BAB IV · 2019. 6. 27. · kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain...
Transcript of BAB IV · 2019. 6. 27. · kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain...
-
100
BAB IV
KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT
DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG
Bab IV ini menjelaskan konstruksi konstitusional
pengadilan adat di bawah Mahkamah Agung yang meliputi
sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, pengakuan
pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara
Pengadilan Adat dan pengadilan di bawah Mahkamah Agung,
kedudukan secara konstitusional terhadap eksistensi pengadilan
adat
A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
1. Kekuasaan Kehakiman pada Masa UUD NRI
Tahun 1945 Pertama (18 Agustus 1945-27
Desember 1949)
Kekuasaan kehakiman pada masa UUD NRI
Tahun 1945 periode pertama, yakni dari tanggal 18
Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Kekuasaan
kehakiman sebagaimana tertuang didalam BAB IX
-
101
tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (1) berbunyi
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-
undang. Ayat (2) berbunyi “Susunan dan kekuasaan
badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-
undang”. Pasal 25 berbunyi syarat-syarat untuk menjadi
dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dalam
dengan undang-undang.1
Susunan kekuasaan pada masa periode Undang-
Undang 1945 pertama, masih banyak mewarisi susunan
kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah kekuasaan
kehakiman pada masa kolonial Belanda,2 dibedakan
seperti lingkungan peradilan umum, yang dibeda-bedakan
kedalam lingkungan dan susunan badan peradilan
menurut golongan penduduk seperti landraad untuk
penduduk asli, atau menurut tata pemerintahan asli seperti
pengadilan swapraja untuk daerah-daerah swapraja dan
1 Lihat UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agusutus 1945. 2 Bagir Manan, Organisasi Peradilan di Indonesia, FH Universitas
Airlangga, Surabaya, 1998, h. 7.
-
102
peradilan adat.3 Untuk golongan penduduk Eropa atau
yang dipersamakan atau yang tunduk pada ketentuan
hukum untuk golongan Eropa diadakan badan peradilan
tersendiri yakni Raad Van Justitie yang sekaligus sebagai
badan peradilan banding atas putusan Landraad.
Susunan badan peradilan yang beraneka ragam
dipadang sebagai salah satu bentuk politik hukum
kolonial yang diskriminatif dengan maksud merendahkan
martabat rakyat Indonesia atau penduduk asli (pribumi) di
daerah Hindia-Belanda. Logika hukum yang tidak dapat
dibenarkan atau diterima yang menadji peradilan Raad
Van Justitie, yang merupakan peradilan adat tingkat
pertama bagi golongan Eropa dan dipersamakan, menjadi
peradilan banding bagi Landraad, yang merupakan tingkat
peradilan tingkat pertama dalam golongan pribumi atau
Indonesia asli.
Dalam rangka memabgnun kesatuan hukum
nasional yang menjamin persamaan didepan hukum harus
3 Ibid .
-
103
dibentuk satu kesatuan susunan peradilan yang berlaku
bagi seluruh bangsa, rakyat dan siapa saja yang berada di
wilayah Republik Indonesia. Selain penyusunan kembali
susunan badan peradilan yang diperlukan dalam rangka
menata birokrasi peradilan atau administrasi peradilan
yang harus disusun sederhana, terpadu agar dapat berjalan
secara efektif dan efisien.
Salah satu usaha dalam menyeragamkan dan
mengatur sistem peradilan Indonesia seperti terurai di
atas, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.19 Tahun
1948. Undang-Undang tersebut mengatur tentang susunan
kekuasaan badan-badan kehakiman serta juga kekuasaan
kejaksaan, pengaturan kekuasaan kejaksaan masih terlihat
rancu dengan dimasukkannya ke dalam lingkup
kekuasaan kehakiman padahal jelas didalam UUD NRI
Tahun 1945 tidak menyebutkan nama lembaga yang
namanya kejaksaan pada BAB IX tentang kekuasaan
kehakiman. Memang ahli-ahli hukum yang menafsirkan
-
104
bahwa badan-badan hukum yang dimaksudkan dalam
Pasal tersebut diantaranya termasuk kejaksaan.
Usaha lain dalam menyeragamkan badan-badan
peradilan di Indonesia dengan cara menghapus badan-
badan peradilan yang tidak sesuai lagi dengan alam
kemerdekaan Indonesia telah dimulai oleh Pemerintah
Republik Indonesia Yogyakarta pada tahun 1947, dengan
mengeluarkan Undang-Undang No 23 Tahun 1947
tentang penghapusan Pengadilan Raja di Jawa dan
Sumatra.4
2. Kekuasaan Kehakiman pada Masa Konstitusi RIS
(27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Kekuasaan kehakiman pada masa konsistusi RIS
didasarkan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi Republik Indoensia Serikat tersebut sesuai
dengan namanya adalah konstitusi untuk Negara-negara
serikat Indonesia.
4 K. Wanjtik Saleh, Kehakiman…, Op.cit. h. 108.
-
105
Bagian-bagian Negara federal dalam konteks
kekuasaan kehakiman adalah penting karena dimana letak
dan kedudukan kekuasaan lembaga-lemabaga yang
menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut. Di dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 salah
satu kewenangan kekuasaan kehakiman dalam hal ini
Mahkamah Agung sebagaimana dimuat dalam Pasal 67
yang menyatakan : “perselisihan-perselisihan antara
daerah-daerah Swapraja bersangkutan peraturan-peraturan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 dan tentang
menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung
Indonesia baik pada tingkat pertama dan jentang tertinggi
juga ataupun pada tingkat apel.5
Dalam Pasal tersebut kekuasaan kehakiman dalam
hal ini kekuasaan Mahkamah Agung sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman disamping mahkamah
konstitusi. Sudah dimulai diberikan tugas dan fungsi
sbegai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman Negara
5 Lihat Pasal 67 Konstitusi RIS dan dibandingkan dengan Pasal 31
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.
-
106
akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit untuk ditelusuri
apakah mahkamah agung sudah menjalankan fungsi dan
tugas tersebut, sebagai penguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang.
Kekuasaan kehakiman didalam Konstitusi RIS,
diatur dalam Bab III, di dalam Pasal 113 dinyatakan,
“maka adalah suatu Mahkamah Agung Indonesia yang
susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang
federal.” Dapat dipahami bahwa lembaga tertinggi
pemegang kekuasaan kehakiman hanya diatur dengan
undang-undang federal yang sifatnya terkotak-kotak,
sehingga tidak menggambarkan kesatuan payung hukum
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga
tidak berlaku juga di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia, padahal sudah merupakan kepastian dan
keharusan bahwa sistem peradilan dalam suatu negara
tidak hanya berlaku dalam wilayah tertentu saja akan
tetapi berlaku bagi seluruh wilayah Negara.
-
107
Pada masa konsitusi RIS ada hal yang menarik
dimana Mahkamah Agung menjadi pengadilan tingkat
pertama dan terakhir. Pengadilan ini bersifat final, tidak
dimungkinkan ada upaya hukum kembali. Peradilan
semacam ini terdapat pada negara-negara yang
menjalankan asas oportunitas. Konstitusi RIS juga
memberikan tugas dan wewenang kepada Mahkamah
Agung sebagai pengawas teringgi terhadap peradilan-
peradilan yang berada dibawahnya, karena Mahkamah
Agung sebagai penguasa tertinggi kekuasaan kehakiman.
Konstitusi RIS juga mengatur tentang kekuasaan
Pemerintah Negara yang berhubungan langsung dengan
kekuasaan kehakiman. Pasal 160 Ayat (1) berbunyi
Presiden mempunyai hak memberi ampun dan hukuman-
hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman.
Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari
Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang
federal tidak ditunjuk pengadilan lain untuk member
nasihat.
-
108
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
Konstitusi RIS juga telah menganut check and balances
sebagaimana ketentuan-ketentuan yang dikehendaki di
dalam Negara hukum. Karena meskipun ada pembagian
kekuasaan diantara pelaksana kekuasaan Negara secara
tradisional yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif yang pada akhirnya teori keseimbangan memang
diperlukan.6
Secara umum, Konstitusi RIS telah merumuskan
kekuasaan kehakiman di dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Konstitusi sebagaimana aturan main bernegara
dan bertujuan membatasi dominasi suatu kekuasaan
terhadap kekuasaan lainnya, walaupun masih sengaja
dibuat banyak celah untuk tetap melemahkan baik secara
langsung atau tidak langusng terhadap kekuasaan
kehakiman, seperti dalam pengangkatan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Agung oleh Presiden. Namun demikian
6 Munir Fuady, Teori…, Op.cit. h. 23.
-
109
telah diletakkan dalam sendi-sendi bernegara, sebagi
sendi Negara hukum.7
3. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUDS 1950 (17
Agustus 1950-5 Juli 1959)
Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia Tahun 1950, adalah perubahan atas konstitusi
sementara RIS dengan dasar perubahan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1950. Salah satu pertimbangan yang menjadi
dasar disahkannya Undang-Undang Dasar 1950
disahkannya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 adalah rakyat di daerah-daerah bagian di seluruh
Indonesia menhendakai bentuk susunan Negara Republik
Indonesia.8
Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, diatur
di dalam dua Bab, yakni pada Bab II tentang Alat-Alat
Perlengkapan Negara pada bagian III yang mengatur
7 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana , Jakarta,
2012, h. 110. 8 Disahakan Oleh Presiden Sukarno di Jakarta 15 Agustus 1950.
-
110
tentang Mahkamah Agung, sedangkan pada Bab III
tentang Tugas Alat-Alat Perlengkapan Negara pada
bagian III yang mengatur tentang Pengadilan.
Melihat pengaturan tentang kekuasaan kehakiman
secara umum tersebut, maka di dalam Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 terdapat
pengelompokkan yang terpisah antara Mahkamah Agung
dengan Pengadilan. Mahkamah Agung dikelompokkan di
dalam Alat-Alat Perlengkapan Negara, sedangkan
pengadilan dimasukkan di dalam kelompok tugas alat-alat
perlengkapan Negara.
Jika dibandingkan dengan UUD NRI Tahun 1945
setelah amandamen, maka kekuasaan Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan dibawahnya dimasukkan
dalam satu kelompok, yakni pada BAB IX tentang
kekuasaan kehakiman. Tidak terpisah-pisah sebagaimana
-
111
diatur didalam Undang-Undag Dasar Sementara Republik
Indoneisa Tahun 1950.9
Sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan kehakiman,
maka tugas pengadilan dibawah Mahkamah Agung, telah
diatur didalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 secara yakin mengatur tugas dan wewenang
pengadilan dan bahkan sampai kepada hukum acara
persidangan.
Kekuasaan kehakiman, di dalam Undang-Undang
Dasar Sementara Negara Tahun 1950 tersebut, masih
berada di bawah kekuasaan pemerintah dengan
perpanjangan tangannya melalui Menteri Kehakiman.
Saluran ini melemahkan kehendak Pasal 103 dengan
menentukan adanya pelarangan bagi kekuasaan lain untuk
mencampuri kekuasaan kehakiman dalam hal ini
pengadilan.
9 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana,
Jakarta, 2012, h. 111.
-
112
4. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUD NRI
Tahun 1945 Ke Dua (5 Juli 1959- Sekarang)
a. Sebelum Perubahan (5 Juli 1959 - 19 Oktober
1999)
Sejarah penting periode ini adalah diawali oleh
situasi politik, pada sidang konstituante yang saling
tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal
menghasilkan Undang-Undang Dasar baru, maka pada
tanggal 5 Juli 1949 Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrtir Presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD NRI Tahun 1945
sebagai undang-undang dasar menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang masih
berlaku pada saat itu.
Kekuasaan kehakiman pada masa berlakunya
UUD NRI Tahun 1945 kedua ini didasarkan kepada
Undang-Undang No 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
dicatat dalam Lembaran Negara Tahun 1964 dengan
-
113
ditanda tangani oleh Dr Subandrio sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia dan Mohd. Ichsan
sebagai Sekretaris Negara.
Ketika Orde Lama kekuasaan berpusat pada
Presiden maka situasi politik dan keamanan dalam
Negara masih labil. Pengalaman bernegara yang baru
dimulai, sehingga walaupun departemen diletakkan
sejajar dengan Mahkamah Agung akan tetapi,
hambatan tidak ada ahli hukum yang
mempersoalkannya, karena sistem pemerintah yang
represif dan tetang kemerdekaan kekuasaan
kehakiman sendiri diatur di dalam penjelasan UUD
NRI Tahun 1945.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman pada masa
periode demokrasi terpimpin dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan antara lain
kembali ke UUD NRI Tahun 1945. Pada masa
Demokrasi terpimpin (1959-1965) kepentingan-
kepentingan politik rezim sangat mempengaruhi dan
-
114
mewarnai pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi
kekuasaan kehakiman. Pada periode ini pemerintah
tampil dengan peran hegemonic sehingga kekuasaan
kehakiman sangat rentan terhadap intervensi
kekuasaan pemerintah. Kuatnya pengaruh sistem
politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman
tampak jelas pada peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan pada masa ini.
Komitmen untuk menegakkan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945 diperkukuh dan demokratisasi
ditawarkan sebagai babak baru dalam kehidupan
bernegara. Sejauh ini menyangkut independensi
kekuasaan kehakiman, gugatan-gugatan atas eksistensi
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-
Undang No. 13 Tahun 1965 diteriakkan dengan
gencar. Maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
diperbaiki dengan keseluruhannya Undang-Undang
No. 14 Tahunn 1970 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan kedua
-
115
Undang-Undang ini dilakukan untuk merespon
tuntutan berbagai golongan dalam masyarakat
mengenai tegaknya Negara hukum dalam rangka
pemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945.
Selanjutnya guna mengemban amanat UUD
NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 14 Tahun
1970, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah
mengeluarkan ketetapan No. III/MPR/1978 di dalam
Pasal 11 Ayat (1) menyebutkan Mahkota Agung
adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan kehakiman.
Akan tetapi jika dilihat dan dipahami Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 pada dasarnya tetap
mengukuhkan kenyataan dualisme kekuasaan
kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin karena
pada satu sisi tetap memberikan kepada Pemerintah
(Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan
-
116
Departemen Hankam) untuk mengurus masalah-
masalah administrasi, keorganisasian dan keuangan,
dipihak lain memberikan kepada Mahkamah Agung
kewenangan mengurus masalah-masalah tehnis
yuridis. Dualisme semacam ini membawa konsekuensi
bahwa hakim sebagai pegawai departemen kehakiman
merupakan aparatur pemerintah yang mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk mensukseskan
program pemerintah. Sehingga hakim menjadi pejabat
eksekutif.
b. Setelah Perubahan (19 Oktober 1999-
Sekarang)
Pada perubahan pertama UUD NRI Tahun
1945 disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 tidak
ada perubahan tetang pengaturan kekuasaan
kehakiman. Terjadi perubahan susunan, fungsi, dan
wewenang kekuasaan kehakiman pada amandemen
ketiga yang disahkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat pada tanggal 9 November 2001.
-
117
Seperti diketahui, UUD NRI Tahun 1945 telah
mengalami empat kali perubahan, yaitu perubahan
pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun
2000, perubahan ketiga tahun 2001, dan perubahan
keempat tahun 2002. Dalam empat kali perubahan-
perubahan itu, materi UUD NRI Tahun 1945 yang asli
telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan
perubahan materi yang dapat dikatakan sangat
mendasar. Secara substantif, perubahannya yang telah
terjadi atas UUD NRI Tahun 1945 telah menjadikan
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru
sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD
NRI Tahun 1945.
Kekuasaan kehakiman berubah secara
mendasar baik susunan lembaga, kedudukan dan
kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Bab IX
UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka bebas dari segala campur tangan dengan
-
118
kekuasaan lainnya. Serta di dalam bab ini juga muncul
lembaga kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu
Mahkamah Konsitusi dan Komisi Yudisial.
B. Pengakuan Internasional Pengadilan Adat di
Indoensia
Dalam perspektif internasional, dimensi ini juga
sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Declaration on The Rights
of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Masyarakat Sipil), yang disahkan pada
tanggal 7 September 2007 menentukan bahwa:
“Masyarakat adat berhak untuk
mempertahankan dan memperkukuh lembaga-
lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan
budaya mereka, sementara tetap
mempertahankan hak mereka untuk
mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka
juga memilih, dalam kehidupan politik,
ekonomi, sosial dan budaya dari Negara”.
Berikutnya, dalam Pasal 34 ditentukan pula,
“masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan
dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian
dan tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan
-
119
dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat,
sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia
internasional”. Akan tetapi, walaupun demikian konsep ideal
pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bukan
berarti tidak mempunyai kelemahan, kendala dan
menimbulkan pertanyaan serta implikasi yang berkorelasi
dengan dasar hukum dan kewenangan pelaksanaan Peradilan
Adat, prinsip atau asas Peradilan Adat, fungsionaris Peradilan
Adat, proses atau mekanisme Peradilan Adat dan akhirnya
administrasi untuk Peradilan Adat.
Dikaji dari perspektif normatif, empiris dan teoretis
maka eksistensi institusi peradilan adat menimbulkan
pertanyaan dan beberapa keraguan. Lebih lanjut dimensi
demikian dielaborasi sebagaimana tercermin dalam
pandangan Siclair Dinnen berikut ini, yaitu:10
1. Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan
adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana
10
Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice
System To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah
disampaikan dalam Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights
and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003, h. 2-4.
-
120
kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat
kepada perkembangan kondisi yang ada pada
masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini
mempengaruhi putusan yang dibuat seperti
mendiskriminasi perempuan dan anak-anak
(khususnya dalam masyarakat patrilineal)
2. Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya
nepotisme dan korupsi rentan terjadi
3. Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap
kali diragukan
4. Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat
yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga
dampak dari putusan yang dihasilkan pun sangat
berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah
dampak yang dimaksud merupakan dampak positif
ataupun negatif).
5. Bahwa institusi peradilan adat hanya akan efektif dan
mengikat dalam masyarakat tradisional yang
-
121
homogeen akan tetapi akan sangat berbeda jika
diterapkan dalam lingkup urban-area.
Terlepas, dari adanya kelemahan, kendala, pertanyaan
dan kelebihan dimensi konteks di atas maka pemilihan atau
pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri hakekatnya
merupakan suatu pilihan terhadap bagaimana dinamika politik
hukum kedepan terhadap eksistensi mengenai cara
memandang Peradilan Adat di satu sisi dengan hukum formal
di sisi lainnya
C. Hubungan Antara Pengadilan Adat dan Pengadilan di
Bawah Mahkamah Agung
1. Kedudukan Secara Konstitusional Terhadap
Eksistensi Pengadilan Adat
Kedudukan secara konstitusional terhadap
eksistensi Pengadilan Adat, idealnya kemudian
ditindaklanjuti dengan political will yang kuat, untuk
merumuskan posisi Pengadilan Adat dalam sistem
peradilan nasional. Kekurangjelasan posisi Pengadilan
-
122
Adat dalam sistem peradilan nasional, mengindikasikan
bahwa Pengadilan adat belum menjadi prioritas. Di luar
hak-hak tradisonal yang dijamin dalam konstitusi,
pengadilan adat pada dasarnya merupakan opsi bagi
peradilan formal, ketika peradilan formal tidak mampu
memberikan akses keadilan subtansial. Kaitan yang erat
antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu
ternyata bahasa hukum yang baik tidak lain adalah hukum
yang mencerminkan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat.11
Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 (hasil
amandemen) telah memberikan (membuka) ruang, untuk
diperankan kembali peradilan adat yang pernah ada.
Dengan keberadaan peradilan adat, masyarakat tidak
asing lagi, karena keberadaannya tidak terlepas dari
proses perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.
John Ball dalam buku Rikardo Simarmata
menjelaskan, sebelum masuk ke dalam usulan opsi-opsi
11
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, h.58.
-
123
mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem
peradilan nasonal, ada baiknya menoleh masa lalu
peradilan adat di Nusantara. Lewat kebijakan membiarkan
golongan penduduk Hindia-Belanda diatur dengan hukum
yang berbeda, hukum adat dan peradilan-peradilan adat
diakui. Hukum adat diakui dan dipakai dalam penanganan
kasus di pengadilan negara seperti Landraad.12
Hakim
pada peradilan Landraad merupakan hakim negara namun
menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris
adat yang diundang resmi dalam persidangan. Formula
dalam penempatan posisi peradilan adat dalam rangka
menindaklanjuti dasar konstitusional tersebut, hendaknya
mengadopsi yang pernah diberlakukan zaman belanda.
Pengakuan secara konstitusional peradilan adat,
sebagai peradilan yang sejajar kedudukannya dalam
system peradilan nasional, secara mendasar adalah
pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa
12
Rikardo simarmata, Merumuskan Peradilan Adat Dalam sistem
Peradilan Nasional Disampaikan pada seminar „Merumuskan Kedudukan
Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan NasionaDiselenggarakan bersama oleh
Perkumpulan HUMA dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1
Oktober 2013, h. 7.
-
124
Indonesia, karena peradilan adat merupakan produk
budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal ini, sejalan
dengan yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 (hasil
amandemen) Pasal 28I ayat 3 “ Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”, landasan
konstitusional tersebut, merupakan wujud pengakuan
terhadap hak-hak tradisonal, yang mempertegas
kedudukan peradilan adat, yang sejajar dengan peradilan-
peradilan lain dalam sistem peradilan nasional.
Hadirnya Pasal 24 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945,
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”,
Pasal tersebut lebih mempertegas, untuk diakuinya
peradilan adat secara formal dalam undang-undang.
Menurut I Ketut Sundantra, dalam makalahnya secara
teoritis, dengan dicantumkannya Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 28I ayat (3) dalam UUD NRI Tahun 1945 maka
pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak
-
125
tradisional kesatuan masyarakat hukum adat semestinya
diderivasi dalam peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang.
Sesuai dengan teori hirarki norma, Undang-Undang tidak
boleh mengatur hal yang bertentangan dengan jiwa atau
prinsip yang dianut dalam Undang-undang Dasar. Dengan
diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat
hukum adat (termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD
NRI Tahun 1945, semestinya eksistensi peradilan adat
juga mendapat pengakuan dalam undang-undang.
”Pengakuan” yang dimaksudkan di sini adalah
pengesahan formal terhadap suatu entitas (dalam hal ini
peradilan adat) yang mempunyai status khusus.13
Politik hukum kekuasaan kehakiman,
meniscayakan untuk diperkuat agar kedudukan peradilan
adat, memiliki kesejajaran dengan peradilan lain dalam
sistem peradilan nasional. Keberadaan peradilan adat,
13
I Ketut Sundantra, Dinamika Pengakuan Peradilan Adat Dalam
Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Makalah Tugas S3 Program Doktor
Fakultas Hukum Unair), 2013, h.1-2.
-
126
lebih memberikan ekspektasi masyarakat untuk
mendapatkan keadilan subtantif, karena peradilan adat,
keberadaanya berproses dari dinamika masyarakat itu
sendiri.
2. Pengadilan Adat Sebagai Pengadilan di Bawah
Mahkamah Agung
Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter
masing-masing yang unik. Karakter ini terbentuk
berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya
masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter
dan kualitas tersendiri yang secara intristik tidak bersifat
superior satu sama lain.
Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem
hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya
masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny
sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat.
Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act
of a legislator), tetapi dapat dibuat dan ditemukan di
dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotesis dapat
-
127
dikatan berasala dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat
dari suatu aktifitas hukum (juristic activity)14
.
Akar ketatanegaran suatu negara dengan demikian
dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Karakteristik
dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar
kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal ini
dapat terlihat dari komponen dasar yang termasuk dalam
konstitusi yaitu tentang tujuan dan cita-cita bersama. Oleh
karenanya konstitusi selalu dibuat dan berlaku disetiap
negara tertentu.15
Konstitusi negara berisikan tujuan dan cita-cita
bersama yang mengakui dan menjamin Hak Asasi
Manusia baik bersifat individu maupun bersifat kolektif.
Jeremmy Bentham mengatakan kepastian yang
ditimbulkan oleh hukum bagi individu dan masyarakat
adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut Bentham
merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah
14
Moh. Kosnoe dalam Siti Sundari, Hukum Adat Dalam Alam
Kemerdekaan Nasional Dan Segalanya Dalam Persiapan Era Globalisasi,
Ubhara Press, Surabaya, 1996, h. 5. 15
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara
Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h. 452.
-
128
menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada
setiap orang.16
Terkait dengan hal ini tugas hukum adalah
menengahi, mengatasi, menyelesaikan setiap sengketa
atau permasalahan-permasalahan hukum yang ada di
masyarakat.
Dalam pengertian normatif kepastian hukum
memerlukan suatu perangkat peraturan perundang-
undangan dan lembaga yang menangani masalah-masalah
hukum. Sehubungan dengan mendorong ketersediannya
perangkat hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar
terbntuknya perlindungan hukum terhadap masyarakat
sangatlah penting mengingat hukum harus memberikan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat
tercapainya keadilan tetap juga diperlukan adanya
kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada
dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum
16
Jeremmy Bentham, Introduction to the principle of morals and
legislation,1983 dalam Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam
Konstitusi Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h.
453.
-
129
yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus mampu
diwujudkan oleh Peradilan Umum. Anasir kepastian
hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang,
tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau
kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir
yang mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-
tiap pihak yang bersangkutan, sebanding atau setara
dengan kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.17
Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan ialah
tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu
banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan
memberi apa yang menjadi haknya.
Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno
yang menggemukakan pendapatnya mengenai pengertian
keadilan ialah keadaan antar manusia yang diperlakukan
dengan sama, yang sesuai dengan hak serta kewajibannya
masing-masing.
17
A. Ridwan Halim, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia
dalam Tanya Jawab, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, h. 41-42.
-
130
Terkait dengan konteks kepastian hukum dan
keadilan yang bersumber dari Konstitusi dapat menjamin
kedudukan pengadilan adat di lingkungan masyarakat
hukum adat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
adat. Mengkaji Pengadilan Adat sebagai pengadilan di
bawah Mahkmah Agung maka penulis mencoba melihat
peluang dari sudut dimana adanya pengakuan negara
terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam
konstitusi sehingga perlu didorong untuk lembaga
pengadilan adat yang berada di lingkungan adat memiliki
keputusan bersifat final sehingga tidak ada proses hukum
berulang.
Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat
bersifat mandiri ini bersifat ingin lebih mendudukan
posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum
adat secara sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif
sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional. Tepatnya,
kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in
caqu masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman.
-
131
Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara
pidana banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana
yang diselesaikan lembaga pengadilan adat.
Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara
eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Terkait dengan itu, penelitian ini hendak mengkaji tentang
eksistensi pengadilan adat di Indonesia secara
konsitusional. Persoalan yang muncul terkait dengan
eksistensi ini adalah pengakuan negara terhadap
pengadilan adat dan hubungannya dengan pengadilan
negara, dalam hal ini pengadilan di bawah Mahkamah
Agung.
Pengakuan negara terhadap pengadilan adat
berdasarkan konstitusi ini penting sehubungan dengan
keberlangsungan masyarakat adat dan hukum adat sebagai
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat adat. Pengakuan pengadilan adat berdasarkan
konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 B UUUD NRI Tahun
-
132
1945, hendak memberikan penekanan bahwa pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat adat tidak cukup apabila
tanpa disertai pengakuan atas keberadaan pengadilan adat.
Terkait dengan penjelasan diatas maka diperlukan
Pengadilan adat yang didorong sejajar dengan Pengadilan
Tingkat I yakni Peradilan Umum langsung dibawah
Mahkamah Agung sehingga keputusan-keputusan perkara
adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum
berulang. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan
Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum
meliputi:
1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota
provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah
provinsi.
2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi
wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus
-
133
lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi,
Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan
dan Pengadilan anak.
Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan
tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk
berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas
Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua
PT), Hakim Tinggi, Panitera, Sekretaris dan Staf.
Terkait dengan penjelasan di atas Penulis
berdasarkan Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945
mengkontruksikan konstitusi bahwa adanya Pengadilan
Adat adalah hak masyarakat hukum adat untuk memiliki
lembaga atau institusi adat yang paham terkait aturan-
aturan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan-
-
134
permasalahan adat di lingkungan masyarakat hukum adat,
maka Pengadilan Adat harus berada sejajar dengan
Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung layaknya
Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat I
di lingkungan Peradilan Umum sehingga keputusan-
keputusan dari Pengadilan Adat bersifat final sehingga
tidak ada proses hukum berulang sehubungan dengan
permasalahan-permasalahan adat.
Dengan demikian maka terlihat bahwa ada
jaminan dan perlindungan yang dilakukan oleh Negara
terkait Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak atas
keberadaan Pengadilan Adat yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan adat dibawah Mahkamah Agung.
-
135
D. Konstruksi Konstitusional Pengadilan Adat
1. Mendudukkan Pengadilan Adat ke Dalam
Kekuasaan Kehakiman Indonesia
1.1 Kekuasaan Kehakiman Indonesia.
Kekuasaan kehakiman (judicial power)
adalah salah satu cabang dari kekuasaan
pemerintah dalam arti luas sebagai representasi
Negara. Secara konstitusional eksistensi
kekuasaan kehakiman tersebut harus di tetapkan
dalam konstitusi. Hal yang sama berlaku dalam
konsteks kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Secara konstitusional kekuasaan kehakiman
Indonesia di jamin dalam Pasal 24 UUD NRI
Tahun 1945. Untuk itu, dalam membahas isu
mengenai mendudukkan Pengadilan Adat dalam
kekuasaan kehakiman Indonesia, maka yang harus
dibahas terlebih dahulu adalah kedudukan
konstititusional kekuasaan kehakiman Indonesia.
-
136
Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945,
yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1) berbunyi:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Terkait dengan asas atau prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka dalam menjalankan
fungsinya penyelengaaran peradilan dimana
terdapat asas atau prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas
dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik
langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan
lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-
pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim
dalam memutus perkara hanya demi kadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani.
Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo
Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa
adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat.
Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang
-
137
tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen
pengadilan adalah menyangkut faktor adanya
pengadilan yang merdeka.18
Sehubungan dengan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang
Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan
mengenai ruang lingkup „merdeka‟, yaitu bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia.
18
Artidjo Alcostar, Membangun Peradilan Berarti Membangun
Peradaban Bangsa. Majalah Varia Peradilan XX No. 38. Jakarta h 44
-
138
Ketentuan Pasal ini mau menjelaskan
tentang The principle of judicial independence
yang adalah prinsip terkait dengan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
berarti bebas dan lepas dari campur tangan
pemerintah atau badan negara yang lain atau dari
pihak manapun yang akan mempengaruhi
penyelenggaraan tugas serta kewenangannya. Jika
frase kata independen atau kemandirian dilekatkan
dengan kekuasaan Kehakiman, maka yang
dimaksudkan adalah suatu kondisi yang
menunjukan suatu kehendak yang bebas terhadap
lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka,
dimana makna merdeka adalah berdiri sendiri;
bebas dari penghambatan; penjajahan dan
sebagainya, tidak terkena tuntutan; leluasa; tidak
terikat; tidak tergantung pada pihak tertentu atau
freedom of independency judiciary yang tidak
terbatas dalam organ struktural dan fungsional
-
139
didalam kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
independen yang bersifat universal.
Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD
NRI Tahun 1945 yang berbunyi :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
Klausula Pasal 24 Ayat (2) ini
menggunakan asas atau prinsip kekuasaan
kehakiman satu atap (one roof system). Munculnya
ide one roof system menurut Montesquieu untuk
mencegah munculnya kekuasaan atau
pemerintahan yang sewenang-wenang.
Montesquieu berpendapat setiap percampuran di
satu tangan antara legislatif, eksekutif, dan
yudisial dipastikan akan menimbulkan kekuasaan
-
140
atau pemerintahan yang sewenang-wenang19
.
Untuk mencegah kesewenang-wenangan, badan
(alat kelengkapan) organisasi negara harus
dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen
terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan
“Kekuasaan kehakiman satu atap” adalah adanya
borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang
kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ
kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak
melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Terkait dengan penjelasan
diatas maka Pasal 24 Ayat (2) mau mengatakan
walaupun dalam satu atap kekuasaan kehakiman
namun dalam melaksanakan fungsi dan tugas dan
wewenang dan tujuan memiliki kewenangan yang
berbeda antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
konstitusi.
19
Bagir Manan, 2007, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu
Pencarian), Mahkamah Agung RI, Jakarta. h, 120-121
-
141
Pasal 24 Ayat (2) mau menjelaskan
penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman terkait
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah
pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan kedua kali dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009. Adapun Peran
Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal
2 Undang – Undang No. 14 Tahun 1985 yang
berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara
Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain.”
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang
Tahun 2009 dikatakan bahwa MA adalah
pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena
itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap
badan peradilan dalam lingkungan peradilan
-
142
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi yang
pengaturannya dapat kita temui dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Peran Mahkamah Konstitusi dapat kita temukan
dalam Pasal 1 UU 8/2011 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”
Berdirinya Mahkamah Konstitusi
merupakan bagian dari lembaga kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Konstitusi sebagai tribunal
secara terpisah dari Mahkamah Agung yang
mengemban tugas khusus merupakan konsepsi
yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara
-
143
kebangsaan modern (modern state) yang pada
dasarnya menguji keserasian norma hukum yang
lebih rendah dengan norma hukum yang lebih
tinggi. Mahkamah Konstitusi dibentuk atas dasar
asumsi adanya supremasi konstitusi, dimana
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas utama
sebagai pengawal konstitusi, yaitu menjaga agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan
konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Asumsi
berpandangan bahwa “konstitusi adalah hukum
tertinggi yang mendasari atau melandasi kegiatan
negara serta sebagai parameter untuk mencegah
negara bertindak secara tidak konstitusional” 20
.
Perbedaan Mahkamah Agung dengan
Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
20
A. Fickar Hadjar Ed. Al, Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN Dan Kemitraan, Jakarta,
2003. h, 5
-
144
Perbedaan Mahkamah Agung Mahkamah
Konstitusi
Kewenangan
Menurut UUD
NRI Tahun 1945
1.mengadili pada
tingkat kasasi
2.menguji
peraturan
perundang-
undangan di
bawah undang-
undang
terhadap
undang-
undang
3.mempunyai
kewenangan
lain yang
diberikan
undang-
undang
(Pasal 24A ayat
[1] UUD NRI
Tahun 1945)
1. mengadili pada
tingkat pertama
dan terakhir
yang
putusannya
bersifat final
untuk menguji
undang-undang
terhadap
Undang-
Undang Dasar
2. memutus
sengketa
kewenangan
lembaga negara
yang
kewenangannya
diberikan oleh
UUD
3. memutus
pembubaran
partai politik
4. memutus
perselisihan
tentang hasil
pemilihan
umum
(Pasal 24C ayat [1]
UUD NRI Tahun
1945)
-
145
Sementara Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 berbunyi :
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman
Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
tentang Kekuasaan Kehakiman mesikipun didalam
bab kekuasaan kehakiman mengatru badan-badan
lain tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi :
(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan
di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat
badan- badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasan kehakiman.
(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyelidikan dan penyidikan;
b. penuntutan;
c. pelaksanaan putusan;
d. pemberian jasa hukum; dan
e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan
-
146
Pasal ini ingin menyatakan yang dimaksud
dengan badan-badan lain antara lain kepolisian,
kejaksaan, advokat, dan lembaga serta lembaga-
lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan
secara langsung maupun tidak langsung bahwa
Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan
Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menutup
kemungkinan peluang pengadilan-pengadilan lain
dibentuk. Namun dalam Pasal 38 Ayat (1)
Undang-Undang 48 Tahun 2009 didalam bab
kekuasaan kehakiman mengatur badan-badan lain
tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman.
Berbeda dengan keadaan di Amerika
Serikat dimana The Contitution of The United
State Article III Section 1 :
The judicial Power of the United States, shall be
vested in one supreme Court, and in such inferior
-
147
Courts as the Congress may from time to time
ordain and establish.
Konstitusi Amerika Serikat ini mau
menerangkan bahwa Kongres dapat membentuk
Pengadilan dibawah Mahkamah Agung dari waktu
ke waktu dimana Kongres dapat membentuk
dengan menggunakan Undang-Undang.
Ketentuan tersebut menyangkut makna
dasar konstitusional batas-batas pengadilan
dibawah Mahkamah Agung oleh Kongres
Amerikan Serikat itu artinya pembentukan badan
peradilan atau pengadilan harus dilakukan oleh
Undang-Undang. Ini mau menyatakan bahwa
Amerika Serikat dengan demikian lebih terbuka
terhadap fenomena-fenomena hukum terkait yang
menuntut Pengadilan-Pengadilan baru sesuai
kebutuhan dari waktu ke waktu.
Terkait dengan Pembentukan Badan
Pengadilan baru seperti pengadilan khusus maka
-
148
Pasal 8 Undang- Undang No. 49 tahun 2009
Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang
berbunyi : di lingkungan peradilan umum dapat
dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
menggunakan Undang-Undang.
Pasal 8 yang dimaksud dengan "diadakan
pengkhususan" ialah adanya diferensiasi atau
spesialisasi di lingkungan peradilan umum,
misalnya pengadilan lalu lintas jalan, pengadilan
anak, pengadilan ekonomi, sedangkan yang
dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-
undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum
acaranya.
UUD NRI Tahun 1945 mensyaratkan
bahwa pembentukan semua badan peradilan, in
casu pengadilan khusus, harus diatur dengan
-
149
undang-undang (bij de wet geregeld). Pasal 24A
Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi,
“Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum
acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Hal
dimaksud bermakna bahwasanya hal susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara badan-
badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, in casu pengadilan khusus, harus diatur
pula dengan undang-undang (bij de wet geregeld).
Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
berbunyi, ”Semua peradilan di seluruh wilayah
negara Republik Indonesia adalah peradilan
negara dan ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum, yang berisikan “Di
lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan
-
150
pengkhususan yang diatur dengan Undang-
undang”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka
hal pembentukan Pengadilan Adat dibawah
Mahkamah Agung selaku pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Umum, harus diatur
berdasarkan Undang-Undang. Asas legalitas atau
kepastian hukum ini tersirat dan tersurat didalam
Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 dalam
menjelaskan perihal kekuasaan kehakiman
didalam konstitusi negara Republik Indonesia,
asas yang sebenarnya terkait erat dengan ajaran
legisme yang memandang peraturan tertulis
(undang-undang) sebagai satu-satunya sumber
hukum. Adapun tujuan yang dikehendaki asas ini
adalah tercapainya kepastian hukum yang dapat
dimengerti oleh setiap orang dan menjamin
kepentingan setiap orang untuk mendapatkan
-
151
jaminan dalam memperoleh keadilan yang diatur
dalam undang-undang.
1.2 Pengadilan Adat Dalam Kekuasaan
Kehakiman Indonesia.
Secara hukum berdasarkan konstitusi dan
Undang-Undang dapat dibentuk suatu Pengadilan
Adat didalam sistem kekuasaan Indonesia untuk
menyelesaikan pemasalahan-permasalahan hukum
adat yang berada dilingkungan masyarakat adat.
Pembentukan suatu pengadilan khusus bukan
sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang. Akan
tetapi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
menentukan, pengadilan khusus hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan.
Kebutuhan hukum di lingkungan
pengadilan Negara seperti pengadilan-pengadilan
khusus contohnya pengadilan tindak pindana
korupsi, pengadilan niaga, pengadilan HAM yang
dibentuk sesuai kebutuhan kekhususannya dan
-
152
badan lain yang memang sudah ada jauh sebelum
Negara ini berdiri yakni Pengadilan Adat.
Penjelasan terkait Pasal 24 di atas juga memiliki
hubungan dengan Pasal 27 Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 bahwa : Pengadilan khusus hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung.
Maka secara langsung atau tidak langsung
dapat menjelaskan bahwa peluang pengadilan
khusus dapat dibentuk didalam lingkungan
peradilan umum dibawah Mahkamah Agung. Hal
ini juga menjelaskan bahwa ada pengakuan atau
jaminan dari Negara terkait berdirinya pengadilan-
pengadilan khusus seperti pengadilan niaga,
pengadilan hubungan industrial, pengadilan tindak
pidana korupsi, dan Pengadilan Adat sesuai
kebutuhan hukum.
-
153
Pembentukan suatu pengadilan khusus
bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang.
Akan tetapi Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman menentukan, pengadilan khusus hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan. Dalam sistem peradilan di Indonesia
ditentukan adanya empat lingkungan peradilan,
yaitu Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan
Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer
dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Empat lingkungan peradilan ini bersifat limitatif,
artinya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
tidak membuka kemungkinan adanya penambahan
lingkungan peradilan lain.
Dengan demikian, Pengadilan Pajak harus
dikhususkan atau dikategorikan sebagai
Pengadilan Khusus di bawah salah satu dari empat
lingkungan Peradilan Peradilan yang ada.
Misalnya terkait dengan permasalahan hukum
-
154
perpajakan berdasarkan karakteristik dan sifat dari
sengketa perpajakan, memiliki sesamaan dengan
senketa tata usaha negara, dengan demikian
kedudukan Pengadilan Pajak lebih tepat untuk
ditempatkan pada lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara.
UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting
negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam konteks tersebut, maka ketentuan
Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang- undang.
-
155
Mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi
relevan. Salah satu konsekuensi Pasal 24 Ayat (3)
adalah munculnya berbagai lembaga peradilan,
diantaranya adalah Lembaga Pengadilan Adat.
Keberadaan lembaga Pengadilan Adat sangat
penting apabila dikaitkan dengan konsep negara
hukum, yang menghendaki adanya penegakan
hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang
ditegakkan disini adalah hukum adat yang terkait
dengan penegakan aturan-aturan adat di
lingkungan masyarakat adat.
Dengan hadirnya Pasal 24 Ayat (3) UUD
NRI Tahun ini lebih mempertegas untuk diakuinya
Pengadilan Adat secara formal dalam undang-
undang karena sifatnya terbuka. Adanya sifat
terbuka didalam Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 ini juga memberikan peluang untuk
membentuk lembaga pengadilan lain yang bersifat
khusus dibawah lingkungan peradilan umum,
-
156
peradilan tata usaha Negara, peradilan agama,
ataupun peradilan militer.
Sehubungan dengan adanya kekuasaan
untuk mengadili suatu perkara seperti Pengadilan
Adat diakui secara formal dengan cara mendorong
Pengadilan Adat menjadi pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan umum, sehingga
Pengadilan Adat diakui kedudukannya pada
tingkat Pengadilan Negeri.
Pengadilan Adat yang memiliki kekhususan
tersendiri karena merupakan warisan budaya dari
nenek moyang dan memiliki ciri khas tersendiri
dilihat dari struktur pengorganisasian atau
lembaganya yang biasa dipimpin oleh hakim adat
yang adalah mereka yang mempunyai garis
keturunan menjadi pimpinan adat, adanya aturan-
aturan hukum adat yang mengatur kehidupan
masyarakat hukum adat terkait larangan-larangan
yang tidak boleh dilakukan serta hukuman apa
-
157
yang diberikan kepada anggota masyarakat hukum
adat. Ini sangat berbeda dengan Pengadilan Negeri
karna sifat, bentuk dan sistem yang berlaku di
Pengadilan Adat masih sangat tradisional.
Pengadilan Adat dapat dibentuk dan tidak
bertentangan dengan Pasal 24 UUD NRI Tahun
1945, dikarenakan Pasal 24 Ayat (3)
memperbolehkan badan-badan lain dalam hal ini
termasuk Pengadilan Adat dapat dikontruksikan
berada didalam kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Pengadilan Adat di dalam kekuasaan
kehakiman sudah sepatutunya didorong atau
diperbolehkan berada dibawa Peradilan Umum
sebagai bagian dari penghormatan dan pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat berdasarkan
Pasal 18 b UUD NRI Tahun 1945. Sehubungan
dengan penjelelasan di atas Pemerintah juga perlu
untuk membuat Undang-Undang Pengadilan Adat
-
158
seperti beberapa Pengadilan Khusus yang telah
terbentuk.
Terkait dengan putusan Pengadilan Adat
yang dianggap tidak memuaskan hati korban yang
merupakan anggota masyarakat hukum adat ,dan
mereka melaporkan kembali ke kepolisian dan
hinngga proses ke Pengadilan Negeri atau
melakukan gugatan di pengadilan negeri maka
putusan hukuman dan denda yang telah dilakukan
oleh pelaku akan berpotensi untuk terjadi proses
hukum untuk kedua kalinya atau proses hukum
berulang di Pengadilan Negeri sehingga sangat
merugikan pelaku.
Dengan demikian untuk menghindari
proses hukum berulang maka perlu diakuinya
kedudukan Pengadilan Adat untuk didorong satu
kamar di Pengadilan Negeri dalam lingkup
Peradilan Umum mengingat ada peluang
berdasarkan konstitusi yakni Pasal 24 Ayat (3 )
-
159
UUD NRI Tahun 1945 dan penjelasan terkait
Pasal 24 diatas juga memiliki hubungan dengan
Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
bahwa :
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung .
2. Yuridiksi Pengadilan Adat
Pengadilan adat memiliki basis konstitusional.
Oleh karena itu pembentukan pengadilan adat di bawah
Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan hukum
yaitu Konstitusi dan Undang-Undang. Namun demikian
masih ada persoalan lain yang perlu di diskusikan yaitu
mengenai yuridiksi pengadilan adat tersebut. Hal ini
supaya pembentukan Pengadilan Adat yang telah memliki
basis konstitusional tetap dilakukan berdasarkan hukum
yaitu kontitusi dan Undang-Undang.
2.1 Pengadilan Adat Ditingkat Pengadilan Negeri
Pembentukan Pengadilan Adat berada dibawah
Mahkamah Agung menjadi lembaga atau institusi yang
-
160
dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan atau
perkara adat. Terkait dengan pembentukan Pengadilan
Adat tersebut, maka upaya hukum dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan adat didorong berada pada
Judex Factie Tingkat I yakni Pengadilan Negeri.
Proses mendudukkan Pengadilan Adat berada
ditingkat Pengadilan Negeri dapat dijustifikasi secara
analogi dengan melihat bagaimana proses atau cara
mendudukkan mediasi dapat berada ditingkat Pengadilan
Negeri. Mediasi dan Pengadilan Adat memiliki esensi
yang sama yakni mengurangi beban kewenangan hakim
dalam menyelesaikan perkara. Dalam Mediasi peran
hakim diambil oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan perkara sesuai dengan kesepakatan
bersama. Sementara hal yang sama juga terjadi pada
Pengadilan Adat ditingkat Pengadilan Negeri dengan
mengurangi beban hakim Pengadilan Negeri dikarenakan
penyelesaian permasalahan-permasalahan atau perkara
adat dialihkan menjadi kewenangan hakim adat.
-
161
Sehubungan dengan penjelasan diatas maka alasan
Pengadilan Adat didorong berada ditingkat Pengadilan
Negeri dikarenakan hanya Pengadilan Adat sebagai
institusi atau lembaga adat yang dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan hukum adat dilingkungan
masyarakat hukum adat.
2.2 Yurisdiksi Ratione Loci Pengadilan Adat
Persoalan yang dihadapi dalam pembentukan
Pengadilan Adat yakni Pertama adalah persoalan
Juridiction Ratione Loci, dimana terlihat dari Pengadilan
Negara pada tingkat paling rendah memiliki strukur
formal yang setara dengan Kabupaten / Kota yaitu
Pengadilan Negeri, namun itu belum tentu sama dengan
wilayah berlakunya hukum adat.
Yurisdiksi ini adalah Yurisdiksi terkait dengan
lingkungan atau wilayah untuk mengadili. Yurisdiksi ini
juga menjelaskan wilayah kewenangan Pengadilan dalam
menyelesaikan perkara berdasarkan wilayah atau tempat
-
162
perkara itu berlangsung atau dapat diasumsikan sebagai
yuridiksi yang terkait dengan wilayah kerja atau wilayah
kewenangan mengadili.
Masyarakat hukum adat adalah kelompok-
kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan
mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik
yang berwujud maupun tidak berwujud. Susunan dan
bentuk seluruh anggota persekutuan masyarakat tersebut
terikat atas faktor yang bersifat teritorial dan genealogis.
Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat
disebabkan adanya faktor ikatan yang mengikat masing-
masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor
ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara
teoritis adalah faktor genealogis (keturunan) dan faktor
teritorial (wilayah).21
Hal ini menyebabkan berlakunya
territorial wilayah hukum adat juga berlaku pada wilayah
teritorial Pengadilan Adat.
21
Hilman Hadikusuma, Op.Cit. h,105.
-
163
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang
merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya
terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis.
Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum
di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan
masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang
territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota –anggota masyarakatnya terikat pada suatu
daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi
sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.22
Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang
bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara
tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian
adat23
22
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia
(Bandung: CV Mandar Maju, 2003), h, 108 23
Ibid. h, 109.
-
164
Pengadilan adat sehubungan dengan yuridiksi ini
dapat di jelaskan berdasarkan wilayah terjadinya
permasalahan-permasalahan adat yang berlaku di
lingkungan masyarakat hukum adat. Hukum adat
bergantung pada wilayah hukum dari masyarakat hukum
adat karena menganut asas relativisme dimana masing-
masing masyarakat hukum adat memiliki hukum adat
masing-masing. Juridiksi Pengadilan Adat berada di
dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang
berbeda atau tidak sebangun persis dengan wilayah
teritorial Pemerintah, dengan kata lain wilayah berlakunya
hukum adat tidak sama dengan wilayah administrasi
Pemerintahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Pengadilan Adat boleh jadi akan memiliki yuridiksi yang
lebih luas daripada Pengadilan Negeri setempat, karena
memiliki susunan masyarakat adat yang teritorinya belum
tentu sama dengan susunan pemerintahan kita yang paling
bawah yaitu Kabupaten/Kota. Sehubungan dengan itu
-
165
dapat ditentukan bentuk Pengadilan Adat yang paling
tepat adalah berdasarkan teritorial mengingat luasnya
wilayah hukum adat sehingga Pengadilan Adat tersebut
bisa berada di Ibu Kota Propinsi atau Kota/ Kabupaten
yang ditentukan. Namun bisa juga misalnya dengan cara
menentukan Pengadilan Adat berada didalam salah satu
Kota/Kabupaten yang telah ditentukan dengan
membawahi beberapa Kabupaten yang didalamnya
dimungkinkan terdapat beberapa kesatuan masyarakat
adat untuk mengadili permasalahan-permasalahan hukum
adat tersebut.
Maka dalam hal ini diperlukan peraturan yang
mengatur kedudukan, susunan dan yuridiksi kewenangan
Pengadilan Adat yang berlaku di wilayah teritorial
Pemerintahan paling rendah Kabupaten/Kota, atau
ditentukan pada berada di Pengadilan Negeri tertentu
mengingat wilayah berlakunya hukum adat bisa lebih
luas dari wilayah hukum Pengadilan Negeri.
-
166
2.3 Yurisdiksi Ratione Materie Pengadilan Adat
Yurisdiksi ini adalah Yuridiksi yang berkaitan
dengan pokok perkara dalam hal ini pokok perkara yang
lazim adalah perkara pidana atau perkara perdata.
Sehubungan dengan yuridiksi mengenai pokok perkara
dalam pembentukan Pengadilan Adat maka persoalan
yang timbul adalah persoalan kompetensi dimana
Pengadilan Negeri memiliki kompetensi Absolut yakni
perkara pidana dan perdata. Perkara pidana adalah perkara
yang memiliki sifat yakni Negara dengan alat
perlengkapan atau hubungan antar Negara dengan warga
Negara. Sedangkan perkara perdata mengatur hubungan
orang yang satu dengan orang yang lain dengan
menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Berdasarkan sifat atau karakter dari perkara pidana yang
bersifat nasional dan perdata bersifat kepentingan orang
perorang atau pihak-pihak bersengketa, dengan demikian
maka perkara perdata yang dapat diselesaikan dengan cara
mediasi sebelum masuk ke persidangan.
-
167
Sehubungan dengan penjelasan diatas maka
kompetesi absolut dari Pengadilan adat adalah
menyelesaikan perkara-perkara perdata ini dikarenakan
Pengadilan adat secara prinsip tidak boleh mengadili
perkara hukum yang bersifat nasional seperti perkara
hukum pidana yang bersumber dari KUHP. Hukum
pidana berlaku berdasarkan yuridiksi teritorial yang
mempunyai jangkauan keberlakuan secara nasional dan
berlaku sama bagi setiap individu yang melakukan
pelanggaran hukum khususnya hukum pidana. Sehingga
jika diperhadapkan dengan hukum adat memang ada
persoalan yang perlu dipikirkan secara mendalam karena
berkaitan dengan yurisdiksi pokok perkara. Alasan hukum
pidana bersifat nasional ini menjawab Pengadilan adat
tidak dapat memproses perkara sehubungan dengan
perkara pidana kecuali hukum pidana tersebut dijadikan
delik pidana adat dengan menetapkanya dengan peraturan
daerah sehingga ada sanksi-sanksi yang berlaku.
-
168
2.4 Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Adat
Mendudukan Pengadilan Adat berada di
Pengadilan Tingkat I memiliki point penting, sehubungan
dengan penyelesaian permasalahan atau perkara hukum
adat terkait putusan-putusan Pengadilan Adat yang
memiliki upaya hukum selanjutnya apabila para pihak
tidak menerima putusan-putusan tersebut.
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan tidak selalu
memuaskan para pihak yang berperkara termasuk
kemungkinannya dengan putusan Pengadilan Adat,
sehingga para pihak yang tidak menerima dapat
mengajukan upaya hukum banding pada Pengadilan di
tingkat Banding yakni di Pengadilan Tinggi. Alasan hasil
putusan Pengadilan Adat diajukan ke Pengadilan Tinggi
mengingat semua perkara yang telah diputuskan oleh
Pengadilan Adat tidak boleh diuji kembali pada tingkat
yang sama mengingat Pengadilan Adat berada satu tingkat
dengan Pengadilan Negeri pada Pengadilan Tingkat I.
Apabila diuji kembali pada Pengadilan Negeri maka hal
-
169
ini akan bertentangan dengan asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan yang terdapat pada Pasal 4 (2)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas-
asas lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Menurut Sudikno Mertokusumo pengertian
asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, yaitu:
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) ada pada Undang-Undang No
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi
harapan para pencari keadilan.
-
170
Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang
efisien dan efektif.
Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya
perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.
Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian
perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan
Pengadilan membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Di bawah ini secara singkat diuraikan satu
persatu mengenai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
sebagai berikut24
:
a. Asas sederhana Sederhana secara umum dapat
diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak kompleks
atau tidak terlalu sulit, asass sederhana artinya
caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak
berbelit, yang penting disini ialah agar para pihak
dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan
24
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap
Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta,
2001, h, 64
-
171
pasti (tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya
dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan pasti,
dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi
kepentingan para pihak yang menghendaki acara
yang secara sederhana. Menurut hemat penulis
dikatakan sederhana bahwa sesuatu yang dapat
diselesaikan dengan cara sederhana tidak boleh
sengaja untuk dipersulit agar memperpanjang proses
peradilan yang kemudian akan merugikan salah satu
pihak ataupun kedua belah pihak dengan cara
mengulur-ulur proses persidangan.
b. Asas Cepat secara harfiah dapat dimaknai sebagai
sesuatu yang singkat tidak membutuhkan waktu
yang lama atau diartikan sebagai sesuatu yang
dilakukan segera yang menjadikan tempo sebagai
acuannya. Asas cepat dalam proses peradilan disini
artinya penyelesaian perakara memakan waktu tidak
terlalu lama, hal ini dapat dilihat dari Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1992 yang
-
172
memberikan batasan waktu paling lama 6 bulan
sejak perkara itu didaftarkan di kepaniteraan, kecuali
jika memang menurut ketentuan hukum tidak
mungkin diselesaikan dalam waktu enam bulan.
Namun demikian, penyelesaian yang cepat ini
senantiasa harus berjalan di atas aturan hukum yang
benar, adil dan teliti. Asas cepat ini pada dasarnya
tidak menghendaki agar proses perkara di
pengadilan dilakukan secara cepat tanpa
memperhatikan kebutuhan terhadap penyelesaian
suatu perkara apakah dengan diselesaikan dengan
cepat membuat putusan yang dikeluarkan oleh
hakim kurang pertimbangan.
c. Asas Biaya Ringan Dalam asas ini penekanannya
adalah mengenai biaya-biaya perkara yang akan
dikeluarkan oleh kedua belah pihak terhadap perkara
yang sedang dijalaninya seperti biaya-biaya yang
dikeluarkan seperti biaya administrasi, biaya
perkara, biaya pemanggilan saksi, biaya materai dan
-
173
biaya lainnya yang berkaitan dengan proses
peradilan. Segala pembayaran di pengadilan harus
jelas kegunaannya dan diberi tanda terima uang.
Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang
tersebut kepada yang bersangkutan dengan
mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara
sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya
sewaktu-waktu.
Sudikno Mertokusomo juga menjelaskan bahwa
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan terdapat
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mau mengatakan
hukum acara harus jelas, mudah difahami dan tidak
berbelit-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian
sengketa cukup diselesaikan melalui satu lembaga
peradilan). Semakin sedikit dan sederhana formalitas-
formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam
beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu
-
174
banyak formalitas yang sukar dipahami, sehinggga
memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang
menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan
keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka
pengadilan.25
Dengan melihat penjelasan para Sarjana diatas
maka latar belakang didorongnya Pengadilan Adat berada
di Pengadilan Tingkat I telah memenuhi asas peradilan
sederahana, cepat biaya ringan, dimana asas hukum acara
yang digunakan jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-
belit. Sehingga masyarakat adat sebagai pihak yang
berperkara dapat merasakan keadilan dalam menjalankan
upaya hukum di Pengadilan adat yang berada pada
Pengadilan Tingkat I.
25
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty
Yogyakarta.2003.h 56