BAB I - BAB V - Copy

108
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang bersifat kronis, tidak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan (Dinkes Jateng, 2006). Diabetes melitus atau dikenal oleh masyarakat dengan kencing manis menurut PERKENI (2011), kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan insulin, baik tidak sama sekali dihasilkan atau kadar insulin yang sedikit dihasilkan. Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes melitus terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat dengan prevalensi 8,6 % dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah penduduk dunia sendiri yang menderita diabetes melitus berjumlah 171 juta jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan pada tahun 2030 menjadi 366 juta penderita. Total penderita diabetes melitus Indonesia menurut Depkes RI tahun 2008 mencapai 8.246.000 jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 21.257.000 jiwa penderita pada tahun 2030. Didapatkan data dari Kementerian Kesehatan RI

Transcript of BAB I - BAB V - Copy

Page 1: BAB I - BAB V - Copy

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes Melitus merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang

bersifat kronis, tidak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan (Dinkes

Jateng, 2006). Diabetes melitus atau dikenal oleh masyarakat dengan kencing

manis menurut PERKENI (2011), kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat

kekurangan insulin, baik tidak sama sekali dihasilkan atau kadar insulin yang

sedikit dihasilkan.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 Indonesia

menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes melitus terbesar

di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat dengan prevalensi 8,6 %

dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah penduduk dunia sendiri yang

menderita diabetes melitus berjumlah 171 juta jiwa pada tahun 2000 dan

diperkirakan pada tahun 2030 menjadi 366 juta penderita. Total penderita

diabetes melitus Indonesia menurut Depkes RI tahun 2008 mencapai

8.246.000 jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 21.257.000 jiwa

penderita pada tahun 2030. Didapatkan data dari Kementerian Kesehatan RI

Page 2: BAB I - BAB V - Copy

2

tahun 2011 jumlah penderita diabetes melitus di Propinsi Jawa Tengah

sebanyak 509.319 orang dan prevalensi pada tahun 2007 penderita diabetes

melitus tipe 1 sebesar 0,09%, sedangkan kasus diabetes melitus tipe 2

mengalami peningkatan sebesar 0,74% pada tahun 2005; 0,83% pada tahun

2006 dan 0,96% pada tahun 2007. Penderita diabetes melitus di Kabupaten

Banyumas pada tahun 2008 sebesar 3.232 orang. Berdasarkan data diatas

tersebut prevalensi diabetes melitus tiap tahun ke tahun memang semakin

meningkat.

Peningkatan pasien diabetes melitus menurut Waspadji (2005) dilihat

secara epidemiologi dikarenakan empat faktor. Faktor yang pertama adalah

faktor demografi, jumlah penduduk yang bertambah, penduduk usia lanjut

yang bertambah banyak, serta urbanisasi yang tak terkendali. Faktor kedua

gaya hidup yang kebarat-baratan, penghasilan yang tinggi, restoran siap

santap, teknologi canggih menimbulkan sendentary life (kurang gerak badan).

Faktor ketiga berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi, dan faktor yang

keempat meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes

menjadi lebih panjang.

Diabetes Mellitus akan mengakibatkan timbulnya komplikasi akut dan

kronis apabila tidak ditangani dengan baik (Syafei, 2006). Menurut Smeltzer

dan Bare (2002), terdapat tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan

berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka

pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia, ketoasidosis

Page 3: BAB I - BAB V - Copy

3

diabetic dan sindrom HHNK (hiperosmolar nonketotik) atau HONK

(hiperosmoler nonketotik). Komplikasi jangka panjang diabetes dapat

menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis

diabetes yang lazim digunakan adalah, penyakit makrovaskuler,penyakit

mikrovaskuler, dan neuropati. Komplikasi yang bersifat akut maupun kronis

dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup dari penderita diabetes melitus

dan penurunan kualitas diabetes melitus akibat komplikasi yang menahun.

Sehingga kualitas hidup penderita diabetes melitus perlu ditangani dengan

penanganan yang tepat.

Penanganan yang tepat untuk menangani faktor penyebab serta

komplikasi tersebut dapat dikendalikan dengan adanya kemauan merubah

gaya hidup sehat dari penderita diabetes mellitus (Hendra, 2007). Pasien

diabetes mellitus dalam hal gaya hidup, perlu perencanaan makan (diet),

latihan (olahraga), pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan

pendidikan kesehatan. Oleh karena itu, peran dan dukungan kelompok

keluarga, saudara dan penyuluhan gizi yang berkelanjutan sangat dianjurkan

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Pada penelitian Goz et al (2007), pasien diabetes melitus diperlukan

pengontrolan terhadap metabolik yang dapat mempengaruhi gaya hidup

pasien (dalam menggunakan terapi insulin dan obat antidiabetik oral),

makanan, pengukuran gula darah, dan latihan. Hal ini dapat dicapai dengan

partisipasi atau keterlibatan keluarga. Adanya pengalaman kesulitan bagi

Page 4: BAB I - BAB V - Copy

4

pasien, keluarga, dan komplikasi yang mungkin muncul pada saat pasien

beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi akan berdampak terhadap

kualitas serta kemandirian keluarga dalam menghadapi permasalahan

kesehatan pasien diabetes melitus.

Terapi dan perawatan diabetes melitus memerlukan waktu yang

panjang tentunya menimbulkan kebosanan dan kejenuhan pada pasien

diabetes melitus. Oleh sebab itu selain memperhatikan masalah fisik maka

perlu juga diperhatikan faktor psikologis pasien dalam penyelesaian masalah

diabetes melitus. Keikutsertaan anggota keluarga dalam memandu

pengobatan, diet, latihan jasmani, dan pengisian waktu luang yang positif bagi

kesehatan keluarga merupakan bentuk peran aktif bagi keberhasilan

penatalaksanaan diabetes melitus. Pembinaan terhadap anggota keluarga

lainnya untuk bekerja sama menyelesaikan masalah diabetes melitus dalam

keluarganya, hanya dapat dilakukan bila sudah terjalin hubungan yang erat

antara tenaga kesehatan dengan pihak pasien dan keluarganya (Rifki, 2009).

Penelitian yang dilakukan Robinson (2010), terhadap 19 pasien

diabetes melitus, menyimpulkan bahwa dukungan keluarga merupakan faktor

yang paling utama untuk mempertahankan metabolik kontrol yang akan

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sementara pada penelitian

Konradsdottir dan Erla (2011), pemberian pendidikan dan intervensi

dukungan terhadap keluarga menghasilkan hubungan positif terhadap

Page 5: BAB I - BAB V - Copy

5

kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan anggota keluarga

penderita diabetes melitus.

Setiawan (2010) melakukan penelitian terhadap pasien skizofrenia

beserta keluarganya yang diberikan terapi keluarga, didapatkan hasil bahwa

terapi keluarga efektif terhadap penurunan angka kekambuhan pada pasien

skozofrenia. Sementara penelitian Sutanto (2010) pemberian terapi keluarga

berupa pendidikan kesehatan, pendampingan dan konseling dalam

pengembangan keterampilan, serta pengembangan keterampilan keluarga

dalam berkomunikasi efektif terhadap peningkatan tingkat kemandirian

keluarga dengan permasalahan remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Sjattar, Elly, Burhanuddin, dan Sitti

(2011), membuktikan bahwa penerapan model keluarga untuk keluarga yang

merupakan integrasi dari konsep model dan teori keperawatan Self Care dan

Family Centered Nursing dengan cara edukasi suportif pada keluarga yang

dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan selama tiga minggu sangat

berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga

yang menderita tuberkulosis yang ditandai dengan adanya peningkatan

pengetahuan dan kemandirian pada saat post test.

Sudiharto (2007) menyatakan, keluarga merupakan unit pelayanan

kesehatan yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesehatan komunitas.

Apabila tercipta keluarga yang sehat, maka akan tercipta komunitas yang

sehat pula. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga,

Page 6: BAB I - BAB V - Copy

6

mengakibatkan berpengaruh terhadap sistem keluarga tersebut. Dan secara

tidak langsung turut mempengaruhi komunitas, bahkan komunitas yang lebih

luas (global). Oleh karena itu keluarga menjadi salah satu bagian terpenting

dalam mencapai suatu keberhasilan kemandirian keluarga.

Hasil studi pendahuluan penelitian di Puskesmas Purwokerto Utara II

yang wilayah kerjanya berada di Kelurahan Sumampir, Kelurahan Gerendeng,

Kelurahan Karangwangkal, dan Kelurahan Pabuaran menunjukkan angka

penderita diabetes melitus sejak bulan Agustus hingga September sejumlah

62 orang dengan kunjungan sebanyak 91 kali terhitung sejak bulan Juni

hingga September. Berdasarkan hasil wawancara oleh petugas Puskesmas

Purwokerto Utara II penderita diabetes melitus datang hampir tiap bulan atau

dua bulan sekali untuk melakukan pengecekan gula darah, pengobatan, dan

cek laboratorium. Pelayanan yang biasanya diberikan hanyalah kepada

penderita diabetes melitus saja tanpa mengikutsertakan keluarga di dalamnya.

Karakteristik pasien diabetes melitus berdasarkan wawancara oleh petugas

puskesmas adalah pasien dengan sosial ekonomi yang rendah, komplikasi

yang telah banyak menyertai pasien diabetes melitus, serta usia yang telah

lanjut.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan di

Puskesmas Purwokerto Utara II periode Desember 2012 – Januari 2012.

Penelitian ini menggambarkan bagaimana tingkat kemandirian keluarga yang

memiliki anggota keluarga berpenderita penyakit kronis, yang dalam

Page 7: BAB I - BAB V - Copy

7

penelitian ini adalah penyakit diabetes melitus serta pengaruh setelah

dilakukan terapi keluarga, apakah terjadi perubahan pada tingkat kemandirian

keluarganya.

B. Perumusan Masalah Penelitian

Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang

menimbulkan komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi yang ditimbulkan

menyebabkan kualitas hidup pasien menurun yang juga berdampak pada

gangguan di dalam sistem keluarga. Gangguan di dalam sistem keluarga akan

mempengaruhi pada tingkat kemandirian keluarga dalam melaksankaan

perawatan kesehatan komunitas. Tingkat kemandirian keluarga bisa

diintervensi dengan terapi keluarga. Latar belakang yang dijabarkan menjadi

rumusan masalah penelitian, yaitu: “Adakah pengaruh terapi keluarga

terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus

Puskesmas Purwokerto Utara II?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian

keluarga pada penderita diabetes melitus .

Page 8: BAB I - BAB V - Copy

8

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik keluarga penderita diabetes melitus

umur, jenis kelamin, riwayat pendidikan, pendapatan perbulan, dan

tahap perkembangan keluarga.

b. Mengidentifikasi tingkat kemandirian keluarga sebelum dilakukan

terapi keluarga pada penderita diabetes melitus.

c. Mengidentifkasi tingkat kemandirian keluarga sesudah dilakukan

terapi keluarga pada penderita diabetes melitus.

d. Mengidentifikasi perbedaan tingkat kemandirian keluarga pada

penderita diabetes melitus sebelum dan sesudah dilakukan terapi

keluarga.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penelitian

Sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang

berpengaruh terhadap terapi keluarga dalam upaya meningkatkan tingkat

keluarga mandiri pada penderita diabetes melitus melalui penggalian

faktor yang lebih luas jangkauan populasi yang lebih besar dan

pendekatan metodologi yang lebih akurat.

2. Bagi Masyarakat

Terapi keluarga digunakan sebagai acuan peningkatan tingkat keluarga

mandiri melalui peningkatan serta pengetahuan tentang penanganan yang

Page 9: BAB I - BAB V - Copy

9

tepat dan mandiri terhadap anggota keluarga yang menderita diabetes

melitus.

3. Bagi Institusi

Penelitian ini sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas keluarga dengan

anggota keluarga yang menderita diabetes melitus.

4. Bagi Pendidikan

Memberikan sumbangsih dalam peningkatan keterampilan terapi keluarga

dalam usaha peningkatan penanganan yang tepat dan mandiri pada

keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita diabetes melitus dan

menambah referensi bagi pendidikan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian

keluarga pada penderita diabetes melitus belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang berkaitan dengan terapi keluarga dan tingkat kemandirian

keluarga antara lain:

1. Susanto (2010) dengan judul Pengaruh Terapi Keperawatan Keluarga

Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga dengan Permasalahan Kesehatan

Reproduksi pada Remaja di Kelurahan Ratujaya Kecamatan Pancoran

Mas Kota Depok. Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi

keperawatan keluarga dan variabel terikatnya tingkat kemandirian

keluarga. Metode di dalam penelitian ini menggunakan deskriptif analitik

Page 10: BAB I - BAB V - Copy

10

dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk

mengaplikasikan terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat

kemandirian keluarga dengan permasalahan kesehatan reproduksi remaja.

Sampel pada penelitian ini menggunakan 10 keluarga dengan tahap

perkembangan remaja yang beresiko mengalami permasalahan kesehatan

reproduksi remaja. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pemberian pendidikan kesehatan (KIE: komunikasi, informasi, dan

edukasi), coaching dan conseling dalam pengembangan dan keterampilan

hidup remaja (tanggung jawab, kepercayaan diri, dan penolakan ajakan

pergaulan bebas secara asertif), dan pengembangan keterampilan orang

tua dalam komunikasi secara efektif dengan remaja. Hasil penelitian ini

didapati tingkat kemandirian keluarga dalam mengatasi permasalahan

kesehatan reproduksi dikaitkan dengan 5 tugas keluarga dalam mengatasi

masalah kesehatan keluarga. Lima keluarga dengan kemandirian tingkat

III, empat keluarga dengan tingkat kemandirian II, dan satu keluarga

dengan tingkat kemandirian satu. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian saya adalah pada variabel bebas, namun perbedaannya terletak

pada variabel terikatnya apabila penelitian Susanto meneliti tentang

tingkat kemandirian keluarga dengan permasalahan kesehatan repsoduksi

pada remaja, pada penelitian saya meneliti tingkat kemandirian keluarga

pada penderita diabetes melitus dan pada penelitian Susanto hanya

Page 11: BAB I - BAB V - Copy

11

menggunakan 10 sampel keluarga sedangkan pada penelitian saya

menggunakan 33 keluarga.

2. Wiyati, Dyah Wahyuningsih, dan Esti Dwi Widayanti (2010) dengan

judul Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga

dalam Merawat Klien Isolasi Sosial. Penelitian ini dilakukan di RSUD

Banyumas di bangsal keperawatan jiwa. Variabel bebas pada peneltian ini

adalah pengaruh psikoedukasi keluarga dan variabel terikatnya

kemampuan keluarga dalam merawat. Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dengan desain penelitian eksperimen semu (quasi experiment

pre dan post with kontrol group). Besar sampel penelitian ditetapkan

dengan purposive sample yaitu 24 kelompok intervensi yang diberikan

terapi psikoedukasi keluarga dengan 24 keluarga sebagai kelompok

kontrol yang diberikan terapi generalis. Responden dengan rentang rata-

rata usia 43, 81 yang berjenis kelamin wanita dengan pendidikan dasar

dan perawatan selama lebih dari satu tahun. Kemampuan kognitif pada

kelompok intervensi yang belum diberikan terapi mendapatkan nilai

sebesar 47,5 dan setelah dilakukan terapi mendapatkan nilai 77,5.

Kemampuan kognitif pada kelompok kontrol sebelum terapi 51, 25 dan

setelah terapi 64,17. Kemampuan psikomotor pada kemompok intervensi

sebelum dilakukan terapi mendapatkan nilai 48,75 dan setelah dilakukan

terapi 75,83. Kemampuan psikomotor pada kelompok kontrol sebelum

dilakukan terapi 52,5 dan setelah terapi 65. Hasil penelitian

Page 12: BAB I - BAB V - Copy

12

memperlihatkan adanya kenaikan yang berarti pada kemampuan keluarga

dalam merawat klien setelah keluarga dilakukan psikoedukasi. Persamaan

penelitian ini dengan penelitin saya terletak pada teknik sampling.

Sedangkan perbedaan dengan penelitian saya adalah terletak pada:

variabel bebas pada penelitian ini adalah pengaruh psikoedukasi

sedangkan pada penelitian saya pengaruh terapi keluarga, variabel terikat

pada penelitian ini kemampuan keluarga dalam merawat klien serta

sedangkan pada penelitian saya tingkat kemandirian keluarga, dan desain

penelitian pada penelitian ini adalah pre post test with kontrol sedangkan

pada penelitian saya pre post without kontrol.

3. Setiawan (2010) dengan judul Keefektifan terapi keluarga terhadap

penurunan angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus

jiwa dan saraf Puri Waluyo Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk

menurunkan angka kekambuhan pasien skizofreni. Rancangan penelitian

yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimental pre post kontrol

group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan cara purposive

random sampling. Subyek penelitian ini sebanyak 40 orang. 20 orang pada

kelompok perlakukan dan 20 orang pada kelompok kontrol. Kesimpulan

pada penelitian ini adalah terapi keluarga pada kelompok perlakukan

efektif dalam menurunkan angka kekambuhan pasien skizofrenia di

Rumah Sakit Khusus Jiwa dan Saraf Puri Waluyo Surakarta. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian saya terletak pada teknik pengambilan

Page 13: BAB I - BAB V - Copy

13

sampel dan variabel bebas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

saya adalah pada variabel terikat yaitu pada penelitian ini ppenurunan

angka kekambuhan sedangkan pada penelitian saya adalah tingkat

kemandirian keluarga dan rancangan penelitian ini menggunakan kuasi

eksperimen pre post with kontrol sedangkan pada penelitian saya

menggunakan pre post without kontrol.

Page 14: BAB I - BAB V - Copy

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Diabetes mellitus

a. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok kelainan

heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah

tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang

dikonsumsi (Smeltzer dan Bare, 2002).

Pereira, Berg-Cross, Almeida, dan Machado (2008)

menyatakan, diabetes bukanlah satu-satunya penyakit yang termasuk

kedalam penyakit gangguan pada sistem metabolik yang secara umum

penyakit ini disebabkan oleh ketidakmampuan atau ketidakcukupan

pankreas dalam menghasilkan insulin. Diabetes melitus adalah

penyakit kronis yang memerlukan perawatan medis dan penyuluhan

untuk self management yang berkesinambungan untuk mencegah

komplikasi akut maupun kronis. Diabetes mellitus, yakni suatu

penyakit heterogen dan merupakan penyakit tersering yang berkaitan

Page 15: BAB I - BAB V - Copy

15

dengan gangguan sekresi hormone pankreas endokrin (Mc Phee dan

Ganong, 2011).

b. Klasifikasi Diabetes Melitus

Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan,

berdasarkan metode presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat

penyakit. Klasifikasi yang dikeluarkan oleh ADA (American Diabetes

Association) didasarkan atas pengetahuan mutakhir mengenai

pathogenesis sindrom diabetes dan gangguan tolerasi glukosa.

Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO)

dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan

toleransi glukosa:

1) Diabetes melitus tipe 1

Dahulu dikenal sebagai tipe juvenileonset dan tipe dependen

insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia.

Insidensi diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap

tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtype: (a) autoimun, akibat

disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b)

idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui

sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan

Afrika-Amerika dan Asia (Price dan Wilson, 2006).

Page 16: BAB I - BAB V - Copy

16

2) Diabetes melitus tipe 2

Dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe

nondependent insulin. Insiden diabetes tipe 2 sebesar 650.000

kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikatkan dengan

penyakit ini (Price dan Wilson, 2006).

3) Diabetes gestasional (GDM)

Dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi

4% dari semua kehamilan. Faktor-faktor terjadinya GDM adalah

usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan

riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan

sekresi berbagai hormone yang mempunyai efek metabolik

terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan

diabetogenik (Price dan Wilson, 2006).

4) Diabetes tipe khusus lain

Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada

MODY, kelainan genetik pada kerja insulin yang menyebabkan

sindrom resistensi insulin berat dan akantosis negrikans, penyakit

pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronis, penyakit

endokrin seperti syndrome Chusing dan akromegali, obat-obatan

bersifat toksik terhadap sel-sel beta, dan infeksi (Price dan Wilson,

2006).

Page 17: BAB I - BAB V - Copy

17

c. Etiologi Diabetes Melitus

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes

Melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β

pulau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin

Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak

Tergantung Insulin (DMTT) disebabakan kegagalan relatif sel β dan

resisten insulin. Resistensi insulin adalah turunannya kemampuan

insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer

dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu

mengimbangi resisten insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi

relative insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya

sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan

glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β

pankreas mengalami desentisasi terhadap glukosa (Mansjoer; Kuspuji;

Rakhmi; Wahyu; Wiwiek, 2008).

d. Gejala Diabetes Melitus

Mansjoer; Kuspuji; Rakhmi; Wahyu; Wiwiek (2008)

mengatakan, diabetes melitus memiliki gejala khas awal berupa

polifagia (banyak makan), poliuria (banyak kencing), polidipsi

(banyak minum), lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang

mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan

impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Menurut

Page 18: BAB I - BAB V - Copy

18

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), gejala khas

diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi, dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala yang tidak

khas diabetes melitus diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit

sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva

(wanita).

e. Komplikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien

diabetes melitus terdapat dua jenis, yaitu :

1) Komplikasi akut diabetes

Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan

berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah

jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia,

ketoasidosis diabetic dan sindrom HHNK (juga disebut koma

hiperglikemik hiperosmoler nonketotik atau HONK [hiperosmoler

nonketotik]).

2) Komplikasi Jangka Panjang Diabetes

Angka kematian yang berkaitan dengan ketoasidosis dan infeksi

pada pasien-pasien diabetes tampak terus menurun, tetapi kematian

akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal mengalami kenaikan

yang mengkhawatirkan. Komplikasi jangka panjang atau

komplikasi kronis semakin tampak pada penderita diabetes yang

Page 19: BAB I - BAB V - Copy

19

berumur panjang. Komplikasi jangka panjang diabetes dapat

menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi

kronis diabetes yang lazim digunakan adalah, penyakit

makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler, dan neuropati (Smeltzer

dan Bare, 2002).

Diabetes melitus dengan berbagai perubahan fisik yang

mengharuskan kepatuhan penderita untuk pengontrolan penyakit dapat

menjadi sumber stress yang mempengaruhi kualitas hidup penderita.

Adaptasi psikologis disebut juga dengan mekanisme koping.

Mekanisme koping ini dapat berorientasi pada tugas, yang mencakup

penggunaak teknik penyelesaian masalah secara langsung untuk

menghadapi ancaman, atau dpat juga mekanisme pertahanan ego, yang

tujuannya untuk mengatur distress emosional. Reaksi pasien diabetes

melitus mungkin dapat memperlihatkan hal-hal seperti sikap

menyangkal, obsesif, marah, frustasi, takut, dan depresi (Semiardji,

2006).

Penyakit diabetes melitus dapat memberikan efek psikososial

seperti depresi, dimana pasien menunjukkan sikap yang negatif dalam

pengendalian diabetes melitus seperti tidak mengikuti diet yang telah

diproframkan, kurang aktivitas fisik, merokok, dan kurangnya

kepatuhan terhadap pengobatan (Riley et al, 2009). Penyakit yang

diderita, pengobatan yang dijalankan dapat mempengaruhi kapasitas

Page 20: BAB I - BAB V - Copy

20

fungsional pasien, psikologis, dan kesehatan sosial serta kesejahteraan

pasien diabetes melitus yang didefinisikan sebagai kualitas hidup (Isa

dan Baiyewu, 2008).

f. Upaya pencegahan Diabetes Melitus

Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarya

biaya perawatan pasien penderita diabetes melitus yang terutama

disebabkan oleh karena komplikasi, maka upaya yang paling baik

adalah pencegahan. Menurut PERKENI (2011), upaya pencegahan

pada penderita diabetes melitus ada tiga tahap yaitu:

1) Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada

orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka

yang belum menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk

menderita diabetes melitus. Pencegahan ini merupakan suatu cara

yang sangat sulit karena menjadi sasarannya adalah orang-orang

yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya

menjadi sangat luas.

Tanggung jawab ini bukan hanya pada profesi kesehatan tetapi

juga semua pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan

menghindari pola hidup beresiko, serta: kampanye makanan sehat

dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola

makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan

Page 21: BAB I - BAB V - Copy

21

olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif terbaik

dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman

kanak-kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan

primer yang sangat murah dan efektif.

2) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau

menghambat timbulnya komplikasi dengan deteksi dini dan

memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini

dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko

tinggi. Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku

terhadap sehat seperti pada pencegahan primer harus dilakukan

ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di

pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga diperlukan

penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal

mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

3) Pencegahan tersier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang

diakibatkannya terdiri dari tiga tahap antara lain:

a) Mencegah timbulnya komplikasi.

b) Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi

kegagalan organ.

Page 22: BAB I - BAB V - Copy

22

c) Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ

atau jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien

dan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-

dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran

penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi

pasien unutk mengendalikan diabetesnya.

j. Pengelolaan Diabetes Melitus

Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi atas tujuan jangka

pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah

hilangnya berbagai keluhan/gejala diabetes melitus sehingga penderita

dapat menikmati hidup sehat dan nyaman. Sedangkan tujuan jangka

panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh

darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka

morbiditas dan mortalitas (PERKENI, 2011).

1) Edukasi / Penyuluhan

Edukasi diabetes melitus adalah pendidikan dan latihan

mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan

diabetes melitus yang diberikan kepada setiap penderita diabetes

melitus. Di samping kepada penderita, edukasi juga diberikan

kepada anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang

Page 23: BAB I - BAB V - Copy

23

beresiko tinggi. Tim kesehatan harus senantiasa mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku. Makanya dibutuhkan

edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan

motivasi (PERKENI, 2011).

Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita diabetes

melitus adalah apa penyakit diabetes melitus itu, cara perencanaan

makanan yang benar (jumlah kalori, jadwal makan, dan

sejenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa makan dalam

mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan,

sedang, teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga

baik bagian bawah ankle joint (daerah berbahaya) seperti: sepatu,

potong kuku, tersandung, hindari trauma dan luka (PERKENI,

2011).

2) Diet diabetes melitus

Tujuan utama terapi diet pada penderita diabetes melitus

adalah menurunkan atau mengendalikan kadar gula atau kolesterol.

Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

dan mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut

maupun kronis. Penurunan berat badan pasien diabetes melitus

yang mengalami obesitas umumnya akan menurunkan resitensi

insulin. Dengan demikian, penurunan berat badan akan

Page 24: BAB I - BAB V - Copy

24

meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki

pengendalian glukosa darah (PERKENI, 2011).

3) Latihan Fisik

Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat

keseimbangan antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari

dan kerja insulin. Latihan juga dapat membuang kelebihan kalori,

sehingga dapat mencegah kegemukan juga bermanfaat untuk

mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (PERKENI,

2011).

Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes

melitus, tetapi syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan

insulin di dalam tubuh harus cukup. Apabila latihan dikerjakan

oleh penderita diabetes melitus yang tidak cukup persediaan

insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita

tersebut. Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada

penderita diabetes melitus antara laian:

a) Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5

jam sesudah makan dapat mengurangi resistensi insulin dan

meningkatkan sensitivitas insulin pada reseptornya.

b) Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.

c) Meningkatkan kadar kolesterol HDL yang merupakan faktor

protektif untuk penyakit jantung koroner.

Page 25: BAB I - BAB V - Copy

25

d) Glikogen otot dan hati menjadi kurang, maka selama latihan

akan dirangsang pembentukan glikogen baru.

e) Menurunkan total kolesterol dan trigliserida dalam darah,

karena terjadi pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.

4) Intervensi Farmakologi

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa

darah normal belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan

fisik. Dalam pengelolaan diabetes melitus yang memakai obat

hipoglikemia ini ada dua macam obat yang diberikan yaitu

pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan

secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfomilurea

dan Binguanid. Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah

insulin (PERKENI, 2011).

2. Kemandirian Keluarga

a. Definisi Kemandirian Keluarga

Kemandirian anggota keluarga berpengaruh terhadap pola-pola

yang digunakan di dalam keluarga tersebut, tingkat kematangan

(maturitas) dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan, tingkat

ekonomi dan budaya lingkungan tempat tinggal.Pola-pola tersebut juga

mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan

keluarga. Setiap keluarga memiliki cara masing-masing dalam

melaksanakan tugas kesehatan keluarga, khususnya dalam mengatasi

Page 26: BAB I - BAB V - Copy

26

masalah kesehatan pada anggota keluarga. Kemampuan dalam mengatasi

anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan merupakan salah satu

aktualisasi dari keluarga atas kemandirian keluarganya (Sudiharto, 2005).

Kemandirian sebuah keluarga dapat dinilai ketika di dalam

sebuah keluarga terdapat anggota keluarga yang mengalami permasalahan.

Sebuah keluarga dengan atau tanpa anak (anggota keluarga) yang

menderita penyakit kronis selalu memiliki masalah yang muncul dalam

kehidupan berkeluarga. Oleh sebab itu, ketika terdapat anak (anggota

keluarga) yang menderita penyakit kronis, tugas dan tanggung jawab yang

secara normal dihadapi oleh keluarga akan bertambah dan kemungkinan

semakin menyulitkan untuk keluarga menghadapinya secara normal

(Hughes, 2008).

Tingkat kemandirian keluarga menurut Departemen Kesehatan

RI (2006), kemandirian keluarga dalam program Perawatan Kesehatan

Komunitas dibagi menjadi empat tingkatan dari keluarga mandiri tingkat

satu (paling rendah) sampai keluarga mandiri tingkat empat (paling

tinggi).

1) Keluarga mandiri tingkat satu (KM-I)

a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.

b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

Page 27: BAB I - BAB V - Copy

27

2) Keluarga mandiri tingkat dua (KM-II)

a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.

b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara

benar.

d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

3) Keluarga mandiri tingkat tiga (KM-III)

a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.

b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara

benar.

d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

e) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

4) Keluarga mandiri tingkat empat (KM-IV)

a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.

b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

Page 28: BAB I - BAB V - Copy

28

c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara

benar.

d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

e) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

f) Melaksanakan tindakan promotif secara aktif.

Berikut ini adalah Indikator Dampak Keperawatan Kesehatan

Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga (Efendi

&Makhfudli, 2009)

Page 29: BAB I - BAB V - Copy

29

Tabel 2.1 Tingkat Kemandirian Keluarga

No. Kriteria Tingkat Kemandirian Keluarga

I II III IV

1. Menerima petugas

(Perkesmas)

V V V V

2. Menerima pelayanan

kesehatan sesuai

rencana keperawatan

V V V V

3. Tahu dan dapat

mengungkapkan

masalah

kesehatannya secara

benar

V V V

4. Memanfaatkan

fasilitas pelayanan

kesehatan sesuai

anjuran

V V V

5. Melakukan tindakan

keperawatan

sederhana sesuai

anjuran

V V V

6. Melakukan tindakan

pencegahan secara

aktif

V V

7. Melakukan tindakan

peningkatan

kesehatan (promotif)

secara aktif

V

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian

1) Tahap kematangan atau perkembangan keluarga

Page 30: BAB I - BAB V - Copy

30

Tahapan perkembangan bukan hanya dimiliki oleh seorang

individu namun juga dimiliki oleh sebuah keluarga dengan tugas

perkembangan yang harus diselesaikan sesuai dengan tahap

perkembangannya (Suprajitno, 2004). Menurut Duval (1997), daur

atau siklus kehidupan keluarga terdiri dari delapan tahap

perkembangan yang mempunyai tugas dan risiko tertentu pada tiap

tahap perkembangannya. Tahap 1 adalah pasangan baru menikah

(keluarga baru), tahap 2 menanti kelahiran atau anak tertua adalah bayi

berusia kurang dari 1 bulan, tahap 3 keluarga dengan anak prasekolah

atau anak tertua 2,5 tahun sampai dengan 6 tahun, tahap 4 keluarga

dengan anak sekolah atau anak tertua berusia 7 sampai 12 tahun, tahap

5 keluarga dengan remaja atau dengan anak tertua berusia 13 sampai

20 tahun, tahap 6 keluarga dengan anak dewasa (pelepasan), tahap 7

keluarga usia pertengahan, dan yang terakhir tahap 8 keluarga usia

lanjut. Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua

dari keluarga inti (Setyowati & Arita, 2008).

2) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang

kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat

dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin

mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya

makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. Latar belakang

Page 31: BAB I - BAB V - Copy

31

pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur

pendidikan formal tertinggi. Dalam menempuh pendidikan formal

tersebut seseorang akan mengalami fase percobaan dimana proses

menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dimulai di dalam

keluarga lalu dilanjutkan ke komunitas (Sudiharto, 2007).

3) Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang

memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung

maupun secara tidak langsung (Parker, 2005).

4) Pendapatan atau ekonomi

Pendapatan atau tingkat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan

ekonomi dan tempat mengembangkan kemampuan individu untuk

meningkatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan keluarga seperti

makan, pakaian, dan rumah (Efendi & Makhfudli, 2009).

5) Kesehatan fisik dan jiwa

Kesehatan yang baik akan mempengaruhi kebahagiaan

seseorang secara umum. Keadaan sehat akan menciptakan energi di

dalam tubuh yang bersifat positif sehingga dianggap dapat

meningkatkan sikap dan motifasi seseorang (Parker, 2005).

6) Pengalaman sebelumnya

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh

individu baik dari dalam dirinya ataupun lingkungannya. Pada

Page 32: BAB I - BAB V - Copy

32

dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak

menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada

individu secara subjektif (Efendi & Makhfudli, 2009).

7) Emosional

Akal yang sehat berkembang melalui pengalaman yang praktis

dan relevan. Seseorang yang memiliki kemandirian akan memahami

diantaranya mampu mengambil keputusan rasional dalam hidup sesuai

kebutuhan, bukan keinginan (Parker, 2005).

8) Otonomi

Kemampuan untuk menentukan arah sendiri (self

determination) yang berarti mampu mengendalikan atau

mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya (Sudiharto, 2007).

9) Budaya

Menurut Sudiharto tahun 2007, hal-hal yang berkaitan dengan

nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi atau jabatan, misalnya

ketua adat atau direktur, bahasa yang digunakan, bahasa nonverbal

yang sering ditunjukkan klien, kebiasaan membersihkan diri,

kebiasaan makan, pantang terhadap makanan tertentu berkaitan

dengan kondisi tubuh yang sakit, sarana hiburan yang biasa

dimanfaatkan, dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-

hari, misalnya klien menganggap dirinya sakit apabila sudah tergeletak

dan tidak dapat pergi ke sekolah atau ke kantor.

Page 33: BAB I - BAB V - Copy

33

3. Terapi Keluarga

a. Pengertian terapi keluarga

Terapi merupakan cara untuk mengatur kembali masalah

hubungan antar manusia. Terapi keluarga merupakan sebuah kegiatan

yang bertujuan untuk menemukan masalah yang timbul, kemudian

dibahas dan diselesaikan bersama dengan anggota keluarga. Terapi ini

dimaksudkan untuk mengubah pola atau bentuk interaksi dalam

sebuah keluarga agar lebih baik lagi dari sebelumnya sehingga dapat

menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam suatu keluarga,

karena pola interaksi antara orang tua dan anak mempengaruhi

perilaku maladaptif di dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga

memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada. Terapi keluarga merupakan kompetensi

perawat keluarga yang harus dikuasai (Spradley, 2005).

Dirgagunarsa (2008) menyatakan, terapi keluarga pertama kali

diperkenalkan pada awal tahun 50-an, merupakan metode yang

diperkenalkan oleh para ahli psikoterapi yang bertujuan untuk

mengubah serta memodifikasi tingkah laku seseorang agar tercapai

kualitas hidup yang lebih baik. Keseimbangan keluarga atau istilah yg

dikemukakan oleh Jackson sebagai “family homeostasis” dapat

tercapai dengan bantuan dari anggota-anggota keluarga yang

menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis dan saling

Page 34: BAB I - BAB V - Copy

34

menghormati satu sama lain. Masalah yang timbul dalam suatu

keluarga tentu akan mengganggu sistem di dalam keluarga dan

permasalahan yang timbul biasanya di karenakan terdapat salah

seorang “penderita”, penderita yang menjadi sumber permasalahan

dalam istilah keluarga dikenal dengan “Identified Patient”.

Terapi keluarga telah dijalankan oleh berbagai bidang ilmu

kesehatan dengan kerangka teori dan praktik yang telah dibentuk dan

dikembangkan sesuai dengan bidang kesehatan yang ditekuni.

Meskipun telah disesuaikan dan dimodifikasi oleh masing-masing

bidang namun pada dasarnya bagaimana menempatkan diri dalam

melakukan wawancara, bagaimana melibatkan diri di dalam keluarga,

bagaimana mengatur kesulitan dan terapeutik yang kompleks pada

saat itu dan dari pertemuan ke pertemuan yang berikutnya ( agar

keluarga tidak keluar dari terapi), bagaimana mengatur perasaan dan

ekspresinya, bagaimana mempertahankan keseimbangan antara jarak

dengan keterlibatan emosional, serta menentukan permasalahan pada

keluarga tersebut, atau permasalahan yang spesifik tertentu dalam

keluarga, finansial atau konteks sosial, lalu permasalahn tersebut besar

atau kecil (Scher & Kasia, 2012).

b. Teori terapi keluarga

Teori terapi ini dikembangkan untuk menangani keluarga-keluarga

yang bermasalah dan arena itu sebagian besar terapi ini berorientasi

Page 35: BAB I - BAB V - Copy

35

pada patologi. Para ahli terapi keluarga memfokuskan perubahan pola

keluarga yang malfungsi (Whall, A.L. 1983). Bahwa masalah-masalah

di dalam keluarga sering kali diperburuk oleh malfungsi di dalam

keluarga yang tidak diberi terapi. Petterson (1988) merumuskan

sebuah krisis keluarga sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara

permintaan dan sumber-sumber atau upaya-upaya koping (di dalam

Setyiohadi dan Kushariyadi, 2011).

Teori tersebut bersifat deskriptif menyangkut keluarga-keluarga

fungsional, disfungsional, dan preskriptif (menyarankan straregi-

strategi penanganan). Kebanyakan teori terapi keluarga pada beberapa

tingkat berasal dari atau dipengaruhi oleh teori sistem umum. Teori

intervensi krisis keluarga atau teori krisis merupakan perspektif

teoretis lain yang merupakan tipe model terapi keluarga. Model ini

bersifat jangka pendek, lebih berfokus pada praktik bila dibandingkan

dengan model-model terapi lain. Pendekatan teoretis ini telah terbukti

sangat berguna dalam keperawatan untuk menangani keluarga dalam

krisis yang sedang menderita stress akut (Setyohadi dan Kushariyadi,

2011).

Pada terapi keluarga, seluruh anggota keluarga diikutsertakan

sebagai unit penanganan. Semua masalah dalam keluarga dipandang

dari sudut yang mengungkapkan bagaimana masing-masing anggota

keluarga berkontribusi terhadap masalah yang dialami. Permasalahan

Page 36: BAB I - BAB V - Copy

36

karena adanya perbedaan generasi dan keberadaan batasan antar

generasi didokumentasikan. Perawat menentukan apakah orangtua

berindak sebagai orangtua dan anak bertindak sebagai anak (Setyohadi

dan Kushariyadi, 2011).

Menurut ahli teori keluarga, gejala pada setiap anggota keluarga

merupakan cerminan dari perilaku dan hubungan disfungsional serta

pola komunikasi yang tidak sehat. Perilaku ekstrem yang dapat dilihat

misalnya keterlibatan anggota keluarga yang berlebihan dan

komunikasi antar anggota keluarga yang berlebihan. Kebalikan yang

ekstrem, keluarga mungkin tidak terlibat atau kurang terlibat sehingga

komunikasi sangat terbatas atau hampir tidak ada. Perawat melalui tiga

fase hubungan terapeutik dalam bekerja sama dengan keluarga. Tiga

fase tersebut adalah sebagai berikut:

1) Fase periode kesepakatan oleh perawat keluarga

Ditandai dengan terbentuknya hubungan antara anggota keluarga

dan perawat. Pada fase ini, masalah diidentifikasikan dan tujuan

ditetapkan.

2) Fase kerja

Terdiri dari pengubahan pola interaksi, peningkatan kemampuan

individu, dan penggalian cara-cara baru dalam perilaku. Anggota

keluarga diikutsertakan dalam mengklarifikasi batasan, peraturan,

dan harapan.

Page 37: BAB I - BAB V - Copy

37

3) Fase terminasi

Keluarga melihat kembali proses yang dibuat dalam mencapai

tujuan, cara-cara untuk mengatasi permasalahan yang timbul

kembali, dan mempertahankan asuhan yang berkesinambungan.

(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).

c. Macam-macam terapi keluarga

1) Terapi Keluarga Struktural

Terapi keluarga struktural dicetuskan pertama kali oleh

Salvador Minuchin (Broderick & Schrader, 1991). Munichin

(1974) melihat setiap keluarga mempunyai struktur yang

mencerminkan fungsi setiap anggotanya. Struktural ini juga

memperlihatkan bagaimana transaksi yang terjadi antara satu

anggota dengan anggota lainnya di dalam keluarga. Keluarga yang

mengeluh mempunyai masalah adalah keluarga yang strukturnya

tidak berfungsi dengan baik dan sehat. Oleh karena itu, secara

umum tujuan terapi keluarga struktural adalah mengubah struktur

keluarga agar dapat berfungsi dengan baik yang memudahkan

setiap individu berkembang dan saling mendukung satu terhadap

yang lain (Limansubroto, 1996).

Menurut Munichin (1974), masalah yang ada di dalam

keluarga disebabkan karena adanya pola-pola transaksi tertentu

yang menyebabakan struktur yang disfungsi. Transaksi yang

Page 38: BAB I - BAB V - Copy

38

berulang ini menetapkan pola akan bagaimana, kapan, dan kepada

siapa seorang anggota keluarga itu berhubungan. Setelah suatu

jangka waktu tertentu pola ini akan membentuk bagaimana sistem

keluarga itu berfungsi. Sebagai contoh, seorang ibu yang beberapa

kali berkata pada anaknya untuk minum susu dan anak itu

menurut. Interaksi ini memperlihatkan siapa ibu tersebut dalam

relasinya dengan anak itu dan siapa anak itu dalam relasinya

dengan ibu tersebut, dalam konteks waktu itu. Pola transaksi

semacam ini mengatur tingkahlaku anggota keluarga. Jika ada

masalah, terapi keluarga struktural menantang keluarga yang

selama ini berlangsung untuk berubah agar keluarga dapat

memecahkan masalah yang dihadapi. Walaupun setiap keluarga

adalah unik, pada dasarnya ada masalah dan tujuan terapi yang

dapat disimpulkan secara umum. Pada umumnya tujuan yang ingin

dicapai oleh terapi keluarga struktural adalah terciptanya struktur

hierarki yang efektif.

Orang tua diharapkan menjadi penanggung jawab dan

pemimpin yang tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak-

anak mereka. Dengan demikian terapi harus dapat membantu

orang tua agar bersama-sama dapat menjadi subsistem eksekutif

yang kompak antara bapak dan ibu. Pada keluarga yang

hubungannya terlau dekat satu sama lain (enmeshed), mereka

Page 39: BAB I - BAB V - Copy

39

dibantu agar setiap individu lebih mandiri dan membangun batas

yang sehat di antara mereka. Pada keluarga yang hubungan antar

anggotanya terlalu jauh satu sama lain (disenganged), tujuan terapi

adalah membuat batas yang lebih lunak atau lebih lentur antara

satu anggota keluarga yang lain (Limansubroto, 1993).

2) Terapi Keluarga Strategis

Terapi keluarga strategis didasarkan pada terapi

strategis ala Milton Erickson (Haley, 1976). Dalam

perkembangannya ada beberapa pendekatan, seperti problem

solving therapy dari Jay Haley dan Cloe Madanes, serta dari

kelompok Mental Reaserach Institute dan kelompok Milan dari

Italia. Semua jenis terapi ini mempunyai kesamaan dalam beberapa

karakteristik yang umum (Limansusbtroto, 1993). Patokan yang

umum dari terapi keluarga strategis adalah bahwa tanggung jawab

untuk merencanakan strategis dalam memecahkan masalah yang

tersaji (the presenting problem). Penekanan terapi strategis

bukanlah pada metode yang dapat diterapkan pada semua kasus,

melainkan pada perencanaan strategi untuk setiap masalah yang

spesifik. Intervensi yang dilakukan harus di dalam situasi sosial

klien karena terapi ini memfokuskan pada dilema-dilema manusia

dalam konteks sosialnya (Haley, 1973).

Page 40: BAB I - BAB V - Copy

40

Terapi keluarga strategis mendefinisikan masalah

sebagai suatu bentuk tingkah laku yang merupakan bagian dari

urutan tingkah laku dari beberapa orang (Haley, 1976). Secara

analog, pendekatan terapi strategis mengasumsikan bahwa masalah

pada seorang anak atau simtom pada seorang dewasa adalah cara

orang tersebut berkomunikasi dengan orang lain (Madanes, 1981).

Sebagai contoh, pada kasus seorang pria yang mengalami depresi,

tidak mau bekerja, dapat diasumsikan sebagai cara orang tersebut

berkomunikasi dengan istrinya dalam masalah-masalah tertentu.

Beberapa pertanyaan yang dapat dipikirkan dalam kasus tersebut

adalah misalnya, apakah selama ini istrinya menghargai suaminya

dalam pekerjaannya, atau apakah sang suami harus selalu

mengerjakan apa yang diperintahkan istrinya, dan sebagainya.

Dapat terjadi bahwa pasangan itu menjadi tidak stabil dalam relasi

mereka sehubungan dengan masalah tersebut dan anak mereka

mulai mengembangkan simtom yang membuat sang ayah sibuk

dengan anak daripada ia hanya depresi dan tampak tidak

kompeten. Jadi, simtom secara analog seringkali merupakan

metaphor dari ekspresi adanya masalah dan ternyata masalahnya

adalah solusi yang tidak memuaskan bagi keluarga tersebut (the

problem is the solution). Dengan demikian tujuan terapi seringkali

Page 41: BAB I - BAB V - Copy

41

adalah mengubah analog dan metaphor yang selama ini ada dalam

keluarga (Madanes, 1981).

d. Tujuan terapi keluarga

Tujuan pertama adalah menemukan bahwa masalah yang ada

berhubungan dengan keluarganya, kemudian dengan jalan apa dan

bagaimana anggota keluarga tersebut ikut berpartisipasi. Hal ini

dibutuhkan untuk menemukan siapa yang sebenarnya terlibat, karena

anggota keluarga perlu bergabung dalam sesi keluarga dalam terapi

ini, dan jika memungkinkan dapat diikutsertakan tetangga, nenek serta

kakek, atau keluarga dekat yang berpengaruh (Triyanto, 2011).

Tujuan utama terapi keluarga adalah untuk mengidentifikasi

masalah yang akan dihadapi pasien pada masa yang akan datang dan

membuat rencana supaya permasalahan tersebut dapat dihadapi atau

dihindari. Penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa

mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah kepada

pasien dan keluarga mereka adalah lebih efektif untuk mencapai tujuan

dibandingkan dengan hanya memberikan terapi individual pada

penderita.Terapi ini juga terbukti efektif pada penurunan dosis obat

pada penderita skizofrenia yang melakukan terapi bersama

keluarganya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup serta sistem

keluarga menjadi optimal (Semiun, 2006).

Page 42: BAB I - BAB V - Copy

42

Tujuan jangka panjang bergantung pada bagian terapis

keluarga, apakah sebagian besar yang dilakukan untuk

mengembangkan status mengenali pasien, klarifikasi pola komunikasi

keluarga. Dalam survey, responden diminta menyebut tujuan primer

dan sekunder mereka, untuk seluruh keluarga, ke dalam delapan

kemungkinan tujuan. Tujuan yang disebut sebagai tujuan primer

mengembangkan komunikasi untuk seluruh keluarga ternyata lebih

dipilih mengembangkan otonomi dan individu. Sebagian memilih

pengembangan simptom individu dan mengembangkan kinerja

individu. Memfasilitasi fungsi individu adalah tujuan utama dari terapi

individual, tetapi para terapis keluarga melihat hal tersebut sebagai

bukan hal utama dalam proses perubahan keluarga yang menghormati

anggota lainnya (Triyanto, 2011).

Tujuan terapi keluarga menurut Setyohadi dan Kushariyadi

(2011) adalah:

1) Meningkatkan fungsi keluarga.

2) Memperbaiki ketidakadekuatan interaksi dan komunikasi

interpersonal yang terlibat dari perbaikan pada klien yang

teridentifikasi.

3) Mengenali dan menyatakan pola yang sering tersembunyi dalam

mempertahankan keseimbangan di dalam keluarga. Membantu

keluarga mengenali bahwa pada kenyataannya gejala klien yang

Page 43: BAB I - BAB V - Copy

43

diidentifikasi memiliki fungsi penting dalam mempertahankan

homeostasis keluarga.

4) Membantu keluarga mengerti arti dan tujuan pola tersebut. Proses

terapi keluarga membantu mengungkapkan pengulangan dan

akhirnya dapat meramalkan pola komunikasi keluarga yang

tertanam dan mencerminkan perilaku klien tertentu.

5) Memecahkan atau menurunkan konflik dan kecemasan patogenik

di dalam matriks hubungan interpersonal.

6) Meningkatkan persepsi dan pemenuhan kebutuhan anggota

keluarga lain oleh anggota keluarga.

7) Meningkatkan hubungan peran yang sesuai antargender dan

antargenerasi.

8) Memperkuat kemampuan anggota individu serta keluarga sebagai

kesatuan untuk mengatasi tenaga destruktif di dalam dan di luar

lingkungan sekitarnya.

9) Mempengaruhi identitas dan nilai-nilai keluarga sehingga anggota

keluarga terorientasi kepada kesehatan dan pertumbuhan.

10) Memahami bagaimana dinamika keluarga mepengaruhi

psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional

keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang

maladaptive, serta menguatkan perilaku penyelesaian masalah

keluarga.

Page 44: BAB I - BAB V - Copy

44

11) Mengubah satu bagian sistem sehingga sistem tersebut berfungsi

dengan cara yang lebih sehat, dengan demikian sisa sistem ikut

berubah.

12) Melakukan perubahan yang bermanfaat pada setiap anggota

dengan berfokus pada keluarga sebagai suatu keseluruhan.

13) Menggunakan kekuatan keluarga untuk membantu keluarga

mengidentifikasikan masalah, menetapkan tujuan untuk perubahan

dan pemecahan masalah.

14) Mendorong komunikasi terbuka antar anggota keluarga.

15) Membantu satu atau lebih anggota keluarga untuk melakukan

diferensiasi.

16) Menggunakan pandangan historis dan fungsi keluarga tersebut dari

generasi ke generasi untuk memahami masalah yang dihadapi saat

ini, seperti:

a) Mencari data riwayat keluarga.

b) Menyusun genogram keluarga, yang merupakan gambaran

keluarga tersebut dari waktu ke waktu dan mencakup

kelahiran, kematian, pernikahan, dan peristiwa-peristiwa

penting lainnya.

17) Membantu anggota keluarga menentukan batasan-batasan yang

tepat, mengurangi perilaku, mengandalikan, dan membantu klien

Page 45: BAB I - BAB V - Copy

45

meningkatkan tanggung jawab diri (penyuluhan klien dan

keluarga).

18) Membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan bantuan yang

diperlukan untuk membuat perubahan yang dapat meningkatkan

fungsi semua anggota keluarga.

19) Membantu memutus siklus penganiayaan.

20) Menganjurkan anggota keluarga dari seorang penyalahgunaan zat

untuk mendefinisikan dan mempertahankan fungsi diri yang

bertanggung jawab sehingga dapat mengurangi perilaku

kodependen.

21) Deskriptif dan preskriptif (model praktik) yaitu menjelaskan

disfungsi keluarga dan menurun tindakan-tindakan terapeutik.

Tujuan akhir terapi keluarga adalah untuk mengintegrasikan

keluarga ke dalam sistem yang besar di dalam masyarakat, termasuk

keluarga besar (extended family), masyarakat (seperti sekolah, fasilitas

medis, badan sosial, rekreasional, dan kesejahteraan) sehingga tidak

terisolasi (Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).

e. Indikasi terapi keluarga

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

908/MENKES/SK/VII/2010, sasaran pelayanan keperawatan keluarga

adalah:

1) Keluarga sehat

Page 46: BAB I - BAB V - Copy

46

Jika seluruh anggota keluarga dalam kondisi sehat tetapi

memerlukan antisipasi terkait dengan siklus perkembangan

manusia dan tahapan tumbuh kembang keluarga. Fokus intervensi

keperawatan terutama pada promosi kesehatan dan pencegahan

penyakit.

2) Keluarga risiko tinggi dan rawan kesehatan

Jika satu atau lebih anggota keluarga memerlukan perhatian

khusus. Keluarga risiko tinggi termasuk keluarga yang memiliki

kebutuhan untuk menyesuaikan diri terkait siklus perkembangan

anggota keluarga, keluarga dengan faktor risiko penurunan status

kesehatan misalnya: bayi BBLR, balita gizi buruk / gizi kurang,

bayi / balita yang belum diimunisasi, bumil anemia, bumil

multipara (bumil dengan skor 6-10, resiko tinggi dengan skor ≥ 12)

atau usia lebih dari 36 tahun, lansia lebih dari 70 tahun atau

dengan masalah kesehatan, remaja penyalahgunaan narkoba.

3) Keluarga yang memerlukan tindak lanjut

Keluarga yang anggotanya mempunyai masalah kesehatan dan

memerlukan tindak lanjut pelayanan keperawatan / kesehatan

misalnya: klien pascahospitalisasi penyakit kronik, penyakit

degenerative, tindakan pembedahan, penyakit terminal.

Indikasi keluarga yang memerlukan terapi keluarga menurut

Triyanto (2011), adalah sebagai berikut:

Page 47: BAB I - BAB V - Copy

47

1) Konflik perkawinan, konflik sibling, konflik beberapa generasi.

2) Konflik antara orangtua dan anak.

3) Konflik pada masa transisi dalam keluarga seperti pasangan yang

baru menikah, kelahiran anak pertama dan masalah remaja.

4) Terapi individu yang memerlukan melibatkan anggota keluarga

lain.

5) Proses terapi individu yang tak kunjung mengalami kemajuan.

f. Teknik wawancara terapi keluarga

Faktor yang mempengaruhi kualitas wawancara berasal:

1) Keluarga ke terapi dengan riwayat dan dinamikanya yang melekat

kuat.

2) Anggota keluarga biasanya tinggal bersama-sama dan dengan

suatu tingkat, tergantung satu sama lainnya untuk kesehatan fisik

dan emosionalnya.

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ahli terapi

mengenai masalah yang dihadapi keluarga:

1) Kepada pasangan

a) Tanyakan mengenai bagaimana mereka bertemu.

b) Kapan mereka memutuskan untuk menikah.

c) Tanyakan mengenai kehidupan perkawinan awal.

d) Komentar mengenai pengaruh masa lalu.

Page 48: BAB I - BAB V - Copy

48

2) Kepada istri dan suami

a) Tanyakan bagaimana klien memandang orangtua, anggota

keluarga yang lain, dan kehidupan keluarga.

b) Bawalah kronologi kembali ke saat klien bertemu dengan

suami atau istri.

c) Tanyakan mengenai harapan tentang perkawinan.

3) Kepada pasangan orangtua

a) Tanyakan mengenai harapan mereka tentang menjadi orangtua.

b) Komentar mengenai pengaruh masa lalu.

4) Kepada anak

a) Tanyakan mengenai pandangan pada orangtua.

b) Bagaimana mereka bergembira.

c) Bagaimana mereka berbeda pendapat.

5) Kepada keluarga secara keseluruhan

a) Yakinkan keluarga bahwa aman untuk mengungkapkan

komentar.

b) Tekankan kebutuhan komunikasi yang jelas.

c) Lakukan terminasi.

d) Berikan harapan.

(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011)

Page 49: BAB I - BAB V - Copy

49

g. Frekuensi dan lama terapi keluarga

Tahapan dalam terapi keluarga biasanya dilakukan tidak lebih

dari satu kali dalam seminggu (kecuali jika terjadi kegawatdaruratan).

Masing-masing tahapan memerlukan waktu paling lama dua jam.

Lama terapi tergantung dari sifat masalah dan model terapeutik

(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).

Kriteria untuk mengakhiri terapi adalah sebagai berikut:

1) Jika anggota keluarga dapat menyelesaikan perjanjian,

pemeriksaan, dan pertanyaan.

2) Jika anggota keluarga dapat menginterpretasikan permusuhan.

3) Jika anggota keluarga dapat mengetahui bagaimana mereka

melihat diri mereka sendiri.

4) Jika salah satu anggota keluarga dapat mengatakan kepada yang

lain tentang bagaimana memanifestasikan dirinya sendiri.

5) Jika salah satu anggota keluarga dapat mengatakan kepada yang

lain apa yang diharapkan, ditakutkan, dan diinginkan dari

keluarganya.

6) Jika anggota keluarga mampu mengungkapkan ketidaksetujuan.

7) Jika anggota keluarga dapat membuat pilihan.

8) Jika anggota keluarga dapat belajar melalui praktik.

9) Jika anggota keluarga dapat membebaskan diri mereka sendiri dari

efek yang membahayakan dari model di masa lalu.

Page 50: BAB I - BAB V - Copy

50

10) Jika anggota keluarga dapat memberikan pesan yang jelas (yaitu

sejalan dengan perilaku keluarga) dengan perbedaan minimal

antara perasaan dan komunikasi dan dengan pesan tidak langsung

yang minimal.

(Menurut Satir (1967) dalam Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).

h. Proses terapi keluarga

Terapi keluarga meletakkan terapis dalam hubungan yang

berbeda dengan kliennya dibandingkan dengan terapi kelompok atau

individu. Ia harus belajar kultur keluarga, bahasa, dan aturan. Terapis

harus sampai pada sistem keluarga, dan memahaminya. Terapi dimulai

dari usaha menemukan hal yang sedang mengganggu keluarga dan apa

yang mereka harapkan melalui terapi ini. Terapis berfokus kepada

masalah yang dialami keluarga dan kemudian anggota keluarga

menyampaikan / memberikan kontribusi masing-masing. Terapis

bertugas mendorong seluruh anggota keluarga untuk terlibat dalam

masalah yang ada bersama-sama. Terapis keluarga biasa dibutuhkan

ketika terjadi krisis keluarga yang mempengaruhi seluruh anggota

keluarga, ketidakharmonisan seksual atau perkawinan, atau konflik

keluarga. Tanpa adanya kesadaran pentingnya menyelesaikan masalah

pada setiap anggota inti keluarga, maka terapi keluarga sulit

dilaksanakan (Triyanto, 2011).

Page 51: BAB I - BAB V - Copy

51

B. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber yaitu

Spradley (2005), Setyohadi dan Kushariyadi (2011), Dirgagunarsa (2008),

Semiun (2006), Scher & Kozia (2012), Departemen Kesehatan RI (2006),

Triyanto (2011), Smeltzer dan Bare (2002), Price dan Wilson (2006), Manjoer

(2008), Suyono (2009), Mc Phee dan Ganong (2011), Brunner dan Suddarth

(2002), Pereira, Berg-Cross, Almeida, dan Machado (2008) Efendi &

Makhfudli (2009). Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Penderita DIABETES

MELITUS:

1. Penurunan

Produktifitas

2. Perubahan

tanggung jawab

3. Perubahan Peran

Tingkat

Kemandirian

Keluarga

Kualitas Hidup ↓

Gangguan Fungsi dan

Sistem Keluarga

Terapi Keluarga

Memperbaiki

komunikasi

Memecahkan /

menurunkan

konflik

Meningkatkan

persepsi dan

pemenuhan

penderita

DIABETES

MELITUS

Fungsi keluarga

optimal

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Page 52: BAB I - BAB V - Copy

52

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam

melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Keterangan:

a : diteliti

: tidak diteliti

Variabel terikat

Tingkat kemandirian

keluarga sebelum

dilakukan intervensi

Variabel bebas

Terapi keluarga

Variabel terikat

Tingkat kemandirian

keluarga sesudah

dilakukan intervensi

Faktor pengganggu

1. Emosional

2. Pengalaman

sebelumya

3. Kesehatan fisik

dan jiwa

4. Otonomi

5. Budaya

Gambar 2.2 Kerangka konsep

1. Tahap

perkembangan

keluarga

2. Pendidikan

3. Pekerjaan

4. Pendapatan

Page 53: BAB I - BAB V - Copy

53

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian menerjemahkan tujuan penelitian ke dalam dugaan

yang jelas merupakan prediksi dari hasil penelitian yaitu hubungan yang

diharapkan antar variabel yang dipelajari. Hipotesis dari hasil penelitian yang

diharapkan. Hipotesis penelitian harus dinyatakan secara jelas, tepat, dapat

diukur, dan dalam kalimat sekarang (Saryono, 2011).

Hipotesis penelitian diambil berdasarkan kerangka teori dan kerangka

konsep tersebut, maka peneliti menggunakan rumusan hipotesis kerja (Ha)

dalam penelitian yaitu : ada pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat

kemandirian keluarga pada penderita diabetes mellitus di Puskesmas

Purwokerto Utara II.

Page 54: BAB I - BAB V - Copy

54

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian pre

eksperimental dengan rancangan one group pre and posttest design

without control group. One group pre and pots test design merupakan

hubungan sebab akibat yang melibatkan satu kelompok subjek.

Rancangan penelitian yang dilakukan hanya menggunakan satu kelompok

subyek, tanpa menggunakan kelompok kontrol. Pengukuran variabel

penelitian dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Pengaruh intervensi

penelitian didapatkan dari perbedaan kedua hasil pengukuran (Saryono,

2011). Desain penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian yang

sederhana.

Penelitian yang dilakukan meneliti berapa besar pengaruh terapi

keluarga terhadap tingkat keluarga mandiri dengan membandingkan

tingkat kemandirian keluarga sebelum intervensi dan setelah dilakukan

intervensi.

Gambaran skema penelitian yang akan dilakukan (Nazir, 2005):

0 (X) 01

Page 55: BAB I - BAB V - Copy

55

Keterangan:

X : Intervensi, terapi keluarga

0 : Hasil pengukuran tingkat keluarga mandiri sebelum diberikan

perlakuan (terapi keluarga)

01

: Hasil pengukuran tingkat keluarga mandiri setelah diberikan

perlakukan (terapi keluarga)

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian yaitu posisi geografis dimana responden berada

sehingga proses penelitian dapat dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di

kediaman keluarga dengan diabetes melitus yang merupakan pasien di

Puskesmas Purwokerto Utara II dengan cakupan wilayah kerja di

Kelurahan Sumampir, Kelurahan Pabuaran, Kelurahan Karangwangkal,

dan Kelurahan Gerendeng. Adapun peneliti memilih pasien diabetes

melitus di kawasan kerja Puskesmas Purwokerto Utara II karena

penderita diabetes melitus yang jumlahnya cukup banyak selain itu

karakteristik keluarga yang beragam dari latar belakang budaya, agama,

dan kehidupan sosial, dan lokasi yang dekat dengan peneliti menjadikan

lebih efisien dari segi tenaga, waktu, dan finansial.

Page 56: BAB I - BAB V - Copy

56

3. Waktu penelitian

Waktu penelitian merupakan rentang waktu yang dibutuhkan

untuk dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan selama empat bulan,

terhitung sejak bulan Bulan November 2012 sampai Februari 2013.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Santjaka (2009) mendefinisikan populasi yaitu keseluruhan subjek

dimana sebagian daripadanya akan diambil untuk dilakukan pengukuran.

Hasil pengukuran menjadi dasar untuk generalisasi penelitian. Populasi

dalam penelitian yang dilakukan merupakan pasien diabetes melitus

beserta keluarganya sebanyak 62 keluarga.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil dengan

menggunakan teknik sampling. Pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan

berdasarkan pertimbangan atas biaya, waktu, tenaga, sehingga tidak dapat

mengambil sampel dalam jumlah yang banyak (Saryono, 2011).

Adapun pemilihan sampel didasarkan pada kriteris inklusi dan

eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

a. Keluarga dengan anggota keluarganya menderita diabetes mellitus.

Page 57: BAB I - BAB V - Copy

57

b. Dapat diajak berkomunikasi.

c. Bersedia mengikuti penelitian dan telah menandatangani formulir

kesediaan (informed consent).

b. Kriteria eksklusi

a. Mengalami gangguan jiwa.

b. Tidak dapat berkomunikasi.

Penentuan besar sampel menggunakan berbagai pertimbangan

meliputi pertimbangan praktis, pertimbangan metodologis, dan

pertimbangan lain (Saryono, 2011). Populasi < 100 sebaiknya

diambil sampel 50% dari populasi. Populasi yang tersedia pada

penelitian ini di Puskesmas Purwokerto Utara II adalah 62.

Perhitungan besar sampelnya sebagai berikut:

( )

Keterangan:

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

Z : nilai standarnormal untuk α = (1,64)

p : proprsi kejadian, jika belum diketahui, dianggap 50%

q : proporsi selain kejadian yang diteliti, q=1-p

d : tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,1)

(Santjaka, 2009).

Page 58: BAB I - BAB V - Copy

58

n = 62.(1,64)2.0,5.0,5

0,12(62-1)+(1,64)

2. 0,5.0,5

n = 41,6888

1,2824

n = 32,5

n = 33

Jumlah sampel yang diberi intervensi sebanyak 33 responden.

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain

(Notoatmodjo, 2010). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Variabel bebas (independent) merupakan variabel yang menstimulasi

target (Saryono, 2011). Variabel bebas dalam penelitian yang dilakukan

yaitu terapi keluarga.

2. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi dan

menjadi akibat dari variabel bebas (Hidayat, 2003). Variabel terikat dalam

penelitian yang akan dilakukan yaitu tingkat kemandirian keluarga.

Page 59: BAB I - BAB V - Copy

59

D. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan

menghindari perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variable

(Saryono, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No

.

Variable Definisi

operasional

Cara ukur Parameter Jenis

data

1. Terapi

keluarga

Terapi yang

diberikan pada

keluarga yang

memiliki anggota

keluarga

penderita diabetes

mellitus dengan

metode

wawancara dan

ceramah.

Standar

operasional

prosedur

Nominal

2. Kemandi

rian

keluarga

Tingkat

kemandirian

keluarga atas pola

dan perilaku yang

diberikan

terhadap keadaan

kesehatan anggota

keluarga yang

mengalami

gangguan

kesehatan.

Mengguna

kan

kuesioner

Indikator

Dampak

Kemandiri

an

Keluarga

untuk

diabetes

melitus

Dikategorikan

berdasarkan

tingkatan

keluarga

mandiri yang

dibagi menjadi

(KM-I), (KM-

II), (KM-III),

dan (KM-IV).

Ordinal

Page 60: BAB I - BAB V - Copy

60

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen penelitian ini

menggunakan Indikator Dampak Keperawatan Kesehatan Masyarakat

Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga yang telah ditetapkan oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) dengan dilakukan

modifikasi. Pengukuran tingkat kemandirian keluarga berupa rentang tingkat

kemandirian keluara I – IV berdasarkan kemampuan keluarga terhadap

program perawatan kesehatan komunitas, dimana I merupakan tingkat

kemandirian terendah dan IV merupakan tingkat kemandirian tertinggi.

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Uji Validitas

Agar data yang diperoleh mencapai derajat akurasi yang signifikan,

maka validitas dan reliabilitas perlu diuji terlebih dahulu sebelum

digunakan (Fathoni, 2006). Dalam hal ini kuesioner.

Validitas adalah indeks yang menunjukkan alat ukur tersebut benar-

benar mengukur apa yang diukur, pengukuran validitas kuesioner

dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat ukur

untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Notoatmondjo, 2010).

Page 61: BAB I - BAB V - Copy

61

Adapun validitas yang telah diuji pada instrumen ini adalah internal,

berupa validitas untuk angket yang menggunakan rumus pearson product

moment (Arikunto, 2006). Uji coba instrumen yang telah dilakukan dalam

penelitian ini adalah dengan memberikan kuesioner pada 23 orang

responden yang berada di luar kelurahan yang berada di wilayah kerja

Puskesmas Purwokerto Utara II yaitu pada Desa Rempoah yang memiliki

karakteristik sama dengan lingkungan responden pada penelitian. Setelah

hasil uji coba diperoleh, hasil dihitung dengan rumus pearson product

moment sebagai berikut:

Keterangan:

r : Koefisien korelasi

∑X : Jumlah skor pertanyaan

∑Y : Jumlah skor total

n : Jumlah responden

Kriteria pengujian :

Apabila r hitung > r tabel, maka item pertanyaan valid

Apabila r hitung < r tabel, maka item pertanyaan adalah tidak valid

Page 62: BAB I - BAB V - Copy

62

Validitas pada penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rempoah dengan

23 responden, peneliti melakukan modifikasi agar kuesioner Tingkat

Kemandirian Keluarga lebih spesifik terhadap Tingkat Kemandirian

Keluarga dengan diabetes melitus. Selanjutnya dilakukan validitas dengan

pertanyaan terbuka artinya peneliti menuntun responden agar lebih

memahami maksud dari pertanyaan yang diberikan. Hasilnya terdapat 13

pertanyaan yang valid.

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat di

percaya dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok

subjek yang sama diperoleh hasil yang relative sama. Pengukuran yang

memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliable.

Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai makna lain seperti

keterpercayaan, keterandalan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya,

namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh

mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2006).

Pengujian reliabilitas instrumen dalam penelitian ini telah

menggunakan uji Alpha Cronbach sebagai berikut:

Page 63: BAB I - BAB V - Copy

63

Keterangan:

Hasilnya setelah dilakukan validitas peneliti selanjutnya melakukan

reliabilitas pada kuesioner. Kuesioner tingkat kemandirian keluarga

untuk penderita diabetes melitus mendapatkan reliabilitas 0,713.

G. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Persiapan materi melalui studi dokumentasi dan studi pustaka yang

mendukung penelitian.

2. Pembuatan proposal penelitian yang dilanjutkan dengan pengujian

proposal penelitian.

3. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada skala pengukuran Indikator

Dampak Keperawatan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat

Kemandirian Keluarga yang telah dilakukan modifikasi.

4. Pengajuan surat rekomendasi dari kampus untuk melakukan penelitian di

Puskesmas Purwokerto Utara II.

Page 64: BAB I - BAB V - Copy

64

5. Sosialisasi rencana penelitian dan pengumpulan data sekunder berupa

nama serta alamat pasien diabetes melitus dibantu oleh karyawan yang

berada di Puskesmas Purwokerto Utara II.

6. Mengunjungi rumah calon responden dengan meminta persetujuan untuk

menjadi sampel penelitian.

7. Apabila responden memenuhi kriteria inklusi penelitian dilakukan

pencatatan pada lembar observasi dan melakukan kontrak waktu untuk

melakukan terapi keluarga.

8. Melakukan persamaan persepsi dengan asisten penelitian dan membagi

keluarga yang akan menerima terapi keluarga.

9. Minggu pertama terapi dilakukan pengumpulan data tingkat kemandirian

keluarga dengan skala pengukuran Indikator Dampak Keperawatan

Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga

Diabetes Melitus dan pengkajian dan identifikasi masalah yang sedang

keluarga alami dan dilakukan terapi keluarga dengan penyelesaian

masalah yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga.

10. Minggu kedua dilakukan terapi keluarga dengan pendidikan kesehatan

mengenai penyakit diabetes melitus, perawatan dan penanganan yang

tepat, pemberian informasi mengenai tindakan pencegahan.

11. Minggu ketiga dilakukan evaluasi, terminasi, dan diukur kembali tingkat

kemandirian keluarganya dengan menggunakan Indikator Dampak

Page 65: BAB I - BAB V - Copy

65

Keperawatan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian

Keluarga Diabetes Melitus.

12. Setelah dilakukan terapi keluarga kemudian penelitian selesai setelah

target sampel kelompok intervensi telah terpenuhi.

13. Semua data direkap, dihitung kemudian dilakukan analisa statistik dengan

menggunakan komputer.

14. Setelah analisa statistik selesai kemudian dibuat pembahasan dan

kesimpulan yang disusun ke dalam laporan hasil penelitian.

H. Analisis Data

Adapun langkah-langkah dalam memproses data adalah sebagai berikut:

1. Editing, yaitu kegiatan penyusunan data yang telah terkumpul dan

melakukan pengecekan kelengkapan data untuk mengoreksi kesalahan

Data yang tidak lengkap dan salah tidak dipakai dalam penelitian.

2. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode untuk setiap variabel untuk

memudahkan dalam pengolahan data yang masuk dan memudahkan

analisis data. Kode yang digunakan berupa angka yang disesuaikan

dengan jenis variabel.

3. Entry, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam program computer untuk

diolah menggunakan komputer.

4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti

untuk keperluan analisis.

Page 66: BAB I - BAB V - Copy

66

5. Pengolahan data menggunakan program statistik dan dianalisis dengan uji

statistik yaitu Wilcoxon test.

6. Cara analisis

Setelah dilakukan pengumpulan data maka komponen variabel penelitian

yang dapat dilakukan analisis merupakan:

a. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan pengumpulan data yang disajikan

dalam bentuk tabel frekuensi, ukuran tendensi sentral, dan grafik.

Skala data nominal atau ordinal dapat dilakukan analisis menggunakan

frekuensi dan prosentase. Variabel yang berupa data demografi pasien

(umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan) dan

tingkat kemandirian keluarga dianalisis secara dekskriptif dengan

menghitung persentase keadaan demografi pasien berupa berupa jenis

kelamin, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan serta tingkat

kemandirian keluarga disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Data

usia menggunakan ukuran tendensi sentral yang disajikan dalam

rerata dan standar deviasi (Saryono, 2011).

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk

mengetahui interaksi dua variabel. Variabel yang dianalisis meliputi

variabel bebas dan terikat. Analisis bivariat dalam penelitian yang

akan dilakukan digunakan `untuk menganalisis pengaruh antara terapi

Page 67: BAB I - BAB V - Copy

67

keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga digunakan Uji

Wilcoxon. Uji ini menguji perbedaan sebelum dan sesudah perlakukan

(Santjaka, 2009).

Keterangan:

Z = Nilai Z- hitung

T = Selisih terkecil

N = jumlah sampel

I. Etika Penelitian

Etika merupakan prinsip moral yang mempengaruhi tindakan. Penelitian

yang melibatkan manusia sebagai objek penelitiannya harus menerapkan etika

penelitian (Saryono, 2011). Penelitian yang dilakukan juga menggunakan

objek manusia yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, maka

peneliti harus memahami hak dasar manusia (Hidayat, 2003). Penelitian yang

dilakukan menjunjung tinggi prinsip etika penelitian yang merupakan standar

etika dalam melakukan penelitian (Polit dan Beck, 2006). Prinsip etika

penelitian yang dikemukakan Saryono (2011) sebagai berikut :

Page 68: BAB I - BAB V - Copy

68

1. Prinsip manfaat (beneficience)

Prinsip manfaat dalam penelitian mengharuskan peneliti untuk

memperkecil risiko dan memaksimalkan manfaat. Penelitian terhadap

manusia diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan

manusia baik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan.

Prinsip benefience meliputi hak mendapatkan perlindungan dari

penderitaan dan hak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi (Saryono,

2011).

Bebas dari penderitaan, yaitu perlakuan penelitian yang dilaksanakan

tanpa mengakibatkan penderitaan pada responden (Saryono, 2011).

Perlakuan terapi keluarga dilakukan dalam pengawasan peneliti. Perlakuan

terapi keluarga dilakukan berdasarkan prosedur sehingga responden bebas

dari penderitaan dan bebas dari eksploitasi.

2. Prinsip menghormati martabat manusia (non-malefience)

a) Hak untuk menentukan pilihan, yaitu hak untuk memutuskan dengan

sukarela apakah responden tersebut berkenan atau tidak dalam

penelitian terapi keluarga tanpa risiko yang merugikan. Hak non –

malefience meliputi hak untuk mendapat pertanyaan, mengungkapkan

keberatan, dan menarik diri (Saryono, 2011). Peneliti

menginformasikan informed consent. Informed consent diberikan

Page 69: BAB I - BAB V - Copy

69

sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan

untuk menjadi responden.

b) Hak mendapatkan data yang lengkap, yaitu menghormati martabat

manusia meliputi hak – hak masyarakat untuk memberi informasi

tentang terapi keluarga, keputusan sukarela tentang keikutsertaan

penelitian yang memerlukan ungkapan data lengkap (Saryono, 2011).

3. Prinsip keadilan (Justice)

Hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil. Subyek harus

diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah

keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila

ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai responden.

4. Kerahasiaan (Confidentiality)

Prinsip kerahasiaan menjamin semua informasi yang dikumpulkan

dalam penelitian tidak dibuka didepan publik. Data ilmiah yang dijadikan

variabel dalam penelitian hanya ditampilkan untuk keperluan penelitian dan

disajikan tanpa mendeskripsikan identitas responden. Semua informasi yang

telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya sehingga perlu adanya

kerahasiaan nama (anonymity) dan identitas reponden. Responden terapi

keluarga berhak meminta untuk digunakan inisial nama dalam memasukan

nama di penelitian.

Page 70: BAB I - BAB V - Copy

70

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Penelitian

Penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh terapi keluarga terhadap

tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus telah peneliti

lakukan pada bulan Januari dan Februari 2013 di wilayah kerja Puskesmas

Purwokerto Utara II yang meliputi Kelurahan Karangwangkal, Kelurahan

Gerendeng, Kelurahan Sumampir, dan Kelurahan Pabuaran Kabupaten

Banyumas. Pada periode tersebut, peneliti memperoleh 33 responden yang

sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan.

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu

pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu seperti waktu, biaya, dan

tenaga berdasarkan pertimbangan atau tujuan tertentu.

2. Karakteristik Responden Diabetes Melitus di Puskesmas Purwokerto Utara II

a. Karakteristik Umur Responden

Karakteristik umur responden menggunakan umur kepala keluarga

yang anggota keluarganya menderita diabetes melitus dan berada di

Page 71: BAB I - BAB V - Copy

71

wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II. Karakteristik umur

responden dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakterisitk umur responden diabetes melitus di wilayah kerja

Puskesmas Purwokerto Utara II

Variabel

n Minimal Maksimal Rerata

Std.

Deviasi

Usia (bulan) 14 29 75 56,242 12,111

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui rata-rata umur responden 56,24 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan usia responden yang tertinggi 75 tahun dan

terendah 29 tahun dengan standar deviasi 12,11.

b. Karakteristik Jenis Kelamin Responden

Karakteristik jenis kelamin responden adalah laki-laki dan wanita yang

berada di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II. Karakteristik jenis

kelamin responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

kelamin kepala keluarga yang anggota keluarganya menderita diabetes

melius. Karakteristik jenis kelamin responden dapat dilihat di tabel 4.2.

Tabel 4.2 Karakteristik jenis kelamin responden diabetes melitus di

wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II.

Jenis Kelamin Frekuensi (%)

Laki-laki 27 81,8

Perempuan 5 15,2

Total 33 100

Page 72: BAB I - BAB V - Copy

72

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui karakteristik jenis kelamin responden

pada kelompok intervensi sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yatu 27

responden (81,8%). Sedangkan untuk responden berjenis kelamin

perempuan sebanyak 5 responden (15,2%).

c. Karakteristik Pendidikan Responden

Karakteristik pendidikan responden yang anggota keluarganya

menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas

Purwokerto Utara II dibagi menjadi 5 kategori.

Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karaketristik pendidikan responden diabetes melitus di wilayah

kerja Puskesmas Purwokerto Utara II

Pendidikan Frekuensi (%)

Tidak sekolah 1 3

Lulus SD 9 27,3

Lulus SMP 7 21,2

Lulus SMA 11 33,3

Lulus Akademi/PT 5 15,2

Total 33 100

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui karakteristik pendidikan responden

sebagian besar lulus SMA yaitu 11 responden (33,3%) dan responden yang

paling sedikit yaitu tidak sekolah hanya 1 responden (3%).

d. Karakteristik Pekerjaan Responden

Karakteristik pekerjaan responden yang anggota keluarganya

menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas

Page 73: BAB I - BAB V - Copy

73

Purwokerto Utara II terdiri dari 6 jenis pekerjaan yaitu ibu rumah tangga,

petani, buruh, wiraswasta, PNS, dan pensiunan. Karakteristik pekerjaan

responden yang dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Karaktersitik pekerjaan responden diabetes melitus di wilayah

kerja Puskesmas Purwokerto Utara II

Pekerjaan Frekuensi (%)

Ibu rumah tangga 4 12,1

Buruh 8 24,2

Wiraswasta 8 24,2

PNS 4 12,1

Pensiunan 9 27,3

Total 33 100

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui karakteristik pekerjaan responden

yang didapatkan dalam penelitian antara lain ibu rumah tangga, buruh,

wiraswasta, PNS, dan pensiunan. Terdapat dua jenis pekerjaan yang

memiliki jumlah sama dan menjadi pekerjaan yang banyak di miliki oleh

responden yaitu buruh sebanyak 8 responden (24,2%) dan pensiunan

sebanyak 9 responden (27,3%).

e. Karakteristik Pendapatan Perbulan Responden

Karakteristik pendapatan perbulan yang anggota keluarganya

menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas

Purwokerto Utara II di bagi menjadi 3 kategori Karakteristik pendapatan

perbulan responden yang dapat dilihat pada tabel 4.5.

Page 74: BAB I - BAB V - Copy

74

Tabel 4.5 Karaktersitik pendapatan perbulan responden diabetes melitus di

wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II

Pendapatan perbulan Frekuensi (%)

< Rp 1.000.000 13 39,4

Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 9 27,3

>Rp 2.000.000 11 33,3

Total 33 100

Berdasarkan tabel 4.4 pendapatan perbulan responden dengan anggota

keluarga penderita diabetes melitus mayoritas memiliki pendapatan per

bulan < Rp 1.000.000 sebanyak 13 reponden (39,4%).

f. Karakteristik Tahap Perkembangan Keluarga Responden

Karakteristik tahap perkembangan keluarga yang anggota keluarganya

menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas

Purwokerto Utara II di bagi menjadi 8 kategori perkembangan keluarga.

Tabel 4.6 Karaktersitik tahap perkembangan keluarga responden diabetes

melitus di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II

Tahap perkembangan Frekuensi (%)

Anak prasekolah / anak tertua

berusia 2,5 tahun – 6 tahun

2 6,1

Anak sekolah / anak tertua berusia

7 tahun – 12 tahun

4 12,1

Remaja / anak tertua berusia 13

tahun – 20 tahun

4 12,1

Dewasa (pelepasan) 13 39,4

Pertengahan 6 18,2

Usia lanjut 4 12,1

Total 33 100

Page 75: BAB I - BAB V - Copy

75

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui karakteristik tahap perkembangan

keluarga yang didapatkan dalam penelitian antara lain anak prasekolah /

anak tertua berusia 2,5 tahun – 6 tahun, anak sekolah / anak tertua berusia 7

tahun – 12 tahun, remaja / anak tertua berusia 13 tahun – 20 tahun, dewasa

(pelepasan), pertengahan, usia lanju. Sebagian besar berada pada fase

dewasa (pelepasan) sebanyak 13 responden (39,4%).

3. Gambaran Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes Melitus

Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi Keluarga

Tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus diukur

dengan menggunakan Skala Pengukuran Tingkat Kemandirian Keluarga

untuk Penderita Diabetes Melitus. Tabel yang disajikan akan memperlihatkan

tingkat kemandirian keluarga sebelum diberikan terapi keluarga dan setelah

dilakukan terapi keluarga. Gambaran tingkat kemandirian responden dapat

dilihat pada tabel 4.7.

Page 76: BAB I - BAB V - Copy

76

Tabel 4.7 Gambaran tingkat kemandirian keluarga pada penderita

diabetes melitus Puskesmas Purwokerto Utara II

Tingkat

Kemandirian

Terapi keluarga

Sebelum Sesudah

Frekuensi (%) Frekuensi (%)

TK I 24 72,7 8 24,2

TK II 7 21,2 9 27,3

TK III 1 3 12 36,4

TK IV 1 3 4 12,1

Total 33 100 33 100

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui tingkat kemandirian keluarga

responden sebelum dilakukan terapi keluarga terbanyak berada di Tingkat

Kemandirian I (TK I) dengan jumlah 24 responden (72,7%) dan setelah

dilakukan terapi keluarga tingkat kemandirian keluarga responden paling

banyak berada pada tingkat III dengan jumlah responden sebanyak 12

responden (36,4%).

4. Perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes Melitus

Sebelum dan Setelah di Lakukan Terapi Keluarga

Untuk melihat pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga

pada penderita diabetes melitus dilakukan dengan Uji Wilcoxon.

Page 77: BAB I - BAB V - Copy

77

Tabel 4.8 Hasil analisa statistik Wilcoxon

Variabel Mean Rank Sum of

Ranks

Z Asymp. Sig

(2 tailed)

Terapi

keluarga

sebelum dan

sesudah

12 276 -4,350 0.000

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dapat melalui perbandingan Z

hitung dengan Z tabel. Nilai Z hitung dihasilkan -4,350 dengan Z tabel tabel

(α=0,05) yaitu -1,96, sehingga Z hitung > Z tabel. Dengan demikian Ha

diterima dan Ho ditolak. Berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes

melitus Puskesmas Purwokerto Utara II.

Penilaian juga dapat menggunakan nilai Asymp. Sig yaitu 0,000 yang

artinya p < α(0.000<0,05) yang berarti terdapat pengaruh terapi keluarga

terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus

Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden Diabetes Melitus di Puskesmas Purwokerto Utara II

a. Karakteristik Umur Responden

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui umur responden termuda

berumur 29 tahun dan yang tertua berumur 75 tahun. Hasil perhitungan

Page 78: BAB I - BAB V - Copy

78

statistika dapat disimpulkan bahwa rata-rata umur responden yang di

penelitian ini adalah kepala keluarga berumur 56,24 tahun.

Rata-rata umur pada penelitian ini di dapatkan responden pada rentang

umur pra lansia (45-59) tahun. Menurut penelitian Rimajunita (2010),

tidak ada hubungan umur dengan tingkat kemandirian seseorang. Berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009), bahwa terdapat

hubungan antara umur dengan kemandirian seseorang dalam hal ini

khususnya lansia, dimana semakin meningkatnya umur maka semakin

berkurangnya kemampuan lansia dalam beraktifitas sehari-hari. Menurut

Komnaslansia (2010) dan Papalia (2008) dengan meningkatnya umur

maka secara alamiah akan terjadi penurunan kemampuan fungsi untuk

merawat diri sendiri maupun berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya,

dan bergantung pada orang lain.

Penelitian ini menemukan bahwa semakin tua umur yang merawat

penderita diabetes penerimaan terhadap informasiyang disampaikan oleh

terapi juga semakin sulit. Contohnya seperti sulitnya mengingat

penjelasan tentang penyakit diabetes dan sulitnya memecahkan

permasalahan dalam keluarga. Namun hambatan usia tersebut dapat di

atasi dengan anggota keluarga lain yang berusia cukup muda dan sehat

secara fisik.

Page 79: BAB I - BAB V - Copy

79

b. Karakteristik Jenis Kelamin Responden

Hasil analisis menunjukkan jumlah responden laki-laki sebanyak 27

responden (81,8%) dan responden wanita sebanyak 5 responden (15,2%).

Jumlah responden laki-laki dapat dilihat jumlahnya lebih banyak

dibandingkan responden perempuan. Menurut penelitian Rimajunita

(2010) berdasarkan hasil perhitungan statistik tidak terdapat hubungan

jenis kelamin dengan tingkat kemandirian (p>0,05).

Hasil penelitian ini cukup berbeda dengan pendapat Darmojo (2004),

bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat

kemandirian. Jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat ketergantungan

lebih besar dibandingkan wanita, dan ini akan terus meningkat seiring

dengan bertambahnya usia. Kehidupan dalam susunan keluarga (family

living arrangement) dapat dilihat bahwa wanita lebih banyak yang

mandiri.

Perbedaan tingkat kemandirian ini dipengaruhi oleh tradisi daerah

tempat tinggal, dimana laki-laki hanya bertugas mencari uang sedangkan

wanita untuk pekerjaan yang menyangkut mengurus rumah dan keluarga

adalah tanggung jawab wanita (Rimajunita, 2010). Pada penelitian yang

dilakukan di Islandia oleh Konradsdottir dan Erla tahun 2011 dikatakan

bahwa adaptasi seorang laki-laki yang disini berperan sebagai ayah lebih

baik dibandingkan seorang wanita, adapatasi disini adalah berupa adaptasi

Page 80: BAB I - BAB V - Copy

80

atas penerimaan pendidikan jangka pendek dan dukungan intervensi pada

keluarga yang anggota keluarganya menderita diabetes melitus tipe 1.

Kejadian yang peneliti temui ketika dilakukannya terapi keluarga

terhadap keluarga dengan anggota keluarga berpenderita diabetes melitus

adalah peran laki-laki dalam keluarga yang biasanya sebagai pasangan

penderita diabetes melitus cukup tanggap dan perhatian. Salah satu

contohnya adalah ikut mengatur waktu makan, minum obat, dan turut

serta dalam mengantarkan pasangan atau anggota keluarga menuju tempat

pelayanan kesehatan baik rumah sakit maupun puskesmas. Peran kepala

keluarga yang berjenis kelamin laki-laki juga lebih cepat dalam

mengambil keputusan ketika terjadi diskusi untuk memecahkan masalah

yang terjadi di dalam keluarga yang berhubungan dengan anggota

keluarga berpenderita diabetes melitus. Contohnya ketika terjadi

permasalahan dalam ketidaktersediannya dana untuk memenuhi

kebutuhan sebulan sekali untuk pengecekan gula darah, lalu di ambil

kesimpulan untuk menyisihkan uang setiap hari untuk dana pengecekan

gula, selain itu ketika dimintanya penderita diabetes untuk mengurangi

konsumsigula, maka peran laki-laki untuk menginfromasikan hal tersebut

ke seluruh anggota keluarga dengan dimulainya pengurangan kadar gula

dalam makanan dan minuman dalam keluarga tersebut.

Page 81: BAB I - BAB V - Copy

81

c. Karakteristik Pendidikan Responden

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pendidikan responden

sebagian besar yaitu lulus SMA 11 responden (33,3%) dan yang paling

kecil yaitu tidak sekolah yang hanya 1 responden (3%). Sejumlah 16

responden termasuk dalam golongan pendidikan tinggi yaitu yang

mendapatkan pendidikan di SMA dan perguruan tinggi. Responden yang

mendapatkan pendidikan dasar berjumlah 16 responden mencakup

responden yang mendapatkan pendidikan SD dan SMP.

Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus diabetes dapat

terjadi pada orang dengan pendidikan tinggi maupun dasar. Meskipun di

dalam tinjauan teori tidak dijelaskan antara keterkaitan pendidikan dengan

penyakit diabetes melitus. Namun peneliti beasumsi bahwa makin tinggi

pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk

menyerap sumber informasi maka tingkat pendidikan dapat

mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam mempertahankan atau

memperbaiki kondisi kesehatannya.

Sesuai dengan pendapat Yusra (2011), tingkat pendidikan

mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencari perawatan dan

pengobatan penyakit yang dideritanya, serta memilih dan memutuskan

tindakan atau terapi yang akan dijalani untuk mengatasi masalah

kesehatannya. Pendapat ini juga dikuatkan oleh pendapat dari

Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan merupakan tolak ukur seseorang

Page 82: BAB I - BAB V - Copy

82

telah mampu menempuh jenjang pendidikan formal pada suatu bidang,

tetapi bukan berarti menjadi tolak ukur seseorang telah menguasai

beberapa bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan yang baik, lebih

matang terhadap proses perubahan pada dirinya, sehingga akan lebih

mudah menerima informasi luar yang bernilai positif, obyektif, dan

terbuka terhadap berbagai informasi dalam bidang kesehatan.

d. Karakteristik Pekerjaan Responden

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dengan jumlah 9

responden (27,3%) sebagai pensiunan, pekerjaan buruh dan wiraswasta

masing-masing 8 responden (24,2%), dan ibu rumah tangga dan PNS

masing-masing 4 responden (12,1%). Karakteristik pekerjaan responden

dilihat berdasarkan pekerjaan kepala keluarga yang terdapat di Kartu

Keluarga.

Pekerjaan dengan jumlah terbanyak pada penelitian ini sebagai

pensiunan kemungkinan terdapat hubungan dengan usia responden pada

penelitian ini yang memang berusia tua. Pernyataan ini di dukung oleh

pernyataan Nugroho (2000) bahwa kondisi lanjut usia menyebabkan

kemunduran di bidang ekonomi. Masa pensiun akan berakibat turunnya

pendapatan, hilangnya fasilitas-fasilitas, kekuasaan, wewenang, dan

penghasilan.

Page 83: BAB I - BAB V - Copy

83

e. Karakteristik Pendapatan Perbulan Responden

Penghasilan perbulan responden pada penelitian ini merupakan

penjumlahan responden dengan pasangan hidupnya atau anak yang tinggal

bersama dan membiayai biaya hidup atau responden itu sendiri jika

pasangannya tidak bekerja atau sudah meninggal dunia. Berdasarkan hasil

penelitian didapatkan bahwa jumlah responden yang berpenghasilan <Rp

1.000.000 sebanyak 13 responden (39,4%) tidak jauh berbeda dengan

yang berpenghasilan >Rp 2.000.000 sebanyak 11 responden (33,3%), dan

sisanya dengan responden sejumlah 9 berpenghasilan dari rentang Rp

1.000.000 – Rp 2.000.000.

Penelitian ini menunjukkan sejumlah 20 responden berada pada

pendapatan yang cukup dan 13 responden berpendapatan rendah. Menurut

Gautam et al (2009), terdapat hubungan antara kualitas hidup pasien

diabetes melitus dengan keadaan sosial ekonomi pada keluarga tersebut.

Apabila kualitas hidup pasien diabetes melitus rendah maka terdapat

hubungan pada rendahnya tingkat sosial ekonomi pada keluarga tersebut.

Namun menurut Yusra (2011), walaupun sosial ekonomi rendah, namun

yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan dan manajemen perawatan

diri dari pasien diabetes melitus dalam mengatasi permasalah dari

penyakitnya.

Temuan pada penelitian ini, bahwa penghasilan perbulan >Rp

1.000.000 memiliki perilaku kesehatan lebih baik dibandingkan dengan

Page 84: BAB I - BAB V - Copy

84

yang berpenghasilan <Rp 1.000.000 dalam sebulan. Dimungkinkan

dengan penghasilan >Rp 1.000.000 keluarga dan penderita diabetes

melitus lebih mudah dan leluasa untuk melakukan kunjungan ke

pelayanan kesehatan serta memenuhi kebutuhan penderita diabetes melitus

dan keluarga.

f. Karakteristik Tahap Perkembangan Keluarga Responden

Tahap perkembangan keluarga pada penelitian ini dilihat berdasarkan

tingkat perkembangan anak tertua dari kepala keluarga tersebut. Tahap

perkembangan yang ditemukan pada penelitian ini yang memiliki angka

terbesar berada pada tingkat perkembangan keluarga dewasa (pelepasan)

sebanyak 13 responden (39,4%) sedangkan tahap perkembangan dengan

nilai terkecil adalah tahap perkembangan tahap anak prasekolah atau anak

tertua berusia 2,5 tahun – 6 tahun sebanyak 2 responden (6,1%).

Tahap perkembangan keluarga merupakan berbagai tugas

perkembangan yang harus diselesaikan pada tahap perkembangan sebuah

keluarga. Apabila sebuah keluarga belum dapat menyelesaikan tahap

perkembangan yang seharusnya sudah dapat dilakukan kemungkinan

terdapat kesalahan dalam sistem keluarga tersebut. Sehingga dapat

menyebabkan ketidakbahagiaan, merasa tidak diakui oleh masyarakat, dan

kesulitan dalam mencapai keselarasan dan aktualisasi diri. Tugas-tugas

keluarga mencakup tanggung jawab untuk memuaskan biologis, cultural,

Page 85: BAB I - BAB V - Copy

85

dan personal dan peran serta dari anggota keluarga pada setiap tahap

perkembangan keluarga (Christensen & Jannet, 2009).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa nilai terbesar pada tahap

perkembangan keluarga berada pada tahap dewasa (pelepasan). Pada tahap

ini menurut Suprajitno (2004) keluarga memiliki tugas untuk

menyelesaikan beberapa tugas seperti, mempertahankan kesehatan

individu dan pasangan usia pertengahan, mempertahankan hubungan yang

serasi dan memuaskan dengan anak-anaknya dan sebaya, serta

meningkatkan keakraban pasangan.

2. Gambaran Tingkat Kemandirian Keluarga Sebelum dan Sesudah

Dilakukan Terapi Keluarga

Tingkat kemandirian keluarga di Kelurahan Karangwangkal,

Kelurahan Gerendeng, Kelurahan Sumampir, dan Kelurahan Pabuaran

sebelum diberikan terapi keluarga terdapat 24 responden (72,7%) berada

ada Tingkat Kemandirian Keluarga I, 7 responden (21,2%) berada pada

Tingkat Kemandirian Keluarga II, 1 responden (3%) berada pada Tingkat

Kemandirian Keluarga III, dan 1 responden (3%) berada pada Tingkat

Kemandirian Keluarga IV.

Setelah dilakukan terapi keluarga sebagian besar Tingkat Kemandirian

Keluarga responden mengalami kenaikan dan berada di Tingkat

Kemandirian Keluarga IV sebanyak 4 responden (12,1%). Peningkatan

Tingkat Kemandirian Keluarga III sebanyak 12 responden (36,4%),

Page 86: BAB I - BAB V - Copy

86

Peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga II sebanyak 9 responden

(27,3%), sedangkan terdapat 8 responden (24,2%) berada di Tingkat

Kemandirian Keluarga I. Pada penelitian ini terdapat 10 keluarga yang

tidak mengalami kenaikan pada Tingkat Kemandirian Keluarga atau

hanya berada pada Tingkat Kemandirian Keluarga yang sama.

Tingkat Kemandirian Keluarga merupakan gambaran kemampuan

sebuah keluarga dalam melakukan tindakan dalam mencapai status

kesehatan. Pemberdayaan keluarga memiliki makna bagaimana keluarga

memampukan dirinya sendiri dengan fasilitasi orang lain untuk

meningkatkan atau mengontrol status kesehatan keluarga (Nurhaeni,

2011).

Pada Tingkat Kemandirian Keluarga I terdapat dua aspek yang telah

mampu dilakukan oleh keluarga. Kedua hal ini dinilai berdasarkan

penerimaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan penerimaan terhadap

pelayanan kesehatan sesuai rencana keperawatan. Pada penelitian ini

penerimaan petugas kesehatan dinilai dari penerimaan keluarga terhadap

terapis sejak awal kedatangan terapis di dalam keluarga tersebut. Aspek

yang dinilai berikutnya didasarkan atas kesesuaian keluarga dalam

menerima rencana keperawatan yang diberikan, dalam aspek ini dilihat

berdasarkan frekuensi penderita diabetes melitus melakukan pengecekan

kadar gula darah salam satu bulan. Dikatakan mampu menjalankan

rencana keperawatan apabila penderita diabetes melakukan pemeriksaan

Page 87: BAB I - BAB V - Copy

87

gula darah minimal satu bulan sekali. Pada Tingkat Kemandirian Keluarga

I, keluarga baru mampu melakukan kedua aspek dari tujuh aspek pada

Tingkat Kemandirian Keluarga.

Pada Tingkat Kemandirian Keluarga II, terdapat lima aspek yang telah

mampu dipenuhi oleh keluarga. Dua aspek pertama merupakan dua aspek

yang terdapat di Tingkat Kemandirian Kelurahan I, sedangkan aspek

ketiga adalah keluarga telah dapat mengetahui serta dapat mengungkapkan

masalah kesehatan keluarganya secara benar pada hal ini mengenai

penyakit diabetes melitus. Di dalam aspek ini keluarga diharapkan telah

mampu menjelaskan definisi atau pengertian dari penyakit diabetes

melitus, penyebab penyakit diabetes melitus, dampak kesehatan yang

timbul apabila terkena diabetes melitus, serta mengetahui latihan fisik

ringan yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes melitus. Aspek

keempat adalah keluarga telah mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan

kesehatan sesuai anjuran, seperti mengunjungi dokter atau perawat

praktik, puskesmas, atau rumah sakit. Aspek kelima dinilai berdasarkan

kemampuan keluarga dalam melakukan tindakan keperawatan sederhana

sesuai anjuran tenaga kesehatan seperti melakukakan perencanaan

makanan yang benar pada pasien diabetes melitus dilihat berdasarkan

kesesuain jadwal makan dan jenis makanan yang disediakan oleh keluarga

pada penderita diabetes melitus.

Page 88: BAB I - BAB V - Copy

88

Kemandirian Keluarga tingkat III dinilai berdasarkan kemampuan

keluarga melakukan enam aspek yang telah ditentukan. Lima aspek

pertama merupakan lima aspek yang terdapat di Tingkat Kemandirian

Keluarga II. Aspek keenam pada Kemandirian Keluarga Tingkat III

adalah keluarga telah melakukan tindakan pencegahan secara aktif.

Tindakan pencegahan ini dilakukan agar tidak terdapat anggota keluarga

lain yang menderita diabetes melitus. Pada penelitian ini tindakan

pencegahan yang dilakukan oleh keluarga dinilai berdasarkan kemampuan

keluarga menjaga berat badan anggota keluarga yang tidak terkena

diabetes melitus. Menjaga berat badan dilihat berdasarkan kegiatan

aktifitas keluarga seperti olahraga secara teratur, pola makan teratur dan

seimbang sesuai dengan kebutuhan gizi.

Tingkat kemandirian keluarga yang terakhir yang juga dinilai sebagai

tingkat kemandirian keluarga yang terbaik adalah Tingkat Kemandirian

Keluarga IV. Pada Tingkat Kemandirian Keluarga IV ini terdapat tujuh

aspek yang telah mampu dilakukan oleh keluarga. Keenam aspek pertama

merupakan semua aspek yang terdapat di Tingkat Kemandirian Keluarga

III. Aspek ketujuh merupakan tindakan keluarga yang telah mampu

melakukan tindakan peningkatan kesehatan (promotif) secara aktif. Pada

aspek ini keluarga telah mampu melakukan tindakan peningkatan

kesehatan secara mandiri dan telah memiliki kesadaran akan kegunaan

dari tindakan peningkatan kesehatan. Tindakan yang dinilai pada aspek

Page 89: BAB I - BAB V - Copy

89

peningkatan kesehatan pada penelitian ini adalah kemampuan seluruh

anggota keluarga untuk melakukan olahraga secara teratur, menjaga berat

badan, dan mengikuti penyuluhan tentang diabetes melitus yang diadakan

oleh sebuah instansi.

Penelitian ini terdapat 10 keluarga yang tidak mengalami kenaikan

atau hanya berada pada Tingkat Kemandirian Keluarga yang sama.

Terdapat delapan keluarga yang tetap berada di Tingkat Kemandirian

Keluarga I, satu keluarga tetap berada di Tingkat Kemandirian Keluarga

III, dan satu keluarga berada di Tingkat Kemandirian Keluarga IV.

Peneliti memperkirakan ketidakberubahan Tingkat Kemandirian Keluarga

disebabkan karena kurangnya dukungan anggota keluarga yang baik serta

lingkungan, keadaan ekonomi yang kurang memadai, budaya, serta

pengalaman sakit sebelumnya yang diderita oleh anggota keluarga.

Sejalan dengan Stuart dan Laraia (2005), yang mengatakan

memberikan pendidikan pada keluarga dapat meningkatkan kemampuan

kognitif karena mendapatkan pengetahuan baru tentang sebuah penyakit,

mendapatkan pengajaran keterampilan teknik yang dapat membantu

keluarga untuk mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku, serta

secara tidak langsung keluarga mendapatkan dukungan dari pihak luar.

Konseling pada terapi keluarga juga diterapkan pada penelitian ini.

Konseling dialakukan agar terjalinnya komunikasi yang baik antar

keluarga dan tercapainya penyelesaian masalah yang diselesaikan secara

Page 90: BAB I - BAB V - Copy

90

bersama-sama. Sehingga hasilnya diharapkan dapat memuaskan seluruh

anggota keluarga. Selain itu dengan adanya konseling keluarga, keluarga

akan merasa lebih bahagia dan merasa diperhatikan. Sehingga motivasi

keluarga dalam meningkatkan kesehatan menjadi semakin meningkat.

Sehingga yang diharapkan keluarga menjadi mampu meningkatkan

pencapaian pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh anggota

keluarga, keluarga mampu melindungi keluarga dengan mengetahui

gejala-gejala yang membahayakan anggota keluarga, mampu mengambil

tindakan yang tepat dalam penanganan anggota keluarga yang sakit, serta

keluarga merasa bahagia karena merasa mendapatkan dukungan dari pihak

luar.

3. Perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes

Melitus Sebelum dan Setelah di Lakukan Terapi Keluarga

Hasil penelitian menemukan nilai Z hitung -4,350 < Z tabel -1,96

(α=0,05). Selain itu, hasil penelitian ini menemukan nilap p value 0,000 <

0,05. Kedua hasil ini menunjukkan adanya pengaruh terapi keluarga

terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus

Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan.

Hasil uji ini diperkuat dengan adanya peningkatan kemampuan

keluarga dalam melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas

kesehatan anggota keluarga. Pada hasil penelitian sebanyak 23 keluarga

mengalami peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga sedangkan 10

Page 91: BAB I - BAB V - Copy

91

keluarga tidak mengalami kenaikan atau berada pada Tingkat

Kemandirian Keluarga yang sama meskipun telah dilakukan terapi

keluarga. Peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga pada 23 keluarga

ini bervariasi, terdapat keluarga yang mengalami peningkatan di Tingkat

Kemandirian Keluarga II, Tingkat Kemandirian III, serta terdapat pula

yang berada di tahap Tingkat Kemandirian Keluarga IV.

Peningkatan terjadi setelah dilakukan terapi keluarga yang di

dalamnya diberikan pendidikan serta keterampilan dalam merawat

anggota keluarga yang mengalami diabetes melitus secara benar dan tepat

dan konseling untuk memecahkan permasalahan yang terdapat di dalam

keluarga. Peningkatan terjadi pada aspek pengetahuan keluarga mengenai

penyakit diabetes melitus, awalnya keluarga hanya mengetahui bahwa

diabetes melitus merupakan penyakit gula darah yang tinggi. Setelah

dilakukan terapi keluarga, keluarga jadi memahami penyebab dari

penyakit diabetes melitus, dampak kesehatan apabila terkena diabetes

melitus, tanda-tanda secara umum apabila terkena diabetes, serta jenis

olahraga untuk penderita diabetes melitus.

Peningkatan bukan hanya terjadi pada aspek pengetahuan

keluarga mengenai penyakit diabetes melitus lebih jauh namun juga pada

cara keluarga dalam menyelesaikan permasalahan di dalam keluarga yang

berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang menderita diabetes

melitus. Konseling pada terapi keluarga juga dilakukan untuk

Page 92: BAB I - BAB V - Copy

92

memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga. Contoh permasalahan

yang timbul di dalam keluarga dengan anggota keluarga berpenderita

diabetes melitus adalah kurangnya ketenggang rasaan antar keluarga

dalam hal pengaturan makanan dan minuman. Misalnya makanan dan

minuman seorang berpenderita diabetes melitus sudah selayaknya kadar

gula tidak banyak, namun karena dalam sebuah keluarga hampir sebagian

besar anggota keluarga menyukai manis dan tidak berpenderita diabetes

melitus maka makanan atau minuman juga dibuat seperti kesukaan

anggota keluarga yang tidak berpenderita diabetes melitus. Dari hal ini

lah dijelaskan perlunya ada ketenggang rasaan antar keluarga terhadap

anggota keluarga yang sakit dengan membuat makanan atau minuman

dengan gula yang minimum dan ditambahkan apabila terasa kurang manis

bagi anggota keluarga yang tisak sakit. Komunikasi yang baik sangat di

butuhkan untuk mendapatkan hasil saling pengertian antar keluarga. Pada

sesi konseling juga di jelaskan agar keluarga mampu dan berani

mengeluarkan pendapat kepada anggota keluarga lain dengan baik dan

bertanggung jawab.

Penerimaan pelayanan kesehatan oleh keluarga juga termasuk ke

dalam aspek Tingkat Kemandirian Keluarga. Pada aspek ini keluarga jadi

memahami bahwa pentingnya kontrol gula darah minimal satu bulan

sekali untuk memantau kadar gula darah anggota keluarga yang

menderita diabetes melitus. Selain itu keluarga memahami pola makan

Page 93: BAB I - BAB V - Copy

93

yang benar dan kandungan makanan yang dibutuhkan oleh penderita

diabetes melitus. Mengetahui pentingnya merawat dan menjaga tubuh

penderita diabetes melitus dari luka khususnya ekstremitas bawah.

Selain diberikan pendidikan dan keterampilan dalam melakukan

peawatan dan penanganan pada penderita diabetes melitus, keluarga juga

diberikan pengetahuan mengenai pentingnya dilakukan pencegahan dan

peningkatan kesehatan. Keluarga telah memahami pentingnya mencegah

anggota keluarga lain agar tidak terkena diabetes melitus dengan

melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan peningkatan kesehatan

seperti makan makanan sehat secara teratur, olahraga teratur, menjaga

berat badan agar tidak kurang maupun berlebih, serta mengikuti kegiatan

seperti seminar tentang diabetes melitus.

Berbagai fakta ini menunjukkan pengaruh terapi keluarga yang

diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga penderita diabetes

melitus. Kegiatan terapi keluarga dilaksanakan dengan metode pemberian

pendidikan kesehatan dan pengembangan keterampilan penderita diabetes

melitus serta keluarga dalam merawat pasien dengan diabetes melitus.

Metode tersebut mampu meningkatkan pengetahuan serta keterampilan

penderita diabetes melitus beserta keluarga. Kegiatan tersebut dilakukan

secara rutin sebanyak 2 kali kunjungan selama 2 minggu.

Susanto (2010) membuktikan bahwa terapi keluarga dengan

metode pemberian pendidikan kesehatan, coaching dan conseling.

Page 94: BAB I - BAB V - Copy

94

Mampu mengembangan dan meningkatkan keterampilan hidup remaja

dan mengembangan keterampilan orangtua dalam berkomunikasi secara

efektif dengan remaja. Peningkatan hal-hal tersebut secara langsung

mempengaruhi tingkat kemandirian keluarga. Sehingga dengan

meningkatnya pengetahuan dan keterampilan, meningkat pula tingkat

kemandirian keluarga tersebut.

Pendapat di atas diperkuat berdasarkan pendapat (Palestin, 2002

dalam Nugraini 2009) yang menyimpulkan bahwa pemberian komunikasi

terapeutik pada pasien diabetes dengan keluarga ternyata mempengaruhi

secara signifikan terhadap meningkatnya pengetahuan tentang penyakit

yang diderita. (Redhead et al, 1993) mengatakan bahwa pendidikan

kesehatan yang efektif pada pasien diabetes melitus merupakan dasar

kontrol metabolisme yang baik dimana dapat meningkatkan hasil klinis

dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan

penyakit secara mandiri.

Dukungan keluarga berupa kehangatan dan keramahan, dukungan

emosional terkait monitoring glukosa, diet, dan latihan dapat

meningkatkan efikasi diri pasien sehingga mendukung keberhasilan

dalam perawatan sendiri. Sehingga perawatan diri yang baik akan

menciptakan kualitas hidup yang baik bagi keluarga dan penderita

diabetes melitus dan terciptanya peningkatan kemandirian keluarga

(Allen, 2006).

Page 95: BAB I - BAB V - Copy

95

Mills (2008) menyatakan ada beberapa hal penting yang dapat

dilakukan untuk mendukung anggota keluarga yang menderita diabetes

tipe II yaitu dengan meningkatkan kesadaran dirinya unutk mengenali

penyakit diabetes melitus tipe II, bahwa penyakit tersebut tidak dapat

disembuhkan, sehingga pasien memiliki kesadaran yang tinggi untuk

mengelola penyakitnya. Selain itu tinggal bersama dengan anggota

keluarga yang sakit dan memberikan bantuan, menyediakan waktu,

mendorong untuk terus belajar dan mencari tambahan pengetahuan

tentang diabetes melitus merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang bisa

dilakukan keluarga dalam rangka memberi dukungan pada anggota

keluarga yang sakit.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti masih memiliki keterbatasan.

Adapun beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Karakterisitik responden yang diteliti masih terbatas pada usia, jenis kelamin,

riwayat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan perbulan, dan tahap

perkembangan keluarga, sementara masih banyak faktor lain yang

mempengaruhi Tingkat Kemandirian Keluarga seperti pengalaman sakit

sebelumnya dan budaya.

2. Data pasien diabetes melitus belum teradministrasi secara baik di Puskesmas

Purwokerto Utara II.

Page 96: BAB I - BAB V - Copy

96

3. Waktu pemberian terapi keluarga yang tidak sesuai dengan jadwal

kesepakatan, dikarenakan jadwal aktifitas keluarga yang tidak dapat

diperkirakan.

Page 97: BAB I - BAB V - Copy

97

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Beradasarkan pada analsis hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan karakteristik responden, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Usia responden memilki rata-rata 56,24 tahun. Usia termuda yaitu 29

tahun dan tertua yaitu 75 tahun.

b. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 27

responden (81,8%).

c. Mayoritas pendidikan responden adalah lulusan Sekolah Menengah Atas

(SMA) yaitu sebanyak 11 responden (33,3%).

d. Pekerjaan responden didominasi oleh 3 jenis pekerjaan yaitu pensiunan

sebanyak 9 responden (27,3%), buruh sebanyak 8 responden (24,2%), dan

wiraswasta sebanyak 8 responden (24,2%).

e. Mayoritas pendapatan perbulan berada di < Rp 1.000.000 yaitu sebanyak

13 responden (39,4%).

f. Mayoritas tahap perkembangan keluarga pada responden adalah pada

tahap dewasa (pelepasan) yaitu sebanyak 13 responden (39,4%).

Page 98: BAB I - BAB V - Copy

98

2. Sebelum dilakukan terapi keluarga sebagian besar Tingkat Kemandirian

Keluarga berada di Tingkat Kemandirian Keluarga I dengan jumlah 24

(72,7%).

3. Setelah dilakukan terapi keluarga mayoritas Tingkat Kemandirian Keluarga

responden berada di Tingkat Kemandirian Keluarga III yaitu sebanyak 12

responden (36,4%).

4. Terdapat perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah

dilakukan terapi keluarga.

5. Ada pengaruh terapi keluarga terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga pada

penderita diabetes melitus Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan

(p=0,000).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diberikan saran

sebagai berikut:

1. Bagi Penelitian

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengidentifikasi

karakteristik lain seperti pengalam sakit sebelumnya dan budaya terhadap

tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat dengan anggota keluarga berpenderita diabetes melitus

dapat melakukan dan memanfaatkan anjuran yang disampaikan ketika terapi

keluarga untuk keluarga dengan penderita diabetes melitus secara rutin dan

Page 99: BAB I - BAB V - Copy

99

benar, dengan melakukan peningkatan kesehatan dengan menjaga berat

badan, olahraga secara rutin, serta mengikuti penyuluhan tentang penyakit

diabetes melitus.

3. Bagi Institusi

Terapi keluarga hendaknya dijadikan program tetap yang dapat

dilakukan oleh petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup

penderita diabetes melitus dan keluarga.

4. Bagi Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi bahan kajian untuk

menjadi bahan ajar keperawatan komunitas dan keluarga, khususnya stimulasi

peningkatan tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus

dengan menggunakan terapi keluarga.

Page 100: BAB I - BAB V - Copy

100

DAFTAR PUSTAKA

Allen. (2006). Support of diabetic from the family. Diakses dari http://

www.huzzle.com/ editorials pada tanggal 12 Maret 2013.

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian (suatu pendekatan praktik). Jakarta:

Rineka Cipta.

Azwar, A. (2006). Pedoman pembinaan kesehatan lanjut usia bagi petugas.

Jawa Timur: Kesehatan. Depkes.

Chritensen. P.J., Janet, K.W. (2009).Proses keperawatan aplikasi model

konseptual. Jakarta: EGC.

Darmojo, R.B., Marinono, H.H. (2004). Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut)

edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI.

Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2006). Profil kesehatan

Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 rakyat sehat negara kuat. Jawa

Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Jumlah penderita diabetes indonesia

rangking ke-4 di dunia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 1 hal.

Departemen Kesehatan RI. (2011). Profil data kesehatan Indonesia tahun

2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dirgagunarsa, S., Yulia. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Page 101: BAB I - BAB V - Copy

101

Efendi, F., Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas dalam

praktik dan teori keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Fathoni, A. (2006). Mentodologi penelitian dan teknik penyususnan skripsi

cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta.

Gautam, Y., Sharma, A.K., Bhatnajar, M.K., & Trehan, R.R. (2009). A cross

sectional study of QOL of diabetic patient at tertiary care hospital in

Delhi. India: Indian Journal Community Medicine, 34 (4), 346-350.

Goz, F., Karaoz, S., Goz, M., Ekiz, S., & Cetin, I. (2007). Effect of the

diabetic patient’s perceived social support in their quality of life.

Journal of Clinical Nursing, 16, 1353-1360.

Haley, J. (1973). Uncommon therapy: the psychiatric techniques of Milton

H. Erickson. New York: Norton.

Haley, J. (1976). Problem solving therapy. San Fransisco: Jossey Bass.

Hendra. (2007). Faktor-faktor penyebab peningkatan kadar glukosa dalam

darah pada penderita diabetes melitus Tipe 2. www.scribd.com.

Hidayat, A. A. (2003). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah.

Jakarta: Salemba Medika.

Hughes, H. (2008). Family connections offers help to the parents of children

with special needs.Mc. Clatchy: Tribune Bussiness News.

Page 102: BAB I - BAB V - Copy

102

Isa B. A., & Mohammad, A.A. (2008). Effect of education on emprovement

of quality of life by SF-20 in type 2 diabetic patient. Middle-East J. Sci.

Res., 3 (2): 67-72.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Kesehatan. (2010). Pedoman

penyelenggaraan pelayanan keperawatan keluarga. Jakarta:

Kementerian Kesehatan.

Komisi Nasional Lanjut Lansia. (2010). Profil penduduk lanjut usia 2009.

Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia.

Konradsdottir, Elisabet & Erla, K.S. (2011). How effective is a short-term

education and support intervention for families of an adolescent with

type 1 diabetes?. Iceland: Journal for specialist in pediatric nursing 16

(2011) 295-304.

Limansubroto, C.D.M. (1993). The compilation and organization of a family

therapy teaching curriculum for indonesian university student tesis

master. Purdue University.

Limansubroto, Cathrine D.M. (1996). Penerapan terapi keluarga struktural

dan terapi keluarga strategis di indonesia: suatu pandangan lintas

budaya. Jakarta: Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Katolik

Indonesia Atma Jaya.

Madanes, C. (1981). Strategic family therapy.San Fransisco: Jossey-Bass

Page 103: BAB I - BAB V - Copy

103

Mansjoer, A., Kuspuji, T., Rakhmi. S., Wahyu, I.W., Wiwiek, S. (2008).

Kapita selekta kedokteran jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas

Kedokteran UI.

McPhee., Stephen J., William F. Ganong. (2011). Patofisiologi penyakit

pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EKG.

Mills, L. (2008). Diabetes: Self-esteem and family. Diakses dari

www.americanchronicle.com pada tanggal 12 Maret 2012.

Munichin, S. (1974). Families and family therapy. Cambridge, MA: Harvard

University Press

Munichin, S., Fishman, H.C. (1981). Family therapy techniques. Cambridge:

Harvard University Press.

Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik. Jakarta: Gramedia.

Nugraini, R. (2009). Ganbaran peran keluarga terhadap pengendalian

kondisi penderita diabetes melitus di Desa Rejasari Kecamatan

Purwokerto Barat Kabupaten Banyuma. Purwokerto: Universitas

Jenderal Soedirman.

Nurhean, N., Sutadi, H., Rustina Y., & SUpriyatno, B. (2011). Pemberdayaan

keluarga pada anak balita pneumonia di rumah sakit: persepsi perawat,

anak, dan keluarga. Makara kesehatan, 15 (2), 58-64

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Page 104: BAB I - BAB V - Copy

104

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Papalia, D.E., Old, W.S., Feldman R.D. 2009. Human development

(psikologi perkembangan) edisi kesembilan. Jakrta: Kencana Prenada

Media Group.

Parker, Deborah K. (2005). Menumbuhkan kemandirian dan harga diri anak.

Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Pereira, M. Graca., Linda, B.C., Paulo, A., J. Cunha, M. (2008). Impact of

family envirenment and suport on adherence, metabolik kontrol, and

quality of life in adolescent with diabetes.Portugis: International

Journal of Behavioral Medicine, 15: 187-193, 2008.

PERKENI. (2011). Konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes

mellitus tipe 2 di indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia.

Polit, D. F. & Beck, C. T. (2006). Essential of nursing research : methods

appraisal and utilization, sixt edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinis

proses-proses penyaki vol 2. Jakarta: EGC.

Redhead, J., Husain A., Gedling P., Mc Culloch A.J. (1993). The effect of

primary-care based education service. Diabetic Medicine, Vol. 10: p.

672-675.

Page 105: BAB I - BAB V - Copy

105

Rifki, N.N. (2009). Penatalaksanaan diabetes denan pendekatan keluarga,

dalam SIdartawan, S, Pradana, S., & Imam, S, Penatalaksanaan

diabetes terpadu (hal 217-229). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Riley, McEmtee M.L., Gerson, L., & Deninison C.R. (2009). Depression as a

comorbidity to diabetes: implication for management. Journal for

Nursing Practitioner, 5 (7), 523-535.

Rimanjunita. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian

lansia di wilayah kerja Puskesmas Lampasari Kecamatan Payakumnuh

Utara tahun 2010. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Robinson, V.M. (2010). The relative roles of family and peer support in

metabolic control and quality of life for adolescents with type 1

diabetes. The University of Edinburg: www.mendelev.com/research.

Santjaka, A. (2009). Biostatistik. Purwokerto: Global Internusa.

Sari, I.M. (2009). Hubungan antara karakteristik personal dengan

kemandirian dalam activity of daily living (ADL) pada lansia di Panti

Wredha Dharma Bhakti Pajang Surakarta tahun 2009. Surakarta:

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT

Percetakan dan Penerbitan Unsoed.

Scher, Stephen., Kasia, K. (2012). Thinking, doing, and the ethnics of family

therapy.USA: The American Journal of Family Theraphy: 40:97-144.

Page 106: BAB I - BAB V - Copy

106

Semiardji, G. (2006). Stres emosional pada penyandang diabetes, dalam

Sidartawan, S, Pradana, S., & Imam, S, Penatalaksanaan diabetes

terpadu (hal 337-342). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3.Yogyakarta: Kanisius.

Setiawan, N.A. (2010). Keefektifan terapi keluarga terhadap penurunan

angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus jiwa dan

saraf puri waluyo surakarta. Solo: digilib.uns.ac.id.

Setyoadi., Kushariadi. (2011). Terapi modalitas keperawatan pada klien

psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.

Setyowati, S., Arita, M. (2008). Asuhan keperawatan keluarga konsep dan

aplikasi kasus. Jakarta: EGC.

Sjattar, E.L., Elly, N., Burhanudddin, B., & Sitti, W. (2011). Pengaruh

penerapan model keluarga untuk keluarga terhadap kemandirian

keluarga merawat penderita TB paru peserta DOTS di Makasar

(integrasi konsep keperawatan self care dan family-centered nursing.

Makassar. www.googlescholar.com.

Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-

bedah vol 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. (2007). Buku ajar keperawatan medikal-

bedah vol 2. Jakarta: EGC.

Page 107: BAB I - BAB V - Copy

107

Spradley, B.M. (2005). Community health nursing: concept and practice 2nd

ed. Boston: Little, Brown, and Company.

Stuart, G., and Laraia, M.S. (2005). The principle and practice of psychiatric

nursing. St, Louis Missouri: Elsevier Morby

Sudiharto. (2005). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan

keperawatan transkultural.Jakarta:EGC.

Sudiharto. (2007). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan

keperawatan transkultural. Jakarta: EGC.

Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga aplikasi dalam praktik.

Jakarta: EGC.

Susanto, T. (2010). Pengaruh terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat

kemndirian keluarga dengan permasalahan kesehatan repsoduksi pada

remaja di kelurahan ratujaya kecamatan pancoran mas kota depok.

malang : Jurnal Keperawatan ejournal.umm.ac.id.

Syafei. (2006). Peran keluarga dan perawatan penderita diabetes melitus

secara mandiri di rumah. Jakarta: Jurnal Mutiara Medika

Triyanto, E. (2011). Keperawatan keluarga 1. Purwokerto: Universitas

Jenderal Soedirman.

Waspadji. (2005). Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang Rasional.

Dalam Penatalaksanaannya Diabetes Terpadu. Ed. 5. Jakarta: Balai

Pustaka FK UI.

Page 108: BAB I - BAB V - Copy

108

Wiyati, R., Dyah, W., & Esti, D.W. (2010). Pengaruh psikoedukasi keluarga

terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial.

Purwokerto: Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal

of Nursing), Volume 5, No. 2.

World Health Organization. (2007). Prevalence of diabetes worlwide (on-

line). www.who.com.

Yusra, A. (2011). Hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas

hidup pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Depok: Universitas

Indonesia.