Perkembangan Emosi Anak Taman Kanak-kanak

49
BAB I PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TAMAN KANAK-KANAK A. Pengertian Emosi Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti, 2001: 1) “emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Bigot (Suryabrata, 1984: 30) membagi emosi atau perasaan atas : 1. Perasaan Jasmaniah (rendah)

description

Perkembangan Emosi Anak TK

Transcript of Perkembangan Emosi Anak Taman Kanak-kanak

BAB I

BAB I

PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TAMAN KANAK-KANAK

A. Pengertian Emosi

Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti, 2001: 1) emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.

Bigot (Suryabrata, 1984: 30) membagi emosi atau perasaan atas :

1. Perasaan Jasmaniah (rendah)

a. Perasaan indriati, yaitu persaaan-perasaan yang berhubungan dengan perangsangan terhadap pancaindera, seperti; sdap, manis, asin, pahit, panas dan sebagainya.

b. Perasaan vital, yaitu perasan-peasaan yang berhubungan dengn keadaan kasmani pada umumnya, seperti; perasaan segar, letih, sehat, lemah, tidak berdaya, dan sebagainya

2. Perasaan Rohani

a. Perasaan intelektual, yaitu perasaan yang bersangkutan dengan kesanggupan intelek (pikiran dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

b. Perasaan kesusilaan atau perasaan etis, ialah perasaan yang berhubungan dengan baik atau buruk. Tiap orang mempunyai ukuran baik buruk sendiri-sendiri yang bersifat individual yang sering disebut norma individual.

c. Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang menyertai atau timbul karena manusia, perasaan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama manusia; untuk bergaul, saling tolong menolong, memberi dan menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya.

d. Perasaan sosial, ialah perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan untuk hidup bemasyarakat.

e. Perasaan harga diri, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu perasaan harga diri positif, misalnya perasaan puas, senang gembira, bangsa yang dialami seseorang yang mendapatkan penghargaan. Sedangkan perasaan harga diri negatif, misalnya kecewa, tidak senang, tidak berdaya kalau seseorang mendapat celaan, dimarahi, mendapatkan hukuman, dan sebagainya.

f. Perasaan keagamaan, yaitu perasaan yang bersangkut paut dengan kepercayaan seseorang tentang adanya Yang Maha Kuasa, misalnya rasa kagum akan kebesaran tuhan, rasa syukur setelah terlepas dari bahaya secara ajaib dan sebagainya.

B. Tahap-tahap Perkembangan Emosi Anak

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perkembangan emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.(Martoenoes, 1998: 55)

Secara umum Semiawan (2002: 11) membagi perkembangan anak dalam berbagai tahap, dalam uraiannya dikatakana bahwa :

Kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti : 1) fase sensoris motor berkembang pada usia 0 2 tahun. Fase ini berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik halus/panca indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan kasih sayang orang tua sangat bermakna pada fase ini. 2) fase prekonkrit operasional (usia 3 6). Pada fase ini perkembangan bahsa anak sangat pesat. 3) fase konkrit operasional berkembang pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahuhn. Pada fase ini rasa ingin tahu anak besar sekali. Anak akan sangat mudah memahami jika diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata. 4) fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan rumus, simbol, dan lain-lain.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan kemampuan anak. Pada setiap fase kesemuanya proses kesinambuangan yang saling berhubungan dan menentukan fase-fase berikutnya. Proses belajar yang berbeda, juga pengaruh gen yang dibawah menyebabkan adanya perbedaan tiap individu dalam kontesk kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang kecenderungan emosional dan tidak emosional (Kohlberg, 1995: 77).

Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada. Gejala pertamanya ialah keterangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi (Rosjidan.1996: 39). Meskipun deemikian, pada saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.

Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekoyong-koyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbuilnya tangisan dan aktivitas besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas takkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayun-ngayunnya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.

Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat sedangkan reaksi gerakan otot berkurang (Pratidarmanastiti, 1991: 66).

Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi dan juga usia pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak (Budiningsih, 1984: 33).

Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, meskipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan, taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. (Masri, 1974: 66)

C. Faktor yang mempengaruhi emosi

Hasil dari berbagai situasi menunjukkan bahwa perkembangan emosi anak bergantung sekaligus pada faktor maturasi an faktor belajar (Sunarti, 2001: 8). Maturasi dan belajar berjalin erat dalam mempengaruhi perkembangan emosi sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya.

1. Faktor Maturasi

Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dipahami, memperlihatkan rangsangan dalam jangka waktu yang telah lama, dan memutuskan ketegangan emosi dalam satu obyek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda (Ahmasi, 1990: 88).

Perkembangan kelenjer endokrin perlu untuk mematangkan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi kelenjar endokrin yang diperlukan untuk menopang rekasi fisiologi terhadap sters. Kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosional mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia lima tahun, pembesarannya melambat pada usia 5 dan usia 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi sampai anak berusia 16 tahun pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti pada saat anak lahir.

2. faktor Belajar

Ada beberapa metode yang menunjang perkembangan emosi anak, antara lain :

1) Tiral and error learning; anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.

2) Leraning by initation, belajar dengan cara meniru sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi.

3) Learning by identification, belajar dengan cara menidentifikasi diri sama dengan belajar menirukan.

4) Conditioning; dalam metode ini obyek dan situasi yang pada umumnya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi.

5) Traning; pelatihan atau belajar dengan bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi

D. Pola perkembangan emosi anak taman kanak-kanak

Emosi sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan, meskipun demikian sangat sukar mempelajari perkembangan emosi anak, karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanaya dapat diperoleh dengan cara introspeksi, sedangkan anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sangat mudah.

Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada (Suhartin R.I. 1984). Gejala utamanya ialah keterangsangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi. Meskipun demikian, pada saat bayi lahir tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.

Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang kesenangann dan ketidak senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar.

Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi perlawanan, pelemparan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.

Meskipun pola perkembangan emosi anak dapat diramalkan, tetapi terdapat variasi dan juga pemunculannya. Viriasi sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatkan usia kanak-kanak.

Dengan meningkatnya emosi anak, semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai.

E. Dampal Positif dan Negatif Perkembangan Emosi Anak TK

Perkembangan emosi anak TK, dapat bedampak positif dan negatif. Masing-masing aspek ini memiliki peluang yang sama. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan yang mendasar tentang perkembanganemosi anak agar dampak negatif dapat dieleminir.

1. Dampak Positif

Emosi apabila diarahkan dengan baik, maka akan dapat menjadikan anak tersebut dapat berkembang dengan baik. Perkembangan emosi yang baik akan mengantarkan anak tersebut dapat mengembangkan kemampuah imajinasi, intelektual dan lain sebagainya.

2. Dampak Negatif

Demikian pula perkembangan emosi anak juga dapat bedampak negatif pada perkembangan anak. Hal ini dapat menyebabkan kertelantaran emosi, seperti anak tidak cukup mendapatkan pengalaman emosional yang menyenangkan, terutama keingintahuan, kegembiraan, kebahagiaan, dan kasih sayang. Akibatnya, anak akan mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan normal, anak biasanya telambat untuk berbuat lebih baik lagi sesuai dengan umurnya, perkembangan bicara terlambat, perkembangan intelektual terlambat.

F. Emosi Anak TK

Emosi anak TK berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa karena adanya faktr maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti (2001: 11), yaitu :

1. Emosi yang kuat; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.

2. Emosi seirng kali tampak, anak sering kali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima.

3. Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang, merupakan akibat dari tiga faktor.

BAB II

PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK

A. Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK

Menurut Hurlock (Sujanto, 1996: 38) perkembangan sosial usia prasekolah berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Kemampuan anak menyesuaikan diri dalam lingkungan TK memerlukan tiga proses yaitu; 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, 3) perkembangan sosial untuk bergaul dengan baik.

B. Karakteristik Perkembangan Sosial Anak TK

Sebagaimana perubahan pada fisik dan kognitif, anak mengalami perubahan pada kepribadiannya. Terdapat beberapa macam pendekatan tentang hal ini, yaitu pendekatan psikoanalisis klasik yang meliputi pendekatan Freudian maupun neo-Freudian. Pendekatan psikoanalisis klasik ini lebih menekankan pada aspek psikoseksual seorang individu, di mana perkembangan yang terjadi digerakkan yang mempengaruhi tiga komponen kepribadian yaitu ego, id dan superego (Pudjosuwano, 1984: 56).

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan interpersonal, di mana individu dilihat sebagai suatu makhluk sosial yang dibentuk oleh lingkungan budaya dan interpersonal. Perkembangan sosial seseorang dilihat pada interaksi yang terjadi antara individu yang sedang berkembang dengan teman sebaya, orang tua, sahabat, musuh, dan masyarakat sekitar. Interaksi yang terjadi merupakan suatu pertukaran cinta, kasih sayang dan perhatian.

Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan epigenesis, di mana tahapan perkembangan yang terjadi tidak berdiri sendiri-sendiri, namun tahapan perkembangan sebelumnya menjadi fondasi bagi tahapan perkembangan berikutnya.

Menurut Snowman (Sunarti, 2001: 40) mengemukakan ciri-ciri usia prasekolah di TK meliputi 1) Umumnya anak pada usia ini memiliki teman satu atau dua sahabat, tetapi cepat tergant, 2) kelompok bermain cenderung lebih kecil, 3) Anak yang lebih muda sering kali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar, 4) pola bermain yang variatif sesuai dengan kelas sosial dan gender. 5) telah menyadari pesan jenis kelamin.

C. Pola Perkembangan Sosial Anak Tk

Aktivatas kehidupan anak pada tingkat perkembangan sosial usia prasekolah yang berlangsung antara umur lima sampai dengan enam tahun(Sujanto, 1996: 40). Kebanyakan bukan lagi dalam rumah bersama orangtua dan saudara-saudaranya, tetapi di luar rumah dengan teman sebaya dan bahkan dengan orang dewasa lainnya. Pada saat ini anak akan memasuki sekolah, oleh karena itu, hubungan sosial dengan teman sebaya makin bertambah luas.

Pada masa ini perhatian anak terhadap teman sebaya sangat tinggi. Anak sangat membutuhkan untuk diterima oleh kelompok teman sebaya, terutama kelompok yang dipandang bergengsi.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak TK

1. Fakto Pendukung

Menurut Sunarti (2001: 48) bahwa faktor pendukung perkembangan sosial usia prasekolah yaitu; 1) sifat altruistik, 2) Kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain.

a. Sifat Altruistik

Sifat altruistik adalah gejala tingkah laku di mana anak lebih cenderung mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri atau menyayangi orang lain terutama yang lemah atau binatang.

b. Kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain

Aspek penting lainnya yang dimiliki anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya adalah timbulnya kesadaran dalam memahami suasana hati orang lain. Kesadaran akan memahami orang lain ini dikuasai karena dalam diri anak telah tumbuh kemampuan untuk empati dan role taking.2. Faktor Penghambat

Menurut Sunarti (2001: 54) bahwa kecenderungan bawaan dapat menimbulkan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial. seorang anak laki-laki dengan tubuh yang kecil dan otot yang lemah tidak mampu menyesuaikan diri dalam suatu budaya yang menganggap ideal tubuh yang sempurna sperti atlit.

BAB III

PERKEMBANGAN DISIPLIN ANAK TK

A. Pengertian Disiplin

Konsep populer dari disiplin adalah sama dengan hukuman (Kanto, 1998: 7). Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang berwenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anal itu tinggal. Jika kita beranggapan demikian, maka akibatya, bahwa seorang berdisiplin yang baik adalah adalah orang yang menggunakan hukuman untuk menghalangi perilaku yang salah atau untuk mengajar anak tentang apa yang diterima dan yang tidak diterima oleh kelompok sosialnya. Pendisiplin yakin bahwa semakin sosial perilaku mereka, semakin berat hukuman yang diberikan. Cara terbaik untuk mengajar anak bersikap sesuai dengan harapan sosial, yaitu dengan membuat perilaku yang tidak disetujui, tidak menarik sehingga anak menghindarinya dan mengalihkan energinya ke perilaku yang disetujui. Mereka yang berpendirian demikian, yakin hukuman badnlah akan mencapai tujuan pendidikan.

Pendapat lain tentang disipilin menyatakan bahwa disiplin ialah orang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Anak yang berdisipilin diri dimaksudkan sebagai keteraturan perilaku berdasarkan nilai moral yang telah mempribadi dalam dirinya tanpa tekanan atau dorongan dari faktor eksternal. Menurut Gnagey (Shochib, 1998: 21) menyatakan bahwa disipilin diri anak merupakan produk disiplin. Sementara itu Madson (Shochib, 1998: 21) mengemukakan bahwa kepemilikan disiplin memerlukan proses belajar. Dan pada awal proses belajar inilah memerlukan kehadiran orangtua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara 1) melatih, 2) membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasrkan acuan moral, 3) diperlukan juga kontrol untuk mengembangkannya.

Ketiga upaya ini digunakan kontrol eksternal. Kontrol yang bersonansi demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak unutk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menci[takan dunuia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan anak.

Kontrol internal merupakan kontrol diri yang digunakan anak dalam mengarahkan perilakunya. Disiplin ini merupakan perilaku yang dapat ditertanggung jawabkan karena kontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.

Kemudian menurut Kamus Besar Indonesia (1998) mengandung arti 1 tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb) 2. Ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan, tata tertib, dsb. Dari segi etimologinya disiplin menurut Liang Gie (Martoenoes, 1998: 2) yaitu berasal dari bahasa Yunani yaoitu disciple yang mengandung makna pengikut atau penganut. Berdasarkan makna dari segi etimologi ini, disiplin diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang bergabung dalam suatu oragnisasi tunduk pada peraturan-peraturan.

B. Unsur-unsur Disiplim

1. Konsep-konsep Tentang Disiplin

Berkaitan dengan bentuk disiplin serta bagaimana proses terbentuknya, terdapat berbagai pendapat atau pandangan. S Nasution (Martonoes, 1998: 4) menyebutkan adanya dua pandangan, yaitu pandangan (pendirian) lama dan panfangan (pendirian baru (modern).

Pandangan lama mengartikan disiplin sebabai bentuk kepatuhan yang disebabkan karena adanya pengawasan atau otoritas dari pihak luar (dalam hal ini guru). Menurut pendirian lama adalah usaha untuk mengatur dan mengontrol kelakukan anak untuk mencapai tujuan pendidikan.(Maroenoes , 1998: 4). Pandangan lama atau modern diartikan bahwa disiplin bukanlah keatuhan lahiriah, bukanlah paksaan, dan bukanlah ketaatan pada otoritas untuk melaksanakan suatu perintah. Disipilin menurut pandangan modern pada dasarnya membutuhkan rasa tanggung jawab dari siswa untuk melaksanakan sesuatu yang baik berdasarkan kematangan rasa sosial.

Dalam konteks ini terdapat tiga konsepsi disiplin, yaitu, otoritar, liberal, dan kebebasan terbimbing.

1) Otoriter

Dalam hal ini memandang bahwa disiplin yang baik adalah suatu suasana di mana anak duduk dengan tenang sambil terus memperhatikan guru. Pihak yang mendisiplikan terus mengawasi secara keras, dan jika perlu menggunakan tangan besi demi tegaknya aturan-aturan kelas.

2) Liberal

Menekankan perlunya anak diberikan kebebasan sepenuuhnya dalam bertingkah laku, persoalan disiplin, dengan demiakain dipandang sebagai urusan anak, yang tidak perlu dicampuri oleh pihak laian. Menurut konsep ini setiap anak diharapkan akan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

3) Kebebasan Terbimbing

Kebebasan terbimbing berpandangan bahwa anak seyogyanya diberikan kebebasan yang tembimbing dan terkontrol. Dalam arti bahwa anak bertingkah laku bukan karena dipaksa dari luar melainkan karena keinsyafan.

2. Jenis-jenis DisiplinTerdapat tiga cara umum yang digunakan untuk mendisiplikan anak-anak.

1) Dispilin Otoriter

Dalam disiplin yang bersifa otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa, ia harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak, mengapa ia harus patuh dan kepadanya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak\

2) Displin BebasFilsafat yang mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku secara sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan peraturan, ia tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berperilaku sosial baik.

3) Displin DemokrasiPerinsip disiplin ini menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Diusakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan itu.

C. Perlunya disiplin anak TK

Setidaknya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan upaya orang tua dalam membantu anak untuk mengembangkan disiplin diri. Antara lain adalah 1) penataaan lingkungan fisik, 2) penataan lingkungan sosial, 3) penataan lingkungan pendidikan, 4) dialog-dialog keluarga

1. Penataan Lingkungan Fisik

Konteks ini dipahami bahwa penataan lingkungan fisik keluaga bertujuan untuk menyingkap nilai-nilai moral yang diapresiasikan anak terhadap bantuan yang diberikan orang tua kepada anaknya agar memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri.

Keakraban dengan nilai moral dasar juga tampak dengan adanya ruangan musola yang ditempatkan berhadapan dengan ruang keluarga, kamar makan, dapur dan dekat dekat dengan kamar mereka. Penataan ini bertujuan agar kontrol terhadap perilaku-perilaku anaknya dapat dilakukan secara fungsional. Ketersedian perangkat salat untuk masing-masing anggota keluarga, seperti Al-quran, buku-buku agama yang diperuntukkan unutk dibaca anak-anak dan buku-buku agama yang dipergunakan unutk orang tua, hiasan-hiasan dinding di musola dan di ruang keluarga yang mencerminkan nafas keagamaan, juga mempermudah terciptanya keutuhan keluarga.

Kondisi dan situasi di dalam rumah yang mencerminkan realisasi nilai moral dasar juga terlihat dengan adanya sandal untuk didalam rumah yang khusus di pergunakan untuk salat. Munculnya motifasi untuk belajar dan memiliki nilai-nilai dasar dapat diaplikasikan setia hari.

Anak-anak juga menghayati keakraban dengan nilai moral kebersihan dan keteraturan. Mereka mengatur rapi ruang tidur, menempatkan pakaian di lemari berdasarkan fungsinya, menempatkan peralatan-peralatan salat pada tempat masing-masing jika telah selesai melakukan salat, serta mengatur dan membersihkan ruangan. Perbuatan-perbuatan tersebut tetap mereka lakukan walaupun kedua orang tua tidak ada dirumah

Penataan fisik lingkungan seyogyanya yang mencerminkan nilai moral demokrasi, tampak dalam penataan dan pengaturan barang-barang scara ajek pula mereka melakukan dialog dengan anak-anak sehingga apa yang merekak lakukan diputuskan bersama. Berdasarkan keputusan tersebut, semua anggota kelurga berkewajiban unutk mematuhinya.

Fakta ini menunjukkan baha pengaturan ruang fisik dalam keluarga dapat digunakan unutk mengupayakan nilai moral demokrasi. Penghayatan anak-anak terhadap hasil tersebut dapat dibaca dari perilaku-perilaku mereka dalam menjaga kebersihan ruangan, melakukan tindak belajar, mengembangkan nilai moral dasar, serta penciptaan suasana yang tenteram dalam kelurga.

2. Penataan lingkungan sosial

Interpretasi terhadap penataan lingkungan sosial internal bertujuan menyingkap nilai-nilai yang diapresiasi anak dalam menerima bantuan orang tuanya untuk memilki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri.

Komunikasi yang efektif dengan anak disebut komunikasi dialogis. Komunikasi dialogis dilakukan dengan dialog-dialog yang penuh kehangatan dan keakraban dengan anak-anaknya. Dengan kominikasi dialogis, dunia anak dapat dibaca oleh orang tua sehingga mereka dapat menjelaskan kepada anak tujuan yang diinginkan untuk kepentingannya. Orang tua dapat menjelaskan tujuannya unutk diterima secara rasional oleh anak. Anak yang menerima secara rasional tersebut dapat mengapresiasi upaya orang tuanya.

Realitas ini menunjukkan suasana keluarga yang sangat demokratis. Suasana demokrasi dalam keluarga sebagai unsur esensi dalam kedekatan dan keakraban untuk melakukan hubungan antar anggota keluarga, merupakan persyaratan adanya dunia bersama.

Penghayatan anak-anak terhadap hal tersebut merupakan bimbingan, arahan, dan bantuan unutk semakin mendekatkan dan mengakrabkan mereka dengan nilai-nilai yang tampak dari realitas dalam perilaku kesehariannya. Mereka belajar kurang lebih 2,5 jam sehari meskipun orang tua tidak ada dirumah. Mereka serius dalam belajar dan dalam mengikuti pelajaran privat. Di samping itu, nilai rapor mereka berkisar pada urutan kesatu sampai ketiga ini merupakan prestasi yang gemilang karena mereka sekolah di sekolah pavorit.

Anak-anak semakin dekat dan akrab dengan nilai-nilai ekonomi yang disuburkan oleh kemampuan orang tua untuk melibatkan anak secara langsung dalam usaha yang di tekuni ( ibunya) pada saat anak-anak libur dan waktu luang. Pemberian uang saku dilakukan dalam satu bulan sekali. Anak diharapkan mampu mengaturnya sendiri. Masing-masing anak di beri buku tabanas dan dilatih unutk menabung di bawah pengawasan orang tua.

Anak-anak menghayati kedekatan dan keakraban dengan nilai moral ekonomi. Hal ini tampak dalam realitas perilaku kesehariannya, seperti mampu mengatur uang saku yang diberikan setiap bulan, konsistensi dalam menabung di bank, keseriusan dalam membantu ibunya untuk menggeluti usaha, dan kesadaran terhadap perilaku orang tua unutk mencari keuangan keluarga demi kepentingannya. Anak-anak merealisasikannya dengan belajar secara serius.

Interpretasi terhadap penataan lingkungan sosial eksternal bertujuan menyingkap nilai-nilai yang diapresiasikan anak dalam menerima bantuan orang tuanya untuk memiliki dan mengembangkan disiplin diri. Penataan lingkungan sosial internal dalam keluarga adalah merupakan motivasi badi anak. Mereka merasakan sebagai bantuan karena adanya suasan keakraban di antara orang tua dengan anak.

D. Dampak Displin pada anak TK

Secara umum pendididkan anak dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni pola asuh yang bersifat otoriter dan pola asuh yang bersifa demokratis. Akan tetapi yang berkaitan dengan pengembangan disiplin anak, setidaknya terdapat tiga varian yang akan dibahas pada bagian anak, yaitu, mendisiplin anak secara otoriter, mendisiplin anak secara permisif, dan mendisiplinkan anak secara demokratis.

1. Mendisipilinkan anak secara otoriter

Di masa lalu, hanya cara ini yang digunakan untuk mendisiplikan anak. Cara ini didasari keyakinan bahwa orang tua adalah orang yang mengetahui apa yang terbaik bagi anaknya dan sikap bahwa yang menghemat tongkat akan merusak anak. Menurut Matoenoes (1998: 25) bahwa :

Melalu cara ini peraturan dan pengaturan yang keras digunakan untuk tujuan membentuk perilaku yang diinginkan orang tua dan guru pada anak. Anak akan mendapat hukuman yang berat bila gagal memenuhi standar perilaku yang ditentukan oleh orang tua atau guru. Sebaliknya sedikit atau sama sekali tidak mendapat pujian jika berhasil memenuhi standar perilaku yang diharapkan.

Pengendalian perilaku anak dilakukan melalui kekuatan dari luar dalam bentuk hukuman, terutama hukuman fisik atau badan. Disiplin otoriter ini berkisar antara yang masih dikatakan wajar dengan sangat kaku.

Orang tua atau guru yang menerapkan teknik ini secara kaku, cenderung tidak mempertimbangkan usia anak. Akibat dari itu anak yang dididik dengan disipilin otoriter juga cenderung mengembangkan kepribadain yang kurang positif. Ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain terutama orang-orang yang mempunyai kekuatan besar seperti orang tua atau guru. Mereka juga sering belajar menjadi licik, tidak jujur dan cenderung tertutup. Sifat ini berkembang karena anak berusaha menghindari hukuman bila mereka menentang orang tua atau guru atau melanggar disiplin yang ditentukan oleh orang tua atau guru. Dampak lain yang ditimbulkan adalah munculnya sikap submisif (tunduk pada orang lain) dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya.

2. Mendisiplinkan anak secara permisif

Anak menjadi sulit menyesuaikan diri dan hal ini akan semakin terasa dengan usianya, yang berarti anak mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadianya. Perilakunya menjadi tidak sesuai dengan usianya, yang berarti anak mengalami hambatan da;am perkembangan kepribadiannya. Perilaku yang semakin hari semakin sulit diterima, karena tidak sesuai dengan harapan dan standar sosial yang berlaku dimasyarakatnya, menyebabkan ia sering mendapat mendapat kritikan, hukuman, kecaman, dari orang dewasa lain atau teman-temannya yang tidak bersedia memperlakukannya dengan cara permisif seperti yangdi perolehnya dari orang tua. Bahkan orang tuanya yang pada awalnya menerima perilaku anak apa adanya, semakin hari semakin merasa kewalahan dan pada akhirnya tidak mau lagi menerima perilaku anak tersebut. Dalam banyak kejadian orangtua bersikap kurang bijaksana, mereka juga tidak menyadari bahwa mereka turut andil besar dalam terbentuknya perilaku negatif anak tersebut. Tetapi setelah mereka sendiri merasa kewalahan menghadapinya, mereka tidak dapat menerima dan menuntuk anak berperilaku seperti yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya, dalam hal ini orang tua menjadi sangat tidak realistis, karena sebenarnya merasa tidak pernah mengajar anak untuk berperilaku sesuai standar sosialnya.

Anak yang dibesarkan dengan cara permisif ini cenderung berkembang menjadi anak yang ragu-ragu, cemas, kepercayaan dirinya tidak terbentuk dengan kuat dan sulit mengendalikan diri. Ambangfrustasinya rendah, tidak tahan menghadapi kekerasan dan situasi yang agak keras, selalu butuh bantuan dan dukungan mental dari orang lain, mudah menyerah dan putus asa. Namun dibalik kelemahan segi pribadinya tersebut dalm menghadapi situasi yangmenekan reaksinya menjadi sangat agresif, yang dilakukan untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

3. Mendisiplinkan anak secara demokratis

Disiplin demokratis adalah penggabungan yang baik dari cara mendisiplinkan yang otoriter dan permisif. Cara ini terbukti sebagai cara pendisiplinan yang paling baik, dan menghasilkan sikap, perilaku yang matang. Walaupun diakui sebagai cara terbaik, tetapi tidak secara otomatis menjamin bahwa semua orangtua akan menggunakannya, karena penerapannya tidaklah mudah.

Cara ini dilakukan dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran unutk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan untukmembantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu daharapkan dan yang lain tidak. Pada anak yang masih kecil, penjelasan tentang suatu peraturan atau bentuk perilaku yang dianggap salah atau benar disampaikan dalam bentuk kata-kata yangdapat dimengerti oleh anak. Tidak jaranghal tersebut diikuti pula dengan peragaan, contoh konkret atau pengalaman langsung yang dirasakan oleh anak.

Menurut Erikson (Sujanto, 1996: 65) perkembangan manusia melewati suatu proses dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah salah satu dari kekuatan dasar manusia yaitu harapan, kemauan, hasrat, kompetensi, cinta, perhatian, kesetiaan dan kebijaksanaan. Perjuangan di antara dua kutub ini meliputi proses di dalam diri individu (psikologis) dan proses di luar diri individu (sosial). Dengan demikian, perkembangan yang terjadi adalah suatu proses adaptasi aktif.

Sesuai dengan konsep anak sebagai individu, perkembangan juga merupakan suatu proses yang sifatnya menyeluruh (holistik). Maksudnya bahwa perkembangan itu terjadi tidak hanya dalam aspek yang saling terjalin (interwoven) satu sama lain. (Rohman Wahab 1999:15). Secara garis besar, proses perkembangan sosial dapat dikelompokan ke dalam tiga domain; proses biologis, kognitif, dan psikososial (Santrock dan Yussen, 1992; Seifert dan Hoffnung, 1991). Ketiga domain proses perkembangan tersebut merupakan sesuatu yang terpadu dan saling berpengaruh satu sama lain.

Proses-proses biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem saraf, struktur tulang, hormon, organ-organ indrawi, dan sejenisnya. Selain dari pada yang termasuk perkembangan biologis adalah perubahan-perubahan dalam cara menggunakan tubuh atau keterampilan motorik, perkembangan seksual, dan perubahan dalam kemampuan fisik.

Proses kognitif melibatkan perubahan-perubahan dalam kemampuan dan pola berfikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghafal sajak atau doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman, merefleksikan peran merupakan proses kognitif dalam perkembangan anak.

Perkembangan kognitif perlu dibedakan dengan perubahan dalam arti belajar. Perkembangan kognitif mengacu kepada perubahan-perubahan penting dalam pola dan kemampuan berfikir serta kemahiran berbahasa, tetapi belajar cenderung lebih terbatas pada perubahan-perubahan sebagai hasil dari pengalaman atau peristiwa yang relatif spesifik. Selain itu, perubahan-perubahan yang dipelajari seringkali dipelajari dalam waktu yang singkat, tetapi perkembangan kognitif terjadi dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan kognitif anak dan pengalaman belajar ini sangat erat kaitannya dan saling berpengaruh satu sama lain. Yaitu perkembangan kognitif anak akan menfasilitasi atau membatasi kemampuan belajar anak, sebaliknya pengalaman belajar anak akansangat menfasilitasi perkembangan kognitifnya.

Proses-proses psikososial melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek perasaan, emosi, dan kepribadian individu serta cara yang bersangkutan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian perkembangan identitas diri (self identity) dan krisis-krisis yang menyertainya serta perkembangan cara dan pola hubungan dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru-guru, dan yang lainnya dapat dikelompokkan ke dalam domain perkembangan ini. Contoh dari proses-proses, psikososial antara lain: perilaku agresif anak terhadap teman bermain, rasa percaya diri dan keberanian anak, juga perkembangan hubungan pertemanan di antara anak.

Pengelompokan aspek perkembangan anak sebagai individu menJ'adi 3 domain di atas memberikan suatu gambaran bahwa ketiga domain tersebut, proses biologis, proses kognitif, serta proses psikososial saling berpengaruh satu sama lainnya serta secara terpadu dan menyeluruh membentuk suatu karakteristik individu yang unik yang membedakan dengan individu yang lainnya.

Berkaitan dengan hal ini anak sebagai individu yang unik dapat dibedakan dengan orang dewasa dalam segala aspek bukan hanya aspek fisik saja melainkan keseluruhan aspek dalam dirinya sehingga anak bukan miniaturnya orang dewasa.

Secara fisik anak sedang mengalami pertumbuhan yang pesat sedangkan pada orang dewasa proses pertumbuhan fisik relatif tak berkembang lagi, demikian juga secara kognitif pola fikir seorang anak masih terbatas pada hal-hal yang kongkret tak seperti orang dewasa yang sudah mampu berfikir abstrak, dari segi emosional seorang anak tentunya masih bersifat egosentris sedangkan orang dewasa lebih mampu berfikir empatik dan sosial.

Pembahasan mengenai perbedaan anak sebagai pribadi yang unik akan lebih jelas bila dikaji lebih dalam mengenai bidang-bidang perbedaannya. Di dalam diri individu terdapat perbedaan dalam bermacam-macam aspek dari keseluruhan kepribadiannya. Tetapi karena tidak ada satu sifatpun yang berdiri sendiri, berfungsinya satu sifat akan mempengaruhi keseluruhan pola tingkah laku individu. Sebagai contoh, seorang anak yang telah mengetahui makna tentang kerajinan bagi dirinya dan orang lain, anak tersebut akan mempraktekan berbuat rajin di sekolah maupun di rumah

Carry (Kohlberg, 1995:317) mengkategori-kan perbedaan individual ke dalam bidang-bidang berikut:

1) Perbedaan fisik; usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, kemampuan bertindak.

2) Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, suku.

3) Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.

4) Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.

5) Perbedaan kecakapan dan kepandaian di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmasi, 1990. Pendidikan di Lingkungan Keluarga. Jawara: Surabaya

Budiningsih, C.A., 1984. Hubungan Antara Intelegensi dengan Tingkat Perkembangan Moral pada Remaja Usia 13 tahun sampai 15 tahun. Skripsi (tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi, UGM Yogyakarta.

Depdikbud. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kwalitas Sumber Daya Manusia di Daerah Sulawesi Selatan. Depdikbud : Ujung Pandang.

Hardiman, B. 1987. Pendidikan Moral sebagai Pendidikan Keadilan. Basis Andi Offset, Yogyakarta.

Kanto, Kullasse, 1998. Psikologi Perkembangan. FIP UNM

Kohlberg, L., 1995. (terjemahan). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Kanisius Yogyakarta.

Depdikbud, 1995. Kamus Besar Indonesia. Jakarta, Depdikbud

Martoenoes, dkk, 1998. Metodologi Pengembangan Agama Moral, Dosiplin dan Afektif. Program D2 PGTK PADU

Masri, A.W. 1974. Paradigma Psikologi Sosial. Jakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Jakarta.

Pratidarmanastiti, L., 1991. Perkembangan Moral Remaja Delinkuen dan Non-Delinkuen. Tesis (tidak diterbitkan). Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pudjosuwano Sayekti. 1984. Pola Asuhan dalam Hubungannnya dengan Penyesuaian Diri Anak. Bandung: Tesis pada PPS IKIP Bandung

Rosjidan.1996. Pendidikan Keluarga Indonesia Sejahtera di Tinjau dari Segi Pendidikan. Makalah. Ujung Pandang. Disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III.

Shochib, Moh, 1998. Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta. Jakarta

Soelamana, 1994. Keluarga Sebagai Pendidikan Pertama dan Utama. Surabaya: Papirus

Suhartin R.I. 1984. Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Sunarti Kustiah. 2001. Psikologi Perkembangan. FIP UNM

Suryabrata, Sumadi, 1984. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press

Semiawan Conny. R, 2002. Petunjuk Layanan dan Pembinaan Kecerdasan Anak: Sejak Pranata Sampai Dengan Usia Sekolah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.