PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SUATU …
Transcript of PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SUATU …
i
TESIS
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SUATU PERKARA PERDATA
DI PENGADILAN NEGERI WATAMPONE
ANDI AMRULLAH
PO 904204551
MAGISTER ILMU HUKUM KONSENTRASI TATA NEGARA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2007
ii
ABSTRAK
Andi Amrullah, PO : 904204551, Penemuan Hukum OIeh Hakim Dalam Memutuskan Suatu Perkara Perdata Di Pen gadilan Negeri Watampone, dibimbing Prof. Dr. Sukarno Aburaera, SH dan Prof. Dr. Musakkir, SH. MN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data/informasi dan mengetahui tentang pelaksanaan penemuan hukum serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi hakim dalam pelaksanaannya di Pengadilan Negeri Watampone.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan empiris.Pendekatan normatif ditujukan untuk mengkaji substansi hukum yang berkenaan dengan metode penemuan hukum, sedangkan pendekatan empiris ditujukan untuk mengkaji pelaksanaan metode penemuan hukum pada perkara perdata dan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam pelaksanaannya di Pengadilan Negeri Watampone.
Populasi penelitian ini adalah seluruh perkara perdata sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 dan penegak hukum bersama dengan akademisi. Sampel ditetapkan 25 buah perkara perdata, dan 80 responden yang mewakili unsur-unsur populasi.Adapun sumber datanya adalah data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim di Pengadilan Negeri Watampone belum optimal melakukan penemuan hukum dalam perkara perdata sejak tahun 2002-2006 sebanyak 25 buah perkara.Adapun faktor yang mempengaruhi pelaksanaan metode tersebut adalah hukum tertulis, pengetahuan hakim, pendidikan formal dan responsive/kemauan hakim sehingga belum optimal.
Disarankan agar dapat diadakan pertemuan ilmiah tentang penemuan hukum dan para hakim ditingkatkan pengetahuan, pendidikan formalnya serta meningkatkan responsifnya terhadap metode penemuan hukum.
iii
ABSTRACT Andi Amrullah, P O: 904204551. Law Made by Judge in Decide a Cases in Watampone Court. Advised ByProf. Dr. Sukarno Aburaera, SH and Prof. Dr. Musakkir, SH. MH.
The purposes of this research is to get a file or information and to know about the implementation of low made method and also what factors influence the judge in making that method in Watampone Court.
This research use normative and empiris approaches, which are use to analyze the law substantion which has relation with the method of law made and also to find out what factors influence the law in the Watampone Court.
The population of this research is all cases which found in that court within 2002 until 2006 and alsi all employee in that court who has relationship with this research. This research using purposive sampling, which is the researcher get 25 cases from that court and 80 respondents who are representative for this research. However the data resource come from main data and secondary data and data collection using observation, interview, and quessionaires.
The result of the research show that judge in Watampone Court is not maximum yet in doing law made in cases within 2002 until 2006 which has 25 cases. And the factors which are influence the judge can not maximum in doing law made are written law, knowledge of the judge, education of the judge and also the good will of the judge to be seriously in made law.
That is why, the researcher suggested to make any meeting to discuss this metter with all reseource such as judge, society, and also police.
iv
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHARI ……………………………………………… ii
ABSTRAK …………………………………………………………………. iii
ABSTRACT ………………………………………………………………… iv
DAFTARISI ………………………………………………………………… v
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian ……………………………………….. 7
D. Kegunaan Penelitian ……………………………………. 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 9
A. Pengertian Penemuan Hukum oleh Hakim …………. 9
B. Kewenangan Hakim Menemukan Hukum ………….. 14
C. Metode Penemuan Hukum …………………………….. 17
D. Aliran Penemuan Hukum ………………………………. 32
E. Tahap Penemuan Hukum ……………………………… 37
F. Penerapan Metode Penemuan Hukum ……………….. 39
G. Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Metode
Penemuan Hukum ……………………………………… 42
H. KerangkaPemikiran …………………………………… 45
I. Definisi Operasional Variabel …………………………. 50
v
BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………………. 52
A. Lokasi Penelitian ………………………………………. 52
B. Pendekatan Sifat dan Tipe Penelitian ………………… 52
C. Populasi dan Sampel …………………………………… 53
D. Jenis dan Sumber Data ………………………………… 54
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………. 55
F. Teknik Analisis Data …………………………………… 55
BAB IV. PEMBAF-IASAN HASIL PENELITIAN ……………………. 57
A. Gambaran Umum Perkara Perdata Yang Telah
Diperiksa Hakim Pengadilan Negeri Watampone …. 57
B. Penemuan Hukum Oleh Hakim Di Pengadilan
NegeriWatampone ……………………………………………..
60
BAB V PENUTUP …………………………………………………… 82
A. Kesimpulan …………………………………………….. 82
B. Saran ……………………………………………………. 82
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 84
1
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem penegakan hukum melalui proses pengadilan di Indonesia,
menempatkan hukum sebagai benteng terakhir, sehingga peran hakim
dalam menjalankan fungsi yudisialnya sangat menentukan citra wibawa
hukum dalam suatu negara yang menganut paham negara hukum,
sebagaimana halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila
dan berhukum dasar Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, sejak diharigunnya telah mempunyai cita-cita
luhur, antara lain mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang adil
dalam suasana hidup bermasyarakat, berbangsa, berpemerintahan dan
bernegara, maka cita-cita luhur keadilan harus dilaksanakan secara
tegas oleh negara, agar dapat menjamin penerapan dan
pelaksanaannya pada segala aspek dalam tatanan kehidupan
masyarakat dalam arti yang luas.
Sejak Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia bangsa
Indonesia, telah mengikrarkan untuk mewujudkan kemanusiaan yang
adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Hal
ini dengan tegas dimuat dalam Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
dan filosofi bangsa Indonesia pada sila kedua dan sila kelima.
2
Salah satu jaminan perwujudan pelaksanaan peradilan di
Indonesia, adalah dibentuknya satu badan kekuasaan kehakiman yang
mandiri terlepas dan adanya pengaruh dan campur tangan badan-badan
kekuasaan pemerintahan yang lainnya.
Kekuasaan kehakiman yang independen diharapkan dapat
terwujud melalui peranan hakim pada peradilan negara yang adil, jujur,
dan merdeka Hal ini sesuai dengan Pasal.1 Undang-Undang Nomor.4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kebebasan kekuasaan kehakiman, yang penyelenggaraannya
diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan salah satu cini
khas dan para negara hukum.Pada hakikatnya kebebasan ini
merupakan sifat pembawaan pada setiap peradilan.Kebebasan
kekuasaan kehakiman merupakan tugas hakim untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan
hukum dengan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi
Iandasannya, melalui perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusannya mencerininican perasaan keadilan bangsa dan rakyat
(SudiknoMertokusumo, 1985:18).
3
Kekuasaan yang diemhari oleh hakim adalah kekuasaan negara di
bidang kehakiman, dalam rangka pelayanan negara kepada rakyat
pencari keadilan, perlindungan hukum berdasarkan sendi-sendi keadilan
yang sesuai perasaan hukum yang hidup dan diyakini kebenarannya
oleh masyarakat.
Abdul Kadir Muhammad, (1985:35), menegaskan bahwa dalam
negara yang berdasar atas hukum atau negara hukum, kebebasan
hakim dalam melakukan peradilan merupakan ciri yang esensial.Dalam
memeriksa dan memutuskan perkara, hakim harus bebas tidak boleh
berada di bawah pengaruh kekuasaan siapapun.
Jaminan tentang kebebasan hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya, dengan tegas disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor.14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
Juncto Undang-Undang Nomor.35 Tahun 1999 tentang perubahan
beberapa Pasal Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970 dan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, mempertegas bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan-badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima,
memeriksadan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
4
diajukan kepadanya (Pasal. 2 ayat. (1) Undang-Undang Nomor. 14
Tahun 1970).
Salah satu tugas hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya
adalah memutuskan perkara yang telah diajukan kepadanya.Hakim tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili serta memutuskan perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas
aturannya.
Pasal.14 ayat (1) Undang-Undang Nomor.14 Tahun 1970
menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukum tidak jelas atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Konsekuensi Pasal.14 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 14 Tahun
1970, yang tidak membenarkan bagi pengadilan dalam arti hakim untuk
menolak memeriksa suatu perkara dan memutuskannyahanya dengan
alasan tidak jelas atau kurang jelas hukumnya, maka Undang-undang
telah memberikan kewajiban kepada hakim untuk menjalankan
fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan agar mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor.14 Tahun 1970
menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Abdul Kadir Muhammad (1985: 162-163), menyatakan
5
bahwa hakim setelah mendapat kepastian telah terjadi peristiwa, lalu
hakim menilai apakah peristiwa yang telah terjadi itu merupakan
pelanggaran hukum atau bukan, kemudian hakim menentukan peraturan
hukum manakah yang menguasai peristiwa yang telah terjadi itu, dalam
keadaan demikian berarti terjadi penemuan hukum oleh hakim.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, (1985:163),tugas menemukan
hukum yang tepat, yang menguasai perkara atau kedua belah pihak,
merupakan tugas yang tidak mudah bagi hakim. Walaupun dikatakan
hakim dianggap mengetahui hukum, namun pada hakekatnya hakim
tidak mengetahui semua hukum, oleh karena hukum itu terdiri dan
peraturan yang tertulis dan yang tidak tertulis.
Selanjutnya Abdul Kadir Muhammad, (1985:164), mengemukakan
mungkin saja hakim mengetahui semua peraturan hukum yang tertulis
akan tetapi tidak mengetahui semua peraturan hukum yang tidak tertulis,
yang berlaku di suatu tempat atau pada semua tempat.
Terbatasnya ruang lingkup yang dapat diakomodir aturan hukum
tertulis terhadap setiap peristiwa konkrit yang dihadapi oleh warga
masyarakat yang kemudian diperhadapkan kepada hakim untuk
memeriksanya, mengadili dan memutuskan, telah melahirkan
konsekwensi bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum dalam arti
luas. Maksudnya penemuan hukum yang harus dilakukan oleh
hakimtidak terbatas hanya pada aturan hukum yang tertulis saja, akan
tetapi lebih luas pada hukum yang tidak tertulis.
6
Tuntutan bahwa hakim melakukan penemuan hukum, adalah
untuk menjawab setiap permasalahari hukum yang dihadapi oleh
masyarakat yang diperhadapkan kepada hakim guna mendapatkan
penyelesaian yang adil melalui putusan hakim, terutama peristiwa
hukum konkrit yang belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
Terbatasnya ilmu pengetahuan hukum dalam arti yang luas bagi
seorang hakim akan turut berpengaruh terhadap kemampuan hakim
melakukan penemuan hukum, sementara dinamika masyarakat sangat
cepat dan kompleks seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, serta
permasalahari yang dihadapinya, yang harus diputuskan oleh hakim bila
diajukan kepadanya.
Selain itu, hakim dalam memutuskan suatu perkara perdata yang
diajukan kepadanya memungkinkan cenderung pasif memutus dengan
tidak melakukan penemuan hukum diluar perundang-undangan dan
hanya bertujuan kepada kepastian hukum tanpa melenturkan nilai-nilai
keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu bagi hakim yang bertugas pada peradilan yang
kuantitas dan intensitas perkaranya cukup besar, tanpa kecuali di
pengadilan manapun seorang hakim bertugas sebagaimana halnya di
Pengadilan Negeri Watampone, hakim pada tempatnya bila melakukan
penemuan hukum, mengingat komplek permasalahari yang dihadapi
7
masyarakat Kota Watampone sangat variatif dan bila dihadapkan pada
hakim, tidak ada alasan untuk menolaknya.
Dengan itu dilakukan penelitian tentang penemuan hukum oleh
hakim Pengadilan Negeri Watampone dan faktor4aktor yang
mempengaruhi belum optimalnya dilakukan penemuan hukum dalam
memutus suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri Watampone.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauhmana hakim Pengadilan Negeri Watampone melakukan
penemuan hukum di luar perundang-undangan dalam memutus
suatu perkara perdata?
2. Faktor4aktor apakah yang mempengaruhi hakim Pengadilan Negeri
Watampone melakukan penemuan hukum di luar
perundangundangan dalam memutuskan suatu perkara perdata?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauhmana hakim Pengadilan Negeri
Watampone melakukan penemuan hukum di luar perundang-
undangan dalam memutus suatu peristiwa hukum konkrit pada suatu
perkara perdata yang diajukan kepadanya.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hakim
Pengadilan Negeri Watampone melakukan penemuan hukum di luar
8
perundang-undangan dalam memutuskan suatu perkara perdata
yang dihadapinya.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum peneliti
dalam korelasinya antara teori dan praktek pelaksanaan penemuan
hukum oleh hakim khususnya pada Pengadilan Negeri Watampone
dan faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi guna
disumharigkan kepada civitas akademika program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, dalam rangka menambah perbendaharaan
kepustakaannya di bidang objek yang dikaji.
2. Kegunaan Praktis
Dapat menjadi sumharigan pemikiran yang konstruktif bagi
hakim-hakim di Indonesia dalam upaya meningkatkan integritas
kualitas ilmu pengetahuan dan wawasan ilmu hukumnya guna dapat
memenuhi tuntutan keprofesionalan dalam menjalankan fungsinya
memenuhi perasaan keadilan masyarakat dalam produk-produk
putusannya melalui suatu metode-metode penemuan hukum yang
tepat.
9
BAB II
TIN.JAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penemuan Hukum oleh Hakim
Sebelum pengertian tentang penemuan hukum (rechtsvinding)
dikemukakan, maka terlebih dahulu perlu diketahui adanya silang
pendapat di antara kalangan ahli hukum tentang penggunaan istilah
penemuan hukum. Sebahagian ahli hukum diantaranya cenderung
menggunakan istilah pembentukan hukum dihariding menggunakan
istilah penemuan hukum, dengan alasan bahwa hakim bukan hanya
menemukan hukum semata, akan tetapi juga membentuk hukum melalui
putusannya, sehingga dinamai judge made law.
Achmad All, et al (1991:56) mengemukakan bahwa penggunaan
istilah penemuan hukum (rechtsvinding) tidak disepakati oleh semua
ahli. Ada juga ahli hukum yang lebih memilih penggunaan istilah
pembentukan hukum, dengan alasan hakim bukan hanya menemukan
hukum, tetapi membentuk hukum dan hukum yang dibentuk hakim itu
melalui putusan dinamakan judge made law.
Kecenderungan mempergunakan istilah penemuan
hukum.dimaksud, seiring dengan Achmad All, et al yang
mengemukakan bahwa kami lebih setuju penggunaan istilah penemuan
hukum, karena mengandung arti yang lebih luas selain pembentukan
10
hukum, yangmenemukan hukum yang sebenarnya sudah ada dan sisa
ditemukan(1991:56).
Hasil dan penemuan hukum hakim adalah melahirkan
pembentukan hukum melalui putusannya. Oleh karenanya penggunaan
istilah penemuan hukum lebih, menunjukkan pada proses yang
dilakukan hakim sebelum menjatuhkan putusannya, sehingga putusan
yang dijatuhkan hakim adalah merupakan pembentukan hukum.
SudiknoMertokusumo (1985:3), mengartikan penemuan hukum
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Hal ini merupakan konkritisasi
dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa hukum yang konkrit.
Setelah selesai memeriksa perkara, hakim mengumpulkan semua
hasil pemeriksaan untuk disaring mana yang penting dan mana yang
tidak penting.Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, hakim berusaha
menemukan peristiwanya (felt vinden, fact finding). Setelah hakim
mendapat kepastian bahwa telah terjadi peristiwa, lalu Ia menentukan
apakah peristiwa yang telah terjadi itu merupakan pelanggaran hukum
atau tidak. Kemudian ia menentukan, peraturan hukum apakah yang
menguasai peristiwa yang telah terjadi itu. lnilah yang disebut
menemukan hukum (rechtsvinden, law finding) (Abdul Kadir
Muhammad, 1985:163).
11
Beberapa pandangan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui
bahwa penemuan hukum oleh hakim adalah merupakan proses yang
ditempuh oleh seorang hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara, setelah mengetahui fakta tentang peristiwa yang
disengketakan, kemudian menentukan peraturan hukum mana yang
harus ditetapkannya. Dengan kata lain hakim melakukan proses
konkritisasi dan individualisasi dan ketentuan umum terhadap suatu
peristiwa konkrit atau khusus.
Penemuan hukum oleh hakim, dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Penemuan hukum oleh hakim terhadap perundang-undangan
2. Penemuan hukum oleh hakim di luar perundang-undangan
Hakim dalam melakukan penemuan hukum, dapat berasal
danbeberapa sumber menurut RiduanSyahrani (1999:35) sebagai
berikut:
1. Perundang-undangan dalam arti hukum yang tertulis
2. Hukum yang tidak tertulis
3. Putusan desa
4. Yurisprudensi
5. Ilmu pengetahuan dan doktrin
Penemuan hukum oleh hakim terhadap perundang-undangan,
diartikan hukum tertulis yang sudah ada merupakan suatu proses
analisis yang dilakukan oleh seorang hakim untuk menetapkan hukum
mana yang tepat sesuai dengan peristiwa hukum yang disengketakan
12
harus diterapkan pada peristiwanya, dengan mengacu pada sumber
hukumyang tertulis. Sebaliknya, penemuan hukum oleh hakim di luar
peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dalam arti hukum tidak
tertulis, proses analisis yang ditempuh oleh seorang hakim setelah
memahami dengan jelas suatu peristiwa konkrit yang dihadapkannya,
untuk menentukan hukum mana yang diluar perundang-undangan yang
tertulis yang mesti diterapkan.
Proses analisis yang dilakukan hakim dalam mencari dan
menggali hukum yang harus ditetapkan dan diterapkannya untuk suatu
masalah yang tertentu, lalu hakim menentukan sikap berdasarkan
kacamata atau optik yang objektif menerapkan sesuatu, maka hakim
telah menemukan hukum. Hukum yang telah ditemukan hakim,
kemudian diterapkannya ke dalam suatu putusan, maka putusan yang
ditetapkannya adalah merupakan hukum produk hakim, sehingga hakim
telah membentuk suatu hukum.
Jika penemuan hukum oleh hakim merupakan suatu proses
analisis, maka sudah barang tentu hakim harus dituntut memiliki ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas, oleh karena hanya dengan
metode Itu seorang hakim dapat melakukan analisis secara mendalam
dalam rangka menemukan sesuatu yang tepat, dalam hal ini hukum
yang tepat.
Achmad Au, et al (1 991:56) mengatakan bahwa penemuan
hukum adalah salah satu keahlian yang seyogyanya dimiliki oleh
13
seseorang jenis atau hakim yang balk, setelah mengetahui tentang
kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang ada.Penemuan hukum
tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi penemuan hukum juga
dilakukan oleh kalangan ahli hukum lainnya, oleh karena itu sifat dan
penemuan hukum tersebut terbagi ke dalam tiga macam, yaitu:
1. Penemuan hukum yang bersifat konfliktif, yaitu penemuan hukum
yang dilakukan oleh hakim, karena penemuan hukum tersebut
dilakukan dalam rangka menghadapi adanya peristiwa konkret atau
karena adanya konflik untuk diselesaikan. 1-lasil daripada penemuan
hukum oleh hakim yang dituangkan dalam bentuk putusan
pengadilan adalah hukum yang secara langsung berfungsi sebagai
penyelesaian suatu persengketaan perdatanya ataupun memutuskan
pidana dan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak
sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ‘Kekuatan sesuatu putusan hakim yang memperoleh
kekuatan mutlak tidaklah lebih luas dan pada sekedar mengenai
soalnya putusan”. Di samping itu penemuan hukum oleh hakim juga
merupakan sumber hukum.
2. Penemuan hukum yang bersifat perskriptif, yaitu penemuan hukum
yang dilakukan oleh pembentuk atau pembuat undang-undang. Hasil
penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang adalah
merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai
14
hukum yangdituangkan dalam bentuk undang-undang dan sekaligus
juga merupakan sumber hukum.
3. Penemuan hukum yang bersifat teoritis, yaitu penemuan hukum yang
dilakukan oleh dosen serta peneliti hukum. Hasil penemuan hukum
yang dilakukan oleh dosen atau peneliti hukum ini tidak berupa
hukum karena tidak mempunyai kekuatan mengikat, akan tetapi
dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau doktrin
(SudiknoMertokusumo, 1996:38).
Dengan demikian, maka penemuan hukum adalah suatu proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum Iainnya yang
ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum terhadap
peristiwa hukum konkret (SudiknoMertokusumo, 1996:37). Dapat
dikatakan pula bahwa penemuan hukum adalah suatu proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkret tertentu.
B. Kewenangan Hakim Menemukan Hukum
Hakim dalam mengadili suatu perkara menentukan hukumnya in
konkreto terhadap peristiwa tertentu, dengan demikian putusan hakim
adalah hukum.Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat sejak
diucapkan dan baru mempunyai kekuatan berlaku setelah putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan setelah
dilaksanakan putusan itu, dapat merupakan sumber hukum.
15
Adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim terhadap
peristiwa konkret, maka berarti sekaligus hakim juga pembentuk hukum,
hanya saja pembentukan hukum oleh hakim adalah hukum yang
konkret.Hal ini berbeda dengan pembentukan hukum yang dilakukan
oleh pembentuk undang-undang karena pembentuk undang-undang
membentuk hukum yang objektif abstrak.
Pembentuk undang-undang memang bebas dalam memilih
materinya membentuk hukum, akan tetapi walaupun mempunyai
kebebasan, Ia tidak mungkin mencakup dan menuangkan segala ragam
bentuk kehidupan masyarakat dalam suatu undang-undang, sehingga
tidak mungkin mengatur segala-galanya dalam bentuk terperinci, oleh
karena itu perlu kiranya menyerahkan sebagian tugasnya kepada hakim,
sedangkan hakim dalam pembentukan hukum dibatasi oleh undang-
undang, Ia terikat pada apa yang telah ditentukan oleh undang-undang
dan pada asasnya hakim tidak berwenang untuk mengabaikan atau
menganggap tidak berlaku suatu undang-undang
(SudiknoMertokusumo, 1985:89).
Seharusnya dalam prakteknya istilah-istilah umum dalam undang-
undang lebih dahulu ditetapkan artinya oleh hakim.Setelah itu barulah
ditentukan apakah persoalan/kasus yang diajukan kepadanya untuk
diputuskan termasuk dalam pengertian yang diberikan kepada istilah-
istilah tersebut jadi disini hakim menciptakan sesuatu yang baru,
16
danpembuat undang-undang dengan sadar menyerahkan penciptaan
hukum kepada hakim (RiduanSyahrani, 1991:53).
Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut susunan
kata-katanya, maka haruslah ditafsirkan oleh hakim, sehingga hakim
dapat memberikan putusan yang betul-betul mencerminkan rasa
keadilan serta dapat menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat,
jadi menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum bagi
hakim.(RiduanSyahrani, 1991:53). Makna yang dimiliki oleh undang-
undang terdiri dan dua macam, yaitu:
1. LituraLegis, yaitu makna yang secara tegas tercantum dalam bunyi
undang-undang.
2. Sententialegis, yaitu makna yang tersirat atau tersembunyi yang
merupakan maksud yang sesungguhnya dan pembuat undang-
undang yang masih harus ditemukan, maka tidak semua pasal dalam
peraturan perundang-undangan. Perlu dikonstruksikan ataupun
ditafsirkan, kalimat-kalimat yang sudah jelas dan tegas serta dapat
langsung diterapkan pada kasus yang dihadapi oleh hakim tersebut,
tidak perlu lagi dikonstruksikan atau ditafsirkan sesuai dengan
maksud hukum yang berbunyi”ExpressurnFacitCessare Taciturn”
(kata-kata yang disebutkan secara tegas mengakhiri pencarian
mengenai maksud dan suatu undang-undang).
C. Metode Penemuan Hukum
17
Ada dua metode dalam penemuan hukum, yaitu metode penafsiran
interpretasi dan metode konstruksi hukum. Adapun perbedaan antara
kedua metode tersebut adalah sebagai berikut::
1. Penafsiran adalah metode penemuan hukum yang menafsirkan teks
undang-undang, dimana hakim masih tetap berpegang pada bunyi
teks tersebut.
2. Konstruksi hukum adalah metode penemuan hukum dimana hakim
menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkanlebih lanjut
suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi
teks itu dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai
suatu sistem (Achmad All, 1996:16’7).
Interpretasi sebagai salah satu pendekatan penemuan hukum terdiri
dan beberapa macam interpretasi sebagai berikut:
1. Penafsiran Tatabahasa(Grammatikal)
Penafsiran ini yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi
ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-
perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat
yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata
arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan, yakni
arti dalam pemakaian sehari-hari. Sebagai contoh dapat
dikemukakan hal yang berikut: Suatu peraturan
perundanganmelarang orang memparkirkendaraannya pada suatu
tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang
18
dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu bertanya-
tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu,
hanyalah kendaraan bermotorkab ataukah termasuk juga sepeda
dan bendi (Kansil, CST, 1979 ; 65).
Di samping arti kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-
kata itu harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat-kalimat dan
dengan peraturan-peraturan lain. Pada hakikatnya penafsiran
mengenai arti kata hanya merupakan penafsiran yang pertama saja
dan harus dilanjutkan dengan cara penafsiran yang lain. Sebagai
contoh dapat dipergunakan pasal 1140 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa apabila penyewa tidak membayar uang sewa,
maka yang menyewakan rumah mempunyai hak pertama (hak
privilege atau voorrecht) untuk menjual barang yang ada di dalam
rumah tersebut agar rumah itu dapat didiami orang lain (stoffering)
dengan tidak mempedulikan apakah barang itu kepunyaan si
penyewa atau bukan. Dan hasil penjualan tensebut uangnya
dipergunakan untuk membayar uang sewa. Dengan adanya kata-
kata “dengan tidak mempedulikan ... dan seterusnya”, maka
HogeRaad di Negeri Belanda beranggapan bahwa yang
menyewakan tetap dapat mempergunakan hak privilegenya untuk
menjual barangyang ada di dalam rumah yang bersangkutan,
meskipun sebelumnya yang menyewakanini tahu bahwa barang-
19
barang tersebut bukan miliki yang menyewa (Soeroso, R. 2004 ;
100).
20
2. Penafsiran Sahih
Penafsirarisahth, (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh
Pernbentuk Undang-Undang, misalnya Pasal 98 KUHP: “malam
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal
101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan
memamah biak dan babi (Periksa KUHP Buku I Titel IX) (Kansil,
C.S.T, 1979 ;65).
Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi
(authentiekeinterpretatie atau officieeleinterpretatie) ialah penafsiran
secara resmi.Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang
itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan tidak boleh oleh siapapun dan pihak
manapun.Penafsiran ini sifatnya subyektif.Penafsiran yang dilakukan
oleh Pembuat Undang-Undang sendiri dapat diikuti dalam penjelasan
Undang-Undang sebagai lampiran dan tambahan Lembaran Negara
dan Undang-Undang yang bersangkutan. Mengenai instansi tertentu
yang secara resmi berhak mengadakan penafsiran terhadap
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(EkaPrasetyaPanca Karsa) seperti apa yang tersebut dalam
Ketetapan MPR No. Il/MPR/1978 yang menyebutkan bahwa P4 tidak
boleh ditafsirkan oleh siapapun baik oleh badan Judikatif, Eksekutif
maupun Legislatif kecuali MPR.Maksud dan ketetapan ini ialah untuk
21
mencegah adanya penafsiran yang berbeda-beda dan tidak sesuai
dengan kehendak Pembuat undang-undang.
Kadang-kadang Pembuat Undang-Undang itu sendiri
membuat tafsiran atas berbagai kata-kata yang digunakan dalam UU
yang bersangkutan.Tafsiran ini namanya tafsiran resmi atau tafsiran
otentik.Maksud dan tafsiran otentik ini ialah agar berlaku untuk
umum.Maka tafsiran otentik hanya dapat dilaksanakan oleh pembuat
UU sendiri.Hakimpun tidak boleh, karena pada asasnya tafsiran yang
dibuat oleh hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara
saja.
Contoh:
Penafsiran otentik pasal 512 - 518 KUH Perdata.
Dalam pasal ini Pembuat Undang-Undang menjelaskan apa
yang dimaksud dengan “barang yang bergerak”. Barang-barang
rumah tangga (inboedel), perkakas rumah (meubels en huisraad),
barangbarang yang gunanya agar rumah dapat didiami orang
(stoffering) dan suatu rumah dengan segala sesuatu yang ada di
dalamnya (eenhuis metal hetgeenzichdaarinbevindt)” (Soeroso, R,
2004 ;107)
3. Penafsiran historis, yaitu:
a. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum
dapat diselidiki dan memori penjelasan, laporan-laporan
22
perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri
dengan Koinisi DPR yang bersangkutan.
b. Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk
undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu,
misalnyadidenda f 25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang
Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada
waktu KUHP itu dibuat.
4. Penafsiran sistimatis (dogmatis).
Penafsiran sistimatis yaitu penafsiran menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-
undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “asas
monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34,
60, 64, 86, KUHS dan 279 KUI-IS (Kansil, C.S.T, 1979 ; 66)
Bahwa selanjutnya contoh penafsiran sistimatis yaitu:
a. Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk
membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum
dewasa.Bunyi lengkapnya Pasal 1330 KUH Perdata ialah “Tidak
cakap membuat perjanjian adalah
a. Orang yang belum dewasa.
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
c. Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang
undang dan pada umumnya orang kepada siapa
undangundang telah melarang membuat persetujuan tertentu
23
Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa? Dalam hal
ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal
330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur2l
tahun.
Bunyi pasal 330 KUH Perdata ialah
‘Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin”,
- Di dalam pasal 1 UU No. 14 Tahun 1967 (undang-undang
Pokok Perharikan) yang mengemukakan tentang usaha pokok
harik memberikan kredit.
Bunyi pasal 1 UU No.l4Tahun 1967 sebagai berikut:
“Harik ialah suatu pengertian tentang lembaga-lembaga keuangan
yang usaha pokoknya ialah memberikan kredit dan jasa-jasa .dalam
lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”.
Apakah yang dimaksud pengertian kredit?
Kita melakukan penafsiran sistematis.Kata “kredit” berasal dan
“credere’ dalam bahasa Romawi berarti kepercayaan, dalam arti luas
dan modern maksudnya pinjam-meminjam.Pinjam meminjam adalah
suatu perjanjian, memerlukanjaminan dan orang yang meminjamkan
ini mengharapkan keuntungan berupa bunga.Hal ini diatur dalam
buku II tentang perikatan (verbintenissenrecht), Bab XIII tentang
24
perjanjian pinjam meminjam mengganti yang maksudnya pinjam
meminjam barang-barang yang sifatnya habis dipakai.
Bunyi pasal 1754 KUH Perdata sebagai berikut
“Pinjam-mengganti ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat-syarat
bahwa pihak belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang
sama dan macam dan sifat yang sama pula “.(Soeroso, R. 2004
;102-104).
5. Penafsiran Nasional, ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan
sistem hukum yang berlaku misalnya hak-miliki pasal 570 KUHS
sekarang harus ditafsirkan menurut hak miliki sistem hukum
Indonesia (PancasiIa).
6. Penafsiran teleologis, (Sosiologis) yaitu penafsiran dengan
mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. ini penting
disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa
sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja.
Kita ambil sebagai contoh, hakim melakukan penafsiran sosiologis
Dalam pasal 362 KUH Pidana, ditegaskan larangan
untukmencuri barang kepunyaan orang lain.
Bunyi pasal 362 KUH Pidana sebagai berikut “Barangsiapa
mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian
termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki
25
barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 900,-“.
Apakah yang dimaksud dengan barang itu 7 Mula-mula
pengertian barang ialah segala yang bisa dilihat, diraba dan
dirasakan secara nil.Waktu itu listrik tidak termasuk sebagai barang
dan pencuni listrik tidak dapat dihukum berdasarkan pasal 362 KUH
Pidana.Kemudian penafsiran sosiologis berlaku terhadap listrik yang
dianggap sebagai barang, karena listrik itu mempunyai nilai.Untuk
mengadakan proyek perlistrikan diperlukan penafsiran sosiologis
atas listrik, maka siapa yang mengkaitkabel listrik PLN di jalan, dapat
dikatakan melakukan pencurian dan berlaku pasal 362 KUH
Pidana.“.(Soeroso, R. 2004 ;106)
7. Penafsiran ekstensif; memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-
kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat
dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. (Kansil,
C.S.T, 1979 ;66)
Penggunaan jenis-jenis interpretasi di atas, tidak ada urutan
tertentu tergantung kebutuhan secara kasuitas, yang dalam
penerapannya hakim tidak diharuskan menggunakan interpretasi A
dan B, sebab dalam setiap proses berpikir senantiasa berwujud
gabungan. Tidak mungkin mengharuskan seorang hakim untuk terus
menerus berpikir secara gramatikal atau historis misalnya.Demikian
26
pula tidak mungkin seseorang berpikir terus menerus secara
analogis dan sebaliknya tidak mungkin juga seorang menolak cara
berpikir analogis dalam seluruh kasus konkret. Permasalahari disini
adalah terletak pada perbedaan penekanan saja (Achmad Au,
1996:188).
8. Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi
(mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya
“kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit,
cacat dan sebagainya.
9. Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan
hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebutsesuai
dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik
dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), ialah suatu cara
menafsirkan undang-undang yang-didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam
suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan
pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang
dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan
kata lain berada di luar pasal tersebut. Contoh : Pasal 34 KUHS
menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan
27
menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya
terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah
halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus
menunggu lampaunya waktu 300 hari? Jawaban atas pertanyaan ini
ialah “tidak”, karena pasal 34 KUIHS tidak menyebutkan apa-apa
tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang
perempuan.
Maksud “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHS ialah untuk
mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak,
berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan
sedangmengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika
dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut
undang-undang anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu
(jika anak itu lahir sebelum lewat 300 hari setelah putusannya
perkawinan terdahulu).Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu
itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.(Kansil,
C.S.T. 1979 67).
Penafsiran a contrario : Pasal 34 KUH Perdata menyatakan
bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat
waktu 300 hari sejak saat perceraian.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9/1975 sebagai
pelaksana UU No. 1/1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11
28
ayat (2) UU Perkawinan karena kematian, 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari apabila putus karena perceraian.
Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300
hari?Tidak.
Berdasarkan argumentum a contrario (kebalikan) maka dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki,
karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal yang dalam
Undang-Undang Pasal 34 KUH Perdata tidak menyebutkan apa-apa
tentang orang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada orang-orang
perempuan (Soeroso, R, 2004 ;1 16).
Konstruksi sebagai metode penemuan hukum dikenal
kedalam beberapa jenis sebagai berikut:
1. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Metode analogi adalah merupakan metode penemuan hukum
dimana hakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu
perbuatan yang diatur oleh undang-undang pada suatu perbuatan
atau peristiwa yang secara konkrert dihadapi hakim.Contohnya
adalah ketentuan dalam Pasal 1576 KUH Perdata yang hanya
mengatur bahwa jual-bell tidak memutuskan hubungan sewa-
menyewa.Lalu bagaimana kalau hakim menghadapi peristiwa
konkret tentang hibah, yang mempersoalkan apakah hibah
memutuskan hubungan sewa-menyewa atau tidak?Peraturannya
tidak ada, karena itu hakim mencari esensi dan perbuatan jual
29
bell.Ternyata esensi adalah peralihan hak, dan hibahnya pun
esensinya peralihan hak.Dengan demikian, jual-beli dan hibah
merupakan species, sedangkan peralihan hak merupakan
genus.Karena itu kemudian hakim menganalogikan bahwa bukan
hanya jual bell yang tidak memutuskan hubungan sewa-
menyewa.Berarti metode ini menggunakan penalaran induksi,
berpikir dan khusus ke yang umum (Achmad All, 1996:194).
2. Metode Argumentum A’Contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika suatu undang-
undang menerapkan hal-hal tertentu, berarti peraturan itu
terbataspada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya
berlaku kebalikannya (Achmad Au, 1996: 197).
Menurut SudiknoMertokusumo (1999:165) bahwa argumentum
a’contrario adalah salah satu cara untuk menemukan hukum bagi
suatu peristiwa yang tidak diatur secara khusus, yaitu dengan suatu
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada
peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa itu diluarnya berlaku
kebalikannya. Dengan perkataan lain, menjelaskan undang-undang
yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa
konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-
undang. Dengan mengatur suatu peristiwa tetapi peristiwa yang mirip
lainnya tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang
30
kebalikannya.Pada argumentum a’contrario titik berat diletakkan
pada ketidaksamaan peristiwa.Disini diperlakukan segi negatifnya
dan undang-undang.
Contoh dan argumentum a’contrario adalah masalah waktu
tunggu atau masa iddah.Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 telah dirumuskan bahwa: waktu
tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatangan bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatangan bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Ketentuan tersebut di atas hanya menentukan waktu tunggu
untuk seorang janda yang sudah diceraikan, yaitu selama 130 hari,
sedangkan untuk seorang suami tidak diatur waktu tunggunya, maka
digunakanlah metode argumentum a’contrario, yaitu memperlakukan
kebalikan dan Pasal 39 ayat (1) tersebut di atas, sehingga seorang
duda tidak perlu menunggu waktu tertentu (karena memang tidak
31
ada yang harus ditunggu) apabila hendak kawin lagi (Achmad Au,
1996:198)
3. Rechtsveruijning (Pengkonkretan Hukum)
Metode ini adalah metode yang mengkonkretkan suatu aturan
hukum yang terlalu abstrak. Contohnya adalah ketentuan dalam
Pasal 1365 KUH Perdata yang berisi rumusan (perbuatan melawan
hukum) “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian
pada pihak lain mewajibkan si pelaku yang karena salahnya
menimbulkankerugian itu, untuk mengganti kerugian itu”. Rumusan
ini terlalu luas karena hanya dikatakan setiap tindakan melawan
hukum yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian,
mewajibkan sipelaku yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian tersebut untuk memberi ganti kerugiannya.
Hogeraad dalam putusannya tanggal 19 Januari 1919
melakukan “rechtsverfijning”, yaitu mengkonkritkan arti perbuatan
melawan hukum “onrechtmatigedaad’ menjadi:
a. Melanggar hak subjek hukum lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum dan si pelaku
bertentangan dengan kepatutan yang seyogyanya diindahkan
dalam kehidupan bersama terhadap integnitas subjek hukum
maupun bendanya.
Jadi jelas bahwa rechtsverfijningini adalah metode yang
mengkonkretkan aturan yang abstrak (Achmad All, 1996:199)
32
4. Fiksi Hukum
Fiksi adalah menciptakan sesuatu yang bukan kenyataan,
tetapi untuk kepentingan hukum, diadakan.Metode tiksi sebagai
penemuan hukum ini sebenarnya berlandaskan asas in dublo pro
reo, yaitu asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-
undang (Achmad Ali, 1996:1999).
Menurut SatjiptoRahardjo (1988:135) fiksi adalah metode
penemuan hukum yang mengemukakan fakta4akta baru kepada
kita,sehingga tampil suatu personifikasi baru dihadapan
kita.Bagaimanapun fiksi adalah sesuatu yang bukan kenyataan. Oleh
karena itu cara yang sebaik-baiknya untuk menerimanya sebagai
sarana pengembangan hukum adalah tetap memberlakukannya.
Fiksi memang bermanfaat untuk memajukan hukum, yaitu untuk
mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dengan
sistem yang ada.
Fungsi dan fiksi hukum di samping untuk memenuhi hasrat
untuk menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi
kekosongan undang-undang.Fiksi bermaksud untuk mengatasi
konflik antara tuntunan-tuntunan baru dengan sistem hukum yang
ada (Achmad Ali, 1996:200).
33
D. Aliran Penemuan Hukum
Perkembangan pertumbuhan ilmu hukum dan teori-teori hukum
telah melahirkan berbagai aliran pemikiran tentang penemuan hukum
yang dapat diinvetarisasi ke dalam beberapa aliran. Beberapa
aliranpemikiran tentang penemuan hukum dimaksud, adalah sebagai
berikut:
1. Aliran Legis
Aliranlegisini beranjak dan perbedaan hukum pada:
a. Hukum tertulis (iusscniptum)
b. Hukum tidak tertulis
Dan perbedaan ini aliran legishanya mengakui hukum tertulis
atau undang-undang saja, diluar undang-undang tidak ada
hukum,sehingga dalam pandangan legismeini hakim hanya sekedar
terompet undang-undang.
Aliran legisme bertolak dari ajaran “TriasPolitica” Montesquieu
yang mengadakan peinisahari secara tegas antara kekuasaan
eksekutif, legislatif dan judikatif. Kekuasaan membentuk hukum
hanya terdapat pada legislatif, dengan demikian hukum semata-mata
hasil produk legislatif, diluar produk legislatif, tidak ada hukum, sebab
setiap undang-undang sudah sangat lengkap dan jelas,
berisijawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga hakim
hanyaberkewajiban menerapkan peraturan hukum pada
peristiwakonkretnya.
34
35
2. Mazhab Historis
Pada abad ke-20 orang sudah mulai menyadari bahwa
undang-undang tidaklah lengkap.Nilai-nilai yang sudah dituangkan
dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
kehidupan bersama sehingga mulai terdapat kekosongan-
kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang dan untuk
melengkapi undang-undang yang ada orang sudah mulai
menggunakan hukum kebiasaan dan yurisprudensi.
Mazhab historis ini dipelopori oleh Von
Savigny.Mazhabhistoris berpendapat bahwa hukum itu ditentukan
secara historis, hukum tumbuh dan kesadaran hukum bangsa di
suatu tempat daripada waktu tertentu (das rechtwirdnichtgemach es
it und mitdemvolke)
Selanjutnya dikatakan bahwa kesadaran hukum yang paling
murni adalah terdapat dalam kebiasaan.Peraturan hukum terutama
merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang
terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dan
atas.Para ahli hukum harus dapat mengembangkan dan
mensistematisasikan keyakinan dan praktek-praktek ini
(SudiknoMertokusumo, 1996:92).
Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum
kebiasaan yang tidak cocok untuk kehidupan modern.Sebelum
mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang
36
mendalam lebih dahulu terhadap hukum yang ada dalam
masyarakat.
3. AliranBegriffsjurisprudenz
Aliran ni berpendapat bahwa suatu undang-undang memang
tidak lengkap akan tetapi tidak berarti hakim boleh membentuk
hukum, sebab tugas hakim menurut aliran inihanya bersifat
geometris juridis, artinya hakim hanya membuka tabir-tabir pikiran
yang terletak dalam undang-undang tersebut, jadi aliran ini tetap
berpendapat bahwa hukum merupakan suatu sistem tertutup.
Aliran ini dipelopori oleh Rudolf Von Jhering yang
menekankan kepada sistematik hukum, artinya setiap putusan
barudan hakim harus sesuai dengan sistem hukum.Berdasarkan
kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan
undang-undang harus diperjelaskan dalam hubungannya dengan
ketentuan undang-undang yang lain, sehingga ketentuan-ketentuan
undang-undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh.
Ciri khas dari aliran ini adalah bahwa hukum dilihat sebagai
suatu sistem tertutup yang mencakup segala-galanya yang mengatur
semua perbuatan sosial.Walaupun demikian dalam aliran ini hakim
tidak terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dalam mengambil
argumentasinya dan peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam
undang-undang.Dengan demikian peradilan lebih berstandar pada
ilmu hukum, maka kegiatan hakim terdiri dan sistematisasi,
37
penghalusan hukum dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui
penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas
hukum.Para hakim makin berkiblat pada ilmu dogmatik, kalau
undang-undang ternyata tidak memberi jawaban terhadap suatu
masalah, maka hakim mencari objektivitas yang diisyaratkan oleh
ilmu hukum (SudiknoMertokusumo, 1996:93).
4. Aliran Freirechtsschule
Aliran ini lahir sebagai reaksi atas aliran
Begriffsjurisprudenz.Aliran ini lebih mengutamakan kebebasan hakim
dalam menemukan hukum melalui putusannya, bahkan hakim
dimungkinkan untukmenyimpang dari undang-undang demi
mencapai keadilan, sebab aliran ini berpendapat bahwa hakim
memiliki kebebasan untuk menimbang dan menilai
(FrelesFrmessen).
Aliran ini dipelopori oleh Eudolf Von Jhering di Jerman. Aliran
ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh
hakim sebagai formal logis belaka, akan tetapi harus dinilai menurut
tujuannya. Dan tujuan hukum adalah untuk melindungi, memuaskan
dan memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata.
Philip Heck, salah seorang penganut aliran ini menyatakan
bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral,
ekonomi, kultural dan kepentingan lainnya dalam peristiwa tertentu
yang berhubungan dengan peraturan tertentu, maka pelaksanaan
38
atau penerapan hukum yang tepat dan berarti tidak akan mungkin
terjadi (SudiknoMertokusumo, 1996.95).
5. Aliran SozioloqischeRechtsschule
Aliran ini berpendapat bahwa hakim memiliki kebebasan
dalam membentuk hukum, akan tetapi kebebasan tersebut tetap
terbatas dalam rangka pelaksanaan undang-undang, artinya dalam
membuat keputusan hakim tetap mendasarkannya pada undang-
undang yang ada yang sesuai dengan asas-asas keadilan,
kesadaran hukum dan perasaan hukum yang hidup dalam
masyarakat, oleh karena itu hakim tidak hanya menguasai ilmu
hukum, akan tetapi dituntut pulauntuk menguasai ilmu ekonomi,
sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
6. Ajaran Paul Scholten
Aliran ini dipelopori oleh Paul Scholten yang memandang
hukum sebagai salah satu sistem, yakni bahwa seluruh peraturan itu
saling berhubungan satu sama lain dan kesemuanya itu dapat
disusun secara mantik (logis) dan untuk yang bersifat khusus dapat
dibicarakan aturan-aturan umumnya sehingga tiba pada asas-
asasnya.
Inti dari ajaran ini adalah putusan hakim didasarkan pada
pekerjaan intelek (rasio dan logika) dan penilaian dan
hakim.Penilaian itu menuntut para hakim untuk melakukan
penemuan hukum melalui konstruksi-konstruksi hukum ataupun
39
penafsiran.Hukum itu tidak tertutup, sebab hukum membutuhkan
putusan-putusan yang selalu berhubungan dengan pelaksanaan
hukum yang kasuistis (Achmad All, 1996: 152).
E. Tahap Penemuan Hukum
Tugas hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.Dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara (khususnya perdata). Maka
adatiga tahap tindakan hakim yang harus dilalui, ketiga tahap tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mengkonstatir, yaitu melihat, mengakui atau membenarkan telah
terjadinya peristiwa yang telah diajukan di muka persidangan. Untuk
mencapai tahap konstateringini, maka diharuskan adanya kepastian,
yaitu harus pasti akan kebenaran peristiwa yang di konstatir tersebut,
sehingga peristiwa yang dikonstatir tersebut tidak sekedar dugaan
atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja tentang adanya
peristiwa yang bersangkutan. Oleh karena itu hakim harus
menggunakan sarana-sarana atau alat-alat untuk memastikan
dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim
harus melakukan pembuktian dengan alat-alat tersebut untuk
mendapatkan kepastian tentang peristiwa yang diajukan kepadanya.
Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan
atau menganggap telah terbuktinya suatu peristiwa.
40
2. Mengkualifisir, yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar
terjadi termasuk masalah hubungan hukumnya. Mengkualifisir berarti
juga menemukan hukum terhadap suatu peristiwa yang telah
dikonstatir. Untuk menemukan hukum tersebut dicari dan peraturan
hukum yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada
peristiwa yang bersangkutan. Mengkualifisir pada umumnya berarti
menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan
hukumterhadap peristiwa, suatu kegiatan yang umumnya bersifat
logis, akan tetapi dalam kenyataannya menemukan hukum tidak
sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja,
lebih-lebih kalau peraturan hukumnya tidak tegas dan jelas, maka
dalam hal ini hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya,
melainkan menciptakannya sendiri.
3. Mengkonstituir, yaitu hakim menetapkan hukumnya kepada
bersangkutan, memberi keadilan (SudiknoMertokusumo, 1988: 87-
89).
Salah satu dan ketiga tahap tersebut, adalah tahap penemuan
hukum. Hal ini menunjukkan bahwa penemuan hukum adalah
merupakan suatu proses yang harus dilakukan oleh hakim dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Hakim dapat menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum
undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, putusan desa,
41
doktrin, hukum agama dan bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh
masyarakat (Achmad Au, 1996: 165).
F. Penerapan Metode Penemuan Hukum
Adapun teori-teori tentang penerapan hukum yang dilakukan
olehhakim terhadap peristiwa konkret adalah sebagai berikut:
1. Teori Legisme atau Positivisme Undang-undang
Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh
Montiesquieu dan Kant (SudiknoMertokusumo, 1996 : 39), bahwa
hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum
sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim
hanya sekedar penyambung Iidah atau corong undang-undang
(bouche de íaloo) sehingga hakim tidak dapat mengubah kekuatan
hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat
menguranginya.Hal ini menurut Monteisquieu disebabkan karena
undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif, oleh
karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan
warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus
ada di bawah undang-undang.
Menurut pandangan klasik, semua hukum terdapat secara
lengkap dan sistematis dalam undang-undang dan tugas hakim
adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-undang.
Penemuan hukum menurut teori ini dianggap sebagai kejadian
yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang yang
42
tidak diberi tempat pada pengakuan subjektif atau penilaian.Hakim
tidak beri kesempatan untuk berkreasi. Teori positivisme undang-
undang ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa apa yang
mempunyai bentuk lahir sebagai hukum adalah legitim sebagai
hukum, tidak peduli nilai isinya (SudiknoMertokusumo, 1996: 41).
2. Teori Materiil Yuridis atau Otonom
Menurut teori materiil yuridis ini, hakim adalah sebagai
pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi
undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-
kebutuhan, jadi disini, hakim tidak hanya sekedar corong undang-
undang.
Teori ini berpendapat bahwa pelaksanaan hukum oleh hakim
bukanlah semata-mata hanya masalah logika murni dan penggunaan
rasio yang tepat, akan tetapi lebih merupakan masalah pemberian
bentuk yuridis pada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya
tidak logis dan tidak mendasarkan pada pikiran yang abstrak, namun
lebih-lebih pada pengalaman dan penilaian yuridis.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu undang-undang tidak
mungkin lengkap. Undang-undang hanya merupakan suatu tahap
tertentu dalam proses pembentukan hukum dan bahwa undang-
undang wajib mencari pelengkapnya dalam praktek hukum yang
teratur oleh hakim, dimana asas-asas yang merupakan dasar
43
undang-undang dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretisasi, diisi dan
diperluas dengan asas-asas baru (SudiknoMertokusumo, 1996:42).
Bilamana terdapat kekosongan hukum atau ketidakjelasan undang-
undang maka hakim mempunyai tugas sendiri, yaitu memberi
pemecahan dengan menafsirkan undang-undang. Hal ini menunjukkan
bahwa penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan
peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, akan tetapi
sekaligus juga merupakan penciptaan dan pembentukan hukum oleh
hakim.
G. Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Metode Penemuan Hukum
Hakim adalah suatu figur manusia yang “sempurna”.hakim
sebagai organ dan pemeran utama di Iingkungan peradilan dianggap
sebagai orang yang serba tahu dan serba memahami bidang hukum,
oleh karena itu para pencari keadilan datang kepadanya untuk
memohon keadilan. Andaikata hakim tidak menemukan hukum tertulis,
maka hakim wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat untuk
memutus suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha
Esa, din sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Berhubung gambaran hakim sedemikian rupa, maka suatu yang
wajar apabila peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa
seseorang yang akan diangkat atau menjadi hakim harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.
44
Peranan utama dan seorang hakim adalah menegakkan
kebenaran dan keadilan. Menegakkan kebenaran dan keadilan tidak
berarti menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit,
karena menegakkan kebenaran dan keadilan itu seorang hakim:
1. Tidak sekedar berperan menjadi mulut undang-undang
2. Tidak sekedar berperan sebagai makhluk tak bernyawa
(antreanemimes)
3. Tidak sekedar berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan
sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan, sebab tidak
selamanya yang wetmatig adalah rechtvaardig atau tidak semua
yang legal itu justice dan begitu juga tidak selamanya yang lawfull itu
justice.
Untuk merealisasikan peranan hakim sebagaimana tersebut di
atas maka para hakim dituntut untuk:
1. Mempunyai kemampuan untuk menafsirkan undang-undang secara
aktual
Para hakim dituntut untuk menerapkan hukum secara lentur
(tidak kaku), yaitu penerapan hukum yang disesuaikan dengan
kebutuhanperkembangan situasi, kondisi dan domisili.Hukum
diterapkan sesuai dengan tuntutan kepentingan umum dan
kemaslahatan masyarakat kontemporer dengan tetap berpijak pada
landasan cita-cita umum yang terdapat dalam falsafah bangsa dan
tujuan dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
45
2. Mempunyai keberanian untuk menciptakan hukum baru
Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu kasus konkreto,
maka hakim dituntut untuk menciptakan hukum baru yang
disesuaikandengan kesadaran perkembangan dan kebutuhan
masyarakat dengan caramenyelami kesadaran kehidupan
masyarakat sehingga hakim dapat menemukan suatu asas atau
dasar hukum yang baru.
3. Mempunyai keberanian untuk melakukan contralegem
Dalam situasi dan kondisi tertentu hakim harus berani
menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu apabila
setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut
bertentangan dengan ketentuan, kepentingan dan kemaslahatan
umum. Berbarengan dengan menyingkirkan ketentuan pasal undang-
undang tersebut, maka hakim boleh menciptakan hukum baru atau
mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat tetap
4. Mempunyai kemampuan untuk mengadili setiap perkara yang
dihadapinya secara kasuitas
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung keadaan khusus
oleh karena itu dalam kenyataannya tidak ada perkara yang persis
mirip, sehingga dengan demikian hakim harus mampu berperan
mengadili suatu perkara secara kasuitas dan hakim tidak dibenarkan
sekedar membabi buta mengikuti atau mencontoh putusan yang
46
telah ada tanpa menilai keadaan khusus yang terkandung dalam
perkara tersebut (M. YahyaHarahap, 1993:63).H. Kerangka
Pemikiran
H. Kerangka Pemikiran
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum
demokrasi (Democratic Rechtsstaat) yang berdasar pada ideologi
Pancasila sebagai hukum dasar dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia sebagai negara hukum harus menjamin adanya
kebebasan hakim sebagai salah satu ciri atribut yang melekat pada
setiap negara hukum yang terjelma antara lain sebagai berikut:
1. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak
dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan manapun dan
siapapun.
2. Legalitas dalam arti hukum pada segala aspek dan hal (Abdulkadir
Muhammad, 1985: 35).
Perwujudan Indonesia sebagai negara hukum dibuktikan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor.14 Tahun 1970 Juncto
perubahan beberapa pasalnya dengan Undang-undang Nomor.35
Tahun 1999, yang menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka.Pasal.1 Undang-Undang Nomon.14 Tahun
1970, dengan tegas menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
47
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan yang
dilakukan dan dilaksanakan oleh hakim dengan tugas utamanya
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya.
Tugas yang diembankan kepada pundak seorang hakim dalam
menjalankan fungsi yudisialnya melalui lembaga peradilan adalah cukup
berat oleh karena hakim melalui peradilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya
hanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.Tugas ini
merupakan kewajiban bagi seorang hakim di Iingkungan peradilan
(Pasal. 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970).
Hakim yang dapat menjalankan fungsinya yang diamanatkan oleh
negara sebagai penegak hukum dan keadilan, harus mampu menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.Hal ini dipertegas sebagai suatu kewajiban bagi hakim pada
Pasal.27 ayat (1) Undang-Undang Nomor.14 Tahun 1970 sebagai
berikut “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
Kewajiban menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat yang diembankan kepadanya, merupakan suatu
48
penegakan bahwa hakim harus mempunyai ilmu pengetahuan dan
wawasan yang luas agar dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkaradapat melakukan penemuan hukum dalam arti yang luas tidak
terbatas hanya pada ketentuan hukum yang tertulis saja akan tetapi juga
yang belum tertulis yang bertebaran hidup di tengah-tengah masyarakat,
dalam rangka memutuskan suatu perkara secara adil sehingga dapat
mendatangkan manfaat dan kepastian hukum.
Penemuan hukum oleh hakim bukan hal yang mudah semuda
diucapkan secara teoritis, akan tetapi merupakan tugas yang berat bagi
seorang hakim. Hal ini dipertegas oleh Abdul Kadir Muhammad (1
985:163) bahwa “tugas menemukan hukum yang tepat, yang menguasai
perkara antara kedua belah pihak, merupakan tugas yang tidak mudah
bagi hakim perdata. Walaupun hakim dikatakan dianggap mengetahui
hukum pada hakekatnya tidaklah Ia mengetahui semua hukum, karena
hukum terdiri yang tertulis dan tidak tertulis. Mungkin mengetahui semua
yang tertulis, tetapi tidak dengan yang tidak tertulis.
Berpihak dan pemikiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa
idealnya bagi seorang hakim adalah mampu melakukan penemuan
hukum secara tepat, terutama terhadap hukum yang belum tertulis.
Untuk mengetahui apakah hakim khususnya pada Pengadilan Negeri
Watampone, telah melakukan penemuan hukum di luar perundang-
undangan yang tertulis dan faktor yang mempengaruhi optimalisasinya,
49
maka perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan
sosio yuridis atau pendekatan hukum empiris sebagai berikut:
1. Pendekatan Yuridis-Normatif
Pada pendekatan iniakan dilakukan analisis yang mendalam
tentang Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970 dan teori-teori
hukum serta doktrin yang berkenaan dengan penemuan hukum.
2. Pendekatan Empiris-Sosiologias
Pada pendekatan ini dilakukan penelusuran secara langsung
di Pengadilan Negeri Watampone untuk menginventarisasikan dan
menganalisis putusan hakim dalam perkara perdata selama kurun
waktu lima tahun (2002-2006) guna melihat terjadinya penemuan
hukum oleh hakim di luar perundang-undangan yang tertulis, faktor-
faktor yang mempengaruhi hakim belum optimalnya melakukan
penemuan hukum di luar perundang-undangan dimaksud, yang
disebabkan oleh faktor yang diprediksi sebagai berikut:
a. Hukum tertulis sudah jelas
b. Pengetahuan hakim relatif kurang terhadap hukum yang hidup
dalam masyarakat (hukum tidak tertulis)
c. Responsitif kemauan hakim melakukan penemuan hukum di luar
perundang-undangan relatif kurang.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat digambarkan
kerangka pemikiran sebagai berikut:
50
DIAGRAM KERANGKA PEMIKIRAN
51
I. Definisi Operasional Variabel
Untuk memahami alur pikir penelitian ini dengan berbagai aspek
elemennya dan pendekatan yang digunakan maka perlu dikemukakan
definisi operasional variabel, agar dapat diperoleh persepsi yang sama
tentang beberapa hal sebagai berikut:
1. Penemuan hukum, diartikan sebagai proses pendekatan yang
dilakukan oleh hakim dalam memilih dan menetapkan hukum pada
suatu peristiwa konkrit yang diajarkan kepadanya untuk
mendapatkan suatu putusan.
2. Peristiwa hukum dalam perkara perdata, diartikan sebagai peristiwa
konkrit yang telah menjadi sengketa dan diperiksa oleh hakim
Pengadilan Negeri Watampone.
3. Penemuan hukum di luar perundang-undangan tertulis, diartikan
sebagai penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim Pengadilan
Negeri Watampone untuk memutuskan suatu perkara perdata, yang
sumber penemuannya di luar dan peraturan perundang-undangan
yang tertulis. Hal ini merupakan variabel dependen atau variabel
terikat yang dapat terpengaruh.
4. Faktor pengaruh, diartikan sebagai variabel independen atau variabel
bebas yang dapat berpengaruh terhadap variabel dependen.
5. Optimalisasi penemuan hukum oleh hakim, diartikan sebagai
optimalisasi penemuan hukum yang telah dilakukan oleh hakim.
52
Peradilan Negeri Watampone di luar perundang-undangan yang
tertulis dalam memutuskan suatu perkara perdata.
6. Optimal, diartikan bilamana hakim selama ini sudah senantiasa
melakukan penemuan hukum dimaksud.
7. Kurang optimal, diartikan bilamana hakim selama ini belum optimal
melakukan penemuan hukum diluar perundang-undangan.
8. Tidak optimal, diartikan bilamana hakim dalam menjatuhkan
putusannya sama sekali mengesampingkan penemuan hukum diluar
perundang-undangan.
53
BAB Ill
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Watampone
dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Watampone memenuhi
karakteristik yang representatif untuk mendapatkan gambaran mengenai
masalah yang diteliti.Di samping itu topik ini belum ada yang menelitinya
di daerah tersebut.
Pertimbangan lain bahwa faktor utama yang berpengaruh
terhadap penemuan hukum oleh hakim dalam memutuskan suatu
perkara perdata di Pengadilan Negeri Watampone adalah hukum
tertulis, pengetahuan hakim, pendidikan hakim, responsive/kemauan
hakim dan keterbatasan jumlah hakim/hakim tunggal, karena pada
umumnya putusan-putusan hakim dibidang perkara perdata di
Pengadilan Negeri Watampone belum mencerminkan rasa keadilan,
sehingga perlu dilakukan antisipasi terhadap semua faktor tersebut, agar
dalam penegakkan hukum dapat tercipta suatu tujuan hukum
sebagaimana diharapkan masyarakat, khususnya pencari keadilan.
B. Pendekatan Sifat dan Tipe Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam
penulisan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah
pendekatan sosiologi yuridis dengan tipe normative dan empiris.
54
Sifat penelitian adalah: Deskriptif dan Preskriptif perpaduan kedua
tipe ini dimaksudkan untuk saling mendukung dan bersinergi
mengungkapkan secara empiris dalam penemuan hukum oleh hakim
dalam memutuskan suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri
Watampone, sedangkan normative menentukan hukum yang ideal yang
harus diberlakukan. Dengan demikian pendekatan sosiologis yuridis
seperti i Menurut Soekanto (1986:96) adalah berbentuk deskriptif yang
bertujuan menggabungkan realitas objek yang diteliti dalam rangka
menemukan hubungan diantara dua gejala dengan memberikan
gambaran secara sistematis mengenai pemberlakuan hukum yang ideal
dan fakta sebagai bentuk penemuan hukum oleh hakim dalam
memutuskan suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri Watampone,
bahwa apakah optimal pelaksanaan metode penemuan hokum atau
belum optimal.
C. Populasi dan Sampel
Sebagai populasi pada penelitian ini adalah warga masyarakat Kota
Watampone yang berperkara perdata dalam kurun waktu tahun 2002
sampai dengan tahun 2006 di Pengadilan Negeri Watampone, khusus
pada bidang perkara perdata
Adapun sampel dalam penelitian ini ditetapkan menggunakan teknik
purposive sampling atau sampel bertujuan, dengan memilih 10(sepuluh)
pihak yang berperkara yang terdiri 5 (lima) penggugat dan 5 (lima)
tergugat di Pengadilan Negeri Watampone di bidang perkara perdata
55
untuk tiap-tiap tahunnya dan tahun 2002-2006, sehingga berjumlah 50
(lima puluh) orang dan kedua belah pihak. Disamping itu ditetapkan
sebanyak 30 (tiga puluh) orang sampel yang terdiri dan 3 kelompok
bidang profesi yakni hakim sebanyak 10 orang, advokat/pengacara
sebanyak 10 orang dan akademisi hukum sebanyak 10 orang.
Pertimbangannya ditetapkan demikian karena sampel ditetapkan
dengan caramemilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga
sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal
sebelumnya. Hal ini ditempuh guna pertimbanganobjektivitas penelitian
terutama dan segi pendekatan empiris sosiologis.
D. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis dan sumber data yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui hasil penelitian secara
langsung terhadap objek yang diteliti. Data primer ini diperoleh
melalui wawancara maupun dan hasil angket yang diberikan kepada
responden berdasarkan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan
topik penelitian ini.
2. Data sekunder, yaitu data dan berbagai sumber literature,
dokumentasi dan atau berkas perkara perdata yang telah putus di
Pengadilan Negeri Watampone.
56
E. Teknik Pengumpulan Data
Keseluruhari data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data
primer maupun data sekunder menggunakan tehnik pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Kuesioner yaitu berisikan daftar pertanyaan yang telah disusun dan
dipersiapkan sebelumnya secara tertulis dan dimintakan jawaban
dan responden.
2. Wawancara yaitu dilakukan melalui tatap muka secara langsung
dengan cara tanya jawab kepada responden yang dipandang
kompeten dengan penelitian yang dilakukan.
3. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data dengan mempelajari
dokumen yang penting atau berkas perkara perdata yang telah
diputus oleh Pengadilan Negeri Watampone.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, kemudian dianalisis
secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Analisis Kualitatif
Analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis data yang sukar
dikualifikasikan seperti bahan pustaka, dokumen, Undang-undang
dan lain-lain yang menyangkut topik yang diteliti.
57
2. Analisis Kuantitatif
Analisis ini dipergunakan sebagai pendukung data analisis kualitatif
atas penelitian empiris berdasarkan jawaban-jawaban responden
hasil pembagian angket kepada responden. Analisis ini
menggunakankontribusi frekuensi dengan rumus:
P =F
�x 100%
Dimana:
P : Persentase
F : Nilai yang diperoleh (Frekuensi)
N : Jumlah seluruh nilai (Responden)
% : Persentase seluruh nilai
58
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Perkara Perdata Yang Telah Diperiksa Hakim
Pengadilan Negeri Watampone
Untuk mengetahui volume perkara perdata di Pengadilan Negeri
Watampone selama rentang waktu lima tahun (2002-2006) maka telah
dilakukan inventarisasi perkara yang lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1.
Perkara Perdata pada Pengadilan Negeri
Watampone Tahun 2002-2006
Sumber Data: Bagian Panitera Muda Pet-data PN Watampone, Tahun 2007
59
Tabel 2.
Jenis Perkara Perdata yang Terdapat pada Pengadilan Negeri
Watampone Tahun 2002-2006
Sumber Data : Bagian Kepaniteraan Pengadilan Negeri Watampone,
Tahun 2007
Memperhatikan tabel. 2 di atas, maka dengan jelas melihat bahwa
terdapat sebelas jenis perkara perdata yang terdaftar dan ditangani oleh
hakim Pengadilan Negeri Watampone selama rentang waktu lima tahun
(2002-2006).
Untuk mengetahui apakah keseluruhan perkara perdata yang
berjumlah 317 perkara perdata dalam kurun waktu 2002-2006
diPengadilan Negeri Watampone tersebut telah berkekuatan hukum
60
tetap (inkracht) dan telah dilaksanakan maka lebih lanjut dapat dilihat
pada tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3
Perkara Perdata Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) Pada
Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2002-2006
Sumber Data : Bagian Kepaniteraan Pengadilan Negeri Watampone,
Tahun 2007
Berdasarkan tabel 3. di atas maka di klasifikasi bahwa dan 317
perkara perdata yang telah diproses di Pengadilan Negeri Watampone
selama kurun waktu 2002-2006, baru 27 perkara diantaranya yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht), selebihnya 290 yang belum
berkekuatan hukum tetap. Untuk jelasnya dapat dilihat persentase pada
tabel 4 sebagai berikut:
61
Tabel 4.
Persentase Perkara Perdata Yang Berkekuatan Hukum Tetap
(Inkrachfl Pada Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2002-2006
Sumber Data : Bagian Kepaniteraan Pengadilan Negeri Watampone,
Tahun 2007
B. Penemuan Hukum Oleh Hakim di Pengadilan Negeri Watampone
Dari 25 putusan yang telah diteliti dapat diketahui bahwa proses
menemukan fakta yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Watampone dalam membuat suatu putusan. Hal ini terbukti dengan
tabel di bawah ini dimana dalam upaya menemukan fakta 84% para
hakim menggunakan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah
pihak yang berperkara dan 16% lainnya tidak melakukan penemuan
fakta disebabkan karena perkara yang diperiksa dicabut atau perkara
yang diperiksa dandiadili itu adalah perkara verstek. Untuk jelasnya
dapat dilihat tabelsebagai berikut:
62
Tabel 5.
Proses Penemuan Fakta
Sumber Data : Olahan Data Primer, 2007
Pada dasarnya setiap perkara verstek (tergugatnya tidak hadir
dipersidangan) pihak penggugat tidak perlu lagi dibebani pembuktian,
akan tetapi khusus dalam perkara perceraian penggugat tetap
diwajibkan untuk mengajukan alat-alat bukti dan hal ini telah ditetapkan
di Pengadilan Negeri Watampone. Akan tetapi dalam beberapa putusan
Pengadilan Negeri Watampone tentang perkara verstek yang telah
diteliti, telah ditemukan bahwa pihak penggugat telah mengajukan alat
bukti baik surat maupun saksi, akan tetapi di dalam penemuan faktanya,
hakim tidak mempertimbangkan lagi alat-alat bukti tersebut, tidak ada
dalam pertimbangan hukum yang mempertimbangkan alat bukti surat
maupun alat bukti saksi yang diajukan oleh penggugat, hanya dalam
pertimbangan hukum itu disimpulkan secara umum dengan kalimat
“gugatan penggugat beralasan dan tidak melawan hukum sehingga
dikabulkan….”.
Secara yuridis formal putusan verstek yang demikian itu adalah
benar, karena dalam Pasal 149 ayat (1)
63
ReglementBuitenGewesten(RBg) telah ditegaskan bahwa “apabila pada
hari sidang ditentukan, si tergugat walaupun telah dipanggil dengan
sepatutnya, tidak hadir atau tidak menyuruh hadir orang lain sebagai
wakil atau kuasanya, maka gugatan dikabulkan dengan verstek.
Dari ketentuan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa dalam hal
perkara verstek, seharusnya penggugat tidak perlu lagi ada
pembebanan pembuktian. Kalau pengadilan menilai gugatan penggugat
tidak bertentangan dengan hukum dan mempunyai alasan yang cukup
kuat maka gugatan penggugat langsung dikabulkan, karena dengan
tidak hadirnya tergugat dianggap tergugat telah membenarkan seluruh
isi gugatan si penggugat, dan kalau tergugat merasa dirugikan oleh
gugatan penggugat, maka pasti tergugat datang ke pengadilan untuk
membela kepentingan atau haknya.
Khusus dalam perkara perceraian ketentuan dalam Pasal 149
ayat(1) RBg tersebut tidak murni diterapkan, artinya khusus dalam
perkara perceraian walaupun tergugatnya tidak hadir, penggugat tetap
dibebani untuk pengajuan alat-alat bukti untuk menguatkan dalil-dalil
gugatannya, karena perkara perceraian yang note benenya adalah
perkara yang berhubungan dengan status seseorang, bukan perkara
yang menyangkut harta benda, di samping pengadilan perlu mencari
kebenaran meteriiljuga pengadilan perlu menghindari adanya tindakan
penyelundupan hukum atau rekayasa hukum dan pihak-pihak yang
sengaja merekayasa agar terjadi perceraian dengan demikian
64
seharusnya Pengadilan Negeri Watampone dalam putusan verstek
dalam mempertimbangkan hukumnya tetap mempertimbangkan alat-
alat bukti yang telah diajukan oleh penggugat sebagai dasar dalam
menemukan fakta.
Dalam kondisi tertentu demi tercapainya keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum, para hakim harus mampu melakukan penemuan
hukum yang tidak hanya terbatas pada penggunaan metode-metode
penemuan hukum dalam ilmu hukum yang ada akan tetapi dapat pula
menggunakan metode-metode penemuan hukum yang ada dalam
literatun-literatur fiqih, seperti ijma yang metodenya berbeda dengan
metode penemuan hukum yang dikenal dalam ilmu hukum selama ini.
Perbedaan itu adalah dalam ilmu fiqihijma merupakan sumber metode
penemuan hukum, sedangkan dalam ilmu hukum seperti ijma itu tidak
dikenal. Yang ada dalam ilmu hukum adalah pendapat para pakar
hukum, dimana pendapat para pakar tersebut tidak ditempatkan sebagai
metode penemuan hukum; melainkan sebagai sumber hukum yang
akan mempunyai kekuatan sebagai hukum apabila dijadikan sandaran
oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Setelah selesai menemukan fakta hukum tahap berikutnya adalah
melakukan penemuan hukum. Dari 25 putusan yang telah diteliti telah
diperoleh data sebagai berikut:
65
Tabel 6.
Proses Penemuan Hukum
Sumber Data: Olahan Data Primer, 2007
Sesuai dengan tahap-tahap penemuan hukum sebagaimana yang
telah dikemukakan dalam bab terdahulu bahwa salah satu tahap dalam
tahap mengkualifisir, yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar
terjadi, termasuk masalah hubungan hukumnya. Mengkualifisir berarti
juga menemukan hukum terhadap suatu peristiwa yang telah dikonstatir
bersangkutan.Mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan
hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap
peristiwa, suatu kegiatan yang umumnya bersifat logis, akan tetapi
dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan
peraturan hukum terhadap peristiwa saja, lebih-lebih kalau peraturan
hukumnya tidak tegas dan jelas, maka dalam hal ini hakim bukan lagi
harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakannya-sendiri.
Darihasil penelitian yang dilakukan (tabel. 6) dapat diketahui
bahwa dalam upaya menemukan hukum tersebut 84% putusan di
Pengadilan Negeri Watampone sudah menemukan peraturan hukum
yang ada; dan menerapkannya pada peristiwa yang bersangkutan.
66
Tidak ada satupun putusan yang diteliti yang berisi tentang penafsiran
atau konstruksi terhadap peraturan hukum.Hal ini dapat dipahami
bahwa perkara yang diselesaikan melalui putusan tersebut hanya
perkara yang sederhana dan tidak terlalu rumit, sehingga ada rumusan
pasal yang sesuai dengan peristiwanya, langsung diterapkan saja,
tanpa ada penafsiran lebih jauh dan tanpa ada konstruksi. Kalaupun
cara yang seperti itu tetap dikatakan telah melakukan penafsiran, maka
paling tinggi hanya penggunaan penafsiran gramatikal saja.
Dari tabel.6 tersebut di atas, telah ditemukan pula 4% dan putusan
yang diteliti tanpa menyebutkan sumber hukum atau pasal-pasal dan
undang-undang yang berhubungan dengan fakta yang telah ditemukan
dalam perkara tersebut.Hakim didalam menjatuhkan putusan
didasarkan pertimbangan hukum yang berasaskan keadilan, karena
dinilai hukum tertulis tidak lagi mencerminkan rasa keadilan dalam
masyarakat.Pertimbangan hukum dalam perkara perdata tersebut,
menunjukkan bahwa hakim telah melakukan penemuan hukum diluar
perundang-undangan.Hal ini dapat dilihat dalam perkara perdata
Nomor64/Pdt.g/2005/PN.Wtp. yang mengabulkan gugatan penggugat
diluar permintaan didalam gugatan primer.Sedangkan dalil gugatan
penggugat menyatakan “Bahwa tanah perumahan sengketa bersama
bangunan rumah diatasnya adalah miliki penggugat yang diperoleh beli
dan tergugat.” Namun setelah dikonstatir dan dikualifisir terungkap fakta
hukum bahwa objek sengketa telah dijual kembali kepada tergugat
67
seharga Rp 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah), dengan
pembayaran panjar sebanyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
selebihnya diangsur selama 12 bulan dengan klausul jika tergugat tidak
melunasi selama tenggang waktu tersebut, maka transaksi dinyatakan
batal dan tidak mengikat serta pembayaran panjar sebanyak Rp 1
5.000.000- (lima belas juta rupiah) secara otomatis hangus.
Dengan mengacu peristiwa hukum tersebut, hakim memutuskan
“Menyatakan menurut hukum bahwa jual beli antara penggugat dengan
tergugat terhadap objek sengketa adalah sah dan mengikat.”
Selanjutnya didalam diktum menyatakan jual beli objek sengketa antara
penggugat dan tergugat adalah wanprestasi dan di hukum tergugat
membayar sisa harga tanah dan bangunan yang menjadi objek
sengketa kepada penggugat sebanyak Rp 435.000.000,-(empat ratus
tiga puluh lima juta rupiah) dan di hukum pulamembayar bunga 2%
terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Pertimbangan hukum
tersebut bertentangan 1engan hukum acara perdata yang berlaku
karena telah disyaratkan bahwa apa yang di dalilkan penggugat maka
harus dibuktikan, sedangkan kenyataan didalilkan yang menjadi objek
sengketa berupa tanahperumahan, justru yang dikabulkan adalah
hutang piutang. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan karena
penggugat didalam gugatan subsidairmeminta suatu keputusan yang
dipandang adil menurut hukum, sehingga hakim memutuskan suatu
68
perkara diluar perundang-undangan dengan mengacu pada asas
keadilan.
Dari tabel.6 tersebut di atas dapat diketahui pula bahwa terdapat
12% putusan yang diteliti tanpa ada proses penemuan fakta; dan
terhadap perkara tersebut langsung diterapkan hukumnya.Putusan
seperti ini adalah putusan terhadap perkara verstek, yakni tanpa
menemukan fakta perkaranya langsung dikabulkan apabila majelis
hakim berpendapat bahwa gugatan penggugat beralasan dan tidak
melawan hukum. Berdasarkan data seperti ini; maka peneliti
berpendapat bahwa proses penemuan hukum tidak harus dilakukan
pada tahap kualifisir sebagaimana yang dikemukakan oleh
SudiknoMertokusumo pada uraian terdahulu; akan tetapi dalam kondisi
tertentu hakim dapat langsung melakukan penemuan hukum pada
tahap konstatir.
Dari proses penemuan hukum yang ada dalam beberapa putusan
yang telah diteliti tersebut, dapat diketahui bahwa ada kecenderungan
dan para hakim untuk mengarahkan peristiwa atau mencocokkan
peristiwa dengan peraturan -hukum yang ada, artinya peristiwa itu
kadang-kadang diarahkan sedemikian rupa agar sesuai dengan
peraturan hukum yang ada. Contohnya adalah masalah percekcokan
antara suami isteri sebagaialasan untuk melakukan perceraian. apabila
telah ditemukan suatu fakta bahwa antara suami isteri telah terjadi
suatu keadaan dimana selama berbulan-bulan antara keduanya tidak
69
bertegur sapa, tidak makan bersama dan tidak tidur satu ranjang, maka
seharusnya fakta seperti itu tetap diakui atau dinyatakan sebagai suatu
fakta dan fakta itu tidak perlu ditafsirkan atau disimpulkan dengan
menyatakan bahwa antara suami isteri tersebut telah terjadi suatu
percekcokan.
Adapun yang perlu ditafsirkan adalah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini isi Pasal.19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, yaitu menafsirkan kata “perselisihan
dan pertengkaran” dengan perselisihan dan pertengkaran yang tidak
berbentuk percekcokan yang nampak dilihat atau didengar oleh orang
lain, seperti pertengkaran mulut dan sebagainya karena konotasi
selama ini dinamakan perselisihan dan pertengkaran adalah
percekcokan yang nampak dilihat orang, yang mengandung suara
keras dan bahkan bisa berbentuk perkelahian fisik, jadi “perselisihan
dan pertengkaran” yang dimaksud oleh pasal tersebut adalah
mencakup juga hal-hal yang tidak nampak oleh orang dalam bentuk
pertengkaran mulut.
Dengan menafsirkan Pasal.19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor. 9 Tahun 1975 seperti itu; maka fakta atau peristiwa yang telah
ditemukan di atas telah pula ditemukan hukumnya, yaitu dengan
carapenafsiran seperti itu dan dengan demikian berarti hakim telah
menemukan hukum untuk peristiwa konkrit tersebut.
70
Darihasil penelitian dan pembahasan di atas menunjukkan bahwa
para hakim di Pengadilan Negeri Watampone dalam menemukan
hukum hanya sebatas menerapkan peraturan perundang-undangan
yang ada saja, tanpa banyak melakukan penafsiran terhadap peraturan
perundang-undangan tersebut dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa metode penemuan hukum belum diterapkan secara maksimal di
lingkungan Pengadilan Negeri Watampone dalam rangka pembuatan
suatu putusan.
Dalam melakukan penemuan hukum diantaranya yaitu :
1. Dalam mengadili suatu perkara hakim aktif untuk mengarahkan suatu
fakta agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan kalau
suatu perkara akan dikabulkan. Fakta itu diambil dan kesimpulan
para hakim dengan suatu keyakinan bahwa fakta itu telah sesuai
dengan sumber yang ada.
2. Apabila suatu ketika ada suatu fakta atau peristiwa yang sudah
sangat sulit untuk diarahkan agar sesuai dengan sumber hukum
yang ada, maka kemungkinan besar fakta itu (perkara tersebut) akan
dinyatakan diterima karena tidak berdasarkan hukum.
Walaupun dan beberapa putusan yang diteliti tidak ditemukan
adanya putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat
diterima karena tidak berdasarkan hukum, akan tetapi dan sikap
hakimyang ada, maka tidak menutup kemungkinan adanya beberapa
71
perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima lantaran adanya fakta
yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang ada.
Demikianlah gambaran peranan hakim yang sangat besar
danberat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk melihat
secaranyata kemampuan hakim dalam melakukan penemuan hukum
dalamrangka penegakan kebenaran dan keadilan dan faktor-faktor
yangmempengaruhi dalam penerapan metode penemuan hukum
dalamrangka pembuatan suatu putusan khusus di lingkungan
PengadilanNegeri Watampone sebagai berikut:
1. Hukum tertulis
2. Pengetahuan hakim
3. Pendidikan hakim
4. Responsif/kemauan hakim
Sejauhmana keempat faktor tersebut dapat mempengaruhi
pelaksanaan penemuan hukum atas perkara-perkara perdata di
Pengadilan Negeri Watampone dapat dilihat jawaban responden pada
tabel-tabel di bawah ini:
72
Tabel 7.
Jawaban Responden Tentang Keharusan Hakim Melakukan
Proses Penemuan Hukum dalam Memeriksa dan Memutuskan
Perkara Perdata yang Tidak Jelas Hukumnya
Sumber Data Olahan Data Primer, 2007
Tabel. 7 di atas menunjukkan bahwa keharusan seorang hakim
melakukan proses penemuan hukum dalam memeriksa dan
memutuskan perkara perdata yang tidak jelas hukumnya, dimana
semua responden mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
keharusan.
Tabel 8. Jawaban Responden Tentang Faktor Yang Mempengaruhi Proses
Penemuan Hukum Dalam Perkara Perdata Yang Tidak Jelas Hukumnya
Sumber Data Olahan Data Primer, 2007
73
Jawaban responden pada tabel. 8 di atas menyatakan bahwa
yang menyatakan bahwajawaban responden sebanyak 87,5% yang
menyatakan bahwa metode penemuan hukum dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 9. Jawaban Responden Tentang Pengaruh Hukum Tertulis Terhadap
Hakim Dalam Rangka Penemuan Hukum
Sumber Data: Olahan Data Primer, 2007
Jawaban responden pada tabel.9 di atas menyatakan bahwa
hukum tertulis sangat berpengaruh terhadap hakim dalam rangka
penemuan hukum pada suatu perkara perdata (100%). Bahkan
substansinya sangat berpengaruh sebagaimana jawaban responden
dalam tabel sebagai berikut:
74
Tabel 10. Jawaban Responden Tentang Hukum Tertulis Dalam Arti
Substansi Kaidah Hukum Mempengaruhi Hakim dalam Melakukan Penemuan Hukum Oleh Hakim
Sumber Data :Olahan Data Primer, 2007
Jawaban responden pada tabel.10 di atas menyatakan bahwa
hukum tertulis dalam arti substansi kaidah hukum mempengaruhi hakim
dalam melakukan penemuan hukum oleh hakim (100%).Misalnya
perkara perdata Nomor 34/Pdt.g/2005/PN.Wtp. Yang mengabulkan
gugatan penggugat dengan pertimbangan hukumnya menyatakan
bahwa objek sengketa adalah status gadai sudah melebihi 7(tujuh)
tahun lamanya maka tergugat harus dihukum mengembalikan objek
sengketa kepada penggugat tanpa tebusan, hal ini sesuai Pasal 7
PerpuNomor :56 tahun 1960. Pertimbangan hukum tersebut sangat
dipengaruhi hukum tertulis yang hanya mengarah kepada kepastian
hukum padahal bertentangan dengan asas keadilan, karena
berdasarkan Hukum Adat Sulawesi Selatan khususnya masyarakat
Watampone bahwa gadai tanah sawah harus ditebus walaupun telah
melebihi 7(tujuh) tahun lamanya, dengan pertimbangan bahwa pemberi
gadai dengan uang gadai yang diterimanya dapat dijadikan modal
usaha, sedangkan penerima gadai dapat memperoleh hasil sawah,
75
sehingga keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Selain itu
pengetahuan hakim dalam pelaksanaan penemuan hukum juga
mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini dengan
indikatornya meliputipengalaman atau keyunioran hakim (masa kerja
dibawah 8 tahun) sebagai berikut:
Tabel 11.
Jawaban Responden Tentang Pengetahuan Hakim Berpengaruh
Terhadap Penemuan Hukum oleh Hakim
Sumber Data :Olahan Data Primer, 2007
Jawaban responden pada tabel.11 di atas menyatakan bahwa
pengetahuan hakim pun berpengaruh terhadap metode penemuan
hukum (100%).Di samping itu pendidikan hakim yang berijasah Strata
Satu (S1) pun berpengaruh terhadap metode tersebut. Oleh karena dan
25 putusan perkara perdata yang diteliti, pada umumnya diperiksa,
diadili dan diputuskan oleh hakim yunior yang pengalamannya relatif
kurang (masa kerja dibawah 8 tahun) dan pendidikan formalnya masih
Strata Satu (S1), sehingga dalam pertimbangan hukumnya
memutuskan suatu perkara cenderung menggunakan metode
76
penafsiran dan menganut aliran legis, padahalterdapat beberapa
perkara yang memungkinkan diterapkan metode konstruksi hukum.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 12. Jawaban Responden Tentang Pendidikan Formal Hakim Berpengaruh Terhadap Penemuan Hukum oleh Hakim
Sumber Data :Olahan Data Primer, 2007
Jawaban responden pada tabel. 12 di atas menyatakan bahwa
pendidikan formal hakim pun berpengaruh terhadap pelaksanaan
metode penemuan hukum, dimana jawaban responden menyatakan
bahwa berpengaruh sebanyak 80 %.Misalnya, Perkara Perdata Nomor
31/Pdt.g/2005/PNmtp. Yang menolak gugatan penggugat mengenai
ganti kerugian in materiil dengan pertimbangan hukumnya bahwa
kerugian yang diakibatkan dengan pencemaran nama balk penggugat
karena dituduh menyalahgunakan dana sekolah tidak dapat diukur
kerugian secara nyata, sehingga sulit ditentukan besarnya
kerugianyang dialami secara realistis dan rasional. Pertimbangan
hukum tersebut, sangat bertentangan dengan asas keadilan karena
sebagaiakibat adanya pencemaran nama baik dapat mempengaruhi
77
kredibilitas penggugat khususnya mengenai kurangnya kepercayaan
dalam masyarakat.
Contoh lain, Perkara Perdata Nomor 24/Pdt.g/2006/PN/Wtp. yang
juga menolak gugatan penggugat mengenai ganti kerugian sebanyak
Rp. 40.000.000,-(empat puluh juta rupiah) untuk biaya pengurusan
menjadi calon pegawai negeri sipil dilingkungan Departemen
Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan hukumnya bahwa
penggugat sendiri yang membawakan atau menyerahkan uang tersebut
dirumah tergugat sehingga Majelis Hakim menilai kerugian tersebut
diakibatkan oleh penggugat sendiri. Padahal fakta yang terungkap di
persidangan pada awalnya tergugat yang menawarkan dan
menyanggupi untuk mengurus dan meluluskan penggugat untuk
menjadi calon pegawai negeri sipil.
Selanjutnya responsif/kemauan hakim berpengaruh terhadap
penemuan hukum diluar peraturan perundang-undangan yang
indikatornya yaitu adanya kecenderungan hakim pasif memutuskan
suatu perkara hanya bertujuan kepada kepastian hukum dan tunjangan
hakim relatif rendah.Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
78
Tabel 13.
Jawaban Responden Tentang Responsif/Kemauan Hakim
Berpengaruh Terhadap Penemuan Hukum Oleh Hakim
Sumber Data: Olahan Data Primer, 2007
Jawaban responden pada tabel.13 di atas menyatakan bahwa
responsif/kemauan hakim pun berpengaruh (85%) terhadap metode
penemuan hukum di Pengadilan Negeri Watampone.
Berdasarkan tabel terdahulu dan 25 putusan perkara perdata yang
diteliti dapat diketahui bahwa hanya 4% responsif/kemauan hakim
dalam melakukan penemuan hukum diluar perundang-undangan dalam
memutus suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya, sedangkan
96% hakim cenderung pasif memutus dengan tidak melakukan
penemuan hukum diluar perundang-undangan dan hanya bertujuan
kepada kepastian hukum tanpa melenturkan nilai-nilai keadilan dan
kebenaran. Misalnya perkara perdata Nomor 42/Pdt.g/2004/PN.Wtp.
yang mengabulkan gugatan penggugat berupa ganti kerugian materil,
sedangkan ganti kerugian in materil yangmenyebabkan orang cacat
akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan tidak
79
dikabulkan.Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, hakim menilai
bahwa kerugian in materil tidak dapat di ukur atau ditentukan karena
bukan merupakan kerugian nyata yang sulit di hitung secara rasional
dan realistis.Padahal jika dilakukan konstruksi hukum maka dapat
dijadikan pertimbangan keadaan atau kondisi penggugat sebelum cacat
akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan yang dilakukan oleh
terdakwa/tergugat karena kealpaannya mengakibatkan kerugian
penggugat baik secara materil maupun in materil.Kerugian materil
berupa biaya pengobatan dan perawatan, sedangkan kerugian in
materil yaitu semasa kondisi penggugat sebelum mengalami cacat
hidup dapat berpenghasilan setiap hari sesuai upah minimum propinsi
sebagai buruh bangunan untuk menghidupi din dan keluarganya,
seandainya penggugat tidak mengalami cacat hidup maka
penghasilannya dapat di hitung sampai umur produktif.Sehingga dasar
ini dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan kerugian in materil.
Dari 25 putusan perkara perdata yang diteliti dapat diketahui
bahwa hanya 1 (satu) perkara perdata yang diputus oleh hakim senior
dan berpendidikan Strata Dua (S2) melakukan penemuan hukum diluar
peraturan perundang-undangan dalam memutuskan suatu perkara
perdata yang diajukan kepadanya menggunakan metode konstruksi
hukum. Sedangkan putusan perkara perdata lainnya,diputus oleh hakim
yunior yang berpendidikan Strata Satu (Si) dengan menggunakan
metode penafsiran dan menganut aliran legis. Padahal perkara perdata
80
tersebut memungkinkan dilakukan metode konstruksi hukum.Dengan
demikian, Hakim Pengadilan Negeri Watampone belum optimal
melaksanakan penemuan hukum diluar peraturan perundang-undangan
dalam memutuskan suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya.
Sedangkan pemeriksaan perkara perdata dengan hakim tunggal
mempengaruhi hakim dalam melakukan penemuan hukum berhubung
karena minimnya hakim di Pengadilan Negeri Watampone dengan tidak
seimbangjumlah perkara yang masuk relatif besar, sehingga penetapan
penunjukan Majelis Hakim dalam memeriksa suatu perkara perdata,
maka terkadang dalam prakteknya Ketua Majelis menunjuk atau
menyerahkan kewenangan penuh kepada salah satu anggota Majelis
Hakim dengan persetujuan kedua belah pihak berperkara untuk
memeriksa perkara tersebut demi kelancaran persidangan. Adapun
indikatornya yaitu adanya keterbatasan kemampuan hakim memeriksa
perkara yang dilakukan hanya seorang hakim dan batas waktu 6
(enam) bulan perkara harus putus. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut:
81
Tabel 14. Jawaban Responden Tentang Pemeriksaan Perkara Perdata Dengan Hakim Tunggal Berpengaruh Terhadap Penemuan
Hukum Oleh Hakim
Sumber Data: Olahan Data Primer, 2007
Terlepas dan pengaruh hukum tertulis, pengetahuan hakim,
pendidikan formal dan kemauan hakim dalam melakukan penemuan
hukum diluar perundang-undangan dalam memutus suatu perkara
perdata, juga sangat dipengaruhi dalam pemeriksaan perkara perdata
yang dilakukan oleh hakim tunggal karena tidak seimbang keadaan
hakim dengan jumlah perkara yang diajukan kepadanya, sehingga
hanya memutuskan perkara perdata apa adanya atau tidak melakukan
pemeriksaan secara optimal dan bahkan terjadi kesalahanmengkualifisir
peristiwa perkara yang menyebabkan terjadi kesalahan penerapan
hukumnya. Misalnya perkara perdata Nomor 20/Pdt.g/2004/PN.Wtp.
yang menolak gugatan penggugat dengan pertimbangan bahwa
penggugat mengajukan bukti surat berupasertifikat tidak relevan
dengan objek sengketa karena objek sengketa terletak di Desa
Mulamenre’e, sedangkan sertifikat tertulis di Desa Sarikaja’e, padahal di
Desa Mulamenre’e terjadi pemekaran, sebelum pemekaran tanah
82
sengketa terletak di Desa Sarikaja’e. Maka seandainya perkara tersebut
diperiksa dengan hakim majelis maka memungkinkan terungkap fakta
hukum yang sebenarnya dan hakim tidak salah menerapkan hukum
pembuktian.Selain itu, didalam pertimbangan hukumnya dapat
mencerminkan rasa keadilan.
83
BABV
PEN UTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa hasil penelitian ini, maka
dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Hakim di Pengadilan Negeri Watampone belum optimal
melaksanakan penemuan Hukum di luar perundang-undangan dalam
memutus suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belum optimalnya pelaksanaan
metode penemuan Hukum di Pengadilan Negeri Watampone karena
dipengaruhi oleh faktor keterikatan pada hukum tertulis, faktor
pengetahuan dan pengalaman hakim, faktor pendidikan formal hakim
dan faktor responsif/kemauan hakim.
B. Saran
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan metode penemuan hukum di
Pengadilan Negeri Watampone, maka disarankan sebagai berikut:
1. Perlu adanya forum ilmiah antara praktisi hukum atau penegak
hukum bersama akademisi untuk mengkaji lebih dalam tentang
metodepenemuan hukum, sehingga dimasa datang pelaksanaannya
optimal dalam rangka supremasi hukum demi keadilan dan
84
kebenaran sebagai pilar Negara Republik Indonesia sebagai Negara
Hukum.
2. Secara berencana dan diprioritaskan agar hakim dapat
meningkatkan pengetahuan dan pendidikan formal di bidang hukum.
baik melalui diklat maupun pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Sehingga responsif/kemauan hakim pada penemuan hukum dapat
meningkat
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir, Muhammad. 1985. Hukum Acara Perdata, Alumni Bandung.
Achmad Ali. 1997. Menang Dalam Perkara Perdata. Umitoha. Ujung Pandang
__________.1990.Mengembara Di Belantara Hukum. Hasanuddin University Press. Ujung Pandang
__________..1996. Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama. Jakarta
__________.1998.Menielajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yusril Watampone, Jakarta
__________.1999.Pengadilan Dan Masyarakat. Hasanuddin Press. Ujung Pandang.
__________.1991.TeoriHukum. Unhas University Press. Ujung Pandang.
Abdul Manan. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Yayasan Al-Hikmah, Jakarta
BambangSunggono. 1997. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum. 1984. Dokumentasi Situasi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Dan Daerah Hukum Pengadilan Negeri, Departemen Kehakiman, Jakarta.
Djazuli, H.A Dan I NurolAen.2000. UshulFiqh Metodologi Hukum Islam. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harun Utuh, 1998. Ilmu Hukum, Usaha Nasional, Surabaya.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Soeroso, R, 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Moh, Nasir. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Paul Scholten. 1993. Mr. C. Asser’s Haridleiding Tot De Beoefening Van Het NederlandschBurgerlijkRechtAlgemonDeel, Diterjemahkan Oleh SitiSumarti Hartono, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
86
Ronny HariitijoSoemitro. 1994. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurmetri. Ghalia Indonesia. Jakarta
Satjipto Rahardjo.1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Haridung.
Sudikno Mertokusomo.1985. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta
__________.1993.Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
___________.1996.Penemuan Hukum Sebuah Pengaritar. Liberty. Yogyakarta
__________.1999.Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta
SuharsiiniArikunto. 1993. Prosedur Penelitian :Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta, Jakarta
Soerojo Wignyodipoero.1989. Pengantar Ilmu Hukum, Haji Masagung. Jakarta