TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN SURAHe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5024/1/SKRIPSI.pdf · 4....
Transcript of TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN SURAHe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5024/1/SKRIPSI.pdf · 4....
i
TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN SURAH
PILIHAN(AL-HADID AYAT 1-6) DI PANTI ASUHAN
DARUL HADLANAH NU KOTA SALATIGA
(STUDI LIVING QUR’AN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir
Oleh:
Neny Muthiatul Awwaliyah
NIM: 215-14-016
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
(FUADAH)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : -
Hal : Naskah Skripsi
Saudara Neny Muthiatul A
Kepada:
Yth.Dekan FUADAH
Di Salatiga
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Neny Muthiatul Awwaliyah
NIM : 215-14-016
Jurusan : Ilmu Al- Qur‟an dan Tafsir
Fakultas : Ushuluddin Adab dan Humaniora
Judul : Tradisi Pembacaan Al-Qur‟an Surah Al-Hadid Ayat 1-6 di
Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga.
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera
dimunaqosahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Salatiga, 20 Maret 2018
Pembimbing
Dra.Djami’atul Islamiyah,M.Ag
NIP. 195708121988022001
iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706 Faks. 323433 Salatiga 50721 Website : http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul
TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN SURAH PILIHAN(AL-
HADID AYAT 1-6) DI PANTI ASUHAN DARUL HADLANAH
NU KOTA SALATIGA
(STUDI LIVING QUR’AN)
DISUSUN OLEH
Neny Muthiatul Awwaliyah
NIM: 215-14-016
Telah dipertahankan didepan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu
al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 02 April 2018 dan telah dinyatakan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana agama.
Susunan Panitia Penguji:
Ketua Penguji : Dr. Benny Ridwan M.Hum ...........................
Sekretaris Penguji : Dra. Djami‟atul Islamiyah M.Ag ...........................
Penguji I : Dr. Adang Kuswaya ..........................
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati M.Ag ............................
Salatiga, 02 April 2018
Dekan FUADAH IAIN Salatiga
Dr. Benny Ridwan, M. Hum.
NIP. 19730520 199903 1 006
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN
DIPUBLIKASIKAN
بسم هللا الرحمن الرحيم
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Neny Muthiatul Awwaliyah
NIM : 21514016
Jurusan : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas : ushuluddin adab dan humaniora
Judul : tradisi pembacaan al-Qur‟an surah pilihan (surah al-Hadid ayat 1-
6) di panti asuhan darul hadlanah NU kota salatiga
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah. Skripsi ini diperbolehkan untuk dipublikasikan oleh
perpustakaan IAIN Salatiga
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 04 April 2018
Penulis
Neny Muthiatul Awwaliyah
NIM: 21514016
vi
MOTTO
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.
(QS. Ar Ra‟du:11)
Katakan pada diri sendiri tuk “tidak menyerah” untuk selalu
melakukan perbaikan
(Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah SWT, kupersembahkan sebuah karya
sederhana ini untuk orang yang penulis sayangi.
1. Abah ku H. Nur Fuad Supandi F.R S.Pd. dan Umikku Hj.Naela
Fauziah Fuad yang selalu memberikan do‟a, kasih sayang, semangat
kepada penulis, hormat dan baktiku kan selalu tertuju untukmu.
2. Adik-adikku, Kholida Zukhriyya Fuad dan M.Wildan Mukholladdun
Fuad terimakasih atas do‟a kalian, rajinlah dalam belajar, senantiasa
menjaga hafalan kalian dan raihlah cita-citamu dengan semangat.
3. Seluruh keluargaku yang selalu memberikan dukungan dan motivasi
untuk penulis.
4. Bapak Dr.Gufron Makruf dan ibu Muizzatul Azizzah yang selalu
membimbing serta memberikan ilmu dan nasihatnya sehingga mampu
memberikan keteduhan dan kedamaian ketika penulis belajar ngaji dan
hidup mandiri. Semoga Allah memanjangkan usia yang senantiasa
dalam kesehatan dan ketaqwaan.
5. Ibu Dra. Djamiatul Islamiah.M.Ag. selaku dosen pembimbing yang
dengan sabar dan teliti membimbing dan mengarahkan penulis,
terimakasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga ilmu yang ibu berikan selalu bermanfaat.
6. Sahabat sejatiku, bebeh, aila ach, rohma opik, lisa dw, dan amah milha
imrona sami‟un jazuli yang selalu memberikan arti sebuh senyuman,
kehangatan dan kebersamaan.
viii
7. Keluarga besar IAT terkhusus KKI 2014, mb bica, mb fatimah, mb
novita, mb wahyu, mb yusta, mb laila kho, mukhsina nazil, abror, day
sandai, fitza fisa, samsul, latif, pak ihsan, rochim, yusuf, tak lupa dan
masih ingat SayF dan sahabat tercintaku di salatiga Annisa fitri
terimakasih untuk sepenggal cerita, tawa, dan canda di kampus
tercinta.
8. Adik-adik panti asuan dan keluarga besar panti asuhan Darul Hadlanah
NU Blotongan yang telah membantu lancarnya penelitian.
9. Sahabat-sahabat ku keluarga besar PMII, SOBAT MUDA, DEMA,
GUSDURIAN,SWS 2017, BPUN, Formadina, yang telah memberikan
wawasan dan belajar berorganisasi dengan loyalitas.
10. Teman-teman patnerku (pak azam, farhan, bagus, cik ucik,
pangestuhatiku, kak fatin sidqia, danik, dan amira tumbarku yang
berjuang dan belajar bersama di IAIN Salatiga.
11. Dan tak lupa yang selalu dalam hari-hari indahku, mas ridwan, dek
saiful arifin, dek rozaq, mb fitri tercinta, mb nunung, novi okta, nurul
azmi, alfa nur, uswa cha, khayati, my patner ngajar offa maya, hafid
ahmad dan ahmad toyib, terimakasih sudah mewarnai hari-hari ku di
salatiga.
12. Terkhusus keluarga besar IKAMARU dan IKMP tercinta.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikna skripsi ini yang berjudul
Tradisi Pembacaan Al-Qur‟an Surah Pilihan ( Al-Hadid ayat 1-6 di Panti Asuhan
Darul Hadlanah NU Kota Salatiga. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menerangi dunia dari zaman
jahiliyah menuju zaman terang benderang dengan kesempurnaan agama islam.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.A.g) pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Keberhasilan
penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak
yang terkait. Pada kesempatan ini, penulis mengucapka terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga. yang telah memberikan ijin untuk melakukan
penelitian di panti asuhan Darul Hadlanah NU Blotongan.
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum selaku Dekan Fakultas ushuluddin adab
dan humaniora .
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir IAIN Salatiga.
4. Ibu Dra. Djamiatul Islamiyah. M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, memberikan nasihat, arahan, serta masukan-masukan yang
sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.
x
5. Terkhusus Dr. Adang Kuswaya yang telah membimbing dengan sepenuh hati
dalam mata kuliah metodologi penelitian tafsir dan seluruh dosen dan petugas
admin Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir di IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung.
6. Ibu Muizzatul Azizah pengasuh panti asuhan Darul Hadlanah yang telah
memberikan izin penelitian dan memberikan informasi bagi penulis.
7. Abahku H. Nur Fuad Supandi F.R S.Pd dan umik ku Naela Fauziah Fuad
tercinta yang telah mencurahkan pengorbanan, kasih sayang dan do‟a restu
yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.
8. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi para Pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Salatiga, 20 Maret 2018
Penulis
xi
ABSTRAK
Muthiatul Awwaliyah, Neny. 2018.Tradisi Pembacaan Al-Qur‟an Surah Pilihan
(Surah Al-Hadid Ayat 1-6 di Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota
Salatiga. Skripsi. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Dra. Djami‟atul Islamiyah.M.Ag.
Kata kunci: Tradisi, Surah al-Hadid , Living Qur‟an
Tradisi pembacaan surah al-Hadid merupakan kegiatan ibadah amaliyah
yang dilakukan secara berjama‟ah yang bertujuan mengharapkan barakah dari
bacaan tersebut. Untuk mendalami kajian living Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6
yang diterapkan di panti asuhan Darul Hadlanah , peneliti membatasi skripsi ini
pada tiga point pembahasan yaitu: tradisi prosesi, makna tradisi, pendukung dan
penghambat. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana
tradisi dan prosesi pelaksanaan pembacaan Al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 di
panti asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga? (2) apa makna tradisi pembacaan
al-Qur‟an Surah al-Hadid ayat 1-6 di panti asuhan Darul Hadlanah NU kota
Salatiga bagi para santri yang mengikuti? (3) apa saja faktor pendukung dan
penghambat adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 di panti
Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data dari
masyarakat panti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga (Direktur, Asatidzah,
dan Santri) sebagai objek peneliti. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Melalui tiga
teknik tersebut peneliti menganalisis data-data yang dibutuhkan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan tiga point
permasalahan utama yaitu (1) tradisi dan prosesi pembacaan al-Qur‟an surah al-
Hadid di laksanakan pada hari jumat pagi setelah solat subuh dengan diawali
tawashul kemudian membaca surah al-ikhals 3 kali, ak-falaq 3 kali, membaca an-
nas 1 kali, membaca alif lam mim, membaca ayat kursi, membaca bacan dzikir,
doa sesudah sholat, kemudian membaca fatihah, pembacaan surah al-hadid ayat 1-
6, kemudian membaca al-fatihah kembali, dan terakhir berdoa sesuai dengan hajat
masing-masing. (2) makna tradisi pembacaan al-Hadid ayat 1-6 adalah sarana
pendekatan diri kepada allah, bentuk rasa syukur dan keimanan terhadap al-
Qur‟an, pembentuk kepribadian, pengharapan terkabulnya hajat atau datangnya
keberkahan rizki. (3) adapun salah satu pendukungnya adalah adanya keyakinan
yang kuat dari para santri tentang fadhilah pembacaan surah al-hadid ayat 1-6,
salah satu penghambatnya adalah pengkondisian anak-anak yang kurang
maksimal. Dengan adanya penelitian ini diharapkan setiap masyarakat panti
asuhan Darul Hadlanah mampu melestarikan tradisi pembacaan surah al-Hadid
ayat 1-6 .
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
ba‟ b be ب
ta‟ t te ت
ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
)ḥa‟ ḥ ha (dengan titik di bawah ح
kha‟ kh ka dan ha خ
dal d de د
żal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra‟ r er ر
zal z zet ز
sin s es س
xiii
syin sy es dan ye ش
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ṭa‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
ẓa‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ koma terbalik (di atas)„ ع
gain g ge غ
fa‟ f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha‟ h ha ه
hamzah ` apostrof ء
ya‟ y ye ي
xiv
B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
Ditulis Muta‟addidah متعددة
Ditulis „iddah عدة
C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h
a. Bila dimatikan ditulis h
Ditulis Ḥikmah حكمة
Ditulis Jizyah جزية
(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki
lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
`Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياء
c. Bila Ta‟ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah
ditulis t.
Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة
xv
D. Vokal Pendek
__َ_ Fatḥah Ditulis A
__ِ_ Kasrah Ditulis I
__ُ_ Ḍammah Ditulis U
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
جاهليةDitulis
Ā
Jahiliyyah
Fatḥah bertemu Alif Layyinah
Ditulis تنسىĀ
Tansa
Kasrah bertemu ya‟ mati
كرميDitulis
Ī
Karīm
Ḍammah bertemu wawu mati
Ditulis فروضŪ
Furūḍ
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemu Ya‟ Mati
Ditulis بينكمAi
Bainakum
xvi
Fatḥah bertemu Wawu Mati
Ditulis قولAu
Qaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
Ditulis A`antum أأنتم
Ditulis U‟iddat أعدت
Ditulis La‟in syakartum لئن شكرمت
H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah
ditulis dengan menggunkan “al”
Ditulis Al-Qur`ān القران
Ditulis Al-Qiyās القياس
`Ditulis Al-Samā السماء
Ditulis Al-Syams الشمس
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau
pengucapannya
Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض
xviii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iv
HALAMAN KEASLIAN TULISAN ......................................................... v
HALAMAN MOTTO ............................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................ vii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
ABSTRAK .................................................................................................. xi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... xii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ............................................................ 10
F. Kerangka Teori .............................................................. 13
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 17
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Living Qur‟an .................................................................. 19
1. Definisi Living Qur‟an ................................................ 19
2. Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah ....................... 23
xix
3. Arti Penting Kajian Living Qur‟an ........................... 27
a. Living Qur‟an: Sebagai Religious Research ....... 29
b. The Living Qur‟an:
Fenomena Sosial-Budaya Antropologis .............. 35
c. The Living Qur‟an:
Paradigma untuk Mempelajari ............................. 37
B. Surah Al-Hadid ................................................................ 43
1. Ayat 1 ......................................................................... 45
2. Ayat 2 ......................................................................... 48
3. Ayat 3 ....................................................................... 49
4. Ayat 4 ....................................................................... 54
5. Ayat 5-6 .................................................................. 56
BAB III : METODE PENELITIAN
Metode Penelitian............................................................. 60
1. Pendekatan Penelitian ............................................... 60
2. Jenis Penelitian .......................................................... 62
3. Lokasi Penelitian........................................................ 62
4. Kehadiran Peneliti...................................................... 63
5. Sumber Data ............................................................ 63
6. Teknik Pengumpulan Data....................................... 65
7. Teknik Analisis Data ............................................... 67
8. Tahap-tahap Penelitian ............................................ 71
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Panti Asuhan Darul Hadlanah NU
xx
Kota Salatiga .................................................................... 73
1. Sejarah Berdirinya Panti Asuhan Darul Hadlanah NU
Kota Salatiga .............................................................. 73
2. Dasar Pendirian .......................................................... 75
3. Pengasuh .................................................................. 75
4. Letak Geografis Panti Asuhan
Darul Hadlanah NU ................................................... 75
5. Maksud dan Tujuan Panti Asuhan
Darul Hadlanah NU ................................................... 75
6. Visi dan Misi Panti Asuahan Darul Hadlanah NU .... 76
7. Struktur Pengurus .................................................... 77
8. Sumber Dana ........................................................... 78
9. Data Santri ............................................................... 78
10. Jadwal Santri ............................................................ 81
11. Sarana dan Prasarana ............................................... 82
12. Tata Tertib................................................................ 83
B. Temuan Penelitian Tradisi Pembacaan Al-Qur‟an
Surah Al-Hadid Ayat 1-6 di Panti Asuhan
Darul Hadlanah NU Kota Salatiga................................... 84
1. Tradisi dan Prosesi ..................................................... 84
2. Makna Tradisi .......................................................... 90
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Tradisi
Pembacaan al-Qur‟an Surah al-Hadid ..................... 102
xxi
BAB V : ANALISIS
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 111
B. Saran ............................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 114
DESKRIPSI WAWANCARA
CURICULUM VITAE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia
dalam kehidupan beragama. Sedangkan fenomena keagamaan itu sendiri adalah
perwujudan sikap dan perilaku manusia yang berkaitan dengan hal-hal yang
dipandang suci1. Kemudian bagaimana prinsip-prinsip Islam tentang sosial
keagamaan mampu dikembangkan serta konsep kebudayaan dimasyarakat
sekarang ini terasa jarang diperbincangkan secara detail, baik yang berkenaan
dengan deskripsi kebudayaan Islam, pemahaman bentuk kegiatannya sendiri dan
hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan tersebut. Misalnya kegiatan yang
berkaitan dengan respon umat terhadap al-Qur‟an.
Al-Qur‟an adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
yang mempunyai keutamaan-keutamaan, yang diantaranya adalah bahwa
membaca dan mengamalkan al-Qur‟an merupakan suatu ibadah2. Waktu yang
utama dalam membaca al-Qur‟an adalah pada waktu shalat atau sesudahnya3. Al-
Qur‟an merupakan sebuah kitab suci yang penuh muk‟jizat yang mengandung
semua informasi kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia, sebab didalamnya
1 Taufik abdullah, Metodologi Penelitian Keagamaan (yogykarta:PT. Tiara Wacana,
1991, hal 3. 2Ibrahim Eldeeb, Be A Living Qur‟an: Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-Ayat al-Qur‟an
dalam Kehidupan Sehari-hari, alih bahasa Faruk Zaini (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm.43. 3 Al-Sayid Muhammad bin Alawy Al-Maliky Al-Ḥasany. Qowā‟idul Asāsiyah Fi Ulūmil
Qur‟ān, alih bahasa Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulūmul Qur‟ān, (Pekalongan: Al-Asri, 2008,),
hlm. 22. Lihat Hadis Tentang Etika Membaca Al-Qur‟an. Imām Nawāwy berpendapat: “Saat-saat
yang terpilih untuk membaca al-Qur‟an; utamanya waktu dalam salat atau setelahnya, lalu pada
malam hari, pertengahan malam yang akhir, waktu antara Maghrib dan Isya kemudian pagi hari
adalah setelah shalat Subuh”.
2
memang terkandung hikmah abadi4, maka tradisi pembacaan surah pilihan dalam
al-Qur‟an harus tetap dilestarikan, karena membaca, menghayati serta
mengamalkan al-Qur‟an merupakan salah satu bagian terpenting dari ajaran Islam
bagi para penganutnya. Umat muslim diseluruh penjuru dunia meyakini
bahwasannya al-Qur‟an merupakan petunjuk kehidupan (Way of life) yang absolut
dan abadi (salih li kulli makan wa zaman). Seorang Muslim diperintahkan untuk
membaca al-Qur‟an dan terlebih mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar
memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat kelak. Namun, Ada berbagai model
pembacaan al-Qur‟an, mulai yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman
maknanya, sampai yang sekedar pembacaan surah-surah pilihan al-Qur‟an
sebagai ibadah ritual atau untuk memperoleh ketenangan jiwa.
Pada dasarnya keagungan al-Qur‟an tidaklah terletak pada ekspresi tentang
fenomena alam atau beberapa kisah-kisah sejarah. Melainkan kekuatan dan
keagungan al-Qur‟an terletak pada kedudukannya yang sebagai simbol yang
maknanya terus berkembang sepanjang zaman5. Selanjutnya dari makna diatas,
maka manusia dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai wacana untuk pedoman dan
pegangan hidup dalam memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.
Sudah menjadi kewajiban seseorang muslim untuk berinteraksi aktif
dengan al-Qur‟an, menjadikan sebagai sumber inspirasi, berfikir dan bertindak.
anjuran membaca secara khusyuk dan bersungguh-sungguh merupakan langkah
fundamental bagi seorang muslim agar dapat mengenal makna dan arti secara
luas. Kemudian diteruskan dengan tadabbur, yaitu dengan merenungkan dan
4 Harun Yahya, Misinterprestasi Terhadap Al-Qur‟an, alih bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Robbani Press, 2003), hlm.16. 5 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Mudhu‟i atas Pelbagai Persolan Umat,
cet 9, (bandung: Mizan, 1999), h.13.
3
memahami maknanya sesuai dengan petunjuk salaf as-salih, lalu
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dilanjutkan dengan
mengajarkannya6.
Membaca al-Qur‟an, sebagaimana pengklasifikasi interaksi manusia
dengan al-Qur‟an menurut hanafi merupakan tahap permulaan. Bahasa al-Qur‟an
yang sering digunakan mewakili membaca adalah qara‟a. Disamping itu, dalam
al-Qur‟an juga ada istilah tilawah. Kendatipun terjemahan dua kata ini sering
sama diterjemahkan dengan membaca hanya saja kesan penguatan makna disalah
satu kata ini nampak dengan terang usaha membaca satu tulisan tanpa memahami
maknanya sering digunakan kata qira‟ah, akan tetapi jika ada tuntutan untuk
memahami kandungan makna teks dalam al-Qur‟an seringkali memilih kata
tilawah7.
Proses membaca al-Qur‟an pada hakikatnya telah berlangsung semenjak
awal diturunkan wahyu petama kali kepada nabi muhammad SAW. Digua Hira
pada abad ke tujuh masehi. Aktivitas membaca al-Qur‟an merupakan satu bentuk
aktivitas sentral dalam keberagamaan seorang muslim8. Beragama upaya
ditempuh anak-anak muslim untuk mencapai hasil yang maksimal. Pada masa lalu
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa membaca al-Qur‟an. Belakangan
dijumpai beberapa metode yang mampu mempercepat tingkatan kemampuan
dalam membaca al-Qur‟an. Sebut saja misalnya metode Qira‟ati, iqra, yanbu al-
Qur‟an, al barqi, 10 jam belajar membaca al-Qur‟an dan sejumlah metode lainnya.
6 Muhammad Syauman Ar-Ramli,Keajaiban Membaca Al-Qur‟an, terj. Arif Rahman
Hakim (Solo :Insan Kamil,2007), hal 27. 7 M.Quraish Shihab, tafsir al-Mishbah vol.15 hal 454 lihat juga shihab, Dia Di Mana-
Mana, Tangan Tuhan Di Balik Setiap Fenomena,( Jakarta: Lentera Hati, Cet.XII, 2011) hal.222-
223. 8 Abdullah Saeed, The Qur‟an, an Introduction, (London and New York: Routledge,
2008) hal.84.
4
Dalam aplikasinya ditengah masyarakat, al-Qur‟an dibaca perorangan dan
juga terkadang dibaca bersama. Dibaca dalam secara reguler ayat demi ayat
bersambug surah demi surah sampai khatam. Disamping pembacaan yang bersifat
reguler ini ada juga individu muslim yang merutinkan membaca satu surah
tertentu pada waktu tertentu. Seperti membaca surah al-kahfi pada malam jum‟at
atau siang jum‟at, pembacaan surat yasin diwaktu ziarahan atau melayat tetangga
yang dapat musibah, yasinan diwaktu ziarahan atau melayat tetangga yang dapat
musibah, yasinan diwaktu khitanan, ada juga yang mengkhatamkan al-Qur‟an9.
Metode yang dapat digunakan untuk meneliti fenomena respon umat Islam
atau bacaan yang senantiasa berulang dalam ranah umat Islam atau bacaan yang
senantiasa berulang dalam ranah komunitas muslim adalah living Qur‟an. Dalam
dunia akademis, metode ini belum banyak disentuh pemerhati dan penelitian al-
Qur‟an. Hal ini dapat disimpulkan dari jumlah referensi yang masih sangat
terbatas. Berbeda halnya dengan penelitian teks al-Qur‟an yang sudah
berkembang lama dan menghasilkan literatur yang sangat bervarian. Dengan kata
lain, kajian ini tidak lagi berangkat dari eksistensi tekstualnya, melainkan pada
fenomena sosial yang berkembang dalam merespon kehadiran al-Qur‟an dalam
wilayah geografi tertentu dan waktu tertentu pula.10
Pemfungsian al-Qur‟an seperti itu muncul karena adanya praktek
pemaknaan al-Qur‟an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan
tekstualnya, tetapi berlandaskan anggapan adanya “Fadilah” dari unit-unit tertentu
teks al-Qur‟an, bagi kepentingan praktis kehidupan ke seharian umat.
9 Ibnu Katsir Memaparkan Fadhilah Membaca Surah-Surah Pilihan hal.1145.
10 Lihat Muhammad Yusuf, “ Pendekatan Sosiolgi Dalam Pendekatan Living Qur‟an “
Dalam Metode Penelitian Living Qur‟an Dan Hadits, (yogyakarta: Teras, 2007) hal 39.
5
Pada era kontemporer sekarang ini, dapat ditemukan beragam tradisi yang
telah melahirkan perilaku-perilaku komunal yang menunjukkan respons sosial
suatu komunitas atau masyarakat tertentu dalam meresepsi kehadiran al-Qur‟an.
Dalam kaitan ini, sebagai contoh adalah yang terus melestarikan beragam
perilaku komunal resepsi terhadap al-Qur‟an dalam kegiatan rutin para santri
Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga, baik putra maupun putri. Salah
satu dari kegiatan tersebut adalah pembacaan al-Qur‟an secara bersama surah
pilihan (surah Al-Hadid) ayat 1-6, yang dilaksanakan di aula masing-masing putra
dan putri Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga. Tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah pilihan ini merupakan kegiatan mingguan dan dilakukan secara
rutin pada setiap hari jum‟at pagi setelah sholat jama‟ah. Adapun surah yang
dibaca dan menjadikegiatan rutin adalah surah al-Hadid ayat 1-611
. Memang
menakjubkan, tampaknya, dalam pelajaran teologi, nama salah satu elemen kimia
dalam jadwal periodik, yaitu besi (Fe = Ferum) boleh menjadi salah satu judul
surah dalam kitab suci agama. Dan hal ini diperdebatkan sebagai salah satu hal
yang dianggap sebagai salah satu kelemahan al-Qur‟an. Tetapi itulah al-Qur‟an,
dan apakah ini akan menjadisalah satu kelemahan, atau malah salah satu pesona
yang tak dapat dibantah dari al-Qur‟an.
Sehingga pertanyaan bagi orang awam tentunya, karakter apa yang
menarik pada surah tersebut. Surat ini turun diantara masa-masa Perang Uhud,
pada awal terbentuknya Negara Islam diMadinah. Surah tersebut mempunyai
keutamaan mendatangkan pahala, manfaat yang bertambah banyak salah satunya
insaallah yang menjadi keinginan kita yang baik-baik akan dikabulkan oleh Allah
11
Al-Hadid, 57: 1-6.
6
SWT, Selamat dari senjata, Demam panas, bengkak-bengkak, Penawar was-was,
pendinding rumah, selain itu manusia diharapakan agar ia bersyukur kepada
Tuhan telah terciptanya bumi tempat kehidupan dan dapat mempelajari tentang
bumi, apa saja yang ada didalam bumi dan diluar bumi itu sendiri. Manusia itu
tetap mendapat petunjuk dari Tuhan untuk memelihara bumi sebagai karuniaNya.
Jika kita memelihara kebencian dan dendam, maka seluruh waktu dan pikiran
yang kita tidak mensyukuri penciptaan bumi. Tidak ada masalah dengan masalah,
yang menjadi masalah adalah cara kita mensyukuri atau tidak karunia Tuhan.
Dalam hati tiada yang lebih indah dari mensyukuri nikmat dari Tuhan.
Setiap muslim percaya bahwa tata kerja alam raya berjalan konsisten
sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Semua proses
penciptaan alam semesta ini berada dalam kendali dan perintah sang maha
pencipta, dengan bentuk yang sempurna. Hukum dan fenomenanya teratur dan
dapat meliputi ruang yang luas sampai pada unsur yang terkecil dialam semesta,
semua itu tunduk kepada satu pola dan susunan yang sama. Sungguh hanya Allah
yang menciptakan alam semesta ini degan berjuta galaksi, bintang dan planet yang
taat pada aturan yang ditetapkan untuk mereka secara sempurna.
Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang mengajarkan manusia untuk berfikir,
meneliti dan mengkaji pencipaan alam serta hukum-hukum yang berlaku
didalamnya. Ditegaskan pula kegiatan alam semesta serta hukum-hukum yang
berlaku didalamnya. Ditegaskan pula kegiatan dan kajian terhadap penciptaan
alam beserta hukum-hukunya yang berlaku merupakan usaha pemenuhan
kebutuhan manusia itu sendiri. Sebab manusia akan mendapat banyak manfaat
dari kegiatan tersebut, baik untuk kepentingan kehidupan dunia maupun
7
kepentingan akhirat. Setiap kali penelitian yang dilakukan manusia untuk
mengungkap rahasia-rahasia hukum alam, semakin disadari betapa rapi, teratur
dan menakjubkan penciptaan alam tersebut.12
.
Penciptaan alam semesta merupakan salah satu perkara penting, tidak
hanya termasuk pem pikiran Islam, akan tetapi juga dalam ilmu pengetahuan
kosmologi. Dengan memperlihatkan langit dan bumi, dapatlah manusia meyakini
bahwa alam ini tidak dijadikan Allah dengan main-main, melainkan mengandung
faedah yang mendalam dari segi keimanan.
Al-Qur‟an mengandung berbagai permasalahan, ternyata pembicaraanya
dalam satu permasalahan tidak tersusun secara sistematis seperti yang dikenal
dalam buku-buku ilmiah. Metode pengungkapan al-Qur‟an pada umumnya
bersifat universal, bahkan tidak jarang al-Qur‟an menampilkan suatu masalah
dalam prinsip-prinsip pokok saja. Inilah salah satu perbedaan adalah tujuan yang
hendak dicapai, yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini tidak berarti al-Qur‟an
menipiskan ilmu pengetahuan kapan dan dimana pun, al-Qur‟an menempatkan
ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi.
Demikian juga halnya dengan informasi alam semesta dalam al-Qur‟an.
Permasalahan ini diungkapkan dalam berbagai ayat yang terdapat pada beberapa
surat dalam al Qur‟an salah satunya dalam surah al-Hadid yang didalamnya
sedikit disinggung mengenai hal tersebut yang artinya: Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam diatas ´arsy dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya
12
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997),
hlm.231-132.
8
dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . dan dia bersama
kamu dimama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. Hal itu sekaligus akan menyadarkan santri panti asuhan Darul Hadlanah
NU kota salatiga, betapa Allah maha bijaksana, maha mengetahui dan maha luas
pengetahuannya dan maha besar semua ciptaaNya. Hal tersebut santri panti
asuhan Darul Hadlanah dalam meresepsi kehadiran al-Qur‟an dalam kaitanya
melestarikan beragam perilau komunal resepsi terhadap al-Qur‟an adalah dengan
pembacaan al-Qur‟an secara bersama-sama surah pilihan (al-Hadid ayat1-6).
Menurut pengasuh Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga,
kegiatan tersebut telah ada dan dimulai sejak adanya hajat pembangunan panti
asuhan putra ( Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga) , beliau
memimpin langsung kegiatan tersebut setelah selesai salat fardu berjama‟ah.
Kegiatan ini terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sampai
pada saat ini pembacaan al-Qur‟an surat pilihan (surah al-Hadid ayat 1-6) masih
terlaksana dan diikuti oleh semua santri. Berangkat dari fenomena ini, penulis
tertarik untuk meneliti dan mengkaji model resepsi tersebut lebih mendalam.
Kegiatan ini telah berlangsung dari awal berdirinya Panti Asuhan Darul Hadlanah
NU Kota Salatiga sampai pada saat ini masih dilaksanakan secara rutin dan
diikuti oleh semua santri. Bagi penulis, fenomena ini menarik untuk dikaji dan
diteliti sebagai model alternatif bagi suatu komunitas sosial dan lembaga
pendidikan untuk selalu berinteraksi dan bergaul dengan al-Qur an.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil pokok-pokok
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi dan prosesi pelaksanaan pembacaan al-Qur‟an surah al-
Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga?
2. Apa makna tradisi pembacaan al-Qur‟an surah Al-Hadid ayat 1-6 dipanti
asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga bagi para santri yang mengikuti?
3. Apa fakor penghambat dan pendukung dengan adanya tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6?
C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dan manfaat yang ingin kami capai dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menjelaskan bagaimana prosesi dan tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota
Salatiga.
2. Mengetahui apa makna tradisi pembacaan serta penghambat dan pendukung
dengan adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an surah Al-Hadid ayat 1-6 dipanti
asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga bagi para pelaku tradisi yang
mengikuti, yaitu para santri, para pengurus panti asuhan Darul Hadlanah NU
Kota Salatiga.
10
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini secara garis besar, sebagai berikut:
1. Dari aspek akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka
diskursus living Quran, sehingga diharapkan bisa berguna terutama bagi yang
memfokuskan pada kajian sosio-kultural masyarakat Muslim dalam
memperlakukan, memanfaatkan atau menggunakan al-Qur‟an.
2. Secara praktis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam berinteraksi dengan al-Qur‟an. Khususnya bagi
para santri panti asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga agar semakin
menumbuhkan cinta terhadap al-Qur‟an; baca, pahami dan aplikasikan dalam
kehidupan.
E. Tinjauan Pustaka
Secara umum, penelitian maupun karya tulis ilmiah mengenai kajian living
Qur‟an memang masih belum banyak dilakukan. Mayoritas penelitian dan karya
tulis yang telah ada masih berkenaan dengan literatur atau teks-teks al-Qur‟an
dan kajian kepustakaan. Seiring perkembangan dalam studial-Qur‟an, kajian
tersebut tidak hanya berkutat pada teks. Akan tetapi, harus juga melihat realitas
sosial masyarakat dalam mensikapi, merespon kehadiran al-Qur‟an. Sehingga
turut mendorong penulis untuk melakukan penelitian lapangan terkait fenomena
respons suatu komunitas sosial terhadap al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu penting untuk melakukan tinjauan pustaka, dimaksud
sebagai deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah
dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa
kajian atau yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikat
11
dari kajian atau penelitian yang telah ada. Beberapa penelitian yang hadir
seputar kajian atau penelitian adalah sebagai berikut :
Tesis pada UIN Yogyakarta tahun 2009, yang ditulis oleh Khoirul Ulum
dengan judul “Pembacaan al-Qur‟an dilingkungan Jawa Timur (Studi Masyarakat
Grujugan Bondowoso). Dalam tesis tersebut, Khoirul Ulum menjelaskan tentang
tradisi membaca al-Qur‟an masyarakat dilokasi penelitian, yang dapat
dikelompokkan menjadidua, yaitu tradisi yang bersifat rutin, seperti Khatmil
Qur‟an dan Yasinan, dan tradisi yang bersifat insidental sesuai dengan kehendak
sohibul hajat. Adapun tujuan pembacaanya adalah: 1) Untuk ibadah; 2) Sebagai
Obat; dan 3) Sebagai perlindungan dihari akhir.
Skripsi pada UIN Yogyakarta tahun 2013, yang ditulis oleh Didik
Andriawan dengan judul “Penggunaan Ayat al-Qur‟an Sebagai Pengobatan (Studi
living Qur‟an pada Praktek Pengobatan Dr. KH. Komari Safulloh, Pesantren
Sunan Kalijaga, Desa Pakuncen, Kecamatan Patianrowo, Kabupaten Nganjuk).
Dalam skripsi tersebut, Didik Andriawan menjelaskan bahwa dalam praktek
pengobatan yang dilakukan oleh Dr. KH. Komari Safulloh digunakan surat-surat
atau ayat-ayat tertentu didalam al-Qur‟an, seperti Surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas,
surat al-Falaq, Surat al-Nas, surat al-Baqarah: 225, surat al-Naml: 30, surat al-
Saffat: 79-80, dan beberapa ayat lainnya dalam al-Qur‟an, yang seringkali tidak
ada kaitan antara makna ayat dengan penyakit yang diobatinya. Semua yang
dilakukannya berdasarkan intuisi serta keyakinan terhadap ayat-ayat tersebut.
Beberapa karya yang cukup relevan dengan judul yang penulis angkat
diantaranya adalah “ Pengajian al-Qur‟an surat surat pilhan (living Qur‟an
12
dipondok pesantren man‟baul hikam sidoarjo)” Ahmad Zainal Musthofa, Nim.
11531012 (2015) Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Dalam skripsi
tersebut ayat-ayat pilihan antara lain surah al-Waqiah dan surah yasin, Adapun
mengenai asal-usul pengetahuan pengajian al-Qur‟an tersebut adalah dominasi
ajaran Thariqah al-Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah dari jalur Kyai Romli
Tamim, Rejoso dan adanya riwayat yang menjelaskan fadilah al-Qur‟an surat-
surat tertentu13
.
Karya yang lain dalam jurnal studi ilmu al-Qur‟an dan hadis vol 15, no 1,
januari 2014 karya Siti Fauziah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta dengan
judul “Pembacaan al-Qur‟an surah-surah pilihan dipondok pesantren Daar Al-
Furqon Janggalan Kudus” dalam jurnal tersebut disebutkan surah-surah pilihan
antara lain al-Mulk, al-Waqiah, ad-Dukhan, ar-Rahman,dan yasiin, pembacaan
al-Qur‟an tersebut dilaksanakan sebagai wiridan yang bertujuan untuk
memberikan keesadaran tentang arti penting kehidupan dipondok pesantren
dengan memberikan suatu perasaan bahwa setiap individu dari santri tersebut
adalah bagian dari pondok pesantren dengan memastikan bahwa ada pemisah
antara yang sakral dan keadaan yang profan14
.
Karya yang cukup relevan dalam jurnal syahada vol.IV No.2 Oktober
2016 karya Syahrul Rahman alumus Institut Sains Al-Qur‟an Syaikh Ibrahim
Rokan Hulu dengan judul “ Studi kasus pembacaan al-Ma‟tsur dipesantren
Khlid bin Walid Pasir Pengaraian kabupaten Rokan Rahman” dalam jurnal
13
Ahmad Zainal Musthofa, Pengajian al-Qur‟an surat surat pilhan (living quran di
pondok pesantren man‟baul hikam sidoarjo), Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta:
2015. 14
Siti Fauziah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, Pembacaan al-Qur‟an surah-
surah pilihan di pondok pesantren Daar Al-Furqon Janggalan Kudus: jurnal studi ilmu al-Qur‟an
dan hadis vol 15, no 1, januari 2014.
13
tersebut disebutkan bahwa pembacaan al-Ma‟tsur antara lain adalah surah al-
Fatihah, surah al-Baqarah ayat 1-5, surah al-Baqoroh ayat 255-257, surah al-
Baqarah ayat 284-286, surah al-Ikhlas, surah al-Falaq, surah an-Nas. Pembacaan
tersebut bertujuan untuk membiasakan santri berdzikir dan berdoa dengan doa
yang berasal dari ayat al-Qur‟an dan hadis dari nabi Muhammad SAW karena
secara bahasa al-Ma‟tsur berarti kalimat atau dalam hal ini do‟a dan dzikir yang
berasal dari nabi Muhammad15
.
Referensi tersebut diatas memberikan sumbangan yang sangat berarti
dalam mengkonstruksikan penelitian ini agar dapat menyajikan analisis yang
tepat. Berdasarkan telah pustaka yang penulis sajikan, ternyata belum ada yang
mengangkat tema ini dan melakukan pembahasan secara komprehensif.
F. Kerangka Teori
Studi al-Qur‟an (tafsir) selalu mengalami perkembangan, dipandang
sebagai ilmu bantu bagi ilmu Ulumul Qur‟an, seperti linguistik, hermenetika,
sosiologi, antropologi dan ilmu komunikasi. Hal ini terkait dengan objek
penelitian dalam kajian al-Qur‟an. Secara garis besar objek penelitian Qur‟an
dapat dibagi dalam tiga bagian. Pertama, penelitian yang menempatkan teks al-
Qur‟an sebagai objek kajian. Dalam hal ini, teks al-Qur‟an diteliti dan dianalisis
dengan metode dan pendekatan tertentu, sehingga peneliti dapat menemukan
sesuatu yang diharapkan dari penelitiannya.
Amin al-Khuli menyebut penelitian yang menjadikan teks al-Qur‟an
sebagai obyek kajian dengan istilah dirasat ma fin-nass. Yang mana konsep
15
Syahrul Rahman alumus Institut Sains Al-Qur‟an Syaikh Ibrahim Rokan Hulu, Studi
kasus pembacaan al-ma‟tsur di pesantren khlid bin walid pasir pengaraian kabupaten Rokan
Rahman: jurnal syahada vol.IV No.2 Oktober 2016.
14
Qur‟ani yang dipahami melalui penelitian tersebut diharapkan dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya mengatasi problema kehidupan tertentu
atau bahkan dengan tujuan mendapatkan ridho Allah dan kebahagian baik didunia
maupun akhirat.
Kedua, penelitian yang menempatkan hal-hal diluar teks al-Qur‟an, namun
berkaitan erat dengan kemunculannya, sebagai obyek kajian. Penelitian ini disebut
al-Khuli dengan dirasat ma hawlal Qur‟an (studi tentang apa yang ada disekitar
teks al-Qur‟an16
). Seperti kajian tentang asbabun nuzul, sejarah penulisan dan
pengkodifikansian teks dan lain-lain.
Ketiga, penelitian yang menjadikan pemahaman terhadap teks al-Qur‟an
sebagai objek penelitian. Hasil dari penafsiran ini kemudian dijadikan
pembahasaan. Selain itu, peneliti juga bisa menganalisis faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi penafsiran seseorang.
Keempat, penelitian yang memberikan perhatian pada respon masyarakat
terhadap teks al-Qur‟an dan hasil penafsiran seseorang. Teks al-Qur‟an yang
hidup dalam masyarakat itulah yang disebut dengan The Living Qur‟an,
sementara pelembagaan hasil penafsiran tertentu dalam masyarakat dapat
dikatakan dengan The Living Tafsir. Penelitian semacam ini merupakan bentuk
16
Amin al-Khuli dan Nasīr Hamid, Metode Tafsir Sastra, alih bahasa Khairon Nahdiyyin
(Yogyakarta: Adab Press, 2004), hlm. 64.
15
penelitian yang menggabungkan antara cabang ilmu al-Qur‟an dengan cabang
ilmu sosial, seperti sosiologi dan antorpologi17
.
Penelitian living Qur‟an sebagai sebuah tawaran paradigma alternatif yang
menghendaki bagaimana feedback dan respon masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari (everyday life) dapat dibaca, dimaknai secara fugsional dalam konteks
fenomena sosial. Karena itu, al-Qur‟an yang dipahami masyarakat Islam dalam
pranata sosialnya merupakan cerminan dari fugsional al-Qur‟an itu sendiri.
Sehingga respon mereka terhadap al-Qur‟an mampu membentuk pribadinya,
bukan sebaliknya dunia sosial yang membentuknya, melainkan al-Qur‟an
menentukan dunia sosial. Wajar jika kemudian muncul ragam fenomena dalam
everyday life ketika menyikapi al-Qur‟an oleh masyarakat tertentu dan mungkin
dalam waktu tertentu pula sebagai sebuah pengalaman sosial atau spiritual dari
hasil interaksi terhadap al-Qur‟an.
Bagi umat Islam al-Qur‟an merupakan kitab suci yang menjadi manhaj
al-hayat. Mereka disuruh untuk membaca agar memperoleh kebahagian dunia
akhirat. Dalam realitanya, fenomena membaca al-Qur‟an sebagai sebuah apresiasi
dan respon umat Islam ternyata beragam. Ada berbagai model membaca al-
Qur‟an, mulai yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman maknanya,
sampai yang sekedar membaca al-Qur‟an sebagai ibadah ritual atau untuk
memperoleh ketenangan jiwa. Apapun model pembacaan, yang jelas kehadiran al-
Qur‟an telah melahirkan berbagai bentuk respon masyarakat dan peradaban yang
sangat kaya. Dalam istilah Nasir Hamid, al-Qur‟an kemudian menjadi muntij as-
17
Sahiron Syamsuddin, (ed.). Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis,
(Yogyakarta: TH-Press TERAS, 2007), hlm. VI-XIV. Kata Pengantar dalam Ranah-ranah
Penelitian Studi al-Qur‟an dan Hadis oleh: Sahiron Syamsuddin.
16
saqafah (produsen peradaban). Mengingat teks al-Qur‟an memiliki peran nyata
dalam terbentuknya peradaban umat Islam-Arab sebagai hadarah an-nass
(peradaban teks)18
. Kajian dalam bidang living Qur‟an memberikan kontribusi
yang signifikan bagi pengembangan wilayah objek kajian al-Qur‟an. Jika selama
ini ada kesan bahwa tafsir dipahami harus berupa teks grafis (kitab atau buku)
yang ditulis. Tafsir bisa berupa respon atau praktik suatu masyarakat yang
diinspirasikan oleh kehadiran al-Qur‟an. Dalam bahasa al-Qur‟an hal ini disebut
dengan tilawah, yakni pembacaanya yang berorientasi kepada pengalaman
(action) yang berbeda dengan qira‟at (pembacaan yang berorientasi pada
pemahaman atau understanding). Disisi lain bahwa kajian living Qur‟an juga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat,
sehingga mereka lebih maksimal dalam mengapresisikan al-Qur‟an19
.
Menurut Yusuf, pendekatan sosiologi adalah penelitian living Qur‟an,
teori yang digunakan dalam penelitiannya adalah apa yang diutarakan oleh Keith
A. Robert dan dikutip oleh Imam Suprayogo, bahwa penelitian berbasis sosiologi,
termasuk kajian living Qur‟an. Penelitian ini menfokuskan terhadap dua hal,
yaitu: Pertama, pengelompokan lembaga agama, meliputi, pembentukannya,
kegiatan demi keberlangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembubarannya.
Kedua, prilaku individu dalam kelompok-kelompok yang mempengaruhi status
keagamaannya dalam prilaku ritual20
.
18
Muhammad Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolinguistik: memahami huruf Muqātha‟ah dalam
al-Qur‟an (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 14. 19
Sahiron Syamsuddin, (ed.). op. cit., hlm. 65-69. 20
Imam Suprayogo dan Tabroni: Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT.
Remaja Rosadakarya, 2003), hlm, 63-65.
17
Dalam kajian living Qur‟an, paradigma yang diperlukan tidak sama
dengan paradigma yang digunakan untuk mengkaji al-Qur‟an, sebagai sebuah
kitab (teks). Akan tetapi tidak dalam kajian living Qur‟an yang dimaknai secara
metaforis dan merupakan sebuah model, karena teks yang sesungguhnya adalah
gejala sosial itu sendiri, bukan kitab surat atau ayat21
.
G. Sitematika Penulisan
Sebagai upaya untuk mempermudah dalam menyusun dan memahami
penelitian ini secara sistematis, maka penulis menggunakan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab pertama: Pendahuluan, yang menjelaskan tentang Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka
Teori, Kajian Pustaka, Sistematika Penulisan.
Pada bab kedua, akan memuat tentang kerangaka teori yang didalamnya
memuat tentang definisi living Qur‟an, sejarah living Qur‟an serta arti penting
kajian living Qur‟an. Dan Dalam bab ini menjelaskan tentang surah al-Hadid ayat
1-6, yang meliputi: Isi kandungan surat al-Hadid ayat 1-6 dan keutamaan surat al-
Hadid ayat 1-6 yang meliputi: Keutamaan surat al-Hadid ayat 1-6 dalam kitab
tafsir.
Bab ketiga: Dalam bab ini menjelaskan tetang Metode Penelitian yang
meliputi:pendekatan penelitian, jenis penelitian, lokasi penelitian,kehadiran
21
Syairon Syamsuddin (ed), Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis
(Yogyakarta : TH-Press, 2007), hlm. 22-31.
18
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, uji
keabsahan data, tahap-tahap penelitian.
Bab ke empat: Hasil penelitian yaitu memuat gambaran dipanti asuhan
Darul Hadlanah NU kota Salatiga dan Pembacaan Surat al- Hadid. Pada bab ini
berisi dua sub judul, Pertama; dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga,
yang meliputi: Sejarah berdirinya, Riwayat hidup pengasuh, Struktur Organisasi
Panti asuhan, Dewan Pengajar / Ustad dan Ustadzah, Santri, Kegiatan Santri,
Sarana Prasarana Panti Asuhan. Kedua; Pembacaan Surat al-Hadid ayat 1-6, yang
meliputi: Tradisi pembacaan surat al-Hadid ayat1-6, Majlis Ta‟lim pembacaan
surat al-Hadid ayat 1-6, tatacara pembacaan surat al-Hadid ayat 1-6, tujuan
pengasuh dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga, dasar pemahaman
pengasuh dan para ustad dan ustazah serta santri dipanti asuhan Darul Hadlanah
NU kota Salatiga terhadap keistimewaan surat al-Hadid ayat 1-6.
Bab ke lima: memuat tentang analisis
Bab ke enam : Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan. Kesimpulan
tersebut menjelaskan tentang hasil penelitian, Saran-saran dan rekomendasi akhir
dari penelitian. Daftar Pustaka dan data dari hasil observasi maupun wawancara.
Lampiran-lampiran, Dalam lampiran berisikan bukti surat izin penelitian, surat
keterangan penelitian, foto-foto (dokumentasi) dari lapangan penelitian.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Living Qur‟an
1. Definisi Living Qur‟an
living Qur‟an ditinjau dari segi bahasa adalah gabungan dari dua kata
yang berbeda, yaitu living, yang berarti hidup dan Qur‟an yaitu kitab suci
umat Islam. Secara sederhana istilah living Qur‟an bisa diartikan dengan
(Teks) al-Qur‟an yang hidup dimasyarakat22
.
Studial-Qur‟an sebagai sebuah upaya sistematis terhadap hal-hal yang
terkait langsung atau tidak langsung dengan al-Qur‟an pada dasarnya sudah
dimulai sejak zaman rasul. Hanya saja pada tahap awalnya semua cabang
ulum al-Qur‟an dimulai dari praktek yang dilakukan generasi awal terhadap
dan demi al-Qur‟an, sebagai wujud penghargaan dan ketaatan pengabdian.
Ilmu Qira‟at, Rasm al-Qur‟an, asbab al-nuzul dan sebagainya dimulai dari
praktek generasi pertama al-Qur‟an (Islam). Baru pada era takwin atau
formasi ilmu-ilmu keIslaman pada abad berikutnya, praktek-praktek terkait
dengan al-Qur‟an ini disistematiskan dan dikodifikasikan, kemudian lahirlah
cabang-cabang ilmu al-Qur‟an23
.
Secara umum kajian living Qur‟an artinya mengkaji al-Qur‟an sebagai
teks-teks yang hidup bukan teks-teks yang mati. Pendekatan living Qur‟an
menekankan aspek fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk dan rahmat bagi
22
Sahiron Syamsuddin, Ranah-Ranah Penelitian dalam Studi al-Qur‟an dan Hadis,
dalam Sahiron Syamsuddin (ed), Metode Penelitian Living Qur‟an dan hadis (Yogyakarta: Teras,
2007). 23
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007.
20
manusia dan orang-orang yang beriman, tetapi in juga bisa memasukkan
peranan al-Qur‟an dalam berbagai kepentingan dan konteks kehidupan, baik
yang beriman maupun yang tidak beriman, pendekatan ini juga mengkaji
produk penafsiran dan relevansinya bagi persoalan masyarakat kini dan
disini. Al-Qur‟an merupakan firman lisan (spoke word), bersama atau
belakangan lalu menjadi scripture (kitab) dan kemudian menjadi literature
dalam studi agama-agama. Bagi William Graham yang membahas makna
kitab, Qur‟an, kalam, Qira‟ah. Al-Qur‟an adalah firman tertulis yang
dilisankan (a written word that is spoken) karenanya, kajian teks agama
harus melampaui firman lisan dan firman tertulis24
.
Bagi pengkaji berorentasi akademis, kajian living Qur‟an artinya
memahami dan menjelaskan mengapa dan bagaimana al-Qur‟an dipahami
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang seharusnya menurut kaidah-
kaidah tafsir itu. Ia tidak mengkaji sejauh mana pemahaman dan penerapan
al-Qur‟an itu memenuhi sebagian atau tidak kaedah-kaedah penafsiran yang
dianggap otoritatif25
.
Terkait dengan lahirnya cabang-cabang ilmu al-Qur‟an ini, ada satu hal
yang di catat, yakni bahwa sebagian besar, kalau tidak malah semuanya,
berakar pada problem-problem tekstualitas Qur‟an. cabang-cabang ilmu al-
Qur‟an ada yang terkonsentrasi pada aspek internal teks ada pula yang
memusatkan perhatiannya pada aspek eksternalnya seperti asbab al-nuzul
24
William Graham, “The Qur‟an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the
Understanding of Scripture,” Richard Martin, ed., Approaches to Islam in Religious Studies
(Oxford: Oneworld, 2001 hal 23-40. 25
Jurnal of al-Qur‟an dan hadis: Vol. 4, No. 2, (2015): kajian Naskah dan Kajian Living
Qur‟an dan Hadist, Associate Professor, Religious Studies Department, University of California,
Riverside; Dosen Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadisth, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal 147.
21
dan tarikh al-Qur‟an yang menyangkut penulisan, penghimpunan hingga
penerjemahannya. Sementara praktek-praktek tertentu yang berjudul
penarikan al-Qur‟an ke dalam kepentingan praktis dalam kehidupan umat
diluar aspek tekstualnya nampak tidak menarik perhatian para peminat studi
al-Qur‟an klasik.
Dengan kata lain living Qur‟an yang sebenarnya bermula dari fenomena
Qur‟an in everday life, yakni makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil
dipahami dan dialami masyarakat muslim, belum menjadi obyek studi bagi
ilmu-ilmu al-Qur‟an konvensional (Klasik). Bahwa fenomena ini sudah ada
embrionya sejak masa yang paling dini dalam sejarah Islam adalah benar
adanya, tetapi bagi dunia muslim yang saat itu belum terkontaminasi oleh
berbagai pendekatan ilmu sosial yang notabene produk dunia barat, dimensi
sosial cultural yang membayang-bayangi kehadiran al-Qur‟an tampak tidak
mendapat porsi sebagai obyek studi26
.
Sebenarnya sebab-sebab yang melatarbelakangi kenyataan bahwa
ulumul-Qur‟an lebih tertarik pada dimensi tekstual al-Qur‟an, diantaranya
terkait dengan penyebaran paradigma ilmiah ke dalam wilayah kajian agama
pada umumnya. Sebelum paradigma ilmiah dengan orentasi obyektifnya
merambah dunia studi agama (Islam), maka kajian atau studi Islam
termasuk studi al-Qur‟an lebih berorentasi pada keberpihakan keagamaan.
Artinya, ilmu-ilmu al-Qur‟an sengaja dilahirkan dalam rangka menciptakan
satu kerangka acuan normative bagi lahirnya penafsiran al-Qur‟an yang
memadai untuk membackup kepentingan agama. Itulah mengapa berbagai
26
Abdul mustaqim dkk, metodologi penelitian living Qur‟an , (Yogjakarta:TERAS,
2007) hal 5-8.
22
dimensi tekstual Qur‟an lebih diunggulkan sebagai obyek kajian. Itulah pula
mengapa dahulu ilmu ini merupakan spesialisasi bagi para ulama usaha
pengembangan ilmu-ilmu kegamaan murni27
.
Tampaknya studi Qur‟an yang lahir dari latar belakang paradigma
ilmiah murni, diawali oleh para pemerhati studi Qur‟an non muslim. Bagi
mereka banyak hal yang menarik disekitar Qur‟an ditengah kehidupan kaum
muslim yang berwujud berbagai fenomena sosial. Misalnya fenomena sosial
terkait dengan pelajaran membaca al-Qur‟an dilokasi tertentu, fenomena
penulisan bagian-bagian tertentu dari al-Qur‟an ditempat tempat tertentu,
pemenggalan unit-unit al-Qur‟an yang kemudian menjadi formula
pengobatan, do‟a dan sebagainya yang ada dalam masyarakat muslim
tertentu tapi tidak dimasyarakat muslim lainnya. Model studi menjadikan
fenomena yang hidup ditengah masyarakat muslim terkait dengan Qur‟an
ini sebagai obyek studinya, pada dasarmya tidak lebih dari studi sosial
dengan keraguannya. Hanya karena fenomena sosial ini muncul lantaran
kehadiran Qur‟an, maka kemudian diinisiasikan ke dalam wilayah studi
Qur‟an. pada perkembangan kajian ini dikenal dengan istilah living
Qur‟an28
.
Konsekuensi dari obyek studi berupa fenomena sosial ini adalah
diperlukannya berbagai perangkat metodologi ilmu-ilmu sosial yang belum
tersedia dalam khasanah ilmu al-Qur‟an klasik. Signifikansi akademisnya
tentu tidak lebih dari mengeksplorasi dan mempublikasikan kekayaan ragam
27
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal.6. 28
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 7.
23
fenomena sosial terkait dengan Qur‟an diberbagai komunitas muslim dalam
batas-batas kepentingan ilmiah yang tidak berpihak. Berbeda dengan studi
Qur‟an yang obyeknya berupa tekstualitas Qur‟an maka studi Qur‟an yang
obyek kajiannya berupa fenomena lapangan semacam ini tidak memiliki
kontribusi langsung bagi upaya penafsiran al-Qur‟an yang lebih bermuatan
agama. Tetapi pada tahap lanjut, hasil dari studi sosial Qur‟an dapat
bermanfaat bagi agamanya untuk dievaluasikan dan ditimbang bobot
manfaat dan madlarat berbagai praktek tentang Qur‟an yang dijadikan
obyek studi29
.
Adalah tokoh-tokoh Neal robinson, Farid Essac atau Nasr Abu Zaid,
para pemerhati studi Qur‟an atas dasar paradigma ilmiah, yang merintis
memasuki wilayah baru studi Qur‟an ini. Farid Essac lebih banyak
mengeksplorasi pengalaman tentang Qur‟an dilingkungannya sendiri,
sedang Neal Robinson mencoba bagaimana pengalaman Taha Husen dalam
mempelajari al-Qur‟an dimesir, bagaimana pengalaman komunitas muslim
dianak benua India tentang Qur‟an dan sebaginya30
.
2. Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah
Jika ditelisik secara historis, praktek memperlakukan al-Qur‟an, surat-
surat atau ayat tertentu didalam al-Qur‟an untuk kehidupan praktis umat,
pada hakekatnya sudah terjadi sejak masa awal Islam, yakni pada masa
Rasulullah SAW. Sejarah mencatat, Nabi Muhammad dan para sahabat
pernah melakukan praktek ruqyah, yaitu mengobati dirinya sendiri dan juga
29
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 8.
30
Neal Robinson, Discovering the Qur‟an (London: SCM press, 1996), h. 14-24.
24
orang lain yang menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat tertentu
didalam al-Qur‟an31
.
Hal ini didasarkan atas sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dalam shahih al-Bukhari. Dari Aisyah r.a berkata bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah membaca surat al-Mu‟awwidhatain, yaitu
surah al-Falaq dan an-Nas ketika beliau sedang sakit sebelum wafatnya32
.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa sahabat Nabi pernah mengobati
seseorang yang tersengat hewan terbiasa dengan membaca al-Fatihah33
. Dari
beberapa keterangan riwayat hadis diatas, menunjukkan bahwa praktek
interaksi umat Islam dengan al-Qur‟an, bahkan sejak masa awal Islam,
dimana nabi Muhammad SAW, masih hadir ditengah-tengah umat, tidak
sebatas pada pemahaman teks semata, tetapi sudah menyentuh aspek yang
sama sekali diluar teks.
Jika kita cermati, praktek yang dilakukan Nabi Muhammad SAW
dengan membaca surat al-Mu‟awwidhatain untuk mengobati sakitnya, jelas
sudah diluar teks. Sebab secara semantic tidak ada kaitan antara makna teks
dengan penyakit yang diderita oleh Nabi Muhammad SAW. Demikian juga
halnya dengan praktek yang lakukan oleh sahabat Nabi yang membacakan
surat al-Fatihah untuk mengobati orang yang terkena sengatan kalajengking.
31
Didi Djunaedi, living Qur‟an (sebuah pendekatan baru dalam kajian al-Qur‟an), dalam
Journal of Qur‟an and Hadisth Studies – Vol. 4, No. 2, (2015): h. 176 . 32
Imam al-Bukhari, shahih al-Bukhari, Bab Al-Raqa bi Al-Qur‟an, CD Rom, Maktabah
al-Shamilah, al-Isdar al-Thani, t.t. 33
Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Bab Al-Raqa Bi Fatihat Al-Kitab, CD Rom ,
Maktabah Al-Shamilah, Al-Isdar Al-Thani, t.t.
25
Secara makna, rangkaian surat Al-Fatihah sama sekali tidak ada kaitanya
dengan sengatan kalajengking34
.
Dari beberapa praktek interaksi umat Islam masa awal, dapat dipahami
jika kemudian berkembang pemahaman dimasyarakat tentang fadhilah atau
khasiat serta keutamaan surat-surat tertentu atau ayat-ayat tertentu didalam
al-Qur‟an sebagai obat dalam arti yang sesungguhnya yaitu untuk
menyembuhkan penyakit fisik. Disamping beberapa fungsi tersebut, al-
Qur‟an juga tidak jarang digunakan masyarkat untuk menjadi solusi atas
persoalan ekonomi, yaitu sebagai alat untuk memudahkan datangnya
rezeki35
.
Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa sebetulnya yang dimaksud
dengan living Qur‟an dalam konteks ini adalah kajian atau penelitian ilmiah
tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran Qur‟an atau
keberadaan al-Qur‟an disebuah komunitas muslim tertentu. Penelitian
ilmiah disini perlu dikemukakan untuk menghindari dimasukkannya
tendensi keagamaan yang tentu dengan tendensi ini berbagai peristiwa
tersebut akan dilihat dengan kacamata ortodoksi yang ujung-ujungnya
berupa vonis hitam putih sunnah-bid‟ah, syar‟iyah-ghairu syar‟iyah atau
meminjam istilah yang agak berimbang dengan istilah living Qur‟an maka
peristiwa tersebut sebetulnya lebih tepat disebut The Dead Qur‟an. artinya
jika dilihat dengan kacamata keislaman (sebagai agama), tentu peristiwa
34
Didi Djunaedi, living Qur‟an (sebuah pendekatan baru dalam kajian al-Qur‟an), dalam
Journal of Qur‟an and Hadisth Studies – Vol. 4, No. 2, (2015): h. 177. 35
Didi Djunaedi, living Qur‟an (sebuah pendekatan baru dalam kajian al-Qur‟an), dalam
Journal of Qur‟an and Hadisth Studies – Vol. 4, No. 2, (2015): h. 178.
26
sosial dimaksud berarti telah membuat teks-teks Qur‟an tidak berfungsi, dan
hanya dapat diaktualisasikan secara benar jika bertolak dari praktek
perlakuan atas Qur‟an dalam kehidupan kaum muslim sehari-hari tidak
bertolak dari pemahaman yang benar (secara agama) atas kandungan teks
Qur‟an36
.
Misalnya Qur‟an memang mengklaim dirinya sebagai syifa‟ yang
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai obat, tetapi ketika unit-unit
tertentu darinya dibacakan untuk mengusir jin atau syetan yang konon
merasuk ke dalam tubuh manusia, maka bukan berarti praktek ini
berdasarkan pemahaman atas kandungan teks al-Qur‟an. dari sudut pandang
Islam tentu praktek ini berarti menunjukkan the dead Qur‟an, tetapi sebagai
fakta sosial, praktek semacam ini tetap berkaitan dengan Qur‟an dan betul-
betul terjadi ditengah komunitas muslim tertentu. Itulah yang kemudian
perlu dijadikan obyek studi baru bagi para pemerhati studi Qur‟an dan untuk
menyederhanakan ungkapan, maka digunakan istilah living Qur‟an37
.
Praktek-praktek semacam ini dalam bentuknya yang paling sederhana
pada dasarnya sudah sama dengan usia Qur‟an itu sendiri. Namun, pada
periode yang cukup panjang praktek-praktek diatas belum menjadi obyek
kajian penelitian Qur‟an. Baru pada tanggal terakhir sejarah studi Qur‟an
kajian tentang praktek-praktek ini diinisiasikan ke dalam wilayah studi
Qur‟an oleh para pemerhati studi Qur‟an kontemporer38
.
36
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 9. 37
Mansur, M. dkk “pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.) Metode
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 10. 38
Ibid hal 10
27
3. Arti Penting Kajian Living Qur‟an
Kajian living Qur‟an memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pengembangan wilayah objek kajian al-Qur‟an. jika selama ini ada kesan
bahwa yang ditulis oleh seseorang, maka makna tafsir sebenarnya bisa
diperluas. Tafsir bisa berupa respons atau praktik perilaku suatu masyarakat
yang diinspirasi oleh kehadiran al-Qur‟an. dalam bahasa al-Qur‟an hal ini
disebut dengan tilawah yakni pembacaan yang berorentasi kepada
pengalaman (action) yang berbeda dengan Qira‟ah (pembacaan yang
berorentasi pada pemahaman atau (understanding)39
.
Bagi mahasiswa jurusan tafsir sendiri, kajian living Qur‟an
merupakan tanah baru yang belum banyak disentuh oleh mereka. Terbukti
kebanyakan skripsi masih berkutat pada kajian teks. Maka kajian ini dapat
memperluas objek penelitian tersebut.
Di sisi lain adalah bahwa kajian living Qur‟an juga dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka
lebih maksimal dalam mengapresiasi al-Qur‟an. sebagai contoh, apabila
dimasyarakat terdapat fenomena menjadikan ayat-ayat al-Qur‟an hanya
sebagai jimat atau jampi-jampi untuk kepentingan supranatural, sementara
mereka sebenarnya kurang memahami apa pesan-pesan dari kandungan al-
Qur‟an, maka kita dapat mengajak dan menyadarkan mereka bahwa al-
Qur‟an diturunkan fungsi utamanya adalah untuk hidayah. Dengan begitu,
maka cara berfikir klenik dapat sedikit demi sedikit dapat ditarik kepada
39
Secara Semantis, dalam tilawah ada aspek mengikuti (ittiba‟ atau iqtida‟) terhadap apa
yang di bacanya. Sedang dalam qira‟ah terkandung makna perenungan pemahaman (tadabbur)
lihat, al-Raghib al-isfahani, Mu‟jam Mufradat Alfaz al-Qur‟an (Beirut Dar al-Fikr tth ), 71-72 lihat
pula, Ibnu Faris, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dar Ihya‟, 2001), h.154.
28
cara berfikir akademik, berupa kajian tafsir misalnya. Lebih dari itu,
masyarakat yang tadinya hanya mengapresiasi al-Qur‟an sebagai jimat, bisa
disadarkan agar al-Qur‟an dijadikan sebagai idiologi transformative untuk
kemajuan peradapan. Menjadikan al-Qur‟an hanya sebagai rajah-rajah atau
tamimah dapat dipandang merendahkan fungsi al-Qur‟an, meski sebagian
ulama ada yang membolehkannya40
. Alasannya, karena pengertian al-
Qur‟an sebagai syifa‟ bisa untuk jasad atau ruhani sekaligus. Penggunaan
wifiq atau rajah yang menggunkan sebagai ayat al-Qur‟an bisa dilihat dalam
kitab-kitab seperti al-Awfaq, karya imam al-Ghazali, Khazinatul Asrar,
karya Sayyid Muhammad Haqqi Al Nazil, Mamba‟usul Hikam, Sayyid al
Buni, al Rahman Fi At Tibb Wal Hikam karya Al-Suyuthi41
.
Arti penting kajian living Qur‟an berikut adalah memberikan paradigma
baru bagi pengembangan kajian Qur‟an kontemporer, sehingga studi Qur‟an
tidak hanya berkutat pada wilayah kajian teks. Pada wilayah living Qur‟an
ini kajian tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respondan tindakan
masyarakat terhadap kehadiran al-Qur‟an, sehingga tafsir tidak lagi hanya
bersifat elitis, melainkan emansipatoris yang mengajak partisipasi
masyarakat. Pendekatan fenomenologi dan analisis ilmu sosial humaniora
tentunya menjadi sangat penting dalam hal ini42
.
40
Lihat Yusuf al- Qaradlawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (terj). As‟ad Yasin (Jakarta:
Gema insani Press 2001), h.262. 41
Mansur, M. dkk “Arti Penting Kajian Living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin
(ed.) Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 71. 42
Mansur, M. dkk “Arti Penting Kajian al-Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin (ed.)
Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 68.
29
a. Living Qur‟an: Sebagai Religious Research
Kalau living Qur‟an ini untuk sementara dikategorikan sebagai
penelitian agama dengan kerangka penelitian agama sebagai gejala
sosial, maka desainnya akan menekankan pentingnya penemuan
keterulangan gejala yang diamati sebelum sampai pada kesimpulan43
.
Living Qur‟an sebagai penelitian yang bersifat keagamaan
(religious research), yakni menempatkan agama sebagai system
keagamaan, yakni system sosiologis, suatu aspek organisasi sosial, dan
hanya dapat dikaji secra tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik
tolak44
. Jadi bukan meletakkan agama sebagai doktrin, tetapi agama
sebagai gejala sosial.
Living Qur‟an, dimaksudkan bukan bagaimana individu atau
sekelompok orang memahami al-Qur‟an (penafsiran) tetapi bagaimana
al-Qur‟an itu disikapi dan direspon masyarakat muslim dalam realitas
kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial.
Jadi apa yang mereka lakukan adalah panggilan jiwa yang merupakan
kewajiban moral sebagai muslim untuk memberikan penghargaan,
penghormatan, cara memuliakan kitab suci yang diharapkan pahala dan
berkah dari al-Qur‟an sebagaimana keyakinan umat Islam terhadap
fungsi al-Qur‟an sebagaimana keyakinan umat Islam terhadap fungsi al-
Qur‟an yang dinyatakan sendiri secara beragam. Oleh karena itu,
43
Atho‟Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998, hal 68.
44
Lihat John Middleton,” the religious system” dalam raul naroll (ed), A hornbook of
method in cultural Anthropology (new York : Columbia university press,1973), hal 502- 507.
30
maksud yang dikandung bisa sama, tetapi ekspresi dan ekspektasi
masyarakat terhadap al-Qur‟an antara kelompok satu dengan kelompok
yang berbeda, begitu juga antara golongan, antara etnis dan antar
bangsa.
Dalam penelitian model living Qur‟an yang dicari bukan kebenaran
agama lewat al-Qur‟an atau menghakimi kelompok keagamaan tertentu
dalam Islam, tetapi lebih mengedepankan penelitian tentang tradisi
yang menggejala dimasyarakat dilihat dari persepsi kualitatif. Meskipun
terkadang al-Qur‟an dijadikan sebagai simbol keyakinan yang dihayati,
kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku keagamaan. Dalam
penelitian living Qur‟an diharapkan dapat menemukan segala sesuatu
dari hasil pengamatan yang cermat dan teliti atas perilaku komunitas
muslim dalam pergaulan sosial-keagamaan hingga menemukan segala
unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu melalui struktur
dalam (deep structure) agar dapat ditangkap makna dan nilai-nilai
(meaning and values) yang melekat dari sebuah fenomena yang diteliti.
Kalau digambarkan dalam pendekatan historis, sosiologis dan
antropologi, maka fenomena keagamaan itu yang berakumulasi pada
pola perilaku manusia didekati dengan menggunakan ketiga model
pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-
masing seperti disebutkan diatas.
Sementara telah disepakati bahwa living Qur‟an berlindung
dibawah payung sosiologis atau sosiologi agama, maka pendekatan
yang lebih tepat adalah antropologi, sehingga bangunan persfektifnya
31
pada umumnya menggunakan persfektif mikro atau paradigma
humanistic, seperti fenomenologi, etnometodologi, meneliti everday
life (tindakan dan kebiasaan yang tetap) dan arkeologi. Jadi analisisnya
berupa individu, kelompok atau organisasi dan masyarakat, benda-
benda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita rakyat45
.
Paradigma penelitian sosial-agama. Ada 3 macam yang digunakan
yaitu positivistic, dengan menempatkan fenomena sosial dipahami dari
persfektif luar (other perpective) yang bertujuan untuk menjelaskan
mengapa suatu peristiwa terjadi proses kejadianya, hubungan antara
variable, bentuk dan polanya. Sedangkan paradigma naturalistic, justru
kebaikannya dengan persfektif inner perspective, yakni berdasarkan
subyek perilaku yang bertujuan untuk memahami makna perilaku
simbol-simboli dan fenomena-fenomena dan paradigma rasionalistik
(verstehen), dengan melihat realitas sosial sebagaimana yang dipahami
oleh penelitian berdasarkan teori-teori yang ada dan didialogkan dengan
pemahaman subyek yang diteliti (data empiric). Paradigma ini sering
digunakan dalam penelitian filsafat, bahasa, agama (ajarannya) dan
komunikasi yang menggunakan metode semantic, filologi, hermenutika
dan analisis isi.
Ilmu-ilmu agama, pada segi-seginya yang menyangkut masalah
sosial, yaitu menjadi bagian yang dapat diteliti, diamati dengan
menggunakan piranti ilmiah, atau metodologi ilmiah. Metode ilmiah
ditentukan oleh obyek yang dikaji. Kalau segi-segi tertentu itu Islam
45
Imam Suproyogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT,
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet II, h.63.
32
pada posisi fenomena sosial, maka niscaya metode pengkajian terhadap
fenomena itu adalah metode-metode sosial.
Living Qur‟an masuk dalam wilayah kajian ke islaman tidak hanya
kepada aspek-aspeknya yang normative dan dogmatic, tetapi juga
pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan antropologis. Ilmu-
ilmu Islam, meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatik yang
bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir oleh
dorongan kepercayaan, menjadi kenyataan-kenyataan empiric.
Oleh karena itu perlu dicari metode ilmiah yang tepat dan relevan,
bahwa “obyek studi” menemukan metode, bukan sebaliknya metode
yang menentukan obyek. Sehingga agama sebagai fenomena kehidupan
yang menyatkan diri dalam system sosial budaya, bukanlah masalah
yang sulit untuk menentukan metode yang relevan bagi pengkaji atau
peneliti. Dalam mengkaji fenomenologi agama tidak mengkaji hakikat
agama secara filosofis dan teologis,tetapi hakikat agama sebagai
fenomena empiris dari struktur suatu fenomena yang mendasari setiap
fakta religious.
Dalam penelitian fenomenologi sangat mengandalkan metode
parsitipatif fenomenologi sangat mengandalkan metode parsitipatif,
agar peneliti dapat memahami tindakan religious dari dalam. Sebab
kalau tidak demikian hanya akan memberikan kesan seolah kita
memasuki pikiran orang lain lewat suatu proses misterius. Dalam
konteks ini Max Weber menerapkan metode verstehen, yaitu
pemahaman empatik (keberpihakan), tidak simpati dan tidak antipasti.
33
Dalam arti, kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-
perasaan, motif-motif, dan pemikiran-pemikiran yang ada dibalik
tindakan orang lain.
Barangkali bisa menggunakan metode sejarah, yang menekankan
kepada proses terjadinya sesuatu perilaku manusia dalam masyarakat.
Proses itu menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut
berperan dalam proses itu. Metode sejarah yang diteliti mengamati
sesuatu proses sosial budaya, dapat digunakan untuk memahami proses
persebaran agama ke seluruh persekutuan hidup manusia. Pada
gilirannya proses situ pada akhirnya sampai pada suatu keadaan yang
telah menyatu dalam sistem perilaku sosial budaya, dan menyatakan
diri sebagai perilaku berpola, dari sinilah metode antropologi dapat
menyumbangkan peranan-peranan ilmiahnya. Misalnya dengan
metode-metode pengamatan terlibat, yang amat diakrabi oleh para ahli
antropologi untuk memahami perilaku yang tidak dapat diukur secara
kuantitatif, dapat kiranya digunakan untuk memahami berbagai aspek
perilaku manusia beragam secara kualitatif.
Dalam kehidupan umat beragama, diketahui adanya posisi dan
peranan-peranan tertentu dari seseorang posisi dan peranan-peranan itu
menyatakan diri dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial
itu dapat terselenggara, melalui hubungan-hubungan fungsional dalam
masyarakat yang bersumber dari kedudukan dan perananya, dalam
kehidupan umat beragama. Menurut ahli antropologi, dalam upacara
keagamaan mengandung empat aspek yang perlu mendapat perhatian
34
yaitu tempat upacara, waktu upacara, media dan alat upacara, orang-
orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Dengan demikian, peranan sosiologi agama sangat besar dalam
memposisikan teori-teorinya ke dalam penelitian keagamaan, karena
berkaitan erat bahkan tak terpisahkan dengan masyarakat. Anggapan
para sosiolog agama bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan
kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi
agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka.
Berbagai pemaknaan al-Qur‟an dan perwujudan dalam kehidupan
sehari-hari merupakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan
peristiwa atau gejala sosial-budaya yang bisa mendapat perhatian dari
para ahli antropologi agama dan ahli sosiologi agama. Memandang
living Qur‟an atau al-Qur‟an yang hidup46
.
b. The Living Qur‟an: Fenomena Sosial-Budaya Antropologis
pada dasarnya memandang fenomena ini sebagai fenomena sosial-
budaya, yakni sebagai sebuah gejala yang berupa pola-pola perilaku
individu-individu yang muncul dari dasar pemahaman mereka
mengenal al-Qur‟an. Dengan presfektif ini fenomena yang kemudian
menjadi objek kajian bukan lagi al-Qur‟an sebagai kitab tetapi
perlakuan manusia terhadap al-Qur‟an dan bagaimana pola-pola
perilaku yang dianggap berdasarkan atas pemahaman tentang al-Qur‟an
itu diwujudkan. Objek kajian disini adalah bagaimana berbagai
46
Mansur, M. dkk “Living Qur‟an Sebagai Religious Research.” Dalam Sahiron
Syamsuddin (ed.) Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras 2007 hal 49-54.
35
pemaknaan terhadap al-Qur‟an diatas hadir, dipraktekkan dan
berlangsung dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Al-Qur‟an yang hidup ditengah kehidupan sehari-hari manusia bisa
mewujudkan dalam kehidupan beraneka-ragam, yang bagi sebagai
pemeluk Islam mungkin malah telah dianggap menyimpang dari ajaran-
ajaran dasar dalam agama Islam itu sendiri. Kajian the living Qur‟an
kemudian memang lebih dekat dengan kajian-kajian ilmu sosial-budaya
seperti antropologi dan sosiologi.
Feneomena living-Qur‟an juga dapat dikatakan sebagai Qur‟anisasi
kehidupan, yang artinya memasukkan al-Qur‟an sebagaimana al-Qur‟an
tersebut dipahami ke dalam semua aspek kehidupan manusia, atau
menjadikan kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk mewujudkan
al-Qur‟an dibumi, al-Qur‟anisasi kehidupan manusia dapat berupa
penggunaan ayat-ayat dalam al-Qur‟an yang diyakini sebagai
mempunyai kekuatan ghaib tertentu untuk mencapai tujuan tertentu,
misalnya membuat seseorang menjadi terlihat sakti karena tidak dapat
dilukai dengan senjata tajam manapun. Ayat-ayat al-Qur‟an disini
memang tidak lagi terlihat sebagai petunjuk, perintah, larangan
melakukan sesuatu atau cerita mengenai sesuatu, tetapi lebih tampak
sebagai mantra yang jika dibaca berulang-kali sampai mencapai jumlah
tertentu akan dapat memberikan hasil-hasil tertentu seperti yang
diinginkan.
Qur‟anisasi kehidupan tersebut juga dapat berupa praktek-preaktek
pengobatan dengan menggunakan ayat-aayat tertentu dalam al-Qur‟an
36
sebagaimana pernah dipraktekkan oleh sebagian sahabat nabi dimasa
lampau. Bagi sebagian orang praktek-praktek semacam ini dianggap
sah-sah saja , karena memang ada contohnya dimasa Rasulullah SAW
masih hidup.
Dalam konteks kajian Qur‟anisasi kehidupan manusia,
memperlakukan dan mempelajari al-Qur‟an sebagai sebuah kitab yang
berisi petunjuk-petunjuk sebagaimana dilakukan disekolah-sekolah dan
institusi pendidikan Islam tidak lagi dipandang satu-satunya atau
perlakuan yang paling tepat terhadap al-Qur‟an. Pemaknaan dan
perlakuan semacam itu hanya dipandang sebagai salah satu bentuk
perlakuan yang dapat diberikan terhadap al-Qur‟an, dan pemaknaan
serta perlakuan inilah yang kemudian menjadi objek kajian itu sendiri.
Tentu saja peran dan kedudukan al-Qur‟an sebagai kitab dan tidak dapat
diabaikan.
Dengan menggunakan presfektif semacam ini maka objek material
dalam kajian The Living Qur‟an mencakup antara lain berbagai macam
pemaknaan al-Qur‟an dan perwujudan pemaknaan-pemaknaan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari47
.
c. The Living Qur‟an: Paradigma untuk Mempelajari
Dengan menempatkan pemaknaan al-Qur‟an dan perwujudan
dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai titik pusat kajian, maka
paradigma-paradigma yang diperlukan disini tidak lagi sama dengan
paradigma yang digunakan untuk mengkaji al-Qur‟an sebagai kitab.
47
Ahimsa Putra, H.S, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, Jurnal
Walisongo, vol 20, no1, “The Living Qur‟an: Beberapa Persfektif Antropologi” Mei 2012.
37
Memang kita masih dapat menggunakan paradigma hermenutika,
karena interpretasi masih tetap dilakukan terhadap gejala-gejala tersebut
sebagai teks. Akan tetapi karena teks disini merupakan sebuah model
atau metafor dan teks yang sebenarnya adalah pemaknaan al-Qur‟an
dan perwujudannya dalam kehidupan maka hermenutika yang
dilakukan tidak lagi sama dengan hermenutika dalam kajian teks yang
sebenarnya.
Banyak paradigma yang dilakukan untuk mempelajari The Living
Qur‟an, namun tidak semua paradigma ini dapat diterapkan dengan
mudah. Karena terbatasnya keputusan yang tersedia. Paradigma yang
dapat memberikan hasil dan dapat dipakai jika diterapkan dengan baik
adalah sebagai berikut:
1) Paradigma Akulturasi
Akulturasi adalah sebuah proses yang terjadi ketika suatu
kebudayaan bertemu dengan kebudayaan lain, dan kemudian
mengambil sejumlah unsur-unsur budaya baru tersebut serta
mengubahnya sedemikian rupa sehingga unsur-unsur budaya baru
tersebut terlihat seperti unsur budayanya sendiri. Dengan sudut
pandang akulturasi seseorang peneliti The Living Qur‟an
mengetahui proses dan hasil interaksi antara ajaran-ajaran yang ada
dalam al-Qur‟an dengan sistem kepercayaan atau budaya lokal
suatu masyarakat. Selain itu mengetahui unsur-unsur mana dari
budaya lokal yang mempengaruhi pola interaksi atau pemahaman
terhadap al-Qur‟an sebagai firman-firman Allah SWT dalam
38
bahasa arab, yang artinya tidak dimengerti sepenuhnya oleh
masyarkat pendukung budaya tersebut.
Proses akulturasi bisa berjalan lancar dan mulus, bisa juga
tidak. Dalam hal ini peneliti dapat memperhatikan individu-
individu mana yang menyebarkan unsur-unsur tertentu dari al-
Qur‟an, individu-individu mana yang menyebarkan unsur-unsur
tertentu dari al-Qur‟an, individu-individu mana yang yang
menyebar unsur yang lain: tafsir mereka mengenai budaya lokal;
pemanfaatan mereka atas unsur budaya lokal untuk penyebaran al-
Qur‟an, bahkan juga konflik-konflik yang harus mereka hadapi
dalam proses penyebaran tersebut. Perubahan-perubahan apa yang
dilakukan terhadap unsur-unsur yang ada dalam al-Qur‟an,
sehingga bagian dari budaya lokal, dan apa reaksi orang terhadap
perubahan-perubahan tersebut.
2) Paradigma Fungsional
Paradigma fungsional digunakan ketika seorang peneliti
bermaksud mengetahui fungsi-fungsi dari suatu gejala sosial
budaya. Fungsi ini bisa merupakan fungsi sosial atau fungsi
kultural gejala tersebut, seperti misalnya pola-pola perilaku yang
muncul dari pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an. Misalnya saja pemaknaan terhadap surat-surat adan ayat-
ayat tertentu yang kemudian melahirkan pola-pola perilaku tertentu
dengan fungsi sosial-kultural tertentu pula, ketika peneliti tertarik
pada fungsi budaya dari Qur‟anisasi kehidupan masyarakat, dia
39
akan mengarahkan perhatiannya pada fungsi Qur‟anisasi tersebut
pada tataran pandangan hidup, nilai-nilai, norma dan aturan yang
berlaku dalam masyarakat. Jika ditarik pada fungsi sosial
fenomena tersebut, dia akan mengarahkan perhatiannya pada
fungsi-fungsi Qur‟anisasi terhadap interaksi, relasi dan jaringan
sosial, serta pengelompokan dan pelapisab sosial yang ada disitu.
Peneliti juga dapat mencoba mengungkapkan fungsi-fungsi
sosial kultural dari al-Qur‟an itu sendiri, yang mungkin sangat
berbeda dengan fungsi al-Qur‟an dalam konteks aktivitas belajar m
engajar disebuah perguruan tinggi. Dalam hal ini ayat-ayat yang
diyakini memiliki khasiat tertentu biasanya akan mendapat
perlakuan berbeda dengan ayat-ayat yang lain.
3) Paradigma Struktural
Tujuan utama seorang penelitian yang menggunakan
pendekatan struktural adalah mengungkapkan struktur yang ada
dibalik gejaala-gejala sosial budaya yang dipelajari atau
membangun sebuah model yang juga merupakan struktur yang
akan dapat membuat peneliti memahami dan menjelaskan gejala-
gejala yang dipelajari. Dengan menggunakan paradigma tersebut
seorang peneliti akan mencoba memahami gejala pemakanaan al-
Qur‟an lewat model-model struktur tertentu.
Lewat kacamata struktural seorang peneliti dimungkinkan
untuk memandang berbagai fenomena pemaknaan al-Qur‟an
sebagai serangkaian transformasi dari suatu struktur tertentu. Disini
40
al-Qur‟an sebagai kitab akan dipandang sebagai salah satu
perwujudan diantara sejumlah perwujudan lain (seperti misalnya
ritual, mitos) dari struktur tertentu yang lebih abstrak, yang lebih
dalam, yang seolah-olah ada dibalik al-Qur‟an. Al-Qur‟an sebagai
sebuah kitab disini lantas terlihat sebagai transformaasi dari al-
Qur‟an yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal
ini pada akhirnya peneliti harus menampilkan sebuah model
tertentu dan memperlihatkan transformasi-transformasi yang
terjadi. Penelitian dapat dimulai dari aspek budaya yang mana saja.
Bisa dari aspek ritual, bisa dari aspek pemaknaan, bisa dari aspek
al-Qur‟annya, bisa pula dari aspek budaya materinya.
4) Paradigma Fenomenologi
Ketika seorang menggunakan paradigma fenomenologi untuk
mempelajari suatu gejala sosial budaya dia akan berusaha
mengungkapkan kesadaran atau pengetahuan pelaku mengenai
dunia tempat mereka berada kesadaran atau pengetahuan pelaku
mengenai dunia tempat mereka berada, kesadaran mereka
mengenai perilaku-perilaku mereka sendiri. Hal ini dipandang
sangat penting karena pemahaman atau pengetahuan mengenai
dunia inilah yang dianggap sebagai dasar bagi pewujudan pola-
pola perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
memahami pandangan dunia atau pandangan hidup ini peneliti
kemudian akan dapat mengerti mengapa pola-pola perilaku tertentu
diwujudkan, dan bukan perilaku-perilaku yang lain.
41
Dengan presfektif fenomenologi ini peneliti tidak lagi akan
menilai kebenaran atau kesalahan pemahaman para pelaku tertentu
mengenai al-Qur‟an, karena yang dianggap penting bukan lagi
benar salahnya sebuah tafsir atau pemahaman, tetapi isi itu sendiri.
Isi tafsir inilah yang menjadidasar dari pola-pola perilaku tertentu.
Dipeneliti dapat mencoba mengungkapkan misalnya pandangan
masyarakat mengenai surah yasin yang menjadi tonggak utama
ritual yasinan, atau pandangan mereka mengenai pengobatan
dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur‟an, pandangan mereka
mengenai kedudukan surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam
kehidupan mereka sehari-hari dan sebagainya.
5) Paradigma Hermeneutika
Yang dimaksud hermenutika disini berbeda dengan
hermenutika dalam kajian teks karena disini bukan lagi sesuatu
yang tertulis tetapi gejala sosial budaya itu sendiri. Dalam artian
tertentu gejala sosial budaya dari sejumlah simbol-simbol, seperti
juga halnya sebuah teks sebagi sebuah teks maka gejala sosial
budaya tersebut kemudian harus dibaca, ditafsir. Oleh karena
gejala sosial budaya tidak sama persis dengan teks maka mau tidak
mau diperlukan metode yang lain untuk membaca untuk
menafsirkannya. Disinilah terletak perbedaan antara hermenutika
dalam kajian teks dengan hermenutika dalam kajian gejala sosial
budaya.
42
Berbagai macam wujud pemaknaan al-Qur‟an dengan berbagai
simbol lain yang mengelilinginya merupakan teks-teks sosial
budaya yang dapat dibaca oleh mereka yang tertarik untuk meneliti
The Living Qur‟an. Dari kajian semacam ini akan muncul
pemaknaan-pemaknaan atau tafsir-tafsir baru yang berasal dari
peneliti mengenai pemaknaan-pemaknaan al-Qur‟an yang ada
dalam berbagai kebudayaan, serta berbagai ritual yang
menyertainya. Dalam hal ini, tafsir yang diberikan oleh peneliti
tidak harus sama dengan tafsir masyarakat yang diteliti. Bahkan,
memang harus berbeda, karena peneliti memiliki data kebudayaan
yang lebih banyak dari pada warga masyarakat itu sendiri secara
individual. Hal ini memungkinkannya memberi tafsir yang berbeda
atas berbagai macam fenomena Living Qur‟an yang ditemuinya
ditempat penelitian48
.
B. Surah Al-Hadid
Surah al-Hadid merupakan surah yang di jadikan bacaan dalam
tradisi living Qur‟an di panti asuhan Darul Hadlanah, salah satu alasannya
adalah bahwa pengasuh di panti asuhan Darul Hadlanah mengikuti aliran
dari tokrekoh dengan jalur dari sahabat Ali. Surah Al-Hadid
diperselisihkan secara sangat tajam oleh para ulama menyangkut masa
turunnya. Apakah sebelum atau sesudah Nabi Muhammad SAW,
berhijrah. Sebagian menilainya Madaniyyah. Ada riwayat yang
48
Ahimsa Putra, H.S, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, Jurnal
Walisongo, vol 20, no1, “The Living Qur‟an: Beberapa Persfektif Antropologi” Mei 2012 hal
253-257.
43
dinisbatkan kepada sahabat Nabi SAW49
. Ibn Mas‟ud yang menanyakan
baru saja empat tahun dari keislaman kami, namun Allah menurunkan ayat
yang mengencam kami yaitu: belumkah tiba saatnya bagi orang-orang
yang beriman untuk khusuk hati mereka karena dzikrullah dan apa yang
telah turun kepada mereka dari kebenaran, dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang diberi al-kitab sebelumnya, lalu berlalulah mereka masa
yang panjang sehingga hati mereka menjadikeras. Dan kebanyakan
diantara mereka adalah orang-orang yang fasik. (ayat 16) (HR. Muslim,
An-Nasa‟i, dan Ibn Majah). Ini berarti ayat tersebut Makkiyah. Tetapi ada
juga riwayat yang bersumber dari kedua sahabat Nabi saw, Ibn Abbas dan
Anas Ibn Malik ra, yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun setelah 13
atau 14 tahun dari turunnya al-Qur‟an (HR. Ibn. Mardawaih). Ini berarti
ayat tersebut adalah Madaniyyah. Memang riwayat muslim lebih kuat
sanadnya dan Ibn Mas‟ud sendiri lebih dahulu memeluk Islam dari pada
Anas Ibn Abbas, namun demikian pembicaraan ayat tersebut yang
menyinggung Ahl al-kitab yakni orang yahudi dan nasrani mengesankan
pula bahwa ia adalah Madaniyyah. Betapapun, agaknya kira dapat
berkesimpulan bahwa sebagian ayat-ayat surah ini Makkiyah dan sebagian
lainnya Madaniyyah.
Namanya Al-Hadid telah dikenal sejak masa Nabi SAW.
Penamaan ini agaknya disebabkan kata al-Hadid disebut dalam surah ini
(ayat 25). Memang dalam surah al-Kahf (ayat 96) juga disebut kata ini,
49
M. Quraish Shihab ,Tafsir al-misbah pesan, kesan, dan keseharian al-Qur‟an (Jakarta
: lentera hati 2012) hal 396-409
44
tetapi karena kisah ashhab al-Kahfi lebih menarik disini, ia dinamai
dengan nama al-Khaf dan yang disini dinamai dengan Al-Hadid.
Tema utamanya adalah mengingatkan akan kuasa dan kebesaran
Allah, serta penekanan tentang pentingnya berinfak dijalan Allah dan
menjauhi kekerasaan hati yang menjadiciri orang-orang yahudi.
Thabathabai hanya menekankan bahwa tema surah ini adalah perintah
berinfak. Sayyid Quthub berpendapat bahwa tema surah ini adalah ajakan
kepada umat Islam untuk mewujudkan dalam kepribadiannya hakikat
keimanan sehingga seluruh totalitas diri manusia mengarah secara tulus
kepada Allah, tidak kikir, atau menahan sesuatu demi karena Allah baik
jiwa maupun harta benda, tidak juga detak-detik kalbu yang terdapat
didalam dada. Hakikat itulah yang menjadikan seseorang menjadirabbani,
kendati dia berpijak dibumi. Tolak bersegera menggapainya adalah nilai-
nilai yang luhur menurut tolak ukur itu.
Al-Biqa‟i berbeda dengan yang lain, menegaskan bahwa tujuan
utama surah ini adalah penjelasan tentang keumuman risalah Nabi
Muhammad SAW. Untuk seluruh manusia, yang dalam surah yang lalu
telah dibagi menjaditiga kelompok. Dan untuk itu diperlukan jihad yang
membutuhkan harta benda guna meninggikan kalimat Allah sebagai upaya
menghindari dari siksa pada hari kemudian.
Surah ini adalah surah ke 95 dari segi perurutan turunnya, jika kita
menyatakan bahwa ia adalah Madaniyyah. Sementara ulama berpendapat
bahwa ia turun sesudah surah al-Zalzalah dan sebelum surah al-Qital.
Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Mekkah, Madinah,
45
dan Syam sebanyak 28 ayat, dan menurut ulama Basyrah dan Kufah
sebanyak 29 ayat.
Setelah penulis melakukan penelitian tentang surah al-Hadid dapat
diketahui bahwa didalam surah al-Hadid ayat 1-6 berisi sanjungan kepada
dzat yang menciptakan isi seluruh alam, adapun tafsir surah al-Hadid ayat
1-6 adalah sebagai berikut:
a. Ayat 1
semua yang berada dilangit dan yang berada dibumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
1) TAFSIR
Akhir surah al-Waqi‟ah surah yang lalu adalah perintah kepada
Nabi Muhammad SAW, agar bertasbih menyucikan Allah SWT.
Sangat wajar lagi tepat awal surah ini dimulai dengan pernyataan
bahwa: telah bertasbih kepada dan untuk Allah semata Sejak
wujudnya semua apa yang berada dilangit dan yang berada dibumi,
yakni semua mengakui keagungan-Nya dan kebesaran-Nya, tunduk
dan patuh secara sukarela mengikuti ketetapan-Nya, dan dia lah yang
maha perkasa yang tidak dapat ditampik ketentuan-Nya lagi maha
bijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
Kata sabbaha terambil dari kata kata sabaha yang pada
mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan
46
kata tersebut karena pada hakikatnya dengan berenang itu ia menjauh
dari posisinya semula.
Bertasbih dalam pengertian agama berarti menjauhkan Allah
dari segala sifat kekurangan, kejelekan, bahkan ketidaksempurnaan
yang terbayang dalam benak makhluk. Karena betapapun seseorang
ingin membayangkan kesempurnaan itu, pastilah gambaran yang lahir
dalam benaknya tidak dapat melampaui keterbatasannya sebagai
makhluk, padahal Allah adalah wujud mutlak yang tidak terbatas.
Ayat diatas tidak menggunakan kata man yang menunjuk
kepada makhluk berakal tetapi kata ma yang mencakup makhluk tidak
berakal dan tidak pula bernyawa. Dari sini, timbul beragam pendapat
tentang tasbih makhluk-makhluk itu. Ada yang berpendapat bahwa
tasbih mereka adalah wujudnya yang menunjuk kepada wujud dan
keesaan Allah. Ada lagi yang menyatakan bahwa tasbih tersebut
adalah ketundukan dan kepatahan mereka pada sistem yang ditetapkan
Allah baginya. Air bertasbih dengan selalu mengalir ke tempat yang
rendah, membeku atau mendidih pada temperature tertentu kapan dan
dimanapun, Demikian seterusnya. Ada lagi yang merujuk kepada
firman Allah: langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada
didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka (Qs. Al-Isra 17).
Ada tujuh dalam al-Qur‟an yang dimulai dengan kata yang
berakar pada kata sabbaha dan dalam berbagai bentuk. Surah-surah
47
tersebut mempunyai perurutan yang sangat logis, bukan saja ditinjau
dari segi kandungan maknanya tetapi juga dari segi bentuk kata yang
dipilihnya dari sudut pandang ilmu kebahasaan. Dalam ilmu bahasa,
dikenal perurutan yang dimulai dari infinitive noun atau mashdar (kata
jadian), disusul dengan past tense atau madhi (kata kerja masa lampu),
kemudian present tense atau mudhari‟ (kata kerja masa kini), dan
seterusnya adalah amr (kata yang menunjukkan kepada perintah)
Perurutan ini pula yang ditemui dalam mushaf al-Qur‟an,
dalam susunan perurutan surah-surah yang menggunakan akar kata
sabbaha itu. Surah pertama yang menggunakan akar kata tersebut
pada ayatnya yang pertama adalah Qs.Al-Isra ayat 1 dengan
menggunakan bentuk kata jadian subhana, disusul dengan surah yang
menggunakan kata kerja masa lampau sabbaha masing-masing pada
surah yang ditafsirkan ini (Qs. al -Hadid ayat1), (Qs. Surah al- Hasyr
ayat 1), dan (Qs. Ash-Shaff ayat 1). Setelah itu surah yang
menggunakan bentuk mudhari‟ (kata kerja masa kini) yaitu Qs. al-
Jumu‟ah ayat 1 dan At-Taghabun ayat1. Dan terakhir pada surah al-
A‟la ayat 1 dengan menggunakan bentuk yang menunjukkan kepada
perintah.
Penggunaan bentuk kata kerja masa lampau pada surah ini
untuk menegaskan bahwa tasbih yang dilakukan oleh semua makhluk
itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan Allah sebelum wujud
mereka. Allah telah mengilhami setiap makhluk dan memberinya
potensi untuk hal tersebut. Bagi makhluk berakal, potensi itu adalah
48
akal dan hati yang dianugrahkan kepada masing-masing dan bagi yang
tidak berakal adalah sifat dan tabiat yang melekat pada substansi
kejadiannya. Pertanyaan diatas sekaligus menyindir setiap orang yang
dianugrahi akal, tetapi enggan bertasbih menyucikan Allah SWT.
b. Ayat 2
(2) kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan
dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat yang lalu menegaskan penyucian seluruh wujud kepada Allah.
Ayat diatas menjelaskan kewajiban-Nya disucikan bagaikan menyatakan:
betapa dia tidak disucikan padahal milik-Nya sendiri serta dibawah kendali
dan kekuasaan-Nya kerajaan langit dan bumi serta apa yang berada antara
keduanya. Dia bebas dan kuasa melakukan apa saja diseluruh jagat raya
ini, kendati demikian semua perbuatan-Nya penuh hikmah.
Untuk menampik dugaan bahwa kuasa-Nya itu hanya terbatas pada
benda-benda tak bernyawa, ayat diatas melanjutkan bahwa: dan hanya dia
sendiri tidak ada selain-Nya yang senantiasa sejak dahulu hingga kini dan
masa datang yang menghidupkan, yakni memberi hidup, dan
melanggengkannya untuk siapa yang dia kehendaki dan mematikan, yakni
tidak memberi atau mencabut hidup itu, bagi apa dan siapa yang dia
kehendaki dan dia atas segala sesuatu apa dan siapa pun maha kuasa.
Hidup ditandai oleh rasa, gerak, dan tahu, hidup bertingkat-tingkat,
ada hidup malaikat, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk
49
lain yang kita tidak ketahui. Ada juga hidup duniawi dan ukhrawi. Allah
menganugrahkan masing-masing dengan kualitas yang berbeda-beda.
Kematian adalah lawan hidup atau ketiadaan hidup.
Didahulukan kalimat kulli syai‟ pada ayat diatas demikian juga ayat
berikut untuk memberi penekanan bahwa tidak satu pun yang luput dari
kuasa dan ilmu Allah SWT.
c. Ayat 3
(3) Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin ; dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Setelah ayat yang lalu menyebutkan kuasa-Nya yang tidak terbatas,
kini ayat diatas menjelaskan wujud-Nya yang mutlak. Allah berfirman
memperkenalkan diri-Nya: dialah yang awal yang telah wujud sebelum
segala sesuatu wujud sehingga tidak ada yang mendahului-Nya, dan yang
akhir yakni hidup selama-lamanya setelah segala sesuatu musnah. Dan
hanya dia pula yang zhahir, yang begitu jelas wujud-Nya melalui alam
raya yang dia ciptakan dan pembuktian logika dan rasa, dan hanya dia pula
dijangkau, jangankan oleh mata tetapi juga oleh akal dan khayal; dan dia
menyangkut segala sesuatu maha mengetahui .
Thabathabai menghubungkan ayat diatas dengan akhir ayat yang
lalu yang menegaskan kuasa-Nya atas segala sesuatu. Menurutnya, karena
Allah swt. Maha kuasa atas segala sesuatu, itu berarti kuasa-Nya meliputi
50
segala sesuatu yang wujud dan yang tergambar dapat wujud. Dia
meliputinya dari semua arah. Segala yang tergambar dalam benak bahwa
ia yang pertama, pada hakikatnya dia yang maha kuasa itu sebelumnya,
dan segala yang tergambar dalam benak bahwa ia adalah yang akhir, maka
Allah yang akhir itu sesudahnya. Segala yang tergambar dalam benak
bahwa ia nyata, maka Allah lebih nyata darinya karena kuasanya
mengatasi apa pun dan dengan dialah yang dzahir dan segala yang
tergambar dalam bentuk bahwa ia bathin (tersembunyi) maka Allah lebih
dari itu karena dia meliputi segala sesuatu dibelakangnya. Demikian Allah
adalah yang awal, yang akhir, yang zahir, dan yang bathin, dan demikian
juga terlihat bahwa nama-nama tersebut adalah cabang dari nama-Nya al-
Muhith / yang maha meliputi. Demikian Thabathabai yang kemudian
menekankan bahwa keempat nama Allah tersebut tidak boleh dipahami
dalam konteks waktu atau tempat.
Kata awwal terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf
alif, wawu, dan lam. Salah satu maknanya adalah permulaan, sedang akhir
adalah antonym awwal.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa yang awwal menjadi awwal bila
dibandingkan dengan selainnya. Awwal dan akhir bertolak belakang
sehingga tidak mungkin sesuatu menjadi awwal dan akhir dalam saat yang
sama jika dibandingkan dengan suatu hal yang sama. Jika dipandang
kepada yang maujud, pada hakikat-Nya Allah saat dibandingkan
dengannya adalah yang awwal karena wujud semua yang maujud itu
bersumber dari-Nya. Adapun Allah wujud-Nya adalah zat Nya, bukannya
51
memperoleh wujud dari selain-Nya. Selanjutnya, Al-Ghazali: jika anda
memperhatikan perurutan suluk, tata cara berjalan menuju Allah dan
memperhatikan peringkat para penelusur jalan itu, anda temukan bahwa
akhir peringkat yang dituju oleh orang-orang arif adalah ma‟arif
(pengenalan Allah) semua ma‟arif yang diraih sebelum ma‟arif Allah
adalah tangga menuju ma‟arif -Nya. Itulah peringkat terakhir jika ditinjau
dari sisi suluk. Dengan demikian, Allah adalah yang awwal dari segi
wujud dan dia adalah akhir dari segi suluk. Dia pangkalan tempat bertolak
dari pelabuhan tempat bersauh.
Sayyidina Ali pernah melukiskan makna kedua sifat ini yaitu
bahwa dia yang awwal yang bagi-Nya tiada sebelum sehingga mustahil
ada sesuatu sebelum-Nya, dia yang akhir yang bagi-Nya tiada sesudah
sehingga mustahil ada sesuatu sesudah-Nya, dia tidak berada disuatu
tempat sehingga mustahil dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain.
Kata azh-zahir terambil dari akar kata yang menggunakan huruf-
huruf zha, ha‟, ra‟. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu kekuatan dan
kejelasan atau penonjolan. Sesuatu yang terbuka sehingga terlihat jelas
dinamai zhahir. Siang sewaktu cahaya sangat terang yakni saat matahari
ditengah langit, dinamai zhuhur. Punggung manusia, karena jelas dan kuat
dinamai zhahr. Maka yang dinamai zhahirah, demikian juga fenomena
yang tampak. Sesuatu yang tinggi juga ditunjuk dengan menggunakan akar
kata ini, demikian juga mengalahkan karena dengan mengalahkan ia
memiliki kekuatan.
52
Kata Al-Bathin terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf
ba‟, tha‟ dan nun. Maknanya berkisar pada sesuatu yang terdapat didalam
atau tersembunyi.
Az-zahir yang merupakan sifat Allah, dipahami sebagai dia yang
tampak dengan jelas bukti-bukti wujud dan keesaan-Nya dipentas alam
raya ini. Nalar dapat membayangkan betapa alam raya dengan serba
keindahan, keserasia, keharmonisan dapat terwujud tanpa kehadiran-Nya.
Dia azh-zahir itu yang menujukkan kepada kita kerajaan dan kekuasaan-
Nya dengan menyadarkan kita bahwa dalil-dalil wujud-Nya terbentang
dialam luas ini. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya walau yang bisu
sekalipun adalah hujjah yang berbicara tentang wujud-Nya. Maka tidak
melihat-Nya tetapi dia berada dihadapan setiap ciptaan-Nya, sebagimana
dinyatakan dalam al-Qur‟an: al-An‟am ayat 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha halus lagi Maha
mengetahui.
Al-Bathin adalah dia yang tersembunyi hakikat zat dan sifat-Nya,
bukan karena tidak tampak, tetapi justru karena dia sedemikian jelas
sehingga mata dan pikiran silau bahkan tumpul sehingga tak mampu
memandang-Nya.
Ketika menafsirkan ayat yang menguraikan sifat Allah ini, pakar
Tafsir Fakhruddin Ar-razi menjelaskan bahwa Allah Zhahir karena dia
53
Bathin. Ulama yang digelari dengan al-Imam itu memberi ilustrasi dengan
matahari seandainya matahari tidak beredar, kita dapat menduga bahwa
cahaya yang terlihat dipentas bumi ini bersumber dari masing-masing
benda. Kita tidak akan menduga bahwa dia adalah akibat cahaya matahari.
Tetapi, karena matahari menghilang dari ufuk dan terbenam, ketika itu kita
sadar bahwa penyebabnya adalah matahari dan bahwa matahari ada
wujudnya. jika demikian, tulisnya: seandainya dimungkinkan ketiadaan
wujud Allah diarena alam ini, ketika itu kita sepenuhnya akan yakin bahwa
segala wujud adalah bersumber dari wujud Allah SWT.
Imam Ghazali menulis bahwa; ketersembunyian-Nya disebabkan oleh
kejelasan-Nya yang luar biasa dan kejelasanya yang luar biasa disebabkan
oleh ketersembunyian-Nya. Cahaya-Nya adalah tirai cahaya-Nya karena
semua yang melampai batas akan berakibat sesuatu yang bertentangan
dengannya.
Huruf wawu yang diterjemahkan dan pada ayat-ayat diatas berfungsi
menggambarkan kesempurnaan dan kemantapan sifat-sifat tersebut karena,
seperti tulis al-Biqa‟i seandainya tanpa wawu maka boleh jadi ada yang
menduga bahwa sifat tersebut tidak sempurna. ini karena setiap sifat yang
disebut diatas disusul dengan lawannya. Penyebaran lawannya itu bila
tanpa wawu dapat menimbulkan kesan relativitas yang dikaitkan dengan
lawan sifat yang disebut sesudahnya. Ayat diatas bermaksud menyatukan
bahwa dia adalah yang awal secara mutlak, ke awwalan-Nya bukan
dikaitkan dengan akhir, dia juga yang akhir dan itu tidak berkaitan dengan
siapa yang awwal.
54
d. Ayat 4
(4.) Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
kemudian Dia bersemayam diatas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu dimama saja
kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat yang lalu menyebut wujud-Nya tidak berawal dan tidak
berakhir, kehadiran-Nya, Yang nyata dan tersembunyi, serta kuasa serta
ilmu-Nya yang menyeluruh, kini ayat diatas menguraikan penciptaan-Nya
terhadap alam raya serta sekelumit dan perincian pengetahuan-Nya yang
menyeluruh itu. Ayat diatas menegaskan bahwa: hanya dialah yang
menciptakan langit yang berlapis tujuh itu dan bumi yang tergampar ini
yakni alam raya seluruhnya dalam enam hari, yakni masa atau periode:
kemudian dia bersemayam diatas arsy yakni dia berkuasa dan mengatur
segala yang diciptakan-Nya sehingga berfungsi sebagaimana yang dia
kehendaki. Jangan duga bahwa, setelah selesai diciptakan, dia abaikan atau
dia tidak mengetahui lagi keadaan ciptaanya, dia dari saat ke saat dan
secara bersinambungan mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi,
seperti air, berbagai kekayaan alam, fosil-fosil makhluk yang telah mati,
55
benih, dan lain-lain, dan mengetahui pula apa yang keluar darinya, seperti
tumbuhan, bintang, barang tambang, air, dan sebagainya. Dan mengetahui
juga apa yang turun dari langit, seperti malaikat, hujan, dan apa yang naik
kepadanya, seperti uap, doa, amal-amal manusia, dan bukan hanya itu,
tetapi dia juga selalu bersama kamu dengan pengetahuan dan kuasanya
dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan secara lahir maupun batin, nyata maupun tersembunyi.
Ayat diatas tidak menyinggung makhluk yang melangkah dan
merayap dibumi, demikian juga tidak menyinggung yang terbang
mengelilingi angkasa karena penyebutan kata-kata masuk, keluar, turun,
dan naik sudah cukup memberi gambaran tentang pengetahuan Allah
menyangkut aneka gerak dan perbuatan.
Kata ma‟a atau bersama tidak selalu berarti bercampur dan
menyatunya satu hal atau lebih dengan hal yang lain dua atau lebih dalam
satu kesatuan. Firman-Nya: Wa huwa ma‟akum atau dia (Allah) bersama
kamu, jika ia ditujukan kepada makhluk secara umum, kebersamaan itu
adalah pengetahuan-Nya, dan bila ditujukan kepada orang-orang mukmin,
kebersamaan-Nya adalah bantuan dan dukungan-Nya. Itulah yang
dimaksud antara lain ketika Allah menyatakan kebersamaan-Nya dengan
Musa dan Harun (baca Qs.Thaha 46), dan itu juga yang dimaksud Nabi
SAW. Yang berkata kepada Sayyidina Abu Bakar ra. Ketika berhijrah (
inna Allah ma‟ana atau sesungguhnya Allah bersama kita) Q.s at-Taubah
ayat 40.
56
e. Ayat 5-6
(5) kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-
lah dikembalikan segala urusan.
(6) Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan
siang ke dalam malam. dan Dia Maha mengetahui segala isi hati.
Ayat yang lalu menjelaskan bahwa Allah menciptakan langit dan
bumi. Yakni seluruh alam raya dan karena pencipta sesuatu boleh jadi
bukan pemiliknya, ayat diatas menegaskan bahwa; milik-Nyalah sendiri
kerajaan langit dan bumi. Dia adalah sumber kejadian dan awal segala
sesuatu dan kepada Allah saja, tidak kepada selainnya, dikembalikan
secara mudah oleh-Nya segala urusan. Sebagai salah satu yang sangat jelas
tentang kuasanya adalah bahwa dialah melalui hukum-hukum alam yang
ditetapkan-Nya, yang memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam. Yakni, Allah menjadikan malam
suatu ketika lebih panjang dari pada siang, dan dilain kali menjadikan
siang lebih panjang dari pada malam dan Dia maha mengetahui segala isi
hati, baik detak detik dan motivasi yang disembunyikan secara sadar oleh
pemiliknya maupun pengalaman, keinginan dan motivasi yang telah
terpendam dibawah alam sadarnya dan telah dilupakan oleh pemiliknya.
57
Ayat ini bukan pengulangan ayat kedua yang juga menegaskan
kepemilikan Allah SWT. Atas semua langit dan bumi karena ayat kedua
dikemukakan dalam konteks menghidupkan dan mematikan serta tentang
kuasa Allah yang tidak terbatas, sedang ayat diatas tentang kembalinya
segala sesuatu dan semua persoalan duniawi dan ukhrawi hanya
kepadanya.
Kata umur atau urusan adalah bentuk jamak dari kata amr. Menurut
Thahir Ibn Asyur50
, kata ini popular dalam arti nama dari apa yang
menunjuk kepada peristiwa atau kejadian sehingga ia mencakup perbuatan
dan ucapan. Jika demikian, makna firmannya: ila allah turja‟ al-umur
adalah kepada Allah kembalinya perbuatan-perbuatan (dan ucapan-
ucapan) manusia, yakni pada saat kebangkitan nanti. Yang dimaksud
dengannya adalah kembali pelaku-pelaku perbuatan itu untuk diberi
balasan dan ganjaran.
Menurut pakar tafsir, Ibn Athiyah yang juga dikutip oleh Ibn Asyur
kata umur dapat juga berarti segala yang wujud. Dengan demikian, segala
persoalan wujud apa pun dikembalikan kepada Allah. Dialah yang
menentukan, termasuk dia yang membangkitkan manusia dan memberi
balasan dan ganjaran kepada mereka. Huruf alif dan lam pada kata tersebut
disini menunjukkan ketercakupan segala urusan yang wujud tanpa kecuali,
penggunaan bentuk pasif dikembalikan mengisyaratkan mudahnya hal
tersebut dilakukan oleh Allah SWT.
50
Dalam M. Quraish Shihab ,Tafsir al-misbah pesan, kesan, dan keseharian al-Qur‟an
(Jakarta : lentera hati 2012) hal 407
58
Ayat-ayat pada kelompok ini silih berganti menampilkan hakikat-
hakikat agung tentang Allah SWT ayat pertama menggambarkan
bagaimana seluruh wujud tanpa kecuali, mengakui Allah SWT dan
menyucikan nya. Hati manusia yang terbuka dan nalarnya yang bersih
pasti akan tersentuh dan ikut pula dalam menyucikan-Nya. Lalu, ayat
kedua menggambarkan kuasa-Nya atas seluruh jagat raya. Makhluk hidup
kembali tersentak mendengarkan hakikat bahwa dia sendiri tidak ada
selain nya yang menganugrahkan hidup dan mencabutnya. Hidup dan
mati, yang hingga kini tidak dikenal oleh yang berakal bagaimana
hakikatnya, dijelaskan oleh ayat diatas dari mana sumbernya dan siapa
pengendalianya sambil menekankan bahwa dia maha kuasa atas segala
sesuatu. Tidak ada yang dapat menghalangi kuasanya. Selanjutnya, baru
saja hakikat diatas dinyatakan, tampilkan lagi hakikat yang lebih besar dari
pada sebelumnya bahwa dia adalah al-awwal tidak ada wujud sebelumnya
dan dia juga al-akhir, tidak ada wujud sesudahnya, dia yang dzahir dan dia
juga yang bathin, sifat-sifat yang menunjukkan wujud yang maha
sempurna lalu hakikat ini dikukuhkan lagi tentang cakupan ilmu nya yang
menyeluruh. Kalau hakikat ini telah bersemai didalam hati, segala sesuatu
tidak lagi akan mendapat tempat didalam hati kecuali Allah SWT, semua
tidak ada hakikat dan wujud nya walaupun hati itu sendiri kecuali yang
bersumber dari hakikat agung itu. Segala sesuatu hanyalah waha, akan
lenyap, tiada yang kekal kecuali Allah SWT. Nah, setelah hakikat-hakikat
agung tersebut dipaparkan, barulah dijelaskan tentang sumber penciptaan
alam raya dan kuasa Allah mengendalikannya serta pengetahuan-Nya yang
59
menyeluruh. Demikian lebih kurang kesimpulan uraian Sayyid Quthub
menyangkut kelompok ayat diatas. Demikian kelompok ayat diayat
menggugah hati manusia agar menyadari kebesaran dan kekuasaan Allah
sehingga sungguh tepat pada waktu kelompok mendatang Allah mengajak
manusia untuk beriman kepadanya dan berinfak agar hakikat diatas lebih
tertancap didalam jiwa dan persada bumi ini.
60
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, metode mutlak diperlukan karena merupakan
cara yang teratur untuk mencapai suatu tujuan yang dimaksud, metode ini
diperlukan guna mencapai tujuan yang sempurna.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai oleh peneliti adalah pendekatan
kualitatif51
. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, pemahaman, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain,
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah52
. Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan data yang berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari pelaksana tradisi pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga.
Melengkapi pengertian kualitatif tersebut diatas, Taylor dan
Bogdan mengemukakan beberapa karateristik penelitian tersebut:
a. Bersifat induktif, yaitu mendasarkan pada prosedur logik yang berawal
dan proposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu
kesimpulan hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-konsep,
51
Saifudin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.7. 52
Lexy j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6.
61
pengertian dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang ditemui dalam
data.
b. Melihat pada setting dan manusia satu-kesatuan, yaitu mempelajari
manusia dalam konteks dan situasi dimana mereka berada. Oleh karena
itu, manusia dan setting tidak disederhanakan ke dalam variabel, tetapi
dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan.
c. Memahami perilaku manusia dan sudut pandang mereka sendiri (sudut
pandang yang diteliti). Hal ini dilakukan dengan cara melakukaan empati
pada orang-orang yang diteliti dalam upaya memahami bagaimana mereka
melihat sebagai hal dalam kehidupannya.
d. Lebih mementingkan proses penelitian dari pada hasil penelitian. Oleh
karena itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, tetapi pemahaman yang
mendalam tentang kehidupan sosial.
e. Menekannkan pada validitas data sehingga ditekankan pada dunia empiris.
Penelitian dirancang sedimikian rupa agar data yang diperoleh benar-benar
mencerminkan apa yaang dilakukan dan dikatakan yang diteliti.
f. Bersifat humanitis yaitu memahami secara pribadiorang yang diteliti dan
ikut mengalami apa yaang dialami orang yang diteliti dalam kehidupan
sehari-hari.
g. Semua aspek kehidupan sosial dan manusia dianggap berharga dan
penting untuk dipahami karena dianggap sebagai spesifik dan unik.53
53 Dra.djami‟atul Islamiyah, M.Ag, Dimensi Eksperiensial dan Konsekuensial dari
Psikografi Keberagamaan Mahasiswa IAIN Salatiga Tahun 2016 (Studi Para Hafiz dan Hafizah),
lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LP2M) hal 25
62
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field
research) yaitu jenis penelitian mendalam mengenai suatu unit sosial
sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang
terorganisasikan dengan baik dan lengkap mengenai suatu unit sosial
tersebut, dengan turun ke lapangan, maka data-data serta informasi
mengenai pelaksanaan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat
1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga. dikumpulkan
oleh peneliti secara jelas.
3. Lokasi Penelitian
Adalah objek penelitian dimana kegiatan penelitian dilakukan.
Penentuan lokasi penelitian dimaksudkan untuk mempermudah dan
memperjelas objek yang menjadisasaran penelitian, sehingga
permasalahan tidak terlalu luas, yang dijadikan lokasi penelitian ini
adalah diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga.
Alasan dipilihnya lokasi diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota
Salatiga. karena lokasi ini sangat menarik dengan bukti bahwa tradisi
pembacaan al-Qu‟ran surah al-Hadid ayat 1-6 diPanti Asuhan Darul
Hadlanah NU kota Salatiga. memiliki keistimewaan tersendiri
dibandingkan dengan Panti yang lain, terkait dengan tradisi pembacaan
al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 , dan juga karena pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 menjadiciri khas dari diPanti Asuhan
Darul Hadlanah NU kota Salatiga.
63
Subjek penelitian sekaligus sumber data atau informan dalam
penelitian ini adalah pengasuh panti, ustad ustadzah (pengurus), para
santri. Itu semua merupakan orang-orang yang akan diwawancarai
secara langsung guna memperoleh data dan informasi yang lebih detail.
4. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan tentang
pembacaan al-Qur‟an surah pilihan (al-Hadid ayat 1-6) dipanti asuhan.
Hasil pengamatan tersebut dijadikan pengumpulan data dan peneliti
melakukan penelitian dipanti asuhan Darul Hadlanah NU Blotongan.
Penulis akan berusaha mengumpulkan data-data yang diperlukan
dilapangan, yang berhubungan dengan pembacaan al-Qur‟an surah
pilihan (al-Hadid ayat 1-6) dipanti asuhan Darul Hadlanah NU
Blotongan
5. Sumber Data
Data adalah informasi, benda atau orang yang akan diteliti dan
kenyataan yang dapat diprediksikan ketingkat realitas, sedangkan
sumber data adalah benda, hal atau orang, ditempat penelitan dengan
mengamati, membaca atau bertanya tentang data. Dalam penelitan ini,
peneliti akan menggunakan dua sumber data yaitu :
a. Sumber data primer
Pengertian data primer menurut Umi Narimawati (2008;98)
dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Teori dan Aplikasi bahwa: Data primer ialah data yang berasal dari
sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk
64
terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari
melalui narasumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu
orang yang kita jadikan objek penelitian atau orang yang kita jadikan
sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data. Data primer ini
banyak digunakan dan merupakan salah satu ciri penelitian
kualitatif54
.
Data diperoleh dari wawancara terbuka dan mendalam guna
mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas didalam penelitian
ini, data primer yang akan diperoleh oleh peneliti adalah: hasil
wawancara dengan pengasuh, para ustad dan ustazah diPanti Asuhan
Darul Hadlanah NU kota Salatiga.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah data yang mengacu pada informasi yang
dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Sumber data sekunder
adalah catatan atau dokumentasi perusahaan, publikasi pemerintah,
analisis industri oleh media, situs Web, internet dan seterusnya55
.
Data sekunder ini merupakan data yang sifatnya mendukung
keperluan data primer seperti buku-buku, literatur dan bacaan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan56
.
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang dipergunakan
sebagai landasan teori, dalam pembahasan ini data sekunder berasal
54
Uma Sekaran. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta : Salemba Empat hal
98. 55
Uma Sekaran. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta : Salemba Empat
102. 56
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, hal. 402.
65
dari dokumen-dokumen berupa sumber tertulis seperti kitab, buku-
buku yang berhubungan dengan keutamaan pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6.
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a. Observasi berperan aktif (partisipan).
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek
dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat
dilakukan sesaat ataupun mungkin dapat diulang57
. Dengan
observasi dilapangan peneliti akan lebih mampu memahami
konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadiakan dapat
diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh. Selain itu,
dengan observasi peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya
tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena
bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama
lembaga58
. Dalam ranah penelitian living Qur‟an ini, metode
observasi memegang peranan yang sangat penting, yang akan
memberikan gambaran situasi riil yang ada dilapangan59
.
Metode Observasi digunakkan sebagai langkah yang berperan
atau alat bantu untuk mendapatkan data tentang letak geografis,
gambaran umum tentang diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota
57
Sukandarrumdi. 2004. Metodologi Penelitian (petunjuk praktis untuk peneliti pemula).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 69. 58
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, hal 228. 59
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hal 115.
66
Salatiga dan yang berkaitan dengan pelaksanaan tradisi pembacaan
al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah
NU kota Salatiga.
b. Wawancara
Wawancara atau intervieu adalah sebuah dialog atau tanya
jawab dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi, dari
kegiatan wawancara tersebut60
. Seorang peneliti tidak akan
mendapatkan data yang akurat dari sumber utamanya, jika dalam
peneliti tentang aktivitas yang berkaitan dengan fenomena living
Qur‟an disuatu komunitas tertentu, tidak melkukan wawancara
dengan para presponden atau partisipan. Metode wawancara dalam
penelitian living Qur‟an adalah suatu yang niscaya. Metode ini
digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian seperti tentang
pelaksanaan, tujuan dan dasar pemahaman pengasuh, para ustad
ustadzah terhadap tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat
1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga. Untuk
mendapatkan jawaban yang akurat dan valid, maka seorang
peneliti harus memiliki dan menentukan tokoh-tokoh kunci (key
persons) yang akan diwawancarai. Mereka inilah yang dianggap
memiliki data yang akurat dan valid tentang ritual yang
menjadiobjek penelitian61
.
60
Nana Syadik Sukmadinata, Metode penelitian pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 216-222. 61
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal 221.
67
c. Dokumentasi
Dokumentasi dapat merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Studidokumen merupakan pelengkap
dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif 62
.
Penelitian living Qur‟an tentang fenomena ritual keagamaan
yang terjadidimasyarakat akan semakin kuat jika disertai dengan
dokumtasi. Dokumentasi yang dimaksud bisa berupa dokumtasi
yang tertulis. Dengan melihat dokumentasi yang ada, maka peneliti
bisa melihat perkembangan kegiatan tersebut dari waktu, sehingga
dapat dianalisa bagaimana respon masyarakat dengan kegiatan
ritual.63
Teknik dokumentasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap suatu gejala yang tampak pada objek
penelitian. Alat yang digunakan diantaranya adalah Kamera
Digital, Hp dan yang lainnya. Metode ini digunakan untuk
memperoleh jawaban dari permasalahan penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu usaha mengetahui tafsiran terhadap
data yang terkumpul dari hasil penelitian. Analisis data diperlukan agar
data yang terkumpul tidak semata-mata deskriptif belaka dan dapat
62
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta. Hal 240. 63
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal 223.
68
ditemukan maknanya. Dalam hal ini ada beberapa langkah data, yaitu
reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi64
Reduksi data dapat dilakukan dengan menerapkan laporan data
yang ada, kemudian dipilih hal-hal yang penting dan ditentukan polanya,
dan ditentukan polaritasnya. Disamping itu, reduksi data dapat pula
membantu dalam memeberikan kode kepada aspek-aspek tertentu.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian
kualitatif peneliti sejak awal dapat merumuskan kesimpulan tentang
makna data yang terkumpul melalui observasi dan wawancara. Tetapi
sifatnya yang masih tentatif maka agar kesimpulan dapat menjadilebih
groundede diperlukan data yang lebih banyak dan bertambah. Sementara
verifikasi tetap dilakukan secara singkat dengan mencari data baru.
Kesimpulan memang dibuat dalam setiap observasi maupun
wawancara oleh penulis.namun kesimpulan itu tentu masih sementara
sifatnya.oleh karena itu, kesimpulan yang final baru diambil melalui
proses evaluasi kembali dan kesimpulan yang sementara, pada saat
penelitian telah selesai. Dengan kata lain, kesimpulan yang bersifat final
adalah out put penelitian itu sendiri, melalui proses panjang dan data
mentah kemudian data tersebut diredaksi (dipilih-pilih) yang sesuai
dengan data yang diinginkan (tematik) penelitian ini. Selanjutnya data
tersebut dideskripsikan melalui display data dengan kemungkinan pola-
pola nya diproses analisis menggunakan konstruksi teori yang ada
64
Nasution ,S. 2003. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito
hal129
69
sehingga dengan cara itu diharapkan data tidak semata-mata tidak
bersifat deskriftif belaka, namun juga bersifat akademis.65
Dalam penelitian ini teknik data yang digunakan adalah:
a. Analisis data deskriptif
digunakan untuk menjelaskan suatu data, fakta atau pemikiran
yang ada baik mengenai kondisi yang ada, atau yang sedang
berlangsung. Teknik ini digunakan untuk mendiskripsikan jawaban dari
permasalahan penelitian ini terutama pelaksanaan tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota
Salatiga.
8. Uji Keabsahan Data
Menurut melong ada beberapa kriteria dan keabsahan data (trust
worthinness), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferabillity), keberagaman (deoendability), dan kepastian
(confirmabillity) (meleong,2011:324)
Sementara itu, untuk menguji keabsahan data, sebagaimana ditulis
oleh Nasution (2003; 114-118) dapat dengan:
a. Memperpanjang massa observasi
b. Pengamatan yang terus menerus
c. Trianggulasi
d. Membicarakan dengan orang lain
65
Dra.djami‟atul Islamiyah, M.Ag, Dimensi Eksperiensial dan Konsekuensial dari
Psikografi Keberagamaan Mahasiswa IAIN Salatiga Tahun 2016 (Studi Para Hafiz dan Hafizah),
lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LP2M) hal 30-31
70
e. Menganalisis kasus negatif
f. Menggunakan bahan reverensi
g. Menggunakan member check
Untuk mengecek keabsahan data skripsi ini, maka digunakan
metode trianggulasi yaitu dengan menggunakan metode pengumpulan
data dan analisis data, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji
keabsahan dan analisis hasil penelitian66
. Dengan triangulasi akan lebih
meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan satu
pendekatan67
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.hal ini
dapat dicaapi dengan jalan :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikaatakan sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan presfektif seorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang
pemerintahan
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan
66
Bungin, Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hal 203. 67
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, hal 241.
71
Sementara untuk trianggulasi dengan metode, terdapat dua strategi,
yaitu ; pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik trianggulasi ketiga yaitu dengan memanfaatkan penyidik
(peneliti) atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali
derajat kepercayaan data68
.
9. Tahap-tahap Penelitian
a. Penelitian Pendahuluan
Penulis pertama melalui tahap pengamatan (observasi),
setelah itu sebagai pendukung penulis mengkaji buku dan sumber-
sumber dari internet dan buku-buku yang berhubungan dengan
pembacaan al-Qur‟an surah pilihan (al-Hadid) . Kemudian penulis
memperoleh gambaran tentang apa yang akan diteliti dan penulis
memulai melakukan penelitian.
b. Pengembangan Desain
Setelah penulis mengetahui cukup banyak hal tentang
pembacaan al-Qur‟an surah pilihan (al-Hadid), penulis melakukan
observasi ke panti asuhan Darul Hadlanah NU untuk mengetahui
makna dan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Qur‟an surah al-
Hadid dipanti asuhan Darul Hadlanah. .
68
Dra.djami‟atul Islamiyah, M.Ag, Dimensi Eksperiensial dan Konsekuensial dari
Psikografi Keberagamaan Mahasiswa IAIN Salatiga Tahun 2016 (Studi Para Hafiz dan Hafizah),
lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LP2M) hal 28-29
72
c. Penelitian sebenarnya
Penulis melakukan penelitian dipanti asuhan Darul Hadlanah
NU untuk melihat seperti apa tradisi pembacaan surah al-Hadid .
Mencatat berbagai hal yang berhubungan dengan pembacaan surah
pilihan yaitu surah al-Hadid ayat 1-6 untuk mengetahui tradisi dan
prosesi pembacaan al-Qur‟an surah pilihan yaitu surah al-Hadid
ayat 1-6 dan juga mencatat tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan pembacaan al-Qur‟an surah pilihan yaitu surah al-Hadid
ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota salatiga.
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga
1. Sejarah Berdirinya Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga
Panti asuhan ini merupakan salah satu kegiatan bidang mabarat
(sosial) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama‟ (PCNU) Kota Salatiga dan
panti asuhan ini juga satu-satunya panti asuhan diSalatiga yang langsung
dibawah PCNU. Kegiatan ini adalah sebagai implementasi tanggung
jawab sosial NU. Format pola asuhan anak dipanti asuhan NU dirancang
dengan model integrasi pesantren dan panti asuhan. Arah yang
dikembangkan adalah membekali anak asuh dengan Islam ahlussunnah
wal jamaah yang mengedepankan nilai-nilai kesalehan individual dan
sekaligus kesalehan sosial. Diharapkan anak asuh dapat tumbuh
menjadipribadiyang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual maupun
sosial yang tinggi.
Kegiatan ini adalah sebagai bentuk implikasi dan rasa tanggung
jawab sosial NU terhadap masyarakat miskin disekitar kota Salatiga.
Sebagai salah satu pengemban amanah dalam memperhatikan, memikirkan
dan menyertai segala aspirasi semua lapisan masyarakat mayoritas
dikelola oleh dan untuk masyarakat, merupakan suatu usaha wadah
tempat dimana terjadinya suatu proses kesadaran manusia akan tujuan
hidupnya, yakni; mendapatkan ridho Ilahi didunia dan akhirat, dengan
74
diperoleh dan dikembangkannya suatu pengetahuan, dengan indera yang
diberikan Ilahi itu sebagai bekal dalam mengemban tugas sebagaimana
sifat dasar manusia itu sendiri yaitu memberi kemanfaatan sebanyak-
banyaknya bagi orang lain.
Banyak kasus kemiskinan yang terjadidimasyarakat, sehingga
banyak anak yang ditelantarkan bahkan ditinggalkan orang tuanya, karena
kemiskinan atau ketidakmampuan orangtua dalam memberikan nafkah
anak. Keadaan ini menjadisalah satu faktor diadakannya panti asuhan ini.
Dilihat dari berbagai media baik televisi maupun koran kemiskinan masih
menjadipersoalan panjang dan tak terselesaikan.
Format pola asuhan anak dipanti ini, dirancang dengan model
integrasi pesantren dan panti asuhan. Arah yang dikembangkan adalah
membekali anak asuh dengan Islam yang rahmatallilalamin yang
mengedepankan nilai-nilai kesalihan individu dan segaligus kesalihan
sosial.
Panti asuhan Darul Hadlanah berdiri pada tahun 2008 tepatnya
pada tangga l8 Januari, panti asuhan ini berdiri melihat keadaan bahwa
masih banyak kondisi orang NU yang kurang mampu, anak yatim, dan
anak yatim piatu. Adapun Manajemen pesantrennya seperti; pengajian
kitab kuning, khitobah, berjanji, qiro‟ah, dan lain-lain. Sedangkan,
manajemen pengasuhannya seperti memberikan pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan anaknya, memberikan perawatan, bimbingan dan
pengawasan kepada anak. Arah yang dikembangkan adalah membekali
anak asuh dengan ajaran-ajaran agama Islam yang mengedepankan nilai-
75
nilai kesalehan individual dan sekaligus kesalehan sosial. Diharapkan anak
asuh dapat tumbuh menjadipribadiyang memiliki kecerdasan intelektual,
spiritual maupun sosial yang tinggi.
2. Dasar Pendirian
AD/ART Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Salatiga
a. Peraturan pemerintah Nomer 73 tahun 1991, tentang pendidikan luar
sekolah
b. Peraturan pemerintah Nomer 39 tahun 1992, tentang peran serta
masyarakat dalam pendidikan nasional.
c. Rapat Pengurus Panti Asuhan Darul Hadlanah pada tanggal 10 Juli
2011
d. Kondisi riil masyarakat yang miskin dan kurang mampu.
3. Pengasuh
DiPanti asuhan Darul Hadlanah Terdapat 1 kyai dan 1 bu nyai
yang bertanggung jawab dipanti asuhan Darul Hadlanah, diantaranya; Dr.
Gufron makruf M.Ag dan ibu nyai Muizzatul Azizah S.TH.I (Hafidoh).
4. Letak Geografis Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Blotongan
Letak panti asuhan Darul Hadlanah berada ditepi jalan raya
Semarang-Solo. Tepatnya diDusun Modangan Rt 02/ Rw 08, JL.
Fatmawati Blotongan Km.5, kecamatan Sidorejo, Salatiga dan
bersebelahan dengan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
76
5. Maksud dan Tujuan Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Blotongan
Didirikanya panti asuhan Darul Hadlanah Nahdlatul Ulama‟ kota
Salatiga ini pasti memiliki maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan
didirikanya panti asuhan ini adalah:
a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan anak asuh (santri)
kepada Allah SWT
b. Mengajarkan pada anak asuh (santri) agar senantiasa berpegang
pada nilai-nilai Islam Ahlu sunnah wal jama‟ah.
c. Mendidik anak asuh (santri) agar menjadisantri yang
berakhlakul karimah, cerdas dan mandiri. Meningkatkan
kualitas sumber daya anak asuh (santri)
d. Membangun kesadaran anak asuh (santri) untuk berprestasi
sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya masing-masing.
e. Memperbaiki faham-faham keIslaman sesuai dengan ajaran Al-
Qur‟an dan hadits dalam rangka pembinaan dan pembentukan
pribadimuslim yang diridhoi Allah SWT (SK.MENKUMHAM
No.C-467.HT.03.01-Th.2006)
6. Visi dan Misi Panti Asuahan Darul Hadlanah NU
a. Visi
Menjadipusat pengembangan pribadibagi para anak yatim, piatu
dan dhuafa‟ yang berakhlakul karimah, agamis, dan cerdas secara
intelektual.
77
b. Misi
1) Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan santri asuh kepada Allah
SWT.
2) Mengajarkan santri asuh agar tetap berpegang pada nilai-nilai Islam
ahlusunnah wal jamaah.
3) Mendidik santri asuh agar menjadisantri yang berakhlakul karimah
cerdas dan mandiri.
4) Meningkatkan sumber daya santri.
5) Membangun kesadaran santri asuh untuk berprestasi sesuai dengan
kompetensinya masing-masing.
7. Struktur Pengurus
Pembina : KH. Sonwasi Ridwan, BA
Pengawas : H. Haryono, SH
Dewan Pengurus
Ketua : Dr.H.Miftahudin,M.Ag
Seketaris : Drs. Joko Anis, M.Pdi
Bendahara : Drs. BPH.Pramusinta, M.Kes
: Drs. Ja‟fari
Anggota :1. Drs. Zaenuri, M.P
2. Drs. Imam Baehaqi, M.A
3. Drs. Muslih, MM
4. H. Bambang Riantoko
5. KH. Nasikun
6. KH. Habibillah
78
7. K. Muhlasin
Pengasuh : 1. Dr. M.Gufron,M.Ag
2. Muizzatul Azizah,S.Th I
8. Sumber Dana Panti Asuhan
Secara keseluruhan biaya anak asuh ditanggung oleh panti,
mulai dari biaya pendidikan, makan, pakaian, uang jajan dan uang
sekolah. Adapun dana yang digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan panti asuhan berasal dari berbagai sumber. Sumber dana
panti asuhan adalah sebagai berikut:
a. Sumbangan atau bantuan yang bersifat tidak mengikat,
termasuk sumbangan baik dari pemerintah, badan atau
perorangan baik berupa uang, barang-barang, perlengkapan-
perlengkapan.
b. Bantuan dari donator tetap dari pengurus cabang NU dan
warga NU.
c. Penerimaan harta wakaf, hibah, sodaqoh, wasiat.
d. Penerimaan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran
dasar panti asuhan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
79
9. Data Santriwan Dan Santriwati Panti Asuhan Darul Hadlanah Nu
Salatiga
a. Santri Putra
No Nama
P/L
Tempat
lahir
Tanggal
Lahir
Sekolah
1 Deny Aryanto L semarang 31/12/1999 SLTA
2 Rohman Nur Huda L Semarang 16/08/2000 SLTA
3 Nur Pandoyo L Semarang 20/08/1999 SLTA
4 Angges Tio PrasendiArianto L Semarang 8/17/2000 SLTP
5 Adela Bintarawan Ixsana L Semarang 11/6/2000 SLTA
6 Dindiawan Ayang Ivanda L Semarang 26/09/2001 SLTA
7 M. Zulfikar Rossandi L Batam 25/01/2001 SLTA
8 Ramadhan Batis Tuta L Semarang 16/11/2002 SLTP
9 Trio Waliyudin L Brebes 15/03/2003 SLTP
10 M.Nur Aziz L Salatiga 4/21/2001 SLTP
11 Dicki Candra Pratama L Purwodadi 5/13/2004 SD
12 M Habib Lutfi L Pati 8/6/2003 SLTP
13 Fatih Azmi Mubarok L Salatiga 20/06/2006 SD
14 Achmad Amrul Iksan L Salatiga 25/04/2007 SD
15 Septa Aryowibowo L Salatiga 28/09/2006 SD
16 Zacki Dwi Riyadi L Semarang 2/1/2003 SD
17 Muhammad Haqiqi Nazil L Salatiga 13/04/1999 SLTA
18 A. Nur Rahman L Jepara 3/2/2002 SLTP
19 M. Nabawi L Semarang 08/05/2004 SD
23 Reza Aulia Yusuf L Salatiga 14/04/2001 SLTP
80
b. Santri Putri
No Nama L/P Tempat
Lahir
Tanggal
Lahir
Sekolah
1 Dewi Rahayu P Semarang 1/3/1999 SLTA
2 Nur Hikmah P Semarang 11/7/1999 SLTA
3 Wahyu Nur H. P Semarang 3/9/1999 SLTA
4 Alfa Nur Safitri P Semarang 25/01/1999 SLTA
5 Uswatun Hasanah P Semarang 7/7/2000 SLTA
6 Haniam Maria P Semarang 1/5/1999 SLTA
7 Aprilia Maudiyah G. P Semarang 9/4/2001 SLTA
8 Triani Permitasari P Semarang 27/01/2003 SLTP
9 Ayunda Rizki K. P Boyolali 29/01/2001 SLTP
10 Sunariya P Semarang 15/8/2002 SLTP
11 Syeima Nadira P Tegal 29/5/2004 SD
12 Rini Novita Sari P Semarang 3/10/1999 SLTA
13 Chilya kamila P semarang 21/08/2005 MTS
14 Rosidatul Khomidah P Salatiga 24/05/2005 MTS
15 Erikasari Ningsih P Semarang 14/05/2002 SMK
16 Fitria Usvatun P Semarang 3/12/2001 SMK
17 Asfia Hidayat P Kendal 21/03/2001 SMK
18 Umi Isnawati P Semarang 8/02/2002 SMK
19 Aulia Anisa Fitri P Surakarta 26/09/2009 MI
81
10. Jadwal Santri
Jadwal Keseharian Anak Asuh Dipanti Asuhan Darul Hadlanah Nu
Blotongan
Tabel.3
NO WAKTU KEGIATAN
1 04.00-04.30 SHOLAT SUBUH
2 04.30-06.00 MENGAJI AL-QUR‟AN
3 06.00-15.00 SEKOLAH
4 15.00-15.15 MAKAN SIANG
5 15.15-16.00 NGAJI (HAFALAN)
6 16.00-16.20 SHOLAT ASHAR
7 16.20-17.30 NGAJI
8 18.00-18.30 SHOLAT MAGHRIB
9 18.30-20.00 BELAJAR
10 20.00-20.15 SHOLAT ISYA‟
11 20.15-21.00 MAKAN
12 22.00-04.30 TIDUR
82
Jadwal Kegiatan Ngaji Harian
Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Blotongan Salatiga
Tabel.4
HARI KITAB USTADZ/USTADZAH
Senin Ar Bain Nawawi Zakiyatul Fitri S.Pd.
Tuhfatul Athfal Nurul Azmi
Selasa Aqidatul Awam Muizzatul Azizah,S.Th.I
Rabu Nahwu & Shorof Dr. M.Gufron,M.Ag
Risalatul Mahid Neny Muthiatul Awaliyah
Kamis Ta‟limul Muta‟allim Ahmad Hafidin
Bahasa Arab Nunung Suciati S.Pd.
Minggu Sima‟an Semua Ustadz, Ustadzah Dan Santri
83
11. Sarana dan Prasarana
Untuk mendukung kegiatan dipanti asuhan ada beberapa sarana
prasarana yang tersedia.
Tabel.5
NO NAMA BANGUNAN JUMLAH
1 RUANG TAMU 1
2 MUSHOLA 1
3 DAPUR 1
4 RUANG MENJAHIT 1
5 RUANG KESEHATAN 1
4 RUANG MAKAN 1
5 KAMAR MANDIPUTRA 3
6 KAMAR MANDIPUTRI 2
7 KAMAR MANDIPENGASUH 1
8 KAMAR TIDUR PUTRA 6
9 KAMAR TIDUR PUTRI 4
10 RUANG PENGASUH 2
84
12. Tata Tertib
Agar anak-anak dipanti menjadidisiplin dan rajin, perlu adanya tata
tertib yang harus dipatuhi oleh semua anak panti asuhan, tata tertib
tersebut sebagai berikut:
Kewajiban
a. Santri wajib menjunjung tinggi dan menjaga nama baik panti asuhan
Darul Hadlanah NU.
b. Bersikap sopan santun dalam berhubungan dengan pengasuh dan
sesama.
c. Wajib mengikuti kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan oleh
pengasuh.
d. Wajib mengikuti sholat berjama‟ah.
e. Mohon ijin kepada pengasuh apabila akan meninggalkan panti.
f. Menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungan panti.
g. Sopan dalam pakaian dan bertutur kata.
h. Mentaati tata tertib
Larangan-larangan
a. Dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syara‟.
b. Dilarang bergurau dimalam hari.
c. Dilarang membawa ponsel69
.
69
Wawancara di panti asuhan Darul Hadlanah pada tanggal 7/2/2018 pada pukul 10.00
85
B. Temuan Penelitian Tradisi Pembacaan Al-Qur’an Surah Al-Hadid Ayat
1-6 diPanti Asuhan Darul Hadlanah NU Kota Salatiga
Pada penelitian ini penulis menyampaikan tentang data yang
menyangkut tentang bagaimana asalm mula pembacaan al-Qur‟an surah
al-Hadid ayat 1-6, waktu dan prosesi pembacaan, serta landasan filosofis
pembacaan surah al-Hadid ayat 1-6 tersebut. Data tersebut penulis peroleh
melalaui wawancara dengan pengasuh panti Asuhan Darul Hadlanah NU
kota Salatiga. Berikut adalah hasil wawancara:
1. Tradisi dan Prosesi
a. Definisi Dan Asal Mula Tradisi Pembacaan al-Qur‟an Surat Pilihan
(al-Hadid Ayat1-6) DiPanti Asuhan Darul Hadlanah
Nabi muhammad SAW, lebih senang menyibukkan diri untuk
memberikan perhatian tehadap al-Qur‟an, baik dalam shalat, tahajud,
keseharian dan keterbukaannya, keberadaannya dirumah atau dalam
perjalanannya, kesendirian dan kebersamaanya dengan para sahabat,
kesusahan dan kemudahannya maupun dalam kegembiraan dan
kesedihan beliau. Salah satu kesibukan terhadap al-Qur‟an adalah
membacanya.
Dikalangan masyarakat pembacaan al-Qur‟an sudah banyak
yang mengamalkannya, bahkan menjadisuatu tradisi. Dipanti Asuhan
Darul Hadlanah juga menerapkan tradisi pembacaan al-Qur‟an yaitu
surah al-Hadid ayat 1-6 kepada para santri putra maupun putri dan
ustad serta ustazahnya.
86
Membicarakan ritual keagamaan dipanti asuhan Darul
Hadlanah NU kota salatiga sama dengan membicarakan living
Qur‟an. Dalam ritual tersebut, ayat-ayat al-Qur‟an bagaikan sesuatu
yang hidup dan bersemi ketika dibacakan dan diamalkan sehingga
potongan-potongan ayat menggema disepanjang dilakukan ritual
keagamaan tersebut. Selain itu, tidak terlepas dipanti asuhan Darul
Hadlanah, surah pilihan yang biasa dibaca adalah merupakan bacaan
al-Qur‟an surat tertentu yaitu surah al- Hadid ayat 1-6. Adapun yang
dimaksud dengan surat pilihan ini adalah surat dari al-Qur‟an yang
sengaja dipilih dan ditetapkan oleh pengasuh (Dr.Gufron Makruf
M.Ag dan ibu Muizzatul Azizah S.Th.I) untuk dibaca dan dijadikan
sebagai amalan santri putra dan putri dipanti asuhan Darul Hadlanah
yang dilaksanakan secara rutin setiap hari jum‟at pagi setelah sholat
jama‟ah subuh.
Seperti amalan yang lain, yang sebagian bacaanya diambil dari
potongan ayat al-Qur‟an, amalan pembacaan terdiri atas ayat al-
Qur‟an surat al-Hadid ayat 1-6. Keyakinan-keyakinan dikemukakan
oleh para pengamal, menandakan adanya indikasi hidupnya al-
Qur‟an pada tataran realitas, tetapi belum tentu secara substansial
makna yang tersurat dipahami oleh para santri putra maupun santri
putri. Akan tetapi, hal ini sudah mengindikasikan bahwa al-Qur‟an
telah menjadipedoman kehidupan bagi masyarakat umum. Dalam
tradisi ritual pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid yang ada dipanti
asuhan Darul Hadlanah tidak hanya diisi dengan tahlil dan
87
pembacaan surah yang diambil dari potongan ayat al-Qur‟an yang
diyakini memilki kekuatan tersembunyi (the power of hidden). Akan
tetapi, pengasuh panti juga memberikan pengarahan kepada santri
panti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga.
Secara singkat kegiatan tradisi pembacaan surah al-Hadid
dipanti asuhan Darul Hadlanah dilaksanakan sejak (tahun 2016), hal
ini bermula dari harapan kyai dan semua keluarga besar panti asuhan
Darul Hadlanah agar segera dapat terlakasananya pembangunan panti
putra.
Sebagaimana dijelaskan oleh pengasuh bahwa dalam rangka
membetulkan dan membaguskan bacaan maka beliau berinisiatif
menjalankan suatu metode pembelajaran al-Qur‟an, khususnya untuk
seluruh santri putra putri panti asuhan Darul Hadlanah, yaitu dengan
mengikuti apa yang telah dilafalkan oleh pengasuhnya, kemudian
santri panti asuhan Darul Hadlanah mengikuti lafad bacaan al Qur‟an
tersebut. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk bacaan al Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 yang sengaja dipilih berdasarkan keutamaan
dan fadilah yang terkandung dalam setiap surat tersebut, baik yang
didasarkan dari hadis nabi SAW, Maupun berdasarkan kepada rasa
patuh dan bentuk ta‟at beliau (Dr.Gufron) kepada kyai maupun guru-
guru tarekoh yang telah memberikan banyak ilmu kepada beliau.
Adapun dalil yang digunakan dalam melaksanakan tradisi
pembacaan al-Qur‟an surat al-Hadid dipanti asuhan Darul Hadlanah
NU Kota Salatiga adalah Secara logika segala bentuk amaliah apapun
88
tentu memiliki landasan teori dan tujuan yang menadasar
terlaksananya kegiatan tersebut. Begitu halnya pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid yang dilakukan dipanti asuhan Darul Hadlanah NU
kota Salatiga.
Al-Mukarrom al-ustad Dr.Gufron Makruf M.Ag selaku
pengasuh mengatakan: pembacaan surah al-Hadid merupakan
kegiatan positif dimana kegiatan tersebut sebagai niatan dzikir
tuntunan dari sahabat Ali, maka seorang hamba akan beruntung
ketika mengamalkan dzikir tersebut karena mendapat keberkahan
dari Allah SWT dan hajat apa yang diharapkan akan terkabul.
Kemudian dari pada itu pengurus (ustad) Ahmad Hafidzin
mengatakan: “ didalam surah al-Hadid ayat 1-6 terdapat obat segala
penyakit termasuk hati maupun penyakit kantong, karena setiap apa
yang dibaca mempunyai khodim tersendiri termasuk pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid tersebut dan jika ingin mendapat keberkahan
dari Allah SWT maka bacalah surah al-Hadid ayat 1-6.
Nurul Azizah santri panti asuhan Darul Hadlanah kelas sebelas
SMK Diponegoro, menguraikan: intinya dari pembacaan surat al-
Hadid ayat 1-6 adalah dzikir agar panti tidak seperti kuburan dan
tidak dimasuki oleh syetan.
b. Pola Bacaan pembacaan surah pilihan(al-Hadid ayat1-6) dipanti
asuhan Darul Hadlanah Salatiga
Bacaan al-Qur‟an surat pilihan tersebut dibaca dengan nada
yang cukup lantang (jahr) dan secara tartil, yaitu dengan
89
memperhatikan tajwid dan makhrajnya. Pengertian tartil secara
bahasa berasal dari kata rattalla, melagukan atau menyanyikan yang
pada awal Islam hanya bermakna pembacaan al-Qur‟an secara
melodik. Al-Suyuthi menjelaskan bahwa tartil mencakup pemahaman
tentang pausa dalam pembacaan dan atrikulasi yang tepat huruf-huruf
hijaiyah. Dewasa ini, istilah tersebut tidak hanya merupakan suatu
terma genetik untuk pembacaan al-Qur‟an, tetapi juga merujuk
kepada pembacaannya secara cermat dan perlahan-lahan. Demikian
pula dengan bacaan al-Qur‟an, bacaan tersebut juga harus dibaca
secara tartil, benar tajwid dan makhrajnya dan tidak terburu-buru.
Bacaan al-Qur‟an surat al-Hadid ini, hanya dibaca satu kali
yaitu ayat satu sampai dengan ayat enam dengan mengikuti pengasuh
saat dibacakan, dengan pola bacaan ayat pertama dibacakan
kemudian para santri panti asuhan Darul Hadlanah mengikuti, begitu
selanjutnya
c. Waktu dan Prosesi Praktik Pembacaan Surah Pilihan ( al-Hadid
ayat1-6)
Waktu pelaksanaan praktik pembacaan al-Qur‟an surat pilihan
ini dilaksanakan setiap hari jumat pagi setelah sholat berjamaah
subuh. Secara umum, sebelum seluruh santri yang telah
melaksanakan shalat berjamaah ini memulai bacaan al-Qur‟an surat
pilihan tersebut maka pengasuh masing masing baik putra maupun
putri akan terlebih dahulu memimpin bacaan al-Qur‟an surat al-
Fatihah sebagai hadrah atau bacaan tawassul.
90
d. Penerapan Tradisi Pembacaan Surat Al-Hadid Ayat 1-6 diPanti
Asuhan Darul Hadlanah
Orang mukmin memandang bahwa kehidupan adalah
kesempatan untuk beribadah kepada allah SWT. Salah satu bentuk
ibadah kepada Allah adalah dengan cara membaca al-Qur‟an. Tradisi
pembacaan al-Qur‟an yaitu surah al-Hadid yang dilakukan dipanti
asuhan Darul Hadlanah NU Salatiga sudah berjalan kurang lebih dua
tahun dan berjalan dengan baik.
Pelaksanaan pembacaan surah al-Hadid dipanti asuhan Darul
Hadlanah dilakukan seminggu sekali yang dilaksanakan pada hari
jumat pagi setelah tahlil bersama, dan dipimpin oleh pengasuh panti
asuhan Darul Hadlanah baik putra maupun putri.
Adapun secara rinci praktek pelaksanaan pembacaan surat al-
Hadid dipanti asuhan Darul Hadlanah adalah sebagai berikut :
a. Tawashul (pengkhususan arwah yang didoakan)
b. Membaca surah al-Ikhlas 3 kali
c. Membaca surah al-Falaq 1 kali
d. Membaca surat an-Nas 1 kali
e. Membaca alif lam mim
f. Membaca ayat kursi
g. Membaca bacaan dzikir seperti dzikir sesudah solat
h. Doa sesudah solat
i. Kemudian membaca al-fatihah
j. Pembacaan surah al-Hadid ayat1-6
91
k. Kemudian al-fatihah kembali
l. Berdoa sesuai dengan hajat dan keinginan masing-masing.
Penerapan dari tradisi pembacaan surat al-Hadid ayat 1-6
dipanti asuhan Darul Hadlanah dilakukan secara terstruktur dan
sistematis. Dilakukan hingga saat ini dan sudah menjaditradisi warga
panti asuhan Darul Hadlanah NU kota salatiga.
2. Makna Tradisi
Untuk mendapatkan data tentang masalah tersebut penulis
mengadakan wawancara dengan beberapa santri dipanti asuhan Darul
Hadlanah NU kota Salatiga.
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa tujuan penulisan ini
adalah untuk mengetahui polarisasi dari santri panti asuhan Darul
Hadlanah NU kota Salatiga. Maksud dari kata polarisasi tersebut adalah
hal-hal yang berkaitan dengan volume tradisi pembacaan al-Qur‟an surat
al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhn Darul Hadlanah dan intensitas pemahaman
mereka tentang arti ayat per ayat (kemampuan menerjemahkan).
Disamping itu juga persepsi mereka tentang adanya tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota
Salatiga. Polarisasi tersebut menurut penulis sangat penting jika diartikan
dengan tujuan kedua dari penelitian ini yaitu mendiskrpsikan bagaimana
tradisi dan makna tradisi dari pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-
6, dengan demikian penulis ingin melihat melihat adanya impikasi
pemahaman tentang makna dari tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-
Hadid.
92
Santri panti asuhan Darul Hadlanah semakin lama tentu semakin
banyak, santri panti asuhan Darul Hadlanah hampir 50 orang. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini penulis tidak bisa mengambil semua sebagai
subjek dalam penelitian ini, dan hanya beberapa saja (tujuh orang).
pertimbangan tersebut lebih berkaitan dengan masalah teknis dan
disamping itu juga dalam praktiknya tidak semua santri panti asuhan Darul
Hadlanah tersedia diwawancarai. sebagian dari alasan mereka adalah
belum memahami sepenuhnya tentang pemahaman tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota
Salatiga. Hal ini juga menjadisalah satu kendala dalam proses penelitian.
Secara intens wawancara penulis lakukan dengan respon satu per
satu, kemudian jika masih ada tambahan data penulis berusaha menemani
mereka lagi secara langsung. Begitu seterusnya hingga dirasa data yang
dibutuhkan telah cukup dalam mewakili judul penelitian skripsi. Berikut
ini akan dideskripsikan gambaran sekilas tentang responden dalam
penelitian tentang makna tradisi pembacaan surah al-Hadid dapat
didiskripsikan sebagai berikut :
NP ( responden 1) Responden ini lahir didesa Magersari,
Sumogawe, Getasan kabupaten Semarang pada tahun 1999, dari keluarga
dengan kultur keagamaan yang biasa saja. Bapak seorang petani dan
ibunya adalah seorang buruh pabrik, pada saat inilah dia belajar sambil
tinggal dipanti asuhan darul hadlanah, sejak SMK kelas 11 kira-kira pada
tahun 2015. Melihat bigron keluarganya yang biasa saja dalam hal
keagamaan ada yang perlu digaris bawahi semenjak berada dipanti asuhan
93
Darul Hadlanah ini, dia merasakan betah karena dibekali dengan ilmu
agama yang lebih dari segalanya. Panti asuhan ini diakui telah banyak
membantu dalam hal-hal keagamaan secara mendalam, mulai dari hafalan
al-Qur‟an sampai tradisi pembacaan al Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6
tersebut. Saat penulis bertanya tentang pandangan dia berkaitan tentang
pembacaan al-Qur‟an surat al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul
Hadlanah dia menjawab : dalam pembacaan al Qur‟an surah al-Hadid ayat
1-6 tersebut membuat berkah untuk diri sendiri maupun orang lain, antara
lain datangnya rizki sehingga saya sendiri dan yang berada dipanti asuhan
Darul Hadlanah ini ikut merasakan keberkahan rizki yang diberikan oleh
Allah SWT, serta adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid
tersebut menambah wawasan tentang ilmu dan selanjutnya bisa diamalkan
nantinya. Sementara untuk menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟an dia
menjawab “ belum bisa” artinya kemungkinan dia akan belajar memahami
arti surat al-Hadid ayat 1-6 tersebut.
ATP ( responden 2) Responden ini lahir didaerah Kalitaman
Salatiga pada tahun 2000, sebagai mana responden lainnya dia juga
berasal dari keluarga yang tidak agamis. Ayahnya tidak diketahui sampai
sekarang dan ibunya adalah seorang wiraswasta. Sejak kecil dia sudah
berada dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga ( sejak SD), pada
saat inilah dia belajar agama dan belajar mengaji. Melihat bigron
keluarganya yang tidak agamis, responden merasa bersyukur bisa tinggal
dipanti Asuhan Darul Hadlanah dengan diajarkan banyak berbagai hal
tentang membaca al-Qur‟an dll. Salah satu yang responden ikuti tradisi
94
yang belum pernah diajarkan dimasyarakatnya dan dilingkungan
keluarganya, ternyata dipanti asuhan Darul Hadlanah responden bisa
mengikuti tradisi pembacaan surah al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul
Hadlanah NU kota Salatiga. Saat penulis bertanya tentang seputar tradisi
pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6, responden menjawab, pada
saat tradisi tersebut sangat baik dilakukan. Karena bisa mengabulkan
semua keinginan, salah satunya waktu kelas 9 responden akan
melaksanakan ujian nasional agar dilancarkan dan diberikan nilai yang
memuaskan, dengan adanya kepercayaan yang mendalam pada setiap
bacaan al-Qur‟an surah tersebut responden merasa lebih mudah saat
mengadapi soal ujian yang dikerjakan, bukan hanya itu saja , keberkahan
yang ada dipanti asuhan Darul Hadlanah dirasakan oleh responden
mengalir terus menerus sehingga keberkahan untuk semua warga panti
asuhan Darul Hadlanah tiada henti nya. Selanjutnya tentang pandangan
responden berkaitan dengan arti dari surah al-Hadid ayat 1-6 belum bisa
sepenuhnya.
MAS (responden 3) Terlahir dari keluarga petani dan ibunya
adalah wiraswasta. Responden berada dipanti asuhan Darul Hadlanah
sejak SMP kelas . responden merasa senang dengan adanya kegiatan yang
berhubungan dengan al-Qur‟an. salah satunya simak‟an dan tradisi
pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6. Dengan adanya tradisi
pembacaan surah al-Hadid ayat 1-6 jaditambah ilmu kalau ayat tersebut
ternyata ayat yang mendatangkan rizky yang berkah dan melimpah serta
hajat responden secara tidak langsung dengan adanya dzikiran tersebut
95
percaya dikabulkan. Saat penulis menginginkan konfirmasi seputar
pandangan responden tentang kegiatan tradisi pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 responden menjelaskan “ pernah saya meminta
untuk peringkat yang lebih baik, jangan sampai seperti semester satu lagi,
dengan adanya amalan yang dia ikuti tersebut responden percaya dan
disemester dua responden mendapat peringkat yang lebih baik dari
semester satu.
Lalu ketika penulis bertanya tentang bagaimana pandangan
responden tentang makna surah al-Hadid ayat 1-6, responden menjawab
tidak begitu mudeng denngan arti dari surah al-Hadid ayat 1-6, tetapi
ketika pengasuh melafalkan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 tersebut
responden bisa mengikuti dengan baik. Dan responden menjawab lagi
mungkin ketidak tahuan saya tentang terjemahan surah al-Hadid ayat 1-6
karena tidak ada penasaran tentang terjemahan ayat tersebut70
.
NS (responden 4) Terlahir dari keluarga agamis, setiap pagi
diajarkan oleh bapak dan ibunya membaca al-Qur‟an serta diajarkan
berzikir secara bersama setelah selesai sholat fardhu. Bapak dan ibunya
adalah seorang buruh. Responden berada dipanti asuhan Darul Hadlanah
NU kota Salatiga sejak sekolah diSMK Diponegoro. Responden sangat
senang dengan adanya kegiatan yang berhubungan dengan al-Qur‟an.
Salah satunya dengan adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an surat al-Hadid
dipanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga. Tradisi tersebut
menurut responden belum pernah diajarkan oleh keluarganya meskipun
70
Wawancara di panti asuhan Darul Hadlanah pada pukul 19.00 pada tanggal 5 maret
2018
96
keluarga responden berlebel agamis, lalu ketika penulis bertanya
bagaimana tentang pandangan responden tentang makna tradisi
pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 , responden menjawab
sangat nyaman karena gampang diikuti namun belum bisa memahami
artinya secara penuh dan percaya dengan adanya pembacaan ayat-ayat al-
Qur‟an bisa mendatangkan fadhilah yang luar biasa. Responden
menguraikan intinya dari pembacaan surat al-Hadid ayat 1-6 adalah dzikir
agar panti tidak seperti kuburan dan tidak dimasuki oleh syetan.
AH (responden 5) Terlahir dari keluarga agamis, responden dipanti
Asuhan Darul Hadlanah tersebut sebagai pengurus. Saat penulis bertanya
tentang bagaimana makan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid
ayat 1-6 responden mengatakan: “ didalam surah al-Hadid ayat 1-6
terdapat obat segala penyakit termasuk hati maupun penyakit kantong,
karena setiap apa yang dibaca mempunyai khodim tersendiri termasuk
pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid tersebut dan jika ingin mendapat
keberkahan dari Allah SWT maka bacalah surah al-Hadid ayat 1-6.
ZA (responden 6) Responden dipanti Asuhan Darul Hadlanah
tersebut sebagai pengurus. Saat penulis bertanya tentang bagaimana
makan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 Zakiyatul Fitri
S.Pd mengatakan: “ Tradisi pembacaan surah al-Hadid merupakan
riyadhah bathiniyah yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah,
menunjukkan rasa syukur dan bukti keimanan seseorang terhadap al-
Qur‟an.
97
NS ( responden 7) Responden dipanti Asuhan Darul Hadlanah
tersebut sebagai pengurus. Saat penulis bertanya tentang bagaimana
makan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid Nunung Suciati S.pd
sebagai salah satu pengurus dipanti asuhan Darul Hadlanah mengatakan:
Tradisi pembacaan surah al-Hadid adalah bentuk tradisi untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu adanya tradisi pembacaan
surah al-Hadid seorang santri akan lebih disiplin dan serius berdoa ketika
mempunyai hajat71
.
Adapun setelah diketahui tentang makna tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 dari beberapa responden warga panti
asuhan Darul Hadlanah penulis menyimpulkan beberapa hal tentang
makna tradisi sebagai berikut
1) Pendekatan Diri Kepada Allah, Bentuk Syukur dan Keimanan
Terhadap al-Qur‟an
Pengertian Mendekatkan Diri (Taqarrub) Kepada Allah
Swt. Dalam istilah akhlak, Pada dasarnya manusia dekat dengan
Allah Swt. Kedekatan manusia dengan Allah disini bukan dalam
arti fisik, karena Allah dengan semua sifat dan perbuatan-Nya
tidak mungkin dibayangkan dalam bentuk materi yang dapat
dibayangkan. Sesuatu yang mungkin dibayangkan adalah materi
dan Allah bukan bersifat materi. Antara Allah dan manusia tidak
ada jarak ruang dan waktu dalam arti materi. Antara Allah
dengan manusia yang jaraknya disebut oleh Al-Qur‟an dengan
71
Wawancara di panti asuhan darul hadlanah pada pukul 19.00 pada tanggal 5 maret
2018
98
qarib (dekat) bermakna abstrak, yaitu jarak yang terjadiantara
rohani (hati) manusia dengan Allah. Bentuk pendekatan orang
mukmin selain melalui ibadah-ibadah wajib, juga diamalkan
melalui ibadah-ibadah sunnat. Bahkan melalui ibadah-ibadah
sunnat lebih disukai Allah Swt. Melalui ibadah-ibadah wajib
adalah pendekatan (taqarrub) yang tidak boleh ditinggalkan,
sebagai tanda taat dan cintanya si hamba kepada Rabbnya,
sedangkan melalui ibadah-ibadah sunnat, menunjukkan
kesenangan dan kecintaan yang sangat, sehingga si hamba
datang kepada Rabbnya melalui jalan yang tidak diwajibkan,
namun sangat disukai oleh Allah Swt. Pendekatan diri kepada
allah72
, merupakan bentuk syukur dan keimanan terhadap al-
Qur‟an salah satu contonya dipanti asuhan Darul Hadlanah yaitu
dengan adanya pembacaan al-Qur‟an surah pilihan yaitu surah
al-Hadid ayat 1-6
Pengurus panti asuhan Darul Hadlanah ZF mengatakan:
Tradisi pembacaan surah al-Hadid merupakan riyadhah
bathiniyah yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada
Allah, menunjukkan rasa syukur dan bukti keimanan seseorang
terhadap al-Qur‟an.
NS sebagai salah satu pengurus dipanti asuhan Darul
Hadlanah mengatakan: Tradisi pembacaan surah al-Hadid
adalah bentuk tradisi untuk mendekatkan diri kepada Allah
72
Ritonga, Rahman, 2005. Akidah (Merakit Hubungan Manusia Dengan Khaliknya
Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini. Surabaya, hal 17
99
SWT. Selain itu adanya tradisi pembacaan surah al-Hadid
seorang santri akan lebih disiplin dan serius berdoa ketika
mempunyai hajat73
.
Pendekatan diri kepada Allah merupakan hal positif yang
menjadiamalan bathiniyah warga panti asuhan Darul Hadlanah NU
kota Salatiga, hal ini terlihat dampaknya para santri semakin
khusyu‟ dalam beribadah dan lebih cinta untuk membaca al-
Qur‟an. Tradisi pembacaan surah al-Hadid secara aplikatif
menunjukkan rasa syukur dan bukti keimanan seseorang dalam
mencintai al-Qur‟an.
2) Pembentuk Kepribadian
Setiap manusia yang terlahir didunia ini pasti membawa
kepribadiannya masing-masing, tapi dengan berjalannya waktu
kepribadian itu bisa berubah karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Kepribadian (personality) merupakan salah
satu kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau
temuan-temuan (hasil praktik penanganan kasus) para ahli. Objek
kajian kepribadian adalah “human behavior”, perilaku manusia,
yang pembahasannya terkait dengan apa, mengapa, dan bagaimana
perilaku tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2007:1). Pengertian
kepribadian menurut psikologi adalah suatu organisasi yang
73
Wawancara di panti asuhan darul hadlanah pada pukul 19.00 pada tanggal 5 maret
2018
100
dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah
laku dan pemikiran individu secara khas74
Untuk mengetahui amplikasi adanya tradisi pembacaan al-
Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 tentang pembentukan kepribadian
anak dipanti asuhan, maka penulis melakukan wawancara ke
beberapa anak asuh dipanti asuhan, antara lain :
a) Kepribadian sebelum masuk panti asuhan
Beberapa anak panti asuhan yang putri: “Adik Alfa,
mengatakan: “Kurang baik, sering bermain, kalau dirumah
jarang melakukan pekerjaan rumah, suka nonton televisi,
bangunnya kurang pagi”. “Adik Sunariyah mengatakan: “
masih malas-malasan, masih kurang rajin ngaji dan salat, suka
bermain”. “ Adik rosi mengatakan: “ masih kurang baik,
banyak bermain HP, banyak bermain, kurang bisa mengatur
waktu ”. “ Adik aulia mengatakan: “masih kurang baik, suka
bermain, jarang salat subuh”. “Adik Uswah mengatakan: “suka
males, ngaji rajin, suka nonton televisi, jarang bantu orang
tua”. Beberapa anak panti asuhan putra: “Nabawi mengatakan:
“Ngekel, nakal, sering main, gak mau salat, gak tau waktu
belajar”. “Rama mengatakan: “ Ngengkel dibangunkan sholat,
bangun siang, gak pernah belajar”.
b) Perubahan atau perkembangan setelah masuk panti asuhan:
“nabawi mengatakan: “Ada perubahan, banyak, salat rutin,
74
Koswara, E. 1986. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco hal. 11
101
bisa ngaji, tahu ilmu agama, alhamdullilah dapat prestasi,
disini dapat pengalaman banyak dari pengasuh, guru ngaji
teman, bisa membagi waktu salat,ngaji dan belajar, dibilangin
ngeyel harus dijewer, sekarang gak usah disuruh langsung
dilaksanakan. Selain itu, nyuci baju sendiri, bisa ngajari adik-
adiknya belajar, lebih tanggung jawab, dulu bisanya minta
uang jajan, sekarang makan seadanya, sekarang bisa hemat dan
mandiri”. “Nazil mengatakan: “Sopan santun mending, dulu
ngeyel, gak pernah nurut, pake bahasa ngoko sama orang tua,
sekarang pake bahasa kromo”. “Asnawi mengatakan: “Iya,
cuci baju sendiri, menata sepatu sendiri, belajar sendiri”.
Pertanyaan mendasar implikasi adanyaa pembacaan surah
al-Hadid ayat 1-6 menurut anak anak-anak panti asuhan Darul
Hadlanah adalah sangaat baik, karena dengan adanya
pembacaan ayat al-Qur‟an ayat 1-6 yang dilaksankan pada hari
jumat tersebut akan membentuk kepribadian anak-anak Darul
Hadlanah lebih dekat dengan solat, dan membaca al-Qur‟an.
Pengasuh panti asuhan Darul Hadlanah Dr. Gufron Makruf
M.Ag menjelaskan tentang makna tradisi pembacaan surah al-
Hadid bahwa “ Tradisi pembacaan surat al-Hadid sebagai
implikasi anak-anak panti asuhan dengan mendekatkan diri
kepada al-Qur‟an, masjid, ulama, serta membangun karakter
anak melatih untuk memberikan kepercayaan75
.
75
Wawancara di kampus IAIN SALATIGA kampus 2 pada pukul 14.00 pada tanggal 1
maret 2018
102
WNK adalah sebagai santri menjelaskan tentang makna
tradisi pembacaan surah al-Hadid bahwa “ Tradisi pembacaan
surat al-Hadid menambah semangat dalam beribadah dan
merasa tenang karena panti terasa seperti surga76
. Pribadiyang
semangat, jujur, dan memiliki jiwa yang tenang menjadipoint
keberhasilan yang merupakan prestasi tak ternilai bagi santri
panti asuhan Darul Hadlanah NU Salatiga. Hal ini merupakan
dampak positif dari makna tradisi pembacaan surat al-Hadid
ayat1-6.
3) Pengharapan Terkabulnya Hajat atau Datangnya Keberkahan
Rizki.
Ada satu tradisi yang masih dianut oleh panti asuhan Darul
Hadlanah yaitu ngalap berkah atau minta berkah dalam bahasa
arab disebut tabaruk. Keberkahan orang sholih pun terdapat pada
usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan
ilmu agama ditengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang
pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksud.
(HR.Abu Daud, At-Tirmdzi, & Ibnu Majah). Oleh karena itu
menurut beberapa responden, penulis simpulkan dengan adanya
tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 bisa
76
Wawancara di panti asuhan darul hadlanah pada pukul 19.00 pada tanggal 5 maret
2018
103
mendatangkan keberkahan (Rizki) dan hajat apa yang diinginkan
terkabul77
.
ANS sebagai santri dipanti asuhan Darul Hadlanah tersebut
juga mengatakan bahwa tradisi pembacaan surat al-Hadid ayat 1-
6 untuk pengharapaan terkabulnya hajat, salah satu cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengharap barokah
dari tradisi pembacaan surah al-Hadid tersebut78
.
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Tradisi Pembacaan al-Qur’an
Surah al-Hadid.
Adapun faktor pendukung dan penghambat yang penulis
simpulkan dari hasil wawancara dari pengasuh dengan adanya tradisi
pembacaan al-Qur‟an surat al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul
Hadlanah adalah sebagai berikut :Pendukung antara lain (a)Adanya
kepercayaan penuh dari para orang tua santri yang menyadari akan
pentingnya pendidikan agama. (b) Adanya keyakinan yang kuat dari
para santri tentang fadhilah pembacaan al-Qur‟an. Seperti adanya rizki
yang barokah dan terkabulnya doa mereka.
Penghambat anatara lain : (a) Pengkondisian anak anak yang
kurang maksimal karena anak-anak susah dibangunkan. (b) Hal tersebut
berimpikasi pada pelaksanaan jamaah yang kurang tepat waktu.
77
Koko liem,” Rahasia Menggapai Keberkahan”. Depok: 5M Press hal 5 78
Wawancara di panti asuhan darul hadlanah pada pukul 19.00 pada tanggal 5 maret
2018
104
BAB V
ANALISIS
Berdasarkan paparan data pada bab sebelumnya kiranya sampailah pada
langkah penelitian berikutnya yaitu analisis data. Dalam langkah ini peneliti
menguraikan beberapa tradisi dan prosesi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid
ayat 1-6 serta makna tradisi pembacaan surat al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan
Darul Hadlanah.
Uraian data, dokumentasi tersebut kiranya akan dapat memberikan
deskripsi dari dasar, pelaksanaan dan makna tradisi pembacaan surah al-Hadid
ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga. Berikut adalah
deskripsi analisis tentang kasus-kasus persoalan tersebut:
Terdapat temuan bahwa diantara responden hanya satu anak (1%) yang
berasal dari keluarga dengan presentasi agama yang kuat , padahal sebagian
dikatakan Zakiah Daradjat, pendidikan dalam keluarga menjadiamat
penting.”apabila sejak kecil ajaran agama tidak dibiasakan pada kehidupan anak,
maka pada waktu dewasannya nanti ia akan cenderung acuh tak acuh, anti agama
atau sekurang-kurangnya anak tidak akan merasakan pentingnya agama.79
Dengan
demikian, dari temuan itu pula muncul betapa pentingnya peran panti asuhan
(berbasis pondok pesantren) dalam pendidikan anak terutama yang berkaitan
dengan pendidikan keagamaan.
Maka tidak mengherankan jika dalam prosesi living Qur‟an yang
diselenggarakan dipanti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga. meskipun
diselenggarakan satu kali dalam seminggu. melalui dzikir dan tahlil semua itu
79
Zakiyah daradjat, Dalam Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal 80
105
dimaksud sebagai bagian dari menerapkan tradisi al-Qur‟an dalam kehidupan
anak didik (santri)
Kalau sekiranya al-Qur‟an pada mulanya diturunkan kepada orang arab,
yang mereka dengan sekali baca sudah paham akan artinya, sebab bahasanya
sendiri. Betapa lagi kita yang bukan orang arab. Karena Allah SWT
memerintahkan kita untuk mentadabburi al-Qur‟an, sekaligus memahami
maknanya dan melarang berpaling dari al-Qur‟an, sebagaimana firman-Nya :
“maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‟an ataukah hati mereka
terkunci. (muhammad ayat 24)”
Melalui ayat-ayat al-Qur‟an seorang hamba mampu mengenal mana yang
baik dan buruk dengan segala sisinya, mampu mengenal setiap jalan yang menuju
kepada kebaikan maupun kejelekan, mengetahui sebab-sebabnya, sasarannya,
buahnya, dan harapan yang diinginkan dari keduamya80
.
Oleh karena itu, membiasakan mengajarkan al-Qur‟an, mengajarkan arti
dan maksud al-Qur‟an kepada orang Islam yang belum bisa membaca al-Qur‟an,
yang belum mengerti bahasa arab, atau yang tidak ada waktu untuk membaca al-
Qur‟an bahkan mempelajarinya adalah kewajiban bagi orang Islam yang mengerti
dan diberi kenikmatan dalam membaca dan memahami untuk mengajarkan dan
memulai mentradisikan.
Lebih dari itu, tentu diajak bertadabbur tentang makna al-Qur‟an surah al-
Hadid ayat 1-6, inilah sesungguhnya makna yang paling substansif dari living
80
Muhammad sauman ar-ramli, keajaiban membaca al-Qur‟an. Sukoharjo: insan
kamil,2007 , hal 38
106
Qur‟an sebagaimana ditulis oleh Mansur dkk dalam bukunya Sahiron Syamsuddin
“ arti penting kajian living Qur‟an adalah memberikan paradigma baru bagi
pengembangan kajian Qur‟an kontemporer, sehingga studial-Qur‟an tidak hanya
berkutat pada wilayah kajian teks. Pada wilayah living Qur‟an ini kajian tafsir
akan lebih banyak mengapresiasi respondan tindakan masyarakat terhadap
kehadiran al-Qur‟an, sehingga tafsir tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan
emansipatoris yang mengaajak partisipasi masyarakat.
Hal itu sebagaimana pengasuh menjelaskan bahwa“ Tradisi pembacaan
surat al-Hadid adalah sebagai aplikasi anak-anak panti asuhan dalam mendekatkan
diri kepada al-Qur‟an, masjid, ulama, serta membangun karakter anak melatih
untuk memberikan kepercayaan serta mendekatkan akan cinta kepada al-Qur‟an.
Pada sisi yang lain atau hal yang senada juga disampaikan ZF bahwa“
Tradisi pembacaan surah al-Hadid merupakan riyadhah bathiniyah yang berfungsi
untuk mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan rasa syukur dan bukti
keimanan seseorang terhadap al-Qur‟an.
Pada dasarnya Allah menciptakan alam beserta seluruh isinya ini tidak ada
yang sia-sia. Semuanya diberkahi oleh Allah, tergantung bagaimana kita
memanfaatkan bentuk-bentuk keberkahan yang telah dianugrahi Allah kepada
kita. Apa saja bentuk keberkahan yang diberikan Allah kepada kita dan dimana
keberkahan itu bisa kita temukan. Sudah tidak mungkin lagi dipungkiri bahwa al-
Qur‟an merupakan salah satu bentuk keberkahan yang Allah berikan kepada kita.
Ibn Qoyyim berkata Al-Qur‟an lebih patut diberi nama mubarraak (yang
107
dibarokahi) dibanding yang lain karena dia sangat banyak kebaikann, manfaat,
dan sisi kebarokahan padanya81
.
Pendekatan diri kepada Allah merupakan hal positif yang menjadiamalan
bathiniyah warga panti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga, hal ini terlihat
dampaknya para santri semakin khusyu‟ dalam beribadah dan lebih cinta untuk
membaca al-Qur‟an. Tradisi pembacaan surah al-Hadid secara aplikatif
menunjukkan rasa syukur dan bukti keimanan seseorang dalam mencintai al-
Qur‟an.
Kemudian makna substansif yang lain dengan adanya tradisi pembacaan
al-Qur‟an surah al-Hadid adalah pembentukan kepribadian. Setiap manusia yang
terlahir didunia ini pasti membawa kepribadiannya masing-masing, tapi dengan
berjalannya waktu kepribadian itu bisa berubah karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya Kepribadian tersebut. Adapun dengan adanya tradisi
pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat1-6 dapat penulis simpulkan bahwa
secara tidak langsung tradisi tersebut mempengaruhi kepribadiannya menjadikan
yang lebih baik dari yang sebelumnya. Barangkali kita masih ingat tentang dialog
antara Said bin Hasyim suatu ketika berkisah, aku datang menemui Aisyah RA,
dan bertanya kepada nya mengenai akhlak Rasulullah: Aisyah berkata: apakah
engkau membaca al-Qur‟an? Aku said menjawab : benar, aku membaca al-
Qur‟an. Aisyah berkata: akhlak Rasulullah adalah al-Qur‟an.82
Hal tersebut juga
didipaparkan dalam hadis yang lain antara lain sebagai berikut : dan aisyah RA ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang membaca al-Qur‟an dengan fasih,
maka ia beserta para utusannya Allah ( malaikat) yang mulia lagi berbakti, dan
81
Illahi, Dr.fadhl.2008. kunci-kunci Rizki, cet. 13. Jakarta : Darul Haq hal 20 82
Dr.M. Sholihin, Akhlak Tasawuf. Bandung:Nuansa, 2004, hal 143
108
barang siapa yang membaca dalam keadaan yang tersendat-sendat , maka dia
dapat dua pahala (H.R. Bukhari Muslim). Hadis tersebut diatas mengajarkan
bahwa Allah memberi kemulian bagi para pembaca al-Qur‟an yang bagus dan
benar bacaannya berupa penempatan diri mereka bersama malaikat. Sementara
bagi orang Islam yang terbiasa membaca al-Qur‟an namun kurang lancar, mereka
tetap dalam dua pahala.
WNH (responden) menjelaskan tentang makna tradisi pembacaan surah al-
Hadid bahwa “ Tradisi pembacaan surat al-Hadid menambah semangat dalam
beribadah dan merasa tenang karena panti terasa seperti surga dengan adanya
bacaan al-Qur‟an yang indah tersebut.
Makna substansif yang terakhir dengan adanya pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 adalah Pengharapan Terkabulnya Hajat atau Datangnya
Keberkahan Rizki. Sebagaimana yang dipaparkan oleh salah satu responden
antara lain adalah ANS sebagai santri dipanti asuhan Darul Hadlanah tersebut
juga mengatakan bahwa tradisi pembacaan surat al-Hadid ayat 1-6 untuk
pengharapaan terkabulnya hajat, salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan mengharap barokah dari tradisi pembacaan surah al-Hadid tersebut.
Dari paparan diatas menunjukkan bahwa pelaku pembacaan surah al-
Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga melakukan
tradisi berpijak dari pijakan dalam al-Qur‟an.
Hal yang penting untuk digaris bawahi adalah dari pembahasan tentang
makna living Qur‟an dipanti asuhan Darul Hadlanah dapat dikategorikan tentang
beberapa makna dari tradisi tersebut. Pertama makna eksplisit adalah (1)
pendekatan diri kepada allah, bentuk syukur dan keimanan terhadap al-Qur‟an, (2)
109
pembentukan kepribadian anak panti asuhan Darul Hadlanah. Disamping juga
terdapat makna implisit bahwa tradisi living Qur‟an dipanti asuhan Darul
Hadlanah adalah merupakan bagian modal atau kultur positif dalam rangka
membumikan al-Qur‟an dalam kehidupan empirias sehari-hari, sehingga living
Qur‟an dimaksud bukan bagaimana individu atau sekelompok orang memahami
al-Qur‟an (penafsiran )tetapi bagaimana al-Qur‟an itu disikapi dan direspon
masyarakat muslim dalam realitas kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya
dan pergaulan sosial.
Dengan demikian, dalam praktik pembacaan al-Qur‟an surah pilihan
dipanti asuhan Darul Hadlanah, jika dilihat dari tradisi tersebut maka setiap santri
panti asuhan akan mengikuti kegiatan pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat
1-6 karena mereka merasa menjadibagian dari santri dipanti asuhan Darul
Hadlanah tersebut dengan menganggap bahwa hal ini adalah salah satu kewajiban
yaang harus dipenuhi.
Kemudian, dari makna ekspresif tersebut dapat diklasifikasi
menjadibeberapa poin penting yaitu bahwa dengan pembacaan alQur‟an surat
tersebut mengandung makna secara eksplisit maupun implisit , makana eksplisit
antara lain sebagai bentuk edukasi, seperti dapat melancarkan keinginan atau
hajat, dan dapat menambah pengetahuan serta keberkahan yang tidak terduga dari
Allah SWT. Menunjukkan makna ketundukan dan rasa patuh kepada guru
maupun terhadap peraturan Panti asuhan. Aspek lain dari tradisi living Qur‟an
surah al-Hadid ini adalah adanya harapan daapt memperoleh fadhilah aspek-
aspek keberkahan yang diinginkan, sebagaimana yang sudah dialami dan
110
dirasakan selama ini. Dengan demikian tradisi living Qur‟an ini juga memiliki
implikasi praktis psikologis.
Terakhir, makna implisit dari pembacaan al-Qur‟an surat pilihan ini
sesungguhnya dapat diketahui jika diteliti secara mendalam, karena makna
implisit tersebut adalah makna yang tersirat dan tersembunyi, yang secara tidak
disadari bahwa dari satu praktik pembacaan al-Qur‟an surat pilihan ini bisa
menjaditradisi bagi para santri saat mereka telah keluar dari panti asuhan Darul
Hadlanah tersebut dalam arti yang lebih luas dan komprehensif.
111
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari bab 1 sampai dengan bab V guna
menjawab fokus masalah dalam penelitian yang dilakukan dan telah
disesuaikan dengan tujuan penulisan skripsi diatas, maka ada beberapa hal
yang menjadititik tekan sebagai kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu:
1. Secara teknis pelaksanaan tradisi pembacaan al-Hadid yang dilaksanakan
dipanti asuhan Darul Hadlanah adalah merupakan bagaian aplikasi dari
amalan ibadah yang dianjurkan dalam tarekoh yang menjadi dasar
pelaksanaan untuk mentradisikan. Dimana tradisi tersebut dilaksanakan
pada hari jum‟at pagi setelah tahlil bersama ( membaca surah al-Ikhlas 3
kali, al-Falaq 3 kali, an-Nas 3 kali, alif lam mim, ayat kursi,bacaan
dzikir, doa sesudah solat ,kemudian membaca fatihah) kemudian
membaca surah al-Hadid kemudian fatihah lagi, dilanjutkan berdoa
sesuai dengan hajat dari masing-masing, kegiatan tersebut dipimpin oleh
pengasuh panti asuhan Darul Hadlanah. Dengan pola bacaan ayat
pertama dibacakan kemudian para santri panti asuhan mengikuti, bacaan
tersebut dibaca dengan nada yang cukup lantang dan secara tartil, yaitu
dengan memperhatikan tajwid dan makhrajnya.
2. Makna tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 adalah
bentuk ibadah amaliyah yang meliputi tiga aspek urgen, ketiga aspek
tersebut adalah
112
a. Pendekatan diri kepada Allah, bentuk syukur dan keimanan
terhadap al-Qur‟an
b. Pembentukan kepribadian
c. Pengharapan terkabulnya hajat atau datangnya keberkahan Rizki.
3. Faktor pendukung dan penghambat adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 dipanti asuhan Darul Hadlanah antara lain yaitu:
Pendukung : Adanya kepercayaan penuh dari para orang tua santri yang
menyadari akan pentingnya pendidikan agama, Adanya keyakinan yang
kuat dari para santri tentang fadhilah pembacaan al-Qur‟an surah al-
Hadid ayat 1-6 di panti asuhan Darul Hadlanah, Seperti adanya rizki
yang barokah dan terkabulnya doa mereka.
Penghambat :Pengkondisian anak anak yang kurang maksimal karena
anak-anak susah dibangunkan, Hal tersebut berimpikasi pada
pelaksanaan jamaah yang kurang tepat waktu.
B. SARAN
Dari kesimpulan diatas, perlu kiranya penulis memberikan saran, antara lain
adalah:
1. Lembaga panti asuhan
Tetap melestarikan tradisi pembacaan surah al-Hadid dipanti asuhan
Darul Hadlanah, mengembangkan tradisi tersebut serta mengevaliasi nya.
2. Para santri
Tetep bersemangat dalam menjalani tradisi living Qur‟an dipanti asuhan
Darul Hadlanah dan penerapannya bisa dalam konteks sekarang maupun
masing-masing.
113
3. Orang tua
Kondisi yang kondusif ketika para santri berada dirumah, menjadisangat
penting dalam kaitannya memperkuat tradisi pembacaan surah al-Hadid
dipanti asuhan Darul Hadlanah.
114
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1991. Metodologi Penelitian Keagamaan. Yogykarta: PT.
Tiara Wacana.
Al-Ḥasany, Al-Sayid Muhammad bin Alawy Al-Maliky. 2008. Qowā‟idul
Asāsiyah Fi Ulūmil Qur‟ān, alih bahasa Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah
Ulūmul Qur‟ān. Pekalongan: Al-Asri
Alumnus, Siti Fauziah. 2014. Pembacaan al-Qur‟an surah-surah pilihan
dipondok pesantren Daar Al-Furqon Janggalan Kudus: jurnal studiilmu
al-Qur‟an dan hadis vol 15, no 1. UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta
Ar-Ramli, Muhammad Sauman. 2007. keajaiban membaca al-Qur‟an. Sukoharjo:
insan kamil.
Azwar, Saifudin. 1998. Metode Penelitian . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif . Jakarta: Prenada Media Group.
Dahlan, Abd. Rahman. 1997. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur‟an, Bandung :
Mizan.
Daradjat, Zakiyah. 1979. Dalam Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Djunaedi, Didi. 2015. Living Qur‟an (sebuah pendekatan baru dalam kajian al-
Qur‟an), Dalam Journal of Qur‟an and Hadisth Studies – Vol. 4, No. 2.
Dosen Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadisth, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jurnal of al-Qur‟an dan hadis: Vol. 4, No. 2, 2015: kajian Naskah dan
Kajian Living Qur‟an dan Hadist, Associate Professor, Religious Studies
Department, University of California, Riverside.
115
Eldeeb, Ibrahim. 2009. Be A Living Qur‟an: Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-
Ayat al-Qur‟an dalam Kehidupan Sehari-hari, alih bahasa Faruk Zaini .
Jakarta: Lentera Hati.
Fatawi, Muhammad Faisol. 2009. Tafsir Sosiolinguistik: Memahami Huruf
Muqātha‟ah dalam al-Qur‟an . Malang: UIN-Malang Press.
Graham, William. 2001. The Qur‟an as Spoken Word: An Islamic Contribution to
the Understanding of Scripture,” Richard Martin, ed., Approaches to Islam
in Religious Studies Oxford: Oneworld,.
Hamid, Nasīr dan Amin al-Khuli. 2004. Metode Tafsir Sastra, alih bahasa
Khairon Nahdiyyin . Yogyakarta: Adab Press, 2004.
Illahi, Fadhl. 2008. Kunci-Kunci Rizki, cet. 13. Jakarta : Darul Haq
Islamiyah, Djami‟atul. 2016. Dimensi Eksperiensial dan Konsekuensial dari
Psikografi Keberagamaan Mahasiswa IAIN Salatiga (StudiPara Hafiz dan
Hafizah). Salatiga: lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
(LP2M)
Katsir, Ibnu. Memaparkan Fadhilah Membaca Surah-Surah Pilihan.
Koswara, E. 1986. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco
Liem,Koko. ”Rahasia Menggapai Keberkahan”. Depok: 5M Press
Lihat Yusuf al- Qaradlawi, 2001. Fatwa-Fatwa Kontemporer (terj). As‟ad Yasin
Jakarta: Gema Insani Press.
Mansur, M., dkk. 2007. pengertian living Qur‟an.” Dalam Sahiron Syamsuddin
(ed.) Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadis. Yogyakarta: Teras.
116
Middleton, John. 1973. The Religious System” dalam Raul Naroll (ed), A
Hornbook of Method in Cultural Anthropology . New York: Columbia
University Press.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mudzhar, Atho‟. 1998. Pendekatan StudiIslam dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustaqim. Abdul, dkk, 2007.Metodologi penelitian living Qur‟an.
Yogjakarta:TERAS.
Musthofa, Ahmad Zainal. 2015. Pengajian al-Qur‟an surat surat pilhan (living
quran dipondok pesantren man‟baul hikam sidoarjo), Skripsi thesis, UIN
Sunan Kalijaga Yogjakarta
Nasution, S. 2003. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung:
Tarsito hal129
Putra, Ahimsa. H.S, 2012. “The Living Qur‟an: Beberapa Persfektif Antropologi”
Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, Jurnal Walisongo.
Rahman, Syahrul. 2016. Studikasus pembacaan al-ma‟tsur dipesantren khlid bin
walid pasir pengaraian kabupaten Rokan Rahman: jurnal syahada vol. IV
No.2
Ritonga, Rahman. 2005. Akidah Merakit Hubungan Manusia Dengan Khaliknya
Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini. Surabaya.
Robinson, Neal. 1996. Discovering the Qur‟an . London: SCM press
Saeed, Abdullah. 2008. The Qur‟an, an Introduction, London and New York:
Routledge.
117
Sekaran, Uma. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta : Salemba
Empat
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir al-misbah pesan, kesan, dan keseharian al-
Qur‟an. Jakarta : lentera hati .
Shihab, M.Quraish. 1999. Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Mudhu‟i atas Pelbagai
Persolan Umat, cet 9. Bandung: Mizan.
Shihab, M.Quraish. 2011. tafsir al-Mishbah vol.15 hal 454 lihat juga shihab, Dia
DiMana-Mana, Tangan Tuhan DiBalik Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera
Hati.
Sholihin, M. 2004. Akhlak Tasawuf. Bandung:Nuansa.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukandarrumdi. 2004. Metodologi Penelitian (petunjuk praktis untuk peneliti
pemula). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sukmadinata, Nana Syadik. 2005. Metode penelitian pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Suproyogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama.
Bandung: PT, Remaja Rosdakarya.
Syamsuddin, Sahiron. 2007. Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis,
Yogyakarta: TH-Press TERAS
Tabroni, Imam Suprayogo. dan 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama .
Bandung: PT. Remaja Rosadakarya.
Yahya, Harun. 2003. Misinterprestasi Terhadap Al-Qur‟an, alih bahasa Samson
Rahman, Jakarta: Robbani Press
118
Yusuf, Muhammad. 2007. Pendekatan Sosiolgi Dalam Pendekatan Living
Qur‟an Dalam Metode Penelitian Living Qur‟an Dan Hadits. Yogyakarta:
Teras
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Neny Muthiatul Awwaliyah Fuad
NIM : 21514016
Jurusan/Progdi : FUADAH/ IAT
Tempat/Tanggal Lahir : Pati / 17 Agustus 1996
Alamat : Sambilawang RT. 04 RW. 02,
Kec. Trangkil , Kab. Pati
Nama Ayah : H. Nur Fuad Supandi F.R S.Pd.
Nama Ibu : Hj. Naela Fauziah Fuad
Agama : Islam
Pendidikan : - SDN Sambilawang Pati
- MTs Raudlatul Ulum Pati
- MA Raudlatul Ulum Pati
- SANLAT BPUN PATI
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 20 Maret 2018
Penulis
Neny Muthiatul Awwaliyah
DESKRIPSI WAWANCARA
A. Beberapa pertamyaan yang penulis ajukan kepada pengasuh panti asuhan Darul
Hadlanah NU kota Salatiga antara lain adalah:
1. Sejak kapan / defenisi asal mula diadakan tradisi pembacaan al-Qur‟an surah
al-Hadid ayat 1-6 di panti asuha Darul Hadlanaah NU kota Salatiga ?
“ kegiatan pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid ini di laksanakan sejak tahun
2016, hal ini bermula dari salah satu harapan adanya hajat agar dapat
terlaksananya pembangunan panti asuhan putra”
2. Mengapa memilih surah al-Hadid ayat 1-6?
“Karena surah tersebut merupakan tuntunan dari sahabat Ali, atau pengikut
torekhoh satoriyah”
3. Bagaimana caranya/ prosesi tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-hadid ayat
1-6 di panti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga ?
“Pembacaan al-Qur‟an surah al-Hadid dibaca hanya satu kali, yaitu ayat
pertama di bacakan pengasuh kemudian santri mengikuti, begitu selanjutnya
sampai ayat ke 6 “ adapun secara praktik pembacaan al-Qur‟an surah al-hadid
tersebut di awali dengan hadrah kemudian membaca surah al-Ikhlas 3 kali, al-
Falaq 1 kali, an-Nas 1 kali, membaca alif lam mim, membaca ayat kursi,
membaca bacaan dzikir, doa sesudah solat, kemuadian membaca al-Fatihah,
baru kemudian membaca surah al-hadid ayat 1-6, kemudian al-fatihah
kembali. Dan yang terakhir berdoa sesuai dengan hajat masing-masing
4. Apa saja hambatan pada waktu di adakannya tradisi pembacaan al-Qur‟an
surah al-Hadid ayat 1-6 di panti asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga?
“Pengkondisian anak-anak panti asuhan darul hadlanah yang kurang
maksimal, karena anak-anak panti asuhan susah di bangunkan, ketika di
bangunkan pengurus itu tidak mau bangun.
5. Bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut?
“Mengkondisikan anak- anak dari awal sehingga sebelum subuh sudah siap
semua”.
6. implikasi atau makna dari adanya tradisi pembacaan al-Qur‟an surah al-hadid
ayat 1-6 di panti Asuhan Darul Hadlanah NU kota Salatiga?
“impikasi adanya tradisi tersebut mendekatkan anak pada al-Qur‟an, masjid,
ulama. Serta membangun karakter anak, dan melatih untuk memberikan
kepercayaan “
B. Beberapa pertanyaan yang penulis ajukan untuk anak-anak di panti asuhan Darul
Hadlanah antara lain adalah :
1. Bagaimana perasaan dengan adanya pembacaan al-Qur‟an surah al-hadid di
panti asuhan darul hadlanah?
“mayoritas santri panti asuhan menjawab, dengan adanya pembacaan surah al-
Hadid tersebut kebanyakan responden yang penulis wawancarai merasa
senang karena belum pernah di ajarkan sebelumnya di rumah masing-masing.
2. Bagaimana menurut adek dengan adanya metode yang di gunakan dalam
pembacaan al-Qur‟an surah al-hadid tersebut?
“responden baik laki-laki maupun perempuan kebanyakan mengatakan
gampang, karena tinggal mengikuti sudah sedikit-sedikit hafal tetaapi ketika
penulis menanyakan tentang apakah responden mengerti tentang makna
disetiap ayat nya” responden menjawab belum mengerti tentang arti setiap
ayat terebut.”
3. Apa makna tradisi pembacaan al Qur‟an surah al-Hadid ayat 1-6 menurut
kalian?
“ salah satu responden menjawab keberkahan yang ada di panti asuhan Darul
Hadlanah di rasakan oleh responden mengalir terus menerus sehingga
keberkahan untuk semua warga panti asuhan Darul Hadlanah tiada henti nya. “
“Tradisi pembacaan surah al-Hadid merupakan riyadhah bathiniyah yang
berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan rasa syukur dan
bukti keimanan seseorang terhadap al-Qur‟an”