Post on 24-Dec-2019
ANALISIS YURIDIS TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(Studi Puusan No. 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk)
Skripsi
Oleh
HANIFAH PURY LARASATI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN NOMOR 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk)
Oleh
Hanifah Pury Larasati
Di dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak yang dibentuk atas dasar
perkawinan yang sah menurut Hukum Islam. Faktanya, terdapat pula hal-hal
penyebab putusnya perkawinan seperti berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat landasan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan keputusan pengadilan.
Praktiknya, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur dalam
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam studi putusan nomor
0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk, dapat dikatakan bahwa perkara perceraian tersebut
karena adanya pelanggaran sighat taklik talak. Permasalahan dalam penelitian ini
mengkaji tentang bagaimanakah tinjauan taklik talak dalam persepektif Hukum
Islam, bagaimanakah proses penyelesaian perceraian karena pelanggaran janji
taklik talak, serta bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam studi putusan
nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
tipe penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif yuridis. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data
primer. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam, taklik talak termasuk dalam hukum perjanjian
perkawinan yang mana talak khulu tersebut berakibat pada talak ba’in sugra.
Adapun proses penyelesaian perceraian adalah dengan istri mengadukan ke
Pengadilan Agama lalu dengan sedia membayar iwadh. Terakhir, dasar
pertimbangan hakim pada perkara nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk yaitu tergugat
telah terbukti melanggar sighat taklik talak yang mana selama dalam persidangan
tergugat tidak pernah menghadiri atau tidak mengutus wakil atau kuasa yang sah
maka gugatan ini dikabulkan dengan verstek.
Kata kunci: Taklik talak, Perceraian, Hukum Islam
ANALISIS YURIDIS TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(Studi Puusan No. 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk)
Oleh
HANIFAH PURY LARASATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Hanifah Pury Larasati. Penulis
dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 31 Agustus 1996
dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Purnomo, S.E. dan Ibu Yanni.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak
Sari Teladan Bandar Lampung pada tahun 2002, Sekolah Dasar Negeri 1 Beringin
Raya Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011, dan menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas YP UNILA Bandar Lampung pada tahun
2014. Penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung
pada tahun 2014 melalui jalur Seleksi Nilai Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswi, penulis terdaftar sebagai anggota UKM-F
MAHKAMAH pada tahun 2015-2016 dan menjabat sebagai Sekertaris Kepala
Bidang Kekaryaan (Sekbid Kekaryaan) UKM-F MAHKAMAH pada tahun 2016-
2017, penulis mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mekar Jaya,
Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah.
MOTO
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi
mendesak maka haram baginya bau surga”
(HR Abu Daud Nomor 2226, At-Turmudzi 1187)
“Bila kau merasa letih karena berbuat kebaikan
maka sesungguhnya letih itu akan hilang, kebaikan itu akan kekal”
(Ali bin Abi Thalib)
PERSEMBAHAN
Segala Puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Puji
Bagi Allah atas Nilai-Nya yang tidak dapat diuraikan, nikmat dan anugrah-Nya
yang tidak dapat terhitung serta ilmu-Nya yang tidak dapat dibatasi oleh apapun.
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala keterbatasan hati kupersembahkan
skripsiku ini kepada:
Kedua orangtuaku tercinta, ayahanda Purnomo, S.E. dan ibunda Yanni yang
selama ini telah membesarkan aku dengan penuh cinta, kasih, sayang,
kebahagiaan, doa, semangat serta pengorbanannya selama ini untuk
keberhasilanku.
SANWACANA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang
berjudul, “Analisis Yuridis Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian (Studi
Putusan No. 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk)” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapatkan masukan, bantuan,
dorongan, saran, bimbingan dan kritik dari berbagai pihak, maka pada kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak (Alm) Armen Yasir, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., Pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta selalu memberi semangat dan
dukungannya. Terimakasih atas bimbingan, arahan, saran serta masukan yang
sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini;
5. Ibu Nilla Nargis, S.H., M.Hum., Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta selalu memberi semangat dan
dukungannya. Terimakasih atas bimbingan, arahan, saran serta masukan yang
sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini;
6. Ibu Dr. Amnawaty, S.H., M.H., Pembahas I. Terimakasih atas kritik, saran
dan masukan yang sangat membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini;
7. Ibu Dewi Septiana, S.H., M.H., Pembahas II. Terimakasih atas kritik, saran
dan masukan yang sangat membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini;
8. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah
meluangkan waktu, membimbing dan membantu penulis dalam proses
perkuliahan;
9. Seluruh dosen beserta staf karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung,
khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Perdata atas ilmu yang telah
diberikan untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai
cita-cita;
10. Bapak Drs. Firdaus, MA., Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Tanjungkarang
yang telah memberikan sumbangsih atas terselesainya skripsi ini;
11. Adikku tersayang, Muhammad Naufal Rafi atas segala doa dan dukungan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat
membahagiakan kedua orangtua kita;
12. Kedua pasang kakek dan nenekku tersayang, (Alm) Suwadji AR, (Almh)
Sumarsih, (Alm) Hi. Karman dan Hj. Harmi Unarti yang menjadi salah satu
motivasi penulis dalam menyusun skripsi ini. Terimakasih atas segala kasih
sayang serta dukungan tiada henti kepada penulis;
13. Sepupu-sepupuku tersayang, Niken Ayuningtyas, Aliifah Narfa Tania Putri,
Alvin Azh Harisen, Wiyoga Satriyatama yang selalu memberi doa dan
dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi;
14. Keluarga besarku yang tidak dapat ku sebutkan satu-persatu yang telah
memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
15. Sahabat-sahabat terbaikku, Novia Rachmanik Putri, Bonita Dwi Kurniati,
Helimawati Rosita, Anandya Tri Dinanti, Shintya Dwi Greastyan, Kholifah
Nawang Wulan, Kasih Rara Amerti, Ernando Rizki Dalimunthe, Reva
Rinaldo, Diptha Renggani Putri, Witta Putri Anggraini, Laila Maulina, Anna
Kartika Ratna Dewi Loekito, Yolanda Sari, Rosita Dewi Hasad, Novyanti
Hernita Permatasari Sinaga dan E.C.L Mawar Sharon Nababan yang selalu
memberikan motivasi, saran dan selalu ada dalam penulis mencurahkan keluh
kesah dalam penulisan skripsi ini;
16. Untuk sahabat-sahabat seperjuanganku, Fildzah Addina Silmi, Devara Denita,
Deria Yanita, Audy Aminda Yusandani, Melista Aulia Nurdina, Andrea Ayu
Strelya, Audra Ananda Fairina, Aulia Martha Dinanda, Sintha Utami Firatria,
Aprilia Paradita, Vania Berlinda dan Tyas Kurnia Apsari. Terima kasih atas
motivasi, dukungan, arahan, saran dan kritik serta mendengarkan keluh kesah
dalam penulisan skripsi ini;
17. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) terbaikku di Desa Mekarjaya,
Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah. Dian Asti Swastika,
Chintya Nurlia Essra, Jofanda Delano Harigan, Cintya Fransischa dan Dwina
Arif Audrian. Terima kasih atas pengalaman hidup selama 40 hari yang
sangat berkesan;
18. Kanda, yunda dan adik-adik di UKM-F MAHKAMAH. Terimakasih atas
semua pengalaman, kebersamaan dan ilmu yang diberikan;
19. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2014 yang
tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih telah memberikan makna
atas kebersamaan yang terjalin dan memberikan motivasi belajar satu sama
lain;
20. Teruntuk seseorang yang nantinya akan membimbing dan mengimami saya
untuk urusan dunia dan akhirat, seseorang di masa depan yang bertanggung
jawab akan diri ini dan sesorang yang rela menjadikan dirinya sebagai tulang
punggung sedangkan saya menjadi tulang rusuknya.
Akhir kata, penulis menyadari akan keterbatasan dalam menulis skripsi ini, akan
tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan
ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, Agustus 2018
Penulis,
Hanifah Pury Larasati
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..........................................................................................................................i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................................iv
PERNYATAAN ................................................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................................vi
MOTO ............................................................................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................... viii
SANWACANA .................................................................................................................ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................. xiii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 6
C. Ruang Lingkup ........................................................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6
E. Kegunaan Penelitian ................................................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perkawinan ..................................................... 8
1. Pengertian Perkawinan ..................................................................................... 8
2. Asas-asas Hukum Perkawinan Islam .............................................................. 10
3. Rukun dan Syarat dalam Hukum Perkawinan Islam ...................................... 14
4. Hukum Melakukan Perkawinan dan Larangannya ......................................... 17
5. Perjanjian Perkawinan .................................................................................... 20
6. Hak dan Kewajiban Suami Istri ...................................................................... 20
B. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perceraian ..................................................... 25
1. Pengertian Perceraian ..................................................................................... 25
2. Hukum Melakukan Perceraian ....................................................................... 26
3. Jenis-jenis Perceraian Menurut Hukum Islam ................................................ 27
4. Sebab-sebab Perceraian Menurut Hukum Islam ............................................. 28
5. Masa Iddah ...................................................................................................... 31
6. Rujuk ............................................................................................................... 31
C. Tinjauan Umum Taklik Talak ............................................................................... 33
1. Pengertian Taklik Talak ................................................................................. 33
2. Dasar Hukum Taklik Talak ............................................................................ 34
D. Kerangka Pikir ..................................................................................................... 35
III. METODE PENELITIAN ........................................................................................ 37
A. Jenis Penelitian ...................................................................................................... 37
B. Tipe Penelitian ...................................................................................................... 37
C. Pendekatan Masalah .............................................................................................. 38
D. Data dan Sumber Data .......................................................................................... 38
E. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 39
F. Metode Pengolahan Data ....................................................................................... 40
G. Analisa Data .......................................................................................................... 41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................................... 43
A. Tinjauan Taklik Talak Dalam Perspektif Hukum Islam ........................................ 43
1. Latar Belakang Peristiwa Taklik Talak Di Indonesia ..................................... 47
2. Akibat Hukum Taklik Talak .......................................................................... 50
3. Tujuan Diadakannya Taklik Talak ................................................................. 52
B. Proses Penyelesaian Perceraian Karena Pelanggaran Janji Taklik Talak ............. 54
C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Proses Perceraian
Pada Studi Putusan Nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk ......................................... 63
1. Tentang Duduk Perkara Studi Putusan Nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk .... 63
2. Berdasarkan Pertimbangan Hakim Pada Studi Putusan Nomor
0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk .............................................................................. 65
3. Analisis Yuridis Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian ............................. 68
V. PENUTUP ................................................................................................................... 74
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai subjek hukum mengandung pengertian bahwa setiap manusia
berstatus sebagai orang dalam pemikiran hukum, maksudnya setiap manusia
mempunyai hak, baik yang muncul dari hukum publik maupun hukum perdata.
Salah satu hak yang terdapat dari hukum perdata adalah hak keluarga
(familierechten). Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak yang dibentuk atas dasar perkawinan yang sah menurut
Hukum Islam. Setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan
dan untuk mewujudkan keinginannya untuk hidup bersama pasangannya dalam
ikatan yang sah, maka setiap manusia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan untuk membentuk sebuah keluarga.
Perkawinan itu diharapkan membawa kebahagiaan dan ketentraman, membentuk
keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang sesuai disyariatkan dalam perkawinan
Islam yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (tentram,
cinta, kasih dan sayang)1, namun terdapat pula hal-hal yang dapat menyebabkan
putusnya perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat landasan bahwa perkawinan dapat putus
1 Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Imu Hukum Islam, Bandar Lampung:
Gunung Pesagi, 2015, hlm. 46.
2
karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Perkawinan yang
putus karena kematian sering disebut masyarakat „cerai mati‟. Perkawinan yang
putus karena perceraian memiliki sebutan „cerai gugat‟ dan „cerai talak‟.
Perkawinan yang putus karena berdasar keputusan pengadilan disebut „cerai
batal‟.
Sebutan putusnya perkawinan dengan istilah-istilah tersebut di atas memiliki
alasan, yaitu penyebutan cerai mati dan cerai batal menunjukkan tidak ada
perselisihan antara suami dan istri, sedangkan penyebutan cerai gugat dan cerai
talak menunjukkan ada perselisihan antara suami dan istri. Penyebutan putusnya
perkawinan karena berdasar pada putusan pengadilan dan karena perceraian,
keduanya harus dengan putusan pengadilan. Tepatnya apabila digunakan istilah
perkawinan putus karena “pembatalan”, jadi perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan pembatalan, meskipun perceraian adalah perbuatan
tercela dan dibenci Allah SWT, suami dan istri boleh melakukan perceraian
apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur dengan undang-
undang bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai
suami istri. Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: Salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan sebagaimana yang sukar
disembuhkan; Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuan; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
3
hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; Antara suami dan istri terus-
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangganya. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi salah satu dari alasan-alasan tersebut. Perceraian harus dengan
gugatan ke depan sidang pengadilan. Bagi yang beragama Islam, perceraian yang
dilakukan di muka sidang pengadilan agama adalah cerai talak. Bagi yang
beragama Islam dan yang bukan beragama Islam, perceraian diajukan ke
pengadilan dengan surat gugatan perceraian. Gugatan perceraian bagi yang
beragama Islam diajukan kepada pengadilan agama, sedangkan bagi yang bukan
beragama Islam, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menyuruh atau melarang melakukan perceraian
yang mengandung arti hukumnya mubah atau boleh, namun perceraian itu
termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi SAW, oleh karena itu perceraian
mengandung arti hukumnya makruh atau tercela. Dasar hukumnya adalah sabda
Rasulullah SAW: “Perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
thalaq”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Kompilasi hukum Islam tidak mengatur tentang bagaimana hukum perceraian
menurut hukum Islam. Kompilasi hukum Islam khususnya mengenai perceraian
hanya mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya. Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketahui bahwa hukum perceraian menurut Islam tidak
4
diatur secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Hadist. Tidak terdapat ayat-ayat yang
menyuruh atau melarang perceraian, walaupun hukum asal dari perceraian atau
thalaq itu “makruh atau tercela”, namun pada situasi dan kondisi tertentu hukum
perceraian dapat berubah-ubah. Kadang hukum perceraian bisa nadab atau
sunnah, kadang bisa mubah atau boleh, kadang bisa wajib, dan kadang hukum
perceraian bisa menjadi haram. Hukum perceraian bisa nadab atau sunnah jika
keadaan suatu rumah tangga tersebut sudah tidak dapat dilanjutkan lagi dan
kalaupun seandainya rumah tangga tersebut dipertahankan maka kemudaratan
atau dampak buruk lebih banyak terjadi. Hukum perceraian menjadi mubah atau
boleh yaitu jika sudah tidak ada lagi jalan selain perceraian untuk menyelamatkan
rumah tangga dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya
perceraian, sedangkan dengan adanya perceraian itu timbul manfaat bagi kedua
belah pihak. Hukum perceraian menjadi wajib yaitu jika talak dijatuhkan oleh
pihak penengah atau hakim, jika menurut pihak penegah atau juru damai atau
hakim tersebut sudah sulit untuk dipersatukan dan jika mempertahankan rumah
tangga tersebut sudah tidak ada sedikitpun terdapat kebaikan atau kemaslahatan,
oleh karena itu satu-satunya cara demi kebaikan bagi kedua belah pihak adalah
dengan cara memisahkan mereka. Hukum perceraian menjadi haram yaitu jika
perceraian itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau
suci yang dalam masa itu ia telah digauli.2
Seperti yang terdapat dalam studi putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk yaitu,
salah satu kasus perceraian yang terjadi akibat suami meninggalkan istri selama
dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
2 Ibid, hlm. 63.
5
karena hal lain di luar kemampuan. Bermula pada tanggal 10 Maret 2002 telah
dilangsungkannya perkawinan seorang wanita dengan seorang pria atas dasar suka
sama suka seiring berjalannya waktu keadaan rumah tangga berjaan cukup rukun
dan damai namun setelah kelahiran anak pertama pada tahun 2003 keadaan rumah
tangga mulai goyah dan perselisihan terus menerus yang dikarenakan beberapa
masalah yang menyangkut keadaan ekonomi dan kepribadian suami yang tertutup
mengakibatkan sulitnya berkomunikasi untuk dapat memecahkan masalah secara
bersama-sama, namun pada tahun 2007 suami pamit kepada istri untuk mencari
pekerjaan dan diketahui melalui tetangga bahwa suami berada di Jakarta. Selama
tiga bulan setelah dari kepergian suami masih memberi kabar kepada istri dengan
tetap tidak memberitahu tempat tinggalnya.
Setelah tujuh tahun berlalu, suami menghubungi istri via telepon yang
memberitahu bahwa suami akan menikah dengan orang lain dan mengatakan
bahwa mereka sudah tidak memiliki hubungan apapun. Selama kurun waktu tujuh
tahun, istri pernah mendatangi kediaman orangtua suami dan ternyata rumah
tersebut sudah dijual oleh pihak suami, atas perkara tersebut suami telah
melanggar janji taklik talak yang diucapkan sewaktu melaksanakan ijab kabul,
karena selama kurun waktu tujuh tahun suami tidak meberikan nafkah lahir
maupun batin kepada istri dan anak-anaknya. Istri pun merasa tidak terima atas
perlakuan suami maka cukup beralasan hukum untuk menggugat cerai suaminya.3
3 Studi Putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor: 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk
6
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis akan melakukan
sebuah penelitian dengan judul : “Analisis Yuridis Taklik Talak Sebagai Alasan
Perceraian (Studi Putusan Nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah tinjauan Taklik Talak dalam persepektif Hukum Islam?
2. Bagaimanakah proses penyelesaian perceraian karena pelanggaran janji
Taklik Talak?
3. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam studi putusan nomor
0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk?
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup bidang ilmu dan lingkup kajian.
Lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan, khususnya
Hukum Islam, sedangkan lingkup kajian penelitian ini adalah suatu hal yang
menyangkut tentang hak gugat istri pada perkara hukum perceraian akibat taklik
talak sebagai alasan perceraian.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui, memahami dan menganalisa pengaturan mengenai dasar hukum
bagi hak gugat istri pada perkara hukum perceraian akibat pelanggaran janji
Sighat Taklik Talak oleh suami dalam persepektif Hukum Islam.
7
2. Mengetahui, memahami dan menganalisa syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh istri dalam proses pengajuan gugatan perkara hukum perceraian akibat
pelanggaran janji Sighat Taklik Talak oleh suami.
3. Mengetahui, memahami dan menganalisa dasar pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara dalam studi putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan input baik secara teoritis
maupun secara praktis:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan
hukum, khususnya mengenai hak gugat istri pada perkara hukum perceraian
akibat taklik talak sebagai alasan perceraian.
2. Kegunaan Praktis
Selain kegunaan teoritis, penelitian ini pun memberikan kegunaan praktis pada
penelitian ini sebagai berikut:
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan masyarakat mengenai
hak gugat dasar hukum bagi hak gugat istri pada perkara hukum perceraian
akibat taklik talak sebagai alasan perceraian.
b. Memperoleh data dan informasi secara lebih jelas dan lengkap sebagai bahan
untuk menyusun penulisan hukum guna melengkapi persyaratan dalam
mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas Lampung,
khususnya bagian Hukum Keperdataan.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang
perkawinan adalah munakahat/nikah, sedangkan dalam bahasa Arab pada
perundang-undangan tentang perkawinan, yaitu Ahkam Al-Zawaj atau Ahkam
Izwaj dan dalam bahasa Inggris, baik dalam buku-buku maupun perundang-
undangan tentang perkawinan digunakan istilah Islamic Marriage Law, dan
Istilah Marriage Ordinance, sementara dalam bahasa Indonesia digunakan istilah
Hukum Perkawinan.4
Munakahat, yaitu merupakan hubungan yang mengatur antar anggota keluarga.
Perkawinan dalam Islam berasal dari kata nakaha yang berarti nikah, mempelai
perempuan disebut nakihatun dan mempelai laki-laki disebut nakihun. Nikah atau
biasa disebut kawin menurut arti aslinya adalah hubungan intim antara seorang
pria dan wanita, tetapi menurut majazi (methaporic) atau arti hukum ialah akad
perjanjian atau biasa disebut perikatan antara kedua mempelai untuk jangka waktu
yang tak terbatas dan yang menjadikan halal hubungan intim sebagai suami istri
diantara keduanya sehingga mendapatkan keturunan sebagai generasi penerusnya
4 Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010, hlm. 136.
9
yang menjadi tanggung jawab kedua suami istri dalam hal memelihara serta
mengarahkan pendidikannya ataupun dalam hal bertingkah pola untuk
bermasyarakat (lahir batin).5 Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab
berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadist. Al-Nikah
mempunyai arti Al-Wath‟i, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, Al-jam‟u atau ibarat „an
al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima‟
dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan
terjadinya istimta‟ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita
tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
seperti sebab susunan.6
Definisi perkawinan dalam fikih memberikan kesan bahwa perempuan
ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki. Dilihat pada diri
wanita adalah aspek biologisnya saja, ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat‟
atau al-istimta‟ yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula
pemberian ikhlas sebagai tanda cinta seorang laki-laki kepada perempuan juga
didefinisikan sebagai pemberian yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki
berhubungan seksual dengan wanita. Implikasi yang lebih jauh akhirnya
perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin
dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.7 Perkawinan menurut Kompilasi
5 Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Imu Hukum Islam, Bandar Lampung:
Gunung Pesagi, 2015, hlm. 48. 6 Syarif, Ide taqnin Ibn al-Muqaffa‟ dan relevansinya dengan penerapan syariat Islam di
Indonesia, dalam Masyhuri Abdillah, Formalisasi syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan,
2005, hlm. 71. 7 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Rajawali Press, 2006, hlm.
153.
10
Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miistsaaqan gholiidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, sedangkan di
Indonesia, pengertian perkawinan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.8
Adapun yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan perkawinan menurut
Hukum Islam adalah harta, keturunan/nasab, fisik/lahiriah, agamanya (bagian
utama) dan sekufu/sederajat.
2. Asas-asas Hukum Perkawinan Islam
Asas-asas Hukum Perkawinan Islam menurut Hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi orang Islam di
Indonesia terdiri atas tujuh asas, yaitu:
a) Asas personalitas keislaman dimaksudkan penggolongan hukum yang
mengatur tentang perorangan dan kekeluargaan yang melekat berdasarkan
agama pribadi secara individu sebagai hak insani atau hak adami (right of
man), yaitu berdasarkan Hukum Islam bagi orang Islam, yang
keberlakuannya bersifat universal dan tidak terpengaruh oleh territorial di
tempat ia berdomisili.9
b) Asas kesukarelaan dimaksudkan kesukarelaan juga harus terdapat pada
kesukarelaan kedua orang tua masing-masing calon mempelai.
8 Ibid., hlm. 153
9 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 98.
11
c) Asas persetujuan dimaksudkan Hukum Islam sangat menghormati hak asasi
manusia dalam hal perkawinan yang telah ditentukan sejak awal Islam (abad
ke-7 Masehi) dalam hal memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah
diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak
pinangan seorang laki-laki.
d) Asas kebebasan memilih pasangan sebagai rangkaian dari asas persetujuan
dan kesukarelaan, yang membebaskan setiap orang untuk memilih pasangan
perkawinannya secara bebas berdasarkan syari‟at Islam.
e) Asas kemitraan dimaksudkan dalam ajaran Islam melalui pembagian tugas
antara suami istri, bukan dalam makna yang satu menguasai yang lain, tetapi
dalam rangka mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah
(tentram, cinta, kasih dan sayang) sebagai penerus amanah yang harus
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.
f) Asas monogami terbuka dimaksudkan pada dasarnya perkawinan menurut
Islam adalah monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu suami
diperbolehkan beristri lebih dari satu orang dan paling banyak empat orang
istri.10
g) Asas untuk selama-lamanya dimaksudkan tujuan perkawinan adalah untuk
selama-lamanya bukan untuk sementara waktu dan bukan untuk sekadar
bersenang-senang semata.11
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 139. 11
Neng Djubaidah, Op. cit., hlm. 101-105.
12
Asas-asas atau prinsip dalam persepektif yang lain, Dr. Musdah Mulia
menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada empat yang didasarkan pada
ayat-ayat Al-Qur‟an:
a) Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh, prinsip ini sebenarnya kritik
terhadap tradisi bangsa Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang
lemah, sehingga untuk diri sendirinya saja ia tidak memiliki kebebasan untuk
menentukan apa yang terbaik, oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah
hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak
bertentangan dengan syari‟at Islam.
b) Prinsip mawaddah wa rahmah, yang berdasarkan pada firman Allah QS. Ar-
Rum: 21 yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.
Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya karena perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha
Allah di samping tujuan yang bersifat biologis.
c) Prinsip saling melengkapi dan melindungi, yang berdasarkan pada firman
Allah QS. Al-Baqarah: 187 yang artinya:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur degan istrimu.
Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi
13
Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi
jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah
ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka bertakwa”.
Bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan istri adalah pakaian untuk suaminya
sebagaimana sebaliknya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan
dimaksudkan untuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang
memiliki kelebihan dan kekurangan.
d) Prinsip muasyarah bi al-ma‟ruf, yang berdasarkan pada firman Allah QS. An-
Nisa‟: 19 yang artinya adalah:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan jangnlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal allah menjadikan kebaikan yang banyak
padanya”.
Di mana ayat tersebut di atas memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk
memperlakukan istrinya dengan cara yang ma‟ruf, di dalam prinsip ini
14
sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada
wanita.12
3. Rukun dan Syarat dalam Hukum Perkawinan Islam
a) Rukun Perkawinan
1) Calon suami;
2) Calon istri;
3) Wali nikah dari calon istri;
4) Dua orang saksi laki-laki;
5) Mahar;
6) Ijab dan Kabul.
b) Syarat Perkawinan
1) Syarat calon suami, yaitu:
a. Beragama Islam;
b. Seorang laki-laki asli, baik secara hukum agama maupun hukum negara
jelas berkelamin laki-laki;
c. Orangnya tertentu, yang diartikan dengan memiliki identitas yang jelas
tentang diri sendiri dan orang tuanya;
d. Sehat jasmani dan rohani, tidak dalam keadaan paksaan;
e. Tidak mempunyai empat orang istri;
f. Tidak ada hubungan darah, tidak ada hubungan sesusuan, tidak ada
hubungan semenda dengan calon istri.13
12
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011, hlm. 7-8. 13
Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, op. cit., hlm. 50.
15
2) Syarat calon istri, yaitu:
a. Beragama Islam;
b. Seorang perempuan asli, baik secara hukum dan agama jelas
berkelamin perempuan;
c. Orangnya tertentu, yang diartikan dengan memiliki identitas yang jelas
tentang diri sendiri dan orang tuanya;
d. Sehat jasmani dan rohani, tidak dalam keadaan paksaan;
e. Tidak bersuami dan tidak sedang masa iddah;
f. Tidak ada hubungan darah, tidak ada hubungan sesusuan, tidak ada
hubungan semenda dengan calon suami.
3) Syarat wali nikah dari calon istri, yaitu:
a. Beragama Islam;
b. Seorang laki-laki asli, baik secara hukum agama maupun hukum negara
jelas berkelamin laki-laki;
c. Dewasa;
d. Berakal sehat;
e. Tidak dalam keadaan paksaan.
4) Syarat saksi, yaitu:
a. Beragama Islam;
b. Seorang laki-laki asli, baik secara hukum agama maupun hukum negara
jelas berkelamin laki-laki;
c. Dewasa;
d. Berakal sehat;
16
e. Tidak pelupa atau pikun;
f. Tidak buta, tidak tuli dan tidak bisu.
5) Syarat mahar, yaitu sesuatu benda yang diserahkan oleh calon suami dan
halal yang artinya baik benda maupun cara perolehan benda adalah halal.
Macam-macam mahar:
a. Mahar mussamma, adalah mahar yang disebutkan dalam akad
perkawinan; dan
b. Mahar mitsil, adalah mahar yang tidak disebutkan dalam akad
perkawinan.
6) Syarat Ijab, yaitu:
a. Diucapkan dengan lafaz yang jelas dan tegas;
b. Diucapkan oleh walinya atau wakilnya;
c. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan baik
pengantinnya maupun para saksi.
7) Syarat Kabul, yaitu:
a. Dengan lafaz tertentu yang diucapkan secara tegas yang diambil dari
kata-kata nikahnya;
b. Diucapkan oleh calon suami;
c. Kabul tersebut harus didengar oleh yang bersangkutan maupun para
saksi.14
14
Ibid., hlm. 51-52.
17
4. Hukum Melakukan Perkawinan dan Larangannya
a) Hukum melakukan perkawinan:
Dasar persyariatan nikah adalah Al-Qur‟an, al-sunnah dan Ijma, namun
sebagaian ulama berpendapat Hukum asal melakukan perkawinan adalah
mubah (boleh). Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah, wajib, halal,
makruh tergantung kepada illat hukum.
Hukum perkawinan terbagi atas :
1) Hukum nikah menjadi wajib, yaitu nikah bagi orang yang takut akan
terjerumus kedalam perbuatan zinah jika ia tidak menikah. Apabila
seseorang dari segi persyaratan jasmani dan rohani telah mencukupi dan
dari sudut jasmani sudah sangat mendesak untuk menikah. Karena dalam
kondisi semacam ini menikah akan membantunya menjaga diri dari hal-
hal yang diharamkan.
2) Hukum nikah menjadi sunah, yaitu ketika seseorang telah memiliki
syahwat yang tinggi dan ia tidak takut akan terjerumus keperbuatan
zinah, jika menikah justru akan membawa maslahat serta kebaikan yang
banyak baik bagi laki-laki maupun wanita yang dinikahinya, maka jika
seseorang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk menikah
serta biaya hidup telah ada maka sunah untuk melakukan pernikahan dan
tidak berdosa apabila belum melakukan pernikahan.
3) Hukum nikah menjadi makruh, yaitu bagi seseorang yang tidak mampu.
Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh laki-laki yang impoten atau
telah berusia lanjut, karena hal ini bisa menghalangi tujuan untuk
meneruskan keturunan bagi wanita yang dinikahinya, jika seseorang dari
18
sudut jasmaninya wajar untuk menikah walaupun belum sangat
mendesak tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga jika ia menikah
hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan keturunannya
maka makruhlah baginya untuk menikah, dia tidak berdosa dan tidak
pula mendapat pahala sedangkan kalau ia belum menikah dengan
pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut maka pahalalah
untuknya.
4) Hukum nikah menjadi haram, yaitu bagi seseorang muslim yang berada
didaerah orang kafir yang sedang memeranginya, karena selain dapat
dapat dijadikan kendali maka kondisi seperti ini dapat membahayakan
istri dan keturunannya. Hukum nikah menjadi haram jika seorang laki-
laki hendak menikahi seorang wanita dengan maksud menganiaya atau
mengolok-oloknya, maka haramlah baginya laki-laki itu untuk menikah
dengan wanita tersebut.
b) Larangan
Dilarang melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita yang merupakan muhrim atau mahramnya yang terdiri dari:
1) Diharamkan karena keturunannya, yaitu:15
a. Ibu dan seterusnya ke atas;
b. Anak perempuan dan seterus kebawahnya;
c. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu;
d. Bibi (saudara ibu sekandung atau dengan perantara ayah atau ibu);
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki terus ke bawah (kemenakan);
15
Ibid., hlm. 56.
19
f. Anak perempuan dari saudara perempuan terus ke bawah;
2) Diharamkan karena sesusuan, seorang laki-laki dilarang menikahi
perempuan sesusuan, yaitu:
a. Ibu yang menyusuinya;
b. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan sesusuan.
3) Diharamkan karena suatu perkawinan atau larangan perkawinan karena
alasan semenda, yaitu:
a. Ibu istri (mertua) dan seterusnya ke atas baik ibu dari nasab maupun
dari sesusuan;
b. Anak tiri (anak dari istri yang dinikahi dengan suami lain) jika sudah
campur dengan ibunya;
c. Istri ayah dan seterusnya ke atas;
d. Wanita-wanita yang pernah dinikahi ayah, kakek sampai ke atas.
4) Diharamkan untuk seseorang laki-laki diharamkan untuk menikahi
perempuan untuk sementara waktu, yaitu:
a. Terdapat pertalian nikah yaitu perempuan masih berada dalam ikatan
perkawinan sampai ia dicerai dan sampai habis masa iddahnya;
b. Talak baik kubra yaitu perempuan yang ditalak tiga haram dinikahi
oleh mantan suaminya kecuali telah dinakahi oleh laki-laki lain dan
digauli. Apabila perempuan tersebut dicerai dan habis masa iddahnya
barulah boleh dinikahi oleh mantan suaminya yang pertama, dengan
catatan bahwa pernikahan dan perceraian mantan istri tersebut
bukanlah rekayasa pihak mantan suami (muhalil dan muhallal);
20
c. Menghimpun dua perempuan bersaudara dalam waktu yang
bersamaan kecuali salah satunya telah dicerai atau meninggal dunia;
d. Menghimpun perempuan lebih dari empat;
e. Berlainan agama, kecuali perempuan tersebut masuk Islam.16
5. Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.17
Perkawinan dalam Islam merupakan perjanjian yang kuat (mitsaqan
ghalidlan). Hal ini telah diatur di dalam Al-Qur‟an dan sunnah rasul. Perjanjian
perkawinan telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
implementasinya dilaksanakan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1975. Perjanjian perkawinan diatur pula di dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 45-52 yang berisi tentang:
a) Taklik talak;
b) Pemisahan harta bersama (gono-gini);
c) Percampuran harta pribadi;
d) Perjanjian pemisahan harta pencarian masing-masing;
e) Pencabutan perjanjjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak ketiga.18
6. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila akad nikah telah berlangsung dan telah memenuhi syarat dan rukunnya
maka akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang ditimbulkan juga
16
Ibid., hlm. 56-57. 17
Pasal 1313, KUH Perdata 18
Mardani, Op.cit., hlm. 18.
21
menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami istri secara bersamaan. Dalam
mengatur dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk mencapai perkawinan,
agama mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami istri.
Hak adalah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang
harus dilaksanakan dengan baik.19
Apa yang menjadi kewajiban suami terhadap
istri merupakan hak bagi istri dan begitu sebaliknya apa yang menjadi kewajiban
istri menjadi hak suami. Jika suami istri bersama-sama menjalankan tagging
jawabnya masing-masing maka terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati
sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup rumah tangga yang menjadi tujuan
hidup berkeluarga sesuai dengan tuntunan agama yaitu keluarga yang sakinah,
mawaddah, warahmah.
a) Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri:
Seorang suami wajib menjalankan hak dan kewajibannya dan
mempergunakan haknya secara benar dan dilarang menyalahgunakan haknya.
Disamping itu ia wajib menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya terdapat dua macam yaitu
kewajiban materiil dan kewajiban non-materiil. Adapun penjelasan kewajiban
materiil sebagai berikut:
1) Mahar, yaitu di dalam perkawinan jika telah terlaksana akad
perkawinan maka suami diwajibkan untuk memberi sesuatu kepada
istri dan inilah yang dinamakan mahar atau mas kawin. Istri dapat
19
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu jaya,
1993, hlm.37
22
meminta mahar yang diinginkan namun dengan syarat tidak
memberatkan suami, kewajiban ini hanya diwajibkan satu kali saja.
2) Nafkah, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya
karena kewajiban suami memberikan nafkah disebabkan oleh tiga hal
yaitu:
a. Hubungan perkawinan yaitu suami wajib memberikan nafkah
kepada istrinya yang taat baik makanan, pakaian dan tempat
tinggal. Serta kebutuhan rumah tangga dan sebagaimananya yang
sesuai dengan kemampuannya.
b. Hubungan keluarga yaitu seorang ayah wajib memberikan nafkah
kepada anak-anaknya atau seorang anak memberikan nafkah
kepada ibu apabila ayahnya telah tiada dan begitu juga kepada
cucu apabila ayahnya telah tiada. Keadaan ini diwajibkan untuk
orang tua dapat menafkahi anaknya dengan syarat apabila anaknya
masih kecil atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin.
Sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada kedua orang tua
apabila keduanya tidak mampu dan tidak memiliki harta.
c. Hubungan memiliki yaitu apabila memiliki binatang peliharaan
maka wajib diberi nafkah berupa makanan dan dijaga agar tidak
diberi beban yang berlebih melebihi kemampuannya.
Kewajiban non-materiil penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Memimpin, memelihara dan bertanggung jawab yaitu yang mana
seorang suami memiliki derajat kepemimpinan rumah tangga yang
23
timbul akibat adanya akad nikah dan kepentingan hidup bersama.
Sebagai derajat yang bertanggung jawab atas persoalan istri, anak dan
rumah tangga semua diserahkan dan dikembalikan kepada suami yang
pada praktiknya istri akan meminta pada suaminya kebutuhan serta
keperluan rumah tangga dan segala sesuatu yang berada di luar
kesanganggupan dan upaya istri.
2) Memenuhi kebutuhan biologis istri artinya suami dapat menggauli
istrinya dengan cara yang baik, tidak boleh egois tanpa memelihara
diri seorang istri. Hubungan tersebut antara suami dan istri harus
dilakukan dengan cara yang sopan tidak bagaikan layaknya hewan.
3) Suami wajib menjaga dan memelihara istrinya dimaksudkan agar
suami menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya dan
menjaganya agar selalu melaksanakan semua perintah Allah SWT dan
menghentikan segala sesuatu yang dilarangNya.
4) Berkewajiban berlaku adil diantara beberapa orang istri, pada hal ini
apabila suami mempunyai istri lebih dari seoang, maka hendaklah ia
berlaku adil terhadap istri-istrinya.
b) Hak dan Kewajiban Istri terhadap Suami:
Kewajiban istri kepada suami mempunyai ikatan yang tidak dapat dipisahkan
dengan kewajiban suami terhadap istri. Adapun kewajiban istri terhadap
suami tidak ada yang berupa materi namun diantaranya yaitu:
1) Taat kepada Allah dan suami, kewajiban istri yang baik yaitu taat kepada
Allah SWT dan suami secara utuh, baik disaat suami sedang di rumah
maupun pada saat suami bepergian. Taat kepada Allah SWT yaitu dengan
24
menerapkan segala ketentuanNya dan menjauhkan segala laranganNya
dalam kehidupan rumah tangga.
2) Menjaga kehormatan diri artinya seorang istri selain diperintahkan taat
kepada Allah SWT dan suaminyanya, istri juga harus menjaga
kehormatan dirinya baik disaat suaminya berada di rumah maupun sedang
bepergian.
3) Kewajiban mengurus rumah tangga yaitu apabila seorang istri
bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangga secara intern.
4) Istri harus memenuhi kemauan suami dalam berhubungan, bahwa seorang
istri wajib mengabulkan ajakan suaminya jika istri menolak maka
malaikat mengutuknya karena tidak akan ada hukuman kecuali adanya
kewajiban yang ditinggalkan.
5) Berlaku jujur dan memelihara amanah suami, posisi istri yaitu tergantung
dengan ridha suami maka segala sesuatu yang berhubungan dengan istri
harus dengan adanya izin suami dan jika sudah diberikan izin maka istri
wajib memelihara amanah suaminya tersebut.
c) Hak dan Kewajiban bersama:
Terdapat beberapa kesamaan hak dan kewajiban antara suami istri yaitu:
1) Haram melakukan perkawinan, bagi istri diharamkan dinikahi oleh ayah
suaminya, anak lelakinya dan cucunya. Begitu pula suami diharamkan
menikahi ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya.
2) Hak saling mendapat warisan akibat dari ikatan perkawinan yang sah
apabila ada salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan
25
perkawinan maka yang lain dapat mewarisi hartanya sekalipun belum
melakukan hubungan suami istri.
3) Anak yang lahir hasil dari perkawinan yang sah maka mempunyai nasab
(keturunan) yang jelas bagi suami.
4) Kedua belah pihak wajib berhubungan layaknya suami istri yang baik
sehingga dapat terciptanya kehormanisan rumah tangga.
B. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Perceraian terbagi atas
perceraian dari pihak suami atau cerai talak dan perceraian dari pihak istri atau
cerai gugat. Pengertian cerai talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 66 ayat (1) menyatakan bahwa :
“seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna
penyaksian ikar talak”.
Sedangkan pengertian talak menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 adalah
“talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara yang telah dimaksudkan”20
Lalu pengertian cerai gugat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 ayat
(1) menyatakan bahwa :
20
Abdul Manan dan M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 28.
26
“gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama
yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizing suami”.
2. Hukum Melakukan Perceraian
Hukum asal perceraian adalah makruh atau tercela, namun dalam keadaan dan
situasi tertentu maka hukum perceraian terbagi atas:
a) Nassab atau sunnah yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan dan seandainya dipertahankan akan menimbulkan banyak
kemudharatannya.
b) Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
terdapatnya juga manfaatnya.
c) Wajib atau harus dilakukan yaitu jika thalaq dijatuhkan oleh pihak penengah
atau hakam atau hakim. Sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1) Jika menurut juru damai tersebut, perpecahan antara suami istri sudah
sedemikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan bahkan tidak
sedikitpun terdapat kemaslahatan jika perkawinan itu tetap dipertahankan,
cara satu-satunya dengan memisahkan mereka.
2) Bagi istri yang telah di- Illa‟ atau di sumpah oleh suaminya untuk tidak
mengadakan hubungan seksual dengan istrinya, sesudah lewat waktu
tunggu empat bulan, sedangkan suaminya tersebut tidak mau pula
membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.21
21
Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Op. cit., hlm. 61-62.
27
d) Haram yaitu perceraian itu dilakukan dengan tanpa alasan, sedangkan istri
dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.
3. Jenis-Jenis Perceraian Menurut Hukum Islam
Jenis-jenis perceraian atau thalaq dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi
beberapa macam :
a) Jenis-jenis thalaq ditinjau dari keadaan istri, yaitu :
1) Thalaq sunni adalah talak yang diperbolehkan dan ketika dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak digauli dalam keadaan suci
tersebut.
2) Thalaq bid‟iy adalah talak yang dilarang karena talak yang dijatuhkan
pada waktu istri dalam keadaan haid atau keadaan suci tetapi sudah digauli
dalam keadaan suci tersebut.
b) Jenis-jenis thalaq ditinjau dari segi cara menjatuhkan thalaq, yaitu :
1) Dengan cara diucapkan;
2) Dengan cara tertulis;
3) Dengan menggunakan isyarat;
4) Dengan melalui perantara.
c) Jenis-jenis thalaq ditinjau dari jelas atau tidaknya thalaq, yaitu :
1) Thalaq sharih yaitu thalaq yang diucapkan dengan jelas dan tegas.
2) Thalag kinayah yaitu thalaq yang dijatuhkan dengan sindiran.22
22
Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Op. cit., hlm. 69-70.
28
d) Jenis-jenis thalaq ditinjau dari segi kata-katanya terdiri dari :
1) Thalaq tanjiz yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan ucapan langsung
tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan sharih atau kinayah.
2) Thalaq ta‟liq yaitu thalaq yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi
kemudian, baik menggunakan sharih atau kinayah.
e) Jenis-jenis thalaq ditinjau dari segi boleh tidaknya untuk rujuk :
1) Thalaq raj‟i yaitu thalaq pertama atau kedua, di mana suami berhak rujuk
selama dalam masa iddah.
2) Thalaq ba‟in sugra yaitu thalaq yang tidak memperbolehkan rujuk tetapi
boleh melaksanakan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun
dalam iddahnya.23
4. Sebab-Sebab Perceraian Menurut Hukum Islam
a) Atas kehendak suami :
1) Thalaq menurut Hukum Islam adalah menghilangkan ikatan perkawinan
atau mengurangi keterikatan perkawinan dengan menggunakan ucapan
tertentu yaitu dengan cara sharih atau kinayah.
2) Illa‟ menurut bahasa adalah sumpah. Sedangkan menurut istilah adalah
sumpahnya seorang suami untuk tidak bergaul dengan istrinya baik
dengan menyebut nama Allah, baik tanpa batas waktu maupun dengan
batas waktu untuk selama-lamanya empat bulan.
23
Abdul Manan dan M Fauzan, Op, Cit,. hlm. 28-29.
29
3) Li‟an yang berasal dari kata la‟nun yang berarti kutukan, dapat juga
berarti jauh. Menurut Hukum Islam adalah sumpah suami yang menuduh
istrinya berbuat zina dengan disertai empat kali kesaksian bahwa suami
benar dalam tuduhannya dan pada kesaksian yang kelima disertai
kesediannya untuk menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam
tuduhannya.
4) Dhihar berasal dari kata dahruu yang artinya punggung. Menurut Hukum
Islam adalah ucapan seorang suami terhadap istrinya yang menyamakan
bagian tubuh istrinya dengan orang lain yang bagi suami haram untuk
dinikahinya.
b) Atas kehendak istri :
1) Khiyar aib adalah apabila istri mendapati cacat pada suaminya setelah
terjadinya akad perkawinan dan belum diketahui sebelumnya. Yaitu cacat
jiwa, cacat mental, cacat tubuh dan cacat kelamin.
2) Khulu‟ secara etimologis adalah melepas. Menurut Hukum Islam artinya
menceraikan suami dengan iwad/imbalan sejumlah harta dengan ucapan
tertentu.
3) Rafa‟ yang berarti gugatan atau pengaduan dari istri dengan beberapa
alasan tertentu, yaitu adanya unsur paksaan terhadap istri dalam
melangsungkan perkawinan, suami melanggar ta‟lik talak, suami dengan
sengaja tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, suami tidak
memperlakukan istrinya seperti selayaknya baik jasmani maupun rohani,
suami menganiaya istrinya, suaminya mafqud (menghilang tanpa pesan)
dan suami dijatuhi pidana berat.
30
c) Atas kehendak pihak ketiga :
Perceraian atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga (fasakh). Dilihat dari
segi alasannya, terjadinya fasakh yaitu fasakh yang terjadi karena perkawinan
yang sebelumnya telah berlangsung kemudian tidak memenuhi syarat pada
perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya
perkawinan, dan fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau istri terdapat
sesuatu yang menyebabkan perkawinan itu tidak mungkin dilanjutkan karena
kalau dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau
keduanya sekaligus atau yang disebut khiyar fasakh. Menurut Kompilasi
Hukum Islam, sebab-sebab perceraian sebagai berikut:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau aistri.
6) Antara suami istri terus terjadi perselisihan sehingga tidak ada harapan
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7) Suami melanggar taklik-talak dan murtad.
31
5. Masa Iddah
Iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya dalam kurun
waktu tertentu sampai ia menikah kembali dengan laki-laki lain. Lamanya iddah
bagi seseorang wanita berbeda-beda sesuai keadaannya yaitu:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu di tetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c) Apabila perkawinan putus karena perceraian dan perempuan dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d) Apabila perkawinan putus karena kematian dan perempuan tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.24
Perempuan yang sedang berada dalam masa iddah diharamkan menerima lamaran
laki-laki lain kecuali mantan suaminya, itupun hanya sebatas bagi perempuan
yang ditalak raj‟i. Mantan suaminya tersebut wajib memberikan nafkah sampai
habis masa iddahnya.
6. Rujuk
Rujuk memiliki arti kembali atau mengembalikan. Menurut para fukaha,
mengembalikan mantan istri kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh
yang dilakukan oleh mantan suaminya dalam masa iddah. Hal ini dimaksudkan
sebagai hak priorias mantan suami, yaitu artinya istri dalam masa iddah tidak
24
Abdul Manan dan M Fauzan, op,cit., hlm. 41-42.
32
boleh menerima pinangan laki-laki selain mantan suaminya, tetapi setelah masa
iddahnya habis maka habislah hak prioritas mantan suaminya tersebut.
a) Rukun Rujuk :
1) Mantan suami;
2) Mantan istri;
3) Sighat atau perkataan yang dibagi dua yaitu sharih atau tegas dan kinayah
atau sindiran.
b) Hukum rujuk :
1) Makruh, yaitu jika perceraian terjadi karena alasan yang dibenarkan oleh
hukum, maka merujuk kembali istri adalah makruh.
2) Haram, yaitu jika perceraian dijatuhkan atas dasar kewajiban hukum.
3) Sunnah, yaitu jika perceraian terjadi disebabkan karena ketidakserasian
antara suami istri, tidak dapat menyelesaikan kesulitan rumah tangga atau
setelah bercerai masing-masing pihak menyadari kesalahannya dan
bersepakat untuk tidak menimbulkan masalah-masalah yang terjadi seperti
sebelumnya.
4) Wajib, yaitu apabila perceraian yang terjadi akibat suami menjatuhkan
talak karena sesuatu atau pada waktu yang menyalahi aturan hukum.
5) Mubah, yaitu apabila perceraian yang terjadi akibat talak yang dijatuhkan
suami bersifat mubah sedang kondisi sesudah talak dijatuhkan tidak terjadi
perubahan.25
25
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria, Hukum dan Hukum Islam, 2008, Bandar Lampung:
Penerbit Universitas Lampung, hlm. 93
33
c) Tata Cara Rujuk :
Suami istri yang hendak rujuk bersama-sama ke PPN (Pegawai Pencatat
Nikah) yang membawahi wilayah tempat tinggal mereka dengan membawa
persyaratan yang diperlukan yaitu surat talak. Apabila persyaratan yang
diperiksa dan diselidiki terpenuhi untuk dapat melakukan rujuk dan dilakukan
dalam masa iddah maka Pegawai Pencatat Nikah mencatat rujuk dalam buku
pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami, istri dan para
saksi untuk selanjutnya dapat ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
Pegawai Pencatat Nikah kemudian memberitahukan kepada Pengadilan
Agama di tempat suami dan istri yang melaksanakan perceraian bahwa suami
istri tersebut kembali utuh dalam ikatan perkawinan seperti sedia kala.
C. Tinjauan Umum Taklik Talak
1. Pengertian Taklik Talak
Taklik talak pada dasarnya adalah janji talak yang diikrarkan oleh suami yang
digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan
datang. Talak yang digantungkan (ta‟liqal-thalaq) itu akan terwujud bilamana
suami telah melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu seperti yang
tercantum di dalam buku nikah tersebut, yaitu:
a) Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut;
b) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
c) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya; dan
d) Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya,
atas hal itu bilamana istri tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
34
pengadilan agama, dan bila pengadilan agama berpendapat bahwa pengaduan
istri tersebut dapat diterima (setelah terbukti adanya pelanggaran oleh suami)
dan istri bersedia membayar uang dalam jumlah tertentu sebagai iwadh incasu
Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), maka pengadilan agama akan
mentanfizkan taklik talak tersebut.
2. Dasar Hukum Taklik Talak
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai hukum
taklik talak. Mereka ada yang membolehkan namun ada juga yang menolaknya,
perbedaan pendapat tersebut sampai sekarang masih mewarnai perkembangan
hukum Islam. Selain disebabkan oleh macam dan sifat taklik talak, para ulama
yang menolak adanya taklik talak berpendapat bahwa dasar hukum taklik talak
tidak terdapat dalam Al-Qur‟an dan al-Hadist. Hal itu diungkapkan oleh Abu
M.Ibn Hazm Ibn Yahya Ibn Aziz dan al-Syafi‟i. Sedangkan para ulama yang
membolehkan adanya taklik talak berpendapat apabila seorang telah mentaklikkan
talaknya kepada seseorang yang ada dalam wewenangnya dan telah terpenuhi
syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-masing,
maka itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik talak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 45 menyebutkan bahwa:
“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
(1) Taklik talak; dan (2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.”26
26
Kompilasi Hukum Islam Pasal 45
35
Selanjutnya dijelaskan pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 46 bahwa:
“(1) isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila
keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak
dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus
mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak
bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjiakan tidak dapat dicabut kembali.”27
D. Kerangka Pikir
27
Kompilasi Hukum Islam Pasal 46
Taklik Talak
Proses penyelesaian
perceraian akibat taklik talak
Dasar pertimbangan hakim dalam studi
putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk
Suami Istri
Perceraian akibat
taklik talak
Pengertian menurut
persepektif Hukum Islam
36
Keterangan
Berdasarkan skema kerangka pikir tersebut, terdapat dua pihak yaitu suami dan
istri yang terlibat dalam perjanjian perkawinan yang sah dan setelah saat ijab
kabul suami mengucapkan taklik talak. Taklik talak dalam persepektif Hukum
Islam adalah janji talak yang diikrarkan oleh suami yang digantungkan pada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Dalam
penerapannya ulama Indonesia mengadopsi konsep dari fiqh klasik dan
memodifikasinya sehingga dari segi waktu pengucapan taklik talak ditentukan
setelah akad dan dalam bentuk tertulis serta harus ditandatangani, dari segi isi
taklik talak ditentukan menurut rumusan Menteri Agama dengan Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban
Pegawai Pencatat Nikah. Talak yang digantungkan (ta‟liqal-thalaq) itu akan
terwujud bilamana suami telah melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu
seperti, meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut, tidak memberi nafkah
wajib kepada istri selama tiga bulan lamanya, menyakiti badan/jasmani istri, dan
membiarkan (tidak mempedulikan) istrinya enam bulan lamanya.
Berdasarkan perkara perceraian akibat taklik talak termasuk dalam putusan nomor
0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk, apabila tergugat telah terbukti melanggar sighat taklik
talak yang diucapkannya sesaat setelah akad nikah dan dalam persidangan
tergugat tidak pernah menghadiri atau tidak mengutus wakil atau kuasa yang sah
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sedangkan gugatan penggugat
telah berdasar hukum maka sesuai dengan pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 149 ayat (1) RBg, gugatan ini dikabulkan dengan
verstek.
37
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan
hukum normatif yaitu metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada,28
dengan
adanya penambahan sumber data wawancara dengan pihak terkait. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menganalisa isi putusan pengadilan agama mengenai
perceraian studi putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk, dimana tergugat dalam
perkara tersebut adalah suami yang dalam keadaan melanggar taklik talak yang
menjadi salah satu alasan perceraian yang dapat diajukan istri ke dalam
pengadilan dan dengan dasar gugatan dan pertimbangan hakim dalam memutus
gugatan tersebut.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
hukum deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004, hlm. 2.
38
berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis
yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.29
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara jelas dan rinci
mengenai isi putusan pengadilan agama mengenai perceraian studi putusan nomor
0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian.
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang ditentukan sehingga tercapai tujuan penelitian. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif-yuridis yaitu pendekatan
yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-
teori, konsep-kosep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan taklik talak oleh suami sebagai alasan perceraian.
Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan isi putusan pengadilan agama mengenai perceraian studi
putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk mengenai taklik talak sebagai alasan
perceraian.
D. Data dan Sumber Data
Berkaitan dengan permasalahan dan pendekatan masalah yang akan digunakan
maka penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan.30
Jenis datanya
adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui bahan pustaka bahan-
29
Ibid., hlm. 102 30
Ibid., hlm. 202
39
bahan hukum dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti, jenis data sekunder yang digunakan
dalam penulisan ini terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari perundang-
undangan yang menjadi tolak ukur terapan. Bahan hukum primer tersebut
meliputi:
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
c) Putusan Nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur,
buku-buku ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan taklik talak sebagai
alasan perceraian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan atau tulisan-tulisan ilmiah
nonhukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan yang berkaitan dengan
taklik talak sebagai alasan perceraian.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah yang
ada sehingga data-data tersebut harus benar-benar dapat dipercaya dan akurat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
40
1. Studi Putusan
Studi yang dilakukan dengan membaca, menelaah, dan mengkaji putusan-
putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang
berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk
memperoleh data sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan literatur yang berkaitan
dengan taklik talak sebagai alasan perceraian.
3. Studi Dokumen
Studi yang dilakukan dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji
dokumen-dokumen hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Studi Wawancara
Studi wawancara ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer yaitu
dengan cara wawancara langsung secara terarah terhadap narasumber yang
terkait dengan permasalahan yang ada.
F. Metode Pengolahan Data
Setelah data diperoleh baik data primer maupun sekunder, kemudian data tersebut
diperiksa kelengkapan data relevansinya sesuai dengan permasalahan. Setelah
data tersebut diperiksa mengenai kelengkapannya dapat diketahui dari data
41
tersebut dan dapat diolah sebagaimana tahap-tahap pengolahan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data (editing)
Yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi pustaka,
dokumen, dan studi putusan sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak
berlebihan, dan tanpa kesalahan.
2. Rekonstruksi Data
Yaitu menyusun ulang data secara teratur, beruntun, logis sehingga mudah
dipahami dan diinterprestasikan.
3. Sistematika Data
Yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan
urutan masalah.31
G. Analisa Data
Penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu menganalisis data
yang berupa bahan-bahan hukum dan bahan-bahan pustaka. Analisis dilakukan
dengan penafsiran terhadap data hasil penelitian. Hasil analisis disajikan secara
sederhana dan sistematis. Analisis secara kualitatif juga menguraikan data secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih
dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis
yang berkaitan dengan isi putusan pengadilan agama mengenai perceraian studi
31
Ibid., hlm. 126.
42
putusan nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk mengenai taklik talak sebagai alasan
perceraian.32
32
Ibid., hlm. 127.
75
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Taklik talak dalam persepektif hukum Islam berdasarkan Kompilasi Hukum
Islam termasuk dalam hukum perjanjian perkawinan. Karena pada dasarnya
adalah janji talak yang diikrarkan oleh suami yang digantungkan pada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Dengan
adanya beberapa ketentuan yang mana akan terjadi dalam keadaan tertentu di
masa mendatang yang merugikan pihak istri maka antara suami dan istri
tersebut terikat dengan adanya taklik talak. Taklik talak juga dikategorikan
dalam talak khulu yang praktiknya berakibat pada talak ba‟in sugra.
1. Penyelenggaraan proses perceraian akibat taklik talak terjadi jika seorang istri
yang akan mengajukan gugatan kepada pengadilan agama atau petugas yang
diberi hak mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta
membayar berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah sebesar Rp.
10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) maka jatuhlah talak
tersebut kepada suami.
2. Berdasarkan perkara nomor 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk, hakim memberikan
pertimbangan dalam perceraian khulu yang berdasarkan pelanggaran taklik
76
talak tersebut, tergugat telah terbukti melanggar sighat taklik talak yang
diucapkannya sesaat setelah akad nikah namun pada saat persidangan
tergugat tidak pernah menghadiri bahkan tidak mengutus wakil atau kuasa
yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, sedangkan gugatan
penggugat telah memiliki dasar hukum yang sesuai dengan Pasal 27 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga gugatan ini
dikabulkan dengan hukum verstek.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Mohammad Daud, 2007, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Zuhaily, Wahbah,1997, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu , Damaskus: Darul
Fikr.
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria, 2008, Hukum dan Hukum Islam, Bandar
Lampung: Penerbit Universitas Lampung.
Anis, Ibrahim,1976, Al-Mu’jam al-Washit, Mesir: Darul Ma’arif.
Bakry, Sidi Nazar, 1993, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: CV. Pedoman
Ilmu Jaya.
Djubaidah, Neng, 2012, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar
Grafika.
Idris Ramulyo, Mohd, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Offset.
Kintoko, Moh. Adnan Dan Mardi,1924, Buku Tata Cara Islam, Surakarta: tpn.
Manan, Abdul, 2006, Refrensi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.
Manan, Abdul dan M Fauzan, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Ngariono, Yon, 2001, Pernikahan Yang Dimurka: Keseleo Lidah, Haramkan
Hubungan Seks, Jakarta: Posmo.
Noeh, 2001, Pembacaan Sighat, Jakarta: Hilda Karya Agung.
Noeh, Zaini Ahmad,1997, Pembacaan Sighat Taklik Talak Sesudah Akad Nikah,
Jakarta: Ditbinbapera.
Peunoh Dally, 2000, Talak dan Rujuk, Jakarta: Hilda Karya Agung.
Ria, Wati Rahmi dan Muhammad Zulfikar, 2015, Ilmu Hukum Islam, Bandar
Lampung: Gunung Pesagi.
Sabiq, Sayyid,1983, fiqh Sunnah, Beirut: Daar el-Fikr.
Suherman, Ade Maman, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur,
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Syarif, Mujar Ibnu, 2005, Ide taqnin Ibn al-Muqaffa’ dan relevansinya dengan
penerapan syariat Islam di Indonesia, dalam Masyhuri Abdillah,
Formalisasi syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan.
Yunus, Mahmud, 1990, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki Dan Hambali, Jakarta: Hilda Karya Agung.
B. Dokumen
Buku Laporan Kementerian Agama, 1956
Depag RI, Buku Akte Nikah
C. Undang-undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang kewajiban Pegawai
Pencatat Nikah.
D. Putusan Pengadilan
Putusan Nomor: 0388/Pdt.G/2014/PA.Tnk.
E. Sumber Lain
Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 128.