Case Nekrosis Epidermolisis Toksik (TEN)

34
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata. N.E.T umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada sindrom Stevens-Johnson (S.S.J) sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian. Insidennya juga makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat dan hampir semua obat dapat dibeli bebas. 1.2 Epidemiologi Insiden SSJ dan NET masing-masing diperkirakan 1-6 kasus per million-years dan 0.4-1.2 kasus per million-years. NET dapat terjadi pada semua usia, dan peningkatan risiko setelah usia 40 tahun, dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria, dengan sex ratio 0.6. Individu dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), collagen vascular disease dan kanker mempunyai risiko lebih tinggi. Mortalitas total NE adalah 20-25%, bervariasi antara 5-12% untuk SSJ, lebih dari 30% untuk NET. Usia yang bertambah, adanya ko-morbid, dan luas lesi kulit yang terkena, berkorelasi dengan prognosis jelek. 1

description

Laporan kasus TEN (epidermolisis) pada poli KK

Transcript of Case Nekrosis Epidermolisis Toksik (TEN)

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

1.1 DefinisiNekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata. N.E.T umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada sindrom Stevens-Johnson (S.S.J) sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian. Insidennya juga makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat dan hampir semua obat dapat dibeli bebas.

1.2 EpidemiologiInsiden SSJ dan NET masing-masing diperkirakan 1-6 kasus per million-years dan 0.4-1.2 kasus per million-years. NET dapat terjadi pada semua usia, dan peningkatan risiko setelah usia 40 tahun, dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria, dengan sex ratio 0.6. Individu dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), collagen vascular disease dan kanker mempunyai risiko lebih tinggi. Mortalitas total NE adalah 20-25%, bervariasi antara 5-12% untuk SSJ, lebih dari 30% untuk NET. Usia yang bertambah, adanya ko-morbid, dan luas lesi kulit yang terkena, berkorelasi dengan prognosis jelek.1.3 Patofisiologi Patofisiologi NET masih belum jelas; tetapi telah terbukti bahwa obat merupakan faktor penyebab terpenting. Lebih dari 100 jenis obat berbeda telah dilaporkan sebagai obat yang mungkin sebagai penyebab NET. Pentingnya 1 jenis obat dapat ditetapkan pada kisaran 70% kasus. Penelitian kasus kontrol multinasional menganalisis asosiasi NET dengan obat spesifik dan ko-faktor epidemiologik lain. Beberapa medikasi risiko tinggi dianggap bertanggung jawab terhadap separuh kasus NET di Eropa (Tabel 2). Obat risiko tinggi tersebut ialah sulfonamide antibakteri, antikonvulsan aromatis, alopurinol, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) golongan oxicam dan diklofenak, lamotrigine, dan nevirapine. Risiko kejadian penyaki terutama pada 8 minggu pertama pengobatan. Peranan agen infeksi dalam perkembangan NET kurang menonjol dibandingkan pada eritema multiforme, walaupun ada sedikit kasus NET disertai dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, penyakit virus, dan imunisasi telah dilaporkan. Kasus NET telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang, beberapa di antaranya berupa penyakit graft-versus-host akut dan lainnya akibat obat. Hubungan antara NET dan penyakit graft-versus-host sukar dinilai karena baik lesi kulit maupun gambaran histologi hampir tidak dapat dibedakan. Radioterapi sebagai tambahan terhadap terapi obat anti-epilepsi (fenitoin, fenobarbital atau karbamazepin) dapat memicu NET pada lokasi radiasi. Beberapa kasus, etiologinya tidak diketahui.

Tabel I. Faktor risiko obat pada NETRisiko tinggiRisiko lebih rendahRisiko meragukanRisiko tidak terbukti

AlopurinolSulfametoksazolSulfadiazineSulfapiridinSulfadoksinSulfasalazinKarbamazepinLamotriginFenobarbitalFenitoinFenilbutazonNevirapinNSAID oksikamTiasetazonNSAID (diklofenak)AminopenisilinSefalosporinQuinolonCyclinsmakrolidParasetamolPirazolonKortikosteroidNSAID lainsertralinAspirinSulfonylureaTiazid FurosemidAldaktonCalcium channel blocker blockersAngiotensin-converting enzyme inhibitorsStatinHormonvitamin

NSAID = nonsteroidal anti-inflammatory drugs.

1.4 Manifestasi Klinik NET secara klinis mulai dalam 8 minggu (4 - 30 hari) setelah pajanan obat. Pada beberapa kasus yang sangat jarang (reaksi sebelumnya dan pada rechallenge tidak disengaja terhadap obat yang sama), kelainan klinis timbul lebih cepat (dalam beberapa jam). Keluhan non-spesifk (demam, sefalgia, rhinitis, dan mialgia) mendahului (1-3 hari) lesi mukokutan. Selanjutnya secara progresif, timbul keluhan sakit menelan dan rasa terbakar pada mata, mengawali terkenanya mukosa. Kisaran 1/3 kasus dimulai dengan gejala non-spesifik, 1/3 dengan gejala mukosa, dan 1/3 dengan eksantema.

Lesi kulit Awalnya, erupsi terdistribusi simetris pada wajah, tubuh bagian atas, dan ekstremitas bagian proksimal. Bagian distal lengan dan kaki biasanya belum terkena. Erupsi selanjutnya cepat menyebar kebagian tubuh lain dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Lesi kulit awal ditandai macula eritematosa, dusky red, purpurik, ukuran ireguler, dan secara progresif akan bergabung. Lesi target atipik dengan bagian sentral gelap sering dijumpai. Penggabungan lesi nekrotik menimbulkan eritem difus dan luas. Tanda Nikolsky positif pada zona eritematosa. Pada stadium ini, lesi berkembang menjadi lepuh flaksid, yang menyebar bila ditekan dan mudah pecah. Epidermis yang nekrotik mudah terlepas pada tempat yang mendapat tekanan atau trauma gesekan, menampakkan area dermis luas yang terbuka, merah, kadang membasah. Pasien diklasifikasi dalam 1 dari 3 kelompok berdasarkan total area epidermis yang terkelupas (Nikolsky positif) : SSJ bila BSA yang terkena < 10%; SSJ/NET overlap bila BSA antara 10-30%; dan NET bila > 30%.

Lesi mukosa Lesi mukosa (hampir selalu mengenai minimal 2 lokasi) ditemui pada 90% kasus dan dapat mendahului atau mengikuti erupsi kulit. Lesi dimulai dengan eritema dilanjutkan dengan erosi yang nyeri pada mukosa mulut, mata, dan genital. Semuanya, menyebabkan gangguan makan, fotofobia, sinekia konjungtiva, dan nyeri buang air kecil. Rongga mulut dan vermillion border bibir hampir selalu terkena dan menampakkan kelainan berupa erosi yang nyeri dan hemoragik dan dilapisi pseudomembran putih keabuan dan krusta pada bibir. Kisaran 85% pasien mempunyai lesi konjungtiva, berupa hiperemi, erosi, chemosis, fotofobia, dan lakrimasi. Bulu mata dapat terlepas. Pada keadaan lebih berat, dapat terjadi ulkus kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering terjadi.

Gejala Ekstra-Kutan NET disertai oleh demam tinggi, nyeri dan kelemahan. Organ dalam dapat terkena, terutama komplikasi paru dan pencernaan. Komplikasi paru awal didapati pada 25% pasien dan bermanifestasi berupa sesak nafas, hipersekresi bronchial, hipoksemia, hemoptisis dan ekspektorasi bronchial mucosal casts. Keterlibatan bronchial pada NET tidak berkorelasi dengan luas lesi kulit atau obat penyebab. Gagal pernafasan akut yang timbul cepat setelah timbul kelainan kulit, biasanya prognosisnya jelek. Pada kasus dengan abnormalitas pernafasan, bronkoskopi fiberoptic merupakan prosedur sederhana untuk membedakan pelepasan epitel spesifik dalam bronkus dari pneumonitis infeksi, yang prognosisnya lebih baik. Keterlibatan saluran pencernaan lebih jarang, berupa nekrosis epitel esofagus, usus halus, atau kolon yang bermanifestasi berupa diare, malabsorpsi, melena, dan bahkan perforasi kolon. Keterlibatan ginjal pernah dilaporkan. Proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria, dan azotemia tidak jarang ditemui.

1.5 DiagnosisDiagnosis NET berdasarkan:1. Riwayat dan gambaran klinis,1. Gambaran histopatologis, dan 1. Pemeriksaan imunofluoresen langsung.Diagnosis obat penyebab NET. Belum ada tes laboratorik (baku emas) yang dapat konfirmasi obat spesifk penyebab NE. Obat yang dikonsumsi selama 4 minggu pertama (1-3 minggu), merupakan agen penyebab potensial untuk terjadinya NE. Pada prinsipnya, tes re-challenge oral dan tes intradermal terhadap obat tersangka tidak boleh dilakukan karena dapat menginduksi ulang NE,4 terapi desensitisasi obat tersangka tidak boleh dilakukan. Beberapa pemeriksaan in vitro dapat menolong mengkonfirmasi penyebab pada kasus individual, tetapi sensitivitas dan spesifisitas yang pasti belum diketahui (lymphocyte toxicity dan lymphocyte transformation assays).

1.6 Diagnosis Banding Apabila tidak ada mukosa yang terkena atau hanya 1 lokasi mukosa yang terkena, harus meningkatkan kecurigaan adanya diagnosis alternatif: staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) pada bayi; purpura fulminans pada anak dan dewasa muda; acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), thermal burns, fototoksisitas, atau pressure blisters pada dewasa. Linear IgA bullous disease dan pemfigus paraneoplastik biasanya perjalanan penyakitnya tidak begitu akut, dan pemeriksaan imunofluoresen langsung positif. Dalam semua aspek, termasuk patologi, generalized bullous fixed drug eruption (GBFDE) mirip NET. Prognosis GBFDE lebih baik, mungkin karena mukosa yang terkena lebih ringan dan tidak mengenai organ dalam. Selain itu, awitannya cepat dan lepuh yang timbul lebih besar dan berbatas jelas.

1.7 Pemeriksaan PenunjangTes laboratorium Evaluasi respiratory rate dan oksigenasi darah (oksimetri) adalah beberapa di antara pemeriksaan pertama yang perlu dilakukan dalam ruang emergensi. Level bikarbonat serum < 20mM (normal: 22-28 mM/L) mengindikasikan prognosis jelek. Hal tersebut terjadi akibat alkalosis pernafasan yang berhubungan dengan terkenanya bronkus secara spesifik. Kehilangan cairan transdermal masif bertanggung jawab terhadap ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia (normal: 3.5-5.5 g/dl), dan hipoproteinemia (total: 6-7.8 g/dl), dan insufisiensi renal ringan dan singkat. Meningkatnya level blood urea nitrogen (BUN) (normal: 7-18 mg/dl atau 1.2-3 mM/L) merupakan marka keparahan dengan nilai 1. Neutropenia sering dianggap sebagai faktor prognostik yang tidak menyenangkan tetapi sangat jarang mempunyai dampak signifikan pada SCORTEN. Status hiperkatabolik bertanggung jawab terhadap inhibisi sekresi insulin atau insulin resistance, yang berakibat pada hiperglikemia dan kadang diabetes nyata. Level glukosa darah > 14 mM (normal : 3.8-6.1 mM/L) adalah marka keparahan yang lain.

Histopatologi Biopsi kulit untuk pemeriksaan histologi rutin dan imunofluoresen harus dilakukan pada setiap kasus NE, walaupun diagnosis secara klinis sudah jelas, untuk kepentingan future legal action dan karena pemeriksaan tersebut adalah satu-satunya cara untuk mengeksklusi sebagian besar diagnosis banding. Pada stadium awal, terkenanya epidermis ditandai oleh apoptosis keratinosit yang jarang dalam lapisan suprabasal, yang dengan cepat mengalami NET full-thickness dan pelepasan sub-epidermal. Didapati infiltrat sel mononuklear (limfosit dan makrofag) dengan kepadatan sedang pada papil dermis. Ditemui pula limfosit CD8+ dengan gambaran fenotip sel sitotoksik, yang memberi kesan suatu reaksi imunologik cell-mediated. Hasil imunofluoresen langsung umumnya negatif. 1.8 PrognosisJika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk. Jadi luas kulit yang dikenai mempengaruhi prognosisnya.

1.10 Komplikasi Selama fase akut, komplikasi tersering NE ialah sepsis. Hilangnya epitel merupakan predisposisi bagi pasien mendapat infeksi bakteri atau jamur, yang merupakan penyebab utama kematian. Kegagalan organ multisystem dan komplikasi paru didapati pada > 30% dan 15% kasus. Komplikasi lanjut mata ditemui pada 20 -75% pasien NE. Komplikasi lanjut mata terutama akibat perubahan fungsi epitel konjungtiva dengan kekeringan dan lacrimal film yang abnormal. Hal tersebut mengakibatkan radang kronis, fibrosis, entropion, trikiasis, dan simbleferon. Iritasi jangka lama dan defisiensi stem cell dalam limbus dapat berakibat metaplasia epitel kornea dengan ulserasi yang nyeri dan penglihatan terganggu. Hipopigmetasi dan/atau hiperpigmentasi sering ditemui, tetapi jarang disertai dengan skar hipertrofi/atrofi. Perubahan kuku, termasuk perubahan pigmentasi nail bed, distrofi kuku, dan anonikia permanen terjadi pada > 50% kasus. Dispareunia tidak jarang dijumpai dan berkaitan dengan kekeringan vagina, gatal, nyeri, dan perdarahan. Perlekatan genital memerlukan pengobatan bedah. Jarang terjadi striktura esophagus, intestinal, bronchial, uretral, dan anal. Karena komplikasi dan sekuele di atas timbul secara perlahan, sangat disarankan semua pasien yang berhasil melewati masa kritis, di follow-up beberapa minggu setelah keluar rumah sakit, termasuk pemeriksaan oleh oftalmologis. Gejala yang memberi kesan adanya gangguan stress paska sakit tidak jarang dijumpai, sehingga memerlukan konsultasi ke psikiatri. Prognosis dan perjalanan penyakit Pengelupasan epidermis berlanjut selama 5-7 hari, kemudian pasien masuk fase plateau, yang berhubungan dengan re-epitelialisasi. Proses reepitelialisasi tersebut berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung pada keparahan penyakit dan kondisi umum awal pasien. Selama periode ini, komplikasi berat seperti sepsis atau gagal organ sistemik dapat terjadi. Angka kematian adalah 5-12% untuk SSJ dan > 30% untuk NET. Prognosis tidak dipengaruhi tipe atau dosis obat penyebab atau adanya infeksi HIV.

1.11 TatalaksanaPertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3- 12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS. Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinyaperlekatan konjungtiva.

BAB IILAPORAN KASUS

IDENTITASNama: Tn. FJenis Kelamin: Laki-lakiUmur: 18 tahunPekerjaan: Pelajar SMA 2 Payakumbuh (baru lulus)Alamat: Koto Kociak, Kelurahan VII Koto Talago, Kecamatan Guguak No. 34Nomor Telepon: 08527871256 (ayah kandung)Agama: IslamSuku: MinangMasuk RS: Sabtu, 30 Mei 2015Tanggal Pemeriksaan: 3 Juni 2015No MR: 91.52.44

ANAMNESISKELUHAN UTAMATimbul bercak kemerahan yang terasa gatal di seluruh tubuh sejak 6 hari yang lalu

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Timbul bercak kemerahan yang terasa gatal disertai gelembung-gelembung berisi air dan nanah pada beberapa bagian tubuh yang terasa perih sejak 6 hari yang lalu. Bercak awalnya timbul di bagian dada, kemudian menjalar ke perut, punggung, leher, wajah, kelamin, tungkai, dan tangan. Bercak awalnya berwarna kemerahan dan kemudian menjadi kehitaman dan mengelupas. Awalnya 3 minggu yang lalu pasien dirawat selama 4 hari di RS Suliki karena nyeri ulu hati dan kejang. Pasien diberikan obat minum dan obat anti kejang, namun pasien tidak mengetahui nama obatnya. Pasien kemudian mengeluhkan sakit kepala ketika masa rawatan. Pasien demam selama di rumah sakit hingga pulang ke rumah dan meminum obat paracetamol. Setelah 1 minggu kemudian pasien mengeluhkan mata merah berair dan nyeri. Penyebab tidak diketahui keluarga dan diberi obat tetes mata. Karena sakit mata tidak kunjung sembuh, malam harinya pasien dibawa ke spesialis mata dan dikatakan bahwa pasien mengalami infeksi mata. Satu hari kemudian timbul bercak merah di dada sehingga pasien dibawa ke RS Payakumbuh. Pasien juga sempat diduga campak. Pasien mendapatkan cairan infus, obat ceftriakson, paracetamol, ranitidine, dan lansoprazol. Karena bercak semakin banyak, pasien dirujuk ke RS. Dr. M. Djamil Padang Nyeri menelan sejak 7 hari yang lalu dan membaik 2 hari yang lalu. Riwayat pemakaian jamu, obat-obatan tradisional (racikan) sebelum timbul keluhan tidak ada Riwayat BAK berdarah tidak ada, namun terdapat lecet pada kemaluan dan nyeri berkemih ada sejak 4 hari yang lalu Riwayat kontak dengan anggota keluarga ataupun daerah sekitar tempat tinggal yang mengalami batuk dan pilek tidak ada. Riwayat menderita keganasan tidak ada Riwayat terpapar radiasi tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Tidak pernah muncul gelembung-gelembung dan bercak merah, mata bersekret dan bibir berkeropeng sebelumnya Pasien mempunyai riwayat alergi debu. Riwayat Alergi obat sebelumnya tidak ada Riwayat alergi makanan, bengkak pada bibir dan kelopak mata, sesak napas menciut, galigata, biring susu, mata merah yang gatal dan berair tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA/ATOPI/ALERGI Tidak ada anggota keluarga pasien yang muncul gelembung-gelembung dan bercak merah, mata bersekret dan bibir berkeropeng sebelumnya Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat alergi makanan maupun obat-obatan, bengkak pada bibir dan kelopak mata, sesak napas menciut, galigata, biring susu, mata merah yang gatal dan berair.

PEMERIKSAAN FISIKSTATUS GENERALISKeadaan umum: Tampak sakit sedangKesadaran : kompos mentis kooperatifBB/TB: 50 kg/155cmTekanan darah: 110/80 mmHgNadi: 79 kali per menitNafas: 21 kali per menitSuhu: 36,8 CMata: konjungtiva hiperemisParu: Inspeksi: simetris kiri dan kanan Palpasi: fremitus sama antara kiri dan kanan Perkusi: sonor Auskultasi: bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-Jantung: Inspeksi : iktus tidak terlihatPalpasi: iktus teraba 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC VPerkusi: batas jantung dalam batas normalAuskultasi: irama regular, bising (-)Abdomen: Inspeksi: supel, distensi (-) Palpasi: hepar dan lien tidak teraba Perkusi: timpani Auskultasi: BU (+) normalEkstrimitas: Akral hangat, perfusi baik

STATUS DERMATOLOGIKUSLokasii: sebagian besar tubuh Distribusi: generalisataBentuk: tidak khasSusunan: tidak khasBatas: tegas dan tidak tegasUkuran: milier hingga plakatEfloresensi: Plak hiperpigmentasi, bula, papul, erosi, dan krusta kehitamanNikolsky sign (+), epidermolisis 40,5% (pada bagian wajah, dada atas, lengan kiri dan kanan, serta punggung atas)

STATUS VENEREOLOGIKUSInspeksi : Pubis: edema (-), vegetasi (-), erosi (+), vesikel (-), ulkus (-), plak hiperpigmentasi (+) Penis: edema (-), vegetasi (-), erosi (-), vesikel (-), ulkus (-) OUE : edema (-), hiperemis (-), duh (-) Skrotum: edema (-), vegetasi (-), erosi (+), vesikel (-), ulkus (-), plak hiperpigmentasi (+) Perianal: edema (-), vegetasi (-), erosi (+), vesikel (-), ulkus (-) Perineum: edema (-), vegetasi (-), erosi (-), vesikel (-), ulkus (-)

KELAINAN SELAPUTMata :konjungtiva : hiperemisSekret: (+)Faring: sukar dinilai

KELAINAN KELENJAR LIMFETidak ada pembesaran

RESUMETelah dirawat seorang laki-laki berusia 18 tahun di bangsal kulit kelamin sejak tanggal 30 Mei 2015 dengan keluhan utama timbul bercak kemerahan yang terasa gatal di seluruh tubuh sejak 6 hari yang lalu. Dari anamnesa didapatkan : Bercak kemerahan yang terasa gatal disertai gelembung-gelembung berisi air dan nanah pada beberapa bagian tubuh yang terasa perih sejak 6 hari yang lalu. Awalnya di bagian dada, kemudian menjalar ke perut, punggung, leher, wajah, kelamin, tungkai, dan tangan. Bercak awalnya berwarna kemerahan dan kemudian menjadi kehitaman dan mengelupas. 3 minggu yang lalu pasien dirawat selama 4 hari di RS Suliki karena nyeri ulu hati dan kejang. Pasien diberikan obat anti kejang. Pasien kemudian mengeluhkan sakit kepala ketika masa rawatan. Pasien demam selama di rumah sakit hingga pulang ke rumah dan meminum obat paracetamol. 1 minggu kemudian pasien mengeluhkan mata merah berair dan nyeri Satu hari kemudian timbul bercak merah di dada sehingga pasien dibawa ke RS Payakumbuh. Pasien juga sempat diduga campak. Pasien mendapatkan cairan infus, obat ceftriakson, paracetamol, ranitidine, dan lansoprazol. Karena bercak semakin banyak, pasien dirujuk ke RS. Dr. M. Djamil Padang Nyeri menelan sejak 7 hari yang lalu dan membaik 2 hari yang lalu. Lecet pada kemaluan dan nyeri berkemih ada sejak 4 hari yang lalu Pasien mempunyai riwayat alergi debu. Pada pemeriksaan didapatkan plak hiperpigmentasi, bula, papul, erosi, dan krusta kehitaman, Nikolsky sign (+), dan epidermolisis 40,5%. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan erosi dan plak hiperpigmentasi pada daerah pubis dan kedua skrotum.

DIAGNOSIS KERJANekrolisis Epidermal Toksik et causa Carbamazepine, Ceftiaxon, Ranitidin, Lansoprazol

DIAGNOSIS BANDINGStaphylococcus Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)

PEMERIKSAAN ANJURANDarah RutinHistopatologiKonsul ke bagian mata, penyakit dalam dan THT

PENATALAKSANAANTERAPIUmum Istirahat menghentikan pemakaian obat-obatan yang dicurigai sebagai penyebab memberitahukan bahwa tidak boleh menggaruk dan mengelupaskan keropeng .menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar untuk mencegah adanya infeksi sekunder

KhususSistemik IVFD D5%; Nacl 0,9% = 3:1 Dexamethasone 6 x 5 mg/hr, bila membaik 2-3 hari, tapp off 5 mg/hari setelah dosis menjadi 1 x 5 mg/hari, ganti dengan prednison 20 mg/ hari, tapp off keesokan harinya menjadi 10 mg/hari Gentamisin 2x80 mg (IV)

Topikal kompres Nacl 0,9% 3 x sehari selama 15 menit pada bibir dan kemaluan Hidrokortison krim 2,5% 3x sehari setelah dikompres pada bercak merah di tubuh.

PROGNOSIS quo ad sanationam: dubia ad bonam quo ad vitam: dubia ad malam quo ad kosmetikum: bonam quo ad functionam: bonam

BAB IIIDISKUSI

Telah dirawat seorang laki-laki usia 18 tahun di bangsal kulit dan kelamin RSUP Dr. M.Djamil Padang mulai dari hari Sabtu, tanggal 30 Mei 2015 dengan diagnose kerja Nekrolisis Epidermal Toksik et causa Carbamazepine, Ceftiaxon, Ranitidin, Lansoprazol. Diagnosa ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien.Pada anamnesa didapatkan adanya bercak kemerahan yang terasa gatal disertai gelembung-gelembung berisi air dan nanah sejak 6 hari yang lalu. Bercak awalnya timbul di bagian dada, kemudian menjalar ke perut, punggung, leher, wajah, kelamin, tungkai, dan tangan yang awalnya berwarna kemerahan dan kemudian menjadi kehitaman dan mengelupas. Pasien juga mempunyai riwayat diberikannya obat anti kejang pada 3 minggu yang lalu, setelah itu timbul keluhan sakit kepala, kemudian demam. Setelah 1 minggu kemudian pasien mengeluhkan mata merah berair dan nyeri. Satu hari kemudian timbul bercak merah di dada sehingga pasien dibawa ke RS Payakumbuh. Pasien mendapatkan cairan infus, obat ceftriakson, paracetamol, ranitidine, dan lansoprazol. Karena bercak semakin banyak, pasien dirujuk ke RS. Dr. M. Djamil Padang. Pasien juga merasakan nyeri menelan. Dari anamnesis menunjukan adanya perjalanan untuk suatu Nekrolisis Epidermolisis Toksik. Nekrolisis Epidermolisis Toksik (NET) merupakan penyakit berat, dengan gejala kulit terpenting ialah epidermolisis generalisata yang dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. Manifestasi klinis timbul pada 4-30 hari setelah pajanan allergen. Keluhan didahului dengan gejala prodromal seperti demam, nyeri kepala dan nyeri pada sendiri. Kemudian secara progresif timbul keluhan nyeri saat menelan dan rasa perih hingga rasa terbakar. Lesi pada kulit timbul biasanya didahului pada tubuh bagian atas yang kemudian akan menyebar wajah dan ekstremitas. NET ini juga sering mengenai mukosa, sehingga dapat menimbulkan keluhan konjungtivitis hingga nyeri saat buang air kecil.Penyebab dari NET itu sendiri dapat dikarenakan alergi obat (paling banyak), infeksi, keganasan, dan radiasi. Pada pasien ini diduga penyebabnya adalah oleh karena alergi obat. Karena dari anamnesa tidak didapatkan adanya riwayat infeksi, keganasan dan terpapar radiasi. Namun pada pasien ini didapatkan anamnesis adanya penggunaan obat seperti karbamazepin, ceftriaxone, ranitidine dan lansoprazol. Obat-obat inilah yang diduga sebagai pencetus timbulnya keluhan pada pasien. Tabel dibawah ini merupakan daftar obat yang dapat menimbulkan NET :

Risiko tinggiRisiko lebih rendahRisiko meragukanRisiko tidak terbukti

AlopurinolSulfametoksazolSulfadiazineSulfapiridinSulfadoksinSulfasalazinKarbamazepinLamotriginFenobarbitalFenitoinFenilbutazonNevirapinNSAID oksikamTiasetazonNSAID (diklofenak)AminopenisilinSefalosporinQuinolonCyclinsmakrolidParasetamolPirazolonKortikosteroidNSAID lainsertralinAspirinSulfonylureaTiazid FurosemidAldaktonCalcium channel blocker blockersAngiotensin-converting enzyme inhibitorsStatinHormonVitamin

Pada pasien ini juga didapatkan adanya riwayat alergi terhadap debu. Adanya riwayat alergi ini dapat merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya NET. NET merupakan reaksi hipersensitivitas tipe II.Pada pemeriksaan fisik, didapat efloresensi: Plak hiperpigmentasi, bula, papul, erosi, dan krusta kehitaman. Nikolsky sign (+), epidermolisis 40,5% (pada bagian wajah, dada atas, lengan kiri dan kanan, serta punggung atas). Pada NET yang penting adalah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya. Adanya epidermolisis ini menyebabkan tanda Nikolsky positif, yaitu jila kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis biasanya mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni seperti pada punggung. Pada pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan darah rutin yang biasanya didapatkan hasil leukosit yang meningkat. Oleh karena NET merupakan penyakit yang mengenai banyak mukosa, maka dari itu diperlukan perawatan dengan kerjasama dari bagian lain seperti bagian mata, penyakit dalam dan THT.Untuk diagnosis banding NET pada kasus ini adalah Staphylococcus Scaled Skin Syndrome (S.S.S.S). Pada kedua penyakit ini sama-sama terdapat epidermolisis, namun pada S.S.S.S selaput lender jarang terkena dan lebih sering terjadi pada bayi. Untuk penatalaksaan pada NET mengikut alur protap yang sudah ada, yaitu dengan pemberian cairan parenteral D5% : NaCL 0,9% (3:1) 6jam per kolf, kemudian juga diikuti pemberian kortikosteroid parenteral : dexamethasone 6x5 mg/ hari, bila membaik sekitar 2-3 hari maka tapp off 5 mg/hari, setelah dosis menjdi 1x5 mg/hari maka diganti menjadi kortikosteroid oral yaitu prednisone 20 mg/hari, tap off keesokan harinya menjadi 10 mg/hari. Lama rawatan untuk NET kurang lebih 10 hari. Antibiotik diberikan Gentamisin 2x80 mg, karena antibiotic inilah yang jarang menyebabkan untuk terjadinya alergi. Pada daerah bibir yang terdapat krusta kehitaman diberikan kompres NaCl 0,9% menggunakan kassa. Perlu diperhatikan apakah masa kritis telah lewat, seperti dengan melihat keadaan umum yang membaik, lesi yang involusi dan tidak adanya timbul lesi baru. Apabila dalam pemberian kortikosteroid parenteral selama 2-3 hari tidak menunjukan adanya perbaik dan terdapat purpura yang luas perlu dipertimbangkan untuk pemberian transfuse Whole Blood.Prognosis untuk NET itu sendiri tergantung dari penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Apabila keadaan kritis cepat diatasi maka prognosisnya akan lebih baik. Dan untuk kekambuhan tergantung dari paparan alergen dari obat pencetus. Maka dari itu, apabila pasien telah selesai dirawat, perlu diberikan kartu alergi obat untuk disimpan.

ResepRawat Inap RSUP Dr. M.Djamil PadangBangsal Kulit dan KelaminDr. AfmiPadang, 3 Juni 2015R/ D 5% kolfNo. ISimmR/ NaCl 0,9 % kolf No. IVSimm R/ Dexamethasone Amp 5mgNo. XXISimm R/ Gentamisin Amp 80mg No. IISimm R/ Spuit 3cc No.IIISimm R/ Kassa boxNo.I

Pro: Tn. FUmur: 18 tahun

DAFTAR PUSTAKA

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2011. p:163-168Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92. Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens- Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006 Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access on : June 22, 2008. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com

22