BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA...

39
BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan Gowa sebagai salah satukerajaan yang pernah ada di Indonesia (Nusantara) pernah memainkan peran penting dikawasan timurnusantara. Kerajaan ini tidak hanya terkenal sebagai kerajaan yang berorientasi sektor pertanian, melainkan juga memanfaatkan laut sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan perekonomian di kawasan timur. Atau dalam bahasa lain Kerajaan Gowa memanfaatkan darat dan laut. Bahkan munculnya pelabuhan Somba Opu sebagai bandar transito memberikan satu efek yang luar biasa bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa. Hal ini dilihat dari; pertama, letak strategis Kerajaan Gowa yang berada di antara jalur pelayaran dan perdagangan Malaka dan Maluku. Kedua, hasil bumi Kerajaan Gowa seperti padi (beras), kapas, pala, ikan, teripang dan kulit penyu.Beberapa hasil bumi Kerajaan Gowa juga ditukarkan dengan rempah-rempah di Maluku.Ketiga, politik pintu terbuka yang dijalankan Kerajaan Gowa. Di mana semua pedagang dari Melayu, Arab, India, China, Belanda, Spanyol, Portugis, Denmark dan Inggris diberikan kesempatan yang sama dalam berdagang. Sebenarnya,kemunculan Kerajaan Gowa sebagai negara niaga, paling tidak sudah nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.Dimana saat Malaka takluk, banyak pedagang dari Malaka ke tempat-tempat lain termasuk Kerajaan Gowa, dalam hal ini pelabuhan Somba Opu. (Abd. Kadir Ahmad, 2004 : 45). Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya dalam dunia perdagangan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX, Karaeng Tumaparisi Kallonna.Dugaan itu didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang terletak jauh dari wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang sebagai faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu beriorentasi ke dunia agraris. Kedua, raja ini mengawali pemindahan istana dan pusat pemerintahan istana dan pusat pemerintah ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara Sungai Jeneberang. Wilayah Somba Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan itu terlibat dalam dunia niaga. Ketiga pada masa pemerintahaanya diciptakan satu jabatan baru yang dikenal sebagaiSyahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak

Transcript of BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA...

Page 1: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

BAB IV

ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA

A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan

Gowa sebagai salah satukerajaan yang pernah ada di Indonesia (Nusantara) pernah

memainkan peran penting dikawasan timurnusantara. Kerajaan ini tidak hanya terkenal

sebagai kerajaan yang berorientasi sektor pertanian, melainkan juga memanfaatkan laut

sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan perekonomian di kawasan

timur. Atau dalam bahasa lain Kerajaan Gowa memanfaatkan darat dan laut. Bahkan

munculnya pelabuhan Somba Opu sebagai bandar transito memberikan satu efek yang

luar biasa bagi perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa. Hal ini dilihat dari; pertama,

letak strategis Kerajaan Gowa yang berada di antara jalur pelayaran dan perdagangan

Malaka dan Maluku. Kedua, hasil bumi Kerajaan Gowa seperti padi (beras), kapas, pala,

ikan, teripang dan kulit penyu.Beberapa hasil bumi Kerajaan Gowa juga ditukarkan

dengan rempah-rempah di Maluku.Ketiga, politik pintu terbuka yang dijalankan Kerajaan

Gowa. Di mana semua pedagang dari Melayu, Arab, India, China, Belanda, Spanyol,

Portugis, Denmark dan Inggris diberikan kesempatan yang sama dalam berdagang.

Sebenarnya,kemunculan Kerajaan Gowa sebagai negara niaga, paling tidak sudah

nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah efek dari

kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.Dimana saat Malaka takluk,

banyak pedagang dari Malaka ke tempat-tempat lain termasuk Kerajaan Gowa, dalam hal

ini pelabuhan Somba Opu. (Abd. Kadir Ahmad, 2004 : 45).

Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya dalam dunia perdagangan

pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX, Karaeng Tumaparisi Kallonna.Dugaan itu

didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja dan

pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang terletak jauh dari

wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang sebagai faktor yang

menunjukkan bahwa kerajaan itu beriorentasi ke dunia agraris. Kedua, raja ini mengawali

pemindahan istana dan pusat pemerintahan istana dan pusat pemerintah ke Benteng

Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara Sungai Jeneberang. Wilayah Somba

Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan

itu terlibat dalam dunia niaga. Ketiga pada masa pemerintahaanya diciptakan satu jabatan

baru yang dikenal sebagaiSyahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak

Page 2: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

perdagangangan di pelabuhan.(H.D. Mangemba, 1972 : 1; Abd. Razak Daeng Patunru,

1993 : 11-12).

Apa yang mendorong raja ini mengalihkan perhatiannya pada dunia niaga tidak

diketahui dengan pasti. Akan tetapi bila memperhatikan latar belakang perkembangan

niaga di wilayah ini, usaha yang dilakukannya dapat diperkirakan terdorong oleh

besarnya keuntungan ekonomi dalam dunia niaga. Latar belakang keluarga Karaeng

Tumaparisi Kallonna memiliki pertalian darah dengan keluarga pedagang ibunya, I

Rerasi, adalah putri pedagang kapur dari daerah utara yang mengunjungi kerajaan

tersebut pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XVII, Batara Gowa. Dalam hubungan ini

ia tentunya di pengaruhi oleh jiwa dagang yang diwarisnya dan keadaan kegiatan

keluarganya.

Langkah awal yang ditempuh Kerajaan Gowa dalam mengembangkan pengaruh

kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya yaitu Tallo dan

sekutu-sekutunya seperti Maros dan Polombangkeng yang telah lama bergiat dalam dunia

niaga. Kemudian kerajaan Gowa memperluas pengaruh kekuasaannya dengan

menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa,

Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar. Sementara bekas sekutu Tallo (Maros

dan Polombangkeng) dan beberapa kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan

Luwu dijalin perjanjian persahabatan. Politik perluasan kekuasaan itu terkandung harapan

bahwa kerajaan-kerajaan itu nantinya akan mengalihkan kegiatan perniagaan mereka ke

Bandar niaga Kerajaan Gowa. (Abd. Razak Daeng Patunru, 1993 : 13).

Pada dasarnya kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Gowa, akan tetapi

mereka tetap bergiat mengembangkan bandar niaga mereka masing-masing keadaan itu

dipandang meghambat usaha untuk mengembangkan dan memajukan perniagaan,

sehingga ketika Tunipallagga menduduki tahta dilaksanakan penaklukan terhadap

kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir seperti; Siang, Bacukiki, Suppa, Sidenreng, Bajeng,

Langkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Panaikang, Duri,

Bulukumba, berbagai kerajaan kecil disekitar Bone, dan kerajaan lainnya. Berbeda

dengan pendahulunya, raja ini dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang

ditaklukan untuk mengangkut penduduk dan harta bendanya ke Gowa.Penduduk wilayah

taklukan yang diangkut itu ditempatkan di sekitar Pelabuhan Tallo dan Pelabuhan Somba

Opu. Kehadiran mereka itu bukan hanya meningkatkan jumlah penduduk tetapi yang

terpenting adalah untuk memanfaatkan keahlian mereka, terutama yang telah

berpengalaman dan bergiat pada pusat-pusat perdagangan asal mereka, untuk memajukan

Page 3: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Bandar niaga Kerajaan Gowa. Kebijaksanaan itu berarti bukan semata-mata dutujukan

untuk mengeksploitasi tenaga dan barang tetapi juga berusaha memanfaatkan serta

mengalihkan kemampuan dan teknologi dari kerajaan-kerajaan taklukan. Itulah sebabnya

pada periode pemerintahannya terjadi perubahn dalam bidang organisasi politik, ekonomi

dan sosial. Daerah-daerah yang ditaklukkan tersebut disamping penduduknya bergiat

dalam bidang niaga juga dikenal sebagaidaerah yang kaya akan produksi pertanian,

peternakan, dan perikanan. Seperti diungkapkan Manoel Pinto ketika mengunjungi

Sidenreng pada tahun 1548:

“Menurut saya negri ini yang paling baik yang pernah saya lihat di dunia, karena

daerahnya berupa daratan dimana padi, ternak, ikan dan buah-buahan berlimpah-

ruah. Kotanya terletak di tepi danau dan dimana perahu-perahu besar dan kecil,

berlayar simpang siur. Di sekeliling danau itu terdapat pula kota-kota yang makmur.

Demikian juga dengan kerajaan lainnya, seperti Pangkajene (Siang) dan Suppa.

Bahkan penduduk Kerajaan yang ditaklukkan dimanfaatkan sebagai tenga kerja kasar

ataupun dijual sebagai budak. Budak merupakan salah satu komoditi perdagangan yang

tidak kalah pentingnya pada waktu itu, baik untuk digunakan sebagai tenaga pendayung,

pengangkutbeban ataupun kegiatan kerja lainnya. Hal ini pula merupakan salah satu

faktor yang menempatkan daerah Makassar pada masa itu sebagai pusat perdagangan

budak, disampingorang-orang curian serta pengeksporan kembali budak-budak yang

berasal dari Kalimantan, Timor, Manggarai, Solor, Alor, dan Tanimbar. (Christian

Pelras, 1983 : 60-61).

Politik perluasan kekuasaan dan besarnya perhatian yang dilandasi oleh sikap terbuka

dari penguasa Gowa terhadap kehidupan perniagaan akhirnya berhasil menempatkan

Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan pangkalan kegiatan maritim di

wilayah itu. Disamping itu tidak dapat diabaikan begitu saja para pedagang dan pelaut

yang melakukan aktifitas niaga disana, yang telah berhasil menjadikan Makassar sebagai

Bandar niaga tempat pemasaran produksi perdagangan. Karena itu pelabuhan Makassar

tampil sebagai bandar utama mereka dalam hubungan dengan bandar niaga lain.

Kemajuan yang dicapai itu ternyata tidak memberikan kepuasan bagi pedagang

Belanda. Ini disebabkan karena pihak Belanda tidak menginginkan keberadaan pedagang

Eropa dalam perdagangan rempah-rempah di Makassar. Bagi pihak Belanda yang telah

menanamkan kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan Spanyol melakukan gangguan

terhadap perahu dagang Makassar diperairan Maluku untuk dapat memonopoli

perdagangan rempah-rempah.

Page 4: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan pertarungan

pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri” (allehandel) atau lazim

disebut monopoli versus perdagangan bebas yang diterapakan Kerajaa Gowa. Karena itu

Kerjaan Gowa bergiat membangun benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng

Tallo di bagian utara dan benteng Panakukang di bagian selatan , Benteng ujung Tanah,

Ujung Pandang, Baroboso, Mariso, Garasi, dan Barombong, untuk melindungi kedudukan

mereka dari ancaman kompeni: juga diprsiapkan pembuatan jenis perahu gorab atas

perintah Karaeng Matoaya atau Raja Tallo yang berkuasa saat itu. Usaha pembangunan

kapal dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya itu merupakan bantuan orang-

orang Portugis, Melayu, dan Arab.(C. Nooteboom, 1951 : 1)

1. Posisi Makasaar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan

Kennet R. Hall menyakini sekitar abad XV hingga abad XVII, terdapat lima

jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk

Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India selatan, Seilon, Bima, serta pesisir

utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Makassar; ketiga,

jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand

dan Vietnam selatan (sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina selatan);

keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat barat Luzon,

mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam); kelima;

jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku,

pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada dasarnya setiap

jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran internalnya akan

tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan perdagangan itu.(H.A.

Sutherland, Power, Trade and Islam in the EastenArchipelago, 1700-1850, dalam

Philip Quarles van Ufford and Mattew Schofferless, ed., Religion Development:

Toward An Intergrated Approach. (Ammsterdam, 1988 : 145-146).

Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras dan

barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagangan Bugis

Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara

barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua

belah pihak.

Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang berasal dari

negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan potong

dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai kesatuan

Page 5: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

berat dan berbeda ukurannyaa disetiap, seprti bahar Maluku =600 pond, sedangkan

bahar Malaka=500 pond.(J.CC.Van Leur,1960 : 111).

Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang

timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis – Makassar.Uang

timah itu dianggap sebagai uang muka dan diberlakukan jaminan secara tertulis. Surat

tanda terima ini di tulis dalam bahasa Melayu.(B.O. Schrieke, 1995:20-21).

Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagan antara pedagang asing lokal,

berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian,senjata, dan

dibawah pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian ditukar ke pedagang

Bugis Makassar untuk seanjutnya barang tersebut di bawah ke pelosok Sulawesi,

Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk ditukar dengan rempah- rempah,

kemudian dijual lagi pedagang asing.

Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah

dibuat mata uang dari emas disebut dinarayang berbentuk besar dan kupa yang

berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut

benggolo. Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat

menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata

uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1650 terjadi devaluasi emas

yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling atau 0,8 real Spanyol.

Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan pemberian

dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak sebagai pedagang dan

memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan dengan syarat-syarat

tertentu. Sesuai yang termuat dalam Kitab Amanna Gappa, yaitu pemberi saham

seringkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau menjadi calo dengan hak

komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, sepertiga pertama dan sepertiga

kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan untuk mengembalikan

perongkosan peralatan awak kapal.

Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya. Mereka

“berdagang” dalam bentuk Commenda, yaitu menyerahkan barang dagangan kepada

orang lain untuk diperdagangkan. Misalnya hartawan yang menyerahkan

dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan

perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa

berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba

juga dipakai menurut ketentuan yang berlaku.

Page 6: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara berdagang

maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah sebagai berikut:

“ Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di

Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh

rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar pergi ke

Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di

perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah Buton, ke daerah Bugis, ke

Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”.

Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada lima

jenis cara berjualan:

1. Berkongsi sama banyak;

2. Samatula;

3. Utang tanpa bunga;

4. Utang kembali;

5. Kalula

Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko

sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul

bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak di lautan,

kebakaran atau pencurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama (ditanggung oleh

pelaksana perdagangan), yaitu:

1. Dijudikan

2. Dipelacurkan

3. Dipergunakan beristri

4. Diboroskan

5. Dipinjamkan

6. Diamdatkan

7. Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya.

Adapun yang disebut samatula, adalah yang empunya barang jualan yang

memikul segala kerusakannya. Labanya dibagi tiga , dua bagian diambil oleh yang

empunya dagangan, sebagian diambil oleh si pembawa.

Mengerti utang tanpa bunga, si pemberi utang yang menagih saja, jikalau telah

sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu

ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang

berutang. Kalau tidak laku atau tidak berganti rupa, maka berang boleh dikembalikan.

Page 7: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin pada adat,

segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu.

Dalam pasal 9, disebutkan bahwa semua penjual tidak tunggu menunggu

kekeliruan, misalnya (dalam hal) bayar membayar. Jikalau setelah diterima, barulah

diketahui tidak cukup pembayarannya, atau robek bagi barang yang berlembar,

dicukupkanlah yang robek. Sebab tidak boleh mengembalikan barang yang telah

diputuskan harganya, kalau ternyata dengan sesama pedagang.

Kalula atau yang disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan

menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dengan pemilik barang yang

sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak

memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri Kalula sendiri

yang menanggung keluarganya tidak ikut menanggung resiko.

2. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain

Corak baru perdagangan Kerajaan Gowa muncul setelah dalam abad XVII

Mataram mengadakan penghancuran atas kota-kota komersial Jawa Timur. Pusat

perdagangan remapah-rempah secara simultan pindah ke Makassar; jalur lintas

perdagangan tidak lagi dari Maluku via Gresik, selanjutnya menyusuri selat Malaka,

tetapi dari Maluku melalui Makassar dan Selatan Borneo ke selat Malaka atau Batam.

Perubahan rute perdagangan itu bukan tidak mempunyai pengaruhatas simpati politik

orang-orang Maluku.Apabila dalam era Portugis dan bahkan pada dekade pertama

abad XVII mereka (orang-orang Maluku) banyak yang berlindung kepada penguasa-

pengusa di Jawa, maka sekarang mereka tempatkan diri mereka dibawah proteksi

Kerajaan Gowa. Masa inilah Kerajaan Gowa memasuki zaman keemasannya. Para

kaum bangsawan mulai memegang kendali perdangan rempah-rempah, bahkan raja

sudah menjadi pembeli utama barang-barang yang masuk di daerahnya. Scrihrieke

mengatakan bahwa:

Pada awal abad XVII, mula-mula orang asinglah yang membawa perdagangan

dari Makassar, sementara penduduk aslinya bersawah. Hal yang sama dilakukan

oleh orang-orang Bugis Bone. Kita telah melihat permulaan pertama dari proses

perkembangan yang mengikutunya. Pada waktu kedatangan Portugis pada awal abad

XVI, ketika orang-orang Jawa, mengontrol perdagangan rempah-rempah. Makassar

belum memainkan peranan yang penting di Nusantara. Sebagai akibat perjanjian

yang mereka alami di Malaka, banyak yang menjadi dasar pelayarannya ke

Maluku.(Schrieke, 1960 : 66-67).

Page 8: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Perubahan baru dimulai setelah Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511,

kota pelabuhan Melayu yang menjadi pusat dagang utama di Barat. Salah satu akibat

yang tidak terduga adalah pedagang Malaka sebagian pindah ke kota-kota dagang

lain, diantaranya Makassar. Keruntuhan Majapahit selama abad XV mengakhiri

kontrol Jawa atas laut Jawa dan mematahkan dominasi Majapahit atas perdagangan

rempah-rempah. Para pedagang utama di Sulawesi Selatan kini tidak lagi berasal dari

Jawa tetapi juga dari Sumatra. Mereka adalah orang-orang Melayu Islam dan mencari

pelabuhan alternatif untuk mrnghindari Malaka yang jatuh ke tangan Portugis. (J.

Nooduyn, 1670 : 97).

Orang Melayu baru mempunyai kedudukan resmi dalam Kerajaan Gowa kira-kira

pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintah Raja Gowa X Tunipallangga (1546-

1565), namun dapat dikatkan setengah abad sebelum itu memang telah banyak orang

Melayu(terdiri dari orang Campa,Minangkabau, Pahang, Patani, dan Johor)

berdatangan, maka mereka mengutus seorang diantara mereka untuk menghadap pada

raja Gowa agar supaya mereka itu dapat diberi tempat kediaman untuk menetap dan

diberikan jaminan, maka diutuslah Nahkoda Bonang. (Anthony Reid, 1999 : 137-

138).

Untuk lebih menyakinkan raja Gowa dan agar supaya mereka dapat diberi tempat

kediaman menetap, maka ketika menghadap, mereka membawa beberapa beberapa

persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil yang bernama “Kamaleti”, 80 perangkat

pinacu, satu kodi kain sekalat, satu kodi beludru, dan setengah kodi kain cindal (sutra

berbunga). Permohonan mereka diperkenankan oleh raja Gowa dengan resmi, bahkan

mereka mendapat empat jamina dari Raja Tunipalangga.

Jadi sebelum pertengahan abad XVIIpara pedagang Melayu tinggal di pelabuhan-

pelabuhan pantai barat Sulawesi. Disinilah awal munculnya koloni dengan orang

Melayu yang berasal dari sebagian daerah di semenanjung Malaka,yang sangat

penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di tempat ini. Hubungan yang

dibangun orang-orang Melayu turut membantu memperbaiki peraturan-peraturan di

dalam Istana, di antaranya mengatur tata cara berpesta, mengajarkan kepada para

pemuda Makassar kesenian Melayu, perminan pencak silat, lenggo, dan lain-lain.

(Abd. Rahman Daeng Pallo, “Memperkenalkan dalam Kebudayaan Orang Bugis-

Makassar di Sulawesi-Selatan,” dalam A.A. Navis. Hal. 130-131).

Sampai dengan masa pertumbuhan abad XVII, sebagian besar perdagangan dan

perkapalan Makassar ikut terlibat. Para raja dan bangsawannya tampil sebagai

Page 9: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

penyandang dana dan melancarkan ekspedisi dagang sendiri. Bersama orang Melayu

pemekaran sayap kekuasaan dan perdagangan luar daerah Makassar berkembang

pesat hingga ke mancanegara, ke barat hingga pantai Coramandel (India), ke utara

hingga Vietnam, Philipina, Cina, Jepang, ke timur hingga pantai-pantai Irian, bahkan

sampai ke pantai-pantai utara, Barat Australia. Selain pedagang-pedagang Melayu

yang menetap di Makassar juga terdapat bangsa-bangsa asing diantaranya bangsa

Portugis.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalangga (1546-1565), di sampinraja

memberi ijin orang Portugis mendirikan secara resmi perwakilan dagangnya di

Makassar yang banyak memberi keuntungan baginya,juga sebaliknya banyak

bangsawan Gowa mempelajari peradaban dan bahasa mreka. Selain itu dengan

kedatangan Porugis, pihak gowa memperoleh keuntungan dalam peningkatan sarana-

sarana fisik bagi perkembangan dalam berbagai bidang keahlian, seperti membangun

benteng pertahanan dan rumah-rumah dalam lingkungan istana raja. (Keberadaan Loji

Potugis di Makassar juga disebutkaan dalam ANRI: Bundel Makassar No. 153).

Dengan adanya hubungan itu pula bandar Somba Opu menjadi semakain ramai dan

besar seperti yang terlihat pada abad XVII. (Mattulada, 1982:29).

Dalam perdagangan, Portugis sebagian besar membawa barang-brang, yakni

berupa kain-kain dari daerah pantai dan Benggali, bahan mentah sutera, sejumlah

besar kain dijual di Makassar, dan kain dibawa oleh orang-orang Melayu dan oleh

penduduk dari sana dibawa ke seluruh daerah-daerah sekitarnya, serta beberapa

daerah kepulauan. Di Makassar, Porugis membeli barang-barang dari Maluku,

Ambon, berupa sandelwood (sandal kayu), lililn kulit penyu, dan batu benzoar dari

Kalimantan, bersama-sama dengan jenis barang dagangan lainnya. (B. Schrieke,

Indonesian sociological Studies, part one 1960. Hal.69).

Bangsa asing selain Portugis yang kemudian juga mengadakan hubungan dagang

dengan kerajaan Gowa adalah orang Belanda. Perseroan Amsterdam mengirim

armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat

kapal, dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian angkatan kedua

tahun 1598 dibawah pimpinan van Nade, van Heemskerk, dan van warwijk. Selain

dari Amterdam,juga datang beberapa kapal dari berbagai kota Belanda. Angkatan

ketiga berangkat tahun 1599 dibawah pimpinan van Neck. (Badri Yatim, 2000: 234-

235).

Page 10: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan lain

berdiri yang juga ingin berdagang, dan berayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602

perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten_General Republik

dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut

untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung

Harapan, dan Kepulauan Salomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu

bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Dalam perjalanan pertama

mereka ke kepulauan Nusantara, orang-orang Belanda hanya menyinggahi Jawa

(Banten, Tuban, dan Gresik), serta Maluku; Sulawesi mereka tinggalkan, baik dalam

arti sebenarnya, maupun perintah dari atas. Baru setelah beberapa tahun kemudian,

sesudah mereka mempelajari arti penting Makassar sebagai tempat persinggahan bagi

kapal, dan sebagai pusat perdagang rempah-rempah, barulah mereka tertarik dengan

Makassar.

Perhatian orang Belanda ke Makassar untuk berdagang dimulai sejak tahun 1603,

yakni ditandai oleh ketika orang Belanda mengirimkan sebuah surat dari Banda

kepada raja Gowa untuk berdagang di Makassar, permohonan ini dikabulkan dengan

senang hati, tetapi satu syarat, yakni “ hanya untuk berdagang”, karena mereka

mengetahui bahwa Belanda adalah musuh besar bagi orang Portugis, dan mereka

tidak menghendaki Makassar dijadikan sebagai tempat pertahanan kedua bangsa itu,

Kemudian berturut-turut orang-orang asing yang datang ke Makassar dan mendirikan

perwakilan dagangnya secara resmi adalah orang Inggris, Denmark, Cina, dan lain-

lain. (Anwar Thosibo, “Peranan Suku Bugis-Makassar dalam Aktivitas Perdagangan

di KerajaanGowa-Tallo Abad XVII”, dalam SSNI sub tema: Dinamika Pertumbuhan

Ekonomi Bangsa Indonesia,

3. Alat Transpotasi Perdagangan

Berbicara tentang pelayaran niga perlu dikemukakan di sini bahwa pada zaman itu

agak sukar dibeda-bedakan antara kapal perahu kerajaan dan milik pribadi. Biasanya

pejabat kerajaan seperti Bendahara Temenggung, malahan Sultan pun, memiliki kapal

atau perahu yang dipergunakan untuk berniaga.

Adapun alat transpotasi yang digunakan dalam pelayaran dan perdagangan antara

lain:

a. Pedagang pribumi menggunakan perahu tradisional seperti:

1) Lepa-lepa, yaitu jenis perahu yang digunakan di daerah-daerah teluk yang

tenang, Dimana laut tidak bergelombang, di sekitar pantai atau di air payau,

Page 11: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

untuk menyebrangkan penumpang atau menangkap ikan. Disamping itu

perahu yang dibuat dari batang kayu pohon yang lurus itu, juga dapat

difungskan sebagai pada kapal-kapal atau perahu-perahu yang besar.

Besarnya perahu tersebut sangat tergantung pada besarnya pohon. Namun

umumnya panjang sebuah lepa-lepa itu sekitar 3-4 meter dengan lebar 0,5

meter serta dalamnya sekitar 0,4 meter. (F.W. Stapel, Geshiediens van

Naderlandsch Indie III, (Amsterdam: NV. Joost van den Vondel,

1939:192).

2) Soppe, Perahu ini merupakan jenis perahu nelayan yang berukuran kecil.

Bentuk dan ukurannya bervariasi, seperti panjangnya antara 5-7 meter,

lebarnya 0,80-1,5 meter dan di dalamnya 0,70-0,90 meter. Perahu ini

dijalankan dengan dayung oleh dua orang nelayan yang dilengapi jala atau pun

pancing bila pergi menangkap ikan.

3) Biseang pajala, ini merupakan salah satu jenis perahu nelayan, yang

digunakan ntuk mencari ikan di perairan lepas pantai. Perahu tersebut terbuat

dari papan jenis kayu biti-biji atau jati, yang disusun rapi. Perahu pejala ini,

sedikit lebih besr dari perhu lepa-lepa maupunperahu soppe dan daya angkut

bisa sampe 100 ton. Perahu tersebut memggunakn alat yang disebut sombala.

Di atas geladaknya terdapat bangunan rumah-rumah yang sekaligus di

gunakan sebagai dapur.

4) Pattorni dan Padewakan, jenis perahu pataroni ini digunakan untik menangkap

ikan terbang (tuing-tuing) di perairan Selat Makassar, sedangkan perahu

Padewakang merupakan perahu nelayan yang dipakai untuk menangkap

taripang jauh ke tengah laut.

5) Lette, jenis perahu ini digunakan sebagai alat angkutan niaga jarak jauh antar

pulau, bahkan antar benua. Panjang perahu berukuran antara 10-15 meter,

lebar dan dalamnya masing-masing 5 meter dan 1,5-2 meter. Bentuk balok

tiangnya besar dan tebal serta menonjol pada haluan dan buritannya.

6) Lambo, peerahu jenis ini juga dipergunakan sebagai alat angkutan, perahu

niaga jarak jauh. Perahu ini memeiliki ukuran panjang antara 15-20 meter.

Disamping itu perahu tersebut juga memeiliki tenaga (awak perahu) sebanyak

7-12 0rang, dan diperlengkapi dengan 2 buah kemudi yang letaknya dibagian

buritan.

b. Perahu Pedagang Melayu dan Jawa

Page 12: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Kelompok pedagang ini menggunakan perahu yang jauh lebih besar yang

dapat mengaangkut macam-macam muatan. Jumlah awak perahu ini 10 sampai 20

orang, bahkan ada yang hanya 5-6 orang, perahu tersebut mempunyai bentuk yang

bermacam-macam dengan namanya sendiri antara lain: “Contigh”, “tingangh”,

“Gorap”, “Galjot”, Gallioen” dan lainnya

c. Perahu Pedagang Asing

1) Perahu Pedagang Cina

Pedagang Cina ini mempergunakan Jung untuk berdagang. Jung Cina

yang besar sangat menarik perhatian. Tinggi haluan dan buritannya tidak

sama, sedangkan bagian tengahnya sangat rendah. Di atas buritan terdapat

sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup menyolok pula umbul- umbul nya

yang berwarna-warni coreng-moreng, sedang ke dua layarnya yang lebar

dibuat tebal dan lebar dari sejenis daun rumput yang di anyam.

2) Perahu Pedagang Kompeni VOC (Belanda)

Kompeni ini mempergunakan kapal dagang yang besar dan sesuai

standar keamanan pelayaran perdagangan dalam arti sesuai dengan standar

kesaelamatan pelayaran.

3) Perahu Pedagang Spanyol dan Portugis

Menggunakan kapal-kapal dagangnya yang lebih besar dari perhu-

perahu pribumi, hanya saja berbeda dengan kapal dagang yang digunakan oleh

VOC, kapal dagang yang dipergunakan oleh Spanyol dan Portugis biasanya

tidak sesuai dengan standar keselamatan pelayaran perdagangan dan tidak di

lengkapi dengan standar keselamatan kapal.

4) Perahu Pedagang Inggris, Vietnam, dan Thailand.

Inggris, Vietnam, dan Thailand menggunakan kapal-kapal dagang

yang dapat memuat berjenis-jenis barang dagangan yang dapat

diperdagangkan di tempat tujuan.

1. Jatuhnya bandar Malaka sebagai bandar Internasional ke tangan Portugis

pada tahun 1511.

2. Adanya peperangan yang berlangsung tahun 1600-1625, antara Kerajaan

Mataram (Jawa Tengah) dan Kerajaan di Jawa Timur (bekas taklukan

Majapahit).

3. Faktor geografis sangat menunjang bandar Somba Opu sebagai pangkalan

kegiatan Maritim.

Page 13: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

4. Karakter penduduk Kerajaan Gowa yang nota bene suku Bugis Makassar

yang terkenal sebagai pelaut yang ulung dalam mengarungi lautan untuk

berlayar dan berdagang.

5. Politik pintu terbuka yang diterapkan oleh Raja Gowa sangat menunjang

ramainya bandar Somba Opu dalam menjalin hubungan dagang dengan

berbagai suku bangsa.

B. Letak Bandar Somba Opu

Dalam Peta Makassar tahun 1638, jelas digambarkan letak bandar Somba Opu.

Walaupun bangunan bandar secara permanen belum ada, tetapi fungsi sebagai bandar

yang dapat disinggahi dan dan digunakan sebagai labuhan kapal telah berjalan seiring

dengan berdirinya kota Somba Opu. Letak bandar Somba Opu di barat daya pulau

Sulawesi Selatan, tepat di tengah-tengah jalur perdagangan antara Malaka ke arah Barat

dan Maluku ke arah Timur.(Martinus Nijhoff, 1670:103-104)

Bandar tersebut berhadapan dengan benteng Somba Opu yang merupakan istana

Kerajaan Gowa. Benteng Somba Opu didirikan bersamaan dengan bandar Somba Opu

oleh Raja Gowa ke-9, bernama Karaeng Tumapa,risi Kallonna. Dialah yang berjasa

merintis berdirinya bandar Somba Opu sebagai bandar utama bagi Kerajaan Gowa pada

masa pemerintahannya pada tahun 1510 sampai tahun 1546. (Mattulada, 1982:26).

Adapun Letak dari pada benteng Somba Opu sebagai benteng utama Kerajaan Gowa,

sebagai berikut:

Benteng Somba Opu terletak ditepi pantai (Selat Makassar) pada garis 504 lintang

selatan (het fort Somba Opu op Macassar, gelegen dicht den strant op 5 graden en 4

minuten suider breedt).

Sedangkan lokasi yang tepat dari benteng Somba Opu, sampai saat ini masih

dalam penelitian arkeologi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bekas benteng

Somba Opu berada di desa Sapiria. Desa ini adalah sebuah desa lama yang termasuk

kelurahan Barombong, kecamatan Pangga, kabupaten Gowa.

Sesuai dengan pendapat Erkelens, bahwa dalam perjanjian antara Raja Gowa ke-19,

Sultan Abdul Hadi dengan Belanda, tanggal 16 Oktober 1781, pasal 2, yaitu:

Het rijk Gowa door Compagnie veroverd, wordt aan den koning lerung gegven.

Het rijk van Tallo benevens de landschappen Sodijang en Sapiria of Somba Opu als

door de wepenen veroverd behoudt de compagnie voor zich. (Erkelens, 1897:21).

Page 14: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

(Kerajaan Gowa yang telah direbut oleh kompeni Belanda-VOC dikembalikan lagi

kepada Raja Gowa. Akan tetapi Kerajaan Tallo, demikian pula daerah Sodijang dan

Sapiria atau Somba Opu yang telah direbut oleh kompeni dengan kekuatan senjata, tetapi

berada dalam tangan Kompeni Belanda).

Adapun daerah Sapiria atau Somba Opu, jaraknya kurang lebih 8 km ke arah Selatan

kota Ujung Pandang.

1. Fungsi Bandar Somba Opu

a. Ibu kota Kerajaan Gowa

Somba Opu adalah ibukota Kerajaan Gowa yang mempunyai tata kota

sebagai berikut: Di dalam benteng yang dikelilingi sebuah tembok terdapat istana

yang menjadi tempat kediaman Raja Gowa. Selain itu dibangun pula didalamnya

rumah-rumah tempat kediaman keluarga raja. Juga dilengkapi dengan ruang

pertemuan, tempat menyimpan perlengkapan kerajaan (gudang). (Peta Makassar,

1638:103-104).

Kota Somba Opu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Gowa dimana

aparat kerajaan melaksanakan berbagai kegiatan baik politik maupun ekonomi.

Sebagai ibukota kerajaan Gowa. Somba Opu dibangun kembali oleh Raja Gowa

ke-10, yang bernama Karaeng Tunipalangga (1546-1565). Perubahan ini

dimaksud untuk memperkokoh kerajaa yaitu mmengganti bangunan dari tanah liat

dengan batu merah. (Abdul Rahim, 1975:1).

Di sekitar benteng Somba Opu terdapat rumah-rumah penduduk setempat

maupun rumah-rumah pendatang dari berbagai suku bangsa. Juga dibagun pasar

di sekitar pelabuhan untuk keperluan perdagangan. Di sebelah utara benteng

Soomba Opu terdapat bangunan perwakilan dagang bangsa Portugis, Inggris,

Denmark, Spanyol dan Belanda. (Peta Makassar, 1638:103-104).

Di sebelah timur bangsa Melayu menempati kampung Mangalekanna, sedang

pedagang Bugis Makassar serta para petani yang mengerjakan sawah milik

kerajaan menempati kampung Bontoala. (Mattulada, 1982: 30).

Mengenai luas wilayah kota Somba Opu pada abad XVII, tidak ada

keterangan secara terperinci. Diperkirakan wktu itu kota Somba Opu terdiri dari

sejumlah perkampungan yang terpencar-pencar di sepanjang pantai dengan latar

belakang daerah pedalaman. Perkampungan ini meluas dari daerah Tallo di

sebelah utara sampai ke daerah Barombong di sebelah selatan. Perkampungan dan

Page 15: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

perumahan tersebut didirikan dari bahan yang tidak permanen serta perencanaan

jalan yang tidak teratur.(W. Donald, M.C,. Taggart, 1976:74).

Di sepanjang pantai tersebar serangkaian benteng pertahanan yang berjumlah

kurang lebih 20 buah. Benteng tersebut merupakan tempat tinggal kaum

bangsawan, yang dibangun dengan gaya yang lebih kokoh dan permanen di

daerah pantai selain dibangun gaya yang lebih kokoh dan permanen di daerah

pantai selain dibangun pasar, juga wilayah perikanan, sebaliknya daerah yang jauh

dari pantai merupakan wilayah pertanian. Sebelum Somba Opu dikuasai Belanda

dibangun perumahan untuk saudagar asing.

b. Kota Pelabuhan dan Kegiatan Pelayaran

Somba Opu selain berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Gowa, juga bergungsi

sebagai kota pelabuhan dan kegiatan pelayaran untuk tujuan perdagangan.

Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh bagi kapal-kapal yang masuk, tapi juga

menyediakan berbagai fasilitas seperti pasar, gudang untukbmenampung barang

dagangan dan perbekalan kapal berupa bahan makanan dan air minum. Untuk

memudahkan pengawasan terhadap kapal-kapal dagang yang berlabuh, maka raja

Gowa ke-9 Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1510-1546), mengangkat Daeng

Pamatte sebagai syahbandar yang bertugas menarik pajak dan menangani urusan

perdagangan.(Mattulada, 1982:24).

Sebagai kota pelabuhan banyak pedagang asing yang datang di bandar Somba

Opu, selain transit untuk sementara, juga banyak yang menetap. Atas

kebijaksanaan penguasa setempat, pedagang asing diperbolehkan mendirikan

peerwakilan dagang yang tetap di sebelah utara benteng Somba Opu, yaitu

Belanda tahun 1607, Inggris tahun 1613, Denmark tahun 1618, semangat

pedagang Spanyol dan Cina berturut-turut muncul pada tahun 1615-1619.

(Anthony Reid, 1983:10).

Di kota Somba Opu juga teerdapat kampung Cina, kampung ini menurut

Skinner, terletak di sebelah utara benteng Soma Opu. Sedangkan pedagang

Portugis dan Melayu, jauh sebelum bangsa tersebut diatas menetap di Somba Opu,

mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Gowa. Kontak

pertam bangsa Portugis pada tahun 1538, selain berdagang jugs menyebarkan

agama Nasarani di daerah Suppa dan Siang (Pangkaje’ne). (Mattulada, 1982:27).

Pada kunjungan bangsa Porugis tahun 1540, di beritakan bahwa di bandar

Somba Opu telah menetap bangsa Melayu dari Johor, Patani, dan Pahang. Mereka

Page 16: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

berdagang sejak 50 tahun yang lalu, pedagang Muslim Melayu ini mungkin

dulunya dari Malaka, sebelum Malaka ditaklukan oleh Potugis pada tahun 1511.

Dengan mengikuti rute yang dipelopori orang Bajoe menuju ke Makassar,

nampaknya rute perjalanan tidak menuju Maluku seperti pedagang dari Jawa

yang singgah di tempat-tempat sebelah selatan dan tenggara, tetapi mereka hanya

mengumpulkan beras, budak dan kulit penyu. (Anthony Reid, 1983:137).

Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, Karaeng Tunipallangga Ulaweng

(1546-1565), datanglah sekelompok pedagang Muslim dari Jawa dan Melayu di

bawah pimpinan Anakoda Bonang, sebagai berikut:

Pada dialah juga meminta tempat kediaman orang jawa yang disebut

Anakonda Bonang. Kata Anakoda Bonang kepada raja Tunipallangga

Ulaweng: Empat macam kami harapkan dari tuanku”; maka menyahutlah

raja itu “Apa”? Menjawablah ia; “kami meminta supaya jangan dimasuki

pekarangan kami (dengan begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan

begitu saja), jangan kami dikenakan peraturan nigajang bila ada anak kami

dan janganlah kami dikenakan peraturan nirapung bila ada kesalahan kami.

Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh raja, dan berkatalah raja:

“sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan (ia) ke dalam air, bila bebannya

berat, saya turunkan sebahagian, apalagi engkau sesama manusia, akan

tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar

pengetahuanku.

Berkatalah pula raja: “Berapa jenis (orang) yang kau masukkan ke dalam

permintaan mu itu?

Berkatalah Anakoda Bonang:”Semua kami yang bersarung ialah (orang)

Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor.(Abdul Latif Abubakar,

1984:8).

Bandar Somba Opu juga berfungsi untuk kegiatan pelayaran, hal ini ditunjang

oleh posisi yang strategis, tepat di jalur perdagangan laut dari barat (Malaka)

sebagai ppintu gerbang Nusantara dan ke Timur (Maluku) sebagai pusat penghasil

rempah-rempah. Umumnya rute pelayaran menysuri pantai selatan Kalaimantan,

menyebrangi laut Jawa ke Gresik dan Surabaya, kemudian singgah di Somba Opu

dan terus ke Maluku. (Hall,D.G.E, 1986:213-216).

Peranan angin sangat mempengaruhi pelayaran yang bertiup dari arah barat ke

timur. Angin barat yang berhembus antara bulan Nopember sampai Maret

Page 17: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

digunakan oleh pelaut, berlayar ke timur Nusantara seperti, Maluku, pulau

Nusatenggara, Buton, Mindanao, Makassar, pulau Kei dan Aru. Sebaliknya jika

berhembus angin timur antara bulan juni sampai September pelayaran diarahkan

ke barat seperti Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan Siam.

(Van Leur, J.C, 1960:99). Berita tahun 1636, mengenai kegiatan pelayaran di

bandar Somba Opu, menyatakan bahwa para pedangang Melayu setelah berdiam

di Somba Opu untuk beberapa waktu, yaitu bulan Desember, Januari, Pebruari,

berangkat berlayar menuju Ambon melalui Buton. Di Ambon pedagang tersebut

menunggu perdagangan cengkeh sampai bulan Juni, Juli, Agustus dan September,

setelah itu kembali ke Somba Opu.

Sedangkan pedagang Portugis, telah mengenal beberapa rute pelayaran

menuju Maluku, seperti jalur melalui Kalimantan Utara tahun 1527.Menurut

catatan Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental (1512-1515), bahwa Portugis

telah mengenal jalur perdagangan ke Maluku sejak tahun 1500, yaitu dari Malaka

melalui Singapura, pantai selatan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Buton dan ke

Maluku. Kapal-kapal Portugis hendak menghindari dari kota-kota pesisir Jawa

yang menunjukkan sikap permusuhan. Setelah Portugis menduduki Malaka tahun

1511, para pedagang yang biasanya transit di Malaka, mengalihkan rute

menyusuri pantai barat Sumatra , Selat Sunda, pantai utara Jawa untuk selanjutnya

ke arah timur Nusantara. (Uka Tjandrasasmita, 1984:125-126).

Adapun pelayaran orang-orang Belanda pada awal kedatangannya ke

Indonesia, tidak menaruh minat terhadap Kerajaan Gowa. Pelayaran mereka

biasanya setelah meninggalkan pelabuhan Jawa bagian utara langsung menuju

Maluku. Pentingnya kerajaan Gowa baru diketahui setelah berhasil merampas

sebuah kapal milik Portugis di dekat perairan Malaka. Di dalamnya terdapat

terdapat seorang awak Makassar yang menceritakan kepada Belanda mengenai

keadaan pelabuhan kerajaan Gowa, merupakan bandar transito bagi kapal-kapal

yang belayar dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya. (Stapel, F.W, 1922:3).

Maka sejak itu orang-orang Belanda mengadakan rute pelayaran ke bandar Somba

Opu untuk selanjutnya ke Maluku.

Pentingnya jalur pelayaran di bandar Somba Opu tercermin dari catatan

Belanda tertanggal 27 Oktober 1625, yang mengeluh atas persaingan orang-orang

Denmark dan Inggris, dan orang-orang Portugis dan Spanyol melakukan

Page 18: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

perdagangan yang ramai dari Sao Tone, Negapatnam, Makao, Manila dan

kepulauan Maluku dengan Makassar, selanjutnya itu mengatukan:

Sejak kita (Belanda) berlayar di perairan sekitar Maluku, kota Makassar telah

berkembang pesat. Dan mengenai perdagangan di wilyah timur ini, seperti

Kalimantan, Jawa, Solor Timor, Ambon, kepulauan Maluku dari tempat-

tempat lain, lokasi Makassar jauh lebih dari Malaka. (Lapian.A.B,

1984:182).

Meningkatnya rute pelayaran ke laut Sulawesi, sejak akhir abad XVI,

merupakan akibat langsung dari pentingnya bandar Somba Opu sebagai pusat

perdagangan di Nusantara bagian timur.

Rute pelayaran melalui utara Sulawesi merupakan pilihan lain ke Maluku jika

angin musim selatan berhembus, karena pada musim tersebut pelayaran melalui

laut Flores dan laut Banda berbahaya. Apalagi sejak Belanda mendirikan kubu

pertahanan pada tahun 1607, di Buton, Banda dan Ambon, maka jalur utara

Sulawesi merupakan jalur yang aman dilalui. Adanya hubungan dagang diperairan

utara Sulawesi, maka terjadi kontak dengan Filipina selatan (Mindanao dan Sulu),

juga pantai timur laut Kalimantan.

a. Menyebarkan Agama Islam untuk memperluas pengaruh

Sejak abad XVI, di bandar Somba Opu telah didatangi pedagang muslim

dari Malaka, Jawa dan Sumatra. Pada awalnya kontak antar pedagang muslim

dengan masyarakat setempat untuk mengetahui kepercayaan yang dianut oleh

pedagang muslim. Karena selama terjalinnya kekerabatan tersebut, pedagang

muslim selalu menampakan sikap bersahabat dan dengan suka rela

mengajarkan termasuk berdagang yang baik. (Abdul Latif Abubakar, 1984:8-

9).

Untuk meningkatkan hubungan dagang dengan pedagang muslim, maka

Raja Gowa X, Karaeng Tunipallangga (1546-1565) menyediakan tempat

tinggal di kampung Mangalekanna dekat bandar Somba Opu. Bahkan

dilengkapi fasilitas tempat ibadah, walaupun kerajaan Gowa menganut agama

Islam. Namun usaha mengajak Raja Gowa menganut agama Islam telah

dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Sultan Babullah dari Ternate, pada tahun

1580 mengunjungi kerajaan Gowa, selain untuk meningkatkan hubungan

Page 19: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

daagang juga mengajak Raja Gowa XII Karaeng Tunijallo menganut agama

Islam, namun ajakan tersebut belum berhasil. (Stapel, F.W, 1922:3).

Agama Islam baru diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa pada masa

pemerintahan Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin (1593-1639). Yang berjasa

mengislamkan kerajaan Gowa yaitu Chatib Tunggal Abdul Makmur dengan

gelar Dato ri Bandang. Mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Matoaya adalah

orang pertama yang menganut agama Islam, dengan mengucapakan dua kalimat

shahadat pada malam Jum’at Jumadil awal 1040 II, tanggal 22 September 1605.

(Noorduyn. J, 1972:7). Sebagai tanda orang yang pertama di Islamkan, maka

Karaeng Matoaya diberi gelar Sultan Abdullah Awalul Islam.

Jejak Karaeng Matoaya ini, diikuti oleh Raja Gowa XVI, Mangorangi Daeng

Manrabiah, dengan gelar Sultan Awaluddin. Dua tahun kemudian seluruh

rakyat Gowa Tallo sudah di Islamkan, ditandai dengan sebahyang Jum’at

bersama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607. Proses Islamisasi di

laksanakan oleh para ulama Melayu dengan pendekatan pada kalangan atas,

setelah mengislamkan Rajanya maka dengan mudah mengislamkan rakyatnya.

Setelah agama Islam diterima sebagai agama resmi Kerajaan Gowa, maka

mulai saat itu kerajaan Gowa menjadi pusat penyebaran agama Islam terhadap

kerajaan-kerajaan disekitarnya. Penyebaran agama Islam merupakan alat yang

tepat untuk memperluas pengaruhnya, terutama kerajaan-kerajaan kecil di

pedalaman agar menunjang kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu.

Oleh karena itu, sewaktu kerajaan Gowa hendak mengajak kerajaan Bugis yang

tergabung dalam Tellu Puccoe, (tiga persekutuan kerajaan Bugis yaitu, Bone,

Wajo, dan Soppeng), masuk agama Islam, maka dengan tegas ajakan tersebut

ditolak. Karena dianggap hanyalah kedok belaka dalam melaksanakan pengaruh

nya. (Mattulada, 1982:33).

Sehingga Kerajaan Gowa melakukan cara kekerasan dalam menyebarkan

agama Islam, perang Islam berlangsung selama empat tahun, dikenal dalam

sejarah Bugis sebagai Musu’Selienge (perang Islam). Perang tersebut berakhir

dengan kemenangan Kerajaan Gowa, dan berhasil mengislamkan Sidenreng

dan Soppeng tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611. (Andaya,

L.Y, 1981:33).

b. Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa

Page 20: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Kedudukan bandar Somba Opu sebagai bandar transito, serta bandar

Internasional pada abad XVII, menyebabkan terjadinya kontak dagang berbagai

suku bangsa. Keberhasilan bandar Somba Opu menarik berbagai pedagang,

tidak lepas dari ancaman, baik datang dari dalam maupun dari luar. Apalagi

Kerajaan Gowa telah memperluas pengaruhnya ke wilayah sekitarnya, tentu

sewaktu-waktu akan mendapat serangan balasan. Selain itu dalam perdagangan

rempah-rempah kerajaan Gowa merupakan saingan utama Belanda.

Oleh karena itu, sejakpemerintahan raja Gowa X, Karaeng Tunipallangga

Ulaweng (1546-1565), benteng Somba Opu diperkokoh dengan bangunan dari

atas batu karanng dan batu bata merah. Panjang sisinya 1 atau 1,5 km, tinggi

tembok nya 7 atau 8m, tebal temboknya 12 kaki (3,5 m), sehingga pengawal

istana dengan mudah dapat berkeliling diatas tembok. Di dalam benteng

terdapat alat-alat persenjataan seperti meriam. Bedil serta alat pertahanan

llainnya. (Sagium, M.D, 1975:275-276).

Adapun pendapat Krucq tentang bentuk pertahanan Somba Opu, sebagai

berikut:

Het kastel Somba Opu was vierkant; het westfront (het zeefront) en het

Noortfront waren zwaar verhsterkit, het Zuid-en Oostfront minder; aan de

westzidje lagen het Noordwest of Groot bolwerk; op dit laatste bolwerk was

kanon Anak Macassar. (Kruch, K.C., op.cit., 76-77).

(Benteng Somba Opu berbentuk segi empat; sisi barat (ke arah laut) dan sisi

utara sangat diperkuat; sisi selatan dan sisi timur kurang diperkuat; pada sisi

bagian barat terletak baluwara barat daya atau, baluwara tengah dan baluwara

barat laut atau baluwara agung ; pada baluwara yang terakhir ini ditempatkan

meriam Anak Makassar).

Selain itu benteng Somba Opu dilindungi oleh serangkain benteng pengawal

yang dibangun di sepanjang tepi pantai kota Somba Opu. Di sebelah selatan

benteng Somba Opu terdapat benteng Barombong, Panna’kukang dan Garassi,

sedang di sebelah utara terdapat benteng Mariso, Baro’boso, Ujung Pandang,

Ujung Tana dan benteng Tallo. (Andaya, L.Y, 1981:108).

c. Sebagai Pangkalan Kegiatan Maritim

Kerajaan Gowa merupakan salah satu dari kerajaan yang berorientasi

maritim dan berhasil memperoleh keuntungan dari perdagangan. Potensi

Page 21: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

sebagai kerajaan maritim, ditunjang oleh berbagai hal, seperti letak

geografisnya yang strategis, tepat dipersimpangan jalan laut yaitu, selat

Makassar, laut Jawa, Laut Flores, dan laut Banda. Faktor-faktor lainnya yang

menunjang yaitu karakter penduduknya, berani dalam mengarungi lautan untuk

berlayar dan berdagang, demikian pula dengan lembaga pemerintahan Kerajaan

Gowa sangat menunjang kegiatan maritim.

Menurut Alfred T. Mahan dalam teorinya yang dicetuskan pada abad ke-19,

bahwa ada enam faktor yang menentukan suatu wilayag berkembang menjadi

suatu kegiatan maritim, yaitu:

1. Kedudukan geografis

2. Bentuk tanah dan pantainya

3. Luas wilayahnya

4. Jumlah penduduknya

5. Karakter penduduk

6. Sifat pemerintahan termasuk lembaga nasionalnya.\

Faktor-faktor tersebut merupakan potensi yang dimiliki oleh kerajaan Gowa,

sehingga berhasil sebagai pangkalan kegiatan maritim pada abad XVII. Jadi

jauh sebelum teori Mahan dicetuskan, kerajaan Gowa telah menerapakn untuk

kepentingan perdagangan.

Faktor-faktor tersebut dimiliki oleh bandar Somba Opu, seperti bentuk tanah

dan pantainya merupakan daerah beerpasir, sehingga sebahagian besar

penduduk nya mencari nafkah di laut. (Laside, 1970:3).

Demikian pula karakter penduduknya, sejak dahulu kala terkenal sebagai

pelaut yang ulung untuk berlayar dan berdagang. Sifat petualang masyarakat

Bugis-Makassar yaitu dengan menggunakan perahu-perahu layar mengarungi

seluruh perairan Nusantara bahkan sampai ke Manila dan Australia. Adapun

luas wilyahya tidak ada keterangan yang pasti, namun panjang garis pantai

meliputi seluruh jazirah selatan pulau Sulawesi.

Mengenai jumlah penduduk yang menetap di kota Somba Opu, tidak ada

keterangan secara terperinci, kepadatan penduduk hanya bisa dilihat dari

keramaian bandar Somba Opu dikunjungi oleh para pedagang lokal dan asing.

Terbukti adanya perkampungan orang Melayu dan perkampungan orang Eropa

di sebelah utara benteng Somba Opu, seperti Portugis, Inggris, Denmark dan

Belanda. Aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa, sangat menunjang

Page 22: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

perdagangan, seperti diterapkan sisitem perdagangan terbuka berdasarkan

Teori Mare Liberium (teori laut bebas). (Kartodirjo. S, 1988:91). Teori ini

diterapkan oleh Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin (1593-1639), untuk

memperoleh keuntungan dari berbagai suku bangsa yang berdagang di bandar

Somba Opu. Semua pedagang mendapat jaminan keamanan dari Kerajaan

Gowa.

Selain perdagangan bebas dan jaminan keamanan, berbagai kebijaksanaan di

keluarkan untuk menunjang keberhasilan Kerajaan Gowa. Yaitu kebijakan dari

mangkubumi Karaeng Matoaya (1573-1637) dan Karaeng Patingalloang (1600-

1654), yakni: (1) Menbangun kekuatan miiter dan ekonomi dengan mengambil

segala tekhnik baru dari pendatang (Melayu, Porugis, Belanda, Cina), (2)

Menarik perdagangan dengan jujur dan terbuka terhadap segala bangsa, asal

keamanan tidak terganggu, (3) Menghormati daerah-daerah takluknya dan

pembagian tugas dalam negri utamanya Gowa dan Tallo. (Anthony Reid,

1983:1).

Untuk menunjang peran bandar Somba Opu sebagai tempat jual beli

komoditi perdagangan, maka Karaeng Matoaya meningkatkan produksi beras

yang banyak diminati oleh pedagang untuk di perdagangkan ke Malaka dan

Maluku. Demikian pula pada masa Kareng Patingalloang, telah diterapkan

tekhnik baru dengan menganjurkan penterjemahan karangan asing dalam

bidang tekhnik serta menyusun buku harian negara dan penggunaan peta dalam

pelayaran. Keberhasilan Bandar Somba Opu, sebagai pangkalan kegiatan

maritim bagi para pedagang, menimbulkan pertentangan dari pihak Belanda

yang ingin menguasai wilayh perdagangan, utamanya rempah-rempah. Sisitem

monopoli perdagaangan bebas yang dianut oleh Raja Gowa. Menurut Sultan

Alauddin pelayaran kemanapun di Nusantara harus terbuka buat setiap kapal

dan tak ada perjanjian apapun yang melarang perahu Makassar melayari

periaran ini. Sultan Alauddin menegaskan bahwa:

Tuhan telah memciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan

diantara umat manusia, tetapi mengaruniakan laut untuk semua, tak pernah

kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi. Selanjutnya dikatakan

“Apakah Tuan berpendapat Tuhan telah menciptakan pulau yang begitu jauh

dari tanah air tuan, semata-mata tempat Tuan berdagang sendiri. (Stafel,

F.W., 1922:14).

Page 23: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

C. Sumber Pendapatan Kerajaan Gowa

a) Kegiatan Masyarakat Pedagang

Suku Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut yang ulung degan menggunakan

perhu-perhu layar phinisi dan lambo mengarungi perairan Nusantara. Mereka berlayar

sejak abad XV ke Jawa, Sumatra, Kalimantan, Malaka, bahkan sampai ke Manila.

Perkampungan suku Bugis Makassar terdapat di daerah yang pernah dikunjungi. Ada

juga yang menetap sementara sambil menunggu angin musim barat maupun angi

musim timur yang berhembus membawa perahu layar ketempat tujuan. (Mattulada,

1982:6-8).

Pelayaran suku Bugis Makassar yang sampai ke pantai utara Australia,

diperkirakan telah berlangsung sebelum orang Belanda menetap di Somba Opu,

sekitar abad XVII. (Cense, A.A.,dan Heeren, H.J, 1972:14). Mereka berlayar untuk

mencari tripang yang sangat laku dalam perdagangan dengan orang Cina. Rute

pelayaran yang dilalui, yaitu dari bandar Somba Opu menyusuri pilau Selayar, Wetar,

Leti, Moa dan selanjutnya ke selatan tenggara pelabuhan Darwin.

Menurut Stapel dalam bukunya Het Bongaaisch Verdragh mengatakan bahwa:

Dit wetboek is door Mahmoed Syah, die van 1424 tot 1445 of 1450 als soeverein

over Malaka heersto, op geschreven uit de mond vand oude Makassarse

zeelieden, welke toen de havens van zijn rijk bezochten. Uit enkele bepaligen en

de bijgevodgde lijst van tarieven o.m. geregeld voeren op Java (Semarang),

Soembawa (Bima), Timor, Bengkoelan, Atjeh, Perak, Malaka, Djohor,

Palembang, Bandjarmasin en Manila. (Stafel, F.W., 1922:1).

(Sultan Mahmud Syah yang bertahta di Malaka dari tahun 1424 sampai 1445 atau

1450, telah mencatat dari mulut nachoda tua orang Makassar yang mengunjungi

bandar-bandar dalam kerajaanyanya, sebuah undang-undang pelaut Kerajaan

Makassar dan Bugis. Bahwa dari beberapa ketentuan dan dari tarip tambang yang

terlampir ternyata, bahwa dikala itu orang-orang Makassar dan Bugis antara lain

telahh tetap berlayar ke Djawa (Semarang), Soembawa (Bima), Timor, Bengkulu,

Atjeh, Perak, malaka,Johor, Palembang, Banjarmasin dan Manila.

Dalam catatan I Lagaligo juga disebutkan ekspedisi Sawerigading seorang tokoh

legendaris dari Luwu, menaklukan daerah timur laut Sulawesi dan menaklukan

pelayaran sampai ke negri Cina. Kontak dengan semenanjung Melayu juga dilakukan,

dikatakan bahwa Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng Tunipasuru (1500-1547) ke

Page 24: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Malaka dan Johor, untuk membayar piutangnya. (Abdul Rahman Al-Ahmadi,

1987:1).

Peranan pedagang Bugis wajo yang tinggal di Somba Opu, berhasil

mengembangkan sistem perdagangan dan pelayaran abad XVII. (Mattulada,

1982:8). Sorang pemimpin Wajo bernama Amnna Gappa diangkat untuk memimpin

pedagang Bugis. Ketika itu ada tiga jenis masyarakat pedagang, yaitu:

1. Saudagar atau pedagang besar

2. Pedagang yang menetap di toko dan kedai

3. Pedagang yang berjalan yang menunjukkan dagangnya secara berkeliling

Sudagarlah yang menandatangani barang-barang dagangan dari luar seperti

Eropa, Cina, pedagang yang menetap menerima barang-barang itu dan menyalurkan

ke pedagang kelontong.

Adapun karya Amanna Gappa yang sampai saat ini masih dipergunakan pelaut

dan pedagang Bugis Makassar adalah Hukum pelaut dan Perdagangan yang berisikan

21 pasal. Merupakan hasil rumusan dari perantauannya di Nusantara dan pengaruh

dari pedagang Melayu, sesuai ajaran Islam yang berlandaskan persaudaraan dan

kejujuran.Dalam karya Amanna Gappa dikenal pula sistem pembagian kerja untuk

kelancaran bagi pedagang, yang melakukan pelayaran dan perdagangan, seperti

tercantum dalam pasal 6 dimana para pemilik modal akan memberikan kepercayaan

kepada nahkoda, jika memenuhi lima belas syarat, yaitu:

1. Bila ada senjatanya berat dan rincian dengan peluru, dengan kata kata lain perahu

dilengkapi senjata.

2. Bila perahunya kuat, berarti mutu perahunya baik.

3. Bila ada modalnya untuk berdagang, jadi para nahkoda disamping cakap

mengemudi kapal, juga dilengkapi fasilitas perdagangan serta modal.

4. Bila rajin dan teliti dalam pelayaran.

5. Dapat mengawasi kelasinya, yaitu anak buah kapal.

6. Dapat membela kelasinya didalam kebenaran.

7. Bila ia sudi menerima nsihat nasihat orang lain .

8. Bila ia jujur terhadap kelasinya dan juga kepada orang lain dan terhadap tuhan.

9. Bahwa ia harus memandang kelasinya sebagai anak sendiri.

10. Ia tidak jemu memberi pelajaran mengenai alat-alat pelayaran .

11. Ia harus penuh kesabaran.

12. Ia harus disegani.

Page 25: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

13. Bila ia rela bersusah payah mengurus dagangan kelasinya.

14. Bila ia rela mengongkosi perahunya.

15. Bila ia mengetahui benar-benar jalan pelayaran, jikalau ia tidak mengetahui jalan

pelayaran, dicarinyalah seorang penunjuk jalan, yang mengetahui benar-benar

jalan pelayaran itu, Diupayakanlah ia (sipenunjuk jalan), atau menolongkah ia

secara percuma, tergantung dari persetujuan mereka. Apa-apa saja yang mereka

sukai, itulah yang menjadikan (supaya terlaksana). (Tobing, P.O.L., 1977:85).

Jadi jelas tugas seorang nakhoda yang mengepalai semua urusan yang

berhubungan dengan barang dan muatan. Untuk kelancaran dalam pelayaran dan

perdagangan, maka setiap kapal mempunyai awak kapal yang bertugas tergantung

kaehliannya. Terdapat pula awak kapal yang tidak punya keahlian, terdiri dari

orang merdeka dan budak. Masyarakat Bugis Makassar mengenal pula pola

organisasi usaha, baik dalam bidang pertanian pallaonruma, perdagangan dan

pelayaran pasompe atau nelayan pakkaja. Menurut Mattulada, pola kerja yang ada

tercermin dalam hubungan kerja punggawa-sawi, tata kerja punggawa sawi telah

diterapkan sejak abad XV, dimana suku Bugis Makassar telah melakukan

pelayaran dan perdagangan. Sisitem tersebut menguraikan hubungan tata kerja

antara penggawa sebagai pemimpin dan sawi sebagai anak buah.

Punggawa berarti pemimpin atas sejumlah orang yang disebut sawi, untuk

sesuatu kerja tertentu, baik yang berlangsung lama maupun dalam waktu singkat

untuk terselenggaranya sesuatu kegiatan kerja. Dalam hubungan kegiatan kerja,

punggawalah yang memiliki modal untuk membiayai kegiatan kerja. Punggawa

terdiri dari punggawa lompo (punggawa besar) sebagai pengawas dan punggawa

caddi (punggawa kecil) sebagai tehnis yang memiliki keahlian.(Mattulada,

1986:3). Tata kerja punggawa-sawi dalam usaha nelayan, yaitu punggawa

pakkaja (pemimpin nelayan) sebagai pemilik modal mempercayakan kepada

pemimpin tekhnis atau punggaw kecil dan para sawi sebagai anak buah yang

bekerja sesuai kemampuannya. Ada yang mengatur layar, mendayung, mengatur

tali-temali. Demikian halnyadalm perdagangan, punggawa besar besar sebagai

pemilik modal serta memiliki fasilitas berupa gudang untuk menyimpan komoditi

perdagangan. Para sawi yang bekerja mengumpulkan dan membeli langsung hasil

pertanian ke pedalaman utamanya beras, kemudian ditampung di gudang beras

untuk selajutnya disalurkan ke pasar atau kedai.

Page 26: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Untuk mengisi kas Kerajaan Gowa, para bangsawan banyak yang terlibat

dalam perdagangan. Ketika bandar Somba Opu mulai ramai dikunjungi oleh para

pedagang, mereka ikut aktif dalam perdagangan beras dan rempah-rempah.

Menurut Admiral van der Hagen tahun 1607, Mangkubumi Raja Gowa, Karaeng

Matoaya (1573-1637), telah melakukan usaha perdagangan rempah-rempah

dengan mendirikan perwakilan dagang di Banda yang setiap tahunnya dikirimi

beras dan pakaian. (Van Leur, J.C., 1960:110), (Schrieke, B.J.O:1960:68).

b) Sistem Perdagangan

Transaksi dagang pada waktu itu umunya dilakukan secara barter. Beras dan

barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis Makassar,

kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara barter

didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.

Sistem penukaran seperti ini berlaku juga untuk barang dagangan yang berasal

dari negara asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan

potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai

kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti bahar Maluku=

600 pond, sedangkan bahar Malaka= 550 pond.(Van Leur, J.C,1974:111).

Di Bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang

timah Cina untuk diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar yang akan pergi ke

Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis Makassar yang

menerima semacam uang memberikan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini

ditulis dalam bahasa Melayu. (Schrieke,1960: 20-21).

Sistem barter yang digunakan para pedagang antara pedagang asing dan lokal,

berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian, senjata, dan

porselen dibawa oleh para pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian

ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut dibawa ke

pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusatenggara untuk ditukar dengan

rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sapan, kemudian dijual lagi ke pedagang

asing. (La Side,1970:14).

Adapun alat tukar uang di Bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah

dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinara yang berbentuk kecil, semua

menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut banggala. Pada masa

Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat menunjang bagi

kelancaran perdagangan di Bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata uang emas dan

Page 27: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1850 terjadi devaluasi emas yang semua

masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling Inggris atau 0,8 real Spanyol. (Anthony

Reid,1981:12).

Salah satu penghasilan terpenting bagi Kerajaan yaitu hasil perdagangan dan

pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula

sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang dimodalinya atau

menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, sepertiga

pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan

untuk mengembalikan pengongkosan peralatan dan awak kapal.

Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti yang sebenarnya.

Mereka “berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang dagangan

kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai

modal. (VanLeur,1960:229-328). Misalnya hartawan yang menyerahkan

dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dalam

perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa

berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem laba juga

dipakai menurut ketentuan yang berlaku.

Adapun aturan yang berlaku dalam Kerajaan Gowa tentang cara berdagang

maupun berlayar, sesuai hukum Amana Gappa, seperti dalam pasal 1 ditetapkan dafta

sewa bagi yang berlayar, antara lain:

Apabila orang naik diperahu di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di

Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari

tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar ke Selayar, sewanya dua

setengah dari tiap-tiap seratus. (Tobing,1977:49).

Sedangkan aturan tentang cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada

5 jenis cara berjualan:

1. Berkongsi sama banyak

2. Samatula

3. Hutang tanpa bunga

4. Hutang kembali

5. Kalula

Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko

sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul

Page 28: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak dilautan, dimakan

api atau kecurian.

Sedangkan yang tidak dipikul besama (ditanggungoleh pelaksana perdagangan),

yaitu:

1. Dijudikan

2. Dipelacurkan

3. Digunakan untuk beristri

4. Diboroskan

5. Dipinjamkan

6. Dimadatkan

7. Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya

Adapun yang disebut samatula adalah empunya barang yang dualan yang

memikul segala kerusakannya. Jika bukan cara berjualan yang dilakukannya sehingga

rusak, maka penjualah yang menanggungnya. Labanya dibagi tiga, dua bagian

diambil oleh empunya dagangan dan sebagian diambil oleh si

pembawa.(Tobing,1977:58).

Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja jika sudah

sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu

ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang

berhutang. Kalau tidak laku atau tidak beganti rupa, maka barang boleh dikembalikan.

Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin adat, segala

hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu.

Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menungg

kekeliruan, misalnya dalam hal bayar membayar. Setelah diterima, barulah diketahui

tidak cukup pembayarannya atau atau ada robek bagi barang yang berlembar. Sebab

tidak boleh mengembalikan barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata

sama dengan pedagang. (Tobing,1977:58-65).

Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan menjual

barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang yang sudah

dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak memberatkan

keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri, kalula sendiri yang

menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko. (pasal 18)

Page 29: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Mengenai bayar membayar utang piutang termasuk membayar laba, dinyatakan

dalam pasal 17, jika dipinjamkan barang jualan, maka haruslah dibayar dalam bentuk

barang jualan juga. Jika barang jualan dipinjam dan dibayar dengan uang, maka

tergantung pada persetujuan mereka.(Tobing,1977:84).

Asama Gappa juga menyatakan dalam pasal 21, mengenai utang bagi laba, yaitu:

Jangan mengambil uang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh

daripada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun

keburukannyasering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jika

berutang bagi laba, sesuaikanlah dengan harga miliknya beserta (harta) golongan

keluarga yang dekat.

Disarankan bahwa yang meminjamkan barang itu berkeras kepala menuntut

bayaran, hendaklah ditaati peraturan yang sudah ditetapkan itu.

(Tobing,1977:67).

Jika berutang yang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya,

maka ditaksirkan harga segala barang miliknya sendiri. Juka telah habis harga

miliknya dibayarkan dan belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya.

Tidak boleh lagi dibayarkan atau ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh

Allah Ta’ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh

karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak boleh dari lingkungannya.

Berarti orang yang berutang dianggap telah melunasi utangnya (meskipun masih

kurang daripada utang sebenarnya). Dianjurkan para majikan memberi pekerjaan,

yaitu berdagang kembali. Jika kelak memperoleh rezeki, dapat melunasi segala

utangnya.

c) Komoditi Perdagangan

Para pedagang datang ke Bandar Somba Opudari berbagai suku dan masing-

masing membawa komoditi perdagangan. Pedagang Asia seperti dari Melayu, Cina,

India, dan Arab membawa kain tenun, kain sutra, porselen, barang pecah belah dan

perhiasan, sedangkan Portugis membawa pakaian. Menurut memorandum Belanda

tentang perdagangan di kepulauan Indonesia tahun 1603, bahwa tiap-tiap tahun kapal

Portugis ke Somba Opu membeli pala, bunga pala dan budak. Semua pembelian

tersebut ditukarkan dengan pakaian. (M.A.P, Melink Roelofs,1962: 163).

Selain itu orang-orang Portugis yang berdagang di Somba Opu mendapatkan

suplai beras sebagai produksi dalam negeri, juga terdapat kulit penyu dalam jumlah

besar. Orang-orang Jawa membeli kulit penyu dalam jumlah besar untuk selanjutnya

Page 30: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

dijual ke Malaka. Jika pasaran rempah-rempah sedang sepi di Bandar Somba Opu,

maka pedagang Portugis mengganti muatannya dengan memuat beras untuk dibawa

ke Malaka. (Melink,1962:163-164).

Berbagai macam komoditi perdagangan didatangkan ke Bnadar Somba Opu,

seperti rempah-rempah dari Maluku, kayu garahu dan lilin dari Timor dan Solor, intan

dan batu bezoar dari Kalimantan. Pakaian dalam jumlah besar dibawa oleh pedagang

Melayu, kemudian dijual ke pedagang Bugis Makassar, untuk selanjutnya di

perdagangkan ke pelosok daerah Sulawesi Selatan, Kalimantan, Mindanau, Maluku,

Ambon, Seram, Kei, Tanimbar, Solor, Ende, Bima, Bali, dan Jawa. (Schrieke,

:68).Sekembalinya dari daerah-daerah tersebut pedagang Bugis Makassar akan

memuat kapalnya dengan komoditi perdagangan dari daerah yang dikunjungi.

Komoditi budak ternyata dibutuhkan oleh pedagang asing untuk dipekerjakan

sebagai tenaga kasar dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan. Diberitahukan

bahwa pernah kapal Belanda menangkap kapal Portugis yang berlayar dari Somba

Opu, dengan muatan 150 bahar pala, cengkeh, serta sejumlah budak laki-laki dan

budak perempuan. (Melink Roelofsz,1962:163).

Hasil utama yang diperdagangkan di Bandar Somba Opu adalah produksi beras

dari daerah pedalaman. Maros dan Takalar adalah daerah pedalaman yang subur

sebagai produksi beras, sedangkan Bantaeng adalah lumbung beras kerajaan Gowa.

(Mattulada, 81). Demikian pula dengan kerajaan Bugis seperti Bone, Wajo,

Sengkang dan Soppeng merupakan kerajaan agraris yang menghasilkan beras.

Menurut Anthony Reid, bahwa beras yang terdapat di bendar Somba Opu adalah

kiriman dari daerah Maros. Sekitar tahun 1610 daerah Maros menghasilkan beras

tidak kurang dari 1000 ton tiap tahun, cukup untuk memberi makan sejumlah 6000

orang. Namun surplus ini lenyap sejak tahun 1620, sehingga untuk kelangsungan

perdagangan beras dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negri, maka Kerajaan

Gowa mendatangkan beras dari daerah takluknya seperti Bima. Diperkirakan tiap-tiap

tahun sekitar 40 perahu Bugis Makassar mengambil muatan beras ke Bima. (Anthony

Reid, 1626:90).

Di sekitar Kerajaan Gowa, juga diusahakan memproduksi beras, menurut catatan

lontara menyebutkan bahwa rakyat dikerahkan untuk menanam padi di daerah

karebosi (dekat benteng Ujung Pandang), pelaksananya mulai berlangsung pada

tanggal 24 Desember 1636. (Lontara Bilang Gowa Tallo, 1985-1986:94). Sedangkan

untuk menampung beras yang datang dari daerah pedalaman atau darah takluk

Page 31: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

kerajaan Gowa dan Dri daerah lainnya, maka dibuat lumbung padi di depan Maccini

daggang.

Lumbung padi atau gudang beras yang dibuat oleh kerajaan Gowa, maksudnya

untuk menampung dan tidak diperjual belikan hingga panen, menjaga pada wkatu

musim paceklik Kerajaan Gowa tidak kekurangan beras. Raja sebagai pembeli utama

perdagangan beras, beras dalam jumlah besar hanya boleh dibeli oleh raja, terutama

yang berhubungan dengan pedagang asing. (Burger, D.H., 1956:64). Dengan

demikian pendapatan kerajaan Gowa banyak diperoleh dari perdagangan beras

dengan pedagang asing, disamping rempah-rempah dan komoditi lainnya.

Walaupun bandar Somba Opu bukan daerah penghasil rempah-rempah, namun

rempah-rempah dalam jumlah yang besar diperdagangkan di bandar Soma Opu.

Pedagang asing lebih aman membeli rempah-rempah di bandar Somba Opu dari pada

Maluku, apalagi sejak basis perdagangan direbut Belanda pada tahun 1607. (Anhony

Reid, 1983:9). Somba Opu merupakan alternatif untuk membeli rempah-rempah.

Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh pedagang Bugis Makassar dengan melakukan

perdagangan selundupan ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Bahkan

pedagang Bugis Makassar mengatur sedemikian rupa sehingga harga rempah-rempah

lebih murah di bandar Somba Opu dari pada Maluku. (Stapel, F.W., 1922:9).

Komoditi lainnya didatangkan dari daerah Selayar, yaitu pulau yang terletak

diseberang arah selatan bandar Somba. Pulau ini menghasilkan produksi laut seperti

tripang, agar-agar dan kulit penyu, komoditi ini sangat diminati pedagang Cina. Selain

itu hasil hutan juga diperdagangkan, yaitu kayu hitam dari Palopo, pembuatan

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

Mengenai perdagangan kayu hitam telah berlangsung sejak abad XVI, terbukti

bahwa bangsa Portugis yang pertama kali ke Somba Opu tahun 1538, selain

menyebarkan agama Nasrani juga berdagang. Kapal-kapal Portugis meninggalkan

bandar Somba Opu dengan membawa muatan, terdiri dari kayu hitam, emas dan

senjata api, kemudian melanjutkan perjalanan ke Maluku. Pada tahun 1543 Gubernur

Portugis di Maluku mengirim kapal Portugis untuk berdagang kayu hitam di

bandarSomba Opu. (Mattulada, 1986:27). Sejak saat itu pedagang-pedagang

Portugis secara rutin melakukan perdagangan kayu hitam.

Komoditi yang memerlukan ruang yang luas seperti kayu hitam, rupanya menarik

minat para pedagang. Tidak hanya barang yang tidak memerlukan ruang yang luas,

Page 32: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

seperti sutra atau barang lux lainnya yang diperdagangkan. Hal ini ditegaskan

Amanna Gappa dalam pasal 1, bahwa:

Disebutkan jenis dagangan yang membutuhkan ruangan luas yakni beras, garam,

kapas, tembakau bakala (untuk dipakai makan sirih), gambir, agar-agar, dan

kayu. Barang tersebut dikenakan bayaran sima biring, yakni 1/11 bagian dari

jumlah modal. Barang yang tidak mengambil ruangan luas tetapi berharga tinggi

seperti mata uang, emas, batu permata, kain sutra, kemenyan, bayarannya

seperdua dari sewa balu reppi. (Tobing, P.O.L., 1977:49).

Diberitakan pula dalam catatan harian Belanda mengenai pelayaran dan

perdagangan kapal-kapal dagang ke berbagai daerah penghasil komoditi perdagangan.

Antara lain menyebutkan bahwa, pada tanggal 2 januari 1641, sebuah lamboe,(jenis

perahu layar) berangkat ke Somba Opu dengan muatan pakaian, porselen, besi tua dan

asam jawa dari Batavia. (Chijs, J.A. Van Der., 1640-1641). Sedangkan pedagang-

pedagang dari kapal-kapal Bugis Makassar pada tahun 1641 membawa muatan

berupa, cengkeh sejumlah 50 bahar seharga 100 ringgit, dan kulit penyu. Pada tanggal

3 Agustus, kapal Spanyol mengadakan pelyaran ke Bangkok, berangkat dari bandar

Somba Opu dengan muatan 160 pikul kayu cendana, 90 pikul cengkeh, dan sejumlah

serabut untuk tali, 800 ikat rotan.

Adapun kontak antara kerajaan –kerajaan yang ada di Nusantara, antara lain

disebutkan bahwa Raja Gowa pernah mengutus seorang duta ke Aceh. Utusan

tersebut berangkat dari Somba Opu pada tanggal 16 Nopember 1641 dengan

membawa muatan berupa hadiah dari raja Gowa, terdiri dari 1 kantong kesumba (zat

pewarna), 1 potong pakaian yang halus dengan 3 keris, beberapa burung cendrawasih.

Duta tersebut disambut dengan barisan gajah, 10 pembawa bendera, 10 orang meniup

suling dan pemukul tambur. Sedangkan pedagang Bugis Makassar dalam melakukuan

memuat barang dagabgan ke Malaka, mereka memuat barang dagangan berupa

sejumlah pakaian dari Gujarat, Bengal, dan Coromandel srta sejumlah besar

kemenyan dan dupa. (Melink Roelofsz, 1962:86). Selain pakaian, kapal dagang

tersebut tersebut mengisi muatan berupa sutra dari Macao, dan barang pecah belah

dari Cina. (Schrieke, B.J.O.,1960:68).

Adapun daerah-daerah penghasil komoditi perdagangan, serta tujuan

perdagangannya, disebutkan dalam catatan Cornelis Speelman, sebagai berikut:

(Noorduyun,.J., 1670:119-120).

Page 33: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Barang Dagangan Dari Daerah Tujuan ke Agen

- Agurhout Sukadana Aceh

- Amber (batu) Timor,

Tanimbar,Solor

Aceh

- Bekkens

(baskon)

Macao Aceh

- Besoarsteen

(zimat)

Kamboja, Macao Aceh

- Buffels

(kerbau)

Banjarmasin, Brunai

Aceh

- Bijiltijs

(kapak kecil)

Sukadana Timor, Manggarai,

Tanimbar, Alor

- Damar Pesisir, Kutai Siam

- Diamant

(bebda dari

intan)

Sukadana Siam

- Djatihout

(kayu jati)

Sulu Siam

- Geld/Spaan

(uang)

Sulu, Manila, cebu Macao, Jawa

- Gommelak

(karet,

perekat)

Comboja Macao, Jawa

-Gongen

(gong)

Macao Manggarai, Timor,

Tanimbar, Alor

-Gold (emas) Mindanao, Sulu,

Macao, Cebu, Jambi,

Banjarmasin,

Sukadana,

Pesisir/ Kutai.

Aceh

Page 34: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

- Gouddraad

(benang

emas)

Macao Aceh

Aceh

- Indigo

(pohon nila)

Siam Aceh

- Kamper

(kapur barus)

Brunnai Aceh

- Kannel

(kayu manis)

Manggarai, Mindanao,

Sulu

Aceh

- Katoengaren

(kain kapas)

Bali Kamboja

- Kalapper

(oli)

Noordelanden Kamboja

- Kleden

(pakaian)

Aceh

Siam, Patani, Bali,

Batavia, Banten,

Jambi, Johor, Malaka,

Manggarai, Timor,

Alor, Tanimbar,

Bima, Buton,

Tambuku, Banggai,

Mindanao, Sulu,

Macao, Manila,

Cebu, Kamboja,

Patani, Jawa Banjar

masin, Brunnai,

Kutai, Sukadana,

Berau, Noodelanden

- Kleden

(pakaian

Siam, Patani, Batavia Manila, Paser/Kutai

Page 35: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Bima)

- Koper

(Japans)

Macao, Manila Manila, Paser/Kutai

- Kralen

(manik-manik)

Bima Aceh

- Massoi

(akar untuk

jamu)

Seram Aceh

- Messin

(kuningan)

Macao Manggarai, Timor,

Tanimbar, Alor.

- Olifantstand Sulu, Siam, Kamboja. Manggarai, Timor,

Tanimbar, Alor,

Macao

- Paarden

(kuda)

Bima Manggarai, Timor,

Tanimbar, Alor,

Macao

- Paarlen Mindanao, Sulu Alor, Manggarai,

Timor, Tanimbar

- Paper (lada) Sukadana Macao

- Poedersuiker

(tepung gula)

Banjarmasin Macao

- Porcelein

(porselen)

Cebu Aceh, Banjarmsin,

Sukadana

- Radix China

(akar cina)

Macao Aceh, Banjarmasin,

Sukadana

- Rotan Paser/Kutai Berau Macao

- Sandelhout

(kayu

Timor, Kaili. Macao, Siam,

Kamboja, Batavia,

Page 36: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

cendana)

Banten, Palaembang,

Jambi, Joohor,

Malaka, Aceh.

- Sappanhout

(kayu)

Bima, Siam Batavia, Banten

- Schildpad

(kura-kura)

Tanimbar, Alor,

Tambuku, Banggai,

Sulu, Mindannao.

Banteen, Malaka

- Budak Manggarai, Timor,

Buton

Malaka, Aceh,

Banjarmasin

- Spiauter Macao Batavia, Banten

- Tabak

(tembakau)

Mindanao, Manila Batavia, Banten

- Tin (timah) Siam Batavia, Banten

- Vogelnestjes

(sarang

burung)

Paser/Kutai Palembani,Jambi

- Zwaarden

(pedang)

Tambuku Manggara, Timor,

Tanimbar, Alor

- Was (lilin) Manggarai, Timor,

Tambuku, Banggai

Macao, Jawa,

Batavia, Banten.

- Zijde (sutra) Macao, Cebu,

Kamboja

Manila

- Armbanden

(gelang)

Macao, Cebu,

Kamboja

Timor, Tanimbar,

Alor

- Kleden

(pakaian)

Sulawesi/Makassar Manila

- Geld (uang) Makassar Banjarmasin,

Paser/Kutai

- Rijst (beras) Makassar Bima

- Ijzer (besi) Luwu/Palopo Johor

- Zwavel

(belerang)

Luwu/Palapo Siam

Page 37: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Demikian daftar nama-nama barang dagangan, dan daerah-daerah yang

memproduksi barang dagangan serta daerah tujuan untuk diperdagangkan, dimana

perwakilan dagang (agen) didirikan. Daerah-daerah tersebut, merupakan rute-rute

perdagangan masyarakat Bugis Makassar.

d) Pajak Perdagangan

Sumber pendapat ekonomi Kerajaan Gowa sebagai negara maritim, banyak

diperoleh dari hasil pungutan cukai perdagangan ataupun pajak yang ditarik terhadap

pedagangpedagang asing yang transitatau berdagang di bandar Somba Opu. Namun

terlebih dahulu para pedagang tersebut, menyerahkan persembahan untuk kerajaan

Gowa. Adapun pemberian berupa upeti, secara rutin diperoleh dari daerah takluk

yaitu daerah vasal kerajaan Gowa.

Untuk kelancaran kegiatan perdagangan dan untuk mengawasi keluar masuknya

kapal dagang di bandar Somba Opu. Maka sejak pemerintahan Karaeng Tumapa’risi

Kallonna, dianjurkan membuat timbangan, anak timbangan, dan membuat takaran,

serta mengangkat seoorang syahbandar. (Mattulada, 1982:24). Kekuasaan dan

kewibawaan syahbandar dalam mengelola sistem perdagangan merupakan faktor yang

sangat membantu berhasilnya kerajaan Gowa memperoleh sumber pendapatan

ekonomi.

Dalam karya Amanna Gappa, disebutkan tugas-tugas syahbandar, yaitu:

Adapun engkau syahbandar berkewajiban menyuruh mengawasi pedagang yang

baru tiba di pelabuhan negrimu agar banyak bea (diperoleh) negrimu. Oleh

karena engkaulah, syahbandar, diserahi tugas memasukkan hasil negrimu ke

dalam perbendaharaan raja. Engakau jugalah pengganti diri raja, menjaga baik

buruknya pedagang. Maka dalam hal itu wajiblah engkau berhati-hati, bagaikan

ibu bapak pada pedagang. Ladenilah anakmu dengan kejujuran menurut hukum

pelayaran dan perdagangan, dibawah angin, yang bernama Amanna Gappa,

Matoa orang Wajo beserta dengan matoa Paser yang bersepakat di Makassar

menetapkan undang-undang pelayaran, duduk bersepakat di kampung Wajo.

(Tobing, P.O.L:1977:45)

Selain tugas memungut pajak dari pedagang, syahbandar juga ditugaskan sebagai

perantara, bagi setiap suku bangsa yang ingin memberi persembahan sebagai tanda

persahabatan terhadap kerajaan Gowa. Antara lain diplomasi dagang Portugis

Page 38: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

dipimpin oleh Fransisco Vieira, datang ke Somba Opu membawa persembahan untuk

raja Gowa, berupa gajah-gajah Kamboja. Catatan harian kota Makassar mentebutkan

bahwa pada tanggal 16 Mei 1642, gajah itu diterima oleh raja, selanjutnya Veiera

membuat jaringan perdagangan utama dengan basisnya di bandar Somba Opu.

(Anhony Reid, 1983:140).

Pada masa pemerintahan Karaeng Pattingallong (1600-1637), dipersembahkan

hadiah istimewa berupa kuda, kijang, gajah, dan senjata. (Stapel, F.W., 1922:40-41).

Demikian pula dengan para pedagang dari Melayu dan Jawa, mempersembahkan

sepucuk kamaleti, delapan puluh junjungan bolo, sekaju sekelat, dan setengah kodi

cinde ilau, kepada raja Gowa X (1546-1585). (Abdul Latif Abubakar, 1984:8)

Mengenai jumlah persen yang dikenakan pada setiap kapal yang transit maupun

yang berdagang di bandar Somba Opu, sekitar antara 5% sampai 10%. Menurut

Erdamans, bahwa pungutan cukai atau pajak di Somba Opu, sebesar 5% samapai

10%, yang bertugas memungut cukai pasar adalah jannanga pasar (bawahan dari

syahbandar). (A.J.AF. Erdamans, 1897:27).

Adapun pajak pelabuhan yang dipungut oleh syahbandar terhadap kapal dagang,

sebesar 10% seperti halnya yang diungkapakan Melink Roelofs, bahwa pada

pertengahan abad-17, bandar Somba Opu berhasil memperoleh sumber pendapatan

bagi kerajaan Gowa. Dengan meningkatnya arus barang dagangan dari berbagai negri,

seperti sutra dan barang dagangan dikenakan bea cukai sebesar 10%, namun para

pedagang secara teratur mengirim kapalnya ke bandar Somba Opu. (Meilink Roelofz,

1962:164).

Jumlah presentase pendapatan bandar Somba Opu dalam mengadakan transaksi

dagang dengan pedagang lokal maupun pedagang asing, tidak ada keterangan pasti.

Ukuran presentase pendapatan dari pedagang dapat diukur dari jumlah kapal yang

berlabuh di bandar Somba Opu. Kapal-kapal dagang dari berbagai negri setiap tahun

datang ke bandar Somba Opu, diperkirakan kapal-kapal jenis jung-jung, pelampung

tingans, perahu-perahu tersebut berjumlah antara 25, 30, dan 40 tiap tahun berlabuh di

bandar Somba Opu pedagang tersebut menetap di Somba Opu. Pedagang tersebut

menetap di Somba Opu sambil menunggu musim perdagangan rempah-rempah antara

bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Mereka membeli 1000 bahar dari bandar

Somba Opu setiap musim. (Schrieke, B.J.O., 1960:66).

Menurut laporan sudagar Belanda tahun 1621, bahwa lebih 11 perahu Portugis

dikirim ke bandar Somba tiap tahunnyaa. Tambahan pula kapal-kapal datang dari

Page 39: BAB IV ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14133/4/T1_152016801_BAB IV...sebagai modal utama dalam membangun eksistensi politik dan ... yaitu

Maluku singgag di bandar Somba Opu untuk menimbun rempah-rempah. Pedagang

Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang Melayu, Jawa dan Bugis Makassar

yang secara rutin berlayar ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.

Pada tahun 1624, kurang lebih 600 orang pedagang Melayu dan pedagang asing,

berangkat dari Somba Opu menju Ambon dengan menggunakan sejumlah perahu

kecil. Dengan modal besar mereka membawa beras, uang tunai untuk ditukarkan atau

untuk membeli rempah-rempah. (Van Leur,1960:159). Bangsa Portugis merupakan

pedangang asing yang member keuntungan bagi pedagang di Bandar Somba Opu,

diperkirakan sekitar 10 sampai 20 kapal dagang Portugis yang berdagang di Bandar

Somba Opu setiap tahun. Kurang lebih 500 orang Portugis yang menetap, dan

bertambah lagi sebanyak 3000 orang , setelah basis perdagangan Portugis di Malaka

direbut Belanda tahun 1841. (Anthony Reid,1992:16).

Banayaknya kapal dagang yang datang ke Bandar Somba Opu tiap tahun

menunjukkan keramaian lalu lintas perdagangan. Dengan demikian pemasukan pajak

perdagangan. Dengan demikian pemasukan pajak perdagangn di Bandar Somba Opu,

merupakan sumber utama dalam menunjang kekuatan ekonomi kerajaan Gowa.