1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pola hidup agraris terus
dipraktikkan dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat di Pematang Raya.
Pola hidup agraris tersebut dipertahankan karena struktur sosial-ekonomi yang
ada pada mayoritas masyarakat di Pematang Raya, yaitu sebagian besar
masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Dari jumlah luas Pematang Raya, yaitu
3.800 Ha atau 38 km², lahan lebih banyak digunakan sebagai lahan pertanian
nonsawah oleh masyarakat yaitu seluas 3.257 Ha. Sektor pertanian merupakan
sumber daya yang sangat menentukan perekonomian masyarakat Pematang Raya.
Sejak tahun 2008, Pematang Raya yang terletak di Kecamatan Raya
menjadi ibukota kabupaten yang baru. Ini menyebabkan Pematang Raya terus
mengalami perkembangan dan pembangunan. Kebutuhan atas tanah untuk
pelaksanan program pembangunan pun semakin meningkat. Program
pembangunan tersebut berhadapan dengan pola hidup agraris yang dipraktikkan
masyarakat Pematang Raya. Banyak terdapat masalah penjualan maupun
pelepasan lahan di Pematang Raya karena lahan pertanian merupakan sektor yang
sangat menentukan perekonomian mayoritas masyarakat. Sejauh ini Pemerintah
Kabupaten Simalungun telah mengambilalih sejumlah tanah milik masyarakat
guna pembangunan ibukota baru dengan memberikan biaya pembebasan lahan
ataupun ganti rugi lahan kepada masyarakat.
2
Kajian ini fokus pada masalah penjualan lahan pertanian Simandame,
Pematang Raya milik masyarakat yang diminta oleh Pemerintah Kabupaten
Simalungun untuk program pembangunan. Para pemilik lahan pertaniaan
Simandame selama ini memanfaat lahan pertanian mereka untuk pertanian
nonsawah. Luas lahan pertanian Simandame adalah 100 Ha dan kebanyakan
ditanami Kopi Arabika (produktif) oleh petani. Masalah tersebut melibatkan lebih
dari 100 (seratus) orang pemilik lahan. Mereka mengelola lahan mereka dari
tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan hidup, menyekolahkan anak-anak
mereka, dan untuk tabungan masa depan keluarga mereka. Program pembangunan
Pematang Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun yang baru,
mempengaruhi pola hidup agraris yang dipraktikkan seluruh masyarakat
Pematang Raya; termasuk para pemilik lahan pertanian Simandame. Namun
pembangunan tersebut tidak membuat pola hidup agraris yang selama ini
dipraktikkan oleh masyarakat menjadi berubah.
Kajian ini dianggap penting karena beberapa alasan. Alasan pertama,
struktur sosial-ekonomi yang dijawatahkan melalui tindakan sosial masyarakat
secara langsung biasanya berpengaruh terhadap arah kebijakan pemerintah daerah.
Alasan kedua, setiap pembangunan daerah, khususnya untuk daerah yang
dikembangkan menjadi ibukota baru, harus didukung penuh oleh masyarakat yang
ada daerah tersebut agar pembangunan daerah menjadi lancar dan memberikan
keuntungan bagi masyarakat.
3
Telaah pembangunan daerah bukan hanya studi mengenai peran utama
pemerintah dalam pembangunan tersebut, tetapi juga mengenai masyarakat
dengan struktur dan tindakan-tindakan sosial yang dipraktikkan dalam kehidupan
mereka. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mempercepat pembangunan
ekonomi karena mereka juga merupakan stakeholder proses pembangunan.
Mayoritas masyarakat di Pematang Raya adalah bermata pencaharian sebagai
petani, pola hidup agraris yang mereka praktikkan selama ini seharusnya
memberikan dampak terhadap penerapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
daerah. Program kebijakan Pemerintah Kabupaten Simalungun akan dapat
diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait, apabila sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat di Pematang Raya.
Pada kajian-kajian terdahulu menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya
masyarakat mampu mempengaruhi perilaku para birokrat dalam pencapaian
kebijakan-kebijakan yang berguna bagi pembangunan suatu wilayah. Salah satu
studi pernah dilakukan di Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.1
Studi tersebut menunjukkan bahwa birokrasi daerahnya sangat dipengaruhi oleh
sistem nilai budaya Dayak. Keberhasilan kinerja birokrasi daerah yaitu:
pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan dapat dicapai dengan
penerapan nilai-nilai budaya masyarakat lokal oleh para birokrat. Penerapan nilai-
nilai budaya lokal tersebut akan mendukung proses kegiatan dan tujuan dari
kinerja birokrasi itu sendiri.
1 Gotat, Pengaruh Nilai Budaya Dayak Terhadap Kinerja Birokrasi Daerah: Studi Tentang
Penafsiran Sistem Nilai Budaya Dayak Terhadap Pelaksanaan Birokrasi Daerah Kabupaten
Kotawaringin Provinsi Kalimantan Timur, (Yogyakarta, Jurusan Pemerintahan, Program
Sarjana FISIPOL UGM, 2002).
4
Nilai budaya yang melekat pada masyarakat Kabupaten Kota Waringin
Timur adalah nilai budaya Betang,2 yaitu; nilai atau prinsip hidup masyarakat
yang mengandung sistem kebersamaan, kesetaraan, keterbukaan dalam setiap
aspek kehidupan yang terkandung dan dijalankan masyarakat setempat. Dalam
masyarakat tersebut terdapat lembaga adat yang disebut Damang. Damang yang
dipimpin oleh seorang tokoh adat dan pemimpin informal dalam masyarakat
Dayak yang mempunyai pengaruh besar bagi masyarakatnya. Damang mampu
mempengaruhi warganya untuk mendukung maupun melaksanakan
pembangunan. Damang juga mampu memberikan masukan maupun kritikan
terhadap kinerja atau pelaksanaan birokrasi di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Budaya itulah mempengaruhi setiap proses pembangunan yang dijalankan oleh
birokrasi daerah. Maka dari itu, kinerja pemerintah daerah akan berjalan secara
maksimal apabila nilai-nilai budaya Betang diikutsertakan dalam setiap proses
pembangunan.
Akan tetapi di beberapa daerah menunjukkan bahwa sering kali terjadi
konflik dalam pembangunan, khususnya pembangunan suatu kota: yaitu konflik
tanah karena tidak adanya kesepakatan antara masyarakat pemilik tanah dengan
pemerintah daerah, maupun antara masyarakat dengan pengusaha/pihak swasta.
Pada kajian terdahulu yang dilakukan di Kabupaten Banggai,3 Sulawesi Utara
menunjukkan perlawanan masyarakat petani Singkoyo yang bertujuan untuk
memperjuangkan hak, kepentingan, dan memperkuat posisi tawar petani dalam
2 Ibid.,
3 Nur Rosintah Triana Tahwali, Gerakan Masyarakat Petani Merespon Program Kemitraan
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Singkoyo Kabupaten Banggai, (Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Program
Pascasarjana, FISIPOL UGM).
5
kemitraan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di PT Kurnia Luwuk Sejati.
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat menentukan perekonomian
Kabupaten Banggai. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian
sebagai petani, sekitar 93,98 % desa di Kabupaten Banggai berpotensi dalam
sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan. Program
Pengembangan Perkebunan kelapa sawit di kabupaten tersebut memanfaatkan
areal hutan produksi serta areal penggunaan lain-lain; sebenarnya merupakan
salah satu kebijakan Pemerintah Kabupaten Banggai dalam memacu pertumbuhan
ekonomi untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan pembangunan daerah.
Akan tetapi program pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh PT
Kurnia Luwuk Sejati dengan Pemerintah malah menimbulkan berbagai
keresahan.4 Pertama, program pengembangan yang sepihak tanpa melibatkan
partisipasi masyarakat petani dalam proses perumusan program pengelolaan.
Kebijakan program pengelolaan kelapa sawit dengan pola kemitraan, dianggap
mengakomodasi peran dan kepentingan perusahaan, serta pihak-pihak tertentu
saja tanpa partisipasi petani dan masyarakat sekitar perkebunan. Kedua, upaya
yang telah dilakukan Pemerintah untuk mengatasi masalah petani plasma dan
masyarakat sekitar perkebunan dengan menghadirkan perusahaan baru tidak
melibatkan peran serta masyarakat. Penyelesaian masalah perkebunan kelapa
sawit, berdampak pada kerugian petani dan masyarakat. Ketiga, respon
masyarakat sekitar perkebunan yang kehilangan sumber penghidupan karena
lahan atau tanah yang menjadi sumber perekonomian dan pendapatan
4 Ibid.,
6
dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Perluasan lahan perkebunan sawit
berdampak pada hilangnya sumber perekonomian petani dan lingkungan. Program
pengembangan perkebunan yang lebih berorientasi pada pasar tanpa
mempertimbangkan kondisi kultur sosial ekonomi masyarakat, telah
mendiskriminasi masyarakat dalam upaya pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat.
Proses pergerakan masyarakat petani Singkoyo awalnya tidak terstruktur,
kemudian dimobilisasi melalu proses framing (pendidikan dan pelatihan) sehingga
lebih terstruktur dengan tujuan yang jelas.5 Organisator gerakan perlawanan
petani Singkoyo memobilisasi massa dengan memanfaatkan peluang otonomi
daerah, isu demokratisasi, pemilihan Kepala Daerah dan membingkai kejadian-
kejadian kontemporer sehingga menimbulkan kepercayaan publik. Pergerakan
masyarakat petani dilakukan dengan perjuangan secara konvensional atau amuk
(pendudukan, sabotase, konsolidasi, dan legalisasi).
Proses perjuangan yang dilakukan mendorong respon dari aktor-aktor
pemerintah dan swasta (perusahaan) dengan berbagai motif kepentingan.6 Elit-elit
lokal yang akan berkontestasi dalam Pemilu Kepala Daerah ikut terlibat dalam
situasi gerakan ketika melihat adanya peluang bahwa gerakan mampu menarik
simpati dan bisa dijadikan sumber-sumber perolehan suara dalam Pemilihan
Kepala Daerah. Organisasi petani berkoalisi dengan aktor lainnya namun tetap
memperjuangkan agenda-agenda organisasi yang menjadi komitmen bersama.
Namun, proses pergerakan masyarakat petani Singkoyo sejak 2008 belum mampu
5 Ibid.,
6 Ibid.,
7
merubah kebijakan kemitraan pengelolaan perkebunan yang berpihak pada
masyarakat petani. Meskipun demikian, momentum gerakan masyarakat petani
Singkoyo merupakan titik tolak upaya keterlibatan masyarakat untuk
memposisikan keberadaan mereka sejajar dengan aktor pembangunan lainnya
(pemerintah dan swasta).
Kajian lain menunjukkan terjadinya konflik tanah antarmasyarakat pada
pusat pertumbuhan baru. Konflik tanah tersebut didasarkan pada masalah
pengambilahilan tanah masyarakat untuk mendirikan bangunan sarana dan
prasana oleh Pemerintah Daerah, serta untuk tempat usaha para investor.
Kegagalan pemerintah daerah dalam mengendalikan harga tanah dianggap sebagai
pemicu terjadinya konflik. Kelurahan Wailiti yang terletak di pinggiran Kota
Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggarra Timur mengalami konflik
ketika terjadi pengembangan kota yang berdampak pada kenaikan harga tanah.7
Pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan tanah sebagai objek kepentingan
baik itu oleh negara, pemilik modal maupun masyarakat.
Kajian tersebut mengutarakan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam
masyarakat Wailiti yang umumnya bekerja sebagai petani dalam memaknai
tanah.8 Tanah yang sebelumnya dimaknai sebagai faktor produksi telah berubah
dengan memaknai tanah sebagai benda (barang dagangan) dengan nilai ekonomis
tinggi. Sebelumnya tanah-tanah di Wailiti merupakan tanah tak berpenghuni yang
dikuasi oleh negara, kemudian masyarakat menggarapnya. Akan tetapi, proses
7 Ambrosius Peter, Berebut Tanah (Studi Tentang konflik Horizontal Pertanahan di Kelurahan
Wailiti Kecamatan Alok Barat Kebupaten Sikka), (Yogyakarta: Program Studi Ilmu Politik
Konsentraasi Politik Lokal & Otonomi Daerah, Program Pascasarjana, FISIPOL UGM, 2011). 8 Ibid.,
8
penggarapan tersebut tidak dilanjutkan oleh masyarakat karena kondisi tanah yang
tandus sehingga tanah-tanah itu pun ditelantarkan. Ketika ada pengembangan kota
dan pembangunan sampai ke wilayah Wailiti, tanah-tanah tersebut mengalami
kenaikan harga. Kondisi tersebut menimbulkan situasi saling komplain dalam
kepemilikan tanah.
Ketidakjelasan legalitas kepemilikan tanah akibat adanya tumpang tindih
kepemilikan tanah, menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal pertanahan:
yaitu antara sesama anggota masyarakat.9 Kondisi ini memperlihatkan kegagalan
Pemkab.Sikka dalam mengendalikan harga tanah. Hal ini sekaligus menunjukkan
kegagalan negara dalam pengelolaan kekuasaan jika dilihat dari tidak
terkendalinya harga tanah dan persoalan pengadministrasian pertanahan.
Kajian lain menunjukkan masalah konflik tanah ataupun agraria antara
perusahaan perkebunan atau pihak swasta dengan masyarakat. Di Kabupaten
Agam, Sumatera Barat terjadi perebutan kekuasaan atas tanah antara masyarakat
hukum adat dengan perusahaan perkebunan besar seperti PT.Mutiara Agam.10
PT.
Mutiara Agam tersebut mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Masyarakat
mengklaim perusahaan perkebunan tersebut telah mengeksploitasi tanah ulayat
Pasukuan Tanjung Manggopoh yang merupakan identitas penting bagi masyarakat
adat dan keberadaan sebuah Pasukuan di Minangkabau. Masyarakat hukum adat
menuntut pengembalian sekitar 2.000 Ha tanah ulayat milik masyarakat oleh PT.
9 Ibid.,
10 Egie Pratama Mulya, Konflik Tanah Ulayat (Studi Kasus Tanah Ulayat Masyarakat Adat
Pasukuan Tanjung Manggopoh dengan PT.Mutiara Agam, Kabupaten Agam), (Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal & Otonomi Daerah, Program Pascasarjana
FISIPOL UGM, 2011).
9
Mutiara Agam. Tuntutan tersebut disertai dengan aksi-aksi sepihak oleh
masyarakat adat dengan pendudukan lahan sengketa.
Reproduksi konflik melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan
masing-masing dalam konflik.11
Konflik ini hadir dan dipicu oleh hasil investigasi
dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), yaitu adanya penyelewengan
PT.Mutiara Agam bekerjasama dengan oknum Pemerintah Daerah terhadap luas
bentangan tanah yang akan dijadikan lahan perkebunan. Seiring hal tersebut,
terdapat surat perjanjian kerjasama lahan yang tidak direalisasikan antara
masyarakat adat dengan perusahaan.
Konflik pun semakin memanas setelah keluar hasil Putusan Pengadilan
Negeri Lubuk Basung yang memenangkan pihak Suku Tanjung Manggopoh
terhadap lahan sengketa.12
Hal ini membuat masyarakat merasa memiliki dasar
hukum dalam pendudukan lahan tanah sengketa. Dalam kondisi ini Pemda dinilai
gagal dalam meresolusi konflik karena pemda bukanlah mediator penyelesaian
konflik yang otonom tetapi ikut terlibat sebagai aktor konflik. Akibatnya, proses
mediasi yang dilakukan tidak tegas dan tidak pernah menghasilkan alternatif
resolusi.
Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa identitas yang terancam
merupakan pendorong gejolak dan konflik dalam masyarakat.13
Konflik yang
berhubungan dengan adat sering terjadi karena pola hubungan kekerabatan di
dalam lingkungan masyarakat adat. Menguatnya konsep adat dalam kehidupan
11
Ibid., 12
Ibid., 13
Ibid.,
10
masyarakat sering berimplikasi pada solidnya kekerabatan dalam masyarakat adat.
Penguatan identitas kelompok ini bisa menjadi konflik karena terjadi ancaman
bagi harga diri dan identitas kelompok (sense of identity) yang merupakan sumber
kebanggaan, kebahagian, kekuatan kelompok, dan komunitas. Konflik tanah
ulayat ini merupakan salah satu konflik Sumber Daya Alam yang ditandai dengan
perebutan terhadap akses Sumber Daya Alam oleh para aktor untuk kepentingan
ekonomi masing-masing.
Pembangunan Pematang Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun
yang baru telah mengancam dan berusaha mengubah pola hidup agraris yang
selama ini dipraktikkan masyarakat Pematang Raya. Pembangunan tersebut telah
mengorbankan lahan-lahan pertanian milik masyarakat di Pematang Raya yang
merupakan sumber daya ekonomi utama. Tidak seperti nilai Budaya Betang milik
Suku Dayak yang mempengaruhi perilaku Birokrat Kabupaten Kotawaringin
Timur, Prov. Kalimantan Tengah; pola hidup agraris yang dipraktikkan oleh
masyarakat Pematang Raya ternyata tidak sepenuhnya mempengaruhi kebijakan-
kebijakan Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk program pembangunan.
Akan tetapi pembangunan Pematang Raya yang mengorbankan sektor
agraris yang selama ini dipertahankan masyarakat tersebut, tidak menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Kabupaten Simalungun. Hal ini
berbeda dengan masyarakat petani Singkoyo, Kab. Banggai, Sulawesi Utara yang
melakukan perlawanan terhadap pihak Pemerintah Daerah dan juga Pihak Swasta
karena perluasan lahan perkebunan kepala sawit milik PT Kurnia Luwuk Sejati
berdampak pada hilangnya sumber perekonomian petani plasma. Ini juga berbeda
11
dengan masyarakat Kabupaten Agam yang melakukan perlawan terhadap
perusahaan perkebunan besar, yaitu PT Mutiara Agam karena telah
mengeksploitasi tanah ulayat Pasukuan Tanjung Manggopoh yang merupakan
keberadaan sebuah Pasukuan di Minangkabau; walaupun Pematang Raya sendiri
mayoritas dihuni oleh Suku Batak Simalungun yang tentunya memiliki adat dan
budaya.
Peningkatan pembangunan Pematang Raya yang mengorbankan lahan
pertanian masyarakat juga tidak dapat dimanfaatkan oleh elit-elit lokal untuk
menggerakkan masyarakat dalam melakukan perlawanan kepada Pemerintah
Daerah. Hal ini berbeda dengan elit-elit lokal Kab.Banggai yang terlibat dalam
masalah petani Singkoyo untuk menarik simpati masyarakat agar bisa menjadi
sumber perolehan suara dalam Pemililihan Kepala Daerah berikutnya. Padahal
masalah pembangunan yang mengancam pola hidup agraris masyarakat Pematang
Raya tersebut bisa digunakan oleh elit-elit lokal maupun kompetitor Kepala
Daerah untuk menggulingkan kekuasaan Pemerintah Kabupaten Simalungun.
Seperti kajian lain yang dibahas dalam latar belakang masalah ini, yaitu
pada masyarakat Kelurahan Wailiti, Kota Maumere, Nusa Tenggara Timur;
masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani awalnya mamaknai tahan
sebagai faktor produksi. Ketika ada pengembangan kota dan pembangunan
sampai ke wilayah Wailiti, terjadi perubahan pemaknaan tanah oleh masyarakat
dimana tanah dimaknai sebagai benda (barang dagangan) dengan nilai ekonomis
tinggi. Maka dari itu, kesediaan masyarakat Pematang Raya dalam mengorbankan
lahan-lahan pertanian mereka untuk program pembangunan menimbulkan
12
pertanyaan; apakah hal tersebut terjadi karena ada pergeseran nilai-nilai dalam
masyarakat; apakah pola hidup agraris yang selama ini dipraktikkan oleh
masyarakat Pematang Raya mengalami perubahan.
B. RUMUSAN PERTANYAAN
Adapun yang menjadi rumusan pertanyaan dalam kajian ini adalah:
1. Bagaimana dialektika antara agen dan struktur dalam pengelolaan lahan
pertanian Simandame, Pematang Raya?
C. KERANGKA TEORI
Studi ini menyepakati bahwa aturan-aturan dan sumber daya yang
dipraktikkan dalam kehidupan sosial secara berulang dalam lintas ruang dan
waktu adalah struktur. Sedangkan orang-orang konkret yang patuh terhadap
struktur tersebut dan terlibat dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa disebut
sebagai pelaku (actor) atau agen. Maka dari itu, studi ini akan menggunakan teori
strukturasi Giddens untuk menjelaskan bagaimana pola hidup agraris terus
dipraktikkan dan dipertahankan oleh masyarakat. Pola hidup agraris itu
merupakan struktur signifikasi yang menyangkut simbolik, pemaknaan, dan
wacana.
Pada hakekatnya, agen-struktur juga merefer pada mikro-makro. Pada
level mikro adalah aktor manusia, yang mana tindakannya dapat merefleksikan
pada “tindakan kolektif.” Sebaliknya, struktur yang berada pada level makro juga
13
dapat merefleksikan kondisi mikro. Dengan melihat struktur, dapat diketahui
bagaimana tindakan individu dalam masyarakat atau kelompok masyarakat
tertentu.
Pola hidup agraris merupakan suatu tindakan yang dipraktikkan oleh
masyarakat suatu daerah karena mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai
petani. Dalam hubungan antara agen-struktur, pola hidup agraris yang
dipraktikkan masyarakat dapat merefleksikan tindakan aktor manusia; termasuk
Pemerintah Daerah. Demikian juga sebaliknya, tindakan ataupun kebijakan yang
ambil oleh Pemerintah Daerah dapat merefleksikan pola hidup agraris yang
dipraktikkan masyarakat suatu daerah.
14
1. TEORI STRUKTURASI
Dalam rangka Teori Strukturasi, Giddens membedakan antara “struktur”
dan “sistem” yaitu:14
Struktur Sistem Strukturasi
Aturan dan sumber
daya, atau seperangkat
relasi transformasi,
terorganisasi sebagai
kelengkapan-
kelengkapan dari sistem-
sistem sosial.
Relasi-relasi yang
direproduksi di antara
para aktor atau
kolektivitas, teorganisasi
sebagai praktik-praktik
sosial regular.
Kondisi-kondisi yang
mengatur keterulangan
atau transformasi
struktur-struktur dan
karenanya reproduksi
sistem-sistem sosial itu
sendiri.
Giddens mengenali adanya baik dimensi sintagmatik maupun
paradigmatik dalam penstrukturan hubungan-hubungan sosial (structuring of
social relations).15
Dimensi sintagmatik meliputi reproduksi praktik-praktik yang
tadinya terikat pada ruang-waktu tertentu (reproduction of situated practices).
Sedangkan dimensi paradigmatik meliputi suatu tata virtual cara-cara
penstrukturan (modes of structuring) yang terlibat berulangkali dalam proses
reproduksi tersebut. Struktur dipahami sebagai “kumpulan aturan dan sumber
daya yang berulangkali terorganisasikan” (recursively organized sets of rules and
resources). Struktur merujuk pada sifat-sifat penstrukturan (structuring
properties) yang memberikan bentuk sistemik pada kegiatan-kegiatan sosial
serupa dan yang memungkinkan mereka bertahan dalam lintas waktu dan ruang.
14
Anthony Giddens, Teori Strukturasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p. 40. 15
Martin Suhartono, Basis (Edisi Khusus Anthony Giddens), Januari – Februari 2000 , p. 27.
15
Sedangkan sistem-sistem sosial (social system) sebagai “praktik-praktik
sosial yang direproduksikan” (reproduced social practices),16
yaitu berupa
kegiatan-kegiatan terikat ruang-waktu tertentu dari pelaku manusia…diadakan
kembali dalam lintas waktu dan ruang serta secara berulang-ulang melibatkan
struktur di dalamnya. Sistem-sistem sosial tak memiliki struktur-struktur, tetapi
menunjukkan sifat-sifat struktural (structural properties). Struktur ada hanya
dalam perwujudan seketika (instantiations) dalam sistem-sistem sosial dan
sebagai jejak-jejak ingatan (memory traces) bagi orientasi perilaku manusia.
Struktur tidaklah berada “di luar” aktor individu. Agen atau aktor (pelaku) adalah
orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu” tindakan dan peristiwa di dunia.
Pertama dan terutama harus disajikan teori strukturasi adalah hubungan
antara agen atau pelaku (tindakan) dan struktur, yaitu berupa relasi dualitas
(timbal-balik), bukan dualisme (tegangan atau pertentangan).17
Hubungan antara
struktur dan agen bukanlah pada relasi dualisme (dualism), yaitu pelaku versus
struktur. Giddens memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas
(duality): “tindakan dan struktur saling tergantung serta saling mengandaikan satu
sama lain.” Teori strukturasi bukanlah aktor individual, bukan pula totalitas
masyarakat, melainkan “praktik sosial yang terpola dalam lintas ruang dan
waktu.” Maka dari itu, dualitas itu terjadi dalam “praktik sosial yang berulang dan
terpola dalam lintas ruang dan waktu.”
16
Ibid., 17
B.Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Penghantar, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2002), p. 18, 22.
16
Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses di mana “struktur sosial
merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial.18
Struktur sejajar dan analog dengan langue (yang mengatasi waktu dan ruang),
sedangkan praktik sosial analog dengan parole (dalam waktu dan ruang).
Berdasarkan dualitas antara struktur dan pelaku tersebut, Giddens kemudian
membangun suatu teori yang disebut Teori Strukturasi. Strukturasi adalah proses
bagaimana praktik-praktik sosial yang dijalankan dalam lintas ruang dan waktu
menjadi sebuah struktur.
Sentralitas waktu dan ruang merupakan poros yang menggerakkan teori
strukturasi.19
Waktu dan ruang biasanya dipahami sebagai arena dan ruang atau
panggung tindakan (stage), ke mana kita masuk, dari mana kita keluar. Giddens
menyatakan bahwa waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan,
melainkan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya,
tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Pokok ini juga yang membuat Giddens
menamakan teorinya sebagai “struktur-asi,” sebagaimana setiap akhiran “is (asi)”
menunjukkan pada kelangsungan proses. Artinya, waktu dan ruang merupakan
unsur yang tidak-bisa-tidak (sine qua non) bagi terjadinya peristiwa atau gejala
sosial.
Relasi dualitas antara pelaku dan struktur yang merupakan hal pertama dan
terutama dalam teori strukturasi. Dualitas terletak dalam fakta bahwa suatu
“struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip praktik-praktik di berbagai tempat
dan waktu merupakan hasil perulangan berbagai tindakan manusia, sebaliknya,
18
Ibid., p. 19. 19
Ibid., p. 19-20.
17
terdapat pula skemata yang mirip “aturan”, juga menjadi sarana (medium) bagi
berlangsungnya praktik sosial.20
Giddens menyebut skemata itu struktur. Sifat
struktur adalah mengatasi waktu dan ruang (timeless and spaceless) serta maya
(virtual) sehingga dapat diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Bagi
Giddens, struktur bukan hanya bersifat mengekang (constraining), melainkan
struktur juga bersifat memberdayakan (enabling). Itulah sebabnya Giddens
melihat struktur sebagai sarana (medium dan resources).
Bagi Giddens struktur bukanlah benda melainkan “skemata yang hanya
tampil dalam praktik-praktik sosial.”21
Pertama, struktur penandaan atau
signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan,
penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination)
yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal
(ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang
mencakup skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum.
Skemata tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:22
Struktur Wilayah Teoritis Tata Institusional
Signifikasi Teori Pengodean Tata-tata simbolis
Dominasi
Teori autorisasi sumber daya
Teori alokasi sumber daya
Institusi politik
Institusi ekonomi
Legitimasi Teori regulasi normative Institusi hukum
20
Ibid., p. 22-23. 21
Ibid., p. 24-25. 22
Anthony Giddens., Op.Cit., p. 53.
18
Kita bisa memahami relasi-relasi yang terlibat antara signifikasi, dominasi,
dan legitimasi itu seperti berikut:
S-D-L tata simbolis/bentuk wacana
D (otoritas)-S-L Institusi politik
D (alokasi)-S-L Institusi ekonomi
L-D-S Institusi hukum
Keterangan: S = Signifikasi, D = Dominasi, L = Legitimasi
Dalam gerak praktik-praktik sosial, ketiga gugus prinsip struktural:
signifikasi, dominasi, dan legitimasi adalah terkait satu sama lain. Struktur
signifikasi pada gilirannya juga mencakup struktur dominasi dan legitimasi.23
Contohnya, skemata simbolik dan pemaknaan terhadap lahan pertanian sebagai
sektor terpenting dalam pendapatan masyarakat. Struktur signifikasi tersebut pada
gilirannya menyangkut struktur dominasi dan struktur legitimasi di mana upaya
suatu masyarakat/suatu komunitas untuk mempertahankan lahan pertanian mereka
berhadapan dengan kekuasaan Pemerintah Daerah.
23
B. Herry-Priyono, Op.Cit.,
19
2. DIALEKTIKA AGEN DAN STRUKTUR
Bagi Giddens, jenis-jenis aturan yang paling penting bagi teori sosial
berada pada lingkup reproduksi praktik-praktik terlembagakan, yaitu praktik-
praktik yang paling mengendap kuat dalam ruang-waktu.24
intensif tahu sama tahu informal memiliki sanksi ringan
: : :
dangkal diskursif formal memiliki sanksi keras
“Struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip praktik-praktik di
berbagai tempat dan waktu serta merupakan perulangan berbagai tindakan,
menimbulkan pertanyaan apakah para pelaku (agency) tahu dan sadar akan hal
tersebut? Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku, yaitu motivasi tak
sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan
kesadaran diskursif (discursive consciousness).25
Motivasi tak sadar menyangkut
keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan
tindakan itu sendiri. Misalnya, sangat jarang siswa-siswi di sekolah, tidak
terkecuali siswa-siswi sekolah menengah, memakai seragam sekolah karena
digerakkan oleh motivasi “agar tidak tampak kesenjangan sosial jika dilihat dari
pakaian yang dikenakan.” Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita
merefleksikan, memberikan penjelasan rinci, serta eksplisit atas tindakan kita.
Dengan kata lain, kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan
tindakan kita dalam kata-kata. Misalnya, mengapa memakai seragam sekolah?
24
Anthony Giddens, Op.Cit., p. 35. 25
B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 28-29.
20
Mungkin akan jawaban diberikan “karena sudah diwajibkan” atau “saya mau
menghindari hukuman guru.” Kesadaran praktis menunjuk pada gugus
pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Tahu aturan untuk diam saat
masuk tempat ibadah, adalah bentuk kesadaran praktis seperti itu. Kesadaran
praktis melibatkan tindakan yang dianggap agen benar,26
tanpa mampu
mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Tipe
kesadaran praktis inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi; berarti teori ini
lebih memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan aktor ketimbang apa yang
dikatakannya.
Kebanyakan aturan dan sumber daya yang terlibat dalam produksi dan
reproduksi praktik-praktik sosial tidak secara formal tertulis dalam hukum. Aturan
dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial
tersebut hanya dipahami secara tahu sama tahu oleh para agen/pelaku: mereka
tahu harus “melanjutkan.”27
Bagi Giddens, sangatlah keliru jika kita meremehkan
kekuatan sanksi-sanksi informal terkait pelanggaran pelaku terhadap aturan dan
sumber daya tersebut. Pola hidup agraris oleh para pelaku atau agen dalam adalah
didasari “tahu sama tahu” antara semua pelaku atau agen tersebut. Tindakan
tersebut terlaksana dalam praktik-praktik kehidupan mereka secara berulang dan
mereka paham alasan mereka untuk mempertahankan tindakan tersebut.
26
George Ritzer & Dauglass J.Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
p.509 27
Anthony Giddens, Op.Cit., p. 36-37.
21
Dalam fenomenologi,28
kesadaran praktis merupakan wilayah kepribadian
yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted
knowledge). Gugus pengetahuan yang sudah diandaikan ini merupakan sumber
“rasa aman ontologis” (ontological security), melalui gugus pengetahuan praktis
ini, manusia tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus
mempertanyakan terus-menerus apa yang terjadi atau yang mesti dilakukan.
Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran
praktis. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami proses
bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat-laun menjadi struktur,
serta bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik
sosial manusia.
Suatu perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi,29
betapapun
kecilnya perubahan itu. “Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif
sangatlah lentur dan tipis, …tidak seperti antara kesadaran diskursif dan motivasi
tak sadar.” Giddens mengajukan argumen bahwa setiap pelaku punya kemampuan
untuk instrospeksi dan mawas diri (reflexive monitoring of conduct). Perubahan
terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga
berlangsung “dee-rutinisasi.” Derutinisasi menyangkut gejala di mana skemata
yang selama ini menjadi aturan dan sumber daya dalam tindakan/praktik sosial
tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan
pengorganisasian berbagai praktik sosial yang berlangsung, ataupun yang sedang
diperjuangkan menjadi praktik sosial baru.
28
B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 29. 29
Ibid., p. 30.
22
Bagi Giddens,30
agen akan terus-menerus memonitor pemikiran dan
aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam upaya
mereka mencari perasaan aman, aktor merasionalisasikan kehidupan mereka.
Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang tak
hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan
mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien. Aktor juga
mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan dan
hasrat yang mendorong tindakan. Jadi sementara rasionalisasi dan reflektivitas
terus-menerus terlibat dalam tindakan, motivasi dapat dibayangkan sebagai
potensi untuk bertindak, tetapi menurut Giddens sebagian besar tindakan kita
tidak dimotivasi secara langsung. Meski tindakan tertentu tidak dimotivasi dan
motivasi kita umumnya tak disadari, namun motivasi memainkan peran penting
dalam tindakan manusia.
Perubahan pada pola hidup agraris juga dapat terjadi pada masyarakat di
daerah yang dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan baru. Para pelaku dengan
tindakan sosialnya mempunyai kemampuan instrospeksi dan mawas diri.
Perubahan terhadap tindakan/praktik hidup sosial terjadi ketika para pelaku
menganggap bahwa tindakan sosial yang dipraktikkan tidak lagi memadai untuk
dipertahankan karena dianggap tidak memberikan kontribusi positif, tidak
memberikan rasa aman, dan tidak menciptakan kehidupan sosial yang efisien bagi
pelaku ataupun untuk pembangunan daerahnya.
30
George Ritzer & Douglas J.Goodman, Op.Cit.,
23
Keterlibatan hakiki waktu dan ruang tentu juga ikut andil pada perubahan
proses strukturasi.31
Daya konstitutif waktu dan ruang tampak jelas dalam gejala
bahwa waktu dan ruang menentukan makna tindakan kita maupun perbedaan
nama tindakan yang satu dari tindakan yang lain. Sesuatu “tidak hanya berada
dalam waktu (dan ruang); waktu (dan ruang) membentuk makna dari sesuatu
tersebut. Singkatnya, hubungan antara waktu-ruang dan tindakan berupa
hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kondrati dan menyangkut
makna serta hakikat tindakan itu sendiri, lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak
ada tindakan.
Adanya revolusi dalam koordinasi waktu dan ruang mempunyai implikasi
yang sedemikian mendalam pada tata hidup.32
Kalau waktu dan ruang sebagai
kondisi konstitutif praktik sosial mengalami transformasi yang mendalam, begitu
juga yang terjadi pada praktik sosial. Transformasi dapat menyangkut orientasi
kita pada tradisi, adat, dan berbagai gugus kepercayaan lain. Apa yang dulu
tampak sebagai ketetapan eksternal alami (kodrati) semakin kehilangan daya
pembentuknya terhadap cara hidup kita. Masa lalu semakin kehilangan giginya,
dan “masa depan yang terbuka dengan berbagai skenario menjadi titik perhatian
yang menyeret kita.”
Gejala-gejala tersebut terkait dengan apa yang disebut reflexive monitoring
of action pada taraf individual.33
Sebagaimana yang dikatakan Giddens, “praktik
sosial dikaji dan diperbaharui terus-menerus menurut informasi baru yang pada
31
B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 36-37. 32
Ibid., p. 44-46. 33
Ibid., p. 47.
24
gilirannya mengubah praktik sosial secara konstitutif.” Contohnya tindakan sosial
masyarakat berupa pola hidup agraris yang didesak program pembangunan dan
disuguhi tawaran keuntungan. Praktik sosial berupa pola hidup agraris tersebut
pada gilirannya akan cepat usang dan akhirnya diubah atau bahkan dihapuskan
apabila tidak diperbaharui secara terus-menerus berdasarkan masukan (feedback
mechanism) dari para pelaku (agency) tersebut. Inilah yang disebut dengan
“waktu dan ruang yang merupakan konstitutif praktik sosial telah mengalami
transformasi.” Transformasi yang menyangkut orientasi para pelaku dalam
masyarakat pada tradisi, adat, ataupun kepercayaan lain. Apa yang dulu
tampaknya sebagai ketetapan kodrati atau warisan tradisi semakin kehilangan
daya pembentuknya terhadap praktik sosial.
Maka dari itu, Giddens sangat menekankan arti penting keagenan (agency)
dalam teori struktarasinya.34
Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap agen.
Dengan kata lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan
pertentangan dalam kehidupan sosial, bahkan dia lebih yakin lagi bahwa agen tak
berarti apa-apa tanpa kekuasaan. Artinya, aktor berhenti menjadi agen bila ia
kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Giddens tentu saja
mengakui adanya paksaan atau pembatas terhadap aktor, tetapi ini tak berarti
bahwa aktor tidak mempunyai pilihan atau peluang untuk mengubah situasi.
Struktur sering memberikan kemungkinan bagi agen untuk melakukan sesuatu
yang sebaliknya tak akan mampu mereka kerjakan.
34
George Ritzer & Douglas J.Goodman, Op.Cit., p.509-511.
25
Giddens menyatakan pentingnya membedakan istilah kekuasaan (power)
dengan istilah dominasi (domination).35
Dominasi mengacu pada skemata
asimetris hubungan pada tataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut
kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (praktik sosial
atau interaksi). Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait
dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang inheren (melekat) pada
pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif.
Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur
dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung di antara pelaku yang konkret
(entah antara jenderal dan kolonel, majikan dan buruh, antara tuan tanah dan
buruh, atau kombinasi dari semua itu).
Penguasaan terjadi lewat mobilisasi struktur dominasi.36
Sumber daya
yang membentuk skemata dominasi, yaitu penguasaan alokatif atas barang/hal
(ekonomi) dan penguasaan otoritatif atas orang (politik); “kekuasaan terbentuk
dalam dan melalui reproduksi [dua] struktur dominasi” ini. Karena kekuasaan
merupakan kapasitas yang inheren pada pelaku, tidak pernah mungkin terjadi
penguasaan total atas orang lain, entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun
penjara. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kontrol (the dialectic of
control). Artinya, dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan
ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai: “jika
seorang pelaku (agent) yang tidak terlibat dalam dialektika kontrol, sekalipun
hanya dalam kadar yang minimal, maka sebenarnya dia berhenti menjadi pelaku.”
35
B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 33. 36
Ibid., p.34.
26
3. STRUKTUR SIGNIFIKASI: PEMAKNAAN TANAH SEBAGAI
BENTUK SIMBOLIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Dalam setiap masyarakat terdapat beberapa bentuk simbolis yang
dipertahankan dalam praktik kehidupan mereka. Pengertian simbolis tidaklah
sama dengan pengertian simbol. Erwin Goodenough (dalam Dallistone)
mendefinisikan simbol sebagai berikut:37
“Simbol adalah barang atau pola yang,
apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia,
melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah
dalam bentuk yang diberikan itu.” “Simbol memiliki maknanya sendiri atau
nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuataannya sendiri untuk
menggerakkan kita.” Sedangkan simbolis (A.N. Whitehead dalam Dallistone)
berkaitan dengan pikiran manusia, yaitu pikiran manusia berfungsi sebagai
simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran,
kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain
pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan
perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian
organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan
disebut referensi.”
Tanah merupakan salah satu dari beberapa contoh bentuk simbolis. Bagi
Dallistone,38
tanah mempunyai arti simbolis yang sangat penting bagi kalangan
petani di seluruh dunia. Memiliki sebidang tanah, sekecil apapun, memberi
keyakinan jati diri dan keamanan. Tanah merupakan tanda yang jelas sekali
37
F.W. Dallistone, The Power of Symbols, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2002), p. 18-19. 38
Ibid., p. 50-51.
27
mengenai kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan serta
menyediakan sumber makanan yang dapat diandalkan dari tahun ke tahun. Jati
diri dan rasa percaya diri adalah salah satu perasaan manusia yang terkuat. “Tuhan
melarang saya memberikan kepada Raja warisan ayah saya,” adalah jawaban
Nabot kepada tawaran raja berupa kebun anggur yang jauh lebih unggul sebagai
ganti kebun peninggalan leluhur. Kecintaan atau rasa lekat pada tanah ini, dalam
beberapa masyarakat agraris dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi
bumi, ibu pertiwi, yang melahirkan kodrati.
Dalam suatu suku tertentu, tanah juga mempunyai arti simbolis yang
sangat penting. Sebidang tanah yang dimiliki seorang individu, seluas atau
sesempit apa pun, memberikan jati diri atau harga diri terhadap keluarganya,
inilah yang disebut tanah sebagai bentuk simbolis. Jati diri ataupun harga diri
tersebut menyangkut apa yang dirasakan individu terhadap identitas keluarganya
dan penghormatan terhadap keluarganya. Tindakan mempertahankan tanah
warisan keluarga, tindakan mempertahankan tanah hasil pembelian sendiri, semua
itu adalah wujud penghormatan, solidaritas, dan kecintaan kepada keluarganya.
Di beberapa daerah, penduduk suatu desa tidak diperbolehkan menjual
tanah kepada orang dari luar desa itu.39
Hal semacam ini sudah ada yang tidak
dijalankan lagi, tetapi di beberapa daerah hal ini terus dipertahankan. Penjualan
tanah kepada orang di luar desa (daerah) dianggap merugikan desa itu, karena
tanah tidak akan memberi manfaat kepada masyarakat desa itu. Penduduk desa
39
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria (Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia), (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), 2009), p. 137,
139
28
asli dianggap lebih memahami bagaimana mengelola tanah agar bermanfaat bagi
desa mereka. Hak dan hubungan daerah atas tanah yang juga menentukan dan
mengambil sikap dalam soal tanah di lingkungannya terhadap “orang asing”
(orang dari luar daerah) atau pendatang. Di daerah Batak misalnya, ada “marga
tanah” dan “marga paripe” untuk membedakan orang yang asli-yang berhak atas
tanah dan orang pendatang.
Victor Turner (dalam Dallistone) menyatakan bahwa simbol berfungsi
dalam mengatur kehidupan sosial.40
Bagi Turner ada dua segi yang harus
dipertimbangkan: pertama, penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang
memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari; kedua, munculnya kelompok-
kelompok komunal dengan keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat bersama yang
menata diri mereka dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas.
Tanah yang mempunyai arti simbolis bagi masyarakat dalam teori
strukturasi Giddens merupakan struktur signifikasi (menyangkut skemata
simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana) dalam masyarakat. Dalam
refleksi Giddens untuk hal tersebut,41
“tak ada sesuatu yang disebut ideologi; yang
ada hanya aspek-aspek ideologis dari sistem simbol.” “Menganalisis aspek-aspek
ideologis berarti mengkaji bagaimana struktur signifikasi dimobilisasi untuk
membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok yang sedang atau akan
berkuasa.
40
F.W. Dallistone, Op.Cit., p. 111. 41
B. Herry-Priyono, Op.Cit., p. 35-36.
29
Mengenai budaya, Giddens tidak pernah mengajukan definisi formal
tentang budaya.42
Namun menurut Priyono, ada dua kemungkinan. Pertama, dari
sudut pandang yang biasa dipakai oleh para antropolog (budaya sebagai
keseluruhan hidup), budaya menyangkut keseluruhan gugus skemata yang
menjadi prinsip semua praktik sosial, atau struktur dalam pengertian Giddens
(baik itu signifikasi, dominasi, maupun legitimasi, S-D-L). Kedua, dalam arti
yang biasa dipakai oleh para sosiolog, ekonom, dan politikologi (budaya sebagai
gugus nilai), budaya lebih mengacu pada skemata signifikasi dan kegiatan yang
menyangkut skemata signifikasi, seperti: ritus, simbol, cara wacana, dan
semacamnya. Dalam pengertian yang kedua, budaya hanya menunjuk pada S
(signifikasi), dan bukan D (dominasi) serta L (legitimasi). Akan tetapi, perlu
ditegaskan kembali bahwa ketiga gugus prinsip struktural (signifikasi, dominasi,
maupun legitimasi) tersebut adalah terkait satu sama lain. Struktur signifikasi
pada gilirannya juga mencakup struktur dominasi dan legitimasi.
Dewasa ini, menurut Dallistone,43
betapa pun pentingnya secara simbolis,
tanah tidak dapat dipisahkan dari panggung ekonomi yang lebih luas. Ketika
jumlah penduduk masih relatif kecil, banyak sekali tanah belum dikelola, para
petani masih dapat berswasembada dalam mencukupi kebutuhan makanan, dan
pada waktu yang sama dapat menjual hasil surplus mereka kepada orang-orang
kota. Akan tetapi, ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan semakin
berkembangnya jaringan interkomunikasi, tanah tidak dapat dibiarkan dengan
hasil yang sedikit karena tetap dipertahankannya praktek-praktek kehidupan
42
Ibid., 43
F.W. Dallistone, Op.Cit., p. 52.
30
tradisional. Tanah dan sumber dayanya yang dahulu dihargai oleh kelompok
sosial manapun sebagai organisme suci yang mengalir dalam urat-urat nadi
mereka, pada akhirnya mungkin hanya dipandang sebagai bagian dari suatu
kompleks ekonomi yang mahabesar.
D. KERANGKA BERPIKIR
Pembangunan ekonomi melibatkan 3 (tiga) stakeholder, yaitu pemerintah,
swasta dan masyarakat. Maka dengan demikian, pembangunan ibukota kabupaten
yang baru akan berjalan lancar jika didukung oleh masyarakat di daerah tersebut.
Dalam masyarakat terdapat praktik-praktik sosial yang terus dipertahankan, yaitu
pola hidup agraris. Pola hidup agraris tersebut lambat laun menjadi aturan-
aturan/sumber daya (struktur) karena terus dipraktikkan dan dipertahankan
masyarakat di Pematang Raya bahkan ketika berhadapan dengan program
pembangunan. Pola hidup agraris tersebut merupakan struktur signifikasi
menyangkut skemata simbolis, pemaknaan, dan wacana mengenai lahan pertanian
oleh masyarakat.
Program
pembangunan
ibukota kabupaten
yang baru oleh
Pemda Pro
Pola hidup
agraris
Kontra
Struktur
31
E. DEFINISI KONSEP
Struktur adalah aturan dan sumber daya yang dipraktikkan secara berulang
ataupun rutin dalam lintas ruang dan waktu.
Agen ataupun aktor (pelaku) adalah orang-orang konkret yang secara
kontinu patuh dan melaksanakan struktur dalam praktik rutin kehidupan
sosialnya.
Strukturasi adalah proses bagaimana praktik-praktik sosial yang dijalankan
oleh para pelaku dalam lintas ruang dan waktu lambat-laun menjadi
sebuah struktur.
F. DEFINISI OPERASIONAL
Berkenaan dengan definisi konsep di atas, maka penulis menyusun definisi
operasional untuk melihat bagaimana proses strukturasi yang terjadi pada
masyarakat di Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.
Beberapa hal ini akan dijelaskan:
Struktur terdiri dari tiga gugus prinsip, yaitu:
a) Struktur signifikasi (struktur penandaan) yang menyangkut skemata
simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Dalam hal ini praktik
sosial pada masyarakat: pola hidup agraris yang selama ini
dipraktikkan oleh masyarakat di Pematang Raya dianggap sebagai
struktur signifikasi.
32
b) Struktur dominasi (struktur penguasaan) yang mencakup skemata
penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Dalam
hal ini mengenai ada atau tidak adanya sanksi sosial bagi seseorang
yang tidak menjalankan pola hidup agraris. Ini dianggap sebagai
struktur dominasi yaitu penguasaan atas orang (politik) oleh orang-
orang dalam kehidupannya.
c) Struktur legitimasi (struktur pembenaran) yang mencakup skemata
peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Dalam hal ini
mengenai ada atau tidaknya sanksi hukum bagi seseorang yang tidak
menjalankan pola hidup agraris.
Agen atau aktor (pelaku) yaitu: orang-orang yang konkret dalam “arus
kontinu” tindakan dan peristiwa yang menyangkut pola hidup agraris:
khususnya pola hidup agraris yang dipraktikkan masyarakat petani
Simandame, Pematang Raya. Dalam hal ini ada 3 (tiga) agen yang terlibat
dalam proses strukturasi, yaitu:
a. Masyarakat Petani Simandame, Pematang Raya;
b. Bupati dan Birokrasi Simalungun;
c. DPRD Kabupaten Simalungun.
33
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu untuk
mengungkapkan fakta/keadaan mengenai masalah pengelolaan lahan pertanian di
Pematang Raya, khususnya oleh masyarakat petani Simandame. Studi
menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara. Alasannya, struktur yang
merupakan aturan-aturan dan sumber daya yang dipraktikkan secara berulang atau
rutin sehingga menjadi struktur. Dengan kata lain, struktur itu terbentuk melalui
suatu proses, artinya: waktu dan ruang merupakan unsur yang tidak-bisa-tidak
(sine qua non) bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial. Penggunaan riset
deskriptif kualitatif akan berupaya untuk mencari makna suatu tindakan
masyarakat dalam kehidupan sosial dari sudut pandang atau pemahaman individu-
individu dalam masyarakat sehingga diperoleh suatu pemahaman mengenai
bagaimana suatu aturan dan sumber daya dapat dipraktikkan secara bersama
dalam kehidupan sosial masyarakat; bagaimana aturan/sumber daya itu lambat-
laun menjadi struktur yang terus dipraktikkan dan dipertahankan oleh para pelaku.
Melalui gugus pengetahuan praktis, para pelaku tahu bagaimana
melaksanakan serta mempertahankan aturan dan sumber daya tersebut dalam
praktik sosial tanpa harus mempertanyakan secara terus-menerus apa yang terjadi
atau yang mesti dilakukan. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk
memahami proses bagaimana tindakan dalam praktik sosial lambat-laun menjadi
struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan
tindakan/praktik sosial para pelakunya.
34
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dan efektif dalam menjelaskan
masalah dalam studi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui wawancara. Wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu
dengan dialog agar dapat tergali data yang belum terungkap.
Dalam kajian ini, pihak yang diwawancarai adalah masyarakat Pematang
Raya dan juga pemilik lahan pertanian Simandame. Selain itu wawancara juga
dilakukan bagi mereka yang diantisipasi memiliki wawasan atau pendapat
mengenai pokok masalah yang diteliti. Pokok bahasan yang dikaji harus
menentukan siapa-siapa tokoh kunci yang bakal dihubungi dan yang paling baik
setelah diidentifikasi lewat berbagai sumber. Beberapa narasumber yang
diwawancarai, yaitu:
No. Narasumber Tujuan Pemilihan Narasumber
1
Masyarakat
Pematang Raya,
terutama masyarakat
pemilik lahan
pertanian
Simandame.
Mendapatkan keterangan dari masyarakat
mengenai pandangan ataupun pemaknaan mereka
mengenai lahan pertanian yang mereka miliki.
Kemudian meminta mereka menjelaskan
bagaimana mereka menyikapi program
pembangunan ibukota baru yang mengorbankan
lahan-lahan pertanian milik mereka.
2
Camat Raya dan
Lurah Pematang
Raya
Memperoleh data mengenai masalah penjualan
lahan pertanian Simandame untuk pembangunan
Pematang Raya. Dari narasumber akan didapat
data mengenai: pemilik lahan, sosialisai untuk
pemilik lahan, ganti rugi lahan yang diberikan
oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun, dan
status peralihan kepemilikan lahan pertanian.
35
3. Metode Analisis Data
Kajian ini dirancang dengan menggunakan analisis strukturasi untuk
mengetahui proses bagaimana pola hidup agraris yang dipraktikkan secara
berulang dalam masyarakat menjadi struktur. Analisis diawali dengan pengkajian
pemaknaan lahan pertanian oleh masyarakat di Pematang Raya. Langkah kedua
adalah mangkaji proses penjualan lahan pertanian Simandame oleh masyarakat
kepada Pemerintah Daerah. Langkah terakhir merupakan kesimpulan yang
mencakup proses strukturasi yaitu mengenai ketahanan pola hidup agraris yang
dipraktikkan oleh masyarakat Pematang Raya ketika berhadapan dengan program
pembangunan.
4. Lokasi Penelitian
Kajian ini dilakukan pada masyarakat di Pematang Raya, Kecamatan
Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi
penelitian yaitu; Pertama, sejak Pusat Pemerintahan/Ibukota Kabupaten
Simalungun dipindahkan ke Pematang Raya pada Tahun 2008, daerah tersebut
mengalami proses pembangunan yang berkelanjutan hingga saat ini jika dilihat
dari pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana pelayanan publik lainnya.
Kedua, masyarakat di Pematang Raya selama ini mempraktikkan pola hidup
agraris dimana lahan pertanian dianggap sebagai sektor terpenting dalam mata
pencaharian mereka.
36
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I ini berisi landasan pemikiran tesis dan kerangka operasional kerja
tesis. Bab I terdiri dari: latar belakang; rumusan pertanyaan; kerangka teori;
kerangka berpikir; definisi konsep dan operasional; metode penelitian; dan
sistematika penulisan. Bab I bertujuan mendeskripsikan permasalahan mengenai
pola hidup agraris yang dipraktikkan oleh masyarakat dalam lintas ruang dan
waktu hingga menjadi struktur, termasuk di dalamnya telaah kajian terdahulu dan
kerangka teori yang ditawarkan.
Bab II memaparkan secara singkat pemindahan Ibukota Kabupaten
Simalungun ke Kec. Raya. Selanjutnya bab ini akan mendeskripsikan bagaimana
setting sosial dan ekonomi masyarakat Pematang Raya serta pemaknaan lahan
tanah/lahan pertanian dalam Suku Simalungun yang mendominasi daerah
tersebut.
Bab III akan memaparkan pemetaaan agen dan struktur dalam kebijakan
pengelolaaan lahan pertanian Simandame, Pematang Raya.
Bab IV akan memaparkan proses tindakan penjualan lahan pertanian
Simandame, Pematang Raya oleh petani kepada Pemerintah Kabupaten
Simalungun. Bab ini juga berisi dialektika antara masyarakat petani dengan
Pemerintah Daerah dalam penjualan lahan pertanian Simandame. Selanjutnya bab
ini akan menunjukkan bagaimana pola hidup agraris tetap bertahan ketika
berhadapan dengan program pembangunan, sekaligus menunjukkan telah terjadi
proses strukturasi, yaitu: pola hidup agraris terus dipraktikkan dan dipertahankan
Top Related