Referat cedera kepala

27
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Cedera kepala adalah keadaan gangguan non degeneratif dan non kongenital terhadap kepala dari serangan mekanikal eksternal dan dapat menyebabkan gangguan kognitif baik temporer maupun permanen, gangguan fisik, dan fungsi psikososial dan berhubungan dengan berkurang dan adanya gangguan kesadaran. 1 Cedera kepala merupakan penyebab kematian keempat di Negara Amerika Serikat dan penyebab kematian pertama pada orang berusia 1-44 tahun. Insidensi trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 180-220 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat dengan populasi hampir 300 juta orang, terjadi 600.000 kasus trauma kepala baru yang terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 10% dari trauma ini berakibat fatal, dan menyebabkan 550.000 orang dirawat di rumah sakit. 2 Pada penderita cedera kepala, penyebab utama rusaknya otak adalah cedera mekanik, udema, perdarahan dan iskemik otak. Kerusakan otak akibat cedera kepala akut dibagi atas cedera primer dan sekunder. 3 Cedera primer terjadi pada saat peristiwa sehingga tidak bisa diminimalisir segera, sementara cedera sekunder bisa, oleh sebab faktor intrakranial (peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi) dan faktor 1

description

cedera kepala

Transcript of Referat cedera kepala

Bab IPendahuluan

1.1 Latar BelakangCedera kepala adalah keadaan gangguan non degeneratif dan non kongenital terhadap kepala dari serangan mekanikal eksternal dan dapat menyebabkan gangguan kognitif baik temporer maupun permanen, gangguan fisik, dan fungsi psikososial dan berhubungan dengan berkurang dan adanya gangguan kesadaran.1Cedera kepala merupakan penyebab kematian keempat di Negara Amerika Serikat dan penyebab kematian pertama pada orang berusia 1-44 tahun. Insidensi trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 180-220 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat dengan populasi hampir 300 juta orang, terjadi 600.000 kasus trauma kepala baru yang terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 10% dari trauma ini berakibat fatal, dan menyebabkan 550.000 orang dirawat di rumah sakit.2Pada penderita cedera kepala, penyebab utama rusaknya otak adalah cedera mekanik, udema, perdarahan dan iskemik otak. Kerusakan otak akibat cedera kepala akut dibagi atas cedera primer dan sekunder.3 Cedera primer terjadi pada saat peristiwa sehingga tidak bisa diminimalisir segera, sementara cedera sekunder bisa, oleh sebab faktor intrakranial (peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi) dan faktor sistemik (hipoksia, hiperkalemia, hipotensi, dan hipertensi) masih mungkin diminimalisir dengan segera.2 Pasien yang semula sesudah kejadian trauma sadar dan bisa bicara dengan baik kemudian memburuk dan meninggal sudah dapat diduga akibat cedera sekunder. Intervensi aktif dalam mengelola penderita sangat dibutuhkan dalam mencari dan mengkoreksi kedua faktor tersebut.Penanganan pasien cedera kepala pada keadaan darurat meliputi jalan nafas dan ventilasi, sirkulasi, dan disabilitas. Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan trauma lainnya tetapi pada trauma kepala juga perlu diperhatikan peninggian tekanan intrakranial. Penatalaksanaan tekanan intrakranial sangat penting karena tekanan intrakranial yang tinggi dapat memperburuk prognosis. Kemudian setelah keadaan stabil pasien baru dievaluasi lebih lanjut dan diberikan terapi definitif yaitu perlu atau tidaknya tindakan bedah.2

1.2 TujuanAdapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah guna melengkapi tugas penulisan laporan kasus pada Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi dan agar pembaca mampu memahami tentang cedera kepala yang menyebabkan cedera otak berat, penanganannya dan tindakan anestesi pada pasien tersebut.

1

2Bab IILandasan Teori

2.1. Klasifikasi Cedera kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder. Klasifikasi ini bermanfaat dalam merencanakan penanganan selanjutnya. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan mekanis langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai kranium dan jaringan otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial kemudian dibagi menjadi dua tipe, yaitu cedera difus dan cedera fokal.4a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori :i. Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung < 6 jamii. Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung > 6 jamb. Cedera otak fokal dibagi menjadi:i. Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah berlawanan dari asal tubrukanii. Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dan laserasi dari arteri meningea mediaiii. Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging veins antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural dikatakan mempunyai angka mortalitas yang tinggi.iv. Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan temporal dan dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan. Jaringan otak yang rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat diselamatkan. Karena itu, hasil fungsional meningkat dengan dilakukan intervensi bedah dan terapi medis.5

Cedera sekunder terjadi dalam hitungan menit, jam, ataupun hari sejak terjadi cedera awal yang menyebabkan cedera otak yang lebih lanjut. Cedera sekunder yang umum berupa hipoksia serebral dan iskemia. Cedera sekunder dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia), instabilitas kardiovaskular (hipotension cardiac output yang rendah), peningkatan tekanan intrakranial dan gangguan biokimia.2

2.2. EpidemiologiSejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang gawat darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam. Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat antara hari Jumat dan Minggu. Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih tinggi daripada wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama dikarenakan kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.2Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala dengan prosentase diatas 50%. Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-11.2Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara 4 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.22.3 PatofisiologiPada cedera otak fokal, cerebral blood flow (CBF) dan laju metabolisme serebral terhadap oksigen menurun pada pusat dari daerah cedera dan di penumbra, suatu area dimana jaringan mendapat perfusi yang kurang yang mengelilingi jaringan yang rusak. Ketika TIK meningkat, hipometabolisme dan hipoperfusi difus dapat terjadi. Pada cedera otak difus, hiperemia dapat terjadi. Pada kebanyakan kasus, CBF menurun dalam hitungan beberapa jam setelah terjadi trauma kepala. Kombinasi hipotensi dan terganggunya autoregulasi menyebabkan iskemia serebral. Regulasi metabolik-kimiawi dari CBF dapat juga terganggu. Kombinasi dari respon patofisiologi ini menimbulkan skenario penanganan yang rumit.5Perdarahan intraserebral menyebabkan zona iskemia pada jaringan otak disekelilingnya; pergeseran otak dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah, dan akan menyebabkan infark pada regio yang terkait. Cedera langsung pada arteri karotis interna juga dapat menyebabkan iskemia otak.5Efek sistemik pada trauma kepala meliputi respon kardiovaskular, respirasi, dan pengaturan temperatur. Respon kardiovaskular terhadap trauma kepala biasanya terlihat pada fase awal. Hal ini berupa hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output. Pasien dengan trauma kepala berat dan yang mendapat cedera sistemik difus dengan perdarahan yang cukup banyak, dapat berkembang menjadi hipotensi dan penurunan cardiac output. Respon respirasi terhadap trauma kepala meliputi apnoe dan pola pernafasan abnormal. Insufisiensi respirasi dan hiperventilasi spontan sering terjadi. Pengaturan temperatur dapat terganggu, dan hipertermia, bila terjadi, dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.5

Bab IIIManajemen Kegawatdaruratan

3.1 PreoperatifCedera kepala merupakan proses yang dinamis dan memiliki variabel-variabel yang saling berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan otak sekunder. Target dari penanganan trauma kepala adalah mencegah kerusakan sekunder karena komplikasi intrakranial dan ektrakranial; dan menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk memaksimalkan proses penyembuhan.2Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah hipoksia dan syok, sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah diagnosa atau penundaan diagnosa perdarahan intrakranial. Manajemen emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi dan perfusi otak yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.3.1.1 Stabilisasi Jalan Nafas dan VentilasiLangkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas.2Analisa gas darah yang diambil saat trauma dan saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa hiperkapnea berkorelasi dengan derajat keparahan cedera kepala. GCS di bawah 9 dihubungkan dengan kadar PaCO2 di atas 50 mmHg. Intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan ventilasi spontan yang adekuat tidak dapat dipertahankan.Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 di bawah 93%, PaO2 kurang dari 70 mmHg, dan PaCO2 lebih dari 45 mmHg.Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Intubasi pasien dugaan fraktur servikal harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan suksinilkolin. Nasal intubasi tidak dianjurkan karena resiko perdarahan. Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita fraktur basis kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak. Pemasangan pipa lambung dapat merangsang reflek muntah sehingga sebaiknya dilakukan setelah intubasi karena semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh.2Ventilasi mekanik dilakukan segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mmHg. Hiperventilasi agresif (PaCO2 40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.2Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300, mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi dapat diberikan dalam manuver.2Terapi pertama adalah : 1) drainase CSF melalui kateter intraventricular, 2) Diuresis dengan manitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Manitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.2Terapi kedua adalah: 1) hiperventilasi agresif, 2) dosis tinggi barbiturat dan, 3) kraniektomi dekompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.2Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekuensi adanya massa hemisferik. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara memberikan manitol dan hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias Cushing).Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi dan kebingungan sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu diberikan manitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi manitol.

3.2. Intra-operatifTujuan utama dari manajemen anestesi yaitu untuk (a) mengoptimalkan perfusi dan oksigenasi serebral, (b) menghindari kerusakan sekunder, (c) membuat kondisi bedah yang baik untuk operator. Anestesi general direkomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi. Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Anestesiolog harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan trauma servikal.23.2.1 Pemberian Anestesi Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid Sequence Induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi Pentotal 3-4 mg/kg atau Propofol 1-2 mg/kg dan Suksinilkolin 1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakeal. Etomidat 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetapi, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.5Suksinilkolin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Tetapi, suksinilkolin merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rokuronium 0,6-1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.2Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan Rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanil 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.2Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik ke dalam rongga cranium.Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.5

3.2.2. Penanganan Ventilasi dan Sirkulasi Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebaiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.Aliran tekanan serebral harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan, meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan, tekanan darah ditingkatkan dengan menggunakan inotropic atau vasopresor. Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).23.2.3. Penanganan Peningkatan TIK Posisi pasien harus diperhatikan dengan menaikkan kepala pasien 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara substansial. Ketika ahli bedah ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return. Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat. Baik hipotensi (tekanan sistolik 160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan. Manitol digunakan untuk menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung. Jika terdapat kateter intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK.3.2.4 MonitorMonitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA, hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara periodik.Deteksi emboli pada vena dengan menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung. Monitoring otak seperti EEG, Evoked Potential, Jugular Venous Bulb Oxygen Saturation (SJO2), Laju aliran yang diukur menggunakan Transcranial Doppler (TCD), dan Brain Tissue PO2 (btPO2) dapat digunakan. 3.2.5 Proteksi SerebralPenurunan suhu tubuh hingga 33-35 oC dapat merubah proteksi serebral. Mekanisme protektif termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas, pembentukan radikal bebas, dan pembentukan edema. Pada iskemia, hipotermia ringan menjadi sekitar 34-36 oC terlihat dapat mengurangi resiko terjadinya cedera akibat iskemia jaringan.Ketika induksi hipotermia dilakukan, pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi, aritmia jantung, koagulopati, dan infeksi. Penghangatan kembali harus dilakukan secara perlahan. Monitoring suhu badan sebaiknya dilakukan di dua tempat atau lebih antara lain pada membran timpani, area nasofaringeal, esofagus dan darah.

3.3 Post-operatifPersiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat menjahit kulit, bila digunakan obat pelumpuh otot berikan antidotum pelumpuh otot sebelum ekstubasi. PaCO2 dinaikkan ke arah normoventilasi.Bila penderita sadar dan bernapas spontan adekuat, dapat dilakukan ekstubasi. Pengisapan lendir dan ekstubasi dapat menyebabkan penderita batuk dan mengejan dimana keadaan ini cukup potensial menaikkan Tekanan Intrakranial (TIK) & memperburuk udem serebri yang ada. Hal ini bisa dikurangi dengan pemberian Likodain (1-1.5) mg/kgBB intravena tiga menit sebelum ekstubasi.Bila GCS < 8 atau adanya trauma leher dan dada mungkin intubasi tetap dipertahankan untuk diventilasi di ICU untuk menjaga & proteksi jalan napas. Perlu diberi sedasi atau narkotik dosis kecil mengurangi iritasi endotrakeal pada jalan napas. Posisi kepala diangkat 20-30o agar drainase vena serebral lancar terutama penderita dengan ventilasi tekanan positif atau pasien dengan Tekanan Vena Sentral (CVP) yang tinggi. Hindari posisi Tredelenburg, kepala hiperfleksi, hiperekstensi atau rotasi karena akan membendung vena besar leher dan menaikkan TIK.5Hiperventilasi kadang diperlukan untuk mengendalikan TIK tetapi harus hati-hati bisa menyebabkan vasokonstriksi serebral dengan akibat menurunnya perfusi otak. Bila diperlakukan lama maka hipokapnik ventilasi digunakan tidak lebih dari 24 jam selanjutnya digunakan normokapnik ventilasi untuk mencegah kronik hipokarbi. Penggunaan hipokapnik ventilasi lebih dari 24 jam menimbulkan gangguan asam basa, kemampuan menurunkan TIK dalam keadaan darurat akan hilang.2Hipertensi pasca bedah dapat menimbulkan perdarahan kembali akibat bekuan darah belum adekuat. Bila tekanan darah melampaui batas autoregulasi (MAP >130mmHg) akan menyebabkan rusaknya sawar otak, udema interstitial dan meningkatnya TIK. Terapi harus dilakukan bila MAP > 130-140 mmHg dan semua penyebabnya seperti hipoksia, hiperkarbi, hiportermi dan overload cairan, serta nyeri harus dikoreksi dahulu sebelum diberikan anti hipertensi. Di lain pihak naiknya tekanan darah, diperlukan untuk mempertahankan Tekanan Perfusi Serebral (CPP), sehingga bila diberi anti hipertensi akan memperburuk perfusi otak. 2Prinsip pemberian cairan harus dipertahankan untuk mencegah eksaserbasi udem serebri, tetapi punya resiko bila CPP tak adekuat akan memperluas kerusakan otak. Untuk itu cegah terjadi overhidrasi namun tak perlu takut pemberian cairan. Kontrol elektrolit (K,Na) akibat diuretik harus segera dikoreksi. Kadar gula darah dikendalikan tak lebih dari 150 mg% bila lebih dari 200 mg% harus diterapi dengan insulin. Hiperglikemia akan menambah asidosis otak karena meningkatnya asamlaktat. Glukosa hanya diberikan bila ada hipoglikemia. Kadang-kadang sesudah 48 jam ICP tetap meninggi kemungkinan besardisebabkan odema serebri yang luas. Retriksi cairan, loop dan osmotik diuretik merupakan tindakan awal, bilatak respon baru lakukan ventilasi kendali dan barbiturat.Pasien yang dirawat di ICU diperlukan pengaturan suhu tubuh, pengendalian kejang dan proteksi otak. Hipertermia dicegah karena setiap kenaikan suhu, akan menaikkan konsumsi oksigen. Hipotermia dianjurkan untuk untuk mengurangi kebutuhan oksigen danmelindungi otak namun hanya cukup sampai 35 derajat celcius dengan mengatur suhu ruangan oleh karena ditakuti penyulit menggigil, gangguanelektrolit, perubahan kardiovaskular dan renal. Untuk pengendalian kejang dapat digunakan Fenitoin (Dilantin), benzodiazepin/barbiturat atau Lidokain. Ini penting diatasi karena kejang dapat menaikkan TIK, hipertensi sampaiperdarahan otak, hipoksia dan rusaknya sel otak. Dosis permulaan phenitoin 5-20 mg/kg intravena, dengan kecepatan maksimal pemberian 50 mg/menit, untuk mencegah efek samping kardiovaskular seperti hipotensi,aritmia sampai henti jantung. Diazepam diberikan dengan dosis 5- 10 mg intravena(0,3 mg/kg) sementara thiopental dengan dosis (1-4)mg/kg intravena.5Proteksi otak dengan mempertahankan jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia), hiperventilasi hanya bila ada herniasi otak dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus dipasang alat pantau), pengendalian tekanan darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan intraklanial < 20 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi otak (tekanan perfusi otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini yang harus dilakukan pertama kali dalam melakukan proteksi otak.Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-jenisnya antara lain : 1) Pentotal, menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.2) Pentobarbital, digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.3) Barbiturat, memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak.Mekanisme barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui barrier darah otak. Rasionalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel.5

Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolism otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion, menurunkan eksitatori neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di dalam ruang operasi suhu pertahankan 34-35pascabedah di ICU 36C.2

Bab IVPenutupCedera Kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang baik dengan mengutamakan jalan nafas dan ventilasi, sirkulasi serta mengurangi disabilitas. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf.2 Salah satu komplikasi yang dikhawatirkan dari cedera kepala yaitu peningkatan tekanan intrakranial.5

Daftar Pustaka

3

8

1. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. Kalamas AG, ed. Churchill Livingstone Elsevier. 5th ed Philadelphia; 2007: 347-52.2. Ahmad MR. Perioperative management of head injury. 2004. J Med Nus. 25 (1). 50-4. 3. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2007: 1047-514. Sjamsuhidayat R, De Jong W. Sistem Saraf. Dalam: Widjoseno, Gardjito, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Jakarta : EGC; 2010.h.818-215. Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic management of head trauma. Philipa N, James Cotrell, eds. Handbook of neuroanesthesia. Edisi ke-1. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2007: 91-108.

3437