II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bumbu Pasta II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bumbu Pasta Bumbu sebagai campuran dari...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bumbu Pasta II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bumbu Pasta Bumbu sebagai campuran dari...
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bumbu Pasta
Bumbu sebagai campuran dari dua atau lebih bahan rempah-rempah atau
ekstrak bahan rempah yang digunakan pada makanan sebelum diolah
sehingga memperkuat timbulnya flavor (Farrel, 1990). Bumbu adalah sesuatu
yang ditambahkan pada bahan pangan sebelum disajikan, yaitu pada saat
persiapan maupun pembuatan.
Bumbu dapat berupa komponen tunggal seperti rempah-rempah secara
individual ataupun campuran kompleks dari beberapa komponen, misalnya
campuran dari komponen-komponen yang menghasilkan flavor (Hanas,
1994). Ide umum pemberian bumbu adalah untuk memodifikasi suatu bahan
pangan dengan cara menambahkan ramuan yang dapat memperkaya dan
memberikan karakteristik rasa dan bau terhadap bahan pangan tersebut
(Underriner dan Hume, 1994).
Fungsi bumbu menurut Farrel (1990), adalah untuk meningkatkan flavor
alami dari bahan pangan. Menurut Hanas (1994) secara tradisional, bumbu
yang dipergunakan pada pangan tradisional dapat dibuat dengan cara
mengiris tipis, menumbuk kasar atau menghaluskan komponen-komponen
penyusunnya kemudian menumisnya dengan minyak goreng.
Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap
pakai olahan industri antara lain senyawa yang menghasilkan flavor misalnya
rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavor misalnya garam dan
monosodium glutamat, serta senyawa yang dapat memberikan warna.
Konsistensi spesifikasi bumbu dapat diuji dengan menggunakan uji sensori
terhadap bumbu atau aplikasi pada produk (Ivory, 1994).
Menurut Kramlich dalam Price (1971), produk pasta yang baik
berhubungan dengan sistem emulsi yang baik. Emulsi merupakan dua fasa
atau lebih yang berdispersi dalam bentuk koloid. Emulsi mengandung dua
fasa, yang satu terdispersi sebagai globular-globular dalam medium
pendispersi dalam bentuk droplet (butiran). Dalam adonan (o/w), protein dan
air membentuk matriks yang menyelubungi butir lemak.
4
Faktor yang mempengaruhi sistem emulsi antara lain: jenis protein, jenis
serta jumlah lemak yang ditambahkan, suhu, kecepatan pengadukan, proses
penggilingan, dan lain-lain. Stabilitas emulsi ditentukan oleh suhu karena
suhu panas atau dingin dapat mempengaruhi suatu emulsi. Suhu ini sangat
penting di dalam pembuatan pasta, terutama dalam tahap persiapan, yaitu
mencampur bahan-bahan agar dihasilkan pasta yang baik (Rimbawan, 1976).
Kestabilan emulsi juga dipengaruhi oleh jumlah penambahan air. Jumlah
air yang berlebihan menyebabkan sebagian air tidak akan diikat dalam sistem
emulsi dan akan menghasilkan pasta dengan tekstur yang sangat lunak,
sehingga perlu ditambahkan bahan pengisi untuk mengikat air. Sebaliknya
jumlah air yang terlalu sedikit menyebabkan tekstur pasta menjadi keras dan
sukar dioleskan (Rimbawan, 1976).
B. Rempah-Rempah
Rempah-rempah merupakan bahan baku utama bumbu masakan dan
dipakai dalam berbagai komposisi, tergantung dari jenis masakan yang
diinginkan. Sebagian besar rempah-rempah mempunyai kegunaan/manfaat
ganda yaitu dapat meningkatkan aroma dan citarasa makanan dan dapat juga
sebagai bahan dasar obat-obat tradisional (Rahayu, 2000).
Penggunaan rempah-rempah dapat menghambat pertumbuhan mikroba
yang disebabkan oleh minyak atsiri, alkaloid, senyawa tannin, antioksidan,
dan bahan lain yang dikandungnya (Somaadtmaja, 1985). Menurut
Purseglove et al. (1981), komponen rempah-rempah terutama mempunyai
daya antimikroba adalah minyak atsirinya.
Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu diutamakan
mengandung cukup oleoresin dan minyak atsiri, karena kedua komponen ini
menimbulkan citarasa dan aroma khas yang diinginkan. Oleh karena itu,
rempah yang akan dimanfaatkan untuk bumbu harus cukup tua, sehingga
kandungan oleoresin dan minyak atsirinya mencapai optimal (Rachmawati,
1998). Berikut ini uraian secara umum rempah-rempah yang digunakan
sebagai bumbu pasta:
5
1. Bawang Putih
Bawang putih termasuk dalam famili Amaryllidaceae. Minyak volatil
pada bawang putih kurang dari 0.2 % berat segar. Unsur pokok dari
minyak bawang putih adalah dialil sulfit (60 %), dialil trisulfida (20 %),
alil profil disulfit (6 %), sejumlah kecil dietil sulfit, dialil polisulfida,
alinin, dan alisin. Bau bawang putih yang khas diperkirakan merupakan
turunan dari dialil sulfit (Farrel, 1990). Di bawah ini disajikan tabel yang
berisi komposisi kimia umbi bawang putih.
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Bawang Putih*
Komposisi Jumlah (%) Air 67.80 Protein 7.00 Lemak 0.30 Karbohidrat 24.00 Vitamin dan Mineral 0.90
*Farrel (1990)
2. Bawang Merah
Bawang merah tergolong tanaman division Spermatophyta,
subdivition Amarydiliceae, spesies Allum ascalonicum L. (Farrel, 1990).
Berikut tabel komposisi kimia bawang merah.
Tabel 2. Komposisi Kimia Bawang Merah*
Komposisi Jumlah (%) Air 88.00 Protein 1.50 Lemak 0.30 Karbohidrat 9.20 Vitamin dan Mineral 1.00
*Farrel (1990)
Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam bawang merah
ialah hidrogen sulfit, thiol, disulfit, trisulfida, dan thiosulfinat. Flavor
bawang merah (Allium cepa L.) terbentuk dari aktivitas enzim allinase
terhadap senyawa prekursor tidak berbau di dalam bawang. Saat jaringan
bawang merah rusak, maka prekursor flavor utama yang disebut S-I-
propanil-L-sistein sulfoksida akan terhidrolisis dengan cepat oleh enzim
6
allinase membentuk asam sulfonat, asam piruvat dan ammonia.
Selanjutnya asam sulfonat berubah menjadi tiopropanol S-oksida yaitu
suatu senyawa volatil yang jika mengenai mata mengakibatkan perih dan
keluarnya air mata pada saat bawang diiris (Farrel, 1990).
3. Ketumbar
Ketumbar merupakan bagian buah yang dikeringkan dari tanaman
Coriandrum sativum dan termasuk famili Umbelliferae. Minyak esensial
dalam ketumbar hanya terdapat dalam jumlah 1 % dari berat buah kering
dan terdiri dari 60-70 % D-linalool, D-α-pinen, β dan α-terpinen, geraniol,
borneol, dan asam asetat (Farrel, 1990).
4. Jahe
Tanaman jahe termasuk ke dalam famili Zingiberaceae (Farrel, 1990).
Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri atau ginger oil
sebanyak 0.25 - 3.30 %. Minyak atsiri jahe terdiri dari komponen bioaktif
zingiberen, kurkumin, dan felandren. Oleoresin jahe mengandung
gingerol, shogaol, resin, dan zingerol yang dapat menghasilkan rasa pedas
pada jahe.
5. Kemiri
Tanaman kemiri termasuk ke dalam famili Europhorbiaceae
(Purseglove, 1981). Daging biji kemiri digunakan untuk berbagai
masakan. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai obat-obatan. Bubuk
kemiri dengan konsentrasi 25 – 50 % mempunyai efek bakterisidal yang
kuat terhadap V. cholera selama 24 jam waktu kontak (Hamid, 1992).
6. Kunyit
Kunyit merupakan rhizome atau rimpang yang termasuk dalam famili
Zingiberaceae (Farrel, 1990). Kunyit mengandung 5 % minyak essensial
yang mengandung turmeron, asam bebas, borneol, aneol, felandren,
kurkumin, dan zingeron. Kurkumin sendiri merupakan komponen utama
pada pigmen kunyit dan juga berfungsi sebagai senyawa antimikroba.
Menurut Purseglove et al., (1981), kurkumin dari rimpang kunyit
bervariasi antara 1.80-5.40%. Bubuk rimpang kunyit dapat menghambat
7
pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi 2 g/l (b.k.) dengan waktu kontak
24 jam.
7. Lengkuas
Lengkuas termasuk ke dalam famili Zingiberaceae (Farrel, 1990).
Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri berwarna
kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metal-sinamat 48 %, sineol 20
% - 30 %, eugeol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lain-
lain. Selain itu, rimpang juga mengandung resin yang disebut galangol,
kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin, kadinen,
heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum (Sinaga, 2000). Tanaman
lengkuas memiliki senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder yang dapat
menghambat pertumbuhan seperti senyawa fenol, flavonoid, dan terpenoid
yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat modern
(Yuharmen, 2002).
8. Lada
Tanaman lada tergolong dalam family Piperraceae, ordo pipereles
dan genus piper. Lada dibedakan menjadi lada hitam dan lada putih. Biji
lada memiliki dua sifat yang khas yaitu berasa pedas dan aroma yang khas.
Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat piperin, piperanin, chavicin
yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan semacam alkaloid
(Rismundar dan Riski, 2003).
C. Bahan Pengental
1. CMC
Sodium Carboxy Methyl Cellulose (CMC), yang disebut juga Sodium
Cellulose adalah suatu polimer yang mudah terdispersi dalam air dingin
maupun panas. CMC digunakan dalam berbagai industri pangan untuk
memberikan bentuk, konsistensi, dan tekstur. Zat ini berupa serbuk
berwarna putih kekuningan atau granula, atau substansi serat tidak berbau,
tidak beracun dan tidak mempunyai rasa. CMC mempunyai daya
memegang air yang sangat kuat dan tahan terhadap panas, sehingga
memberikan kekentalan dan relatif stabil sebagai zat pengemulsi. Fungsi
8
ini didapatkan dengan interaksi gugus-gugus polarnya dengan air dan
protein, serta gugus-gugus non polarnya dengan lemak. CMC telah lama
digunakan secara komersial sebagai pengental makanan. Rumus bangun
CMC menurut sebagai berikut:
[C6H7O2(OH)2OCH2COOH]n
Seperti hidrokoid lain, viskositas larutan umumnya dipengaruhi oleh
konsentrasi. Peningkatan penggunaan konsentrasi CMC ini tidak secara
langsung berbanding lurus dengan peningkatan viskositas larutan tetapi
eksponensial, sehingga ketika dilakukan penambahan konsentrasi dua kali
lipatnya, viskositasnya akan meningkat sekitar sepuluh kali lipatnya
(Glicksman, 1982). Konsentrasi CMC yang biasa diaplikasikan ke dalam
makanan sebagai penstabil atau pengental adalah 0.05% sampai 1.1%
(Winarno,1997).
CMC digunakan sebagai penstabil selain itu juga sebagai tambahan
kadar serat pangannya. Carboxymethylcellulose (CMC) adalah
polisakarida linear, dengan rantai panjang dan larut dalam air serta
merupakan gum alami yang dimodifikasi secara kimia. Warnanya putih
sampai krem, tidak berasa, dan tidak berbau. Fungsi dasar CMC adalah
untuk mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga dapat
menstabilkan komponen lain dan mencegah sineresis (Klose dan
Glicksman, 1972).
2. Karagenan
Proses pembuatan bumbu pasta menggunakan bahan pengental. Bahan
pengental yang dipilih adalah karagenan karena terbuat dari bahan alami,
yaitu rumput laut. Selain itu, karagenan merupakan bahan yang mudah
larut dalam air. Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas
unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro galaktosa dengan ikatan glikosidik
alfa-1,3 dan beta-1,4 secara bergantian. Karagenan juga merupakan getah
rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies
tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karagenan merupakan
senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium,
9
dan kalium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalakto copolymer
(Winarno, 1996). Karagenan jenis ini banyak terdapat dalam rumput laut
jenis Eucheuma cottonii (Suryaningrum et al., 1988 dan Susanto 2002).
Menurut Winarno (1996) karagenan terdiri dari beberapa jenis, yaitu
kappa, lambda, iota, nu, dan theta. Sumber karagenan untuk daerah tropis
adalah dari spesies Eucheuma cottonii yang menghasilkan kappa
karagenan, Eucheuma spinosum yang menghasilkan iota karagenan.
Menurut Aslan (1998), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis
rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii karena karagenan yang dihasilkan termasuk fraksi
kappa-karagenan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus
alvarezii. Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa
dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.
Kedua jenis Eucheuma tersebut banyak terdapat di sepanjang pantai
Filipina dan Indonesia. Karagenan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah karagenan kappa. Karagenan tersebut menghasilkan tekstur bumbu
pasta yang lebih keras dibandingkan karagenan iota (Winarno, 1990).
Struktur karagenan kappa dan iota memungkinkan bagian dari dua
molekul masing-masing membentuk double heliks yang mengikat rantai
molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel, sedangkan karagenan
lambda tidak mampu membentuk double heliks tersebut.
Karagenan larut dalam air. Karagenan kappa dan karagenan iota larut
dalam air dingin dan larutan garam natrium. Karagenan bersifat kental dan
viskositasnya bergantung pada konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan.
Viskositas ini akan menurun dengan naiknya suhu. Larutan karagenan
kappa dan iota bersifat reversibel, artinya bila larutan dipanaskan kembali,
gel akan kembali mencair (Angka dan Suhartono, 2000).
Karagenan akan stabil pada pH 6-7 atau lebih tinggi, sedangkan pada
pH yang lebih rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun, khususnya
dengan peningkatan suhu. Pada pH yang lebih rendah dari 7, polimer
karagenan terhidrolisa sehingga kemampuan membentuk gel menjadi
hilang. Namun demikian dalam praktek penerapannya, suatu gel terbentuk
10
pada pH kurang dari 7 dan hidrolisa terjadi tidak lama sehingga gel dapat
stabil (Glicksman, 1983).
D. Kerusakan Bumbu Pasta
Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap
kondisi lingkungan disekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, oksigen dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat
menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Akibat reaksi tersebut, bahan
pangan akan mencapai suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan
pangan tersebut atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang
mengkonsumsinya (Singh, 1994). Begitu pula pada bumbu masak siap pakai,
faktor yang berpengaruh pada kualitas bumbu adalah komposisi kimia,
kelembaban, suhu penyimpanan, pengaruh cahaya dan oksigen (Underriner,
1994).
Kerusakan pada bahan pangan termasuk bumbu siap pakai, dapat
disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi.
Perubahan fisik dapat disebabkan olah adanya kesalahan penanganan dari
bahan pangan selama pemanenan, produksi, dan distribusi. Perubahan kimia
dapat disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi, terutama oksidasi lipid
yang menyebabkan berubahnya flavor bahan pangan berlemak, dan reaksi
pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan.
Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan
makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan. Pada umumnya
perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan (Singh,
1994).
Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan
pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavor,
aroma, warna, dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk.
Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan pangan meliputi suhu,
cahaya, oksigen, logam berat, pigmen, dan derajat ketidakjenuhan komponen
lemak (Hanas, 1994).
11
Adanya pertumbuhan mikroba pada bahan pangan akan menyebabkan
pembusukan yang mengakibatkan timbulnya karakteristik sensori yang tidak
diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan
menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Faktor –faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan
karbondioksida serta pH (Singh, 1994).
E. Pengemasan
Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang
tepat bagi pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang
diinginkan (Buckle et al., 1987). Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan
dapat dikontrol dengan pengemasan. Kerusakan tersebut disebabkan oleh
lingkungan dan gas, interaksi dengan oksigen serta kehilangan atau
penambahan cita rasa yang tidak diinginkan. Sedangkan yang bersifat alami
dari produk yang tidak dapat dicegah dengan pengemasan antara lain
kerusakan secara kimiawi. Kerusakan kimiawi antara lain disebabkan karena
perubahan yang berkaitan dengan reaksi enzim, reaksi hidrolisis dan reaksi
pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan penampakan.
Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah
gelas, kertas, plastik, dan kaleng. Bahan kemasan tersebut harus bersifat
tahan lemak yang bertujuan mencegah penetrasi lemak dari bahan pangan
keluar dinding kemasan (Ketaren, 1986).
Jenis kemasan yang paling umum digunakan untuk mengemas bumbu
masak siap pakai adalah nilon, LLDPE dan PET. Nilon termasuk polimer
yang tidak berasa, tidak berbau, dan tidak beracun, larut dalam asam formal
dan fenol, cukup kedap terhadap gas tetapi tidak kedap uap air, tahan
terhadap suhu tinggi sehingga sesuai untuk mengemas produk yang dimasak
dalam kemasan, serta dapat digunakan untuk pengemasan vakum/hampa
(Syarief et al., 1989).
PET (polietilen treptalat) banyak digunakan dalam laminasi (pelapisan),
terutama untuk bagian luar suatu kemasan sehingga kemasan memiliki daya
tahan yang lebih baik terhadap kikisan dan sobekan. PET banyak digunakan
12
sebagai kantong makanan yang memerlukan perlindungan, seperti buah
kering, makanan beku, dan permen. PET memiliki sifat transparan (tembus
pandang), bersih dan jernih, memiliki sifat beradaptasi terhadap suhu tinggi
(300°C) yang sangat baik, permeabilitas uap air dan gas sangat rendah, tahan
terhadap pelarut organik, seperti asam-asam dari buah-buahan, sehingga
dapat digunakan untuk mengemas produk sari buah, tidak tahan terhadap
asam kuat, fenol dan benzil alkohol, kuat, tidak mudah sobek (Syarief et al.,
1989).
LLDPE (linear low–density poly–ethylene) merupakan suatu polimer
yang lemas, buram, ulet, tidak mudah sobek, aman bersentuhan langsung
dengan makanan, biasa digunakan sebagai kombinasi dengan kemasan lain
seperti nilon dan PET (Syarief et al., 1989).
Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai komoditas pertanian
menuntut kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan bahan
pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan
makanan (Syarief dan Halid, 1991).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu
makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai
senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga
kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus
selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid, 1991). Adapun karakterisrik
kemasan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Kemasan
Kemasan Tebal (cm)
Luas Permukaan (cm2)
O2TR (cm3/hari)
WVTR (cm3/hari)
Nilon + LLDPE 0.155 61.75 1.2 – 2.5 10.0 - 13.0 PET + LLDPE 0.165 61.75 2.0 – 6.0 1.0 – 1.3
Anonim (2010)
F. Pendugaan Umur Simpan
Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga
produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya.
13
Umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh
suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi
keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam
kondisi yang direkomendasikan (Anonim, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang
dikemas antara lain keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen;
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; ukuran kemasan
dalam hubungannya dengan volume; kondisi atmosfer terutama suhu dan
kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum
digunakan; kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air;
gas dan bau termasuk perekatan; penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi selama penyimpanan, sehingga
pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu produk tidak
dapat diterima konsumen (Anonim, 2009).
Umur simpan bumbu masak tergantung dari beberapa faktor, yaitu
komposisi produk, lingkungan dimana produk berada selama distribusi,
karakteristik bahan kemasan yang digunakan dan waktu penyimpanan (Ivory,
1992). Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan
meliputi jenis dan kualitas bahan baku, metode, dan keefektifan pengolahan,
jenis serta keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap
produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan serta pengaruh yang
ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan (Desrosier, 1988).
Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan,
maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk
penggunaan model Arrhenius ini misalnya adalah :
a. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja
b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu
c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-
proses yang terjadi sebelumnya
d. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap
14
Dalam kinetika perubahan mutu pangan, umumnya dilakukan
penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana
dengan orde reaksi nol atau satu. Model perubahan mutu pangan dan orde
reaksi perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya
dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi
dugaannya. Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat
dari koefisien determinasi (r2) (Syarief dan Halid, 1991).
Persamaan Arrhenius :
k = konstanta kecepatan reaksi
k0 = konstanta pre-eksponensial
Ea = energi aktivasi (kal/mol)
R = konstanta gas = 1.986 (kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
Persamaan di atas diubah menjadi :
Berdasarkan laju perubahan mutu di atas dapat dilakukan pendugaan umur
simpan (Syarief dan Halid, 1991).
k = k0 e –Ea/RT
ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T