Taufiq Ismail Mengakar ke Bumi Menggapai ke...

2
34 MPA 278 Nopember 2009 Masih ingat ketika Taufiq Ismail membacakan puisinya di televisi pasca lebaran kemarin? Pembacaan puisi yang berjudul Cerita Seorang Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Te- tangganya itu, benar-benar memukau pemirsa Metro TV. Tak hanya gaya baca Penyair Tiga Zaman itu saja yang memi- kat, namun kisah dalam puisi yang diba- cakan pada acara ‘Konser Menembus Batas III: A Tribute to Taufiq Ismail’ itu pun juga sangat menyentuh nurani pemirsa. Puisi itu sendiri sebenarnya me- nuturkan tema yang cukup sederhana; yakni tentang remaja sekolah yang te- ngah berulang tahun. Namun di situ tak ada acara tiup lilin yang berjumlah 16 belas batang, dan juga tak ada kado ulang tahun yang dihadiahkan untuknya. Sebagai gantinya gadis itu memberikan kado istimewa berupa orasi buat Mama tercinta, yang enam belas tahun lalu telah melahirkannya melalui bedah sesar. “Puisi itu bermula dari keresahan saya tentang tradisi ulang tahun yang terpengaruh budaya Barat. Terus terang, itu sangat mengganggu diri saya,” tukasnya lugas. Yang sangat meresahkan penyair kelahiran Bukit Tinggi Sumatera Barat 25 Juni 1935 ini, adanya aspek budaya Barat yang ditiru begitu saja dan tanpa pernah berfikir terlebih dahulu. Semisal pemberian kado yang diberikan seorang Mama pada anaknya yang sedang berulang tahun. “Padahal yang paling tepat kan anak itu yang harus memberikan kado buat Mamanya, yang dengan susah-payah telah berjuang melahirkannya,” kilahnya. Yang tak masuk akal lagi, sambung putra pasangan Buya Abdul Gaffar Ismail dan ustadzah Timur M. Nur ini, adalah acara tiup lilin dalam tradisi ulang tahun tersebut. Menurut budaya Amerika dan Eropa, sebelum meniup lilin terlebih dahulu niatkan dalam hati untuk mengharapkan sesuatu. Lantas kalau nyala lilin itu ditiup mati, maka keinginannya akan dikabulkan Tuhan. “Nah, ini kan tradisi yang jelas-jelas nggak masuk di akal sehat?” tan- dasnya. “Pada peradaban purbakala di Eropa dulu, orang percaya kalau lilin itu dapat menolak setan. Lalu budaya itu hinggap begitu saja pada kue ulang tahun. Jadi.. sebenarnya ini nggak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kristen. Dan itu juga tak cocok dengan ajaran Islam,” tambahnya menjelaskan. ‘Puisi ulang tahun’ itu, sebenar- nya sudah ditulisnya sejak beberapa tahun silam. Tetapi saat itu belum bera- ni membacakannya di depan publik. Pasalnya, dirinya menunggu bisa mem- praktekkannya dalam keluarga sendiri. “Saya memang tak akan membacakan- nya di depan publik, sebelum anak saya sendiri memberikan kado ulang tahun pada ibunya. Sebab bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan- nya kepada Allah nanti? Bukankah se- tiap perbuatan kita, kelak akan ditanya dan diadili di akhirat?” ungkapnya ge- metar. “Saya telah membacakan puisi tersebut di depan ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Mereka semua setuju dengan yang saya sampaikan itu. Bahkan banyak dari mereka yang menangis saat mendengarkannya,” tuturnya menceritakan. Kiranya suami Esiyati ini, memang lebih gemar berekspresi lewat puisi. Sebab lantunan puisi itu dirasakannya jauh lebih mengena di hati khalayak, lantaran di sana ada suasana haru sehingga dapat memukau dan lebih meyakinkan. Maka dengan puisilah dia menyuarakan cinta, mengecam kezaliman dan menangis. Dan lewat puisi pula dirinya berdoa meratap kepadaNya. Sebab puisi baginya adalah dzikrullah. “Ini adalah merupakan pernyataan diri saya, yang dengan sepenuh-penuhnya saya suarakan lewat puisi,” ujarnya serius. Jika penyair Muslim lain menyuarakan dakwah lewat pui- sinya secara transparan, Taufiq justru memilihnya untuk lebih tersimpan. “Zauq atau rasa agama yang saya warisi dari kedua orang tua, selalu menjadi inspirasi dan selalu saya masukkan ke dalam puisi-puisi saya,” ungkapnya berterus terang. “Jadi.. di sana banyak sentuhan tasawuf yang dikemas secara diam-diam. Seperti puisi tentang ulang tahun itu. Bukankah kecintaan terhadap seorang ibu, merupakan suatu keajaiban yang sangat luar biasa,” tambahnya mencontohkan. Dalam kehidupan ayah Abraham Ismail ini, sebenarnya ba- nyak profesi lain yang terbentang luas di hadapannya. Seperti Taufiq Ismail Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit BACA PUISI: Saya merasa lebih cocok dan sreg untuk mengungkapkan suara jiwa saya lewat puisi.

Transcript of Taufiq Ismail Mengakar ke Bumi Menggapai ke...

34 MPA 278 Nopember 2009

Masih ingat ketika Taufiq Ismailmembacakan puisinya di televisi pascalebaran kemarin? Pembacaan puisi yangberjudul Cerita Seorang Anak YatimPiatu Selepas Pesta Ulang Tahun Te-tangganya itu, benar-benar memukaupemirsa Metro TV. Tak hanya gaya bacaPenyair Tiga Zaman itu saja yang memi-kat, namun kisah dalam puisi yang diba-cakan pada acara ‘Konser MenembusBatas III: A Tribute to Taufiq Ismail’itu pun juga sangat menyentuh nuranipemirsa.

Puisi itu sendiri sebenarnya me-nuturkan tema yang cukup sederhana;yakni tentang remaja sekolah yang te-ngah berulang tahun. Namun di situ takada acara tiup lilin yang berjumlah 16 belas batang, dan juga takada kado ulang tahun yang dihadiahkan untuknya. Sebagai gantinyagadis itu memberikan kado istimewa berupa orasi buat Mamatercinta, yang enam belas tahun lalu telah melahirkannya melaluibedah sesar. “Puisi itu bermula dari keresahan saya tentang tradisiulang tahun yang terpengaruh budaya Barat. Terus terang, itusangat mengganggu diri saya,” tukasnya lugas.

Yang sangat meresahkan penyair kelahiran Bukit TinggiSumatera Barat 25 Juni 1935 ini, adanya aspek budaya Baratyang ditiru begitu saja dan tanpa pernah berfikir terlebih dahulu.Semisal pemberian kado yang diberikan seorang Mama padaanaknya yang sedang berulang tahun. “Padahal yang paling tepatkan anak itu yang harus memberikan kado buat Mamanya, yangdengan susah-payah telah berjuang melahirkannya,” kilahnya.

Yang tak masuk akal lagi, sambung putra pasangan BuyaAbdul Gaffar Ismail dan ustadzah Timur M. Nur ini, adalah acaratiup lilin dalam tradisi ulang tahun tersebut. Menurut budayaAmerika dan Eropa, sebelum meniup lilin terlebih dahulu niatkandalam hati untuk mengharapkan sesuatu. Lantas kalau nyala lilinitu ditiup mati, maka keinginannya akan dikabulkan Tuhan. “Nah,ini kan tradisi yang jelas-jelas nggak masuk di akal sehat?” tan-dasnya. “Pada peradaban purbakala di Eropa dulu, orang percayakalau lilin itu dapat menolak setan. Lalu budaya itu hinggap begitusaja pada kue ulang tahun. Jadi.. sebenarnya ini nggak ada sangkut

pautnya sama sekali dengan Kristen.Dan itu juga tak cocok dengan ajaranIslam,” tambahnya menjelaskan.

‘Puisi ulang tahun’ itu, sebenar-nya sudah ditulisnya sejak beberapatahun silam. Tetapi saat itu belum bera-ni membacakannya di depan publik.Pasalnya, dirinya menunggu bisa mem-praktekkannya dalam keluarga sendiri.“Saya memang tak akan membacakan-nya di depan publik, sebelum anaksaya sendiri memberikan kado ulangtahun pada ibunya. Sebab bagaimanasaya akan mempertanggungjawabkan-nya kepada Allah nanti? Bukankah se-tiap perbuatan kita, kelak akan ditanyadan diadili di akhirat?” ungkapnya ge-

metar. “Saya telah membacakan puisi tersebut di depan ibu-ibu,remaja dan anak-anak. Mereka semua setuju dengan yang sayasampaikan itu. Bahkan banyak dari mereka yang menangis saatmendengarkannya,” tuturnya menceritakan.

Kiranya suami Esiyati ini, memang lebih gemar berekspresilewat puisi. Sebab lantunan puisi itu dirasakannya jauh lebihmengena di hati khalayak, lantaran di sana ada suasana haru sehinggadapat memukau dan lebih meyakinkan. Maka dengan puisilah diamenyuarakan cinta, mengecam kezaliman dan menangis. Dan lewatpuisi pula dirinya berdoa meratap kepadaNya. Sebab puisi baginyaadalah dzikrullah. “Ini adalah merupakan pernyataan diri saya,yang dengan sepenuh-penuhnya saya suarakan lewat puisi,”ujarnya serius.

Jika penyair Muslim lain menyuarakan dakwah lewat pui-sinya secara transparan, Taufiq justru memilihnya untuk lebihtersimpan. “Zauq atau rasa agama yang saya warisi dari keduaorang tua, selalu menjadi inspirasi dan selalu saya masukkan kedalam puisi-puisi saya,” ungkapnya berterus terang. “Jadi.. disana banyak sentuhan tasawuf yang dikemas secara diam-diam.Seperti puisi tentang ulang tahun itu. Bukankah kecintaan terhadapseorang ibu, merupakan suatu keajaiban yang sangat luar biasa,”tambahnya mencontohkan.

Dalam kehidupan ayah Abraham Ismail ini, sebenarnya ba-nyak profesi lain yang terbentang luas di hadapannya. Seperti

Taufiq IsmailMengakar ke Bumi Menggapai ke Langit

BACA PUISI: Saya merasa lebih cocok dan sreg untuk mengungkapkan suara jiwa saya lewat puisi.

MPA 278 Nopember 2009 35

jadi guru dan dosen, menjadi pe-dagang, karir politik, atau menjadiseorang kyai. Dan dirinya sudah men-coba dari berbagai kemungkinan itu.Terbukti dirinya pernah tercatatsebagai dosen Institut PertanianBogor (1962-1965), dosen FakultasPsikologi UI (1967), SekretarisDPH-DKI (1970-1971) dan managerhubungan luar PT. Unilever Indone-sia (1978). “Namun yaa.. ternyatapilihan saya tetap jatuh pada puisi.Sebab saya merasa lebih cocok dansreg untuk mengungkapkan suara jiwasaya lewat puisi,” simpulnya sambiltertawa lirih.

Keinginan berpuisi itu tumbuhsemasih dirinya duduk di bangkuSMA di Pekalongan Jawa Tengah.Bahkan waktu itu puisi-puisinya su-dah dimuat di majalah Kisah danMimbar Indonesia. Ketika menjadipenjaga perpustakaan Pelajar IslamIndonesia di Pekalongan, kegemar-annya menulis puisi makin menjadi-jadi. Sebab di perpustakaan tersebut,begitu leluasa dirinya melahap karya-karya Chairil Anwar, PramoedyaAnanta Toer, hingga karya WilliamSaroyan dan Karl May. Namun tentusaja tak hanya karya sastra saja yangdibacanya, melainkan pula buku-buku agama, politik dan sejarah.

Tak salah jika waktu itu – tepatnya pada tahun 1956–1957,Taufiq memperoleh beasiswa program pertukaran pelajar Ameri-can Field Service International Scholarship. Dan dia termasukangkatan pertama dari Indonesia, yang mengikuti Whitefish BayHigh School di Milwaukee, Wisconsin, AS. Di sanalah dirinyamengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe dan Walt Whitman.Termasuk pula membaca novel Hemingway The Old Man andThe Sea yang sangat disukainya.

Kegemaran membacanya itu, memang terkondisikan sejakkecil. Sebab dia memang hidup pada lingkungan keluarga yangsuka membaca. Taufiq merasa bersyukur dilahirkan dari seorangayah yang Kyai pejuang dan seorang ibu yang sangat fasih dalammenafsiri al-Qur’an. Di perpustakaan keluarganya itulah, dirinyamulai dan terbiasa membaca berbagai buku. “Tanpa buku, sayakira tidak mungkin saya jadi pengarang seperti sekarang ini,” ucap-nya bersyukur.

Setelah lulus SMA, melanjutkan studinya di Fakultas Kedok-teran Hewan & Peternakan Universitas Indonesia di Bogor danlulus tahun 1963. Semasa kuliah dia aktif dalam berbagai kegiatan.Pernah pula menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961), serta Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ditahun 1962 inilah dirinya mulai berkarir, dengan menjadi guruIlmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea.Setahun kemudian juga mengajar sebagai guru bahasa di SMARegina Pacis Bogor hingga tahun 1965. Taufiq juga tercatat sebagaiasisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Uni-versitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).

Pada tahun 1964 itulah, dia dipecat dari pegawai negeri danbatal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky danFlorida. Pasalnya, dirinya turut menandatangani Manifes Kebu-dayaan yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Duatahun kemudian, bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini danArief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia – yang kemudianmelahirkan majalah sastra Horison. Taufiq Ismail juga termasuksalah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman

Ismail Marzuki (TIM) dan LembagaPendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ).

Sejak tahun 1966, Ketua UmumLembaga Kesenian Alam Minang-kabau 1985 ini juga menjadi kolumnisHarian KAMI hingga tahun 1970. Pa-da tahun 1971–1972 mengikuti Inter-national Writing Program, Universityof Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.Hal yang sama juga berulang padatahun 1991–1992. Setahun kemudiandia belajar pada Faculty of Languangeand Literature, American Universityin Cairo, Mesir. Lantaran pecah Pe-rang Teluk, dirinya pulang kembali keIndonesia sebelum selesai studi ba-hasanya.

Pada tahun 1993 dia diundangmenjadi pengarang tamu di DewanBahasa dan Pustaka, Kuala LumpurMalaysia. Atas kerja samanya denganpara musisi sejak 1974 – terutama de-ngan Himpunan Musik Bimbo, Chri-sye, Ian Antono dan Ucok Harahap,Taufiq telah menghasilkan sebanyak75 lagu. Dirinya pernah mewakili In-donesia baca puisi dan festival sastradi 24 kota di Asia, Amerika, Austra-lia, Eropa dan Afrika. Puisi-puisinyapun telah diterjemahkan ke dalambahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris,Prancis, Jerman, Rusia dan Cina.

Selain sebagai sastrawan, dirinya juga aktif menerjemah buku.Karya terjemahan yang telah dihasilkannya; Banjour Tristesseyang merupakan terjemahan novel karya Francoise Sagan (1960),Cerita tentang Atom terjemahan karya Mau Freeman (1962), sertaMembangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku TheReconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal), yangditerjemah bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad (1964).

Sementara karya-karya puisinya yang telah terbit; Mani-festasi (bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.1963), Tirani (1966), Benteng, (1966), Puisi-puisi Sepi (1971),Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit (1971), Buku TamuMuseum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Ke-nalkan, Saya Hewan (1976), Puisi-puisi Langit (1990), Tiranidan Benteng – cetak ulang gabungan (1993), Prahara Budaya(1995), Ketika Kata Ketika Warna, antologi puisi 50 penyairdalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 RI, (1995), Seulawah– Antologi Sastra Aceh (1995), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia(1998), dari Fansuri ke Handayani (2001), Horison Kakilangit(2001), serta Horison Sastra Indonesia – empat jilid – (2002).

Sedangkan penghargaan yang pernah diperolehnya meliputi;Augerah Seni dari Pemerintah RI (1970), dua kali jadi penyairtamu di Universitas Iowa, AS (1971-72) dan (1991-92), CultureVisit Award Pemerintah Australia (1977), Pengaranag tamu diDewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993), South EastAsia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan KaryaSastra dari Pusat Bahasa (1994), SEA Write Award (1997), Sas-trawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999) dan Doc-tor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003).

Dalam menyambut sepuluh tahun Kebangkitan Nasionaldan menyambut 55 tahun kiprahnya sebagai penyair Indonesia,Taufiq Ismail menerbitkan buku Mengakar ke Bumi Menggapaike Langit. Buku ini terdiri empat jilid: jilid pertama merupakanhimpunan puisinya tahun 1953-2008, jilid kedua dan ketiga berisihimpunan tulisannya tahun 1960-2008, dan jilid keempat berupahimpunan lirik lagu, serta buku Rerumputan Dedaunan (AntologiPuisi Terjemahan Penyair Amerika). Il

NARASUMBER: Memberikan kado buat Mama.

PENTAS BARENG: Dari keresahan saya tentang tradisi