Ibu sibuk mengemas di dapur. Aku turut membantu ibu menyiapkan juadah makan malam. Seperti malam- malam yang telah lalu, kami makan bersama. Cuma abang, aku dan adik tinggal sebumbung bersama abah dan ibu. Dua orang kakakku sudah berumahtangga dan sudah mempunyai istana mereka sendiri. Selepas menikmati juadah masakan ibu yang tiada tolok bandingnya, kami bersama-sama berjemaah menunaikan solat Isyak " Zai, dah siap kerja sekolah ke belum?" ibu menyergahku dengan sopan. "Belum, bu", jawabku dengan terus terang. Tanpa melengah-lengahkan masa aku akur perintah ibu, masuk ke bilik yang telah dikhaskan untuk mengulangkaji pelajaran. Jam di dinding menunjukkan angka sembilan. Malam terus merangkak sepi tanpa jemu. Masih kedengaran riuh tawa adikku yang baru berusia dua tahun setengah yang tidak jemu-jemu bermain tak kira siang mahupun malam. Mungkin ibu sibuk melayan kerenah manja adikku dengan penuh kasih sayang. Abah pula asyik mengasah pisau torehan bagi menghadapi tugas hakiki pada esok harinya. Kasihan abah. Bila lagi abah nak berehat ?. Terbisik juga hatiku mengenangkan pengorbanan seorang ayah... ... apatah lagi pengorbanan seorang ibu. Pengorbanan kedua orang tuaku memang tak boleh ditebus dengan wang ringgit. Aku mengalihkan fikiranku untuk terus menatap bait-bait ilmu yang menggamit. Aku harus belajar lebih tekun lagi untuk memenuhi hasrat dan cita-citaku, menjadi insan yang berguna di masa depan. Masa berlari begitu pantas. Ruang tengah rumahku kembali tenang. Tiada kedengaran suara televisyen, cuma kedengaran suara merdu, syahdu abah melagukan ayat-ayat suci Al-Quran dengan begitu tertib sekali. Ibu begitu asyik, mendengarkannya. Daun pintu bilikku dikuak sedikit, ibu menjengukku. "Zai, belum tidur lagi ke?" tanya ibu dengan nada perlahan. "Belum lagi, bu" balasku pantas sambil mataku menjeling jam di dinding. Hampir pukul 12.30 malam. Biasanya waktu sebegini, aku telah lena dibuai mimpi. "Dah, lewat ni... ... .. pergi masuk tidur. Esok nak bangun awal" tegur ibu ikhlas. Aku kagum dengan sikap prihatin dan kasih sayang ibu kepada kami semua. Sikapnya yang terlalu mengambil berat hal anak-anak membuatkan kami terlalu menyayangi dan taat perintahnya. "Baiklah, bu", aku tidak membantah dan bingkas bangun menuju ke kamar tidurku, bersebelahan kamar ibu. Abangku sudah lama melelapkan matanya, mungkin keletihan setelah seharian bekerja. Kehadiran subuh yang hening, menyenangkan hatiku. Aku bersyukur kepada Ilahi kerana masih memberi harapan dan peluang untukku menghirup udara segar, meneruskan perjuangan hidup selagi boleh diperjuangkan. Selepas menyempurnakan solat Subuh, aku dan ibu menyiapkan sarapan pagi untuk kami sekeluarga. Kami bersama-sama bersarapan. Begitulah keluargaku, setiap kali menghadap juadah pasti bersama. Selesai bersarapan, aku segera bersiap untuk ke sekolah. Bas sekolah akan tiba pada pukul 6.40 pagi. Abah menunggang motosikalnya membolosi kedinginan embun pagi menuju ladang yang tidak berapa jauh dari rumah kami. Sebelum pemergiannya abah sempat mencium kedua belah pipi adikku yang sedang nyenyak tidur. Tangannya erat menyalam ibu dan aku sambil berpesan kepadaku agar menjaga adik dan ibu jika abah tiada. Aku cuma mengangguk sahaja kerana lidahku kelu oleh perubahan sikap abah pagi itu. Di sekolah, fikiranku diamuk resah. Puas sudah kucuba memusatkan fikiranku terhadap pelajaran yang diajar guru namun tidak berhasil. Setiap gerak perlakuan kurasakan begitu canggung sekali!!! Keresahan hatiku begitu memuncak, setelah aku didatangi oleh Cikgu Zubaidah yang diiringi oleh abangku. Abang memaklumkan berita kematian ayahku. Berita itu amat menjerut tangkai hatiku. Aku tidak dapat menahan perasaanku ketika itu. Aku tergamam seketika.. "Bersabarlah Zai, setiap insan yang hidup pasti mati pada masa yang telah ditetapkan oleh Allah. Allah lebih sayangnya. Doakanlah rohnya dicucuri rahmat dan diredhai Allah selalu" nasihat cikgu Zubaidah kepadaku . Begitu jua dengan rakan-rakan sekelasku, mereka juga memberi nasihat dan bersimpati denganku. Namun aku masih belum boleh menerima kenyataan itu. Air mata tertumpah jua akhirnya. Ku biarkan saja lelehan airmata itu. Setibanya aku di rumah, kulihat orang telah ramai. Aku berlari naik ke rumah mendapatkan ibu yang begitu sugul di sisi jenazah ayah. Mulut ibu kumat-kamit membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Lelehan air mataku kembali deras. Kami sekeluarga diselubungi kesedihan yang amat sangat. Adikku yang masih kecil lebih banyak berdiam dan asyik bermanja dengan ibu seakan-akan mengerti apa yang dihadapi oleh keluarganya kini. Selamat sudah jenazah abah di semadikan di liang lahat. Abah pergi menghadap Illahi buat selama-lamanya. Semoga rohnya dicucuri rahmat dan ditempatkan di sisi orang-orang yang soleh. Dijauhkan panahan azab kubur dan azab api neraka. Begitulah doaku selalu. Walaupun aku amat terkilan kerana tidak dapat membalas jasa abah selama ini, namun doa dari anak yang soleh dan sedekah amal jariah seorang anak dapat meringankan azab ayah di alam barzakh. Aku harus memulihkan semangatku yang goyah yang hampir mematikan segala impianku selama ini. Aku harus jadi insan yang lebih bertanggung jawab menunaikan segala janji dan wasiat abah agar menjaga ibu dan adikku. Pada ibu, abang, kakak adik, guru dan teman-teman berilah dorongan padaku di dalam meneruskan liku-liku hidup ini. InsyallahAku terus melihat ayah dengan sebal saat dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar. Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga miskin. Sekitar lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlihat bareng dengan pedagang sayur itu.

Di sekolah seperti biasanya. Saat istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.

Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah berdebu dan kotor. Dia itu udah mati, Percuma kalo foto diliatin gitu juga tidak bakal membuat dia hidup lagi teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu dengan kesal. Terdengar suara tangisan ayah, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng yang telah usang.Dasar anak tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi, pergi kamu dari kelompok aku! teriak Fajrin, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan Fajrin yang menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Fajrin tadi. Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah kehidupanku. Penuh dengan ejekan dan sindiran-sindiran seperti itu. Semua ini karena keluargaku yang miskin, Aku benar-benar stres karena kemiskinan.

Pak ,ganti pekerjaan Bapak dengan pekerjaan yang baru, Aku malu denger semua sindiran-sindiran temen-temenku. Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang sayur, Aku malu pak, Malu teriak aku pada ayah setelah sepulang sekolah.

Dani, udah sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, Dan. Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian lain. Maafkan Bapak sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu , bukan itu yang aku mau.

Teserah pokoknya Bapak nggak boleh lagi jadi tukang sayur bentakku kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis, meratapi nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini Aku benci, Aku benci semuanya.

Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. Pak, kenapa tidak jualan tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. Bapak udah nggak jualan sayur, Dan. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat kata ayah kemudian. Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan jualan koran juga jadi presiden coba. Biar kita kaya raya, Pak! bentakku kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah yang seperti ini. Aku tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia.***

Tiga bulan kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja, hidupku tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu, tidak dapat uang jajan, jarang makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah. aku benar-benar pusing ada di rumah. mau pergi juga pergi kemana Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan sekali aku di rumah ini.

Ayah pulang kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. Dan, tolong ambilin Bapak minum air putih. Bapak capek sekali ucap ayah kemudian. Enak aja nyuruh-nyuruh Kalo haus, yah ambil minum sendir, punya kaki kan. kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilinn teriakku kemudian pergi meninggalkan ayah sendirian. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk-duduk di kursi depan. Sebel rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, seperti jadi raja lagi. minum saja minta ambilin, punya kaki kenapa harus minta ambilin. dasar ayah tidak berguna ucapku dalam hati dengan kesalnya.

Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, kenapa, Pak?. Bapak tadi berantem, Dan. Ada orang yang mengambil barang berharga punya Bapak jawab ayah sambil meringis kesakitan. Mengapa coba mau berantem segala. kayak anak kecil aja rebutan barang lagi seperti anak kecil tau dak bentakku benar-benar sebal. Dasar orang tua Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah berantem kayak anak kecil bentakku dalam hati. Aku benar-benar kesal dengan ayah sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja. rasanya aku ingin cepat kabur dari gubuk ini.

Malam harinya, terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini. aku berjalan diam-diam masuk ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-ngabrik lemari pakaian ayah. Kucari-cari sesuatu . Dan akhirnya, Aku berhasil mendapatkan uang itu, uang untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. selamat tinggal miskin ucapku dalam hati sambil tertawa terbahak-bahak dalam hati. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam kantong baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.

Kamu kenapa ke kamar Ayah tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk akal.

Emangnya nggak boleh apa ke kamar Ayah, miskin aja pakek rahasia-rahasian segala dasar miskin bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.

Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah menyimpan uang sebanyak ini, dasar Ayah. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali pergi dari gubuk ini. niatku sudah mantab, Aku akan pergi dari kemiskinan ini pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama aku berikir, akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi sebenatar lagi hari ulang tahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali uang itu. Dan aku pun tidak jadi pergi dari rumah itu. sangat aku sesali juga. Tapi yah sudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur dari rumah.

***

Seminggu kemudian, tepat di hari ulang tahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan berkata, Dan, Dani tunggu jangan pergi dulu emm.. eh.. emm.. anu... Bapakmu anu.. Bapakmu.. kecelakaan. Aku terkejut dengan ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang karena ayah kecelakaan jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini, aku malah sedih. Saat diajak menjenguk ayah pun, aku ikut. Kenapa ini tanyaku pada diri sendiri.

Air mataku menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. entah mengapa, aku kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya, aku malu sekali melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.

Beberapa jam kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera menghampiri ayah. Dan, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak nyaman, Dan. Bapak bener-bener minta tolong kali ini pinta ayah kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah, kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati ini memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya sewatu ayah masih sehat dulu.

Dan, Bapak haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk Bapak. Sekarang bapak tidak punya kaki lagi, Dan. Tolong ambilkan minum untuk Bapak, Nak ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar perkataan ayah barusan. ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu. Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.

Ayah kemudian memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana. Untuk siapa ini, Pak? tanyaku kemudian bingung. Itu untukmu, Dan. Selamat ulang tahun ya, Dan. Maaf karena Bapak hanya bisa memberi itu untukmu jawab ayah kepada ku. Aku kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan sangat erat. Kuucapkan terima kasih pada yah. Sebenarnya, uang yang kamu ambil waktu itu, mau Bapak kumpulkan untuk membeli kado untukmu, Nak. Bapak tau karena saat Bapak liat lemari, uang itu sudah tidak ada ucap ayah lagi. Kemudian aku merasa bersalah dengan ayah.

Maapin aku, ayah. aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat ulang tahun ku. Sekali lagi maap, ayah ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku bisa dengan gampangnya berlaku tidak sopan dan kasar pada ayah dulu Kelakuanku sama saja dengan setan aku pun mengumpat diriku sendiri.

Setelah beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.

Jaga dirimu baik-baik, Dan. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk kedepannya, Ayah akan menemani ibumu disana, Dan. Di tempat yang jauh itu. Ayah sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, Dan. Karena ayah tau, kamu bersikap begitu karena ayah juga yang hidup miskin begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa ayah,dani. Ayah sangat menyayangimu. Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai pria yang soleh yang berguna bagi nusa dan bangsa, Dan. Setelah berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya dia memejamkan matanya dengan kedamaian.

Ayah Jangan tinggalkan Dani, Pak Bangun, Pak Dani takut sendirian, Pak dani minta maap dengan semua kata-kata dani, ayah bangun ... ayah teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku. Ini ulang tahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulang tahun ini, terakhir kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini akan aku kenang sampai aku mati. Ayah, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah sudah tidur untuk selama-lamanya dan pergi meninggalkan aku.Setelah beberapa bulan ayah meninggalkan ku, aku tidak takut di sindir-sindir oleh teman-temanku lagi. Aku harus pintar membagi waktu untuk sekolah dan bekerja ,karena ayah dan ibu ku telah tiada