tetanus neonatorum
-
Upload
vindy-miliknya-nyun-nyun -
Category
Documents
-
view
231 -
download
2
description
Transcript of tetanus neonatorum
BAB IITinjauan Pustaka
2.1. Konsep teori
2.1.1.. Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan
spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani.
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
eksotoksin yang dapat larut(tetanuspasmin) dari clostridium tetani.
Tetanus neonatorum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru
lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering
dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia,
tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi
akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan
Anak, 1985
Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang
khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang
ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan
kejang–kejang (WHO, 1989).
Macam- macam tetanus menurut tanda dan gejala:
Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada local tetanus dijumpai adanya kontrasi otot yang persisten,
pada daerah dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah yang merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot
ini biasanya ringan,bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progesif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus local
ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk
yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus
ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau djumpai
secara terpisah.hal ini biasanya dijumpai setelah pemberian
profilaksis antitoksin.
Cephalic Tetanus
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari Tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik
(seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala,
termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal, beberapa Tetanus lokal oleh karena
gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama
yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-
otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yaitu spasme otot-otot
muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urin, kompressi fraktur dan perdarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa juga
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.
Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril,
baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani,
maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah
terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan
persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor
yang utama dalam terjadinya neonatorum Tetanus. Menurut
penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS
Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982
ada 40 kasus Tetanus Biasanya ditolong melalui tenaga persalinan
tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29
% ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui
dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).
2.1.2. Etiologi
Penyebabnya adalah hasil Clostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000)
bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat
mengeluarkan toksin yang dapat mengghancurkan sel darah merah,
merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat
neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu
Kesehatan Anak, 1985)
2.1.3. Gejala klinis
Masa inkubasi biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa
minggu jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak
dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan
leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu
Kesehatan Anak, 1985).
Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan
berat. Anamnesis sangat spesifik yaitu :
1. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak
dapat menghisap).
2. Mulut mencucu seperti mulut ikan.
3. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis
4. Kaku kuduk sampai opistotonus
5. Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang
terjadi kejang.
6. Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik
kebawah, muka thisus sardonikus
7. Ekstermitas biasanya terulur dan kaku
8. Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan
kadang-kadang menangis lemah.
2.1.4. Epidemiologi
Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul,
gram positip. Dapat bergerak dan membentuk spora - spora, terminal yang
menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora - spora
tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan
termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan
otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan
tidak terpapar sinar matahari, selain itu dapat ditemukan pula dalam debu,
tanah, air laut, air tawar dan traktus digestivus, manusia serta hewan.
2.1.5. Patogenesis
Kontaminasi luka dengan spora mungkin sering. Biasanya penyakit
ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam, misalnya luka yang disebabkan
tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, dimana luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi
yang kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka juga akan menimbulkan
keadaan anaerob.
Sedangkan pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat
pemotongan tali pusat dengan alat-alat yang tidak steril atau perawatan tali
pusat yang salah. Dimana clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui
luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium tetani dapat masuk melalui
umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsik
antisepsik.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk berubah bentuk dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di daerah
luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di
ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi.
2.1.6. Patologi
Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak yaitu sumsum
tulang belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan
oleh asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu
kematian dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan
dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi
dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan
sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
2.1.7. Patofisiologi
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerob berubah
menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam
jaringan yang anaerob ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi
jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah,
nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra
axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu
sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat
perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul
dalam sel. Dalam sumsum tulang belakang toksin menjalar dari sel saraf
lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari
spinal inhibitor neuron. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan
pada inhibitor transmitter dan menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada :
1) Ganglion pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot
menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran
dari neuron yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila
jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan
dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan
hambatan pengeluaran inhibitor transmitter dan menekan
pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
2) Otak :
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga
menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal
menurun.
3) Saraf otonom :
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala
keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang
terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan
penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus otot polos juga
ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti
disebutkan diatas.
2.1.8. Faktor resiko terjadinya tetanus neonatorum:
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 - 28
hari, terutama pada saat luka potong tali pusat belum kering, sehingga
spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989)
terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu : (a) faktor resiko
pencemaran lingkungan fisik dan biologik, (b) faktor cara pemotongan tali
pusat, (c) faktor cara perawatan tali pusat, (d) faktor kebersihan pelayanan
persalinan (e) faktor kekebalan ibu hamil.
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan
tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya.
Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan
diubah penggunaannya.
b. Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk
memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat
akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul
erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan
biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran”
plasenta dan perdarahan ibu.
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan
hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi
masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan
sekitarnya. Masyarakat di daerah masih banyak
menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi
untuk pengobatan luka puntung tali pusat. Kebiasaan ini
tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun
bayi saja.
d. Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan
tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah
tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan
kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum
terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun
daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau
oleh masyarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak)
maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun
bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak
berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya
(25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya
tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko
tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus
dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya
dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C.
tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kali pun
dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78
per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran
hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).
2.1.9. Komplikasi
Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air
liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan
terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
Aspiksia.
Atelektasis karena obstruksi oleh sekret.
Fraktur kompresi.
Laringospasme yaitu spasme dari laring dan otot
pernapasan menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan
penyebab utama kematian pada kasus tetanus neonatorum.
Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat
kontraksi otot berlebihan yang terus menerus. Terutama pada
neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih belum
sempurna.
Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf
otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang
pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest ).
Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah distabilkan
jalan napasnya.
Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)
Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi
makanan ataupun minuman yang diberikan secara oral pada saat
kejang berlangsung)
2.1.10. Pencegahan dan Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada
tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko.
Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui
cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya
lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus
neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik
tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan
peternakan untuk produksi pangan mereka. Pendekatan
pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan
kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi
pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan
perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih
ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan,
alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan,
1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam
kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attak rate tak dapat
diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan
tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil
merupakan salah satu jalan pintas
yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus
kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester 3 dikatakan
sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum.
Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan
perawatan tali pusat selanjutnya.
2. Penatalaksanaan
a) Medik
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian
antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif,
yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan
NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam
selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika
pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering
kejang atau apneua, diberikan larutan glukosa 10% dan
natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika
fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu).
Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum
peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein
dan kalium.
Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan
selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10
mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke
dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang
masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg
secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam
berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5
mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya
menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis
membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan
secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia
berat atau makin berat, diazepam diberikan per oral dan
setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut
dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis,
intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis
pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak
dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada
pasien meningitis bakterialis.
Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol
70%/Betadine 10%.
Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir
sering dihisap.
b) Keperawatan
Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan
cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas,
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, dan mencegah
hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk
membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah
keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah
dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat.
Setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan pehydrol,
dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan
puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.
2.1.11. Pemeriksaan penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi
Darah
Glukosa Darah:Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200
mq/dl) BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan
merupakan indikasi neprotoksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit:
K, Na .Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80– 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144
meq/dl )
Skull Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruang dan adanya lesi
EEG:Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas
kejang, hasil biasanya normal.
2.2. Konsep Askep 2.2.1. PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
Riwayat kehamilan prenatal.
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.
Riwayat natal ditanyakan.
Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu
membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak.
Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.
Riwayat postnatal.
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi
tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama
selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan
gejala kejang yang pertama (period of onset).
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut,
mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti
mulut ikan.
Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada,
otot punggung.
Abdomen : Dinding perut seperti papan.
Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai,
hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong
kayu.
4. Pemeriksaan Persistem
Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori,
bunyi nafas, batuk-pikel.
Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut
jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat,
hiperpirexia.
Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena
rangsangan.
Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
Perkemihan : Produksi urine
Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.
2.2.2. Diagnose1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks
menghisap pada bayi tidak adekuat.
3. Risiko cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang
berulang.
4. Risiko ketidak efektifan jalan nafas berhubungan dengan
sekunder dari depresi pernafasan
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
produksi sekret yang berlebihan pada jalan nafas.
2.2.3. Intervensi
Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
Intervensi :
1. Kaji frekuensi dan pola nafas
2. Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung,
tonus otot dan warna kulit.
3. Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara
kontinue.
4. Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
5. Beri rangsang taktil segera setelah apnea.
6. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
7. Beri O2 sesuai indikasi.
8. Beri obat-obatan sesuai indikasi.
Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks
menghisap pada bayi tidak adekuat.
Intervensi :
1. Kaji maturitas refleks berkenaan dengan pemberian makan,
menghisap, menelan dan batuk.
2. Auskultasi bising usus.
3. Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
4. Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.
5. Beri nutrisi parenteral.
6. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
7. Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.
2.2.4. Implementasi
Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana
tindakan meliputi beberapa bagian yaitu validasi, secara keperawatan
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data (Lumidar 1990).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang matematis dari rencana
tindakan dari masalah kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan
kesehatan lainnya (Ependi, 1995).
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Tenanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
Clostridium tetani (Mansjoer, 2000).
Menurut Surasmi (2003), tetanus neonatorum adalah penyaki
tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-1 bulan). Penyebab
tetanus adalah Clostridium tetani,yang infeksinya biasa terjadi melalui
luka dari tali pusat.
Dapat juga karena perawatan tali pusat yang menggunakan obat
tradisional seperti abu dan kapur sirih, daun-daunan dan sebagainya.Masa
inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa berkurang atau lebih. Gejala
klinis infeksi tetanus neonatorum umumnya muncul pada hari ke 3 sampai
ke 10 (Surasmi, 2003)
Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah melakukan
imunisasi dengan tetanus toksoid (TT) pada wanita calon pengantin dan
ibu hamil. Selain itu, tindakan memotong dan merawat tali pusat harus
secara steril.Pemberian asuhan keperawatan pada bayi berisiko tinggi:
tetanus neonatorum difokuskan pada upaya penanganan dari tanda dan
gejala penyakit yang diderita untuk tindakan pemulihan fisik klien.
Penentuan diagnosa harus akurat agar pelaksanaan asuhan keperawatan
dapat diberikan secara maksimal dan mendapatkan hasil yang diharapkan.
Pemberian asuhan keperawatan bayi berisiko tinggi: tetanus neonatorum
secara umum bertujuan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi yang
bisa terjadi.Oleh karena itu, dibutuhkan kreativitas dan keahlian dalam
pemberian asuhan keperawatan dan kolaborasikan dengan tim medis
lainnya yang bersangkutan.
3.2. Saran
Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada
bayi dengan penyakit tetanus neonatorum harus lebih memperhatikan dan
tahu pada bagian- bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada bayi
yang perlu ditekankan. Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan
kepada bapak dan ibu atau keluarga dari anak tentang bahaya tetanus dan
penyuluhan untuk melakukan persalinan di rumah sakit,
puskesmas, klinik bersalin, atau pelayanan kesehatan lainnya agar
terhindar dari infeksi tetanus pada anaknya akibat penggunaan alat.
DAFTAR PUSTAKA
http://creasoft.wordpress.com/2012/12/12/keperawatan-bayi-baru-lahir/
www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=073…
http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/Tetanus_Neonatorum.pdf/diakses
tgl:03/12/12
Hidayat, Azis Alimul. 2005. PENGANTAR ILMU KEPERAWATAN ANAK I.
Salemba Medika : Jakarta.
Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid 2, Jakarta: Medi Aesculapius.
http://ASKEB TETANUS NEONATORUM « Cyntaa's Blog.htm