4 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994), hlm. 126.
5
Untuk lebih mempermudah proses penelitian, secara rinci permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsepsi yang dipakai Nashr Hamid Abu Zayd dalam
memandang otentitas al-Qur’an yang berakar pada konsepsi Wahyu?
2. Bagaimanakah implikasi yang ditimbulkan atas interpretasi Nasr Hamid
Abu Zayd tentang otentitas al-Qur’an terhadap konsensus pemikiran Islam
secara general pada kontemporer ini ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan secara esensial penyusun dalam membahas penelitian dengan judul
sebagaimana tersebut di atas adalah ingin mengetahui bagaimanakah pemikiran
tentang Wahyu yang dipakai Nashr Hamid Abu Zayd serta implikasi apakah yang
timbul atas interpretasi Nashr Hamid Abu Zayd dalam memandang otentitas al-
Qur’an terhadap konsensus pemikiran Islam secara general pada saat ini.
Adapun secara makro, dengan adanya penelitian ini bagi penyusun
memberikan beberapa manfaat dan kegunaan, yaitu di antaranya :
1. Persyaratan bagi penyusun dalam rangka mengakhiri kuliah program
sarjana (sebagai salah satu syarat bagi penyusun untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Islam dan Sarjana Theologi Islam) pada Fakultas
Tarbiyah dan Ushuluddin Sekolah Tinggi Islam Syubbanul Wathon
Magelang Jawa Tengah.
2. Sebagai sumbangsih penyusun khususnya kepada Almamater dan
masyarakat pada umumnya dengan harapan semoga bermanfaat khususnya
6
sebagai pertimbangan studi komparatif dalam melakukan penelitian
pengkajian keilmuan keIslaman untuk masa mendatang.
D. Telaah Pustaka
Perdebatan tentang status al-Qur’an sebenarnya bukan perdebatan yang baru.
Perdebatan serupa ini dapat dibandingkan dengan perdebatan yang terjadi di
kalangan Mutakallim klasik tentang apakah al-Qur’an itu Qodim ataukah
Makhluq (baru). Perdebatan klasik ini bahkan melahirkan sebuah fenomena
memilukan, yaitu mihnah oleh kelompok Mu’tazilah yang didukung penguasa
untuk memaksakan pandangannya bahwa al-Qur’an itu makhluq atau baru.
Dalam wacana ‘Ulūm al-Qur’ān, konsep Wahyu merupakan tema yang mutlak
untuk dikaji karena ia merupakan bagian integral dari metode dan cara memahami
dan menafsirkan al-Qur'an. Bahkan Nashr Hamid Abu Zayd memandang tema
inilah pijakan dasar bagi tema ‘Ulūm al-Qur’ān yang lain selain konsep teks dan
wahyu.5 Selain dua alasan diatas, motivasi penulis untuk melakukan penelitian ini
lebih lanjut juga muncul karena di dasarkan pada alasan konsep Asbāb al-Nuzūl
merupakan sebuah konsep atau tema kajian yang sangat penting dan menarik
untuk dipelajari karena dari dulu sampai sekarang perdebatan mengenai hal itu
tidak pernah selesai.
Dalam beberapa paragraf buku autobiografi yang ditulis Navid Kermani,
sahabat setia Abu Zayd berkebangsaan Jerman, Nashr – begitu Abu Zayd biasa
disapa – sempat berujar.
5Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash :Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Op.Cit., hal. 115
7
”Der Koran ist ein religioses Werk, ein buch der Rechtleitung, wie Abduh es ausdruckt. Aber wie gelangen wir zur Rechtleitung? Wie mussen wir den Text verstehen, um zu ihr zu gelangen? Wir mussen ihr dekodieren.. Der Koran ist eine Botschaft, die ihren Kode und ihren Kanal hat. Der Kode ist die arabische Sprache. Zur Dekodierung bedarf ich der Textanalyse, die mehr als nur Philologie ist. Sie behandelt der Koran als einen poetisch strukturierten Text. Deswegen gehohrt der Koran noch nicht zur Gattung der Poesie. Er bleibt ein religioser Text mit unterschiedlichen Funktionen.”6
(al-Qur’an adalah “karya keagamaan”, kitab petunjuk, seperti yang pernah dikatakan Abduh. Tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana seharusnya kita memahami teks, agar petunjuk tersebut bisa diraih?. Kita harus “mentafsirkannya”. Al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan “saluran”, yakni berupa bahasa Arab. Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan al-Qur’an sebagai tex poetik yang terstruktur. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak masuk kategori teks puisi, sebaliknya ia tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi). Perlu dipahami bahwa Abu Zayd sangat akrab dengan pemikiran Heidegger
dengan teori hermeneutikanya,7 Hans George Gadamer dengan pertemuan dengan
Ada melalui bahasa serta hermeneutika filosofisnya,8 Schleiermacher dengan
lingkaran hermeneutisnya,9 serta Emilio Betti dengan penempatan hermeneutik
sebagai ilmu humaniora, die Hermeneutik als allgemeine Methodik der
Geisteswissenschaften merupakan fakta yang tak terbantah. Namun, keakraban
Abu Zayd dengan para filosof bahasa ini mendorongnya untuk melihat kembali ke
hasanah turats dengan maksud melihat elemen-elemen kritis dalam pemikiran
filsafat bahasa dan sastra. Rupanya, ia berhasil menemukan mutiara-mutiara
dalam karya klasik, terutama pada al-Jahiz (w. 255 H), al-Qadi Abdul Jabbar (w.
417 H) dan Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H). Di sinilah letak signifikansi karya
6 Nashr Hamid Abu Zayd, Ein Leben mit dem Islam: erzahelt von Navid Kermani, Freiburg, Herder 2001, 100.
7 Heidegger, Vom Wesen der Wahrheit, Franfurt: Klotermann 1967, 27.8 Gadamer, Wahrheit und Method: Grundzuge einer philosophischen Hermeneutik,
Tuebingen 1960, 476.9 Schleiermacher, Hermeneutik und Kritik. Mit einem Anhang sprachphilosophischer
Texte Schleiermacher, (ed.), Manfred Frank, Frankfurt 1995, 35-36.
8
Abu Zayd, yakni untuk membangkitkan semangat intelektual dengan melihat
kepada khazanah turats sebagai pangkal pemikiran kritis dan orientasi pembacaan
kontemporer.
Sementara, referensi lain yang berbahasa Indonesia yang jumlahnya sangat
banyak sekali terdapat dalam buku-buku yang membahas secara global mengenai
kumpulan tema-tema ulum al-Qur’an. Formatnya hampir sama dengan kitab-kitab
‘Ulūm al-Qur’ān diatas, yakni kajian mengenai Asbāb al-Nuzūl merupakan bagian
dari pembahasan ‘Ulūm al-Qur’ān secara umum, hal ini disebabkan karena
kebanyakan referensi tentang kajian ‘Ulūm al-Qur’ān yang berbahasa Indonesia
merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab yang berbahasa Arab, seperti Studi
ilmu-ilmu al-Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qattan. Meskipun penulis tidak
menutup mata adanya beberapa kitab yang asli karangan orang Indonesia sendiri
seperti, karya Teungku Hasby as-Shieddieqy10 yang berjudul Ilmu-ilmu al-Qur'an,
Quraisy Shihab dengan judul Membumikan al-Qur’ān11 dan lain-lain--yang
kalaupun diteliti secara cermat mengenai muatan dan isinya kebanyakan juga
tidak jauh berbeda dengan buku dan kitab yang telah disebut diatas--. Hal ini
disebabkan karena hasil karya mereka kebanyakan juga menyadur dari kitab-kitab
yang berbahasa Arab.
Mengenai skripsi, dilingkungan STAIA (Sekolah Tinggi Agama Islam Al-
Husain) Magelang— tempat Penulis menimba retorika agama, yang menulis
tentang konsep dan rekonstruksi Wahyu setahu Penulis belum ada, bukan hanya
karena semata masih terbilang kampus baru, namun karena juga dari segi
10Teungku Hasby as-Shieddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu-ilmu al-Qur'an/Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, Cet. XIV, 1992)
11Quraisy Shihab, “Membumikan” al-Qur’ān, (Bandung : Mizan, Cet. XV, 1997)
9
mayoritas sumberdaya manusia (Baca: Mahasiswa,red) adalah para pengajar,
sehingga lebih tertarik dan cenderung pada kajian tentang Pendidikan sesuai
dengan basic mereka.
E. Kerangka Teoritik
Kegelisahan Abu Zayd bahwa seringkali terjadi manipulasi teks yang
dilakukan umat Islam demi mendapatkan legitimasi atas berbagai kepentingan
politis dan otoritarianistik, seharusnya juga menjadi kegelisahan semua umat
Islam. Karena hal semacam itu telah menjadi maklum di kalangan umat Islam.
Sakralisasi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya yang mengatasnamakan
agama dan kitab suci sudah seharusnya mulai dikritisi, demi dinamika yang sehat
dalam peradaban Islam sendiri.
Mengapa tafsir – dalam bahasa Abu Zayd adalah ta’wil – atas teks keagamaan
itu sangat penting? Sebelum masuk ke dalam pertanyaan tersebut, perlu
dikemukakan pandangan dia tentang al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an
adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Dengan berpendapat
demikian ia tidak bermaksud bahwa menyederhanakan bahwa peradaban Arab
Islam Islam itu hanya peradaban teks saja. Maksud pernyataan tersebut adalah
bahwa peradaban Arab Islam itu tidak mungkin melupakan sentralitas teks.
Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu
tumbuh dan berdiri di atas teks.12 Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa
kalau tidak ada campur tangan dari manusia. Artinya, teks tidak akan mampu
mengembangkan peradaban dan keilmuan Islam Arab apabila ia tidak
12 Nasr Hamid Abu Zayd, 9.
10
mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian,
dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaannya
tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan
peradaban Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia
dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya. Al-
Qur’an dalam peradaban kita ini memiliki peranan yang tidak mungkin kita
melupakannya.
Apabila teks keagamaan itu menjadi kunci bagi peradaban, maka ta’wil (cara
pemahaman) adalah hal yang sangat penting dalam kerangka ini. Dengan kata
lain, teks keagamaan tersebut hanya akan memiliki makna apabila ada kegiatan
yang disebut dengan istilah ta’wil. Dalam hal ini Abu Zayd sengaja menggunakan
istilah ta’wil sebagai ganti istilah tafsir karena beberapa alasan; pertama, istilah
tafsir pada mulanya digunakan untuk makna ”yang jelas” (al-wadih) dan ”terang”
(al-bayyin), dan ini sudah dicakup dalam istilah ta’wil yang berarti gerakan hati
yang bersifat pengetahuan; kedua, istilah ta’wil adalah istilah yang digunakan oleh
ulama-ulama awal seperti Muhammad Ibn Jarir al-Thabari dalam kitabnya Jami’
al-Bayan ala Ta’wil Ayyi al-Qur’an demikian juga yang ditunjukkan di dalam
keteranga Imam Sibawaih, seorang Imam besar dalam bidang ilmu Nahwu, selain
istilah ta’wil memang memiliki makna yang lebih dalam dibandingkan tafsir.13
Selanjutnya Abu Zayd menyatakan apabila kebudayaan Arab Islam itu
memberikan teks Qur’ani semacam kelebihan, dan menjadikan ta’wil sebagai
jalan untuk memahaminya, maka wajib untuk peradaban ini sebuah konsep
13 Nashr Hamid Abu Zayd, Isykaliyyatul al-Qia’ah wa Aliyyatul al-Ta’wil, al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi: Beirut, 1996, h. 192.
11
mengenai apa hakikat teks dan cara-cara untuk penta’wilan. Dan berbicara
mengenai teks, maka sesungguhnya adalah berbicara mengenai apa sesungguhnya
al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad dan
memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin)
dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Disinilah kemudian al-Qur’an menjadi
terhumanisasi (muta’annas), mengejawantahkan elemen-elemen, ideologis,
politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M. Jadi Abu Zayd
membagi masa ketika teks menjadi wahyu dan masa ketika teks menjadi
pemahaman kemanusiaan. Bedasarkan pandangan yang demikian, al-Qur’an
adalah kitab suci yang dibentuk dan terus dibentuk kembali melalui akal manusia.
Abu Zayd percaya bahwa al-Qur’an itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang
kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, group dan klas),
berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Berangkat dari sini,
pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an menurutnya adalah dengan cara
mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi Quraisy. Pemahaman yang
demikian terhadap al-Qur’an sudah barang tentu berbeda banyak dengan
pemahaman ahli-ahli tafsir masa lalu yang menempatkan al-Qur’an baik teks dan
maknanya sebagai sesuatu yang supra-manusiawi. Respon-respon al-Qur’an
terhadap peristiwa sosial pada zamannya tetap dipahami sebagai intervensi
ketuhanan atas tatanan sosial tersebut.
Dalam rangka melakukan ta’wil ini Abu Zayd mencoba merumuskan satu
konsep yang obyektif dan ilmiah untuk menafsirkan teks-teks keagamaan. Konsep
yang Abu Zayd coba bangun adalah mempertemukan ta’wil (tafsir bi al-ra’yi)
12
dalam Islam dan hermeneutika yang menurutnya merupakan kecenderungan yang
juga ada dalam tradisi penafsiran Islam.14
Ia menyatakan,
”Al-Hermeneutika – idzan – qadliyyatun wa jadidatun fi nafs al-wakti, wa hiya fi tarkiziha ’ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadis ’ala al-sawa.”15
Terjemahannya, Hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsiran dan teks itu bukan hanya diskursus dalam pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam tradisi Arab baik Arab lama maupun sekarang.
Mengapa hermeneutika Barat? Abu Zayd melihat bahwa sistem penafsiran
yang disediakan oleh tradisi Islam tidak mencukupi untuk membaca teks-teks
Islam dalam realitas kekinian. Persoalan-persoalan bacaan (isykaliyyatul qira’ah)
terutama yang berasala dari tantangan sosiologis dan historis tidak mampu
dijawab dengan menggunakan cara baca konvensional. Dan harus diakui secara
metodologis, perkembangan ilmu penafsiran dalam tradisi Islam memang tidak
berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan telah mandeg. Upaya-upaya
pembaharuan memang sedang dilakukan misalnya oleh Arkoun, tetapi alat yang
digunakan sudah tidak bisa bergantung pada ulum al-qur’an secara konvensional.
Secara umum, proyek hermeneutika Abu Zayd ini mengandung dua hal;
pertama adalah bertujuan untuk menemukan makna asal (dalalatuhu al-asaliyyah)
dari sebuah teks dengan menempatkannya pada sebuah konteks sosio-hitorisnya.
Kedua adalah bertujuan untuk mengklarifikasi kerangka sosio-kultural
14 Nashr Hamid Abu Zayd, Iskaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-Ta’wil, Markaz al-Tsiqafi al-Arabi: Beirut, 1994, Cet. III, h. 14.
15 Ibid.
13
kontemporer dan tujuan-tujuan praktis yang mendorong dan mengarahkan
penafsiran.16
Berpijak dari persoalan bahasa dalam khazanah turats di atas, Abu Zayd
kemudian mengembangkan diskusinya tentang majaz, metafor. Hal ini ia lakukan
mengingat metafor merupakan salah satu elemen penting dalam perbincangan
mengenai teks keagamaan, khususnya dalam seni pemahamannya, Art des
Verstehens, yang melibatkan pluralitas penafsiran. Seperti pembahasan
sebelumnya, Abu Zayd tidak melewatkan perdebatan konseptual antar teolog
mengenai eksistensi metafor dalam bahasa secara umum, dan pada khususnya teks
keagamaan. Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari madzhab teologis yang
dianut, dan secara garis besar dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yakni pertama
adalah kecenderungan Mu’tazilah yang menjadikan majaz sebagai senjata untuk
memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan dasar-dasar
pemikiran mereka. Kedua adalah kelompok Dzahiriyah yang menentang
pemahaman apapun terhadap teks yang melampaui lahiriah bahasa. Mereka
menolak interpretasi terhadap hal-hal yang tidak jelas dalam teks al-Qur’an, dan
teks-teks tersebut mereka anggap sebagai monopoli Allah semata untuk
mengetahuinya. Bahkan mereka menolak adanya majaz tidak hanya dalam al-
Qur’an tetapi juga dalam bahasa. Sedangkan yang ketiga kelompok Asy’ariyyah
yang berusaha memposisikan diri secara moderat di antara kelompok-kelompok
yang berlebih-lebihan di dalam menggunakan majaz dalam menafsirkan teks,
dengan kelompok yang menolak adanya majaz.
16 Lihat Charles Hirschkind.
14
Pemilahan atas tiga kelompok ini kemudian menjadi pijakan Abu Zayd dalam
merambah wilayah kebahasaan al-Qur’an secara lebih intensif. Baginya, teks
keagamaan – al-Qur’an – banyak yang metaforis, sehingga penafsiran
terhadapnya menghasilkan keragaman. Dalam aspek tertentu, terutama pandangan
rasional terhadap teks keagamaan, Abu Zayd mirip-mirip dengan pemikir
Mu’tazilah. Beberapa tulisannya, Abu Zayd banyak ”membela” argumentasi
kelompok rasionalis dalam ”memperlakukan” teks keagamaan. Salah satunya
adalah penilaian dia terhadap madzhab Mu’tazilah yang memandang hubungan
antara manusia-bahasa dan teks suci sebagai relasi yang thinkable. Manusia
sebagai obyek dan sasaran teks, sedangkan bahasa merupakan konvensi manusia
karena ia merefleksikan konvensi sosial atas hubungan antara suara dengan
makna. Bahasa, di sisi lain, tidak mengacu secara langsung kepada realitas,
sebaliknya, realitas-lah yang dikonsepsi dan disimbolkan dalam bunyi bahasa.
Meski ada kecenderungan rasionalis dalam corak pemikiran Abu Zayd, ia juga
tidak mengingkari prestasi yang dilakukan oleh kelompok Sunni. Hal ini
ditunjukkan oleh kutipan Abu Zayd terhadap teolog Sunni, Ibn Qutaiba (w.276),
tentang pembelaan Ibn Qutaiba terhadap eksistensi metafor, sebagai berikut:
”Mereka yang menyerang majaz al-Qur’an karena alasan bahwa majaz
merupakan kebohongan; karena ’dinding tidak memiliki keinginan’ dan ’kampung
tidak dapat bertanya’. Pendapat ini merupakan salah satu kebodohan mereka yang
sangat naif, dan sekaligus menunjukkan betapa jelek nalar mereka dan betapa
sedikit pengetahuan mereka. Andaikata majaz merupakan kebohongan, dan semua
tindakan yang dinisbatkan kepada selainhewan adalah keliru, tentunya sebagian
15
besar ujaran kita adalah salah, sebab kita mengatakan: ’sayur itu tumbuh’, ’pohon
itu panjang’, ’buah itu matang’, ’gunung itu meninggi’, ’harga murah’. Kita
katakan: ”kana Allah” Allah ada (dalam waktu lampau). Kata ”kana” dalam
pengertian telah terjadi, padahal Allah, sebelum segala sesuatu tanpa batas, tidak
terjadi, sehingga ia akan ada setelah sebelumnya tidak ada. Andaikata kita
mengajukan pertanyaan kepada orang yang menolak ungkapan: ’dinding yang
hendak roboh’, bagaimana anda akan mengatakan fenomena sebuah dinding yang
anda lihat nyaris roboh: Saya melihat sebuah dinding bagaimana? Ia tidak dapat
menemukan selain mengatakan: dinding yang hendak roboh atau nyaris roboh,
mendekati roboh. Bagaimanapun yang akan ia katakan, tentu dia akan menjadikan
dinding sebagai subjek. Dan, kalaupun dia menggunakan bahasa asing untuk
sampai pada pengertian tersebut, ia akan menggunakan ungkapan yang seperti
itu”.17
Dengan demikian, ada dua aliran pemikiran yang menopang eksistensi
metafor, baik dalam bahasa secara umum, maupun teks keagamaan. Dalam bagian
lain beberapa tulisannya, Abu Zayd tidak tertarik untuk mendiskusikan majaz
sebagai bagian dari ilmu sastra Arab, balaghah, melainkan ia menjadikannya
sebagai semacam ilmu terapan untuk mengidentifikasi dan mendekati teks-teks
keagamaan, sekaligus menjadikannya sebagai perangkat analisis gejala-gejala
kebahasaan yang ia temukan dalam teks tersebut.
Pengembangan majaz sebagai ”sumber” segala bentuk gaya bahasa dan
bahkan menjadi perhatia banyak sarjana klasik dalam menteorisasi menjadikan
17 Abu Zayd, Isykaliyyat al-Qira’ah, 124, bandingkan Ibn Qutaiba, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (ed), al-Sayyid Ahmad Shaqr, Kairo, Dar al-Turats, cet. II, 1973, h. 132-133.
16
majaz menduduki tempat penting dalam wacana sastra Arab klasik. Hal ini pada
gilirannya turut mempengaruhi perkembangan apa yang dalam era modern
dikatakan sebagai pendekatan sastra terhadap al-Qur’an, al-lawn al-adabi li tafsir
al-Qur’an. Satu model hermeneutika al-Qur’an yang dikembangkan Amin al-
Khuli (w.1978) bersama dengan beberapa muridnya,18 termasuk Abu Zayd
sebagai generasi penerusnya. Model ini menggunakan telaah sastrawi dalam
mengkaji al-Qur’an dengan menempatkannya sebagai teks estetik yang sarat
dengan elemen-elemen psikologis, tidak semata-mata sebagai teks ”kaku” yang
biasa dipahami oleh mufassir-mufassir teologis dan fiqih.
Diskursus dan perdebatan yang intensif dalam persoalan bahasa serta majaz
membuat Abu Zayd tidak kunjung henti mengutip pendapat-pendapat yang
berseberangan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan dinamika yang terjadi
dalam khazanah tradisi tentang hakikat bahasa yang menjadi titik tolak teorisasi
pemahaman, ta’wil, dalam tradisi intelektualisme Islam. Sebagai contoh, Abu
Zayd mengambil pendapat yang dilontarkan oleh Ibn al-Qayyim tentang bahasa,
yakni:
”Ibn Qayyim tidak hanya menolak dasar konvensi bahasa saja, tetapi ia juga menolak klaim bahwa yang hakiki mendahului eksistensinya daripada yang majazi. Ia memandang penggunaan bahasa bersifat sinkronik. Kata-kata tidak dapat dibayangkan sebagai diciptakan lebih dahulu kemudian dipergunakan, atau yang hakiki mendahului yang majazi. Klaim yang dikemukakan mereka yang mengakui majaz, bahwa pembagian ke dalam haqiqi dan majazi dalam bahasa hanya absah menurut penggunaannya semata, ditolak oleh Ibn al-Qayyim atas dasar bahwa kata-kata dalam bahasa tidak terlepas dari penggunaan.19 Selama kata-kata dipergunakan untuk mengacu
18 Mereka adalah A’isya Abdurrahman binti al-Syati’, penulis al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Cairo 1978, Muhammad Ahmad Khalafallah, penulis buku controversial al-Fann al-Qasasi fi al-Qur’an al-Karim, Kairo 1973, Syukri ‘Ayyad, penulis Yaum al-Qiyama fi al-Qur’an, Kairo 1974.
19 Al-Shawa’iq, al-Mursalah fi al-Radd ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’aththilah, (ed.), Zakaria Ali Yusuf, al-Imam, Mesir 1380 H, h. 241-244.
17
pada berbagai makna yang berbeda, klaim adanya haqiqi dan majazi dalam bahasa tidak berdasar sama sekali. Benar, kata-kata tersebut terabstraksikan dalam pikiran, namun pada saat demikian, ia bukanlah kata-kata, melainkan dinilai sebagai kata-kata yang tidak memiliki status”.20
Perbincangan Abu Zayd tentang turats dilanjutkan dengan banyak mengambil
teori bahasa dari kritikus Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H). Pertimbangannya
adalag data yang menunjukkan bahwa teorisasi bahasa dan sastra Arab, dalam
hubungannya dengan eloquency teks keagamaan mencapai tahap
”penyempurnaan” di tangan al-Jurjani.21 Teorisasi bahasa dan sastra yang
dilakukan oleh al-Jurjani memang tidak bisa dipisahkan dari setting perdebatan
tentang status ke-i’jaz-an al-Qur’an, untuk membedakan teks keagamaan dari
teks-teks kemanusiaan lainnya. Hanya saja, dalam penalaran yang dilakukan oleh
al-Jurjani sejatinya tidak bisa dipisahkan dari pengertian bahasa dalam konstruk
budaya. Baginya, bahasa memiliki fungsi sebagai penanda atas makna sesuatu
dari petanda. Bahkan, Abdul Qahir, menurut Abu Zayd, telah menyadari
perbedaan antara ”bahasa”, langue, dengan ”ujaran”, parole, perbedaan yang
dasar-dasarnya telah dibangun oleh sarjana Switzerland, Ferdinand de Saussure,
dan dikembangkan oleh Chomsky di dalam membedakan antara ”kompetensi” dan
”performance”. Hukum-hukum Nahwu dan makna-makna kosa kata menurut
Abdul Qahir merepresentasikan ”sistem” bahasa yang sudah mapan dalam
kesadaran kolektif, yang mendasari dua fungsi komunikasi bahasa, sementara
20 Ibid, hlm. 244.21 Bandingkan Abu Deeb, al-Jurjani’s Theory of Poetig Imagery, Warmister 1979;
Margaret Larkin, The Theology of Meaning: Abd al-Qahir al-Jurjani’s Theory of Discourse, New Haven 1995.
18
ujaran merupakan perwujudan aktual dari hukum-hukum tersebut dalam tindak
bicara itu sendiri.22
F. Methodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini adalah merupakan penelitian pustaka
atau library research, maka yang menjadi obyek penelitian adalah literatur
yang relevan dengan tema tersebut. Artinya, penelitian ini berkonsentrasi
pada data tertulis baik itu berbentuk buku, jurnal, makalah ataupun artikel
yang terkait dengan pemikiran Nashr Hamid secara langsung maupun
tidak langsung. Dalam hal ini data primer adalah buku karya Nashr Hamid
Abu Zayd. Sedangakan tulisan yang berupa pembahasan, respon maupun
kritikan terhadapnya ditempatkan sebagai sumber data sekunder.
2. Pendekatan
Adapun pendekatan yang akan Penulis gunakan adalah pendekatan
Hermeneutik, maksudnya penyusun mencoba menganalisa dan
mengidentifikasi pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd tentang
interpretasinya yang sangat dianggap kontroversial di kalangan umat Islam
bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (Cultural Product, al-Muntaj al-
Saqafi).
22 Abu Zayd, Isykaliyyat, 176, al-Jurjani, Asrar al-Balaghah, ed. Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Maktabah al-Qahirah, cet. VI, 1959, h. 280.
19
3. Metode Analisa Data
Penelitian ini oleh Penulis dalam hal mengolah dan menganalisa data
menggunakan metode deskriptif-analitis, maksudnya penyusun mencoba
mendata referensi-referensi yang relevan dengan tema, dikumpulkan dan
dianalisis serta diinterpretasi secara kritis sebelum dituangkan dan
diimplementasikan dalam sebuah gagasan. Yakni untuk mendapatkan
gambaran konsepsional tentang interpretasi Nashr Hamid Abu Zayd yang
melakukan distorsi paradigma bahwa al-Qur’an adalah produk budaya.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman dan mendapatkan gambaran yang
sistematis akan isi penelitian ini, maka penyusun membuat sebuah sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama: Pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah,
Rumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Telaah pustaka, Kerangka
teoritik, Metodologi penelitian yang digunakan serta Sistematika pembahasan.
Pembahasan ini dilanjutkan dengan Bab dua yang memaparkan biografi
Nashr Hamid Abu Zayd baik menyangkut lingkup keluarga
maupun lingkungan pergaulan Beliau, studi al-Qur'annya, juga karya-
karya Beliau. Sub bahasannya antara lain, sketsa biografi, karier intelektual, dan
distorisitas pemikiran Beliau tentang studi al-Qur'an (khususnya tentang konsepsi
Wahyu).
20
Dalam Bab ketiga akan kami paparkan konstruksi seputar konsep Wahyu yang
meliputi definisi baik secara etimologis maupun terminologis, cara dan kaidah
turunnya Wahyu, juga persinggungan seputar Wahyu. Bab ini akan diakhiri
dengan diskusi obyektif tentang konsep Wahyu yang dirincikan dengan sub
bahasan, urgensitas Wahyu, serta cara dan kaidah mengetahui keberadaan Wahyu,
ditilik dari segi konteks sosio-historisnya. Bab ini diasumsikan sebagai titik tolak
dalam mengidentifikasi pandangan Nashr Hamid Abu Zayd.
Pembahasan tentang tawaran “Rekonstruksi” konsep Wahyu Nashr Hamid
Abu Zayd kami posisikan dalam Bab empat yang memuat penjelasan tentang
tema-tema pokok Mafhum Al-Nash seputar Wahyu, sebagai buku karangan Beliau
dalam merepresentasikan konsep Wahyu, konsep dan signifikansi Wahyu dalam
studi al-Qur'an, cara menentukan Wahyu dalam studi Al-Qur’an. Bab ini ditutup
dengan pembahasan relevansi konsep Wahyu Nashr Hamid Abu Zayd dalam
studi al-Qur’an dan realitas masyarakat saat ini.
Akhirnya penelitian ini ditutup dengan Bab lima yang berisi kesimpulan
dalam bentuk esai pendek dan saran-saran sebagai tawaran gagasan sekaligus
motivasi kepada para pembaca dan peminat studi al-Qur’an untuk dapat
mengembangkan lebih lanjut.
Itulah beberapa rancangan penelitian yang akan kami laksanakan. Dengan
senantiasa mengharap ridho, rahmat dan hidayah Allah SWT, kami berharap
semoga rancangan yang telah kami susun ini dapat berjalan dengan baik, lancar
dan sukses tanpa halangan suatu apapun. Amin
21
22