PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/786/1/KHOMSUN...1...
Transcript of PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/786/1/KHOMSUN...1...
1
PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
Khomsun Masyhadi
221 08 021
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016
2
i
PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
Khomsun Masyhadi
221 08 021
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
vii
MOTTO
الح وال خذ على محافظة على ال صلح جديد قديم الص
Artinya: “Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru
yang lebih baik”
Tak ada yang tak mungkin, bila kita yakin
viii
PERSEMBAHAN
Dengan segala puja dan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dan atas
dukungan dan do’a dari orang-orang tercinta, akhirnya skripsi ini dapat
dirampungkan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan rasa
bangga dan bahagia saya khaturkan rasa syukur dan terimakasih saya kepada:
1. Tuhan YME, karena hanya atas izin dan karuniaNyalah maka skripsi ini dapat
dibuat dan selesai pada waktunya. Puji syukur yang tak terhingga pada Tuhan
penguasa alam yang meridhoi dan mengabulkan segala do’a.
2. Ayahanda dan Ibunda tercinta & tersayang yang telah membesarkan dan
mendidikku dengan penuh cinta dan kesabaran serta ikhlas-tulus memberikan
dukungan dan doa restunya kepada penulis.
3. Bapak dan Ibu Dosen pembimbing, penguji dan pengajar, yang selama ini
telah tulus dan ikhlas meluangkan waktunya untuk menuntun dan
mengarahkan saya, memberikan bimbingan dan pelajaran yang tiada ternilai
harganya, agar saya menjadi lebih baik.
4. Kakak-kakak saya, yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, senyum
dan do’anya untuk keberhasilan ini, cinta kalian adalah memberikan kobaran
semangat yang menggebu.
5. Teman, sahabat dan sejawat tersayang, tanpa semangat, dukungan dan bantuan
kalian semua tak kan mungkin aku sampai di sini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kalian semua, akhir kata saya
persembahkan skripsi ini untuk kalian semua, orang-orang yang saya sayangi.
Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk kemajuan ilmu
pengetahuan di masa yang akan datang, Aamiinnn.
ix
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke
jalan kebenaran dan keadilan.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi
syarata guna untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Adapun judul skripsi ini
adalah “PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI DI KELURAHAN TINGKIR LOR,
KECAMATAN TINGKIR, KOTA SALATIGA”
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.H.I., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah IAIN Salatiga
4. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah
berkenan secara ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan
pikiran dan tenaganya memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat
berguna sejak awal proses penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya
skripsi ini.
x
5. Seluruh Dosen Fakultas Syaria’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN
Salatiga yang telah berkenan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis
dan pelayanan hingga studi ini dapat selesai.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan baik moril
maupun spiritual serta yang senantiasa berkorban dan berdoa demi tercapainya
cita-cita.
7. Warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor selaku responden yang berkenan
membantu penulis dalam melakukan penelitian dalam hal wawancara.
8. Sejawat-sejawat Mapala MITAPASA, FORSA MITAPASA dan sahabat-
sahabat semua yang telah membantu memberikan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan myang berlipat ganda amien. Penulis sadar bahwa dalam
penulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnan. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya dan
memberikan sumbangan bagi pengetahuan dunia pendidikan. Amien ya robbal
‘alamien.
Salatiga, 3 Februari 2016
Yang menyatakan
Khomsun Masyhadi
NIM : 221 08 021
xi
ABSTRAK
Masyhadi, Khonsun. 2016. Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua Menurut
Perspektif Hukum Islam (Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga). Skripsi Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal
Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci: Pernikahan di Depan Jenazah dan Perspektif Hukum Islam.
Penelitian tentang terjadinya pelaksanaan akad nikah di depan jenazah
yang terjadi di warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota
Salatiga adalah ditujukan kepada warga masyarakat yang posisinya melakukan
proses akad nikah (pernikahan) di depan jenazah orang tuanya. Adapun
permasalahan yang akan dikaji yakni: bagaimana pelaksanaan akad nikah di
depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga? bagaimana landasan pernikahan di depan jenazah orang
tua yang dilakukan di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?
dan apakah pelaksanaan akad nikah di depan jenazah sudah sesuai dengan Hukum
Islam?
Adapun hasil penelitian dapat dipaparkan peneliti, sebagai berikut:
Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tetap berpegang teguh pada syar’i
dalam artian mereka tidak meninggalkan syarat-syarat yang ditentukan oleh para
ahli fiqh. Hal ini, terlihat dengan adanya ijab dan qabul yang tetap
dilaksanakan oleh masyarakat serta terpenuhinya syarat dan rukun nikah sesuai
ajaran Islam. Pernikahan tersebut telah mendapat ijin dari KUA Tingkir meskipun
hanya via telepon. Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak
ditemukan adanya penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah dalam
pelaksanaan akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali
maupun saksi.
Adapun alasan yang mendasar dilaksanakan akad nikah di depan
jenazah orang tua adalah sebagai bentuk bakti terakhir anak terhadap orang tua;
ada amanah atau pesan terakhir/wasiat almarhum untuk menikahkan anaknya
sebelum meninggal dunia dengan mendasarkan pada kaidah ushul fiqih yakni
riwayat rasulullah shallallahu ‘alaihu wasallam bersabda: “Wahai Ali, ada tiga
perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya,
jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang
sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan). Sedangkan dari sisi normatifnya
masyarakat setempat tidak pernah merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi
pelakunya. Yang menjadi landasan adalah kaidah yang mengatakan bahwa “Tidak
dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan (zaman).”
Pernikahan di depan jenazah orang tua, hukumnya mubah (boleh
dilakukan karena dalam pelaksanaan tersebut seperti halnya pernikahan dalam
Islam, yaitu rukun dan syarat sah pernikahan terpenuhi).
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN BERLOGO ................................................................................. ii
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 5
E. Penegasan Istilah .................................................................. 6
F. Telaah Pustaka ..................................................................... 8
G. Kerangka Teoritik ................................................................ 12
H. Metode Penelitian ................................................................ 13
I. Sistematika Penulisan .......................................................... 18
xiii
BAB II KAJIAN PUSAKA
A. Pernikahan ........................................................................... 19
1. Definisi Nikah................................................................ 19
2. Dasar Hukum Pernikahan .............................................. 21
3. Hukum Pernikahan ........................................................ 22
B. Akad Nikah .......................................................................... 24
1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukum.................... 24
2. Syarat dan Rukun Akad Nikah ...................................... 26
C. Bentuk-bentuk Nikah Terlarang Dalam Islam ..................... 28
D. Teori-teori Ushul Fiqh Dalam Hukum Islam ....................... 36
E. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul-Fiqh dan Fiqh ............. 37
F. Adat Istiadat (‘urf) Dalam Perspektif Hukum Islam ........... 41
G. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan di
Depan Jenazah Orang Tua ................................................... 47
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kelurahan Tingkir Lor ........................... 50
B. Penyajian Data ..................................................................... 63
1. Pelaksanaan Akad Nikah di Depan Jenazah Orang
Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga.................................................................. 63
2. Faktor-faktor Terjadinya Pernikahan di Depan
Jenazah Orang Tua di Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga ................................. 70
3. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan di
Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan Tingkir
Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga ......................... 72
xiv
BAB IV ANALISIS DATA
A. Pelaksanaan Akad Nikah Depan Jenazah Orang Tua di
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga .................................................................................. 76
B. Faktor Terjadinya Pernikahan Depan Jenazah Orang
Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga ........................................................................ 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 92
B. Saran ....................................................................................... 94
C. Penutup ................................................................................... 95
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk ...................................................................... 54
Tabel 3.2 Data Penduduk Menurut Agama ........................................................ 55
Tabel 3.3 Data Tingkat Pendidikan Terakhir ..................................................... 55
Tabel 3.4 Susunan Pengurus LPMK Periode Tahun 2015-2018 ....................... 57
Tabel 3.5 Data Kepengurusan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga
(RT) Kelurahan Tingkir Lor .............................................................. 58
Tabel 3.6 Susunan Pengurus Tim Penggerak PKK Kelurahan Tingkir Lor
Masa Bakti Tahun 2013-2016 ............................................................ 60
Tabel 3.7 Data Mata Pencaharian ...................................................................... 62
Tabel 3.8 Daftar Nama Masjid dan Mushola ..................................................... 63
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunatullah yang bersifat umum dan berlaku
bagi semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Agar manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak
nafsunya seperti binatang, bebas bergaul dengan lawan jenisnya, maka
diperlukan adanya ketentuan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang dikenal dengan istilah pernikahan.
Terkait dengan persoalan pernikahan, setiap masyarakat pasti memiliki
adat istiadat dan budaya masing-masing, salah satunya adalah adat istiadat
dalam sebuah pernikahan. Hal ini tergambar jelas dalam prosesi
pelaksanaan pernikahan yang terdiri dari beberapa aturan yang harus
dilaksanakan. Akan tetapi dalam perkembangannya pelaksanaan prosesi
pernikahan adat banyak menimbulkan berbagai macam persoalan.
Misalnya seperti pada prosesi pelaksanaan pernikahan yang dilakukan
masyarakat Jawa pada umumnya, dimana dalam prosesi pernikahan
masyarakat Jawa disuguhi oleh adat-istiadat yang menimbulkan beragam
kontroversi di masyarakat. Salah satu contohnya adalah pernikahan mayit
(http://glesyer.wordpress.com/2010/07/13/hukum-nikah-di-depan-jenazah/diakses
pada 9 februari 2016, jam 19.00 WIB).
Pernikahan mayit adalah sebuah tradisi pernikahan adat dalam
suatu masyarakat tertentu, biasanya model pernikahan adat ini dilakukan
sebelum mayat dikebumikan dan proses pelaksanaan pernikahan ini dilakukan
di dekat jenazah. Akad nikah di depan mayat terjadi apabila seorang laki-laki
2
yang telah melakukan peminangan kepada seorang gadis dan menentukan hari
dan tanggal pernikahan (perjanjian pernikahan), namun sebelum hari dan
tanggal tersebut tiba, orang tua dari pihak laki-laki meninggal dunia. Adapun
alasan tentang pelaksanaan prosesi pernikahan di dekat jenazah adalah
sebagai bentuk bakti terakhir anak terhadap orang tua.
Model pernikahan di depan jenazah ini hingga sekarang masih
dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir Kota Salatiga yang masih memegang kuat tradisi tersebut.
Pernikahan di depan jenazah ini terlaksana apabila terjadi sebuah peristiwa
yang menurut orang Jawa bilang adalah peristiwa Kerubuhan Gunung.
Istilah ini diperuntukkan kepada pasangan yang telah melakukan
pertunangan dan sudah bertekad bulat akan melangsungkan pernikahan
pada waktu yang telah ditentukan, namun ternyata dalam waktu yang (relatif)
bersamaan ada anggota keluarga yang meninggal dalam hal ini orang tua
(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/diakses pada 9 Februari 2016).
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan bahwa masyarakat
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, mayoritas
beragama Islam sehingga sistem pernikahan seharusnya menurut Islam.
Namun dalam kenyataannya masih banyak yang tidak melakukan pernikahan
secara Islam, tetapi masih banyak yang mengikuti dan mentaati sistem
pernikahan adat. Nikah di depan mayat di atas dari berbagai segi
terdapat perbedaan dengan sistem pernikahan Islam. Apabila pernikahan
tersebut sudah terjadi, maka kedua mempelai yang akan menikah melakukan
beberapa serangkaian tata cara pernikahan, seperti: 1) melaksanakan Ijab
3
Kabul sebagaimana yang telah direncanakan semula. Hal ini dikarenakan
pemahaman dan keyakinan terhadap sebuah adat istiadat yang berbeda.
2) Mengundur waktu pernikahan hingga ganti tahun. Meski waktu pernikahan
sudah ditentukan oleh pihak yang bersangkutan, apabila hal tersebut
dihadapkan dengan peristiwa di atas, maka sebagian masyarakat ada yang
mengambil langkah untuk menunda pernikahan hingga berganti tahun
menurut kalender Jawa. 3) Memutuskan pertunangan untuk sementara
waktu. Hal ini dilakukan ketika Kerubuhan Gunung diikat kembali setelah
40 hari atau setelah satu tahun kematian. 4) Menyelenggerakan pernikahan
sebelum jenazah orang tua yang bersangkutan dikebumikan.
Pernikahan di depan jenazah menimbulkan kontradiksi dalam
pelaksanaannya dengan hukum pernikahan Islam, di mana jenazah yang
identik dengan kematian dan berkaitan dengan kesedihan, sementara
pernikahan itu mempunyai hubungan erat dengan kebahagiaan tidak
seharusnya disatukan (http://tausyiah275.blogsome.com/2009/08/11/menikah-
di-depan-jenazah-ajaran-siapa-itu/diakses pada, Minggu 1 Februari 2016, jam
16.30 WIB). Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang selalu
memposisikan pernikahan itu dengan kebahagiaan. Bahkan sampai beliau
memerintahkan agar dihidangkan makanan pertanda berlangsungnya hingga
diperbolehkannya nyanyian dengan alat pukul. Semua itu memberi isyarat
bahwa pernikahan itu adalah kegembiraan bukan kesedihan. Selain itu, tradisi
ini juga bersinggungan dengan perintah agama perihal kematian, yaitu
4
ketika ada yang meninggal dunia hendaknya menyegerakan mengurus dan
mengubur jenazah, sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:
أسرعوا بالنازة فإن تك صالة : عن النبي ص: قال عن أبي هريرة, ضي الله عنه,مون ها وإن يك سوى ذلك فشر تضعونه عن رقابكم ر ت قد فخي
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW
bersabda: percepatlah pengurusan jenazah. Jika dia orang
yang baik, maka segera kau antarkan pada kebaikan/kenikmatan,
dan jika dia orang yang tidak baik, maka segera kau
hindarkan kejelekan itu darimu. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, nomor hadits 1315(Al-Mundziri, 2001:267).
Melihat adanya kontradiksi dari pelaksanaan pernikahan di depan
jenazah, perlu kiranya tradisi tersebut ditelaah kembali dengan menggunakan
kaidah (العادةمحكمة) agar tradisi tersebut nantinya dapat dikategorikan ke
dalam adat shahih yang patut dilestarikan keberadaannya dan dijadikan
sebuah pertimbangan hukum atau adat fasid yang harus dieliminasi karena
kemafsadatannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong mengkaji lebih
lanjut tentang “PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” (Studi di Kelurahan Tingkir
Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga)
B. Fokus Penelitian
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka perlu kiranya bagi
peneliti untuk membuat sebuah rumusan masalah yang nantinya dapat
memudahkan peneliti dalam melakukan kajian atau penelitian terhadap
5
kasus tersebut. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum
dapat dirinci, sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang
terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?
2. Bagaimana landasan pernikahan di depan jenazah orang tua yang dilakukan
di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah
orang tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mencapai hasil yang baik, maka peneliti menetapkan tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan penelitian, untuk memperoleh gambaran
secara mendalam tentang:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad nikah di depan jenazah yang
terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
2. Untuk mengetahui landasan pernikahan di depan jenazah di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
3. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan
jenazah orang tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis
maupun praktis, antara lain:
6
1. Manfaat teoritis
a) Penelitian ini semoga dapat memberikan konstribusi positif bagi para
akademisi khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pernikahan di dekat jenazah orang tua dalam perspektif hukum Islam.
b) Diharapkan dalam penelitian ini mampu memberikan bahan masukan
untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini
dan sekaligus dapat mencari serta menemukan solusinya.
2. Manfaat praktis
a) Diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang
berkeinginan untuk mengetahui bagaimana tradisi pernikahan di dekat
jenazah orang tuanya.
b) Diharapkan mampu memberikan khazanah pengetahuan khususnya
bagi peneliti secara pribadi dan masyarakat luas pada umumnya
mengenai nilai-nilai Islam, tradisi dan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam penulisan skripsi ini, perlu
penulis jelaskan mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam judul di atas.
Istilah-istilah tersebut adalah :
1. Pernikahan di Depan Jenazah
Pernikahan adalah suatu ibadah dan suatu perjanjian suci yang
kuat dan kokoh untuk hidup bersama yaitu, di antara seorang lelaki
dengan seorang wanita, secara sah menurut agama Islam dan
7
membentuk sebuah keluarga yang kasih-mengasihi, yang lebih tepat
sebuah keluarga “sakinah mawaddah wa rahmah” yang diidamkan
sebuah keluarga.
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seseorang
laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahrom
(Rasjid,tanpa tahun:374). Oleh karena itu, dalam pernikahan ini sangat
memerlukan kepastian hukum, yang mana telah diatur dalam agama
Islam dan juga Undang-undang Keluarga. Dalam hal ini terjadinya
suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah
diadakan alat-alat buktinya, sebagai suatu kemaslahatan yang akan
datang, jika terjadi sesuatu perkara yang tidak diinginkan.
Selain itu, pernikahan adalah salah satu peristiwa yang sangat
penting dan suatu sejarah dalam kehidupan masyarakat, sebab
pernikahan itu tidak hanya menyangkut wanita dan lelaki bakal
mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, sudara-
saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak
mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena
satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan
hidup.
Pernikahan di depan jenazah adalah merupakan tradisi pernikahan
atau akad nikah yang dilakukan di dekat jenazah (orang tua mempelai),
dan pernikahan ini biasanya dilakukan sebelum mayat dikebumikan.
8
2. Perspektif Hukum Islam
a. Perspektif
Yaitu gambaran suatu hal yang tidak dapat kita temukan dalam hal ini
kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari diambil dari
kebiasaan/tradisi.
b. Hukum Islam
Definisi hukum Islam adalah batasan-batasan yang diberikan
terhadap hukum Islam untuk mendapatkan pengertian mengenai
hukum Islam. Definisi hukum Islam pada umumnya disamakan
dengan syariat Islam, dalam hal ini biasa disebut syariat. Secara
etimologi, syariat berarti jalan, sedangkan dari segi bahasa syariat bisa
bermakna sebagai hukum yang diadakan oleh Allah SWT.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan
pernikahan di depan jenazah orang tua menurut perspektif hukum Islam
adalah tinjauan hukum positif dalam hal ini hukum Islam terhadap adanya
prosesi akad nikah yang dilakukan di dekat jenazah (orang tua mempelai) dan
pernikahan ini biasanya dilakukan sebelum mayat dikebumikan.
F. Telaah Pustaka
Hal yang membedakan studi ini berbeda adalah berusaha mengupas
mengenai pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua, alasan
dilakukannya pernikahan di depan jenazah orang tua serta pandangan hukum
Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua yang terjadi di
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
9
Penelitian serupa telah dilakukan Siti Aminah (2007) Mahasiswa
Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim dengan judul “Tradisi Kawin Mayit” studi tentang pandangan tokoh
masyarakat di Kecamatan Lumajang Kabupaten Lumajang. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini tergolong
penelitian studi kasus (case study), adapun sifat dari penelitian ini adalah
deskriptif. Sedangkan pengumpulan data, peneliti menggunakan
pendekatan observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Siti Aminah adalah bahwa para tokoh
masyarakat di Kecamatan Lumajang berbeda pendapat seputar tradisi
kawin mayit tersebut. Golongan pertama, setuju dengan pelaksanaan tradisi
kawin mayit selama rukun dan syarat sah perkawinan terpenuhi. Golongan
kedua, tidak setuju dengan pelaksanaan tradisi kawin mayit karena
selain pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Golongan ketiga,
pelaksanaan tradisi kawin mayit tergantung situasi dan kondisi dalam
masyarakat. Jadi apabila pelaksanaan tradisi tersebut lebih banyak sisi
negatifnya dari pada sisi positifnya, maka lebih baik tradisi tersebut untuk
tidak dilakukan. Begitupula sebaliknya.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Suharti (2008) Mahasiswa
Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim dengan judul “Tradisi Kaboro Co’i Pada Perkawinan Masyarakat
Bima Perspekktif ‘urf di Kecamatan Monta Kabupaten Bima”. Metode
10
penelitian yang digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dan sifat penelitiannya adalah
deskriptif, sedangkan pengumpulan datanya adalah dengan menggunakan
observasi, interview dan dokumentasi. Kemudian data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Dalam penelitiannya
diperoleh sebuah kesimpulan bahwa tradisi Kaboro Co’i yaitu faktor
pertama adalah faktor kekeluargaan/kekerabatan dan faktor kedua karena
faktor adat kebiasaan yang merupakan warisan budaya dan menjadi jati
diri sang Bima serta disepakati untuk menjadi dasar pemerintahan kerajaan
Bima. Tradisi Kaboro Co’i pada kaedah yang menegaskan bahwa peraturan
yang terlarang secara adat adalah sama saja terlarang secara hakiki. Dan di
sana juga ada saling keterkaitan antar keduanya (Tradisi Kaboro Co’i) sama
menjadi sesuatu yang telah diterima dan ditetapkan oleh masyarakat secara
umum sebagai suatu peraturan dan ketentuan yang wajib dilakukan.
Dari penelitian di atas hampir sama kajiannya dengan penelitian
yang akan kami teliti yakni tentang kedudukan sebuah tradisi perkawinan
adat dalam tinjauan hukum perkawinan Islam dan kaidah Al-Adatu
Muhakkamat, namun penelitian yang akan dilakukan peneliti akan difokuskan
pada pernikahan di depan jenazah orang tua menurut perspektif hukum Islam.
Jadi hukum pernikahan Islam dan kaidah Al-Adatu Muhakkamat dijadikan
pisau analisa untuk mengkritisi keberadaan tradisi tersebut dan membedah
status hukum dari pernikahan di depan jenazah orang tua yang hingga saat
ini masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat. Tinjauan seperti inilah yang
11
membedakan judul skripsi ini dengan judul skripsi yang pernah ditulis
sebelumnya. Dengan adanya beberapa perbedaan ini, peneliti menganggap
cukup untuk membuktikan orisinilitas skripsi ini.
Dengan demikian, penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tema
tentang “Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua” benar-benar belum pernah
dikaji dalam bentuk kajian ilmiah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
meneliti dan mengangkat kasus tentang “pernikahan di depan jenazah orang
tua menurut perspektif hukum Islam yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.” dalam bentuk skripsi.
Perlu penulis tegaskan, bahwa permasalahan yang penulis teliti ini
belum pernah diteliti, akan tetapi perspektif atau tinjauan yang digunakan
berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Di sini, penulis mencoba
meneliti lebih dalam dengan mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu
mengadakan penelitian di lingkungan Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga. Lokasi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
memiliki perbedaan secara geografis, historis dan budaya pada lingkungan
masyarakat.
Perbedaan yang lain adalah terletak pada obyek penelitiannya,
penelitian ini membatasi dengan ketentuan yang berbeda. Responden dalam
penelitian ini adalah masyarakat dan pelaku pernikahan di depan jenazah
orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga.
12
G. Kerangka Teoritik
Pernikahan merupakan fenomena yang umum dan lazim terjadi dalam
masyarakat. Tetapi fenomena ini menjadi menarik ketika dihadapkan pada
suatu kasus tertentu, misalnya kasus seperti yang penulis teliti di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yaitu pernikahan di depan
jenazah orang tua. Meskipun persoalan ini sangat menarik, namun
berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan belum ada buku-buku yang
mengangkat dan mengkaji tentang “pernikahan di depan jenazah orang tua”.
Pernikahan di depan mayat adalah salah satu bentuk tradisi atau adat kebiasan
(‘urf) yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh kelompok masyarakat
tertentu. Mengingat penelitian ini adalah studi kasus terhadap adat kebiasan
(‘urf), maka secara otomatis yang menjadi acuan umum atau landasan teori
dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan tentang nikah dan adat-
kebiasaan (‘urf).
Ajaran Islam menegaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah,
apabila perkawinan itu dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan
rukunnya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam.
Sedangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab
I, pasal 2, ayat (2), disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, 1990:1).
Syarat dan rukun akad nikah merupakan dasar bagi suatu perkawinan,
yang mana jika syarat dan rukun tersebut terpenuhi, maka perkawinan menjadi
13
sah dan sebaliknya jika syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka
perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak ada. Syarat dan rukun dalam
akad nikah adalah sesuatu yang berbeda. Syarat adalah sesuatu yang harus ada
dalam suatu perkawinan namun di luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah
sesuatu yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian
dari rukun nikah merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu,
persyaratan nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain,
persyaratan nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah.
Akad nikah merupakan hal yang mutlak atau harus dilakukan dalam
suatu perkawinan. Akan tetapi tidak semua akad nikah dapat dianggap benar
menurut hukum perkawinan Islam. Akad nikah baru dianggap benar dan sah
jika memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan oleh syari’at Islam. Namun
begitu dalam hal-hal tertentu masih terdapat perbedaan pendapat di antara
para ulama fiqh. Mengenai sahnya nikah para ulama mazhab sepakat bahwa
pernikahan dianggap sah apabila dilakukan dengan akad, yang meliputi ijab
dan qabul antara perempuan yang dilamar (wakil atau wali) dengan lelaki
yang melamarnya atau wakilnya (Mughniyah, 2002:309).
H. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan pendekatan sosiologis. Pendekatan normatif yaitu cara
mendekati masalah yang sedang diteliti apakah sesuatu itu baik/buruk,
benar/salah berdasarkan norma yang berlaku (Sumitro, 1990:54).
14
Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat
fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk
memahami hukum yang berlaku di masyarakat. (Soekanto,1988:4-5)
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (field research)
yaitu suatu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna mengadakan
penelitian pada obyek yang dibahas (Erna W. Muchtar, 2000:79).
Tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku dan tindakan (Moleong, 2007:6)
2. Subjek Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian
penulis menggunakan subyek penelitian berupa populasi (Arikunto,
1997:115). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah warga
masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
Yang akan diteliti adalah warga masyarakat yang posisinya melakukan
proses akad nikah (pernikahan) di dekat jenazah orang tuanya.
3. Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk menperoleh beberapa jenis data
dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad, 1990:174).
Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai
pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah
warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota
Salatiga. Untuk mendapatkan data mengenai realita terjadinya
pernikahan di dekat jenazah orang tuanya.
15
b. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa catatan, data
monografi Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga,
jumlah warga yang pernah melakukan pernikahan di dekat jenazah
orang tua dan lain sebagainya. Metode ini digunakan sebagai salah
satu pelengkap dalam memperoleh data.
c. Studi pustaka
Yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis, berupa:
catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya (Amirin,
1990:135).
4. Analisis Data
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka
dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai
sumber yaitu wawancara, dokumentasi dan data yang diperoleh dari
pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh
dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok
serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam hal
ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut:
a. Deduktif
Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam
suatu kelas antar jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang
termasuk dalam kelas/jenis itu. Dalam arti apa yang berlaku pada suatu
yang bersifat umum berlaku juga pada sesuatu yang sejenis (Hadi,
1991:42).
16
b. Komparatif
Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisis
perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu
pengertian/kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada
hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara
suatu faktor dengan faktor yang lain (Surachmad, 1978:135).
c. Kualitatif
Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2002:45).
Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga
komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses
siklus.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 yakni:
a. Sumber data primer
Yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang
baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui
maupun mengenai suatu gagasan/ide, mencakup undang-undang, buku,
disertasi/tesis dll (Soekanto & Namudji, 1985:13).
Sumber data primer yang dipakai dalam penulisan ini adalah
penjelasan yang didapat dari wawancara terhadap warga masyarakat
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga tentang
pernikahan di dekat jenazah orang tuanya.
17
b. Sumber data sekunder
Yakni bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, antara lain rancangan undang-undang, hasil
penelitian, yurisprudensi, dll (Soekanto & Namudji, 1985:13).
Data-data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah
Kompilasi Hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang pernikahan di dekat jenazah orang tuanya.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Setelah terkumpulnya data-data yang telah diperoleh dari buku dan
dokumen maupun data dari lapangan, maka peneliti melakukan
pengecekan data yaitu dengan cara mengadakan perbandingan antara buku
dengan buku, buku dengan wawancara atau sebaliknya maupun
wawancara dengan wawancara. Tujuannya ialah untuk mendapatkan
kevalidan data dan meminimalkan resiko kekeliruan.
7. Tahap-Tahap Penelitian
Sebelum penelitian dilakukan penulis mencari tema yang hendak
diteliti dan mengumpulkan data-data berupa dokumen yang diperlukan
untuk dipelajari. Kemudian mengembangkannya menjadi suatu
permasalahan yang menarik untuk diteliti. Dengan bermodalkan data yang
ada, dilanjutkan dengan observasi dan wawancara di lapangan yang
bertujuan mensinkronkan data yang ada dengan fakta yang terjadi di
lapangan. Setelah data dokumen dan data lapangan terkumpul maka
dilanjutkan dengan penyusunan hasil penelitian yang telah dilakukan
untuk menjadi sebuah karya tulis/skripsi.
18
I. Sistematika Pembahasan
Secara umum dalam penulisan skripsi ini terbagi dari beberapa bagian
pembahasan teoritis dan pembahasan empiris dari dua pokok pembahsan
tersebut kemudian penulis jabarkan menjadi lima bab. Adapun perinciannya,
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, penegasan istilah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka tentang Pernikahan meliputi; tentang pengertian
pernikahan, dasar dan hukum pernikahan, larangan melakukan pernikahan.
Akad Nikah meliputi; tentang akad nikah dan dasar hukumnya, syarat dan
rukun akad nikah, bentuk-bentuk nikah yang terlarang, teori ushul fiqh,
pandangan ulama.
Bab III Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang warga masyarakat
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; pelaksanaan akad
nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; faktor-faktor terjadinya pernikahan di
depan jenazah orang tua, pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di
depan jenazah orang tua.
Bab IV Analisis Data, berisi tentang pelaksanaan akad nikah di
depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga; faktor terjadinya pernikahan di depan jenazah orang
tua, pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua.
Bab V Penutup, berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah
dibahas, saran-saran.
19
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Definisi Nikah
Pernikahan menurut istilah Ilmu Fiqh dipakai perkataan ” نكح”
dan perkataan “ نكح ” .”زوج” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya
dan arti kiasan, arti yang sebenarnya dari “nikah” ialah “ ضم” yang
berarti mengumpulkan, memegang, mengenggam, menyatukan,
menggambungkan, menyandarkan, merangkul (Munawwir, 1984:887).
Sedangkan “ المع” yang berarti mengumpulkan, menghimpun,
menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun (Munawwir,
1984:225). Sedangkan arti kiasannya ialah “ الوطء” yang berarti berjalan
di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli
dan bersetubuh atau bersenggama (Munawwir, 1984:1671-1672).
Pernikahan atau lebih dikenali ialah Nikah dari segi bahasa ialah bersatu
dan berkumpul. Kata setengah orang Arab: “Pokok-pokok itu bernikah”, Ia
bermaksud pokok-pokok itu condong dan berhimpun rapat di antara satu
sama lain.
20
Dari segi syara’, nikah adalah satu akad yang menghalalkan
istimta’ (bersetubuh/bersenang-senang ) di antara suami istri dengan cara
yang dibenarkan oleh syara’. Ia dinamakan nikah karena ia mengumpulkan
dua manusia dan menyatukan di antara satu sama lain. Orang Arab
menggunakan perkataan nikah dengan makna akad, juga dengan makna
persetubuhan serta bersenang-senang.
Walaupun begitu makna hakiki bagi kalimat nikah ialah akad
dan makna simboliknya (majaz) ialah persetubuhan. Al-Quran secara
umumnya menggunakan perkataan nikah dengan makna akad dan bukan
persetubuhan (Al-Khin dan Al-Bugho, 2005:725). Firman Allah SWT :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak
wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian
untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik- baiknya (QS. Al-Ahzāb 33: 49)
Kalimat menikahi perempuan yang beriman dalam ayat atas bermaksud
kamu mengadakan pernikahan dengan perempuan yang beriman. Ini
perpanduan firman Allah selepas itu yang bermaksud: “kemudian kamu
ceraikan dia sebelum kamu menyentuhnya”, maksud menyentuh ialah
menyetubuhinya (Al-Khin dan Al-Bugho, 2005:726).
21
Makna hakiki nikah dalam syariat menurut fukaha’, yakni
penggunaan makna hakiki nikah sebagai akad dan makna kiasannya
sebagai bersetubuh. Meskipun kedua makna ini disebutkan dalam
Al-Qur’an disebabkan karena nikah lebih sering digunakan dalam
makna akad dan bukan pada bersetubuh. Sebagian fukaha mengatakan,
ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal
ini menunjukan makna kiasannya adalah bersetubuh. Karena itu,
makna hakikat nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya
adalah bersetubuh (Jannati, 2007:301- 302).
2. Dasar Hukum Pernikahan
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum 30:21)
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?”(QS. Al-Nahl 16:72)
22
Selain dari Al-Qur’an, terdapat banyak hadits dari Rasulullah
SAW yang menjelaskan lebih lanjut tentang pernikahan dalam Islam
berbunyi:
“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw
bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang
telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah
menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara
kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin
berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR.
Muslim)
3. Hukum Pernikahan
Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, Islam sangat menganjurkan
kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan
pernikahan serta tujuan dari pernikahan, maka melaksanakan suatu
pernikahan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh
ataupun Mubah (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).
a. Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan
perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus
dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu
tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan
agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri
23
kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang
wajibnya dia kawin. Allah berfirman :
“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga
dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan
karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda
Rasulullah saw, kepada kami : Hai golongan orang-orang
muda! Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia
berkawin, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan
mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak
mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri
bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).
b. Sunnah
Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi
mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina,
maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun
diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta
sedikitpun tidak dibenarkan Islam.
Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa
Rasulullah bersabda :“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara
kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada
kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).
c. Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan
batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia
kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu
membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-
hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang
24
menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya
ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah :
195). (Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 :
36)
d. Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak
mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri,
karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat.
Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari
melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
e. Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
B. Akad Nikah
1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukum
Akad Nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Istilah
akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata عقد yang jamaknya عقود
mempunyai arti “perjanjian”, “pertalian” atau “kontrak” (Warson, tanpa
tahun:1023). Kata nikah berarti “pernikahan” atau “perjodohan”. Jadi
akad nikah ialah “pernyataan sepakat (perjanjian) pernikahan. Sedangkan
25
menurut istilah Akad Nikah adalah pernyataan sepakat (perjanjian) dari
pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk mengikatkan diri
mereka dengan tali pernikahan (Mufa’at, 1992:101).
Kata-kata yang berisi pernyataan ikatan dalam suatu pernikahan,
dalam ilmu fiqh disebut sighat akad nikah. Sighat akad nikah merupakan
formulasi kehendak yang dinyatakan untuk mengadakan perikatan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang membuat akad, baik melalui lisan,
tulisan, maupun dalam bentuk isyarat. Dalam menyatakan kehendak yang
melalui ucapan diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
pernyataan pihak pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang
mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri. Sedang qabul adalah
pernyataan pihak kedua setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya
untuk mengikatkan diri (Dahlan, 1997:64).
Sementara itu Muhammad Husain al-Zahabi (tanpa tahun:50)
mengartikan ijab dengan suatu ungkapan atau pernyataan awal dari salah
satu orang yang membuat akad yang menunjukkan kemauan atau kerelaan
untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan. Sedangkan qabul adalah
ungkapan atau pernyataan dari orang kedua yang menunjukkan arti
penerimaan atau kerelaan dengan yang diungkapkan oleh orang yang
membuat ijab.
Selain dari pengertian-pengertian akad nikah tersebut, dalam
Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa Akad Nikah merupakan
rangkaian ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi
(Saekan dan Effendi, 1997:75).
26
Adapun yang menjadi dasar disyari’atkannya akad nikah adalah
QS. An-Nisa` ayat 21:
Artinya: “bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” (Departemen
Agama RI, 1994:120).
Di samping itu, karena akad nikah merupakan salah satu bentuk dari
perjanjian yang menuntut untuk dipenuhi, maka keberadaan akad
nikah dapat juga didasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 1, sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada
Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam
pergaulan sesamanya). Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Departemen Agama
RI, 1994:156).
2. Syarat dan Rukun Akad Nikah
Menurut Islam suatu pernikahan dianggap sah, apabila pernikahan
itu dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam hukum pernikahan Islam. Menurut
Undang-undang Pernikahan Bab I, pasal 2, ayat (2), disebutkan bahwa
27
pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu (UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974
tentang pernikahan, 1990:1). Syarat dan rukun akad nikah
merupakan dasar bagi suatu pernikahan, yang mana jika syarat dan
rukun tersebut terpenuhi, maka pernikahan menjadi sah, dan sebaliknya
jika syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut
dianggap tidak sah dan tidak ada.
Syarat dan rukun dalam akad nikah adalah sesuatu yang berbeda.
Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu pernikahan namun di
luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan
menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian dari rukun nikah
merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan
nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain, persyaratan
nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah. Pelaksanaan akad
nikah ada lima rukun yang harus dipenuhi, yaitu: calon suami; calon isteri;
wali nikah; dua orang saksi dan Sighot / Ijab dan qabul (Al-Jaziri,
1969:12).
Adapun yang menjadi syarat-syarat akad nikah, sebagai berikut:
a. Calon Suami, syaratnya: beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,
dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan pernikahan.
b. Calon Isteri, syaratnya: beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani;
perempuan; jelas orangnya; dapat dimintai persetujuannya; tidak
terdapat halangan pernikahan.
28
c. Wali Nikah, syaratnya: laki-laki; dewasa; mempunyai hak perwalian;
tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Saksi Nikah, syaratnya: minimal dua orang laki-laki; hadir dalam ijab
qabul; dapat mengerti maksud akad; Islam dan dewasa.
e. Ijab qabul, syaratnya: adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
adanya penerimaan dari calon mempelai pria; memakai kata-kata
nikah, tazwij atau terjemahnya; antara ijab dan qabul bersambungan;
antara ijab dan qabul jelas maksudnya; orang yang berkait dengan ijab
dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah; majelis ijab dan qabul
harus dihadiri minimum empat orang, yaitu; calon mempelai pria
atau wakilnya, wali dari mempelai perempuan atau wakilnya dan dua
orang saksi (Rofiq, 1998:71-72).
Itulah syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan akad nikah demi sahnya pernikahan.
C. Bentuk-bentuk Nikah Terlarang Dalam Islam
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan
dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai
pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum
muslimin untuk menjauhinya (Jawas, 2006).
1. Nikah Sigar (syighar)
Nikah Sigar (syighar) adalah pernikahan dengan cara tukar-menukar calon
istri di antara para wali untuk dinikahkan dengan calon suami yang telah
29
disepakati atau untuk dirinya masing-masing dengan suatu perjanjian
tanpa mahar.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain,
‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku
dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara
perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan
dirimu” (Hadits shahih: diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu)
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah
ditalak tiga oleh suami sebelumnya, kemudian laki-laki tersebut
mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi
kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah
masa ‘iddah wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya dan
termasuk dalam perbuatan dosa besar.
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu
menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu
tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan atau lebih. Para ulama kaum
muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah.
Apabila telah terjadi, maka nikahnya batal.
4. Nikah dalam masa ‘Iddah.
Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab
yang menyebabkan ia harus menunggu hingga waktu tertentu. Waktu
30
‘iddah dimaksudkan untuk mengetahui kosongnya rahim, dalam rangka
ibadah atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah : 235
Artinya: “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
(yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah)
dengan sindiran (wanita yang boleh dipinang secara sindiran
ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya,
atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak
raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran) atau
kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf
(perkataan sindiran yang baik) dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya.
dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
5. Nikah dengan wanita kafir selain yahudi dan nasrani.
Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)
dibolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah : 221:
31
Artinya: “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
6. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau
hubungan kekeluargaan karena pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' ayat 23:
Artinya: “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan (maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan
seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan
ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke
bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud
32
dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu,
menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya); saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
7. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi disebabkan sepersusuan.
8. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya
maupun dari pihak ibunya.
9. Nikah dengan isteri yang telah di talak tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak
dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah
dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu
terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan
menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah ayat 230:
Artinya: kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin
33
dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki
lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka
ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh)
kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada
suaminya yang pertama.
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh
menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam: “Orang
yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar” (Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i
(V/192), dari Shahabat ‘utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu).
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' ayat 24:
34
Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki / maksudnya: budak-
budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-
samanya (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
(selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An
Nisaa' ayat 23 dan 24) yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah
kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu
(menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali
maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nuur : 3:
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mukmin (maksud ayat ini
ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang
berzina, demikian pula sebaliknya).
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh
menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga
kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nuur : 26:
35
Artinya: wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia/surga (menunjukkan kesucian
'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan
kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka
pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau).
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang
nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri,
maka boleh dinikahi. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata
mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita
yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang
terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang
terakhir halal” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul
Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30)
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' : 3
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil (perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah),
Maka (kawinilah) seorang saja (Islam memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi
36
sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami
sampai empat orang saja), atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk
Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih
empat orang isteri, beliau bersabda: “Tetaplah engkau bersama keempat
isterimu dan ceraikanlah selebihnya” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-
Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44). Begitu juga ada seorang
Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk
Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya.
D. Teori-teori Ushul Fiqh Dalam Hukum Islam
Pemahaman mengenai obyek pembahasan yang menjadi kajian ilmu-
ilmu ushul-fiqh, sebagai berikut:
1. Sumber hukum Islam dan seluk-beluknya, baik yang telah disepakati
bersama (seperti al-Qur'an dan hadis) maupun yang masih diperselisihkan
(seperti istihsan dan mashlahah-mursalah).
2. Metode penggunaan sumber hukum Islam, seperti metode tarjih dengan
menggunakan teori-teori, sebagai berikut:
a. Teori kompromitas (jam'iy) atau teori taufiqiy sebagai salah satu sistem
pencarian jalan keluar dari adanya dua dalil yang secara lahiriyah
37
kontradiktif (tanaqud), misalnya antara ayat dengan ayat atau antara
hadis dengan hadis dan sebagainya.
b. Teori nasikh-mansukh atau teori tasaqut adinaini, sebagai salah satu
sistem pengguguran salah satu dalil yang kontradiktif atau keduanya
sekaligus.
3. Metode penggalian hukum (istinbath al-hukm) dari sumber asalnya,
seperti dalam pembahasan masalah hukum syara', baik yang bersifat
tuntutan (thalab), larangan, pilihan (takhyir), maupun bersifat dispensasi
(rukhshah) dan lazimah. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan
persoalan hukum, hakim, makhum 'alaih (orang yang dibebani) dan
mahkum fih.
4. Kriteria orang yang berhak melakukan penggalian hukum (istinbath) dan
seluk-beluknya, seperti masalah mujtahid dan hasil ijtihadnya.
5. Pembahasan masalah kaidah-kaidah/teori-teori yang akan dipakai untuk
mengistinbathkan hukum dan metode mengaplikasikan teori-teorirtya.
E. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul-Fiqh dan Fiqh
Dari penjelasan obyek pembahasan dan kajian ushul-fiqh diatas, maka
ruang lingkup (sistimatika) pembahasan ushul-fiqh adalah :
1. Pembakuan klasifikasi hukum dalam sistem kajian syari'ah, seperti :
a. Pembakuan hukum taklifi, hukum wadl'iy dan hukum ikhtiyar.
b. Pembakuan istilah-istilah tekhnis yang lazirn dipakai dalam proses
pembahasan syari'ah.
Istilah ini dikenal dengan sebutan al-Haqiqah al-Syar'iyyah (istilah al-
38
Syathibiy dalam kitabnya al-Muwafaqat), seperti status ijab, fardlu,
nadb, shah, fasih, bathil, ibahah, karahah, rukhshah, 'azimah, syarat
sah dan syarat wajib, syarat hakiki dan syarat ja'liy dan sebagainya.
c. Pembakuan tentang siapa pemegang otoritas hukum (al-hakim) dan
siapa pula subyek mahkum 'alaih (mukallaf) beserta persolan-persoalan
di.dalamnya.
2. Dalil-dalil hukum, yang mencakup:
a. Dalil-dalil yang berkedudukan sebagai sumber hukum pokok
(mashadir asasi).
b. Dalil-dalil ijtihadiy yang berkedudukan sebagai sumber hukum
skunder (mashadir thaba'iy) beserta penetapan ranking (martabat)
kehujjahan masing-masing dalil dengan berbagai kemungkinan yang
membayanginya, seperti masalah-masalah sebagai berikut:
1) Masalah fungsi sunnah atau hadis sebagal penjelas atau bayan bagi
al-Qur'an.
2) Masalah jenis sunnah/hadis qauliyyah lebih kuat menunjukan
hukum dari pada sunnah/hadis fi'liyyah.
3) Masalah hadis ahad dan sebagainya.
3. Penjelasan masalah metode (cara) mengeluarkan hukum dari dalil-
dalilnya. Maksudnya adalah metode atas kaidah (cara berfikir) dalam
menarik petunjuk hukum dari nash syar'i al-Qur'an dan sunnah/hadis. Hal
ini dilakukan melalui:
a. Pendekatan tekstual (qawa'id lafdliyyah atau lughawiyah), seperti pola
39
pengembangan manthuq dan mafhum.
b. Pendekatan kontekstual (qu'idah mainazviyyah), seperti pola
penentuan illat hukum untuk teori qiyas, proses terjadinya ijma dan
sebagainya Metode penyingkapan kasus ta'arudl (kontradiksi) antara
dalil nash dan dalil ijtihad, begitu juga masalah teori nasakh dan tarjih.
4. Mujtahid dan Ijtihad. Hal ini penekanan uraiannya pada sisi persyaratan,
tingkatan, obyek dan berbagai permasalahan ijtihad. Begitu juga masalah
ifta', ittiba', taqlid, madzhab beserta pembahasan masing-masing.
Ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun
larangan, di samping bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh
umat manusia, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri.
Sejalan dengan maksud ini, maka Alyasa Abu bakar (1991:177) menyebutkan
bahwa setiap perintah dan larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai
hukum) dan tujuannya masing-masing.
Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum
itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang
mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang
disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran
untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau
yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut. Untuk
memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (alasan-alasan logis)
dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama ushul
berupaya meneliti Nash al-Qur`an dan al-Sunnah dengan melihat hubungan
40
antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang yang mendasarinya
(Causal-Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang
kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘illat (Khallâf,
1972:49) hukum atau Ta‘lîl al-Ahkâm (تعلي ل الأح كام) , yaitu teori ke-‘illat-an
hukum.
Teori ke-‘illat-an hukum atau ‘illat hukum (ta‘lîl al-ahkâm) pada
prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang apa yang menjadi ‘illat
atau manâth al-hukm (مناط ال كم) , yaitu pautan hukum serta apa pula yang
menjadi indikator bahwa ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang
dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut. Di samping itu, prosedur
atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan
suatu ‘illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan
dari suatu ‘illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang ‘illat hukum ini juga
akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan
hukum (maqâshid al-syarî‘ah). Faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya
pengkajian tentang ‘illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi
dan posisi ‘illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak
dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘. Bertitik tolak dari sini
ulama ushul merumuskan teori ‘illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat
dalam kegiatan istinbâth al-ahkâm (penggalian dan penetapan hukum).
Ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan
merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada
41
dan tidak adanya ‘illat (al-Subkî, 1984:71). Artinya ‘illat-lah yang menjadi
pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallâf (1972:50) menyebutkan:
ت د ور الأح كام و ج ودا وع د ما مع علله ا لا م ع ح ك م ه ا" "
Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan
tidak adanya ‘illat, bukan oleh hikmahnya.
Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi,
posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau
pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat menjadi kata kunci yang
sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi
suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.
F. Adat Istiadat (Urf) dalam Perspektif Hukum Islam
Sejak kedatangan Islam di Indonesia, umat Islam telah mengalami
bermacam-macam kondisi, hambatan, dan tantangan. Setelah Islam
berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah di nusantara pada abad XIII
sampai abad XV, ia harus berhadapan dengan kaum kolonial sejak abad XVI.
Karena itu, tradisi hukum Islam yang sudah mulai mendapatkan tempat pada
masyarakat harus berjuang melawan kebijakan pemerintah kolonial yang
cenderung memberikan keuntungan (advantage) pada hukum perdata
Barat, hukum adat. Lebih jauh lagi, pada masa berikutnya, hukum Islam
termasuk juga hukum adat- dianggap tidak lagi compatible untuk
diaplikasikan di Indonesia, sebuah asumsi yang masih banyak dianut oleh
beberapa sarjana di Indonesia (Truna dan Ropi, 2002:97). Berdasarkan
diskursus socio-legal, masyarakat berfungsi sebagai instrument premier
42
hukum sehingga merupakan sebuah kaidah pasti bahwa hukum haruslah
adaptable terhadap kebutuhan sosial, norma, tradisi, dan kebiasaan
masyarakat lainnya. Di sisi lain, hukum bisa berfungsi sebagai instrumen
untuk perubahan evolusioner atau revolusioner ketika digunakan sebagai alat
merekayasa masyarakat / a tool of social engineering (Rahardjo, 1991:191).
Hukum Islam juga sangat bersifat adaptable dan fleksibel terhadap
perubahan-perubahan selama hal tersebut mengacu kepada maqâshid al-
syari‘ah yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Lebih jauh lagi
dikatakan bahwa ‘urf / ‘âdah dianggap sebagai faktor yang sangat
menentukan pada perubahan hukum dalam teori hukum Islam (ushûl fiqh).
Kerangka teoritis inilah yang kemudian selain menyiratkan adanya mutual
relationship antara hukum dan masyarakat, juga dapat meyakinkan kita
bahwa perkembangan setiap hukum dapat dan harus dilihat dari perspektif
sosialnya.
1. Definisi ‘Urf atau Adah
Sebagai tradisi lokal (local custom) yang mengatur interaksi
masyarakat, kata urf atau adah menurut pendapat sebagian ahli bahasa
memiliki kandungan makna yang sama yaitu kebiasaan atau tradisi
masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun
dengan tanpa membedakan tradisi yang mempunyai sanksi dan yang
tidak mempunyai sanksi (Anoname, 1999:21).
Selangkah lebih maju, dengan merujuk pada pendapat Mustofa
Salabi, Amir Syarifuddin (2001:362) menambahkan bahwa apabila dilihat
dari sudut pandang kebahasaan (etimologi) maka kata ‘urf dapat dipahami
43
sebagai sebuah tradisi yang baik sedangkan kata al-‘âdah sendiri
diartikan sebagai tradisi yang netral dalam arti bisa baik atau buruk.
Sementara itu, Ali ibn Muhammad al-Jurjaniy (1999:44)
memberikan suatu makna yang berbeda dalam mengartikan kata ‘urf
dan al-âdah dengan perkataanya yaitu ‘Urf adalah sesuatu yang
diyakini oleh jiwa melalui persetujuan atau persaksian akal dan
kemudian diterima oleh akal sehat dan keberadaan ‘urf sendiri dikenal
sebagai dasar hukum (hujjah). Sementara itu, adat diartikan sebagai yang
dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat atas dasar pertimbangan
rasional.
Searah dengan penjelasan di atas, ‘urf diartikan sebagai sesuatu
yang telah diketahui dan dikerjakan oleh manusia kebanyakan, baik berupa
perkataan, perbuatan atau segala sesuatu yang mereka tinggalkan (Khalâf,
1978/1398:124). Dijelaskan juga bahwa ‘urf dapat dipahami sebagai
kebiasaan mayoritas umat Islam baik berupa perkataan dan atau perbuatan
(Harun, 1997:138). Bersinggungan dengan pendapat yang terakhir,
dijelaskan bahwa pengertian ‘urf mencakup sikap saling pengertian
diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka, baik dari
keumumannya ataupun kekhususannya (Syafi’I, 1999:128).
2. Macam-Macam ‘Urf atau ‘Adah
Klasifikasi ‘urf atau ‘adat dapat ditinjau dari beberapa sudut
pandang, antara lain:
a. Materi yang biasa dilakukan, yang dalam hal ini terbagi menjadi 2
(dua) macam, yaitu:
1) Al-‘urf al-lafdziy yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
kata-kata tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna
44
itulah yang kemudian dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat.
2) Al-‘urf al-‘amaliy yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau mu‘âmalah keperdataan.
b. Ruang lingkup penggunaannya, sehingga dalam hal ini ‘urf dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Al-‘urf al-‘âm yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas
di seluruh lapisan masyarakat dan daerah.
2) Al-‘urf al-khâsh yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan
daerah-daerah tertentu.
c. Penilaian baik dan buruk atau keabsahannya, dalam pola pandang ini
‘urf terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
1) Al-‘urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau
hadits. Selain itu juga tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membawa kesulitan (mudlarat) kepada
mereka. Sejalan dengan pedapat tersebut, dikatakan bahwa al‘ urf
al-shahih tidak menghalalkan yang haram atau bahkan
membatalkan yang wajib (Syafi’I, 1999:128).
2) Al-‘urf al-fasid yang diartikan sebagai kebiasaan yang bertentangan
dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Para ushuliyyûn sepakat bahwa semua macam ‘urf di atas kecuali
Al-‘urf alfasid dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
sara. Seorang faqîh (pakar ilmu fiqh) dari golongan Maliki
menyatakan bahwa seorang mujtahîd di dalam menetapkan suatu
45
hukum harus meneliti terlebih dahulu kebiasaan-kebiasan yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar
hukum yang akan diputuskannya nanti tidak bertentangan atau
bahkan menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut
masyarakat itu sendiri (Harun, 1997:142).
3. Kehujjahan ‘Urf
Terkait permasalahan ini, al-Khallâf berpendapat bahwa semua
ulama’ menggunakan unsur-unsur tradisi untuk sistem hukum yang
mereka kembangkan. Kenyataan tersebut dibuktikan dengan satu
kalimatnya yang berbunyi : Adat adalah syari’at yang dapat dijadikan
hukum, karena keberadaannya harus menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan sebuah hukum. Imam Malik banyak membangun hukum-
hukummya atas dasar praktek penduduk Madinah, sedangkan keaneka
ragaman hukum yang dipakai Abu Hanifah dan para pendukungnya
berdasarkan bermacam-macamnya kebiasaan mereka. Hal inilah yang
kemudian muncul satu ungkapan yang berbunyi “Segala sesuatu yang
baik menurut adat istiadat adalah sama halnya dengan dengan sarat dan
yang harus dipenuhi, sedangkan ketetapan dalam sebuah adat istiadat
adalah sama nilainya dengan ketetapan yang termaktub di dalam nash”.
Pengalaman yang sama juga terjadi pada Imam Syafi‘iy, tepatnya
setelah beliau hijrah dari Irak menuju Mesir, sehingga beliau
mempunyai dua pandangan hukum yaitu qaul qadîm dan qaul jadîd
(Khalâf, 1978/1398:90).
“Setiap sesuatu yang datang bersamaan dengan datangnya syara
secara mutlak, dan tidak ada batasannya, baik dalam syara ataupun
46
dalam segi bahasa, maka hal tersebut dikembalikan kepada adat
istiadat”
Perlu kami jelaskan, bahwa yang menjadi landasan para ulama’
dalam mempergunakan ‘urf sebagai salah satu metode istinbath dalam
hukum Islam adalah sebuah hadits yang berbunyi (Zahrah, 2008:417)
نا ف هو عند الله حسن .مار أه المسلمون حي Artinya: “Segala sesuatu yang baik dalam pandangan orang-orang Islam,
maka hal itu juga baik menurut Allah”
Hadits inilah yang kemudian juga menjadi sumber dari lahirnya sebuah
kaidah yang berbunyi: (Jumantoro dan Amin, 2005:335).
العد ة محكمه.Artinya: “Adat istiadat itu adalah sebuah hukum”
Berangkat dari beberapa paparan terkait permasalahan ‘urf / ‘adah di atas,
maka dapatlah kita simpulkan bahwa ‘urf atau ‘adah tersebut dapat
dijadikan sebuah landasan hukum apabila memenuhi beberapa sarat, yaitu:
a. ‘Urf atau ‘adah tersebut memiliki kemaslahatan dan dapat diterima
akal sehat.
b. Keberadaan ‘urf atau ‘adah tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat setempat. Berkenaan dengan hal ini, dijelaskan bahwa
sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku
secara umum, sehingga apabila adat tersebut masih kacau, maka
tidak perlu diperhitungkan kembali (Syarifuddin, 2001:364).
c. ‘Urf atau ‘adah tersebut telah ada (berlaku) pada saat itu.
d. ‘Urf atau ‘adah yang ada tidak bertentangan dengan nash.
47
G. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan di Depan Jenazah
Orang Tua
Pernikahan di depan jenazah boleh dilakukan asalkan syarat dan rukun
nikah yang terpenuhi, tentulah pernikahan itu sah. Sepanjang ada kedua
mempelai, wali, saksi serta ijab-qobul. Yang menjadi permasalahan disini,
apakah jenazah itu masuk dalam syarat dan rukun nikah? Misalnya, karena
yang meninggal adalah ayah si mempelai, maka ia dihadirkan dalam
kesempatan itu sebagai wali. Tentu hal ini sangat menyalahi aturan dan
mustahil dilakukan. Mengingat dalam prosesi ijab-qobul, dimana mempelai
laki-laki harus berinteraksi dengan wali secara lisan.
Sebab Rasulullah selalu memposisikan pernikahan itu dengan
kebahagiaan, bahkan memerintahkan agar dihidangkan makanan pertanda
berlangsungnya walimatul’ursy, sehingga diperbolehkannya nyanyian dengan
alat pukul. Semua itu memberi isyarat bahwa pernikahan itu adalah
kegembiraan, bukan kesedihan. Adapun wali, jika seorang bapak berhalangan
mewalikan anaknya bisa diwakilkan oleh nasab atau sanak keluarga yang lain,
seperti: kakak laki-laki, adik laki-laki, paman, uwak dan seterusnya menurut
urutan hak wali. Karena dalam tuntunan Islam, jika yang menjadi wali
meninggal, maka hak wali itu akan beralih ke yang berikutnya. Jika dalam hal
ini si bapak (kandung sudah meninggal), maka kakek atau saudara laki-
lakinya, bisa menggantikan posisi si bapak tersebut.
Merujuk pada sabda rasulullah saw yang berbunyi: ”Hai Ali, ada tiga
perkara yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila sudah
48
tiba waktunya, jenazah apabila sudah siap penguburannya dan wanita bila
menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya (HR. Ahmad).
Kehadiran jenazah dalam pernikahan hanya dimaksudkan untuk
sekedar disandingkan dengan anaknya yang menikah, memang tidak masalah.
Pernikahan yang dilangsungkan tetap sah, sepanjang terpenuhi rukun dan
syarat nikah. Hanya saja kembali pada pokok persoalan, sejauh mana
kehadiran jenazah membawa manfaat. Apabila dikembalikan pada aturan
agama yang memerintahkan kepada ahli waris untuk segera menguburkan
jenazah.
Pelaksanaan akad nikah didepan jenazah yang terjadi, disatu sisi
mereka tetap berpegang teguh pada syar’i dalam artian mereka tidak
meninggalkan syarat-syarat yang ditentukan oleh para ahli fiqh. Hal ini
terlihat dengan adanya ijab dan qabul yang tetap dilaksanakan oleh
masyarakat. Selain itu, pernikahan ini tidak menemukan adanya
penyimpangan syar’i yang terjadi dalam pelaksanaan akad nikah di depan
jenazah, karena yang mereka lakukan hanya sebuah tradisi yang dilakukan
oleh sekelompok masyarakat dan bukan menjadi satu bagian daripada syarat
maupun rukun nikah itu sendiri. Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu
sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah
dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai
wali maupun saksi.
49
Ditinjau dari sisi normatifnya masyarakat setempat tidak pernah
merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi pelakunya. Yang menjadi landasan
adalah kaidah yang mengatakan bahwa;
ان م ز الأ ي غ ت ب ام ك ح الأ ي غ ت ر ك ن ي لا
Artinya: “Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena
perubahan keadaan (zaman).”(Mubarok, 2002:156)
Dalam Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah antara lain adalah (a)
adanya calon istri dan calon suami (b) masing-masing bukan termasuk
mawani’un-nikah, (c) antara keduanya merupakan sejodoh atau kafa’ah.
Berkaitan dengan keharusan untuk melakukan tradisi ini, banyak para ulama
mengatakan bahwa manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat, tidak bisa lepas dari mitos ini.
50
50
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi tentang gambaran umum warga masyarakat Kelurahan Tingkir
Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; pelaksanaan akad nikah di depan
jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga; faktor-faktor terjadinya pernikahan di depan jenazah orang tua,
pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua.
A. Gambaran Umum Kelurahan Tingkir Lor
1. Letak Geografis Kelurahan Tingkir Lor
Kelurahan Tingkir Lor merupakan salah satu kelurahan di
wilayah Kecamatan Tingkir Kota salatiga. Secara geografis, Kelurahan
Tingkir Lor berbatasan dengan beberapa Kelurahan yang berada di
wilayah Kota salatiga serta dengan desa yang berada di wilayah
Kabupaten Semarang. Adapun Batas-batas Kelurahan Tingkir Lor, sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Kalibening dan Desa Nyamat
Sebelah Selatan : Kelurahan Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir
Sebelah Timur : Kelurahan Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir
Sebelah Barat : Kelurahan Tingkir tengah Kecamatan tingkir
Keadaan Wilayah Kelurahan Tingkir Lor dengan topografi atau
bentangan lahan yang terdiri dari daratan + 105,08 ha dan kondisi
geografis tinggi dari permukaan air laut 660 m serta keadaan suhu rata-rata
51
23 C, curah hujan rata-rata per tahun 2,250 mm, secara umum beriklim
tropis dan berhawa sejuk.
Adapun tingkat perkembangan Kelurahan Tingkir Lor didukung
berbagai faktor antara lain jarak orbitrasi / jarak dari pusat pemerintahan
sebagai berikut :
Jarak dari Kecamatan tingkir : 4 Km
Jarak dari Pemerintahan Kota salatiga : 5 Km
Jarak dari Penerintahan Provinsi : 55 Km
Kelurahan Tingkir Lor sebelumnya merupakan desa di wilayah
Kabupaten Semarang, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Salatiga dan Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, resmi
diperoleh berdasarkan Perda Kota Salatiga Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Desa menjadi Kelurahan.
Sebagian besar area di wilayah Kelurahan Tingkir Lor berupa
lahan pertanian berupa tanah persawahan, lahan pertanian kering jenis
tegalan dan sebagian tanah lainnya adalah kawasan perumahan penduduk.
Luas Kelurahan Tingkir Lor adalah 177,3 Ha yang terdiri dari :
Tanah Sawah seluas 75,992 Ha, dengan rincian :
Sawah Irigasi : 72,712 Ha
Sawah Tadah hujan : 3,28 Ha
Tanah Kering seluas 101,308 Ha dengan rincian:
Tanah Tegalan : 45,365 Ha
Lain-lain : 55,943 Ha
52
2. Potensi Wilayah
Untuk mengetahui potensi wilayah beserta sumber daya manusia
yang tinggal di Kelurahan Tingkir Lor bisa dilihat dari jumlah penduduk
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Jumlah penduduk di Kelurahan
Tingkir Lor sebanyak 4.874 orang terdiri dari 1.634 KK dengan perincian :
menurut jenis kelamin laki-laki : 2.397 orang dan perempuan : 2.477
orang. Selanjutnya bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Data Jumlah Penduduk
No Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1. 0 – 4 tahun 186 197 383
2. 5 – 9 tahun 186 191 377
3. 10 – 14 tahun 188 179 367
4. 15 – 19 tahun 177 225 402
5. 20 – 24 tahun 168 193 361
6. 25 – 29 tahun 208 195 403
7. 30 – 34 tahun 230 232 462
8. 35 – 39 tahun 197 183 380
9. 40 – 44 tahun 203 185 388
10. 45 – 49 tahun 170 202 372
11. 50 – 54 tahun 160 160 320
53
12. 55 – 59 tahun 113 101 214
13. 60 – 64 tahun 82 83 165
14. 65 – 69 tahun 43 49 92
15. 70 – 74 tahun 33 41 74
16. > 75 tahun 53 61 114
J U M L A H 2.397 2.477 4.874
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2015
Sedangkan jika ditinjau dari keyakinannya, mayoritas penduduk
Kelurahan Tingkir Lor beragama Islam di samping agama-agama yang
lainnnya. Kerukunan umat dan antar agama sangat baik. Adapun rincian
jumlah penduduk menurut agama bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.2.
Data Penduduk Menurut Agama
No Agama Jumlah
1. Islam 4.643
2. Kristen Protestan 158
3. Khatolik 71
4. Hindu -
5. Budha -
6. Lain –lain 2
J u m l a h 4.874
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2015
54
Jika dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Tingkir
Lor bisa sebetulnya bisa dibedakan menjadi dua. Yaitu pendidikan formal
dan pendidikan non formal. Yang dimaksud pendidikan non formal adalah
masyarakat yang menempuh pendidikan pesantren dimana pesantren
tersebut tidak mengeluarkan ijazah. Data ini lumayan sulit untuk didata.
Akan tetapi banyak masyarakat yang berpendidikan pondok pesantren. Hal
ini terbukti banyaknya tokoh agama, kyai yang memiliki kemampuan
keagaamaan (Islam) yang tinggi. Para kyai memiliki majelis-majelis kajian
keagamaan. Adapun data pendidikan formal warga Kelurahan Tingkir Lor
dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.3.
Data Tingkat Pendidikan Terakhir
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1. Tidak/Belum Sekolah 700
2. Belum tamat SD 646
3. SD / Sederajat 1.045
4. SLTP 735
5. SLTA 1.231
6. D1 – D3 175
7. S1 318
8. S2 20
9. S3 4
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2015
Dalam melihat potensi wilayah penting juga diperhatikan data
tentang sarana prasarana pembangunan. Karena hal ini merupakan salah
satu kebutuhan masyarakat yang cukup penting dalam mendukung
55
jalannya roda pemerintahan di suatu wilayah. Adapun sarana prasarana
pembangunan yang ada di wilayah Kelurahan Tingkir Lor di bagi dalam
beberapa bidang, sebagai berikut :
a. Sarana pendidikan, di Kelurahan Tingkir Lor mempunyai sarana
pendidikan, sebagai berikut :
SD /Sederajat : 3 Buah
SLTP / Sederajat : 1 Buah
SLTA / Sederajat : -
Pendidikan Tinggi / Akademi : 1 Buah
b. Sarana kesehatan. Prasarana kesehatan yang ada di Kelurahan Tingkir
Lor hanya ada satu orang bidan praktik.
c. Sarana prasarana olah raga. Prasarana olah raga yang ada di Kelurahan
tingkir Lor yaitu lapangan sepak bola yang berada di wilayah RT 05
RW VIII. Lapangan ini setipa hari dipakai oleh masyaarakat untuk
bermain sepak bola dan juga jenis olah raga yang lainnya.
Dalam rangka mendukung kelancaran tugas kepemerintahan, di
Kelurahan Tingkir Lor telah terbentuk berbagai lembaga tingkat kelurahan
yang berfungsi untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas kelurahan.
Berikut ini lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Tingkir Lor:
a. Lembaga pemberdayaan masyarakat Kelurahan (LPMK). Sesuai
dengan Keputusan Walikota Salatiga Nomor 12 tahun 2004, LPMK
mempunyai tugas, sebagai berikut :
1) Menyusun rencana pembangunan yang partisipatif
2) Menggerakan swadaya gotong royong masyarakat
56
3) Melaksanakan serta mengendalikan pembangunan.
Sedangkan fungsi dari LPMK sebagaimana pasal 5 Keputusan
Walikota Salatiga Nomor 12 tahun 2004 adalah :
1) Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan
masyarakat kelurahan
2) Pengkoordinasian perencanaan pembangunan
3) Pengkoordinasian perencanaan lembaga kemasyarakatan
4) Perencanaan kegiatan pembangunan secara partisipasif dan terpadu
5) Pengendalian dan pemenfaatan sumberdaya kelembagaan untuk
pembangunan di Kelurahan.
Adapun susunan pengurus LPMK periode tahun 2015-2018
bisa dilihat dalam tabel, di bawah ini:
Tabel 3.4.
Susunan Pengurus LPMK Periode Tahun 2015-2018
No Jabatan Nama
1. Ketua Drs. Akhsin
2. Wakil Ketua Edy Sugijono
3. Sekretaris Lagiyem
4. Bendahara Muamir Marzuqi
Bidang – Bidang
1. Pembangunan Afifudin
Zumroni
2. Pemuda dan Pariwisata Tri Mashudi
57
No Jabatan Nama
3. Kesehatan dan Kependudukan Ari Herayati
4. Perekonomian dan Koperasi Haryono
5. Keagamaan Tuba Rubai
6. Keamanan dan Ketertiban Muh Rifai
Ahmad Sholikun
b. Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Kelurahan Tingkir Lor
terdiri dari 8 RW dan 24 RT dengan data kepengurusan, sebagai
berikut :
Tabel 3.5.
Data Kepengurusan
Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT)
Kelurahan Tingkir Lor
No RW RT Nama Ketua RW / RT
1. I Nuryanto
01 Armedi
02 Khoerun
03 Jarmanto
2. II Nurchan
01 Sofyan Fuadi
02 M. Fauzan Thoironi
3. III M. Fanani
58
No RW RT Nama Ketua RW / RT
01 Sofyan Sauri
02 Aris Heri Wibowo
03 Faisol Faruq
4. IV Hardiyo
01 Ja’farin
02 Sunaryo
03 Suali
5. V Muslim
01 Ma’ani Azis
02 Munir
6. VI Lantip
01 Arif Budianto
02 Mujiyono
7. VII Sudarmono
01 Sapari
02 Sudarto
03 Haryanto
04 Sunar Suryadi
05 Supriyanto
8. VIII Edi Sugijono
59
No RW RT Nama Ketua RW / RT
01 Sahadad
02 Eko Sudianto
03 Purwanto
04 Muh Toha
c. Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah
organisasi yang berbasis masyarakat, dipelopori dan didukung penuh
oleh Pemerintah dan merupakan salah satu wahana untuk menampung
aspirasi dan menggerakkan peran sera masyarakat khususnya
perempuan dalam pembangunan.
PKK merupakan mitra Pemerintah Kelurahan dalam
melaksanakan tugas pemerintahan umum dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program-program kerjanya.Berikut
ini Kami sampaikan Susunan Pengurus Tim Penggerak PKK
Kelurahan Tingkir Lor Masa Bakti Tahun 2013 – 2016.
Tabel 3.6.
Susunan Pengurus Tim Penggerak PKK Kelurahan Tingkir Lor
Masa Bakti Tahun 2013 – 2016
No Nama Jabatan Ket
1 2 3 4
1. Ny. Udiyani Sumadi Ketua SK Lurah Tingkir
60
No Nama Jabatan Ket
1 2 3 4
2. Ny. Purwanto Wakil Ketua Lor No :
421.1/01/302.02/2013
3. Ny. Suyati Sekretaris I
4. Ny. Ruminah Sekretaris II
5. Ny. Sri Karyanti Bendahara I
6. Ny. Suali Bendahara II
7. Ny. Sukaesi Akhla Pokja I
8. Ny. Suherman Pokja I
9. Ny. Nasiroh Pokja I
10. Ny. Siti Munawaroh Pokja II
11. Ny. Nur Hidayati Pokja II
12. Ny. Sri Mulyani Pokja II
13. Ny. Himatul Aliyah Pokja II
14. Ny. Rohmiyati Pokja III
15. Ny. Anis Hudaya Pokja III
16. Ny. Yuli Parnawati Pokja III
17. Ny. Ari Herayati Pokja IV
18. Ny. Kholila Hidayati Pokja IV
19. Ny. Nur Hasanah Pokja IV
61
PKK merupakan sebuah organisasi perempuan secara nasional yang
bergerak dalam bidang urusan rumah tangga.
d. Lembaga Komunikasi Masyarakat (LKM).
LKM adalah Lembaga Komunikasi Masyarakat yang dibentuk
guna meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan khususnya di kota salatiga dengan
menciptakan ruang publik yang dapat digunakan sebagai media
penyebarluasan informasi dan penyaluran aspirasi masyarakat. Maksud
dibentuknya LKM adalah :
1) Mewujudkan masyarakat yang mengerti, mengetahui, peduli dan
paham informasi.
2) Memberdayakan masyarakat agar mampu memilih dan memilah
informasi.
3) Mewujudkan jaringan komunikasi dua arah antara masyarakat
dengan Pemerintah.
4) Menghubungkan berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga
terwujud persatuan dan kesatuan.
Tujuan dibentuknya LKM adalah :
1) Media penyatuan persepsi antara pemerintah daerah dengan
masyarakat dan antara anggota masyarakat sendiri.
2) Media penyebarluasan informasi dan penyaluran aspirasi.
3) Media peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kegiatan yang dilakukan LKM antara lain menyebarluaskan
informasi kebijakan pemerintah dan hasil pembangunan dengan
62
masyarakat sehingga masyarakat memperoleh pemahaman dan
pencerahan, menyelenggarakan dialog interaktif, menjadi fasilitator,
melakukan kegiatan sebagai public relations / hubungan masyarakat,
membentuk jaringan komunikasi dan membentuk pusat informasi
dengan memanfaatkan teknologi informasi.
3. Struktur Sosial Ekonomi Kemasyarakatan
Untuk mengetahui tingkat ekonomi masyarakat kelurahan Tingkir
Lor bisa dilihat dari jenis pekerjaan atauapun mata pepncaharian. Mata
pencaharian penduduk Tingkir Lor beraneka ragam. Mulai dari petani,
pedagang, PNS dan lain-lain. Untuk data lengkapnya bisa dilihat dalam
tabel di bawah ini:
Tabel 3.7.
Data Mata Pencaharian
No Pekerjaan Jumlah
1. Pelajar / mahasiswa 1.083
2. Mengurus rumah tangga 597
3. Pensiunan 58
4. Pegawai negeri sipil 137
5. Tni – polri 21
6. Pedagang/perdagangan 198
7. Petani/pekebun 81
8. Karyawan swasta 565
9. Buruh harian lepas 308
10. Buruh tani 76
11. Guru 78
12. Tukang jahit 89
13. Wiraswasta 624
63
14. Lain-lain 188
15. Belum / tidak bekerja 771
J u m l a h 4.874
4. Setting Kehidupan Keagamaan
Kelurahan Tingkir Lor merupakan suatu wilayah yang memiliki
potensi keagamaan yang sangat tinggi. Banyak kyai dan juga tokoh agama
Islam yang sejak kecil tinggal di wilayah ini. Hal ini terbukti banyaknya
pondok pesantren dan juga lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam
satu kelurahan ada empat pondok pesantren yaitu pondok pesantren al-
Islah, pondok pesantren al-Muhajirin, pondok pesantren Asta’in dan
pondok pesantren Masyitoh.
Selain itu juga banyak majlis-majlis pengajian yang dilaksanakan
di rumah para kyai dengan mengkaji berbagai kitab klasik baik fiqh, tafsir,
hadis ataupun tasawuf. adalah sarana prasarana bidang keagamaan, di
Kelurahan Tingkir Lor mempunyai tempat ibadah baik masjid maupun
musholla sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3.8.
Daftar Nama Masjid dan Mushola
No Nama Alamat
1. Masjid Jami’ Sabilal Muttaqien Sanggrahan RT 02 / RW 01
2. Masjid Al Maslahah Dukuh RT 01 / RW 02
3. Masjid Luhur Al Qhofuru Dukuh RT 02 / RW 02
4. Masjid Al Fudlola Krajan RT 02 / RW 05
64
No Nama Alamat
5. Masjid Misykatul Atsar Kradenan RT 02 / RW 06
6. Masjid Darul Amanah Cinderejo RT 01 / RW 07
7. Masjid An Nur Cinderejo RT 02 / RW 07
8. Masjid Al Hidayah Tingkir Indah RT 02 / RW 08
9. Mushola Baitus Surur Sanggrahan RT 01 / RW 01
10. Mushola Baitus Su’ada Wonosaren RT 03 / RW 01
11. Mushola Darusssalam Dukuh RT 01 / RW 02
12. Mushola Nurul Burhan Dukuh RT 02 / RW 02
13. Mushola As Salam Dukuh RT 02 / RW 02
14. Mushola Al Amin Ngentak RT 01 / RW 03
15. Mushola Al Hikmah Ngentak RT 02 / RW 03
16. Mushola Ma’wan Na’asik (H.
Cholid Trenggono)
Ngentak RT 03 / RW 03
17. Mushola Al Fallah (H. Hardiyo) Kriyan RT 01 / RW 04
18. Mushola Al Huda Kriyan RT 01 / RW 04
19. Mushola Awabin (Komp Ponpes
Darul Muhajirin)
Kriyan RT 02 / RW 04
20. Mushola Yatama (Komp PA
Yatama)
Kriyan RT 03 / RW 04
21. Mushola Al Hikmah Kriyan RT 03 / RW 04
22. Mushola Darul Fallah Krajan RT 01 / RW 05
23. Mushola Darussalam Krajan RT 01 / RW 05
65
No Nama Alamat
24. Mushola Nurul Huda Timur Kradenan RT 01 / RW 06
25. Mushola Nurul Huda Barat Kradenan RT 01 / RW 06
26. Mushola Al Muttaqien Timur Kradenan RT 02 / RW 06
27. Mushola Al Muttaqien Barat Kradenan RT 02 / RW 0628.
28. Mushola Assalam (Titik Istiati) Cinderejo RT 02 / RW 07
29. Mushola Darul Fallah Cinderejo RT 02 / RW 07
30. Mushola Baitul Maghfiroh Cinderejo RT 05 / RW 07
31. Mushola Rahmad Salam Al Salam Perum Tingkir Indah RT 03 /
RW 08
Selain tersedia masjid dan mushalla ada juga lembaga pendidikan
yang khusus mempelajari materi agama, yaitu madrasah diniyah, mulai
dari tingkat ula, wustha, dan ulya. Masyarakat juga memiliki antusias
yang sangat tinggi dalam mendorong anak-anaknhya untuk mempelajari
materi agama. Hal ini bisa dibuktikan banyak santri yang belajar di
madrasah diniyah tersebut.
Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa warga masyarakat
kelurahan Tingkir Lor memiliki tradisi keagamaan yang tinggi. Hal ini
mempengaruhi pola ketaatan istri kepada suami. Bahkan kitab Uqudulijain
karya Imam Nawawi al Bantani merupakan kajian wajib bagi perempuan
baik mereka yang mengenyam pembelajaran di pondok pesantren atau[un
hanya belajar ngaji ke rumah kyai yang ada lingkungan tempat tinggalnya.
66
B. Penyajian Data
1. Pelaksanaan Akad Nikah di Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
Menurut hasil wawancara peneliti dapat memaparkan, sebagai
berikut:
a. Inisial (DUR) usia 26 tahun dengan (TW) usia 29 tahun merupakan
pelaku pernikahan di depan jenazah, nama orang tua yang meninggal
inisial (FH) usia 63 tahun. Pelaksanaan nikah dilakukan pada 24 Mei
2013, dimana yang menikahkan kakak kandung laki-laki dari
mempelai perempuan, tempat rumah duka/rumah mempelai
perempuan. Pernikahan ini merupakan inisiatif dari Kiai S, adapun
kronologi terjadinya pernikahan ini dapat pelaku jelaskan, sebagai
berikut:
1) Keluarga H.M. FH memiliki patokan tersendiri untuk menikahkan
putra-putrinya. Patokan itu tidak lain adalah harus sudah
menyelesaikan perkuliahan S1. H.M FH memiliki 3 anak, anak
pertama perempuan, anak kedua laki-laki dan yang terakhir anak
perempuan. Di usianya yang menyamai Rasulullah S.A.W (63
tahun) H.M. Fauzi masih memiliki beban berat yang ada di
pundak, beban itu tidak lain adalah belum menikahkan anak
perempuannya yang terakhir yaitu (DUR).
2) DUR memiliki pacar bernama TW. TW menginginkan hubungan
yang lebih serius. Akhirnya TW melamar DUR, setelah proses
lamaran diterima selanjutnya menentukan hari pernikahan.
67
3) Minggu, 26 Mei 2013 adalah hari yang dipilih untuk
melangsungkan pernikahan. H.M. Fauzi memiliki riwayat penyakit
jantung.
4) Pada hari kamis, 23 Mei 2013 penyakit jantung H.M FH kambuh.
Siang itu DUR dipanggil H.M FH, dan berkata :
H.M. FH = mbak DUR bapak itu punya beban berat
sekali
DUR = beban apa to pak?
HM.FH = bapak itu masih memiliki beban berat sekali
kalau belum menikahkan mbak DUR
(sambil memegang pundak DUR dan di
tekan)
H.M F H bertanya = Sakit ndak mbak..??
DUR = iya pak sakit....
H.M FH = ayo sekarang bapak biar latihan
menikahkan mbak dewi dulu.. (bacaan ijab)
حيم حمن الر جيم * بسم الله الر يطا ن الر * اعوذ بالله من الش
نوب 3… ×استغفر الله العظيم واتوب اليه من جميع المعاصي والذ
سول الله دا ر * اشهد ان لآاله الالله * و اشهد أن محم
د ابن عبد بسم الله والحمد لاة والسلام على رسول لله سـيدنا محم الله وعلى آله لله والص
اله واصحا به ومن ا بعد : أوصيكم –تبـعه ونصـره ومن و ة البالله ام ولحول ولقو
– واياي بتقوي الله فقد فازالمتقون
جـتك ابنتي ………… ! بن ……….. يا انكحـتك وزو
قدانـ………….. بمهر …………………………..
H.M FH = Bapak itu berkeinginan nantinya kamu
menikah disaksikan oleh orang banyak.
Bukan resepsinya yang disaksikan orang
banyak, tetapi akad nikahnya. Karna inti
dari pernikahan adalah akad nikahnya
bukan resepsinya
DUR = iya pak...
5) Sore harinya kondisi H.M. FH bukannya membaik, tetapi malah
justru sebaliknya, melihat kondisi H.M FH yang tak kunjung
68
membaik akhirnya pihak keluarga berinisiatif membawanya ke RS.
PAW. Akan tetapi setelah sampai di pintu masuk RS. PAW, H.M
FH menghembuskan nafas untuk yang terakhir.
6) Setelah pengurusan administrasi selesai, pukul 19.00 WIB jenazah
H.M FH dibawa pulang ke rumah duka. Sudah menjadi kebiasaan
warga Kelurahan Tingkir Lor, apabila ada salah satu warga yang
meninggal jenazahnya tidak langsung dikebumikan.
7) Jum’at, 24 Mei 2013 warga dan para ulama sekitar berdatangan
untuk memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah. Kakak
DUR (anak pertama dan kedua jenazah) yang tinggal di luar kota
juga sudah tiba di rumah duka. TW (kekasih DUR) beserta
keluarganya juga hadir untuk memberikan penghormatan terakhir.
8) Sebelum upacara pemakaman dimulai, para ulama menanyakan
masalah duniawi yang berhubungan dengan jenazah, baik itu
masalah hutang-piutang, wasiat dll kepada ahli waris atau keluarga
yang ditinggalkan..
9) Berawal dari sini DUR menyampaikan wasiat almarhum di atas
kepada para ulama. Mendengar penuturan DUR mengenai wasiat
almarhum, Kiai S beserta ulama yang lain (H.M AS, KH. N, Kiai
M) berinisiatif untuk memenuhi wasiat almarhum (meringankan
beban yang ada di pundak almarhum dan akad nikah disaksikan
orang banyak) dengan berpatokan kepada ushul fiqh mengenai
hadist nabi tentang 3 (tiga) hal yang harus disegerakan.
69
10) Selanjutnya KH. N dengan menggunakan telefon selluler
menghubungi KUA Kec. Tingkir untuk meminta ijin
melangsungkan pernikahan saat itu juga. Setelah berkomunikasi
dengan pihak KUA Tingkir, akhirnya pihak KUA Tingkir
memberikan ijin, dengan catatan proses administrasinya menyusul
secepatnya.
11) Jum’at, 24 Mei 2015 prosesi pernikahan di depan jenazah
berlangsung di rumah duka, Kakak laki-laki DUR (anak kedua
almarhum) yang menikahkan DUR dan yang menjadi saksi para
ulama Kelurahan Tingkir Lor dan jama’ah ta’ziyah.
12) Setelah prosesi akad nikah usai, selanjutnya upacara pemakaman
jenazah H.M FH baru dimulai.
13) Senin, 27 Mei 2013 DUR beserta TW mengurus proses
administrasi di KUA Kec. Tingkir. Sesuai arahan Kepala KUA
Kec. Tingkir untuk memperbaharui akad nikah (tajdidun nikah),
(dengan catatan, nikah pada 24 Mei 2013 tetap sah, hanya sebagai
penguat supaya sesuai dengan administrasi yang masuk pada
tanggal 27 Mei 2013). Akad nikah di KUA dengan penghulu dari
KUA, saksi kakak kandung laki-laki dan pegawai KUA.
b. Bapak HDY selaku Ketua RW. 04, Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga pada tanggal 8 November 2015, menyatakan:
Akad nikah di depan jenazah merupakan salah satu adat istiadat
dari sekian banyak adat yang lain yang masih dipatuhi dan
70
dilaksanakan, khususnya di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga. Akan tetapi tidak mudah adat istiadat ini
dilaksanakan, karena ada sebab-sebab tertentu yang menimbulkan agar
adat istiadat tersebut harus dilaksanakan, sebab pelaksanaan akad
nikah di depan jenazah hanya terjadi apabila seorang laki-laki yang
telah melaksanakan peminangan kepada seorang wanita dan telah
menentukan hari dan tanggal pernikahan (perjanjian pernikahan),
namun sebelum hari dan tanggal tersebut tiba orang tua dari salah satu
pihak yang bertempat tinggal di desa tersebut meninggal dunia.
c. Bapak NYT selaku ketua RW 01 Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga dalam wawancara tanggal 10 November 2015,
menjelaskan:
Menurut adat istiadat masyarakat Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, akad nikah tersebut harus
dilaksanakan saat itu juga di depan jenazah orang tua yang meninggal
dunia. Mungkin tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan pada saat
akad nikah tersebut berlangsung karena jenazah tersebut tidak
berperan, baik sebagai saksi maupun sebagai wali, akan tetapi apabila
pernikahan tersebut tidak dilaksanakan maka peminangan yang
sebelumnya telah dilaksanakan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan menjadi gugur (peminangan yang telah dilakukan sudah
dianggap tidak syah menurut hukum adat mereka) dan harus dilakukan
peminangan lagi (ulang) dengan syarat harus menunggu ganti tahun
71
menurut perhitungan tahun Hijriyah/tahun Islam. Kalau memang kedua
belah pihak memaksakan untuk tetap melaksanakan akad nikah sesuai
dengan rencana awal, maka sanksi sosial yang akan mereka terima
bahwa sanksi sosial ini biasanya dalam bentuk pelecehan oleh
masyarakat karena dianggap telah melupakan tradisi nenek moyang.
Adat istiadat tersebut tentu sangat berbeda dengan sistem
perkawinan Islam. Pernikahan tersebut memang sangat langka, karena
harus bertepatan dengan meninggalnya orang tua dari salah satu pihak
yang akan melaksanakan perkawinan, sedangkan mati merupakan
salah satu dari sekian banyak rahasia Tuhan yang tidak dapat diterka
dan tidak dapat diramalkan oleh manusia. Sehingga tidak banyak
seseorang yang melaksanakannya karena tidak bertepatan dengan
meninggalnya orang tua mereka.
d. Wawancara dengan Bapak JFN selaku Ketua 01 RW. 04, Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tanggal 9 November
2015, menerangkan:
Masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga mayoritas beragama Islam. Namun dalam kenyataan, masih
banyak yang memegang teguh warisan leluhur mereka dengan
melaksanakan dan patuh terhadap adat istiadat yang mereka yakini
sebagai pedoman dalam menempuh dan menjalani kehidupan di dunia.
Letak geografis dan kehidupan perkotaan ternyata tidak dapat
menghilangkan adat istiadat yang sampai saat ini masih dipatuhi
72
dan sudah membudaya dalam masyarakat.
Selain adat istiadat tersebut, dalam masyarakat Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga juga masih
melaksanakan adat istiadat lainnya, yaitu “akad nikah di depan
jenazah”. ternyata dalam masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, dalam saat-saat tertentu, masih ada
yang melaksanakan dan mentaati sistem pernikahan adat meskipun
masih tetap memperhatikan sisi syar’i-nya. Ini terlihat dari syarat yang
harus dipenuhi dalam pelaksanaan akad nikah itu sendiri. Hal ini
dikarenakan kehidupan beragama di masyarakat Kelurahan Tingkir
Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga sebenarnya juga tidak berbeda
dengan masyarakat Islam secara umum, dalam artian mereka tetap
melaksanakan ibadah ritual seperti shalat, puasa, melaksanakan tahlil
dan lain sebagainya. Ternyata hal ini tidak dapat merubah adat yang
sudah mengakar dan membudaya itu.
Adat istiadat ini pada awalnya dari pemahaman masyarakat
bahwa sebenarnya salah satu kewajiban anak terhadap kedua orang tua
adalah menghormati keduanya meskipun mereka sudah meninggal
dunia, baik salah satu maupun semuanya. Kemudian dari pemahaman
ini, masyarakat menkomparasikan dengan ajaran jawa yang
mengajarkan bahwa seorang anak itu harus bisa mikul duwur mendhem
jero. Dengan adanya dua pemahaman ini kemudian memunculkan
satu tradisi untuk tetap melaksanakan akad nikah di depan jenazah
orang tua sekalipun. Mereka yang tidak melakukan tradisi ini akan
73
dipandang sebagai anak yang tidak berbakti pada orang tua. Pada
dasarnya tradisi ini muncul karena lebih disebabkan oleh itikad
baik masyarakat setempat untuk menghormati orang tua.
2. Faktor-Faktor Terjadinya Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua
a. Hasil wawancara dengan Bapak JFN selaku warga masyarakat RT. 01
RW. 04 Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
tanggal 13 November 2015, menjelaskan:
Pernikahan di depan jenazah seperti yang dilakukan saudari DUR,
Dusun Kriya, RT. 01 RW.04 Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga menurut pandangan masyarakat sekitar
dikarenakan ada amanah bahwa keinginan sang orang tua melihat
pernikahan anaknya namun sudah lebih dulu meninggal. Dimana pada
saat itu tidak terdapat musyawarah untuk menunda pernikahan, akan
tetapi tetap dilaksanakan secara sederhana yang merupakan inisiatif
dari Kiai S mendasarkan pada riwayat rasulullah shallallahu ‘alaihu
wasallam bersabda:
رهن لاة إذا أتت ، والجنازة إذا حضرت ، والأيم : ثلاثة يا علي ل تؤخ الص
إذا وجدت كفؤا
Artinya: “Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda,
yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah
hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang
sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)
b. Hasil wawancara dengan Bapak IJ salah satu warga masyarakat
RT. 02 RW. 04 Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga tanggal 13 November 2015, mengemukakan pelaksanaan
74
pernikahan tersebut, merupakan bagian adat istiadat daerah kelurahan
tingkir lor. Menurut mitos, apabila khitbah atau akad tidak dilakukan
sebagaimana telah direncanakan tetapi pada saat tidak terduga
bertepatan dengan adanya musibah meninggalnya salah satu orang tua
mempelai akan mendapatkan musibah melebihi dari yang dialami pada
saat itu. Selain itu, juga merupakan wujud rasa hormat atau
penghormatan terakhir orang tuanya sebagai wujud bakti semasa
hidupnya sepanjang tidak menyalahi syarat dan rukun nikah sesuai
dengan agama yang dianut.
c. Hasil wawancara DUR Dusun Kriya, RT. 01 RW. 04 Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tanggal 13 November
2015 (pelaku pernikahan di depan jenazah orang tua), memaparkan:
pernikahan ini dilakukan karena terdapat amanah/wasiat dari
almarhum bapak H.M. FH yang masih mempunyai beban berat ingin
menikahkan saya tetapi belum sempat sudah meninggal dikarenakan
sakit jantung. Selain itu, menurut pendapat Kiai pernikahan boleh
dilakukan menyangkut kaidah ushul fiqh yaitu 3 (tiga) perkara yang
tidak boleh di tunda (“Tiga perkara tidak boleh ditunda-tunda yaitu:
Shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap dan perempuan
bila telah ditemukan jodohnya yang sepadan” (HR. Baihaqi dan lain-
lain dari Ali ra).
Pernikahan yang saya langsungkan telah memperoleh ijin dari KUA
Tingkir, dengan catatan proses administrasinya menyusul secepatnya.
75
Pada Jum’at, 24 Mei 2015 akhirnya prosesi pernikahan di depan
jenazah berlangsung di rumah duka, Kakak laki-laki DUR (anak kedua
almarhum) yang menikahkan DUR dengan disaksikan oleh jama’ah
ta’ziyah. Setelah prosesi nikah selesai dilanjutkan upacara pemakaman.
Senin, 27 Mei 2013 proses administrasi KUA Tingkir, setelah sampai
di KUA Tingkir. Sesuai arahan Kepala KUA Tingkir proses akad
nikah kembali dilakukan atau pembaharuan akad nikah (tajdidun
nikah) (dengan catatan, nikah pada 24 Mei 2013 tetap sah, nikah pada
hari ini sifatnya hanya untuk menguatkan saja agar sesaui dengan
administrasi kantor KUA). Akad nikah di KUA dengan penghulu dari
KUA, saksi kakak kandung laki-laki dan pegawai KUA).
3. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Di Depan Jenazah
Orang Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga
Pernikahan di depan jenazah boleh dilakukan asalkan syarat
dan rukun nikah yang terpenuhi, tentulah pernikahan itu sah.
Sepanjang ada kedua mempelai, wali, saksi serta ijab-qobul. Yang
menjadi permasalahan disini, apakah jenazah itu masuk dalam syarat
dan rukun nikah? Misalnya, karena yang meninggal adalah ayah si
mempelai, maka ia dihadirkan dalam kesempatan itu sebagai wali.
Tentu hal ini sangat menyalahi aturan dan mustahil dilakukan.
Mengingat dalam prosesi ijab-qobul, dimana mempelai laki-laki harus
berinteraksi dengan wali secara lisan.
76
Sebab Rasulullah selalu memposisikan pernikahan itu dengan
kebahagiaan, bahkan memerintahkan agar dihidangkan makanan
pertanda berlangsungnya walimatul’ursy, sehingga diperbolehkannya
nyanyian dengan alat pukul. Semua itu memberi isyarat bahwa
pernikahan itu adalah kegembiraan, bukan kesedihan. Adapun wali,
jika seorang bapak berhalangan mewalikan anaknya bisa diwakilkan
oleh nasab atau sanak keluarga yang lain, seperti: kakak laki-laki, adik
laki-laki, paman, uwak dan seterusnya menurut urutan hak wali.
Karena dalam tuntunan Islam, jika yang menjadi wali meninggal, maka
hak wali itu akan beralih ke yang berikutnya. Jika dalam hal ini si
bapak (kandung sudah meninggal), maka kakek atau saudara laki-
lakinya, bisa menggantikan posisi si bapak tersebut.
Merujuk pada sabda rasulullah saw yang berbunyi: ”Hai Ali,
ada tiga perkara yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya, yaitu
shalat apabila sudah tiba waktunya, jenazah apabila sudah siap
penguburannya dan wanita bila menemukan laki-laki sepadan yang
meminangnya (HR. Ahmad).
Untuk memenuhi wasiat almarhum (meringankan beban yang
ada di pundak almarhum dan akad nikah disaksikan orang banyak)
dengan berpatokan kepada ushul fiqh mengenai hadis nabi tentang 3
hal yang harus disegerakan. Kemudian meminta ijin ke KUA,
alhamdulillah diberi ijin melangsungkan pernikahan dengan
konsekuensi proses administrasi di KUA diadakan pengulangan akad
77
nikah dengan disaksikan keluarga dan pegawai KUA yang berfungsi
untuk menguatkan syarat administrasi akan tetapi akad nikah yang
dilaksanakan sebelumnya tetap sah.
Kehadiran jenazah dalam pernikahan hanya dimaksudkan
untuk sekedar disandingkan dengan anaknya yang menikah, memang
tidak masalah. Pernikahan yang dilangsungkan tetap sah, sepanjang
terpenuhi rukun dan syarat nikah. Hanya saja kembali pada pokok
persoalan, sejauh mana kehadiran jenazah membawa manfaat. Apabila
dikembalikan pada aturan agama yang memerintahkan kepada ahli
waris untuk segera menguburkan jenazah.
Pelaksanaan akad nikah didepan jenazah yang terjadi, disatu
sisi mereka tetap berpegang teguh pada syar’i dalam artian mereka
tidak meninggalkan syarat-syarat yang ditentukan oleh para ahli fiqh.
Hal ini terlihat dengan adanya ijab dan qabul yang tetap dilaksanakan
oleh masyarakat. Selain itu, pernikahan ini tidak menemukan adanya
penyimpangan syar’i yang terjadi dalam pelaksanaan akad nikah di
depan jenazah, karena yang mereka lakukan hanya sebuah tradisi yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan bukan menjadi satu bagian
daripada syarat maupun rukun nikah itu sendiri. Bila dilihat dari
kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan
terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak
memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi.
Ditinjau dari sisi normatifnya masyarakat setempat tidak
78
pernah merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi pelakunya. Yang
menjadi landasan adalah kaidah yang mengatakan bahwa;
ل ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
Artinya: “Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena
perubahan keadaan (zaman).”(Mubarok, 2002:156)
Dalam Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah antara lain adalah
(a) adanya calon istri dan calon suami (b) masing-masing bukan
termasuk mawani’un-nikah, (c) antara keduanya merupakan sejodoh
atau kafa’ah. Berkaitan dengan keharusan untuk melakukan tradisi ini,
banyak para ulama mengatakan bahwa manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai masyarakat, tidak bisa lepas dari mitos ini.
Oleh karena itulah, hukum pelaksanaan akad nikah di depan
jenazah ini, bukanlah satu kewajiban syar’i yang harus dilaksanakan
namun itu hanya sebuah “kewajiban” bisa dikatakan hanya
melaksanakan amanah/wasiat dari mendiang almarhum belaka. Jika
tidak dilakukan juga tidak akan mengakibatkan sebuah konsekuensi
hukum agama.
79
79
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Pelaksanaan Akad Nikah Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
Berdasarkan pada paparan hasil penelitian bab III, peneliti mencoba
menganalis tentang pelaksanaan akad di depan jenazah orang tua yang terjadi
di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, antara lain:
Pertama, merujuk dan bersandar kepada kaidah-kaidah fiqh yang telah
disepakati bersama oleh para fuqaha, yang diambil dari Al-Quran dan
As-Sunnah. Dari kaidah-kaidah ini, dalil akan diambil dan hukum akan
diletakkan diatasnya. Merujuk pada Al-Qur'an, bahwa nikah itu sangat
dianjurkan dalam Islam, seperti dalam QS. Ar-Rum ayat 21:
Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".(Departemen
Agama RI., 1994:644).
Oleh karena nikah merupakan salah satu anjuran, maka para ahli fiqh
kemudian mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan akad nikah tersebut sebagai usaha untuk mencegah umat
dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Melihat pelaksanaan akad nikah
80
didepan jenazah yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir
Kota Salatiga, penulis menilai bahwa disatu sisi mereka tetap berpegang
teguh pada syar’i dalam artian mereka tidak meninggalkan syarat-syarat yang
ditentukan oleh para ahli fiqh. Hal ini, terlihat dengan adanya ijab dan
qabul yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Mengenai ucapan atau lafal
yang digunakan masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir
Kota Salatiga lebih memilih memakai bahasa mereka sendiri, misalnya
dengan bacaan ijab sebagaimana yang dilakukan oleh DUR dan TW, yakni:
حيم اعوذ بالله من حمن الر جيم * بسم الله الر الشيطا ن الر *
نوب واتوب اليه 3… ×استغفر الله العظيم من جميع المعاصي والذ
سول الله دا ر * اشهد ان لآاله الالله * و اشهد أن محم
د ابن بسم الله لاة والسلام على رسول لله سـيدنا محم لله والص والحمد
اله ولحول –عبدالله وعلى آله واصحا به ومن تبـعه ونصـره ومن و
ا بعد: أوصيكم واي ة البالله ام اي بتقوي الله فقد فازالمتقونولقو –
جـتك ابنتي ………… ! بن ……….. يا انكحـتك وزو
نـقدا………….. بمهر …………………………..
Mendasarkan hal tersebut penulis belum menemukan adanya
penyimpangan syar’i yang terjadi dalam pelaksanaan akad nikah di
depan jenazah, karena yang mereka lakukan hanya memenuhi
amanah/wasiat dari mendiang almarhum K.H. FM dan bukan menjadi satu
bagian daripada syarat maupun rukun nikah itu sendiri. Bila dilihat dari
kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan
81
terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki
peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi.
Begitu juga dari persyaratan yang harus dipenuhi calon mempelai
pria dalam melakukan khitbah sebelum dilangsungkannya akad nikah, tidak
ada penyimpangan. Dalam Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah antara
lain: (a) adanya calon istri dan calon suami (b) masing-masing bukan
termasuk mawani’un-nikah, (c) antara keduanya merupakan sejodoh atau
kafa’ah (Ahmad, 1992:103-113). Menitikberatkan pada macam-macam
bentuk ‘urf sebagaimana telah dipaparkan bab II dapat dikatakan bahwa kasus
yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini
termasuk ‘urf shahih mengingat apa yang dilakukan dengan tradisi ini
ternyata bisa diterima oleh masyarakat dimana tradisi tersebut dijalankan dan
juga tidak bertentangan dengan syara’. Oleh karena itu, implikasi dari
pelaksanaan tradisi ini bagi masyarakat adalah terciptanya sikap toleransi
antara mereka yang melaksanakan dengan mereka yang tidak mau
melaksanakan.
Mengutip pendapat Abdul Haq dalam bukunya “Formulasi Nalar Fiqh
Telaah Kaidah Fiqh Konseptual” (2006:292), menyatakan bahwa syarat-
syarat adat secara umum sebuah tradisi dapat dijadikan pijakan hukum, yakni:
1. Adat tidak bertentangan atau berbenturan dengan teks syari’at artinya adat
tersebut berupa adat shahih. Sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek
substansial nash. Sebab bila seluruh isi subtantif nash tidak teranulir,
maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash, karena masih
82
terdapat beberapa unsur nash yang tak tereliminasi. Contohnya adalah
seperti dapat dipindah.
2. Adat berlaku konstan dan menyeluruh atau minimal dilakukan
kalangan mayoritas. Bilapun ada yang tidak mengerjakan, maka itu hanya
sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. Cara mengukur
konstansi adat sepenuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat,
apakah pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang mereka sering
lakukan atau tidak. Yang dimaksud adat konstan adalah adat yang
bersifat umum dan tidak berubah-ubah dari waktu ke waktu.
3. Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya. Hal ini
dapat dilihat dalam istilah-istilah yang biasa dilakukan dalam
transaksi jual beli, wakaf atau wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis
transaksi ini harus disesuaikan dengan istilah-istilah yang berlaku saat
transaksi itu berlangsung, bukan kebiasaan yang akan terbentuk
kemudian. Misalnya ada seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk
para ulama, sementara menunjuk orang-orang ahli fiqh, bukan ahli selain
fiqh.
4. Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai
substansial adat. Misalnya: dalam pernikahan di depan jenazah prosesi
akad nikah (ijab qobul) disertai dengan mas kawin (mahar) dimana
terdapat wali dan saksi terjadinya pernikahan.
Kedua, pelaksanaan pernikahan (akad nikah) di depan jenazah orang
tua hanya sebatas memenuhi bagian dari amanah/wasiat almarhum dengan
berlandaskan pada kaidah ushul fiqh yaitu ‘Ali r.a mengabarkan, Rasulullah
S.A.W pernah bersabda kepadanya: “Hai ‘Ali, tiga perkara janganlah engkau
83
mengakhirkannya. Yaitu sholat apabila tiba (waktunya), jenazah apabila telah
sempurna (kematiannya), dan wanita jika telah menemukan pasangan yang
sepadan dengannya” (HR. Tirmidzi).
B. Faktor Terjadinya Pernikahan Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
Mendasarkan pada objek penelitian terjadinya akad nikah di Kelurahan
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dilatar-belakingi oleh adanya
amanah dari mendiang almarhum sebelum meninggal dunia yang intinya ingin
almarhum masih memiliki beban berat yakni ingin menikahkan putri
terakhirnya sebelum meninggal karena keadaan kesehatan.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian wawancara dari beberapa tokoh
masyarakat/ulama dan masyarakat di kelurahan tersebut dapat peneliti analisa
bahwa faktor-faktor yang melatar-belakangi pernikahan di depan jenazah
berbagai macam, antara lain:
1. Kepercayaan dan Adat
Kehidupan dalam masyarakat segala pola tingkah laku individu
anggota masyarakat selalu dibatasi oleh norma-norma hukum yang
tidak tertulis dan ditaati oleh individu yang bersangkutan pula. Pola
tingkah laku tersebut meliputi pergaulan menyangkut masalah pernikahan.
Urusan pernikahan yang terkait dengan masa depan, mereka tidak terlepas
dari kepercayaan, dimana sebelum perkawinan dilaksanakan biasanya
kedua orang tua mempelai menentukan hari pelaksanaan nikah dengan
84
perhitungan hari, pasaran calon mempelai serta dicari hari yang baik.
Begitu pula untuk pemasangan terop (pemasangan hiasan janur) juga
dicarikan hari-hari yang baik pula. Karena dengan perhitungan yang baik
tersebut akan membawa ketentraman hidup dan dapat terhindar dari
malapetaka.
2. Menjalankan Amanah/Wasiat
Hal ini merupakan pemahaman terhadap permasalahan hukum
yang tidak disebut dalam al-syari’, bisa dikatakan bahwa persoalan
muamalah pada hakekatnya secara sosiologis muncul sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Menurut pandangan
penulis bahwa akad nikah di depan jenazah dipahami sebagai satu bentuk
pesan Allah SWT bagi manusia untuk melihat apa yang ada merupakan
ketetapan-Nya. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 242;
Artinya: “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya
(hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya”.
Berkenaan dengan hukum pelaksanaan akad nikah di depan
jenazah, penulis dalam hal ini juga tetap merujuk pada realitas yang ada
seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ibn Qayyim dalam bukunya I`ilam
al-Muwaqqi`in;
“Seorang mufti dan hakim tidak akan mampu untuk memberi
fatwa atau hukum dengan benar kecuali dengan dua bentuk
kefahaman. Salah satunya ialah memahami realitas dan hukum
fiqh. Lalu menghasilkan pengetahuan mengenai hakikat yang
sejajar dengan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk yang ada.
Bentuk yang kedua ialah memahami kewajiban dalam berhadapan
85
dengan realitas yaitu memahami hukum Allah yang ditetapkan
dalam kitab- Nya atau melalui Rasul-Nya, kemudian
menerapkan salah satu (Al-Quran/Sunnah) pada yang lain.
Siapa yang melakukan usaha dan upaya yang demikian itu, tidak
akan hilang darinya dua pahala atau satu pahala” (Ibn Qayyim,
I`lam al-Muwaqqi`iin, As-Sa`aadah, Juz I, hlm. 77-78)
Bertitik tolak dari obyek penelitian, penulis memakai penalaran
istislahi, mengingat yang menjadi pedoman disini adalah kemaslahatan
umum. Istilah ini dipakai dengan pertimbangan bahwa yang menjadi
permasalahan kedua adalah justru pada diharuskannya masyarakat
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga untuk
melaksanakan tradisi nikah di depan jenazah. Selanjutnya, dengan metode
al-masalih al-mursalah diharapkan dalam menentukan hukum nikah di
depan jenazah akan lebih bisa diterima. Dalam pemikiran ushul fiqh
terdapat cara penentuan legalitas maslahat yang diantaranya adalah
maslahat yang tidak terdapat legalitas nas baik terhadap keberlakuan
maupun ketidakberlakuannya. Mengingat nikah di depan jenazah
merupakan satu tradisi suatu daerah, sehingga untuk mencari nas khusus,
kalaupun ada hanya pada persoalan ‘urf.
Akad nikah di depan jenazah sebagai sebuah kebudayaan,
merupakan sesuatu yang berada diluar kemauan manusia, diluar
kemampuan seseorang dan keberadaannya memaksakan kehendaknya
pada para individu. Kemudian dari sini muncullah pola budaya ideal yang
memuat hal-hal yang diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan
dalam keadaan tertentu dan pola seperti ini kemudian sering disebut
dengan norma. Ketika sebuah tradisi telah menjelma dalam norma
86
kehidupan, kesepakatan untuk merubahnya pun memerlukan satu
proses dan jelas akan membutuhkan satu perjuangan tersendiri.
Unsur-unsur dari pernikahan di depan jenazah terdapat beberapa hal
yang harus dikoreksi lagi, mengingat dalam unsur tradisi tersebut mengandung
beberapa macam hal yang terasa janggal, seperti:
a. Bakti terakhir anak terhadap orang tua
Pelaksanaan pernikahan di dekat jenazah orang tua sebelum
dikebumikan merupakan bentuk dari penghormatan/ungkapan rasa bakti
seorang anak terhadap orang tua. Wujud berbakti kepada orang tua
dalam agama Islam tidak mengenal waktu atau usia. Adapun, bentuk-
bentuk bakti anak terhadap orang tua dalam Islam, sebagai berikut:
1) Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik.
Maksudnya memberi kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk
shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada
kedua orang tua kita.
2) Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut.
3) Tidak boleh sombong apabila sudah meraih sukses atau
mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam
keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah
yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan
semuanya.
4) Memberikan infak (sadaqah) kepada kedua orang tua.
Semua harta kita adalah milik orang tua.
5) Mendoakan orang tua.
87
Menurut penulis bentuk bakti terakhir kepada orang tua dalam
bentuk pernikahan di depan jenazah orang tua tidak sesuai dengan bentuk
dan macam bakti kepada orang tua yang dianjurkan oleh Islam. Apabila
pernikahan tersebut dijadikan alasan rasa bakti anak terhadap orang tua,
merupakan hal yang sudah mengada-ada termasuk dalam kategori bid’ah.
b. Bala’ (malapetaka/musibah)
Pernikahan di depan jenazah ada istilah terkena balak. Hal ini
karena kepercayaan sebuah masyarakat jika tidak melaksanakan tradisi
tersebut, maka akan terkena balak atau kesialan. Kepercayaan semacam
ini dalam Islam dikategorikan sebagai tathayyur, dan tathayyur sendiri
termasuk pada syirik. Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah
SWT QS. At-Taghabun ayat 11:
Artinya: “tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah
niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.
Maksud ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu yang terkait
masalah musibah, semua itu yang mengatur adalah Allah SWT bukan
karena sesuatu yang lain. Jadi pada dasarnya kepercayaan terhadap akan
datangnya bala’ merupakan sebuah kesyirikan karena menganggap bahwa
bala’, musibah dan kesialan datangnya dari Allah. Dan tathayyur (merasa
sial karena sesuatu) disabdakan oleh rasulullah SAW bukan termasuk
golongannya. Sebagaimana sabda beliau yang artinya: tidak termasuk
88
golongan kami orang yang bertathayyur atau meminta ditathayyurkan,
atau menenung atau diminta ditenungkan, atau menyihir atau diminta
disihirkan -Thabrani dari Ibnu Abbas dengan isnad yang baik.
c. Tidak Menyegerakan Mayit
Berlama-lama membiarkan jenazah tidak disegerakan untuk dikubur
seperti halnya yang terjadi ketika pernikahan di depan jenazah
dilaksanakan. Maka hal itu akan menimbulkan pertentangan pada hadits
Nabi SAW yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa
Nabi SAW bersabda percepatlah pengurusan jenazah. Jika dia orang baik,
maka segera kau antarkan kebaikan/kenikmatan dan jika dia orang tidak
baik maka segera kau hindarkan kejelekan itu darimu (HR. Al-Bukhari,
nomor hadist 1315)”.
d. Mengundur Waktu Pernikahan Hingga Ganti Tahun
Pernikahan di depan jenazah ada beberapa serangkaian tradisi yang
dilakukan jika tidak melaksanakan pernikahan di depan jenazah,
diantaranya yaitu mengundur waktu pernikahan hingga ganti tahun. Hal ini
dilakukan agar pernikahan kedua mempelai nanti tidak merasakan
suasana berkabung lagi ketika pernikahan tersebut dilaksanakan. Oleh
karena itu, pengunduran waktu pernikahan hingga tahun depan
bertujuan untuk menghilangkan masa berkabung salah satu mempelai
pengantin agar nantinya ketika pernikahan dilaksanakan penuh suka cita.
Pengunduran waktu pernikahan hingga ganti tahun
sebagaimana yang dijelaskan di atas dalam rangkaian pernikahan di
depan jenazah dalam pandangan Islam yaitu boleh. Hal ini karena
tidak adanya suatu tindakan yang menyalahi aturan Islam. Islam
89
menganjurkan untuk segera menyegerakan pernikahan jika sudah
mampu baik secara lahir maupun batin. Namun ketika terjadi
musibah seperti peristiwa kerubuhan gunung, maka pengunduran waktu
pernikahan adalah suatu hal sangat tepat, karena pada saat peristiwa
kerubuhan gunung terjadi, kesiapan mental dari salah satu pihak
mempelai pasti tertekan. Hal seperti ini, dapat mengurangi tingkat
kesiapan seseorang untuk melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu,
untuk menjaga kesempurnaan pernikahan yang dibalut dengan suka
cita dan kebahagian, pengunduruan waktu seperti halnya dalam
serangkaian pernikahan di depan jenazah tidaklah masalah karena
pengunduran waktu tersebut tidaklah menyalahi aturan Islam yang
berlaku.
Penulis berpendapat berpendapat mendasarkan pada penelaahan ‘illah
al-amr (perintah) dan al-nahy (larangan), hukum nikah dalam Islam masih
kurang jelas. Hal ini, bisa dijadikan satu landasan dalam menentukan hukum
pelaksanaan akad nikah di depan jenazah yang bagi penulis sah menurut
hukum Islam, dalam artian tidak adanya satu pelanggaran terhadap hukum
Islam. Hal ini penulis lakukan dengan landasan pada dalil yang menerangkan
bahwa Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan, itulah yang
harus disadari oleh orang yang beriman sebagaimana termaklub dalam QS. Ali
Imran ayat 191:
90
Artinya: (Yaitu) Orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka perihalah kami dari siksa api neraka”(Departemen
Agama RI., 1994:110).
Melangsungkan ijab qabul pernikahan di depan jenazah, biasanya
dilakukan saat pernikahan sedang direncanakan, tapi tiba-tiba tanpa disangka-
sangka terjadi musibah, orang tua mendadak meninggal dunia. Sebagaimana
yang pernah muncul di dalam berita media masa, atas meninggalnya sang
ayah salah satu calon mempelai. Salah satu motivasinya, mungkin mereka
ingin agar sang ayah yang sudah meninggal ikut menyaksikan pelaksanaan
ijab qabul pernikahan putra/putrinya. Alasan tersebut sulit diterima akal,
logika dan perasaan. Jika mereka bermaksud agar sang ayah menjadi wali
dalam pernikahan, hal ini tidak dibenarkan oleh syariat, karena ia sudah
meninggal. Orang yang meninggal sudah tidak lagi berfungsi seluruh organ-
organ tubuhnya. Tangannya tidak lagi menyalami, matanya tidak dapat
memandang lagi, dan jantungnya pun sudah tidak berdetak lagi. Sedangkan
secara syariah, orang yang meninggal artinya rohnya sudah terlepas dari jasad,
dan itu artinya ia sama sekali tak mampu lagi melakukan perbuatan apa pun
apalagi perbuatan hukum.
Pernikahan adat sudah bukan merupakan hal yang baru,
keberadaan pernikahan adat menjadi pewarna dari hukum pernikahan
Islam itu sendiri. Banyak hal yang terlihat begitu berbeda namun secara
mendasar pernikahan atau perkawinan adat kebanyakan masih menggunakan
91
ketentuan-ketentuan dasar dari perkawinan Islam. Hal ini terbukti dari banyak
dan beragamnya perkawinan adat yang hingga saat ini masih dilestarikan
diberbagai daerah. Akan tetapi, terkadang ada hal yang sengaja dilupakan,
diganti dan mungkin ditiadakan karena alasan kondisi yang tidak
memungkinkan, sehingga perkawinan adat tersebut seolah merupakan
mencari celah-celah hukum guna mendapatkan keutuhan dan terhindar dari
sangsi agama yang telah ditetapkan.
Perkawinan adat yang seperti ini sudah barang tentu akan menuai
benturan dari ajaran Islam (karena adanya jenazah pada saat terjadinya akad
nikah) dengan alasan karena situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan. Alasan yang seperti ini pasti akan dijumpai meski tidak
sering, perkawinan ataupun pernikahan dalam Islam adalah sebuah
kesakralan dalam hidup seseorang, karena dalam definisi pernikahan dalam
Islam sudah dijelaskan al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita atau
melakukan wathi dan berkumpul selama wanita tersebut seorang laki-laki
dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah-tangga sebagai suami-
istri yang memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan.
Definisi di atas sudah jelas jika perkawinan (nikah) merupakan sebuah
kesakralan karena perkawinan itu bertujuan untuk menjalin ikatan yang
suci, sehingga untuk memenuhi hal tersbut rukun dan syarat sah pernikahan
harus terpenuhi. Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam setiap akad (transaksi) apapun, termasuk untuk tidak mengatakan
terutama akad nikah. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang
92
menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa pelaksanaan pernikahan di
depan jenazah di masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,
Kota Salatiga tidaklah bertentangan dengan ketentuan hukum pernikahan
dalam Islam karena dalam pelaksanaan tradisi tersebut, rukun dan syarat sah
perkawinan terpenuhi. Jadi status hukumnya mubah melaksanakan
pernikahan di depan jenazah lantaran tidak adanya pertentangan dengan
ketentuan dari pernikahan Islam.
Adapun pernikahan di depan jenazah di masyarakat Kelurahan Tingkir
Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, status hukum dari perkawinan tersebut
sah menurut hukum pernikahan Islam, karena terpenuhinya unsur dalam rukun
pernikahan dalam Islam, sebagaimana pernikahan di depan jenazah di
masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Dalam
tinjauan hukum pernikahan Islam pernikahan di depan jenazah tersebut
boleh dilakukan, tapi bukan pernikahan tersebut sudah dapat dipastikan
sebagai pertimbangan hukum. Ada aturan-aturan pokok terkait adat istiadat
atau tradisi dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Oleh karena itu
dibutuhkan sebuah analisa terhadap tradisi pernikahan di depan jenazah
tersebut dengan menggunakan kaidah Al-Adatu Muhakkamah. Kaidah Al-
Adatu Muhakkamah merupakan kaidah fikih asasi yang kelima dari kaidah-
kaidah fiqhiyyah yang utama. Kaidah tersebut kurang lebih bermakna bahwa
93
adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum
(hukum Islam).
Kehidupan sehari-hari mendefinisikan kaidah tersebut yakni bahwa
tradisi, baik yang bersifat umum maupun khusus, dapat menjadi suatu
hukum untuk menetapkan hukum syariat Islam (Zaidan, 2008:133). Tradisi
dapat menjadi hukum yang dapat melegitimasi dari hukum Islam, apabila
tidak ada nash yang menyatakan tentang hal itu, maka hukum dari nash itu
wajib diamalkan dan tidak ditinggalkan, untuk kemudian melaksanakan
sebagai ganti darinya.
Norma tersebut bisa dilakukan individu atau kelompok masyarakat.
Norma yang bersifat individual adalah seperti kebiasaan dalam tidur, makan,
minum dan lain sebagainya. Sedangkan norma sosial adalah sebentuk
kebenaran umum yang diciptakan, disepakati, dan dijalankan oleh kemunitas
tertentu, sehingga menjadi semacam keharusan sosial yang harus ditaati.
Adapun landasan kaidah tersebut, sebagai berikut: (Rohayana, 2008:219)
1. Hadits Manqul yang berbunyi:
.ن س ح الله د ن ع و ه ف ان س ح ون م ل س الم ه أ ار م
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di
sisi Allah” (Usman, 1996: 141).
2. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 dan QS. An-Nisa’
ayat 19 (Departemen Agama RI, 2008).
Menurut Muhammad al-zarqa dilihat dari sisi bentuknya realitas, adat
dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu ‘ammah dan khassah. Adat
‘ammah (adat umum) maksudnya adalah suatu perbuatan atau perilaku yang
berlaku umum diseluruh Negara, sedangkan adat khassah (adat khusus)
94
maksudnya adalah suatu perbuatan atau perilaku yang berlaku umum
disebuah Negara. Dengan demikian, berlaku umum merupakan syarat
diperhitungkannya adat, baik adat yang umum maupun yang khusus. Jadi
apabila tidak ada nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang menentang maka tidak
perlu diperbincangkan lagi untuk diperhitungkan.
Menurut peneliti, pernikahan di depan jenazah orang tua
diperbolehkan asal memenuhi syarat dan rukun nikah sesuai dengan apa yang
telah ditentukan dalam peraturan perundangan. Sedangkan jenazah yang ada
tidak diikut-sertakan sebagai wali, saksi dalam pernikahan tersebut karena
jenazah tidak bisa melakukan perbuatan. Secara fiqih model pernikahan
tersebut dalam kategori pernikahan adat, sedangkan dalam undang-undang
perkawinan serta kompilasi hukum nikah tidak secara serta merta menjelaskan
tentang terjadinya pernikahan di depan jenazah. Berdasarkan hasil wawancara
lapangan peneliti dapat menyimpulkan pernikahan di depan jenazah bisa
dilakukan apabila telah mendapat ijin dari KUA sebagaimana terjadi di
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga telah mendapat ijin
dari KUA Kecamatan Tingkir akan tetapi ada konsekuensi tersendiri bahwa
terjadi penmbaharuan akad nikah (tajdidun nikah) sebagai syarat administrasi,
namun akad nikah yang telah dilaksanakan sebelumnya tetap dianggap sah
secara hukum.
95
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang peneliti uraian pada bab-bab sebelumnya
dan analisis tentang pernikahan di depan jenazah orang tua, maka peneliti
menyimpulkan, sebagai berikut:
1. Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di
Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tetap berpegang
teguh pada syar’i dalam artian mereka tidak meninggalkan syarat-syarat
yang ditentukan oleh para ahli fiqh. Hal ini, terlihat dengan adanya
ijab dan qabul yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat serta
terpenuhinya syarat dan rukun nikah sesuai ajaran Islam. Pernikahan
tersebut telah mendapat ijin dari KUA Tingkir. Bila dilihat dari kedudukan
jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan terhadap syar’i
sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki peran sama
sekali, baik sebagai wali maupun saksi.
2. Pernikahan di depan jenazah orang tua dilakukan di Kelurahan Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga sebagai bentuk bakti terakhir anak
terhadap orang tua; ada amanah atau pesan terakhir/wasiat almarhum
untuk menikahkan anaknya sebelum meninggal dunia mendasarkan pada
riwayat rasulullah shallallahu ‘alaihu wasallam bersabda:
رهن لاة إذا أتت ، والجنازة إذا حضرت : ثلاثة يا علي ل تؤخ الص
، والأيم إذا وجدت كفؤا
96
Artinya: “Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda,
yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah
hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu”
(HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)
Ditinjau dari sisi normatifnya masyarakat setempat tidak pernah
merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi pelakunya. Yang menjadi
landasan adalah kaidah yang mengatakan bahwa;
ل ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان Artinya: “Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan
keadaan (zaman).”
Dalam Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah antara lain: (a) adanya
calon istri dan calon suami (b) masing-masing bukan termasuk
mawani’un-nikah, (c) antara keduanya merupakan sejodoh atau kafa’ah.
3. Pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua,
yakni mubah (dilakukan karena dalam pelaksanaan tersebut seperti halnya
pernikahan dalam Islam, yaitu rukun dan syarat sah pernikahan terpenuhi)
Pelaksanaan pernikahan di depan jenazah tidak dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hukum karena, adat/tradisi model pernikahan di depan
jenazah tidaklah memenuhi kriteria adat yang baik ‘amm (adat umum)
ataupun khash (adat khusus).
B. Saran
Penulisan skripsi ini, penulis mengakui bahwa kendala utama yang
penulis hadapi adalah minimnya referensi di lapangan juga minimnya literatur
Islam tentang budaya ataupun tradisi lokal yang ada di Indonesia. Oleh karena
itu, penulis, menyarankan :
97
1. Kepada para peneliti mengenai hukum Islam dan kebudayaan untuk
mempertimbangkan referensi di lapangan juga literatur Islam tentang
budaya lokal suatu daerah bila suatu saat akan mengadakan penelitian
yang serupa.
2. Menghimbau dan memohon kepada semua pihak yang berwenang
untuk menggali, mengkaji dan menelaah secara mendalam peran sosiologi
terhadap hukum Islam. Hendaknya pelaksanaan akad nikah di depan
jenazah yang mengacu pada implikasinya yaitu pengulangan khitbah
bagi yang tidak melaksanakan akad tersebut perlu mendapat perhatian
khusus dari ahli hukum Islam.
3. Menghimbau kepada semua masyarakat untuk lebih sering melakukan
dialog mengenai adat kebiasaan masyarakat di Indonesia dengan memakai
kacamata agama dalam rangka usaha melakukan reinterpretasi
terhadap fiqh Islam. Selain itu, dalam setiap warisan luhur dari nenek
moyang kita seperti tradisi jangan langsung kita telaah secara utuh
tanpa ada sebuah koreksi terhadap tradisi tersebut. Untuk memastikan
semua itu perlu kiranya untuk menelaah ulang apa yang sudah kita terima
dan kita lakukan hingga saat ini, agar kita tidak salah dalam
mengadopsi dan melaksanakan sesuatu yang telah diwariskan yang
berakibat pada pertentangan kepada Agama.
C. Penutup
Atas selesainya skripsi ini, akhirnya penulis mengucapkan syukur
Alhamdulillah sebagai rasa syukur yang tak terhingga. Penulis sangat
98
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan dan
perbaikan kelak.
99
1
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika
Presindo).
Ahmad, Hady Mufa’at. 1992. Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam),
(Semarang: Duta Grafika).
Al-Anshari, Zakaria. t.th. Fath al- Wahab Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi)
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1969. Kitab Fiqh ‘ala Mazhab al-Arba’ah, Juz. IV,
(Mesir: al Maktabah al –Tijaroh al-Kubro).
Al-Khin, Mustofa dan Mustofa Al-Bugho. 2005. Kitab Fikih Mazhab Syafie,
Undang-Undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan
Anak-anak, Penyusuan, Membentuk Keturunan, Anak Buangan),
(Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd).
Al-Zahabi, Muhammad Husain. t.th. al-Syari’ah al-Islamiyah (Dirasat Muqaranat
baina al- Mazahib ahl al-Sunnah wa Mazahib al-Ja’fariyah), (Mesir:
Dar al-Ta’lif).
Amirin, Tatang M. 1990. Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta : Rajawali Pers)
Anoname. 1999. Ensiklopedi Islâm, Vol. I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve).
Arikunto, Suharsini. 1987. Prosedur Penelitian Pendekatan Suatu Praktek
(Jakarta: Rineka Cipta).
Dahlan, Abdul Azis. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve).
Departemen Agama RI,. 1994. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Kumudasmoro Grafindo).
Harun, Nasrun. 1997. Ushul Fikih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).
Ihromi, T.O. 1986. Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Gramedia).
Imam Abi al- Husain Muslim Ibn. Hajjaj Qusairy an-Naisabury. t. th. Shahih
Muslim, (Mishr: Darul Fikr).
Imam Al-Mundziri. 2001. Ringkasan Hadist Shahih Muslim (Jakarta: Pustaka
Amani).
Jannati, Muhammad Ibrahim. 2007. Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Syafi’i,
Hambali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, (Jakarta: Cahaya).
2
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2006. Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga
Sakinah (Bogor: Pustaka At-Taqwa).
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu ushul Fikih
(Jakarta: Bumi aksara).
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina).
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada).
Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh, Jilid I (Yogyakarta: Dana Bakhti Wakaf).
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2002. Fikih Lima Madzhab, Terj. Masykur A.
B., Afif Muhammad dan Idrus al-Kaff, (Jakarta: Lentera Basritama).
Mukhtar, Erna Widodo. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif.
(Yogyakarta : Avyrouz).
Nasution, Khoirudin. 2004. Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum
Perkawinan I) Dilengkapi Perbandingan Unadang-Undang Negara
Muslim. (Yogyakarta : Tazzafa Academia).
Prasetyo, Joko Tri. 1998. Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: PT. Rineka Cipta).
Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya).
Rasjid, Sulaiman. t.th. Fiqh Islam (Jakarta: Sinar Baru al Gesindo).
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada).
Rusyd, Ibnu. t.th. Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr).
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr).
Saekan, Erniati Effendi. 1997. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
(Surabaya: Arkola Offset).
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik
(Bandung: CV. Tarsito).
Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan
Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).
3
Syafi’I, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fikih (Bandung: Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fikih, Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).
T.O. Ihromi (ed.) 1986. Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Gramedia).
Truna, Dody S. dan Ismatu Ropi. 2002. Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan
Sosial, Politik Hukum, dan Pendidikan (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 1990. (Semarang: Aneka
Ilmu).
Warson, Ahmad. 1984. Munawir al-Munawir, Kamus Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Ponpes Al- Munawir).
Yunus, Mahmud. 1983. Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya
Agung).
Zahrah, Abu. t.th. Ahwal al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi).
Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul al-Fiqh (Jakarta: Pustaka firdaus).
Zaidan, Abdul Karim. 2008. 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
(http://tausyiah275.blogsome.com/2009/08/11/menikah-di-depan-jenazah-ajaran-
siapa-itu/diakses pada, Minggu 1 Januari 2016, jam 16.30WIB)
4
5
Nama : Khomsun Masyhadi Panggilan : Adi, Khomsun, Shonto Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 09 Juli 1985 Kebangsaan : Indonesia Status : Belum Kawin Hobi : Hunting foto, desain grafis, petualangan, jalan-jalan Tinggi/Berat : 168 cm / 55 kg Agama : Islam Alamat : Kalibening RT 02/III Kalibening Salatiga 50744 No. HP, WA / Pin : 085 6278 6298/ 54C91D8A Email : [email protected] / [email protected]
2008 – sekarang : IAIN Salatiga (Fakultas Syari’ah – Hukum Perdata Islam)
2000 – 2003 : MA AL-Muayyad Surakarta (Berijazah) 1997 – 2000 : Sekolah Menengah Pertama (Berijazah) 1991 – 1997 : Sekolah Dasar (Berijazah)
Ags – Des 2008 : Kursus Kewirausahaan Orientasi Perkotaan Bidang Teknisi Komputer di SKB Ngebul Kota Salatiga, pelaksana SKB NGEBUL Salatiga dan UKSW Salatiga
Microsoft : Word, Exel, Power Point Grafis : Corel, Adobe Photoshop, Sketchup
DATA PRIBADI
PENDIDIKAN NON FORMAL
KEMAMPUAN
PENDIDIKAN FORMAL
6
7
8
9