Referat Ready

download Referat Ready

of 40

description

Haematology

Transcript of Referat Ready

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen darah. Massa abnormal itu disebut trombus dan bila terlepas dari dinding bekuan darah yang terjadi in vitro atau yang terdapat di dalam rongga tubuh maupun yang terbentuk post mortem bukan merupakan suatu trombus. Teori mengenai patofisiologi trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang peranan dalam patofisiologi trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut triad of virchow.1,2Berdasarkan komposisinya trombus dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu white trombus yang biasanya terdapat di arteri dan terutama terdiri dari fibrin dan eritrosit, sertamixed thrombus yang komposisinya merupakan gabungan dari white thrombud dan red thrombus. Komposisi suatu trombus dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah di tempat trombus itu terbentuk. Pada umumnya trombus yang banyak mengandung trombosit terbentuk di daerah dengan aliran darah yang cepat, sedangkan trombus yang banyak mengandung eritrosit dan fibrin terbentuk di daerah statis.2Trombosis menjadi masalah kesehatan yang besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan trombosis ini.2,3Presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP) yang berhubungan dengan faktor risiko yang sama. Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya trombus di dalam vena dalam terutama pada tungkai bawah. Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang dapat menimbulkan kematian kalau tidak dikenal dan diobati secara efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru yang disebut dengan emboli paru.1,2,3,4Epidemiologi tromboemboli vena telah beberapa kali diteliti. Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 600.000 kasus emboli paru simtomatik tiap tahunnya, menyebabkan kematian 60.000 pasien dan memberi konstrubusi pada kematian 200.000 pasien lainnya. Sementara data di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas, morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean Union di enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal yang dihubungkan dengan kejadian tromboemboli vena dengan rincian 34 % meninggal tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses diagnosa, dan hanya 7% pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas dengan emboli paru sebelum pasien meninggal.5,6Emboli paru merupakan masalah kesehatan internasional yang penting akan tetapi sulit ditemukan dan seringkali tidak terdiagnosis. Angka mortalitas dalam 3 bulan pada pasien dengan emboli paru akut sebesar 15 persen dan sejumlah pasien dengan emboli paru meninggal segera setelah gejala klinis bahkan sebelum diagnosis dikonfirmasi dan terapi diinisiasi. Angka mortalitas emboli paru yang tidak mendapatkan terapi sekitar 30%, tetapi dengan terapi yang adekuat, angka ini dapat ditekan hingga 2-8 %. Walaupun perkembangan yang pesat pada uji diagnostik dan intervensi terapeutik, emboli paru masih tetap kurang terdiagnosis dan profilaksis masih belum cukup banyak digunakan.5Tromboemboli vena dikenal sebagai akibat dari interaksi antara beberapa faktor risiko. Faktor resiko bawaan yang biasanya bersifat genetik, dan faktor risiko didapat yang tergantung keadaan. Faktor risiko genetik meliputi resistensi protein C yang teraktivasi (mutasi faktor V leiden), defisiensi anti thrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia, gangguan aktivasi plasminogen, adanya antibodi antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia. Faktor resiko didapat meliputi adanya penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, polisitemia, immobilisasi, operasi, trauma jaringan yang luas, keganasan. Kebiasaan merokok dan mengkonsumsi pil kontrasepsi juga merupakan faktor resiko terjadinya trombosis.7,8,9,10Tromboemboli vena merupakan salah satu masalah kesehatan yang memerlukan perhatian yang serius dari kita bersama. Angka mortalitas dan morbiditas yang disebabkan penyakit ini masih tinggi. Sulitnya diagnosis dan penatalaksanaan masih menjadi masalah. Adanya faktor resiko yang bisa dikendalikan harus memberikan kita peluang untuk menekan angka penyakit ini. Untuk itu referat ini dibuat untuk memaparkan patogenesis dan penatalakasanaan tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis vena dalam dan emboli paru.1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan dari tromboemboli vena dengan manifestasi klinis trombosis vena dalam dan emboli paru.BAB 2FISIOLOGI HEMOSTASIS

Hemostasis adalah proses fisiologis untuk mempertahankan integritas vaskular dengan mempertahankan fluiditas darah dan mencegah keluarnya darah serta menghancurkan bekuan yang terbentuk setelah terjadinya restorasi pembuluh darah yang rusak. Komponen utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler, sistem trombosit dan sistem koagulasi.1,4,112.1. Sistem VaskulerPeran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi vasokontriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin), dan epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran darah besar masih diperlukan lain seperti trombosit dan pembekuan darah.1,4Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabila lapisan endotel rusak maka jaringan ikat dibawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membrana basalis terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu terjadi aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik yang menyebabkan pembekuan fibrin.1,42.2. Sistem TrombositTrombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembekuan dan stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan. Apabila pembuluh darah luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat dibawah endotel akan terbuka. Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing terutama serat kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada protein plasma yang disebut faktor von willebrands (vWF) yang disintesis oleh sel eondotel dan megakariosit. Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan subendotel. Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit.1,4 Agregrasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh trombosit yang melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk disebut agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada agregasi primer akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder yang bersifat irreversible. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan ikatan diantara fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya permukaan trombosit dan interaks ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara fibrinogen dengan reseptor tersebut. Kemudian ion kalsium akan menghubungkan fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu akan terjadi aktifasi enzin fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit akan dipecah dan melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim siklo-oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang akan merangsang agregasi trombosit. TxA2 akan segera diubah menjadi bentuk tidak aktif TxB2. Di dalam sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan tetapi PGH2 akan diubah oleh enzim prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PGI2) yang mempunyai efek berlawanan dengan TxA2.1,4Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk cakram menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat perubahan bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan akhirnya akan melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan memerlukan adanya enersi. Zat agregator lain seperti trombin, kolagen, epinefrin dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan. Tergantung zat yang merangsang, akan dilepaskan bermacam-macam substansi biologik yang terdapat di dalam granula padat dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP, ion kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa dilepaskan fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin ( TG). Sedangkan dari lisosom dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase asam.1,4Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk sumbat trombosit yang menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih permeabel terhadap cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan perdarahan pada pembuluh darah kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui fibrin.1,42.3. Sistem Pembekuan DarahProses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan ditemukannya.4Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davic dan Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah diubah menjadi bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim.4Proses pembekuan darah mulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK, PK, platelet factor 3 (PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF.3, protombin dan fibrinogen.4Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks aktivator F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti kolagen akan menyebabkan aktivasi F.XII menjadi F.XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK, F.XIIa akan mengubag prekalikrein kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi F.XII selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping itu kalikrein akan mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, serta mengubah kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Jadi aktivasi F.XII disamping mencetuskan pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik, juga mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin (gambar 2). Reaksi selanjutnya pada jalur intrinsik adalah interaksi nonenzimatik antara F.Ixa, PF.3, F.VIII dan ion kalsium membentuk kompleks yang mengaktifkan F.X. Walaupun F.Ixa dapat mengaktifkan P.X, tetapi dengan adanya PF.3, F.VIII dan ion kalsium maka reaksi ini akan dipercepat.4Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal di mana F.VII akan diaktifkan menjadi F.VII dengan adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang luka. Akhir-akhir ini terbukti bahwa aktivasi F.VII menjadi F.VIIa dapat terjadi dengan adanya kalikrein. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Selanjutnya F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa.1,4Jalur bersama meliputi pembentukan prothombin converting complex (protombinase), aktivasi protombin dan pembekuan fibrin. Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur ekstrinsik. Fxa bersama F.V, PF, 3 dan ion kalsium membentuk prothrombin converting complex yang akan mengubah protombin menjadi trombin. Trombin merupakan enzim proteolitik yang mempunyai beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi fibrin, mengubah F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII, merangsang reaksi pelepasan dan agregasi trombosit.1,4 Pada reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Seperti kita ketahui fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama. Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada N-terminal menjadi fibrinopeptida A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer. Fibrin monomer akan segera mengalami polimerisasi untuk membentuk fibrin polimer. Mula-mula fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena mudah larut oleh adanya zat tertentu seperti urea. Sehingga disebut fibrin polimer soluble. Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka fibrin polimer soluble akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena terbentuk ikatan silang antara 2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan. Aktivasi F.XIII menjadi F.XIIIa terjadi dengan adanya trombin.1,4

Gambar 2.1. Cascade koagulasi22.4. FibrinolisisFibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga komponen utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan inhibitor plasmin. Aktivator plasminogen adalah subtansi yang dapat mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Menurut asalnya beda dibedakan menjadi aktivator intrinsik, ekstrinsik dan eksogen.1,4

Aktivator intrinsik terdapat di dalam darah seperti F.XIIa dan kalikrein. Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh darah dan bermacam-macam jaringan, disebut tissue plasminogen activator (t-PA). Sedangkan aktivator eksogen contohnya adalah urokinase yang merupakan produk streptokokus beta hemolitikus. Aktivator plasminogen merupakan enzim proteolitik, kecuali streptokinase yang akan mengikat plasminogen membentuk kompleks streptokinase-plasminogen yang mempunyai aktivitas sebagai aktivator plasminogen. t-PA mempunyai afinitas tinggi terhadap fibrin dan ikatan ini akan meningkatkan aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Inhibitor plasmin adalah subtansi yang macam antiplasmin terdapat di dalam plasma, seperti alfa-2 plasmin inhibitor, alfa-2 makroglobulin, alfa-1 antitripsin dan AT. Yang kerjanya paling cepat adalah alfa-2, plasmin inhibitor.1,4Akhir-akhir ini dikenal juga inhibitor yang bekerja terhadap aktivator plasminogen yang disebut plasminogen activator inhibitor (PAI), yang diberi nomer urut oleh Internasional Committe on Thrombosis and Hameostasis. PAI-1 atau endothelial cell-type PAI adalah suatu glikoprotein yang disintesis oleh sel endotel. Disamping itu PAI-1 juga disintesis oleh kultur sel hati, sel melanoma, fibroblast paru-paru, sel fibrosarkoma, sel granulosa dan sel otot polos. Di dalam trombosit inhibitor ini juga ditemukan di dalam granula alfa dan akan dikeluarkan pada proses pelepasan. PAI-1 bekerja menghambat urokinase dan t-PA. Kadar PAI-1 tinggi dijumpai pada beberapa keadaan seperti trombosis vena profunda, penyakit jantung koroner dan pasca bedah, sehingga diduga PAI- ikut berperan dalam peningkatan risiko trombosis pada keadaan-keadaan ini. PAI-2 disintesis oleh plasenta dan bereaksi dengan t-PA maupun urokinase inhibitor ini juga ditemukan pada granulosit, monosit dan makrofag. PAI-3 ditemukan dalam urin dan identik dengan inhibitor terhadap protein C aktif. Inhibitor lain adalah protease nexin I yang ditemukan dalam fibroblast, set otot jantung dan epitel.1,4Sistem fibrinolitik dicetuskan oleh adanya aktivator plasminogen yang akan memecah plasminogen menjadi plasmin. Aktivasi plasminogen terjadi melalui tiga jalur yang berbeda yaitu jalur intrinsik, jalur ekstrinsik dan jalur eksogen. Jalur intrinsik melibatkan F.XII, prekalikrein dan HMWK. Aktivasi F.XII menjadi F.XIIa yang akan mengubah prekalikrein menjadi kalikrein dengan adanya HMWK. Kalikrein yang terbentuk akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, juga mengubah F.XII menjadi F.XIIa. Pada Jalur ekstrinsik aktivator yang terdapat di dalam jaringan atau endotel pembuluh darah akan dilepaskan ke dalam pembuluh darah bila terdapat amin vasoaktif dan protein C. Seperti kita ketahui sebagian besar plasminogen terikat pada fibrin dan sebagian lagi terdapat bebas di dalam plasma. Apabila plasminogen tersebut diaktifkan, akan terbentuk plasmin bebas dan plasmin yang terikat fibrin. Plasmin bebas akan segera dinetralkan oleh antiplasmin. Apabila plasmin bebas terdapat jumlah berlebihan sehingga melebihi kapasitas antiplasmin, maka plasmin merupakan enzim proteolitik yang akan memecah fibrin menjadi fragmen-fragmen yang disebut fibrin degradation products (FDP). Mula-mula terbentuk fragmen X yang pada proses selanjutnya akan dipecah menjadi fragmen Y dan D. Fragmen Y akan dipecah oleh plasmin menjadi fragmen D dan E. Pada umumnya FDP merupakan inhibitor pembekuan darah terutama fragmen Y yaitu dengan cara menghambat kerja trombin dan menghambat polimerisasi fibrin. Selain itu FDP juga mengganggu fungsi trombosit. Pada proses selanjutnya FDP akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati dan RES.1,4BAB 3

PATOFISIOLOGI TROMBOSISTeori mengenai patofisiologi trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang peranan dalam patofisiologi trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut disebut triad of virchows. Pada waktu itu peranan trombosit dalam patofisiologi trombosis pada arteri yang terluka.1,2,12

Gambar 3.1. Triad of virchows2

Berdasarkan triad of virchows terdapat tiga faktor yang berperan dalam patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah (Gambar 1). Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang paling penting adalah kelainan dinding pembuluh darah, sedang pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas.1,2,123.1. Perubahan aliran darahPembuluh darah bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi bercabang-cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran darah di dalamnya juga mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri sering dimulai pada orifisium dan daerah percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel, selain itu perubahan aliran darah akan menimbulkan akumulasi zat-zat yang terdapat merusak dinding pembuluh darah.2,12Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanismen pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katub yang disebut valve-pocket thrombi.2Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Menurut Verstraete faktor-faktor yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk serta kadar fibrinogen dan protein protein lain yang bermolekul besar. Bila nilai hematokrit naik dari 40% menjadi 50% maka viskositas naik dua kali. Untuk melewati pembuluh darah yang kecil, eritrosit harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan berubah bentuk ini tergantung dari sifat membran eritrosit. Pada anemia sel sabit, anoksia menyebabkan eritrosit berbentuk seperti sabit. Sel sabit ini relatif kaku dan tidak dapat berubah bentuk, sehingga tidak dapat melalui mikrosirkulasi. Protein yang bermolekul besar seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun interaksinya dengan sel-sel darah sangat mempengaruhi viskositas. Interaksi eritrosit dengan protein-protein tersebut mengakibatkan pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan viskositas darah.2,123.2. Peranan pembuluh darahSemua pembuluh darah, baik arteri, vena maupun kapiler dilapisi oleh endotel pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik. Mekanisme yang menyebabkan sifat tersebut belum diketahui dengan jelas. Menurut Mustard dan kawan-kawan mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan oleh endotel yaitu prostasiklin (PGI2), proteoglikan, enzim ADPase, aktivator plasminogen dan trombomodulin.2,12PGI2 adalah metabolit prostaglandin yang merupakan penghambat agregasi trombosit yang kuat. Mekanisme penghambatan ini melalui perangsangan adenilat siklase yang akan meningkatkan siklik AMP. Pembentukan PGI2 oleh endotel dirangsang antara lain oleh trombolin dan trauma mekanik. Pada bercak aterosklerotik pembentukan PGI2 berkurang. Demikian juga pada diabetes melitus, haemolytic uremic syndrome, thrombotic thrombocytopenic purpura, pre eklamsia, perokok dan adanya antikoagulan lupus. Menurut Mustard dan kawan-kawan dinding pembuluh darah mengandung beberapa proteoglikan yaitu dermatan sulfat, heparan sulfat, chondroitin 4 sulfat, condroitin 6 sulfat dan asam hialuronat. Diantara zat-zat ini ada yang dapat menghambat agregasi trombosit. Heparan sulfat dan dermatan sulfat dapat berperan seperti heparin dalam meningkatkan inaktivasi trombin oleh antitrombin. Adanya enzim ADPase pada dinding pembuluh darah ikut mencegah pembentukan trombous dengan menghilangkan efek proagregasi ADP. Endotel dapat melepaskan aktivator plasminogen yang akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin yang selanjutnya akan memecah fibrin. Pelepasan aktivator plasminogen dirangsang oleh stimulus yang bersifat vasoaktif baik lokal maupun sistemik seperti iskemia, trombin, bradiklin, asetikolin, histamin, serotonin dan epinefrin. Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan aktivator plasminogen berkurang. Endotel kapiler mengandung paling banyak aktivator plasminogen dari pada vena pada lengan, karena itu trombosis vena lebih sering terjadi pada tungkai dari pada lengan. Trombomodulin adalah protein yang berfungsi sebagai kofaktor dalam aktivasi protein C oleh trombin. Protein C aktif berfungsi sebagai antikoagulan dengan memecah F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis.2,12Pada patogenesis trombosis arteri yang paling berperan adalah kelainan dinding pembuluh darah. Trombosis arteri sering terjadi pada plak aterosklerotik yang mengalami ruptur sehingga disebut aterotrombosis. Menurut teori response to injury aterogenesis dimulai oleh cedera minimal yang kronis pada endotel vaskuler dan diikuti dengan interaksi antara lipid, sel endotel, monosit, trombosit, limfosit dan sel otot polos.2,12Cedera minimal yang kronis ditandai dengan disfungsi endotel yaitu perubahan fungsi endotel dapat disebabkan oleh stres oksidatif misalnya radikal bebas akibat rokok sigaret, stres hemodinamik misalnya hipertensi maupun oleh penyebab lain seperti dislipidemia, diabetes melitus, kelainan genetik, peningkatan kadar homosistein dan infeksi mikroorganisme seperti virus herpes dan chlamidya pneumaniae.2,12Aterosklerosis dimulai dengan pembentukan fatty streak. Sekitar 65% dari anak berusia antara 12 sampai 14 tahun telah mempunyai lesi ini. Di dalam fatty streak, lipid berhubungan dengan komponen matriks ekstraseluler seperti proteoglikan yang memperlambat keluarnya lipid dari fatty sreak. Lipid yang tertahan di intimaterisolasi dari antioksidan plasma sehingga mempermudah terjadinya oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi oksidasi. Partikel lipoprotein yang teroksidasi dapat memicu ekspresi molekul adesi seperti P-selection dan vaskuler cell adhesion molecule- 1 (VCAM-1) yang menjadi perantara perlekatan monosit dan limposit ke sel endotel, serta monocyte chemoattractant protein -1 (MCP-1) yang mengatur migrasi dan diapedesis monosit. Monosit yang langsung berinteraksi dengan sel endotel meningkatkan produksi matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) sampai beberapa kali. MMP-9 dapat mendegradasi matriks sehingga monosit dapat menginfiltrasi intima melalui lapisan endotel dan membrana basalis. Di intima monosit berubah jadi makrofag mengekspresikan scavenger receptor sehingga dapat memfagosit lipoprotein yang termodifikasi dan terbentuklah sel busa.2,12Trombosit juga berperan pada aterosklerosis karena jika teraktivasi akan mengekspresikan cluster differentiation 40 ligand (CD40L), melepaskan pletelet derived growth factor (PDGF) dan platelet mediated leukocye adhesion yang mengatur masuknya leukosit ke plak.PDGF yang dikeluarkan oleh trombosit, makrofag maupun sel endotel merangsang proliferasi dan migrasi sel otot polos dari tunika media ke intima. Sel otot polos mensintesis matriks ekstraseluler termasuk kolagen sebagai respon terhadap transforming growth factor- dan PDGF. Proses ini menyebabkan perubahan lesi yang kaya lipid menjadi lesi fibrotik dan terakhirnya plak terkalsifikasi dan mengakibatkan stenosis.2,12Limfosit T juga berperan pada aterogenesis dengan memproduksi interferon- (IFN-) CD40 L dan Interleukin-1 (IL-1) yang berkontribusi dalam perkembangan plak. IFN- yang diproduksi limfosit T menghambat pembentukan kolagen oleh sel otot polos. Semua sel yang terlibat dalam aterosklerosis mengekspresikan CD40 L dan reseptornya yaitu CD40. Ligasi CD40 memicu ekspresi molekul adesi dan sekresi sitokin serta MMP-9. CD40L juga punya efek protrombotik dengan menginduksi sel endotel, sel otot polos dan makrofag mengekspresikan tissue factor yang akan memicu proses koagulasi melalui jalur ekstrinsik. Neovaskularisasi yang berasal dari vasa vasorum bersifat rapuh dan mudah mengalami perdarahan intra plak sehingga terbentuk trombin yang dapat mengaktifkan sel endotel, makrofag, sel otot polos dan trombosit.2,12Apabila plak mengalami ruptur dan endotel terkelupas maka proses trombosis arteri akan dipicu karena trombosit dan faktor koagulasi dalam plasma terpapar dengan jaringan subendotel yang sangat trombogenik. Plak yang mudah ruptur atau rapuh ditandai dengan fibrous cap yang tipis 60-150 m, inti lipid yang besar yaitu >40% volum, banyak sel busa tetapi sel otot polos sedikit. Akumulasi sel busa menghasilkan banyak MMP-9 yang ikut berkontribusi dalam ruptur plak melalui degradasi matriks ekstraseluler. Ekspresi MMP-9 yang berlebih juga memudahkan pembentukan trombus melalui ekspresi TF.2,12Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting, kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek ekstrogen.2,123.3. Perubahan daya beku darahDalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun.2,12Menurut beberapa peneliti, darah penderita-penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas. Ternyata pada penderita-penderita tersebut dijumpai trombositosis dan peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, FV, VII VIII dan X. Menurut Thomas timbulnya trombosis vena dapat diinduksi dengan menyuntikkan serum ke dalam vena yang stasis, sedangkan stasis saja tidak cukup untuk menimbulkan trombosis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya aktivasi ringan sistem pembekuan darah lebih penting dari pada peningkatan kadar faktor pembekuan darah. Efek trombogenik serum disebabkan oleh sistem pembekuan darah merupakan faktor utama pada patofisiologi trombosis vena. Aktivasi sistem pembekuan darah dapat terjadi karena masuknya tromboplastin jaringan ke dalam darah seperti operasi, trauma dan keganasan. Beberapa jenis tumor seperti karsinoma pankreas dapat menimbulkan kecenderungan trombosis vena adalah defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia kongenital, defisiensi F XII dan kelainan struktur plasminogen.2,12Defisiensi AT dapat terjadi secara bawaan maupun didapat. AT berfungsi menetralkan trombin, VIIa, Ixa, Xa, Xia dan XIIa. Pada defisiensi AT, maka faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralkan sehingga kencendrungan trombosis meningkat. Pada defisiensi AT bawaan, terjadi trombosis vena berulang yang dimulai sejak usia muda. Defisiensi AT yang didapat, dijumpai pada sirosis hati, sindroma nefrotik, pemakai pil kontrasepsi, setelah trombosis yang luas dan setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi. AT disintesis di hati sehingga pada sirosis hati produksinya menurun. Pada sindroma nefrotik terjadi kehilangan AT melalui urin karena kebocoran membranaglomeruli. Pada pemakai pil kontrasepsi yang mengandung estrogen terjadi penurunan aktivitas AT yang bersifat reversible. Mekanisme terjadinya hal ini belum diketahui dengan jelas. Setelah trombosis yang luas, AT banyak terpakai untuk menetralkan faktor-faktor yang aktif sehingga aktivitasnya berkurang.Demikian pula setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi AT banyak terpakai karena heparin tidak dapat bekerja tanpa AT.2,12Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan pembentukannya memerlukan vitamin K. Protein ini setelah diaktifkan oleh trombin dengan bantuan trombomodulin dapat menghambat aktivitas F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis. Oleh karena itu pada defisiensi protein C secara bawaan akan terjadi trombosis vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada defisiensi S merupakan kofaktor protein C.2,12Pada defisiensi F XII tidak terdapat gejala perdarahan, melainkan kecenderungan trombosis. Mungkin hal tersebut berkaitan dengan peranan F XII pada aktivitas fibrinolisis berkurang. Kelainanan struktur molekul plasminogen mengakibatkan aktivitas fibrinolisis berkurang sehingga menimbulkan kecenderungan trombosis.2Menurut Nossel pada trombosis arteri, peranan trombosit lebih penting dari pada faktor-faktor pembekuan. Hal ini terlihat pada trombus arteri lebih banyak mengandung trombosit dari pada fibrin. Pada trombus arteri yang terjadi pada binatang percobaan, juga terlihat bahwa trombosis mengalami konsentrasi 51 kali sedang fibrinogen hanya 4 kali dari kadarnya dalam darah. Kelainan trombosit yang dihubungkan dengan trombosis arteri adalah trombositosis dan trombosit yang hiperaktif. Trombositosis dijumpai pada polisitemia vera dan trombositemia sedang trombosit yang hiperaktif dijumpai antara lain pada hiperkolesterolemia dan diabetes melitus.2Selain trombosit, leukosit dan eritrosit juga ikut berperan. Menurut Needleman di samping dapat mengeluarkan oksigen radikal yang dapat merusak endotel, leukosit juga mengandung tromboplastin. Selain itu leukosit juga merangsang agregasi trombosit dengan mengeluarkan platelet activating factor (PAF). Eritrosit banyak mengandung ADP dan fosfolipid, hal ini mungkin dapat menerangkan terjadinya trombosis pada penderita paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.2,123.4. Faktor-faktor risiko untuk trombosis venaBerdasarkan ketiga faktor yang dijelaskan sebelumnya, faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah perubahan aliran darah berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku darah dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding pembuluh darah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena. Faktor resiko tersebut antara lain:7,8,13,14,15a. Immobilisasib. Tindakan operasi yang lama

c. Kontrasepsi oral

d. Trauma jaringan yang luase. Keganasan

f. Kehamilang. Antiphospholipid syndrome (APS)h. Activated protein C resistancei. Defisiensi antitrombinj. Defisiensi protein Ck. Defisiensi protein Sl. Defisiensi F XIIm. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

Cushman pada tahun 2007 membagi faktor resiko untuk trombosis vena antara lain dengan faktor resiko yang bisa dimodifikasi, faktor resiko yang bersifat temporer dan faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi adalah obesitas, homasistein. Faktor resiko yang bersifat temporer adalah perawatan di rumah sakit, trauma, immobiltas, cancer dan faktor resiko yang yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor genetik.3BAB 4DIAGNOSIS TROMBOEMBOLI VENA4.1. Diagnosis trombosis vena dalamDiagnosis trombosis vena dalam dapat ditegakkan berdasarkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan trombosis vena dalam adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.9,16,17,18,19,20,21

Gambar 4.1. Trombosis vena dalam pada tungkai kiri19 Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik dari trombosis vena dalam adalah edema tungkai uni lateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang pasitif.22,23,24

Gambar 4.2. Vena tungkai bawah19Menegakkan diagnosis trombosis vena dari gejala klinis saja terkadang kurang sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Oleh karena itu, pasien yang dicurigai TVD harus dilakukan penentuan kemungkinan penyakit dahulu. Skor Wells telah tervalidasi dan digunakan untuk mengkategorisasi pasien dengan kemungkinan rendah, sedang ataupun tinggi untuk menderita penyakit ini.Tabel 4.1. Skor well20,23

Gambar 4.3. Skema alur diagnostik untuk trombosis vena dalam19Ada 4 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:9,18,19,22,231. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar (gold standart) untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca.2. Tes D-Dimer

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah. Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini mempunya sensitifitas 93%, spesivisitas 77%. 3. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di betis.4. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena pada tungkai yang terkena. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain. 4.2. Diagnosis emboli paru

Diagnosis trombosis vena dalam dapat ditegakkan berdasarkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak, sesak nafas, hemoptisis, banyak keringat dan gelisah. Keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat.5,6,116,17,18,22Tabel 4.2. Keluhan pada emboli paru6

Seperti pada trombosis vena dalam juga didapatkan dua prediksi klinis yang dapat diaplikasikan yakni skor Wells dan Geneva dan dapat dilihat pada tabel 5. Sama seperti trombosis vena dalam, d-dimer memiliki sensitivitas 96-98% pada pasien dengan kecurigaan emboli paru.

Tabel 4.3. Skor well dan geneva6

American Academy of Family Physician tahun 2012 merekomendasikan skema diagnosis emboli paru. Pada skema ini digambarkan pentingnya penilaian awal terhadap kemungkinan trombosis dan diikuti dengan pemeriksaan penunjang lainnya.24

Gambar 4.4. Skema diagnosa emboli paru24

Pemeriksaan penunjang sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis emboli paru. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi dan elekrokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosa. Berikut pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk emboli paru.4.2.1. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat dipakai untuk menegakkan suatu diagnosis emboli paru. Tidak satupun pemeriksaan yang bisa memastikan diagnosis, tetapi pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai informasi tambahan, menilai kemajuan terapi dan dapat menilai kemungkinan diagnosis lain. Hipoksemia bisa ditemukan pada emboli paru. Tekanan parsial O2 ditemukan rendah pada kemungkinan emboli paru akut, walaupun bisa saja ditemukan normal. Tekan parsial CO2 ditemukan < 35 mmHg, tapi ada juga ditemukan > 45 mmHg walaupun kasusnya sedikit. Peningkatan enzim troponin I, Troponin T, BNP dan NT-proBNP juga membantu penegakkan diagnosis emboli paru.5,64.2.2. Pemeriksaan D-dimerTrombosis vena terdiri dari fibrin dan eritrosit yang terperangkap dalam benang benang fibrin. Fibrin ini terbentuk akibat adanya aktivasi sistem koagulasi yang tidak dapat dinetralkan oleh antikoagulan alamiah. Jika terjadi aktivasi koagulasi maka akan terbentuk thrombin dari protrombin dengan melepaskan fragmen protrombin 1 dan 2 (F1.2). Trombin akan diikat oleh antitrombin sehingga terbentuk kompleks trombin-antitrombin (TAT). Trombin juga mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang akan mengalami polimerasi membentuk fibrin polimer. Selanjutnya F XIII akan terjadi ikatan silang sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin menghasilkan D-dimer. Oleh karena itu, parameter yang dapat dipakai untuk menilai aktivasi koagulasi adalah F 1.2, TAT, fibrin monomer dan D-dimer. Dari semua parameter, yang sering dipakai adalah D-dimer.5,6,9,16,244.2.3. Pemeriksaan Foto ToraksGambaran foto toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran yang nampak berupa atelektasis atau infiltrat. Gambaran lain dapat berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan gambaran vaskuler paru, edema paru. Walaupun dapat dijumpai normal pada 40% kasus.9

4.2.4. Pemeriksaan AngiogramPemeriksaan angiogram paru ini merupakan standar baku emas untuk memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini invasif dan mempunyai resiko. Temuan angiografik emboli paru berupa filling defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah. Arteriogram negatif menyingkirkan diagnosis tromboemboli, sedangkan arteriogram positif merupakan konfirmasi diagnosis. Di tangan operator yang berpengalaman, komplikasi angiografi paru ini jarang terjadi. Komplikasi ini meliputi reaksi pirogen terhadap kontras, reaksi alergik terhadap kontras, perforasi arteri pulmoner, aritmia, bronkospasme, perforasi ventrikel kanan dan gagal jantung kongestif. Arteriografi sangat invasif, tidak nyaman pada penderita, mahal dan tidak selalu dapat dilakukan serta menimbulkan resiko pada penderita.5,64.2.5. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)Computed Tomography (CT) merupakan tes yang dapat mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 86% dan spesifisitas 96%. Pada saat sekarang dapat dipakai untuk menyikirkan diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko rendah dan mendekati intermediet, serta dapat mengkonfirmasi diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko intermediat dan tinggi.5,6,24Pemeriksaan CT Pulmonary Angiogram (CTPA) telah lama dipakai dalam evaluasi emboli paru. CTPA ini memberi banyak keunggulan dalam mendiagnosis emboli paru yaitu:

a. Visualisasi langsung embolus

b. Kemampuan menilai etiologi lain pada pasien lain seperti pneumonia

Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa CT angiografi mempunyai sensitifitas 50 % sampai 100% dan spesifisitasnya 81% sampai 100%.

4.2.6. Pemeriksaan ElektrokardiografiTemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram normal tidak menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan perubahan, seringkali bersifat sementara berupa:9,5,6a. Deviasi axis ke kanan

b. Sinus takikardi atau aritmia supraventrikuler

c. RBBB komplit atau tidak komplit

d. Inversi gelombang T di V1-V4e. QR pattern di V1

f. S1Q3T3 pattern4.2.7. Pemeriksaan Ekokardiografi:

Pemeriksaan ekhokardiografi transtorakal atau transesofageal terbatas penggunaannya untuk diagnosis emboli paru. Pada ekokardiografi dapat dilihat perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspid jantung kanan akut menandakan adanya regangan. Dengan penilaian klinis yang tepat, perubahan ventrikel kanan dapat menandakan emboli paru.5,6,24BAB 5PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA5.1. Penatalaksanaan trombosis vena dalam

Penatalaksanaan trombosis vena dalam dibagi menjadi dua, yaitu profilaksis (tromboprofilaksis) dan terapi. Tromboprofilaksis ditujukan pada pasien yang berisiko terjadinya trombosis vena dalam. Terapi ditujukan pada pasien yang secara objektif sudah didiagnosa sebagai trombosis vena dalam.25,265.1.1. Profilaksis

Profilaksis dapat dicapai dengan cara aktivasi koagulasi darah (profilaksis farmakologi) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis).5.1.1.1. Cara mekanis

Bentuk profilaksis mekanis adalah mobilisasi dini, tinggikan posisi ekstremitas 15-22 cm (elevasi tungkai) untuk melancarkan aliran darah vena, kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular, latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi. Tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di vena-vena yang masih terbuka (patent), pemakaian kaus kaki elastis (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena.25,26

Statis vena adalah proses patologi yang mendasari terjadinya trombosis, dicegah dengan kontraksi atau kompresi otot betis yang dapat menghindari penumpukan darah vena di ekstremitas bawah. Stocking elastis dapat digunakan untuk tujuan diatas. Pemakaina stocking elastis meningkatkan aliran darah vena hingga 1,5 kali aliran basalnya sehingga memacu sirkulasi darah, mencegah statis darah pada aneurisma (pelebaran vena dan dilatasi lumen) yang sering pada usia lanjut dan penderita trombosis vena dalam. Penggunaannya merupakan pilihan pertama untuk mencegah trombosis vena dalam pada pasien yang dirawat inap dalam jangka waktu yang lama. 25,265.1.1.2. Cara Farmakologis

1. Unfraktional Heparin

Heparin adalah antikoagulan yang diberikan secara parental, mekanisme kerjanya adalah meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan trombin dan protease serum lainnya. Heparin dosis rendah diberikan subkutan dosis 5000 U. Diberikan satu jam sebelum operasi dan setelah operasi (setiap 8-12 jam). Cara ini merupakan pilihan terhadap pasien yang berisisko terhadap trombosis vena dalam. Dapat menurunkan risisko 50-70%. Cara ini tidak memerlukan pemantauan laboratorium, sederhana, tidak mahal, aman.25,262. Warfarin

Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah trombosis vena dalam pada semua pasien yang berisiko trombosis vena dalam. Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum operasi atau malam setelah operasi. Lama profilaksis pada penggunaan warfarin adalah 7-10 hari. Regimen ini kurang menyenangkan karena memerlukan monitoring laboratorium.263. LMWH (Low Moleculer Weight Heparin)

LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaanya juga lebih efektif mencegah trombosis vena proksimal. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan aktifitas efek antitrombin III, anti faktor Xa. Secara subkutan, LMWH diberikan sebagai profilaksis dengan dosis 40 mg satu kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan berisiko tinggi trombosis vena dalam. Dosis pertama diberikan 12 jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sehari sekali selama tujuh hari.264. Antikoagulan oral baru

Antikoagulan oral baru sudah banyak dijadikan terapi dalam mengatasi masalah trombosis baik sebagai profilak maupun terapi. Antikoagulan oral baru terdiri dari direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal sebagai profilak tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping perdarahan pada pasien.27,28,29,30,315.1.2. Terapi

Tujuan terapi adalah mencegah embolisasi trombus, memfasilitasi resolusi trombus yang terbentuk untuk menghindari sindroma pasca flebitis dan pada keadaan klinis tertentu mempercepat fibrinolisis.255.1.2.1. Antikoagulan parenteral

Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli.251. Unfractional Heparin

American Heart Association pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian unfraktional heparin dimulai dengan bolus intra vena dengan dosis 80 unit/ kgBB yang dilanjutkan dengan infus yang dimulai dengan dosis 18 unit/kg/jam dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis dengan monitoring APTT selama 5 sampai 7 hari . Efek semping pemberian heparin antara lain perdarahan, trombositopenia, hipersensitifitas, tromboemboli arteri dan osteoporosis.52. LMWH (Low Molecular Weight Heparin)

Waktu paruh yang lebih panjang, respon terhadap dosis yang diberikan terprediksi, sehingga bisa dipakai dalam dosis tetap tanpa pemantauan laboratorium. American Heart Association pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian LMWH (enoxaparin) dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg satu kali per hari. Fondaparinux diberikan subkutan dengan dosis 5 mg sekali sehari untuk pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg untuk pasien 50-100 kg.55.1.2.2. Antikoagulan Oral

Antikoagulan oral perlu diberikan sesudah terapi awal heparin pada pasien trombosis vena dalam. Terapi lenjutan ini dapat mencegah rekurensi trombosis vena dalam. Terapi jangka panjang ini menggunakan warfarin yang merupakan sediaaan antagonis vitamin K.25

Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah banyak dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal sebagai profilak tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping perdarahan pada pasien.33,34,35,36,37,385.2. Penatalaksanaan emboli paru

Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaratan medis yang harus ditangani dengan segera. Berdasarakan ada tidaknya syok pada pasien, ESC tahun 2014 membagi emboli paru menjadi 2 bagian yang sangat mempengaruhi alur penanganan pasien.65.2.1. Emboli paru dengan syok atau hipotensi

Pasien yang dicurigai menderita emboli paru dan disertai dengan syok atau hipotensi merupakan suatu keadaan yang harus ditangani dengan segera. Keadaan ini dapat didiagnosa diferensial dengan adanya gangguan katup jantung akut, tamponade jantung, sindrome koroner akut dan diseksi aorta. Pemeriksaan ekhokardiografi sangat membantu dalam menegakkan diagnosa ketika telah telah terjadi dekompensasi hemodinamik. Berikut adalah algoritma penatalaksanaan emboli paru pada pasien dengan syok atau hipotensi.6

Gambar 5.1. Algoritma penatalaksanaan emboli paru dengan syok atau hipotensi65.2.2. Emboli paru dengan syok atau hipotensi

Pada pasien dengan emboli paru tanpa adanya syok atau hipotensi ada beberapa hal yang bisa dilakukan. CT angiografi memiliki peranan penting dalam menginvestigasi adanya emboli paru. Pemeriksaan D-dimer plasma yang dikombinasikan dengan assesment kemungkinan emboli paru adalah pemeriksaan yang sangat mungkin dilakukan sebagai langkah pertama ketika pasien masuk ke ruang gawat darurat. Berikut adalah algoritma penatalaksanaan emboli paru pada pasien dengan tanpa syok atau hipotensi.6

Gambar 5.2. Algoritma penatalaksanaan emboli paru tanpa syok atau hipotensi.

5.2.3. Pengobatan emboli pada fase akut5.2.3.1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum dan hemodinamik

Kegagalan jantung kanan akut menyebabkan menurunnya perfusi sistemik yang meningkatkan angka kematian pada pasien emboli paru. Keadaan ini menyebabkan kita untuk menjaga keadaan vital pasien sebagai akibat dari kegagalan jantung kanan pada emboli paru. Penelitian yang mengindikasikan pemberian cairan yang agresif tidak menguntungkan dan bahkan tambah memburuknya fungsi jantung kanan. Pemberian vasopresor sangat diperlukan dan bisa diberikan bersamaan dengan terapi lain terhadap emboli paru untuk menstabilkan hemodinamik. Pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksemia juga diperlukan.6,395.2.3.2. Antikoagulan

5.2.3.2.1. Antikoagulan parenteral

Heparin sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien tromboemboli vena karena memiliki fungsi seperti membuat pelarutan thrombus oleh sibat fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan thrombus dan heparin mencegah timbulnya emboli berulang serta heparin juga menghambat agregasi trombosit.5,22

Pemberian heparin dapat dengan berbagai cara: Drip heparin dengan infuse IV, suntikan IV intermiten dan suntikan subkutan. Dosis heparin: bolus 3000-5000 unit IV diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit/hari dalam infuse glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesuaikan. Pengobatan sampai mencapai target PTT (partian tromboplastin time) mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Pengobatan diberikan selama 7-10 hari lalu dilanjutkan dengan obat antikoagulan oral.22

Pemberian subkutan lebih menguntungkan karena lebih mudah. Dosis mulai dengan suntikan bolus IV 3000-5000 unit bersama suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5000 unit/4 jam atau 10.000 unit/8 jam atau 15.000-20.000 unit tiap 12 jam sampai mencapai PTT 1,5-2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuscular karena dapat menyebabkan hematom pada tempat suntikan.225.2.3.2.2. Vitamin K antagonis

Warfarin adalah obat yang bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K, yaitu dengan mempengaruhi sintersis prokoagulan primer (factor II, VII dan X). Karena awal kerjanya lambat, oleh karena itu pemberian warfarin dilakukan setelah heparin. Warfarin diberikan pada pasien dengan thrombosis vena atau emboli paru berulang dan pada pasien dengan factor risiko menetap.6

Dosis yang diberikan ialah 10-15 mg/kg BB, dengan target sampai terjadi pemanjangan (lebih dari 15-25%) dari nilai normal waktu protombin yang maksimum. Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian warfarin sekitar 3 bulan (12 minggu) terus menerus. Warfarin diberikan terus pada pasien defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C atau S, pasien dengan antikoagulan lupus atau antikardiolipin.65.2.3.2.3. Antikoagulan oral baru

Antikoagulan oral baru sudah banyak dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan oral baru terdiri dari direct trombin inhibitor seperti darbigtran dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban. Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal sebagai terapi tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi efek samping perdarahan pada pasien.33,34,355.2.3.3. Terapi trombolitik

Cara ini merupakan pengobatan difinitif karena bertujuan untuk menghilangkan sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu: streptokinase dan urokinase. Streptokinase adalah protein nonenzim, disekresi oleh kuman streptokokus beta hemolitik grup C. sedangkan urokinase adalah protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal.5

Dua macam obat ini kerjanya memperkuat aktivitas fibrinolisis endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin. Plasmin dapat langsung melisiskan dan mempunyai efek sekunder sebagai antikoagulan. Tetapi trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan jantung kanan serta memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus yang jelas menderita emboli paru.5

Terapi ini sering diindikasikan pada pasien emboli paru massif akut, thrombosis vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan teradapat penyakit jantung atau paru tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala yang timbul (emboli paru) kurang dari 7 hari. Selama pengobatan trombolitik tidak boleh melakukan suntikan intra arteri, intravena atau intramuscular pada pasien, dan jangan memberikan obat antikoagulan, anti platelet bersama.22

Dosis awal streptokinase: 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5%, diberikan IV selama 30 menit. Dosis pemeliharaannya: 100.000 unit/jam diberikan selama 24-72 jam. Dosis awal urokinase: 4.400 unit/kg BB, dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5%, diberikan IV selama 15-30 menit. Dosis pemeliharaannya: 4.400 unit/kg BB/ jam selama 12-24 jam. Perbaikan atau keberhasilan terapi sudah terlihat dalam waktu 12 jam untuk urokinase dan 24 jam untuk streptokinase.22BAB 6

PENUTUP6.1. Kesimpulan

1. Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-komponen darah dan presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah trombosis vena dalam dan emboli paru.2. Patofisiologi trombosis dapat diterangkan berdasarkan triad of Virchows yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah dan pada trombosis vena peranan aliran darah berupa berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku darah dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.3. Diagnosis tromboemboli vena ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.4. Penatalaksanaan tromboemboli vena meliputi penatalaksanaan trombosis vena dalam dan emboli paru.5. Peranan antikoagulan oral baru sebagai pengobatan terhadap tromboemboli vena memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar dan bahkan menurunkan efek samping perdarahan 6.2. Saran

1. Perlunya pemahaman lebih lanjut mengenai patogenesis dan penatalaksanaan tromboemboli vena.2. Perlunya melengkapi sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang untuk diagnosis tromboemboli vena sehingga dapat menangani pasien lebih baik lagi.DAFTAR PUSTAKA1. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New Fundamentals in Hemostasis. Physiol rev. 2013; 93: 327-358 2. Setiabudy RD. Patofisiologi Trombosis. Dalam : Hemostasis dan Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 34-473. Cushman M. Epidemiology and Risk Faktor for Venous Thrombosis. Semin Hematol. 2007; 44: 62-69

4. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis. Dalam: Hemostasis dan Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 1-15.5. Jaff MR, Murtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber SZ, et all. Management of Massive and Submassive Pulmonary Embolism, Iliofemoral Deep Vein Thrombosis, and Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertension: A Scientific Statement From the American Heart Association. Circulation. 2011;123:1788-18306. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Gallie N, et all. 2014 ESC Guedlines on the Diagnosis and Management of Acute Pulmonary Embolism. European Heart Journal. 2014; 35: 3033-30807. Hajsadeghi S, Kerman SRJ, Joodat R, Hejrati M, Vaferi H, Negin F, ett all. Deep Vein Thrombosis, Demographic Characteristics and Risk Faktor in Iran. Gallen Medical Journal. 2013; 2(4): 135-1408. Goldhaber SZ. Risk Factors for Venous Thromboembolism. Journal of the American College of Cardiology. Vol. 56. No.1, 20109. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 2818-282210. Segal JB, Brotman DJ, Necochea AJ, Emadi A, Samal L, Wilson LM, et all. Predictive Value of Factor V Leiden and Prothrombin G20210A in Adults With Venous Thromboembolism and in Family Members of Those With a Mutation. JAMA. 2009; 301: 2475-248211. Suharti C. Dasar-Dasar Hemostasis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 749-75412. Tambunan KL. Patogenesis Trombosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 755-75813. Segal JB, Eng J, Tamariz LJ, Bass EB. Review of the Evidence on Diagnosis of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism. Annals of Family Medicine. 2007; 5: 63-7314. Moheimani F, Jackson DE. Venous Thromboembolism: Classification, Risk Factors, Diagnosis, and Management. ISRN Hematology. Vol.11. 201115. Farinelli MA. Obesity and Venous Thrombosis: A Review. Journals of Thrombosis and Hemostasis. Vol. 37. 201116. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansen C, Johnson T, Lim K, et all. Health Care Guideline of Venous Thromboembolism Diagnosis and Treatment. Institute for Clinical Systems Improvement.Vol.13. 201317. Bounameaux H, Perrier A, Righini M. Diagnosis of venous thromboembolism: an update. Vascular Medicine Journal. 2010; 15(5): 39940618. Qaseem A, Snow V, Barry P, Hornbake R, Rodnick JE, Tobolic T, et all. Current Diagnosis of Venous Thromboembolism in Primary Care: A Clinical Practice Guideline from the American Academy of Family Physicians and the American College of Physicians. Annals of Family Medicine. 2007; 5: 57-6219. Scarvelis D, Wells PS. Diagnosis and treatment of Deep Vein Thrombosis. CMAJ. 2006; 175(9): 1087-109220. JCS Joint Working Group. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Pulmonary Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis. Journal of the Japanese Circulation Society. 2011; 75: 1258-1281

21. Goodacre S. In the Clinic Deep Vein Thrombosis. Annals of Internal Medicine. Vol.24. 200822. Wells P, Anderson D. The diagnosis and Treatment of Venous Thromboembolism. Journal of American Society of Hematology. 2013: 457-46323. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep Vein Thrombosis: a clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 596924. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Embolism. Journal of American Family Physician. Vol.86, 201225. Ageno W. Recent Advances in the Management of Venous Thromboembolism. Korean Journal of Hematology. 2010; 45: 8-1326. Qaseem A, Chou R, Humphrey LL, Starkey M, Shekelle P. Venous Thromboembolism Prophylaxis in Hospitalized Patients: A Clinical Practice Guideline From the American College of Physicians. Annal Intern Medicine. 2011; 155: 625-63227. Tun NM and Hlaing T. Prevention and Treatment of Venous Thromboembolism with New Oral Anticoagulants: A Practical Update for Clinicians. Hindawi Publishing Corporation, Thrombosis Journal.Vol.11. 201328. Mostafaie MS, Korte W. New Anticoagulants for the Prevention and Therapy of venous thromboembolism a review. Journal of Cardiovascular Medicine. 2012; 15(5): 14715429. Castellucci LA, Cameron C, Gal G, Rodger MA, Coyle D, Wells P, et all. Efficacy and Safety Outcomes of Oral Anticoagulants and Antiplatelet Drugs in the Secondary Prevention of Venous Thromboembolism: systematic review and network meta-analysis. British Medical Journal. 2013; 347: 133-14430. Farge P, Debourdeau P, Becker M, Baglin C, Bauersachs RM, Brenner B, et all. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment Prophylaxis of Venous Thromboembolism in Patients with Cancer. Journal of and Thrombosis and Haemostasis, 2012; 11: 567031. Lopes LC, Eikelboom J, Spencer FA, Elie A, Kearon C, Neumann I, et all. Shorter or Longer Anticoagulation to Prevent Recurrent Venous Thromboembolism: systematic review and meta-analysis. British Medical Journal. 2014; 4: 56-7432. Cove CL, Hylek EM. An Updated Review of Target - Specific Oral Anticoagulants Used in Stroke Prevention in Atrial Fibrillation, Venous Thromboembolic Disease, and Acute Coronary Syndromes. Journal of American Heart Association. 2013; 2: 136-14533. Wells PS, Forgie MA, Rodger MA. Treatment of Venous Thromboembolism. Journal of American Medical Association. 2014; 311(7): 717-72834. Hokusei. Edoxaban versus Warfarin for the Treatment of Symptomatic Venous Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 369: 1406-141535. Agnelli G, Buller HR, Cohen A, Curto M, Gallus AS, Johnson M, et all. Apixaban for Extended Treatment of Venous Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 368: 699-70836. Nick E, Coppens M, Schulman S, Middeldorp S, Bller HR. Direct Oral Anticoagulants Compared with Vitamin K Antagonists for Acute Venous Thromboembolism: evidence from phase 3 trials. Blood Journal. 2014; 124: 1968-197537. Schulman S, Kearon C, Kakkar AK, Schellong S, Eriksson H, Baanstra D, et all. Extended Use of Dabigatran, Warfarin, or Placebo in Venous Thromboembolism. New England Journal Medical. 2013; 368: 709-71838. Einstein. Oral Rivaroxaban for the Treatment of Symptomatic Pulmonary Embolism. New England Journal Medical. 2012; 366: 1287-129739. Douma RA, Inge C, Erkens P, Nizet T, Durian M, Hovens M, et all. Performance of 4 Clinical Decision Rules in the Diagnostic Management of Acute Pulmonary Embolism. Annals of Internal Medicine. 2011; 154: 709-718

1