PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUSASAAN: “Telaah Tafsir Tematik tentang ayat ... · 2013. 5....
Transcript of PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUSASAAN: “Telaah Tafsir Tematik tentang ayat ... · 2013. 5....
PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUSASAAN: “Telaah Tafsir
Tematik tentang ayat-ayat yang menggambarkan “berputus asa” dan
Pencegahannya dalam al-Quran”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Disusun oleh :
Muhammad Ramdhani M NIM : 104034001175
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H / 2011 M
i
ii
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H ha dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik diatas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha هـ
apostrof ` ء
Y ye ي
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasra
U dammah
Adapun Vokal Rangkap
iv
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــــــي
û u dengan topi di atas ـــــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (ال) ,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh الشمسية = al-syamsiyyah, القمرية = al-qamariyyah.
e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya . Contoh البخار = al-Bukhâri.
vi
4,01 cmKATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah syukur kepada-Nya atas nikmat yang diberikan, shalawat
dan salam selalu terhaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas
akhir dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin & Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis agar dapat
menyelesaikan skripsi ini. Khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.beserta para
pembantu Dekan.
2. Bapak Drs. Bustamin, M. Si selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak
Muslim selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
3. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing penulisan skripsi.
Terima kasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Syarif Hidayatullah,
pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Kedua orang tua penulis Ayahanda Tgk. H.M. Yusuf Amin dan Ibunda Nyi
Mulyana, cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya, seluruh Abang-abang
saya Zulfikarullah, Muhibudin, Yose Rizaldi dan adik Saya Siti Ru'yatul
Munawwarah. Semoga kita bisa bersama-sama sukses mulia.
6. Reza Fajrin, Muhammad Baehaqi Darussalam dan Bahtar Atam yang terus
menyemangati saya dalam menyelesaikan Skripsi ini serta membantu dalam
bentuk moril yang tiada batasnya.
7. Keluarga Besar Teater el-Na'ma yang selalu menghadirkan energi cinta yang
luar biasa dalam setiap proses berkesenian dan memaknai kehidupan dalam
diri penulis .
8. Seluruh sahabat saya yang menghadirkan segala rasa kalian hadir dengan
segala macam informasi dan cinta yang saya rindukan.
Semoga amal baik mereka mendapat balasan yang melimpah dari Allah
SWT , selalu ditunjukkan hidayah-Nya dan senantiasa berada dalam
lindungan-Nya.
Akhirnya, kritik dan saran selalu penulis harapkan demi kesempurnaan
skripsi ini.
Jakarta, 14 September 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..…………………………………………….i
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………….iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………viii
BAB I PENDAHULUAN ……….…………………………………….1
A. Latar belakang Masalah ……………………………………………..1
B. Tinjauan Pustaka .............……………………………………8
C. Pembahasan dan perumusan masalah ……………………………..10
D. Tujuan Penelitian ……………………………………………..12
E. Metodologi penelitian ……………………………………………..12
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………..13
BAB II KERANGKA TEORITIS ……………………………………..15
A. Definisi dan Makna Keputusasaan ……………………………..15
1. Terminologi Umum ……………………………………………..15
2. Terminologi al-Quran ……………………………………………..16
B. Keputusasaan dalam Perspektif ……………………………………..19
1. Perspektif Psikologi ……………………………………………..19
2. Perspektif Filsafat ……………………………………………..26
ix
BAB III INDENTIFIKASI AYAT-AYAT KEPUTUSASAAN
DALAM AL-QURAN ……………………………………....32
A. Ayat-ayat al-Quran tentang keputusasaan ………………………32
1. Ya’isa ………………………………………………32
2. Qanatha ………………………………………………41
3. Ablasa ………………………………………………45
B. Penyebab-penyebab keputusasaan ………………………………49
1. Hilangnya Rahmat Allah ………………………………49
2. Kekufuran ………………………………51
3. Ditimpa malapetaka dan musibah ………………………52
4. Buruk sangka kepada Allah ……………………....53
C. Solusi al-Quran dalam menghadapi keputusasaan ………………55
1. Sabar ………………………………………………55
2. Syukur ………………………………………………59
BAB IV PENUTUP ……………………………………………….67
A. Kesimpulan ……………………………………………………….67
B. Saran-saran ……………………………………………………….69
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….70
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang sempurna di antara ciptaan Allah SWT1.
Kesempurnaan penciptaan pada manusia ini tidak dalam term fisikal, melainkan
secara mental-psikologis, moralitas dan akal potensi penciptaan. Potensi
penciptaan secara mendasar termanifestasikan dalam dua unsur yaitu potensi
kebaikan dan keburukan. Untuk dapat berhasil mengarungi kehidupan dan melerai
dinamika di dalamnya, manusia harus mampu mengejawantahkan potensi yang
dimilikinya dalam term kesempurnaan ilahiah yaitu penghambaan secara utuh
baik ketika suka maupun duka.
Eksistensi manusia sebagai makhluk sempurna menjadikan mereka sebagai
khalifah di muka bumi, Sebagaimana Allah telah berfirman :
1 Q.S al-Tin (95):4
2
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."2
Karena itu manusia dituntut untuk mampu mengendalikan dirinya, baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat sebagai aspek yang
mengiringi keberadaannya.
Dewasa ini, dinamika kehidupan manusia terus meningkat dan semakin
kompleks. Perkembangan zaman yang seyogyanya mampu meningkatkan taraf
hidup masyarakat dunia yang berarti juga terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi mereka ternyata belum mampu mewujudkan kebahagiaan
hakiki. Namun nyatanya masih saja ada manusia yang mengambil tindakan
melanggar ketentuan ilahi sebagai akumulasi dari ketidakbahagiaan.
Dapat dikatakan bahwa korelasi yang terjadi di dunia mengambil bentuk
hubungan kausalitas tetapi tidak semua hubungan tersebut bersumber dari luar diri
manusia. Sebagai bentuk hubungan kausalitas yang bersumber dari dalam diri
manusia ialah gejala atau bentuk tindakan seseorang yang mengalami
2 Q.S al-Baqarah (2):30
3
keputusasaan, di antaranya tindakan bunuh diri karena kemiskinan, kehilangan
harta benda, merampok karena gagal mendapatkan pekerjaan, gantung diri karena
turun pangkat, atau memotong urat nadi karena gagal dalam meraih cita-cita. di
sisi lain, juga terekam adanya orang kaya bunuh diri, istri pengusaha terjun dari
gedung tinggi, dan lain sebagainya. Kedua fakta tersebut memperlihatkan dua
model manusia terhadap hubungan dirinya dan kehidupan. Jika yang pertama
terjadi sebagai akibat akumulasi dari kesusahan yang dirasakan. Maka yang kedua
terjadi karena ketidakmampuan memaknai hakekat kecukupan dan kehidupannya.
Jadi, secara garis besar dapat penulis ungkapkan bahwasanya faktor ekonomi,
beratnya tekanan hidup serta melencengnya harapan seseorang terhadap sesuatu
yang diinginkanya, maka akan berpotensi untuk menimbulkan rasa keputusasaan.
Karena pada dasarnya, putus asa adalah salah satu potensi negatif baik itu dalam
bentuk sedih, marah, malu, bahagia, bangga, dan sebagainya.
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (Q.S. Fushilat :49)
Meskipun demikian putus asa tidak dianjurkan oleh al-Quran sebagaimana
yang tertera dalam firmannya :
4
Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir".3
Sebagai manusia yang mempunyai tujuan hidup tentu akan sangat merugi
apabila kebahagiaan yang bersifat sementara, seolah-olah menjadi tujuan akhir
dari kehidupan dengan melupakan kebahagiaan yang hakiki di kehidupan
selanjutnya. Al-Quran mensinyalir tentang hal tersebut seperti terdapat pada surat
Ali „Imrân 1524.
Pada hakikatnya manusia harus bisa menempatkan alam dunia sebagai pijakan
untuk kemudian melangkah pada alam yang sebenarnya yaitu akhirat yang abadi.
Tentunya dengan tidak melupakan kebahagiaan dunia. Agama dibutuhkan untuk
membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki.
Al-Quran hadir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dari persoalan individu
sampai masalah internasional dalam pelbagai aspek kehidupan5. Al-Quran juga
hadir untuk membimbing manusia agar bisa mengembangkan potensi positifnya
3 Pada surat Yûsuf ayat 87, Allah SWT mengingatkan pesan Nabi Ya‟kub kepada anak-
anaknya tatkala hendak berangkat ke Mesir untuk mencari Yusuf, ''Janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.
Jalaluddin al-Mahalli,Jalaluddin al-Suyuti, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004). vol. 1, hal. 925
....
…. di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang
menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka[239] untuk menguji kamu,
dan Sesunguhnya Allah Telah mema'afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.
5 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung:Mizan,1995), hal.27
5
dan mengeliminasi potensi negatif yang ada dalam dirinya. Al-Quran juga telah
memberikan tuntunan kepada manusia untuk dapat menjadi makhluk sempurna
yaitu makhluk yang menggunakan akal dan pikiranya serta bersikap senantiasa
dilandasi oleh hati, perasaaan dan kesanggupan secara jasmani. Karena secara
esensial, manusia tidak akan mendapatkan cobaan atau tempaan hidup melebihi
batas kemampuannya.
Masalahnya adalah bahwa cara manusia berpikir dan bersikap tidak mampu
menerjemahkan kehendak (pikiran) Tuhan secara utuh dalam limpahan dan
anugrah-Nya. Allah Swt berfirman dalam Ali-Imran ayat 156 berikut:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir
(orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada Saudara-saudara
mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka
berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak
mati dan tidak dibunuh." akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka)
yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di
dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah
melihat apa yang kamu kerjakan.
Berbagai disiplin ilmu yang muncul dan berkembang seolah menjadi rujukan
manusia modern untuk memecahkan masalah mereka sekaligus mengambil solusi
darinya, diantaranya adalah ilmu psikologi dan filsafat kehidupan bahkan pada
karya-karya dalam bidang sastra dijadikan referensi pokok untuk menghadapi
realitas kekinian. Meskipun demikian, keputusasaan dalam menghadapi masalah
6
masih saja ditemukan, bahkan di negara maju sekalipun. Di lain pihak, mereka
yang memakai al-Quran sebagai falsafah kehidupan seolah tidak menemukan
jawaban atas persoalan yang mereka hadapi. Lalu bagaimana seharusnya al-Quran
berlaku? Padahal janji Allah adalah menghilangkan rasa duka cita pada manusia
apabila ia menerima al-Quran dengan keyakinan dan mengamalkannya.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya disadari bahwa fenomena
yang terjadi pada kehidupan ummat manusia, kebanyakan dari mereka hanya
memfungsikan al-Quran sebatas hiasan rumah yang disusun rapih dalam sebuah
rak buku ataupun sebagai hiasan dinding, naifnya lagi mereka hanya sekedar
untuk membacanya saja namun tidak banyak yang berusaha untuk
mengaplikasikan serta mengamalkan mushaf tersebut. Pada akhirnya, wajar jika
Allah belum mengabulkan atau memberikan janjinya terhadap manusia tersebut,
karena sesungguhnya Allah akan memberikan janjinya ketika mereka mau
mengaplikasikan serta mengamalkannya, tentunya dengan harapan mencari
keridhaan serta pertolonganya.
Dengan kata lain, al-Quran akan terasa bermakna dan berguna sebagai
petunjuk hidup ummat manusia di muka bumi ini, jikalau al-Quran difungsikan
serta dimanifestasikan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah
kepada mereka (manusia) yaitu mengimani, membaca (menafsirkan) serta
mengaplikasikanya. Selanjutnya, kompleksitas zaman merupakan sebuah
tantangan yang perlu dihadapi. Al-Quran memiliki peran penting untuk menjawab
tantangan tersebut, karena ayat-ayat yang tertera di dalamnya merupakan kata
kunci dalam menjawab permasalahan yang berkemabang dalam kehidupan
7
manusia hingga akhir zaman nanti. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
sampai kapanpun penafsiran ayat-ayat al-Quran merupakan proses yang tidak
mengenal titik henti.6
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa umat Islam sebagai makhluk yang
mengimani al-Quran dituntut untuk dapat mengkolaborasikan antara al-Quran
sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem dan perubahan
sosial yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas7, dengan tujuan
untuk mendapatkan benang merah di antara keduanya. Muhammad Syahrur
mengatakan bahwa, al-Quran harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan
zaman yang dihadapi umat manusia.
Berangkat dari itu, bahwa al-Quran diturunkan ke dunia ini memiliki
beranekaragam tujuan yaitu diantaranya menjadi petunjuk (Hudâ)8, penerang
hidup manusia (Bayân)”,9 pembeda antara yang benar dan salah (Furqan)”,
10 dan
juga sebagai penyembuh penyakit hati (Syifâ al-Qalb),”11
serta menjadi petuah
atau nasehat bahkan menjadi peringatan bagi umat manusia.
Setiap manusia ingin mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, akan tetapi
penderitaan selalu datang. “Putus asa” sebagai penyakit jiwa selalu menjadi
masalah serius dalam kehidupan umat manusia. karena itulah al-Quran sebagai
penyembuh penyakit jiwa di sini dapat menemukan perannya tersebut bila
6 Abdul mustaqim, dkk, Studi al-Quran Kontemporer: wacana baru berbagi metodologi
Tafsir (id.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal,.xii 7 Abdul Mustaqim, dkk, Studi al-Quran, hal. ix
8 Achmad Gholib, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur‟an, Al-hadits dan
sejarah Peradaban Islam (jakarta:penerbit Faza Media, 2006), hal.43 9 Q.S. al-An’âm (06):157
10 Q.S. al-Furqân (25):1
11 Q.S. Yûnus (10):57
8
disinergikan dengan realitas kontemporer sebagai upaya menuntun kembali
manusia hingga sampai ke jalan Allah.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,Masuklah ke
dalam syurga-Ku.
Berdasarkan latar belakang masalah dan pemikiran di atas penulis tertarik
untuk mengkaji dan menganalisa bentu-bentuk keputus asaan dalam al-Quran
serta kiat menghadapi agar tidak disudutkan kenyataan dan menemukan cahaya
Allah dengan mengabil solusi dari al-Quran, untuk itu penulis mengambil judul
PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUSASAAN: “Telaah Tafsir
Tematik tentang ayat-ayat yang menggambarkan “berputus asa” dan
Pencegahannya dalam al-Quran”
B. Tinjauan Pustaka
Dari berbagai macam literature yang penulis kumpulkan, baik berupa artikel,
makalah, skripsi ataupun buku yang membahas tentang keputus-asaan dengan
berbagai perspektif yang berbeda. Namun, diantaranya terdapat beberapa buku
yang hanya membahasnya secara singkat dan masih jauh dari substansinya.
Pasalnya, putus asa merupkan salah satu bagian dari dilema kehidupan, biasanya
dalam pembahasannya disandingkan dengan tema lain, seperti kesedihan,
kebahagiaan. Diantaranya, seperti yang terdapat dalam karya Aid al-Qarni yang
berjudul “Lâ Tahzan”, dengan mengungkap bentuk-bentuk kesedihan beserta
9
penyikapannya. Beliau memakai kaca mata budaya dan sosial Timur Tengah yang
dibenturkan pada permasalahan modernisme di Timur Tengah dan dunia pada
umumnya yaitu dengan memunculkan ayat-ayat al-Quran dan hadits.
Masih dalam karyanya yang lain yaitu dengan judul “Jangan Putus Asa; Pintu
Tobat Selalu Terbuka”, beliau mencoba mengarahkan agar setiap manusia jangan
pernah berputus asa dari rahmat Allah, karena rahmat Allah begitu luas dan selalu
ada ampunan bagi meraka yang benar-benar mau bertobat. Di samping itu, buku
ini juga menawarkan solusi mengenai kiat-kiat agar tidak mudah berputus asa
sesuai dengan al-Quran beserta haditsnya.
Selain Aid al-Qarni, terdapat juga karya lainnya, yaitu dengan judul buku
“hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan dalam pandangan al-Quran dan hadits”.
Buku yang diterjemahkan oleh M. Aiman As-Sabrany ke dalam bahasa Indonesia
tersebut juga menawarkan tips (kiat-kiat) memperoleh bahagia dan menghindari
kesengsaraan menurut al-Quran dan hadits. Buku lainya, karya David Starr Jordan
yang berjudul The Philosophie of Despair mendeskripsikan putus asa dalam kaca
mata filusuf. Namun, buku ini lebih banyak mendeskripsikan keputus asaan yang
dituangkan ke dalam bentuk syair.
Dalam skripsi yang berjudul “Musibah Menurut al-Quran; Telaah Terhadap
Surat al-Baqarah 155-157” yang ditulis oleh saudari Layli, mahasiswi dari
fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Hadits periode 2003; membahas tentang
musibah dan solusi menghadapinya yaitu dengan cara sabar dan shalat, namun ia
tidak membahas keputusasaan sebagai efek kronik dari musibah yang dialami.
Maka dari sejumlah karya tulis yang penulis temukan belum ada pembahasan
10
tentang tema putus asa dengan solusi al-Quran secara komprehensif. Yaitu
membiarkan al-Quran berbicara tentang keputusasaan dengan jalan keluarnya,
dimana ayat yang satu menerangkan ayat yang lain.
Penulis akui, tema ini bukan kajian baru dalam dunia keislaman. Akan tetapi,
poin penting yang menjadi kelebihan skripsi penulis dengan penulis lain adalah
adanya pembahasan secara komprehensif dari disiplin ilmu lain, yaitu psikologi
dengan keilmuan tersebut penulis mengambil teori-teori maupun paradigma
kemanusiaan untuk menganalisa gejala-gejala psikis manusia dalam kaitannya
dengan keputusasaan. Selanjutnya filsafat, penulis juga mengambil dan meminjam
metode serta kerangka berfikirnya yang radic (mendalam). Tujuannya agar dapat
menganalisa serta menyentuh esensi masalah dalam menghasilkan sebuah solusi
selain memperkaya khazanah penulis tentang tema „keputusasaan‟ tersebut.
Selain itu, adanya solusi yang ditawarkan sesuai dengan ajaran agama Islam
dalam al-Qur‟an juga menjadi daya tarik tersendiri dari skripsi yang penulis susun
dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang sejenis. Dengan adanya
pembahasan yang koheren dalam ilmu psikologi dan filsafat serta pengajuan
solusi bagi orang yang putus asa dalam al-Qur‟an membuat tulisan penulis
menjadi sebuah karya yang berbeda dan lebih baik secara kualitas isi.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
11
Penelitian ini mengungkap persoalan bentuk keputusasaan dan kiat
menanggulanginya menurut petunjuk al-Quran. Dengan demikian pembahasan ini
diupayakan merujuk pada ayat-ayat yang penulis anggap paling tepat
menggambarkan keputusasaan dan kontekstualisasi realitas sosial, sekaligus
mencari solusi dari ayat-ayat yang berhubungan. Untuk sampai pada tema tersebut
ada sejumlah kata kunci yang dapat digunakan sebagai bahan penelusuran,
diantaranya: kata (al-ya`su) yang artinya putus asa, (al-Qanath) yang
artinya putus asa-putus harapan, (Ablasa) putus asa-terdiam, berputus asa.
Ketiga kata tersebut akan penulis akomodir dan dijadikan sebagai kesatuan
bahasan. Setelah dilakukan penelusuran terhadap ketiga kata tersebut dengan
menggunakan indeks al-Quran, susunan Sukmadjaya Asyarie dan Rosy Yusuf
diperoleh data bahwa kata „ya`isa‟ disebut sebanyak sepuluh kali, „qanatha‟
sebanyak lima kali dan „ablasa‟ sebanyak lima kali juga. Dengan demikian
pembahasan tentang gambaran putus asa dan solusi yang ditawarkan al-Quran
dalam mencegahnya, sepenuhnya akan merujuk pada ketiga kata tersebut beserta
derivasinya dalam al-Quran.
Dari pemaparan di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan
sebagai berikut : Bagaimana al-Quran menggambarkan berputus asa (ya`isa,
qanata dan ablasa) sebagai sebuah fenomena kemanusiaan? Apa Solusi yang
ditawarkan al-Quran untuk mencegah dan menanggulangi keputusasaan?
12
D. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini secara Formal untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu (S1) pada jurusan Tafsir hadits. Adapun tujuan non formalnya
adalah ingin memberikan sumbangsih pada khazanah tafsir al-Qur‟an. Selain itu
penulis ingin memberikan wawasan tentang tema kputus-asaan, bentuk-bentuk,
penyebab-penyebab dan bagaiman solusi al-Quran serta cara mencegah keputus-
asaan yang ditimbullkan dari musibah yang sering terjadi.
E. Metodologi penelitian
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan metode penilitian kualitatif dengan mencoba
menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan putus asa dalam al-Qur‟an
melalui penelusuran literatur untuk kemudian diolah sebagai alat penguji
hipotesa awal penulis.
2. Sumber Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan penulis dibagi ke dalam 2 bagian:
A. Data Primer
al-Quran itu sendiri
B. Data Sekunder:
Jurnal dan literatur lain terkait dengan permasalahan yang dibahas
seperti kitab-kitab dan tafsir-tafsir dan lain sebagainya.
13
3. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan penulis akan dianalisis secara kualitatif
dengan menggunakan pendekatan tematik untuk menganalisis permasalahan
yang dibahas.
Mengenai teknik penulisan, peneliti berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” terbitan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2008-2009.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi lebih sistematis, penulis membagi pembahasan
dalam skripsi ini mejadi beberapa bab, sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN. Berisikan latar belakang masalah,
tinjauan pustaka, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : KERANGKA TEORITIS. Menggambarkan tentang
definisi dan makna keputusasaan dalam terminologi umum dan perspektif al-
Qur‟an. Kemudian membahas keputusasaan dalam perspektif psikologi dan
filsafat.
Bab III : INDENTIFIKASI AYAT-AYAT KEPUTUSASAAN
DALAM AL-QURAN. Merupakan kata-kata dalam al-Quran yang
14
menunjukan arti putus asa, penyebab-penyebab keputus asaan dan solusi al-
Qur‟an dalam menghadapi keputusasaan.
Bab IV : PENUTUP. Adalah kesimpulan dan saran dari penulis atas
tema yang diangkat.
15
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Definisi dan Makna Keputusasaan
1. Terminologi Umum
Membahas kata putus asa, berarti mengupas secara mendalam makna yang
terkandung dalam kata tersebut, hal ini ditunjukan dengan maksud agar tidak
terjadi kesalah pahaman dalam mengartikan putus asa yang sesungguhnya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, putus asa diartikan secara
terpisah. Putus adalah tidak berhubung atau juga bisa disebut hilang; tidak
ada lagi; tidak mempunyai lagi (harapan atau pikiran)1 sedangkan asa adalah
harapan2, jadi putus asa merupakan hilangnya sebuah harapan.
Sedangkan Secara umum putus asa bisa juga diartikan sebagai suatu sikap
emosi yang berupa perasaan tidak sanggup dan tidak ada harapan sama sekali,
sehingga mengakibatkan pengurangan aktivitas fisik maupun mental3.
Sedangkan, menurut paradigma psikologis, putus asa disebut sebagai
suatu kondisi kejiwaan yang sangat tidak menyenangkan berkenaan dengan
hilangnya harapan akan berhasilnya usaha seseorang untuk mencapai tujuan
atau memuaskan keinginan yang telah dicanangkan sebelumnya4.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal .914
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal.68
3 Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal.55
4 Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, hal.56
16
Penulis juga mengutip pengertian lain mengenai putus asa, yaitu
timbulnya kelesuan, penurunan atau kemerosotan dan keadaan tertekan secara
mental dan emosi5.
2. Terminologi al-Qur’an
Pada dasarnya, manusia memiliki sifat mudah putus asa. Hal ini terungkap
dalam al-Qur‟an. Kehidupan manusia memang selalu menghadapi cobaan dan
masalah, oleh karenanya manusia cenderung mudah mengalami sikap putus
asa.
Putus asa dideskripsikan dalam al-Quran dengan 3 kata, yaitu
(Ya'isu), (Qanatha), (Ablasa) masing-masing memiliki makna
tersendiri. Sebelum beranjak dalam pembahasan, perlu kiranya penulis
mendeskripsikan makna kata-kata tersebut dengan memberikan pemisahan
terhadap ketiga kata yang memaknai makna putus asa yang tertulis dalam al-
Quran.
Hal tersebut bertujuan agar mampu memahami dan mendalami mengapa
al-quran memberikan tiga kata kunci tersebut. Mengenai kata yang pertama
yaitu kata yang merupakan bentuk isim fi’il dengan kata dasar
dan mashdarnya . Dalam terjemahannya ke bahasa Indonesia, kata
tersebut bermakna terputusnya harapan darinya6. makna kata dan
5 M D J al-Barry, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal.59
6 Louis Ma‟luf al-yassuî, Al-Munjid fî al-Lughah wal al-A„lam, Dar al-Mashriq, hal.1106
17
adalah lawan dari raja' (harapan) atau bisa dikatakan juga berputus asa dari
sesuatu.
Abi Basyar Amr bin Utsman bin Kanbar seorang ahli nahwu dan sastra,
menyatakan bahwa kata (ya`isa) memiliki dua karakter dalam bahasa
Arab. Pertama (ya'isa-yay'asu) dan kedua (ya'isa-
yay'asu) Dari kedua kata tersebut tersusun menjadi satu kesatuan kata, yaitu
. Sebagai contoh dalam kalimat (
seseorang beputus asa dari sesuatu maka ia berputus asa dari hal tersebut). 7
Sedangkan secara istilah adalah sebuah sikap yang dialami oleh
seseorang atau masyarakat, baik dari kalangan penguasa maupun rakyatnya.
Kondisi ini mengakibatkan kehinaan, ketertindasan atau kelemahan dan
kekerdilan serta ketundukan dalam kepasrahan.8
Dalam al-Quran kata (putus asa) terdapat pada sepuluh ayat al-
Quran dengan berbagai maksud dan tujuan yang Allah turunkan kepada
hamba-hambanya agar mencegah diri dari perasaan berputus asa dan
menegaskan bahwa sikap putus asa merupakan salah satu sifat orang-orang
kafir.
Selanjutnya adalah kata , berasal dari kata – - yang
memiliki persamaan makna dengan kata (yang paling sangat
7 Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Beirut dar al-fikr, 1994 . vol 6, hal. 259
8 Imam Majd ad Din Abi as Sa‟adat al Mubarak bin Muhammad Ibnu al Atsir, Al-
Nihâyah fi gharîbi al-hadîts wa al-atsâr. Daar al Ma‟rifah, Beirut-Libanon 2001. vol 4, hal. 262
bab “ya`isa”.
18
berputus asa)9. Adapun bentuk masdar dari adalah
. Untuk memperkuat argumentasi tersebut, maka penulis mengkutip dari
penjelasan salah satu Ulama di bidang ilmu nahwu dan sastra yaitu Abul Fath
Utsman bin Jinni Al-Mushily10
menyatakan bahwa bentuk kata
mempunyai padanan kata yang sama dengan .
Di dalam kitab at-tahdzib, dan memiliki makna sinonim yaitu
putus asa dari kebaikan. Abu „Amr bin Al „ Ala, berpendapat bawa seburuk-
buruknya manusia adalah yang berputus asa dari rahmat Allah SWT (jadi
kata putus asa disini bisa menggunakan kata atau ) 11
.
Sedangkan dalam Al-Nihâyah fî gharîbi al-hadîts wa al-atsâr menjelaskan
bahwa berarti sikap putus asa yang berlebih-lebihan untuk bisa keluar
dari krisis yang dialami individu atau kolektif menyebabkan kehinaan,
ketertindasan atau kelemahan dan kekerdilan serta ketundukan dan
kepasrahan.
Pembahasan selanjutnya adalah kata yang berasal dari kata
berarti dengan terjemahan bahasa Indonesianya adalah putus asa
atau menyesal. Oleh Karena itu, kata iblîs diambil dari kata balasa, tetapi
nama iblis yang sesungguhnya adalah , dan disebutkan juga dalam al-
Quran : . Jadi dari ayat di atas dapat kita ketahui
9 Mu’jam al-Wasîth al-Qahiroh, (Maktabah al-Syaroq al-Dauliyah: 2008), hal.1790
10 H.R. Taufiqurrochman, S.H. “Leksikologi Bahasa Arab”, (UIN Malang Press, Malang,
2008), hal.299 11
Ibnu Manzur , Lisanul Arab Vol 7, hal.386
19
bahwasanya iblîs yang diambil dari kata balasa telah mengalami putus asa
dari rahmat Allah SWT. Sebab itu, putus asa juga merupakan salah satu sifat
dari iblis, mereka menciptakan kondisi yang akan mendorong manusia ke
arah keterpurukan. Di samping itu, Iblis bersembunyi di dalam emosi para
manusia, membisikkan ketidakadilan hidup terhadap korban-korbannya12
.
Melalui emosi dia akan merangkak ke dalam pikiran manusia dan
mewujudkan visi kehancuran manusia. Adapun identifikasi mengenai kata
terdapat dalam al-Quran.
Dari ketiga kata kunci yang terdapat di dalam al-Quran, dapat disimpulkan
bahwa putus asa merupakan sebuah kondisi perasaan hati yang pada akhirnya
dapat membelenggu manusia secara utuh dalam keterpurukan yang
disebabkan dari perasaan takut, kelemahan dan ketidak berdayaan.
B. Keputusasaan dalam Perspektif
1. Perspektif Psikologi
Zakiah Drajat dalam bukunya yang berjudul Psikoterapi Islam,
menyatakan bahwa putus asa merupakan sikap seseorang yang selalu murung,
tak acuh terhadap dirinya dan orang lain, tidak berusaha mencapai sesuatu,
tidak minta tolong, diam, malas bergerak, dan cenderung mengurung diri.
Orang putus asa biasanya lari ke dalam dunia khayalan, dan juga terbiasa
12
http://www.afroarticles.com/article-dashboard/Article/Desperation-and-Despair--the-
Devil-s-Playground/214455
20
memenuhi kebutuhan dengan caranya sendiri, tidak memikirkan hari depan,
tidak bekerja, tidak melatih diri untuk apa saja13
.
Keputusasaan adalah fase emosi yang menyakitkan. Keputusasaan
dimulai dari rasa takut. Seseorang bisa berada dalam kondisi putus asa
manakala rasa takutnya muncul. Sebaliknya, apabila ia tidak dalam keadaan
digeluti rasa takutnya maka ia akan terjaga dari perasaan putus asa itu sendiri.
Sebagai contoh seorang tawanan dihukum mati maka ia harus merasakan
takut mati sebelum ia akan memasuki fase putus asa itu sendiri. Akan tetapi
ketakutan mungkin sering ada dan dalam bentuk yang sangat kuat tanpa
sebuah sikap keputusasaan. Seorang tahanan sering menampilkan ketakutan
besar, tetapi ia tidak merasakan putus asa.14
Pada kenyataannya, terdapat korelasi kuat antara ketakutan dan
keputusasaan. Takut biasanya merangsang upaya, sedangkan putus asa adalah
efek dari ketakutan. Ketakutan adalah aktif, sedangkan putus asa bersifat
pasif. Dalam keputusasaan, yang sering tampak adalah kelesuan, sementara
rasa takut selalu menimbulkan sebuah pergolakan yang intens dalam setiap
aktivitas. Ketakutan dalam fungsi aslinya adalah merangsang tindakan
bertahan, selain itu ketakutan biasanya terjadi pada individu dengan kondisi
abnormal, sedangkan putus asa terjadi pada kondisi individu dalam keadaan
normal. Dari pemaparan di atas sudah jelas, bahwasanya rasa takut berbeda
dengan putus asa, yang bersifat langsung dan transitif. Sebagai contoh : Aku
13
Zakiah darajat, Psikotrapi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hal.72-74 14
M. Stanley Studies in The Evolutionary Psychology of Feeling Hiram, New York :
MaC Millan & CO, 1895, hal.121-126
21
takut rasa sakit atau cedera, tapi putus asa hanya ada dalam kaitannya dengan
hal mental.15
Jadi intinya, putus asa merupakan efek dari ketakutan yang berlebihan.
"Saya putus asa untuk bebas," berarti mengalami sebuah kemunduran emosi
pada suatu pengalaman yang menyakitkan. Rasa ketidakmampuan yang
lengkap dan permanen untuk mencapai sebuah akhir. Keputusasaan ini
membungkuk dan berada di bawah alam sadar serta hancur oleh rasa sifat tak
terelakkan dan kekeliruan yang tidak dapat diperbaiki, baik itu positif ataupun
negatif. Dengan arti lain putus asa berarti tidak ada harapan.
Selain dari faktor ketakutan, putus asa juga biasa terjadi karena timbulnya
kecemasan. Cemas merupakan bentuk lain dari emosi yang berkaitan erat
dengan putus asa. Cemas adalah hasil langsung, karena merasa dari kognisi
tiba-tiba pada hal kesulitan besar dan kenyerian yang dekat. Cemas juga
sebagai tahap transisi yang cepat dalam perasaan terhadap putus asa, sebagai
suhu yang tiba-tiba jatuh dari harapan, kecemasan itu bisa juga merupakan
sebuah sikap awal dari keputusasaan. Berangkat dari itu, pada dasarnya
cemas bersifat sementara, namun mampu mengendap dengan cepat dalam
keputusasaan atau berubah naik menjadi harapan baru.
Dalam pemahaman perspektif psikologis ini, penulis berupaya
memberikan pemisahan antara makna Putus asa, Stress dan Depresi, dengan
harapan dapat membuka wacana pada hal tersebut meskipun pada ketiga kata
ini memiliki korelasi satu sama lain.
15
Stanley Studies in The Evolutionary Psychology of Feeling Hiram, hal.121
22
Stres dalam tinjauan psikologis adalah suatu keadaan tertekan, baik secara
fisik maupun psikologis16
, stres juga merupakan gejala gangguan kesehatan
jiwa yang sangat unik, hal ini merupakan bagian dari persoalan yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena pada dasarnya setiap orang dari
berbagai lapisan masyarakat memiliki potensi yang sama untuk dapat
mengalami stress. Stres yang menimpa seseorang tidak sama antara satu
orang dengan yang lainnya, walaupun faktor penyebabnya boleh jadi sama.
Terdapat beberapa penyebab mengapa seseorang menjadi stres, antara lain17
:
1. Stres Kepribadian (Personality Stress)
Merupakan stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang itu
sendiri. Berkaitan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan
atas dirinya. Orang yang selalu menyikapi segala tekanan hidupnya
dengan sikap positif, maka akan kecil kemungkinan terkena resiko stres
jenis yang satu ini.
2. Stres Psikososial (Psychosocial Stress)
Biasanya stres ini dipicu oleh hubungan relasi dengan orang lain di
sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres
adaptasi lingkungan baru, masalah cinta, masalah keluarga, stres macet di
jalan raya, diolok-olok, dan lain-lain.
16
James P. Chaplin, Kamus lengkap Psikologis, (PT Raja Grafindo Persada, 2006),
hal.488 17
http://organisasi.org/jenis-macam-kategori-pemicu-stress-penyebab-stres-psikologis-
manusia
23
3. Stres Bioekologi (Bio-Ecological Stress)
Pada hal ini biasanya stres dipicu oleh dua hal. Pertama yaitu faktor
ekologi/lingkungan, seperti polusi udara dan cuaca. Kedua diakibatkan
oleh kondisi biologis, seperti akibat datang bulan, demam, asma,
jerawatan, tambah tua, dan banyak lagi akibat penyakit dan kondisi tubuh
lainnya.
4. Stres Pekerjaan (Job Stress)
Stres pekerjaan adalah stress yang dipicu oleh pekerjaan seseorang.
Persaingan jabatan, tekanan pekerjaan, deadline, terlalu banyak kerjaan,
ancaman phk, target tinggi, usaha gagal, persaingan bisnis, adalah
beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stress akibat karir
pekerjaan.
Jika kondisi stres ini berlangsung lama, maka seseorang tersebut akan
masuk ke dalam sebuah kondisi yang acapkali disapa dengan depresi.
Selanjutnya, dalam disiplin ilmu psikologi, depresi didefinisikan sebagai
perasaan yang menimbulkan rasa putus asa. Perasaan ini membawa reaksi
emosional sebagai berikut18
:
a. Mati rasa, Reaksi ini membawa seseorang yang depresi untuk tidak
menerima kenyataan yang terjadi. Biasanya pada awalnya, orang tersebut
berupaya tegar di hadapan orang lain.
18
Janet Horwood, Penghiburan Bagi Orang Yang Mengalami Depresi, (Bina Rupa
Aksara: Jakarta, 1993), hal.3-4
24
b. Setelah kenyataan ternyata lebih menyakitkan dan orang tersebut tidak
kuat lagi menahannya, muncul amarah yang luar biasa dan meledak-ledak,
serta tidak terkontrol.
c. Tahap reaksi yang terakhir adalah, munculnya trauma atau kesedihan yang
berlarut dan berkepanjangan. Pada tahap ini, orang tersebut merasa
kehilangan harga diri karena tidak mampu menyelsaikan masalah atau
kenyataan pahit yang menimpanya.
Pada literatur lain, penulis mendapatkan pengertian dari depresi. Greg
Wilkinson memaknainya sebagai gangguan suasana hati yang bervariasi
dengan berat ringannya terhadap bermacam-macam orang, dan berapa lama
hal itu bertahan. Perasaan ini kadangkala kambuh kembali dan dihubungkan
dengan sejumlah besar gejala mental dan psikis yang berbeda.19
Dalam hal ini, Greg menilai ada beberapa gejala depresi yang secara
umum dapat ditemui. Pertama, depresi yang disebabkan suasana hati. Pada
faktor ini akibat yang muncul adalah sedih, kecewa, murung, putus asa, rasa
cemas dan tegang, kurangnya kegembiraan, kurangnya kepuasan diri,
hilangnya kasih sayang, menangis berlebihan, perubahan suasana hati yang
tidak terduga, perubahan jiwa yang ditandai oleh sikap, serta mudah
tersinggung. Kedua, dengan penyebab gangguan pikiran. Pada proses ini,
orang tersebut akan kehilangan minat, merasa kehilangan harga diri,
kepekaan yang berkurang, muncul perasaan tidak berguna, timbul rasa malu,
adanya rasa tidak berdaya, mudah lupa, dan kurang konsentrasi.
19
Greg Wilkinson, Depression, dialih bahasakan oleh Meitasari Tjandrosa dengan judul
Depresi, (Arcan: Jakarta, 1991), hal.3
25
Ketiga, gejala lainnya adalah dorongan. Hal ini menyebabkan seseorang
ingin lari dari kehidupan, menarik diri dari pergaulan, merasa terpojok, dalam
melakukan aktivitas merasa tampak tidak menarik dan tidak berarti lagi.
Keempat, Fisik. Pada gangguan ini, seseorang akan mengalami perasaan akan
kondisi badan yang menurun, merasa cepat lelah, pegal-pegal, sakit,
kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan ideal, gangguan tidur,
kehilangan nafsu seks, tidak bisa santai, berdebar-debar dan berkeringat
dalam jumlah yang tidak wajar, agitasi, lamban, konstipasi (susah buang air
besar). Kelima, berdasarkan penilaian. Pada tahap ini orang tersebut akan
mengalam delusi (perasaan bersalah) dan halusinasi (seakan mendangar
suara-suara yang menakutkan dirinya, seperti ancaman mati karena penyakit
mematikan yang terngiang-ngiang di telinga dalam intensitas yang tinggi)20
.
Dalam tahap ini dapat digaris bawahi bahwa, Depresi adalah sebuah
penyakit psikis atau kejiwaan yang cukup berat, sedangkan putus asa dan
stres adalah salah satu jembatan menuju kondisi tersebut. Depresi dapat
terjadi pada siapapun baik orang tua ataupun orang muda sedangkan putus
asa tidak dapat dimasuki oleh anak-anak, putus asa bisa dirasakan ketika
seseorang memberikan harapan yang berlebih kepada apa yang
diangankannya namun tidak dapat direalisasikan, sedangkan stress adalah
tekanan fisik dan mental yang diakibatkan rutinitas yang tiada henti, apabila
seseorang berada dalam kondisi stres yang terus menerus, maka pada
akhirnya ia akan masuk ke sebuah kondisi depresi.
20
Greg Wilkinson, Depression, hal.8
26
2. Perspektif Filsafat
Dalam ranah filsafat, tidak banyak penulis temui diskusi tentang putus
asa, baik secara langsung maupun tidak. Di antara para filosof yang
membicarakan tentang keputus-asaan adalah Sören Kierkegaard, ia
merupakan seorang tokoh filsafat eksistensialis sekaligus bisa disebut juga
bapak pada aliran ini mengatakan, bahwa putus asa adalah salah satu emosi
manusia yang paling signifikan yang memberikan dorongan pada pemikiran
yang bermanfaat tentang sifat dari kondisi manusia21
.
Putus asa dalam pandangan Kierkegaard merupakan sebuah penyakit
yang tidak bisa disembuhkan. Satu-satunya obat dari keputusasaan adalah
kematian. Karena pada dasarnya setiap orang pasti akan mengalami sebuah
keputusasaan baik itu hal yang disadari atau tidak22
.
Selanjutnya, Kierkegaard membagi keputusasaan menjadi tiga jenis, di
mana hal tersebut merupakan sesuatu bentuk keputusasaan yang biasa dialami
oleh manusia dengan beragam tingkatannya. Selain itu, di dalam bukunya
yang berjudul The Sickness Unto Death, ketiga hal ini justru menjadi point
terpenting untuk dibahas. Adapun ketiga point tersebut adalah :
1. Keputusasaan yang tidak disadari oleh dirinya sendiri atau putus asa
karena keterbatasan.
21
http://metapsychology.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=book&id=2882 22
Sören Kierkegaard ,The Sickness Unto Death Published by Princeton University Press,
Princeton, New Jersey, 1941
27
Putus asa semacam ini biasanya lahir dari ketidaktahuan. Banyak orang
mengalami kondisi seperti ini, baik mereka menyadarinya atau tidak.
Dalam hal ini biasanya, mereka seakan-akan baik, namun jiwanya
merasakan kehampaan terutama ketika melihat banyak orang dan hal-hal
di sekitarnya, dengan cara menyibukkan dengan segala macam urusan
duniawi, dengan seolah-olah menjadi bijaksana, seseorang lupa pada
dirinya, lupa pada namanya sendiri, dan tidak percaya lagi pada dirinya
sendiri. Putus asa semacam ini sangat banyak dialami namun sedikit
mereka yang menyadarinya.
2. Putus asa dalam menolak untuk menerima diri sendiri atau putus asa pada
kelemahan dirinya sendiri.
Dalam kategori ini, bentuk keputusasaan berupa tidak ingin
menjadi diri sendiri yang sebenar-benarnya, yakni dengan cara merubah
dirinya menjadi orang lain bahkan dilakukan dengan cara mati-matian.
Pada akhirnya manusia tersebut menolak untuk bertanggung jawab pada
dirinya sendiri. Makhluk yang seperti ini biasanya beranggapan bahwa
„hidup hanyalah sebuah permainan dari sebuah perubahan‟. Oleh karena
itu, pada saat putus asa, ketika bantuan tidak ada yang datang, maka orang
tersebut berusaha ingin menjadi orang lain.
Keputusasaan semacam ini, dapat menyebabkan seseorang menjadi
gila karena dia tidak tahu akan dirinya yang sebenarnya. Dalam fenomena
keputusasaan semacam ini, seseorang beranggapan bahwa dengan
mencintai kemewahan dan kegelamoran maka orang tersebut akan merasa
28
nyaman dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, dia hanya mengenal apa
yang dia kenakan tanpa mengenal dirinya yang sebenarnya.23
3. Kesadaran dari diri sendiri tetapi penolakan untuk tunduk kepada
kehendak Tuhan atau bisa disebut putus asa dengan cara pembangkangan.
Berbeda dengan putus asa yang sebelumnya yaitu putus asa
terhadap penolakan diri sendiri. Justru dalam kategori ini keputusasaan
untuk menjadi diri sendiri. Atau bisa juga disebut putus asa
pembangkangan. Pada fase ini, menurut mereka, bahwa identitas diri
datang bukan dari "luar" tetapi langsung dari diri sendiri. Hal ini berakar
pada kesadaran suatu ketidak terbatasan, menjadi berhubungan dengan
yang tak terbatas.
Pada tahap ini, seseorang akan merasa mendapatkan sebuah
keabadian atau besar kemungkinan dari mereka tidak mengakui sang
Pencipta. Mereka menolak untuk menerima suatu aspek dari luar dirinya
atau dapat dikatakan tidak ada yang sempurna selain dirinya. Karena
mereka merasa dirinyalah yang menciptakanya.
Manusia ini selalu menantang untuk tidak mengakui kekuasaan
selain miliknya sendiri. Artinya mereka hanya memperhatikan dirinya
sendiri, yakni dengan mempotensikan dirinya sebagai sesuatu dengan cara
menyamakan antara yang terbatas atau tidak. Dalam proses keinginannya
untuk menjadi Tuhan sendiri, ia beranggapan bahwa harus benar-benar
menjadi mengenal dirinya sebagai yang tak terbatas dan dalam
23
http://www.hebrew4christians.com/Articles/Despair/despair.html
29
pandangannya bahwa ia adalah penggerak itu sendiri. Namun justru ini
adalah bentuk keputusasaan yang tertinggi karena menafikkan keberadaan
manusia sebagai yang terbatas dan menyatakn diri sebagai yang tak
terbatas. 24
Guna mempertajam analisis pada perspektif filsafat ini, penulis
juga mengungkapkan pandangan para filosof lainya yaitu seperti Henri
Bergson. Beliau merupakan seorang filosof asal Prancis yang tersohor
dengan filsafat manusia-nya. Pada teori terdahulu, manusia tidak bebas,
dibatasi oleh faktor-faktor kehidupan, tidak bisa mengaktualisasikan
dirinya. Menurut Henri, manusia bebas adalah manusia yang memiliki
kesadaran akan keber-ada-annya. Manusia menjadi bebas, jika
perbuatannya memancar dari kepribadian orang tersebut seutuhnya.
Mengungkapkan jati dirinya. Sadar akan ada-nya25
.
Oleh sebab itu, jika manusia sadar akan dirinya maka mereka akan
tahu siapa Tuhannya. Ketika mereka telah mengetahui akan Tuhannya
niscaya kelak mereka akan jauh dari keputusasaan yang akan menimpa
dirinya. Karena mereka tahu bahwa diri mereka hanya makhluk yang
lemah, ketika mereka dihadapkan dengan permasalahan yang mendera
dirinya mereka tidak akan sanggup untuk memikulnya sendiri. Namun,
mereka langsung bergegas untuk memohon bantuan kepada Tuhannya,
sehingga mereka tidak langsung cepat berputus asa atas beban
24
http://www.hebrew4christians.com/Articles/Despair/despair.html
25
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, (Jakarta: Gramedia, 1996),
hal.1314
30
permasalahan yang sedang dipikulnya. Karena ada kekuatan lain yang
mampu untuk membantunya keluar dari masalah, yaitu Tuhan.
Kemudian Sartre, filsuf lain yang juga berasal dari Prancis, beliau
memiliki argumen lainnya. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang
bebas memilih. Dalam hidup manusia, tentu hanya ada 2 pilihan: menjadi
manusia bebas dengan memiliki kesadaran akan ”ada” nya. Atau, menjadi
manusia yang tidak bebas, penuh dengan kekhwatiran yang ditandai akan
kecemasan. Cemas dalam menemukan ”ada” nya dan terkadang juga pada
saat menjaganya26
.
Dalam hal ini Sartre membedakan antara cemas atau takut. Cemas
adalah perasaan yang menghinggapi diri manusia yang faktornya berasal
dari dalam diri sendiri (keber ”ada” annya). Sementara takut adalah
perasaan yang menghinggapi diri manusia dengan faktor benda-benda lain
di luar diri manusia itu sendiri27
.
Sedangkan filsafat Islam mempunyai argumen tersendiri dalam
menanggapi keputusasaan. Menurutnya, secara garis besar kehidupan
manusia hanya memiliki dua pilihan, yaitu menjadi manusia baik atau
menjadi manusia yang celaka. Menjadi baik, berarti memilih yang baik
dalam segala perbuatannya selama hidup. Memilih celaka berarti,
melakukan perbuatan buruk dengan sadar28
.
Menurut hemat penulis, berdasarkan pembahasan di atas mengenai
putus asa dalam ranah filsafat, memang tidak mengena secara langsung.
26
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, hal.96-97 27
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hal. 95 28
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus), hal. 128
31
Akan tetapi, jika kita menela‟ah dan mengkonstruksi berbagai pernyataan
filosuf di atas lebih dalam, jelas bahwa mereka sedang membicarakan
manusia. Kesemua filosuf sadar, bahwa manusia hidup dengan beragam
pilihan yang terkadang menggiurkan. Selain itu, tidak sedikit pula di antara
mereka yang salah dalam menentukan pilihanya tersebut.
Pilihan-pilihan itu, tidak bisa tidak, harus dijalani dan dipilih salah
satunya oleh manusia. Tentunya, setiap manusia memiliki angan-angan
dan cita-cita agar mendapatkan yang terbaik bagi dirinya..
Ada adagium bahwa ”Kenyataan tidak selalu sesuai dengan
harapan”. Inilah yang menjadi acuan dalam mempelajari keputusasaan.
Para manusia, dengan segenap kemampuan dan kelebihan yang
dimilikinya, berusaha meraih apa yang mereka harapkan. Namun, tidak
sedikit dari mereka yang kemudian gagal dan tak mampu bangkit kembali,
sehingga dalam bahasa filsafat Islam, memilih menjadi manusia celaka.
Melakukan sesuatu untuk meraih apa yang mereka harapkan dengan
perbuatan buruk, yang –ironisnya- dilakukan dengan sadar. Inilah titik
temu pembahasan putus asa dalam filsafat yang diargumentasikan oleh
para filosuf.
32
BAB III
INDENTIFIKASI AYAT-AYAT KEPUTUSASAAN
DALAM AL-QURAN
A. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Keputusasaan
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, al-Quran telah
mengasosiasikan putus asa dengan 3 kata, yaitu (Ya'isu), (Qanatha),
(Ablasa) sesuai dengan pendefinisian masing-masing. Maka pada bab ini,
penulis akan mencoba mengidentifikasi pada ayat mana saja dalam al-Quran yang
memuat ketiga kata tersebut.
1. Ya'isa
Kata terdapat di dalam sepuluh1 ayat al-Quran dengan berbagai maksud
dan tujuannya masing-masing. Allah menurunkan wahyu tersebut agar Hamba-
hambanya selalu menghindarkan diri dari perasaan berputus asa. Karena pada
dasarnya, putus asa merupakan salah satu sifat dari orang-orang kafir. Seperti apa
yang telah diterangkan pada ayat berikut :
1 Al-Husni al-Maqdisy, Kamus Faturrahman, (Beirut: Daar el Fikr, 1995), hal. 360
33
”Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat)
dari kami, Kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, Pastilah dia
menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih” (Hud: 9)
Terma putus asa dalam ayat tersebut diwakili oleh kata laya'usu yang asal
katanya ya`isa-yay`asu mengindikasikan bahwa makna putus asa disini
menggunakan bentuk mubalaghah dengan penambahan huruf (lam) yang
menggambarkan kondisi yang teramat sangat dari keadaan suatu perbuatan.
Ayat ini menggambarkan perangai manusia, ketika didatangkan oleh Allah
kepadanya suatu nikmat, sehingga ia dapat merasakan atau mengecap nikmat
tersebut, maka ia menjadi lupa daratan. Tetapi jikalau nikmat itu dicabut oleh-Nya
dengan tiba-tiba, justru mereka menjadi putus asa. Seyogyanya, mereka berpikir
bahwa roda takdir Ilahi itu senantiasa berputar, ketika hari ini senang belum tentu
keesokan harinya merasakan hal yang sama. Sebagai perumpamaan sebuah barang
yang dimilikinya, hari ini ia merasa senang karena mampu meraih barang tersebut
dengan harga mahal, akan tetapi keesokan harinya ia menjadi orang yang tidak
bersyukur lantaran barang tersebut hilang dari tangannya.2
Bagi orang-orang yang beriman, ia selalu sadar bahwa setiap sesuatu yang
diberikan oleh Allah sifatnya sementara atau dengan kata lain hanya sebuah
titipan (amanah), yang sewaktu-waktu dapat di ambil dari dirinya. Akan tetapi,
bagi orang kafir maupun kufur, ia merasa nikmat tersebut kekal untuknya.
Sehingga, jika di ambil nikmat itu daripadanya maka ia akan putus asa.
2 Hamka,Tasir al-Azhar ,PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, Vol 12, hal.21
34
Sebagai penegas, bahwasanya pada kalimat yang terdapat di ujung ayat
tersebut adalah “tidak berterima kasih”. Maksud tidak berterima kasih di sini
diartikan sebagai bagian dari kafir, yaitu kufur nikmat. Mereka hanya mengeluh
karna kekurangan. Namun tidak pernah ingat akan anugrah illahi yang telah
diberikan kepadanya.3
”Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf4
mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah
yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa
Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama
Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu Aku
tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan
kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi Keputusan terhadapku.
dan dia adalah hakim yang sebaik-baiknya". (QS. Yusuf : 80)
Kemudian dalam ayat ini kembali terdapat kata istasy`asu, yang menggunakan
bentuk fi'il madhi jika dipahami maksudnya adalah putus asa yang terjadi pada
waktu yang lampau. Dalam ayat ini Ya‟qub berkata kepada anak-anaknya, ”wahai
anak-anakku, kembalilah ke Mesir. Carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya
(Bunyamin) dan janganlah kalian berputus asa terhadap rahmat Allah Swt, sebab
3 Hamka,Tasir al-Azhar ,PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, Vol 12, hal.21
4 yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar Bunyamin
dengan saudaranya yang lain
35
tidaklah berputus asa terhadap rahmat Allah kecuali orang yang mengingkari
kekuasaan-Nya dan kafir kepadanya.”
Oleh karena itu, manusia harus berbaik sangka kepada Rabb-nya. Bahkan, tiap
kali mereka merasakan kesusahan dan bencana datang bertubi-tubi atasnya, maka
ia harus lebih banyak mengharapkan rahmat-Nya dan memohon kemudahan dari-
Nya5.
”Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang
Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir" (Yusuf: 87)
Imam Al-Alusi berkata :
”Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah yakni tidak
berputus asa dari kemudahan dan jalan keluar yang diberikan-Nya.
Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir karena ketidak tahuan mereka mengenai Allah ta‟ala dan sifat-
sifatNya, bagi seseorang yang memiliki pengetahuan tidak akan berputus
asa dalam kondisi apapun. Ucapan merupakan pengukuhan dari Ya‟qub
atas sesuatu yang sebenarnya telah diketahui oleh anak-anaknya”.6
Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya
berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan
apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa (al-Isra‟: 83)
5 „Aid al-Qarni, Tafsir Muyassar, terj. Tim Penerjemah Qisthi Press (Qisthi Press,
Jakarta, 2008 Jilid 2), hal. 323 6 Al-Alusi, Abu al-Sana Shihab al-Din al-Sayyid Mahmud. Rûh al-Ma’ âni Fi Tafsir al
Quran al „Azim wa al Sab’ al Matsani,. Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiyah, 1994 : vol 5, hal.13-44
36
Dalam dua ayat di atas, kata ya`isa-yay`asu mengambil bentuk fi'il mudhari'
majzum, dan fi'lu nahyi yang bermakna bahwa Allah benar-benar sangat melarang
perbuatan putus asa untuk masa yang akan datang, semacam peringatan.
Sedangkan dalam surat al-Isra' kata ya`usan menggunakan bentuk mubalaghah
yang mengindikasikan bahwa ketika manusia diberikan kenikmatan, mereka
terpedaya dan menyebabkan mereka memasuki sebuah perasaan putus asa yang
benar-benar terpuruk. Ayat ini menyatakan bahwa, sesungguhnya manusia apabila
dikaruniakan kesehatan dan kebahagiaan kepadanya, maka mereka tidak lagi
mensyukuri nikmat Rabbnya. Bahkan sebaliknya, apabila ditimpa penyakit atau
kemiskinan, mereka berputus asa dari rahmat Allah7.
Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan
dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat
azab yang pedih (al-‟Ankabut: 23)
Pada ayat ini Allah Swt memberikan gambaran tentang orang-orang yang
berputus asa dari rahmat Allah itu seperti apa, terlihat dari keterangan sebelum
kata ya`isû dalam bentuk fi'il mâdhi dengan dhomir mustatir yang diperlihatkan
dari penempatan dhamir "hum" (mereka) setelah bersamaan dengan fi'il.
7 Wahbah Zuhaili Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, (Jakarta : al Mahira, 2008),
hal.291
37
Dalam tafsir al-Muyassar,‟Aid al-Qarni mengatakan pada ayat ini bahwa
barangsiapa yang mendustakan dan mengingkari bukti-bukti yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya dalam kitab-Nya dan mengingkari petunjuk ke-Esaan serta
keTuhanan maka mereka tidak akan meraih cita-cita untuk selamanya dan tidak
pula mendapat tempat dalam rahmat Allah, yakni ketika mereka melihat azab-
Nya. Apabila mereka melihat hukuman yang Allah janjikan kepada musuh-
musuh-Nya, niscaya mereka akan merasakan siksaan yang pedih yang
menyakitkan di api Neraka Jahanam8.
Sama dengan ayat sebelumnya, kata putus asa di sini menggunakan bentuk fi'il
tsulasi mujarrod (asalnya) tanpa tambahan hanya dibubuhi dhamir.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan
penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka Telah
putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang
Telah berada dalam kubur berputus asa (al-Mumtahanah: 13).
Di sini bahwa Allah SWT memberikan peringatan kepada orang-orang
beriman yang mentaati Allah dan Rasulnya. Janganlah menjadikan kaum yang
dimurkai Allah sebagai penolong, karena sebenarnya mereka itu berada dalam
sikap keputus asaan dari mendapatkan kenikmatan dan kebaikan akhirat karena
mereka sendiri yang telah mengingkarinya, seperti orang-orang kafir telah
8 „Aid al-Qarni, Tafsir Muyassar, Vol. 3, hal.320
38
berputus asa atas kebangkitan mereka dari dalam kubur. Orang kafir adalah orang-
orang yang dimurkai oleh Allah .
Selanjutnya, mengenai makna keputusasaan di dalam kalimat “Sesungguhnya
mereka Telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir
yang Telah berada dalam kubur berputus asa”, Ibnu Jarir Ath-Thabari
berpendapat bahwasanya kaum yang dimurkai Allah di hari akhirat dan
kebangkitan nanti adalah dari kalangan Yahudi karena mereka telah berputus asa
dari rahmat Allah, sebagaimana orang-orang kafir yang masih hidup berputus asa
dari rahmat Allah di dunia. Selain itu, semasa hidup mereka juga selalu berputus
asa terhadap orang-orang yang telah mati dan berada dalam kubur, karena mereka
telah meyakini adanya siksa Allah terhadap mereka setelah mereka mati.9
Asbabun Nuzul ayat ini adalah : menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul
Mundzir dari Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu Abbas, ayat ini diturunkan
setelah Abdullah bin Umar da Zaid bin al-Harits bersahabat rapat dengan
golongan kaum Yahudi10
.
...
...Orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku...
(al-Maidah: 3)
Pada ayat di atas, digunakan fi'il mâdhi untuk mengeneralisir bahwa seluruh
orang kafir itu telah berputus asa karena tidak akan bisa mengalahkan agama
9 Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at-Thabari. Jâmi’ al-
Bayân Fî Tafsîr Al-Quran, Dar el-Kutub al-„Ilmiyah (Beirut), 1992, hal. 53 - 54 10
Qomaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul¸(Bandung: CV Diponegoro, 1991), hal.513
39
Islam. Penulis sengaja tidak memasukkan keseluruhan ayatnya agar memudahkan
pemahaman pada makna keputusasaan saja. pada ayat ini Allah SWT menjelaskan
bahwa orang-orang kafir sudah putus asa untuk memalingkan orang-orang
beriman dari agama. Harapan mereka agar kaum mukmin meninggalkan Islam
sudah pupus, hal itu disebabkan bahwa orang beriman melindungi dirinya dengan
cara ta‟at kepada allah, takut kepada Allah dan tidak takut pada orang-orang
kafir11
.
Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang
keimanan mereka) dan Telah meyakini bahwa mereka Telah didustakan,
datanglah kepada para Rasul itu pertolongan kami, lalu diselamatkan
orang-orang yang kami kehendaki. dan tidak dapat ditolak siksa kami dari
pada orang-orang yang berdosa. (Yusuf: 110)
Dalam ayat ini digunakan fi'il mudhari' dalam bentuk kata putus asa nya
dengan maksud bahwa keputusasaan senantiasa berada dalam benak setiap
manusia dalam keadaan lemah dan terpojok.
Dalam ayat ini kemudian timbul sebuah pertanyaan bagaimana sikap putus asa
merupakan sebuah sikap yang dilarang dalam Islam, padahal Allah telah
menceritakan bahwa putus asa juga telah merayapi jiwa para manusia
11
„Aid al-Qarni, Tafsir Muyassar, Vol. 1, hal. 487.
40
sebagaimana yang tertulis pada ayat di atas, untuk menjawab hal tersebut bahwa
penentuan maksud dari putus asa disini memiliki beberapa pendapat :
1. Bahwa Rasul telah berputus asa dari keimanan kaumnya dan kaumnya
menyangka bahwa rasul itu telah berdusta. Hal ini berdasarkan dalil yang
diriwayatkan Ath-Thabari dengan beragam sanad dari jalan imran bin
harits, said bin jubair, abu Dhuha, ali bin abi thalhah dan al-Aufi yang
meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, „para Rasul telah berputus
asa dari keimanan kaumnya dan kaumnya menyangka bahwa Rasul itu
telah berdusta12
.
2. Setelah diberi janji kemenangan oleh Allah, para rasul merasa takut jika
kemenangan ini akhirnya tertunda, bukan karena keraguan terhadap janji
Allah, tetapi karena kekhawatiran terhadap diri sendiri yang telah
melakukan sesuatu perbuatan yang bisa membatalkan syarat kemenangan.
Ketika kemenangan ini lama tidak kunjung datang dan bencana semakin
dahsyat menimpa mereka, maka merasuklah prasangka ke dalam hati
mereka melalui sisi ini13
.
Pendapat pertama lebih kuat, demi menyucikan para Rasul dari sifat
keputusasaan, karena mereka datang untuk menanamkan keyakinan optimisme
dalam jiwa umatnya setelah mencabut akar-akar keputusasaan dari jiwa mereka.14
Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang lain :
12
At-Thabari. Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Quran. Vol 13, hal.54-56 13
At-Thabari. Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Quran. Vol 13, hal.56-57 14
Sayyid Muhammad Nuh ‘Afatun ‘Alâ ath-Thâriq; Terapi Ruhiyah Aktifis Dakwah terj
Fakhruddin Nur syam lc, Hawin M. Jasiman, Mahmud Mahfud (Solo: Media Insan Press, 2006),
hal. 901
41
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (Fushilat : 49)
Dalam ayat ini terdapat dua kata yang mewakili terma keputus asaan yaitu
kata dan yang keduanya sama-sama dalam bentuk mubalaghah yang
menggambarkan bahwa rasa putus asa yang dirasakan benar-benar melemahkan.
Ayat di atas diperuntuhkan bagi mereka yang kufur dan mendustakan nikmat
Allah yang diberikan kepadanya. Mereka adalah orang-orang kafir yang selalu
mengharapkan nikmat dari Allah namun ia enggan dan sungkan untuk
menjalankan perintah dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Sehingga pada
saat Allah mengambil seluruh nikmat daripadanya maka ia berputus asa dan
berkeluh kesah atasnya.
2. Qanatha
Kemudian al-Quran menggambarkan putus asa dengan mempergunakan kata
. Kata tersebut disebutkan sebanyak lima kali15
dalam ayat-ayat yang berbeda.
Diantara ayat tersebut adalah sebagai berikut:
15
Sayyid Muhammad Nuh ‘Afatun ‘Alâ ath-Thâriq, hal. 279
42
Mereka menjawab: "Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu
dengan benar, Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang
berputus asa". (al-Hijr: 55)
Kata dalam ayat ini berbentuk isim fa'il menggambarkan adnya kelompok
orang-orang yang berputus asa dan golongan inilah yang dilarang agar kita tidak
termasuk ke dalamnya.
Ayat ini merupakan perkataan para tamu-tamu Ibrahim yang berkata: Wahai
Ibrahim, kami menggembirakan kamu dengan satu hal yang benar. Kami
mengetahui bahwa Allah akan memberi seorang anak, maka janganlah kamu
berputus asa dari keutamaan Allah16
. Ayat ini juga berhubungan dengan ayat
berikutnya :
Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-
nya, kecuali orang-orang yang sesat". (al-Hijr :56)
Dalam ayat ini kata nya berbentuk fi'il mudhâri' sekaligus sebagai fa'il
menggambarkan bahwa adanya orang yang berputus asa. Pemahaman yang
diambil adalah bahwa Ibrahim berkata : ”hanya orang yang sesat yang tidak
mengetahui jalan yang harus ditempuh. Itulah orang-orang yang berputus asa dari
16
Tengku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nûr,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), vol, 3, hal.2185
43
rahmat Tuhan”. Pada kenyataannya Ibrahim pun tidak pernah berputus asa kepada
rahmat Allah. Hanya karena beliau tidak dikarunia seorang anak lagi17
. Di dalam
ayat ini Allah juga ingin mengajarkan kepada hamba-hamba nya agar jangan
pernah berputus asa pada rahmat-Nya. Karena setiap orang yang berputus asa
berarti ia tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan. Hal ini juga
menunjukkan bahwa iblis atau setan membisikin kepada manusia sikap
keputusasaan.
Dan apabila Kami Rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya
mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka ditimpa suatu
musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang Telah dikerjakan oleh
tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa (ar-Rum: 36)
Kata dalam ayat ini juga berbentuk fi'il madhi dengan diawali dhomir
"Hum" (mereka) . Dalam ayat ini al-Quran menampilkan lembaran lain dari
lembaran-lembaran jiwa manusia ketika dalam kegembiraan yang membuatnya
terlena atau perasaan tertekan yang mendapati kesulitan yang membuat hilang
harapan terhadap rahmat Allah, ia juga gambaran bagi jiwa yang terikat dengan
seluruh perkara, serta timbangan yang cermat yang tak berpengaruh dengan
perubahan-perubahan.
17
Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Quranul Majid an-Nûr, vol, 3, hal.2185
44
Manusia yang dimaksud di sini adalah mereka yang tak terkait dengan garis
tersebut dan tak menimbang dengan timbangan ini. Mereka merasa bergembira
mendapat rahmat Allah dengan kegembiraan yang meledak-ledak. Sehingga
membuat mereka lupa terhadap sumber rahmat itu, mereka terlena dengan nikmat
tersebut, tenggelam di dalamnya, tak bersyukur kepada Allah yang memberikan
nikmat.
Karena itu, ketika Allah berkehendak untuk menegur mereka sesuai dengan
perbuatan mereka, dan mereka merasakan kondisi buruk maka merekapun buta
terhadap hikmah Allah yang terdapat dalam cobaan kesulitan. Mereka pun putus
asa terhadap rahmat Allah dan kehilangan harapan untuk mendapatkan jalan
keluar. Seperti itulah kondisi hati yang terputus dengan Allah18
.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (az-Zumar: 53)
Dalam ayat ini kata La nahiyah ( ) menjadikannya fi'lun nahyi (kata kerja
larangan) mengindikasikan bagi pembaca agar jangan berbuat demikian. Ayat di
18
Sayyid Quthb. Fi Dzhilâl al-Quran terj. As‟ad yasin, Abdul aziz, (Gema Insani Press,
Jakarta, 2000), Jilid ke-9, hal.148
45
atas menggambarkan sebuah seruan terhadap orang-orang yang selalu melakukan
kemaksiatan agar mereka segerah kembali ke jalan Allah. Selain itu, ayat ini
menyeru kepada harapan, cita-cita dan kepercayaan akan ampunan Allah.
Sesungguhnya Allah maha penyayang kepada hamba-hambanya.
Allah mengetahui kelemahan dan kepapaan manusia. Dia mengetahui faktor-
faktor internal dan eksternal yang menguasai diri mereka. Dia juga mengetahui
bahwa setanlah yang mengintip mereka disetiap jalan lalu menyeretnya19
.
Allah mengetahui ihwal setiap makhluk. Maka Dia mengulurkan bantuan,
melapangkan rahmat baginya, dan Dia tidak menyiksa karena kemaksiatannya
sebelum dia menyediakan segala sarana untuknya guna memperbaiki
kekeliruannya dan menegakkan langkahnya diatas jalur.
Sebagaimana dalam ayat berikut, di mana bentuk kata mengambil bentuk
mubhalaghah:
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan (al-Fusilat : 49).
3. Ablasa.
Terakhir, kata yang disamakan dengan arti putus asa adalah kata , dalam
bahasa Indonesia berarti putus asa atau menyesal. Menjadi asal kata dari iblis
19
Sayyid Quthb. Fi Dzhilâl al-Quran, Jilid ke-10, hal. 89
46
( ) yang telah berputus asa dari rahmat Allah. Dalam al-Qur‟an kata ini disebut
sebanyak lima ayat20
, yaitu :
Kata dalam ayat az-Zukhruf: 75, al-An'am: 44, al-Mu`min: 77 dan ar-
Rum: 49 mengambil bentuk sebagai isim fa'il yakni sebagai pelaku dari
keputusasaan dengan dhamir "Hum" (mereka) menggambarkan bahwa terdapat
golongan orang-orang yang berputus asa. Berikut ayat-ayat tersebut:
Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus
asa. (az-Zukhruf : 75)
Memaknai ayat di atas yang berhubungan dengan ayat sebelumnya
yaitu ayat 44 surat al-Zukhruf yang artinya, ”sesungguhnya para pendurhaka
dalam siksa jahanam selama-lamanya” pada ayat ini sesungguhnya para
pendurhaka yang mantab dengan kedurhakaannya akan berada dalam wadah
siksa neraka jahanam yang meliputi seluruh totalitasnya dan yang akan
mereka alami selama-lamanya. Tidak akan dihentikan atau diringankan siksa
itu dari mereka dan akhirnya mereka didalamnya lunglai tak mampu
melakukan apapun karena mereka telah berputus asa untuk memperoleh
keringanan apalagi keselamatan21
.
20
Sayyid Quthb.Fi Dzhilâl al-Quran,Jilid ke-10, hal. 56 21
M.Quraish Shihab , Tafsir al-Mishbah, (Lentera Hati , Jakarta: 2002 vol :12), hal. 592
47
Selain itu ayat ini juga memberikan penegasan bahwa mereka yang
terhasut oleh bujuk rayu Iblis akan berada dalam neraka jahanam hal itu
disebabkan kedurhakaan kepada Allah Swt.
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang Telah
diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,
Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (al-An„am: 44)
Menurut Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan bahwa kaum kafir itu enggan
berdoa bahkan hati mereka membatu, rayuan iblis mereka ikuti sehingga
memandang indah amal-amal buruk yang mereka perbuat dan menjadikan mereka
melupakan peringatan-peringatan Allah. Kemudian Allah siksa mereka sehingga
mereka itu tidak mempunyai kesempatan untuk bertaubat dan berdoa. Siksaan
yang datang pada saat mereka bergelimangan dalam dosa itu, menjadikan
penyesalan merekapun semakin besar, maka itu semua mengakibatkan mereka
secara tiba-tiba pula terdiam tidak dapat berkutik, dipenuhi penyesalan lagi
berputus asa tiada gunanya22
.
Apa yang diinformasikan ayat ini merupakan salah satu cara Allah menyiksa
para pembangkang. Allah mencurahkan aneka kenikmatan kepada mereka, yang
22
M.Quraish Shihab , Tafsir al-Mishbah, vol. 4, hal. 95
48
oleh ayat diatas diibaratkan dengan membuka pintu-pintu perbendaharaan illahi,
ia dibuka bukan untuk sementara tetapi terus menerus , sehingga ketika sampai
pada puncak pendurhakaan yang pada gilirannya menjadikan mereka mendapat
siksa yang amat pedih.
Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu tempat azab yang
amat sangat (di waktu itulah) tiba-tiba mereka menjadi putus asa. (al-
Mu`minun : 77)
Asbabun nuzul ayat ini bahwa Ibnu Abbas mengatakan “Abu Sufyan menemui
Nabi lalu berkata, wahai Muhammad, aku meminta saran mu atas nama Allah dan
atas nama kekerabatan. Sungguh, kami telah makan ihiz yakni bulu dan darah,
maka dari itu Allah menurunkan ayat ini23
.
Dan pada hari terjadinya kiamat, orang-orang yang berdosa terdiam
berputus asa. (ar-Rum : 12)
Dalam ayat ini kata mengambil bentuk dalam fi'il mudhari (kata kerja
masa kini/ sedang berlangsung) mengisyaratkan bahwa berputus asa adalah hal
yang dilakukan oleh orang-orang yang berdosa ( ).
23
Wahbah Zuhaili Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, hal. 348
49
Pada ayat ini Allah memberikan gambaran bahwasannya ketika terjadinya hari
kiamat orang-orang musyrik putus asa dari keselamatan. Mereka diam dalam
keadaan bingung karena tidak memiliki alasan24
.
Dan Sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka
benar-benar telah berputus asa. (ar-Rum : 49)
Kata dalam ayat ini juga berbentuk isim fa'il sehingga menjadi
sebagaimana ayat- ayat di muka, namun pada ayat ini sebelum kata tersebut
terdapat Lam taukid ( ) yang bermaksud menguatkan maknya, yang dapat
diartikan sebagai benar-benar telah berputus asa.
Padahal mereka sebelum diturunkan hujan, benar-benar putus asa akan
turunnya hujan. Firmannya ; min qablihi (sebelumnya) untuk menjelaskan
sedemikian cepatnya perubahan mereka dari putus asa pada kegembiraan. Ini
sikap orang yang lemah dan ceroboh. Sedangkan orang mukmin, dia akan
bersabar dan tidak tergesa-gesa25
.
B. Faktor penyebab terjadinya keputusasaan
Banyak sebab dan faktor yang mengantarkan dan mendorong seseorang pada
sifat putus asa , diantaranya adalah :
1. Hilangnya Rahmat (Nikmat) Allah
24
Wahbah Zuhaili Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, hal. 406 25
Wahbah Zuhaili Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, hal. 410
50
Allah SWT memberikan cobaan kepada manusia agar ia dapat
memperkuat keimanan serta bersyukur atas segala nikmat yang telah
diberikan kepadanya. Kemudian, Allah menurunkan penyakit agar ia
berpikir bahwa sesungguhnya nikmat kesehatan tidak dapat terbayarkan
oleh apapun. Selain itu, di sanalah Allah melimpahkan ampunan dosa bagi
ia yang mampu bersabar dari rasa sakit tersebut. Padahal, jika ia berpikir
sedikit saja dari setiap cobaan dan penyakit yang menimpah kepadanya,
sesungguhnya nikmat Allah ada dibalik itu semua.
Pada dasarnya, Allah adalah Maha pemberi nikmat yang tidak pernah pilih
kasih dalam melimpahkan nikmat dan rahmatnya. Baik itu kepada orang-
orang kafir ataupun musyrik sekalipun. Karena Allah berjanji tidak akan
menelantarkan hamba-hambanya sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran
surat Yunus : 21
“Dan apabila Kami merasakan kepada manusia suatu rahmat,
sesudah (datangnya) bahaya menimpa mereka, tiba-tiba mereka
mempunyai tipu daya dalam (menentang) tanda-tanda kekuasaan
kami. Katakanlah: "Allah lebih cepat pembalasannya (atas tipu
daya itu)". Sesungguhnya malaikat-malaikat Kami menuliskan tipu
dayamu.
Kadang hidup di tengah lingkungan yang didominasi rasa putus asa karena
sudah tidak percaya lagi pada rahmat Allah, baik lingkungan dekat seperti
51
keluarga ataupun lingkungan jauh seperti masyarakat menjadi pemicu
keputusasaan. Terutama apabila seseorang belum mencapai usia matang
dan tidak memiliki imunitas yang semestinya sebagai perlindungan bagi
dirinya dari cengkraman keputusasaan
2. Kekufuran
"Kefakiran dapat berpotensi pada kekufuran.26
" Demikian di antara pesan
moral yang kiranya amat popular di tengah-tengah masyarakat. Kekufuran
kini telah mengambil tempat yang semakin membahayakan, ia merupakan
satu dari sekian banyak penyakit sosial yang sering mengganggu
kehidupan. Dalam hal ini Allah telah mengingatkan kepada hambaNya
akan bahaya kekufuran, dalam surat Ibrahim ayat 28.27
Biasanya dalam kondisi seperti ini, seseorang dapat dengan mudah
terperanjat ke dalam kekufuran. Selain itu, rendahmya rasa bersyukur
seseorang terhadap sesuatu yang telah diberikan terhadap dirinya biasanya
akan trcermin negatif ke dalam kehidupannya. Sebagai contoh yang kerap
terjadi di dalam lingkungan masyarakat dimana mereka rela menggadaikan
keimanannya, hanya demi sebotol susu, atau dua kilogram beras.
Kemiskinan memang telah menyerang ketidak berdayaan orang-orang
26
Samsul Munir Amin, Percik Pemikiran Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta,
2009. hal.116 27
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah
dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. (QS.
Ibrahim : 28)
52
fakir namun hanya keimananlah yang dapat menjadi benteng terakhir bagi
mereka agar mereka tetap istiqoma dan tidak mudah terjerembak ke dalam
kekafiran tersebut.
3. Ditimpa Malapetaka dan Musibah
Setiap orang pasti akan merasakan musibah, baik itu seorang mukmin
maupun kafir. Hidup ini memang dibangun di atas berbagai kesulitan dan
marabahaya. Sebagai manusia sudah sepatutnya untuk tidak
membayangkan bahwa dirinya akan terbebas dari kesusahan dan cobaan.
Cobaan adalah lawan dari tujuan dan memang bertentangan dengan angan-
angan dan kesenangan menikmati kelezatan hidup. Setiap orang pasti
merasakannya, walau dengan ukuran yang berbeda, sedikit atau banyak.
Seorang mukmin diberi ujian sebagai tempaan baginya, bukan siksaan.
Terkadang cobaan itu ada dalam kesenangan, terkadang juga ada dalam
kesusahan28
. Allah berfirman:
“Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan
(bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (pada
kebenaran)” (al-A„raaf: 168).
28
http://tarbiyahislam.wordpress.com/2007/07/02/tabahlah-menghadapi-musibah/
53
Satu hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, atau satu hal
yang disukai kadang mendatangkan kesusahan. Maka sudah sepatutnya
bagi setiap manusia tidak merasa aman dengan kesenangan, karena bisa
saja ia menimbulkan kemudaratan. Dan Jangan pula merasa putus asa
karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkan kesenangan. Allah
Swt berfirman :
…
…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (al-Baqarah: 216).
Memang, orang yang tertimpa musibah mudah sekali terjerumus ke dalam
sikap putus asa. Namun, bagi mereka yang mampu bangkit maka mereka
akan terlepas dari sikap keputusasaan akan tetapi bagi mereka yang tidak
sanggup pasti mereka akan berada dalam kondisi putus asa yang
menyakitkan sehingga menyebabkan ketidak berdayaan yang berakibat
pada kehancuran dirinya.
4. Buruk Sangka kepada Allah
Berburuk sangka pada Allah bahwasannya Dia tidak akan menolong
agama-Nya, tidak menolong hamba-hamba-Nya, meyakini bahwa agama
54
ini akan terus mengalami kemunduran, para pemeluk dan pembelanya
pasti akan mengalami kebinasaan dan berakhir sebagaimana Allah
berfirman :
Dan supaya dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan
mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah
memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka
neraka jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat
tempat kembali. (Al-Fath: 6).
Dan buruk sangka kepada Allah seringkali menjerumuskan seseorang pada
keputusasaan. Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa barangsiapa menyangka
Allah tidak akan menolong Rasulnya, tidak menyempurnakan urusannNya
dan tidak mengukuhkannya. tidak mendukung pasukannya ,serta tidak
memenangkan mereka diatas musuh-musuhnya. Maka barangsiapa yang
menyangka demikian maka ia telah berburuk sangka kepada Allah dan
menyandarkan kepada Allah sifat-sifat yang tidak layak bagi
kesempurnaan dan keagungannya.29
29
Ibnu al-Qayyim, Badaiut Tafsir, vol 1, hal. 59
55
Selanjutnya jenis manusia yang semacam ini melihat juga bahwa apabila
mereka diberi kesulitan mereka mengira bahwa Allah semena-mena
terhadap dirinya sehingga mereka pun putus asa dari setiap perbuatan yang
bermuara kepada keadilan Allah.
Orang yang cenderung berburuk sangka kepada Allah termasuk orang
yang sangat tidak mempunyai cita-cita tinggi, tekad yang kuat dan
kehendak yang mulia akan membangkitkan optimisme. Menanamkan
keyakinan dan harapan dalam jiwa sehingga mampu melintasi dan
melewati berbagai kendala dan rintangan sehebat apapun., semua kondisi
tersebut hanya akan membuka pintu keputusasaan yang memudahkan
jalannya untuk menembus hati dan menguasai manusia.
C. Solusi al-Quran dalam Menghadapi Keputusasaan
Perlu diingat bahwa hidup manusia memang dipenuhi oleh lika-liku dan
cobaan. Terkadang, manusia tidak kuat menghadapinya. Hanya iman yang
menjadi benteng terakhir bagi manusia agar tidak terjerembab dalam
keputusasaan dan memilih jalan yang tidak diridhoi Allah lalu bagaimana alquran
memberikan solusi untuk mampu mengatasi keputusasaan.
1. Sabar
Allah adalah Sang Khalik yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dzat yang tak
akan membiarkan hamba-Nya dalam kesesatan dan keputusasaan. Allah bahkan
melarang Hamba-hambanya untuk bersedih karena hal ini tidaklah bermanfaat,
56
justru mengakibatkan keterpurukan . Ajaran ini tertuang dalam dua ayat firman-
Nya yang berbunyi30
:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman. (ali-Imran : 139)
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya
Allah Telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin
Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua
orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada
temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta
kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran
menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah
yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (at-Taubah : 40)
Berdasarkan dua ayat di atas, jelas bahwa umat muslim tidak boleh putus asa
dan bersedih, karena pertolongan Allah pasti datang bagi hamba-Nya yang
beriman. Terlebih Allah menegaskan bahwa orang yang beriman memiliki derajat
yang tinggi, oleh karenanya hendaklah kita bersabar terhadap setiap masalah yang
30
„Aid al-Qarni, La Tahzan, terj. Samson Rahman dengan judul Jangan Bersedih,
(Qisthi Press: Jakarta, 2007), hal 48
57
menimpa kita. Bersabar itu indah dan yakinilah bahwa, jika mampu bersabar,
maka kelak akan mendapatkan kemuliaan bersama para penyabar lainnya.
Sabar itu adalah menahan diri terhadap apa yang dibenci-Nya atau menahan
sesuatu yang dibenci-Nya dengan ridha dan rela; maksudnya adalah menahan diri
terhadap ujian yang menimpanya dengan tidak membiarkannya berkeluh kesah
atau marah, sebab keluh kesah terhadap sesuatu yang telah hilang adalah penyakit
dan keluh kesah terhadap apa yang akan terjadi adalah tidak ridha, sedangkan
tidak ridha terhadap takdir berarti mengecam Allah SWT. Dalam bersabar
terhadap itu semua, seorang muslim bersenjatakan diri dengan ingat pahala
ketaatan yang besar dari Allah. Dan ingat siksa pedih Allah untuk orang-orang
yang dimurkai-Nya. Selain itu ia ingat bahwa takdir-takdir Allah akan senantiasa
berlangsung, keputusan-Nya adalah adil dan hukum-Nya pasti terjadi31
.
Istilah sabar pada akhirnya merupakan istilah keagamaan yang berarti sangat
berhubungan dengan upaya-upaya melaksanakan ajaran agama dan menjauhi
larangannya. Dalam hal ini, sabar adalah jalan terbaik mencapai tujuan tersebut. Ia
merupakan senjata seorang muslim yang mempunyai dua kekuatan. Pertama,
mendorong jiwa untuk melaksanakan segala perintah Allah. Kedua sebagai
kekuatan untuk menolak segala godaan, ujian, dan rangsangan negatif untuk
melakukan tindakan keburukan.
Dunia ini nyatanya memang merupakan tempat ujian. Adakalanya ujian itu
berupa kebaikan berupa nikmat atau berupa keburukan (musibah). Manusia
dilahirkan sebagai makhluk yang selalu diliputi oleh berbagai macam
31
Abu Bakar jabir al-Jazair, Ensiklopedia Muslim, ter. Fadhil bahri (Jakarta : Darul
Falah, 2000) cet 1, hal..220
58
permasalahan diciptakan, tabiat dasar memang tidak pernah merasa puas dan
senang atas apa yang diperolehnya. Jika diberi kesulitan ia akan bersedih dan
berputus asa. Padahal bagi seorang mukmin segala yang terjadi pada dirinya
seharusnya menjadi kebaikan bagi dirinya. Karena itulah keistimewaan seorang
mukmin sejati.
Sebagai hamba Allah, manusia tidak akan terlepas dari segala ujian yang
menimpa dirinya, maka hanya bersabarlah yang memancarkan sinar yang
memelihara seorang muslim dari kejatuhan kebinasaan, memberikan hidayah
yang menjaga dari sikap putus asa.
Setiap orang yang berhasil di dunia ini pasti mencapai keberhasilannya
melalui kesabaran, mereka merasakan kepahitan, mengalami penderitaan,
keputusasaan namun orang-orang tersebut mampu bangkit mengatasi
keterpurukan, dan salah satunya yaitu dengan senjata kesabaran.
Pada hakikatnya sabar adalah suatu bagian dari akhlak utama yang dibutuhkan
seorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Sabar dan teguh menghadapi
cobaan adalah citra diri dari seorang muslim dalam meraih tujuan dan cita-cita32
.
Sabar juga merupakan media yang ampuh dalam terapi penyakit jiwa 33
.
Abu Thalib al-Makky mengatakan, bahwa sabar itu kunci untuk masuk surga
dan keselamatan dari neraka, karena itu seorang mukmin memerlukan kesabaran
terhadap hal-hal yang tidak disukai agar masuk surga34
.
32
Hanna Djumhana Bustamam, Integrasi psikologi dengan Islam ( Jakarta:Pustaka
Pelajar, 1997), hal.201 33
Amir an-Najar, al –‘ilmu an-Nafs al-Shufiyah, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi
Komparatif Dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, (terj) Hasan Abrori, MA (Jakarta :Pustaka Azzam,
2001), hal.48 34
Yusuf al-Qardhawi, as-Sabr fi al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989). hal. 8.
59
Dalam setiap permasalahan, diakui banyak tingkatan yang beragam.
Terkadang setiap manusia mengalami kesulitan yang mengganggu kehidupannya
hingga mengakibatkan stres, depresi dan putus asa. Bahkan, tidak jarang, orang
yang depresi dan putus asa berada dalam kondisi kehilangan akal (gila) atau
mencari jalan pintas yang tidak diridhoi Allah.
2. Syukur
Selanjutnya hal yang akan membuat seseorang mampu mengatasai
keputusasaan adalah dengan bersyukur karena jika mau bersyukur sedikit saja,
maka akan membuka sebuah pemahaman tentang penderitaan manusia lain,
bahwa milyaran manusia lain juga sedang menghadapi persoalan kehidupannya
masing-masing. Bukan hal yang mustahil, jika ada manusia lain di luar sana yang
mengalami cobaan lebih berat namun mampu bersabar dan mengambil hikmah
dari setiap persoalannya.
Selain itu, Allah berjanji dalam firman-Nya, bahwa setiap ada kesulitan
pastilah ada kemudahan. Sebagaimana tersurat dalam al-Qur‟an yang dalam surat
al-Insyirah ayat lima dan enam35
:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
35
Yusuf al-Qardhawi, as-Sabr fi al-Qur’an, hal. 18
60
Dengan ayat ini, Allah memotivasi manusia untuk percaya, bahwa dalam
setiap kegelapan, selalu ada setitik cahaya penyelamat. Dalam setiap kesulitan
apapun bentuknya, akan selalu ada jalan keluar. Dengan ayat ini pulalah, Allah
menunjukkan kepercayaan kepada manusia, untuk bisa menyelesaikan segala
problematika kehidupan.
Solusi lain yang diajarkan Islam adalah dengan tersenyum. Senyum selain
sebagai ibadah, juga merupakan ”balsem” bagi kegalauan” dan ”salep” bagi
kesedihan36
. Dengan tersenyum dan tertawa, kita mampu merilekskan otak agar
mampu kembali berfikir positif. Mengambil hikmah dalam setiap kejadian,
meskipun kenyataan yang pahit dirasakan. Beberapa pakar juga berpendapat
bahwa tersenyum dan tertawa adalah gerakan urat saraf yang bekerja mengurangi
tensi darah yang berlebihan, maka tidak heran jika tertawa yag normal adalah obat
jiwa yang lelah. Tertawa dan tersenyum merupakan salah satu sisi kehidupan
dimana banyak orang tidak tertarik untuk mempelajarinya meskipun hal tersebut
sangat mudah.
Jiwa yang riang mampu melihat kesulitan hidup dan menikmatinya sehingga
berhasil mengalahkannya. Ia melihat kesulitan sambil tersenyum, mengatasinya
sambil tersenyum, dan mengalahkannya sambil tersenyum pula.
Jika hidup ingin dipenuhi senyuman maka perangilah keputus-asaan, karna
sesungguhnya kesempatan selalu ada, pintu kesuksesan selalu terbuka bagi siapa
36
Yusuf al-Qardhawi, as-Sabr fi al-Qur’an, hal.57
61
saja. Aktifkan energi semangat penuh keyakinan , niscaya akan terbuka cita-cita
dan optimisme di masa depan37
.
Mesti disadari, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara
berpasangan yang pada hakikatnya berlawanan. Hal ini dilakukan demi menjaga
keseimbangan di muka bumi. Tak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya
kehidupan manusia di bumi jika semuanya menjadi orang kaya. Tentu kehidupan
ini menjadi tidak seimbang.
Oleh karenanya, manusia juga harus dapat menerima setiap kesulitan dan
cobaan yang dihadapi dengan lapang dada. Yakinlah bahwa ada pasangan dari
kesulitan, yaitu kemudahan yang dijanjikan Allah bagi umat-Nya yang beriman
dan berusaha. Hadapilah dunia ini apa adanya. Sesungguhnya tak semua
kenyataan akan sesuai dengan harapan yang di inginkan38
.
Sebagai umat muslim, hendaknya jangan lupa untuk berdo‟a kepada Allah.
Pencipta alam semesta, Maha Adil dan Bijaksana, lagi Maha Pemurah. Yang akan
mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya yang sedang dilanda kesulitan. Pesan
ini ditegaskan dalam al-Quran yang berbunyi:39
37
„Aid al-Qarni, Tersenyumlah, terj. Ayip Faishol & Zainal Abidin ; Penerbit Pustaka
azzam cet 2004, hal. 14 38
„Aid al-Qarni, Tersenyumlah, hal. 16 39
„Aid al-Qarni, Tersenyumlah, hal. 21
62
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan
yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di
samping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya). (Al-Naml: 62)
Dalam literatur lainnya, dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah
melapangkan dada bagi manusia yang beriman saat menghadapi masalahnya. Hal
ini tercermin dalam al-Quran yang berbunyi :
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (Thaha: 25)
Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu (al-Insyirah: 1)
Faktor-faktor yang menyebabkan lapangnya dada40
dalam menghadapi
masalah adalah sebagai berikut ;
1. Menguatkan Ketauhidan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah :
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah
(sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat kamu tinggal (Muhammad: 19)
40
A‟idh Abdullah al-Qarni, Jangan Putus Asa: Pintu Taubat Selalu Terbuka; terj. M.
Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2005), hal. 151
63
2. Dzikrullah: dengan dzikrullah, akan menyelamatkan seseorang dari badai
keraguan, was-was, kecemasan dan dapat membangkitkan ketenangan,
ketentraman dan kedamaian maka hati akan menjadi tentram.
Sebagaimana firman Allah:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Ar-Ra‟d: 28)
3. Ridha Terhadap Qadha. Meridhai apa yang terjadi, meskipun itu pahit.
Karena telah digariskan oleh Allah SWT. Sebagai manusia, kita harus
tabah dalam menjalani hidup. Ketabahanlah yang akan membuat hati kita
lapang dalam menghadapi cobaan. Sebaimana diungkap dalam firman
Allah :
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah
dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan,
tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu
bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di
akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata (al-
Hajj: 11)
64
4. Meninggalkan Maksiat. Meninggalkan maksiat dan bertobat dengan
sungguh-sungguh, setiap jiwa akan mendapatkan kelapangan hati dalam
menghadapi berbagai problematika kehidupan, dapat menghilangkan
kerenggangan antara hamba dengan Allah. Dengan meninggalkan maksiat
akan menjadikannya tidak takut terhadap kematian, bahkan ia senang
dengan datangnya kematian disebabkan kebahagiaan menghadap rabbnya,
semua pintu rizki terbuka dari jalan yang tidak disangka-sangka,
memudahkan semua persoalan yang dianggap sulit 41
.
5. Qana‟ah atau menerima apa adanya setelah ia berusaha adalah gudang
yang tidak akan habis. Sebab, qana‟ah adalah Kekayaan jiwa, dalam hal
ini kekayaan jiwa lebih tinggi derajatnya dan lebih mulia daripada
kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap menjaga kehormatan diri
dan menjaga kemuliaan diri tidak meminta kepada orang lain. Tipe
manusia yang qana‟ah adalah menerima dengan ikhlas apa yang diberikan
Allah42
. Dengan menerima apa adanya nikmat yang telah diberikan dan
tidak mengejar kekayaan dengan cara meminta kepada manusia atau
mengemis, dengan melatih sikap ini maka akan terhindar dari
kemungkinan rakus akan harta, jabatan dan lain sebagainya.
6. Membaca dan Mentadabbur al-Qur‟an. Karena sudah merupakan
kewajiban setiap muslim bahwa Al-Qur‟an adalah pedoman hidup
41
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Cara Bertaubat Menurut al-Quran dan as-Sunnah,
terj. Muhibburahman , pustaka Imam asy-Syafi„i. Jakarta , 2007, hal.341 42
Muhammd Abdul Qadir Abu Faris, Menyucikan Jiwa, terj. Habiburrahman Saerozi,
Gema Insani Press , Jakarta. 2005, hal.248
65
manusia hingga akhir zaman. Dengan mengikuti petunjuk dari al-Qur‟an
kita akan mendapatkan pencerahan hati dan fikiran serta kelapangan dada
dalam meghadapi persoalan apapun.
7. Berteman Dengan Orang Saleh. Bergaul dengan orang-orang saleh akan
melahirkan ketenangan batin tersendiri. Hal ini disebabkan kebiasaan
orang saleh yang saling menasihati antar umat muslim di jalan kebaikan.
Allah telah menyuruh kepada hamba-hambanya untuk berusaha bersahabat
dengan orang-orang pilihan yang bersih dan duduk bersama para orang-
orang saleh tersebut. Sebagaimana dalam firman-Nya :
Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas. (Q.S. al-Kahf : 28)
Jika dirangkum, maka beragam solusi yang ditawarkan adalah sebagai
berikut :
1. Memperkuat keimanannya kepada Allah.
66
2. Bersikap Optimis. Yakin bahwa pertolongan Allah pasti akan datang bagi
hamba-Nya yang beriman.
3. Berdo‟a kepada Allah karena hanya Dia lah yang Maha Bijaksana.
4. Rajin membaca al-Qur‟an agar semakin yakin terhadap pertolongan Allah.
5. Menghibur diri dengan tersenyum. Jika beban yang menghimpit sudah
tidak kuat lagi ditahan, maka diperbolehkan untuk menangis yang
bertujuan meringankan hati.
6. Selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat.
7. Hadapi hidup apa adanya. Segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan
Qadha dan Qadar. Jika menuai kegagalan, maka hendaknya melakukan
introspeksi diri, merancang ulang rencana agar lebih baik ke depannya,
dan yakin bahwa Allah belum berkehendak sukses di bidang tersebut.
Bukan karena Allah tidak sayang, akan tetapi karena, takut manusia
tersebut lupa diri jika meraih kesuksesan yang direncanakan. Atau,
mungkin saja kesuksesan tersebut bukan sesuatu yang dibutuhkan dalam
hidup, hanya sesuatu keinginan semu belaka. Semua bentuk keadilan
Allah adalah, memberikan apa yang dibutuhkan oleh setiap manusia,
bukan apa yang diinginkannya.
67
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya
maka pada akhir penelitian ini penulis mengemukakan kesimpulan sebagai
jawaban dari perumusan masalah , antara lain yang dapat penulis
simpulkan:
Bahwasanya terma keputusasaan dalam al-Quran diungkapkan dengan
tiga kata yang berbeda dan memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan
pesan yang ingin disampaikan berkaitan dengan penjelasan dan arahan al-
Quran terhadap fenomena keputusasaan dalam kehidupan umat manusia.
kata-kata tersebut ialah al-Ya'su , al-Qanath dan ablasa kata-kata
tersebut mengacu kepada makna bahwasanya keputusasaan ialah sifat
manusia yang salah dan berlebihan.
Dalam hal kata putus asa di al-Quran, bahwa penggunaan al-ya'su lebih
diutamakan untuk mereka orang-orang kafir yang sudah benar-benar putus
asa dari rahmat Allah, hal ini dapat diindikasikan dari adanya penggunaan
bentuk mubalaghah dalam kata putus asa yang jika dipahami bahwa,
kesalahan yang mereka perbuat merupakan sebuah kondisi yang amat
sangat membekas dan menyakitkan hal ini disebabkan karena mereka
terlalu terpedaya oleh kenikmatan yang diberikan sehingga mereka lupa
kepada Allah Swt, kemudian ada juga fi'il madhi yang mengeneralisir bahwa
68
seluruh orang kafir itu telah berputus asa karena tidak akan bisa mengalahkan
agama Islam.
Sedangkan penggunaan al-Qanath lebih banyak menggunakan fi'il mudhari'
dengan maksud bahwa keputusasaan senantiasa berada dalam benak setiap
manusia dalam keadaan lemah dan terpojok, sedangkan penggunaan ablasa
hampir dari semua ayatnya menggunakan bentuk isim fail yang jika
dipahami bahwa orang-rang yang putus asa termasuk kedalam bujuk rayu
iblis yang senantiasa akan menyesatkan seluruh manusia yang menjadikan
manusia durhaka kepada Allah dan membuat mereka menjadi orang-orang
musyrik.
Akibat buruk dari sifat putus asa sendiri ialah bahwa putus asa bagi
seseorang membuat dirinya menjadi hina dan kerdil lantaran ia menutup
diri terhadap suatu kebaikan secara berlebihan yang bahkan menimbulkan
keterpurukan bagi dirinya, karena keputus asaannya menjauhkan rahmat
Allah atas dirinya.
Solusi dalam pemecahan masalah keputusasaan seperti yang terdapat di
dalam al-Quran ialah hendaknya melatih diri untuk bersabar, senantiasa
bersyukur dan membiasakan diri untuk tersenyum.
Jika bisa bersabar pasti bisa bersyukur dan orang-orang yang bersyukur
jauh dari kekufuran dan bahkan dapat kembali mengundang rahmat Allah
atau nikmat-nikmat yang sedianya Allah berikan kembali pada mereka
yang bersyukur. Sehingga terbebas dari keputusasaan, kemudian
dianjurkan juga agar selalu tersenyum dengan tujuan relaksasi agar dapat
dengan mudah berfikir positif terhadap sesuatu perkara.
68
B. Saran-Saran
Atas fenomena mistis yang banyak diambil masyarakat sebagai langkah
untuk mendapatkan jalan keluar bagi masalahnya atas nama keputusasaan.
Maka, hendaknya pemerintah menangani hal ini secara pro-aktif, seperti
menanggulangi kemiskinan dengan sasaran yang tepat.
70
DAFTAR PUSTAKA
al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus
Amin, Samsul Munir, Percik Pemikiran Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta,
2009
al-Barry, M D J, Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1996
Bustamam, Hanna Djumhana, Integrasi psikologi dengan Islam, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1997
Buya, Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz XII, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984
Chaplin, James P., Kamus lengkap Psikologis, PT Raja Grafindo Persada, 2006
Darajat, Zakiah, Psikotrapi Islam Jakarta : bulan bintang, 2002
Gholib, Achmad, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-
hadits dan Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Penerbit Faza Media,
2006
al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Cara Bertaubat Menurut al-Quran dan as-
Sunnah, terj. Muhibburahman , pustaka Imam asy-Syafi„i. Jakarta ,
2007
Hasbi ash-shiddieqy, Tengku Muhammad, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, PT
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000, Jilid 3
Horwood, Janet, penghiburan Bagi Orang Yang Mengalami Depresi, Bina Rupa
Aksara: Jakarta, 1993
Ibn Manzhur, Lisan al-‟Arab, Beirut : dar al-Fikr, 1994
Jabir al-Jazair, Abu Bakar, Ensiklopedia Muslim, (ter) Fadhil Bahri, Jakarta: Darul
Falah, 2000 Cet. 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007)
Kierkegaard, Sören, The Sickness Unto Death, Published by Princeton University
Press, Princeton, New Jersey, 1941
Manzur, Ibnu, Lisanul Arab, Beirut dar al-fikr, 1994. vol 6
71
al-Maqdisy, al-Husni, Kamus Faturrahman, Beirut: Daar el Fikr, 1995
al-Mubarak, Imam Majd ad Din Abi as Sa‟adat, bin Muhammad Ibnu al Atsir, Al-
Nihâyah fi gharîbi al-hadîts wa al-atsâr. Daar al Ma‟rifah, Beirut-
Libanon 2001. vol.4
Mustaqim, Abdul, dkk, Studi al-Quran Kontemporer: Wacana Baru Berbagi
Metodologi Tafsir (id.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Mu‟jam al-Wasith al-Qahiroh, Maktabah al-Syaroq al-Dauliyah: 2008
an-Najar, Amir, al –‘ilmu an-Nafs al-Shufiyah, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi
Komparatif Dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, (terj) Hasan Abrori,
MA, Jakarta : Pustaka Azzam, 2001
Nuh, Sayyid Muhammad ‘Afatun ‘Alâ ath-Thâriq; Terapi Ruhiyah Aktifis
Dakwah terj Fakhruddin Nur syam lc, Hawin M. Jasiman, Mahmud
Mahfud (Solo: Media Insan Press, 2006)
Qadir Abu Faris, Muhammd Abdul, Menyucikan Jiwa, terj. Habiburrahman
Saerozi, Gema Insani Press, Jakarta. 2005
al-Qardhawi, Yusuf, as-Sabr fi Al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989
al-Qarni, Aidh, Jangan Putus Asa: Pintu Taubat Selalu Terbuka; terj. M.
Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2005)
-----------------, La Tahzan, (terj) Samson Rahman dengan JanganBersedih, Qisthi
Press : Jakarta, 2007
------------------, Tersenyumlah, (terj) Ayip Faishol & Zainal Abidin, Penerbit
Pustaka azzam, Cet. 2004
------------------, Tafsir Muyassar, Qisthi Press, Jakarta, 2008 Jilid 2
Quthb, Sayyid. Fi Dzhilâl al-Quran terj. As‟ad yasin, Abdul aziz, (Gema Insani
Press, Jakarta, 2000), Jilid ke-9
al-Sayyid Mahmud, Al-Alusi, Abu al-Sana Shihab al-Din. Rûh al-Ma’ âni Fi
Tafsir al Quran al „Azim wa al Sab’ al Matsani,. Beirut: Dar al Kutub
al „Ilmiyah, 1994 : vol 5
Shaleh, Qomaruddin, Asbabun Nuzul, Bandung: CV Diponegoro, 1991
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1995
----------------------, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta: 2002, Vol: 12
72
Stanley, M, Studies in The Evolutionary Psychology of Feeling Hiram, New York
: MaC Millan, 1895
Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
Taufiqurrochman, H.R., “Leksikologi Bahasa Arab”, UIN Malang Press, Malang,
2008
at-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib.
Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Quran, Dar el-Kutub al-„Ilmiyah
(Beirut), 1992
Wilkinson, Greg, Depression, dialihbahasakan oleh Meitasari Tjandrosa dengan
judul Depresi, Arcan: Jakarta, 1991
al-Yassuî, Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wal al-A„lam, Dar al-Mashriq
Zaid, Abu, The Textuality of the Koran, Islam and Europe in Past and Present,
Nias,1997
Zuhaili, Wahbah, Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, (Jakarta : al Mahira,
2008)
Website
http://tarbiyahislam.wordpress.com/2007/07/02/tabahlah-menghadapi-musibah/
http://www.afroarticles.com/article-dashboard/Article/Desperation-and-Despair--
the-Devil-s-Playground/214455
http://organisasi.org/jenis-macam-kategori-pemicu-stress-penyebab-stres-
psikologis-manusia
http://metapsychology.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=book&id=2882
http://www.hebrew4christians.com/Articles/Despair/despair.html