BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Undang-Undang Dasar 1945). Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum, ruang lingkupnya mencakup pembangunan berbagai insfrastruktur dan fasilitas umum. Berbagai macam pembangunan untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya memerlukan ketersediaan lahan atau tanah yang sangat luas. Tanah (lahan) dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Keterbatasan ketersediaan tanah yang dikuasai Negara, sering kali lokasi tanah yang diperlukan pembangunan untuk kepentingan umum merupakan tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, bahkan tidak jarang lokasi merupakan pemukiman penduduk atau lahan mata pencaharian penduduk. Persoalan muncul ketika lokasi pembangunan yang akan dilakukan tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain. Pada kasus ini, masyarakat

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara

untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan tersebut adalah melindungi

segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Undang-Undang

Dasar 1945).

Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah

pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum,

ruang lingkupnya mencakup pembangunan berbagai insfrastruktur dan fasilitas

umum.

Berbagai macam pembangunan untuk kepentingan umum, dalam

pelaksanaannya memerlukan ketersediaan lahan atau tanah yang sangat luas. Tanah

(lahan) dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan

berhasil tidaknya suatu pembangunan. Keterbatasan ketersediaan tanah yang

dikuasai Negara, sering kali lokasi tanah yang diperlukan pembangunan untuk

kepentingan umum merupakan tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat,

bahkan tidak jarang lokasi merupakan pemukiman penduduk atau lahan mata

pencaharian penduduk. Persoalan muncul ketika lokasi pembangunan yang akan

dilakukan tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain. Pada kasus ini, masyarakat

2

sebagai pemegang hak atas tanah atau yang menguasai tanah pada lokasi yang

dibutuhkan untuk kepentingan pembangunan harus melepaskan tanahnya.

Masyarakat sebagai pemilik tanah tidak pada posisi ingin menyerahkan tanahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut, maka pemerintah perlu melakukan

proses yang disebut pengadaan tanah.

1.1.1 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Istilah “pengadaan tanah” secara yuridis pertama kali dikenal sejak keluarnya

Keputusan Presiden (Keppres) No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah adalah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian

kepada yang berhak atas tanah tersebut. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

sebagai penganti Keppres di atas, menyebutkan bahwa pengadaan tanah adalah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi

kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada

yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda

yang berkaitan dengan tanah.

Perubahan istilah terakhir diterangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan

cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak

yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.

3

Objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan

dan tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

Pengertian pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden

Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Pengadaan

tanah dengan demikian dapat disimpulkan merupakan kegiatan pelepasan hak atas

tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk

kepentingan umum.

Proses pengadaan tanah harus mengedepankan prinsip yang terkandung di

dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum tanah nasional. Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai tanah Negara tersebut,

memberikan wewenang kepada Negara, diantaranya untuk mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air,

dan ruang angkasa. Sehubungan dengan kewenangan ini, untuk menyelenggarakan

penyediaan tanah untuk kepentingan umum pemerintah dapat mencabut hak-hak

atas tanah dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur

dengan undang-undang, apabila upaya melalui cara musyawarah gagal membawa

hasil.

Pencabutan hak atas tanah oleh Negara untuk kepentingan umum harus

dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan sebaiknya harus diperoleh

melalui musyawarah. Melalui proses musyawarah pengambilan hak atas tanah

4

untuk kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.

Melalui proses musyawarah terjadinya sengketa akan jarang terjadi. Namun pada

kenyataannya, praktek pengadaan tanah, masih sering terjadi sengketa antara

pemerintah dengan pemilik tanah baik sebagai perseorangan maupun badan hukum

yang terkena proyek pembebasan lahan.

Proses pengadaan tanah dalam perkembangannya memiliki sejarah yang

panjang dan rumit. Pengadaan tanah untuk pembangunan sudah dilakukan sejak

zaman Kolonial Belanda dan dalam prakteknya proses pengadaan tanah sering

sekali timbul masalah konflik serta perselisihan antara pemerintah dengan pemilik

tanah. Terjadinya konflik dan peselisihan seringkali dikerenakan tidak sesuainya

nilai ganti kerugian hak atas tanah dan berbagai aspek lain yang melekat pada tanah

tersebut.

1.1.2 Instrumen Hukum Pengadaan Tanah di Indonesia

Instrumen hukum yang mengatur besaran nilai ganti rugi sudah ada sejak

tahun 1960, yaitu lewat UU nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria. Mekanisme ganti rugi lalu dipertegas melalui Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang

ada di Atasnya. Pada tahun 1973 terbit Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun

1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Asasi Atas Tanah dan Benda-benda

yang ada di atasnya. Inpres ini merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang

Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Pelaksanaan

pengadaan tanah dalam Impres ini masih diserahkan pada Panitia Penaksir Tanah

seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.

5

Dua tahun setelah terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 1973, kemudian terbit

Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata

Cara Pengadaan Tanah. Pada Permendagri ini muncul dua istilah baru, yaitu

Pengadaan tanah dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Adapun yang dimaksud

dengan pengadaan tanah adalah melepaskan hubungan-hubungan hukum yang

semula terdapat di antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara

memberikan ganti rugi. Perkembangan selanjutnya, terbit Keppres Nomor 55 tahun

1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum. Pada Keppres ini, ganti kerugian dalam pengadaan tanah diberikan untuk

hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan

tanah. Besarannya kerugian ditaksir dan diusulkan oleh P2T.

Keppres nomor 55 tahun 1993 tersebut diganti dengan aturan baru, yakni

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Perpres

Nomor 65 Tahun 2006. Menurut Perpres, pengertian ganti rugi adalah penggantian

terhadap kerugian, baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan

tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda

lain yang berkaitan dengan tanah, dapat memberikan kelangsungan hidup yang

lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

Untuk mengimplementasikan Perpres Nomor 36 tahun 2005 jo Nomor 65

tahun 2006, terbit Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2007. Peraturan ini mengatur secara lebih terperinci tata cara

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, mulai

dari tahap perencanaan, penetapan lokasi, hingga tahapan dan tata cara pengadaan

tanah.

6

Tahun 2012, terbit UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pertimbangan utama diterbitkannya UU

ini adalah peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah

untuk pelaksanaan pembangunan. Berbeda dengan Perpres sebelumnya, UU ini

menetapkan bahwa ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak

yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Untuk memenuhi ketentuan pada pasal

59 UU Nomor 2 Tahun 2012, terbit Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

yang mengatur secara lebih detail penyelenggaraan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian, terbit pula Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah yang merupakan

pelaksanaan dari ketentuan pasal 111 ayat 2 Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Perpres

No. 71 Tahun 2012 telah mengalami beberapa perubahan, perubahan terakhir diatur

dalam Perpres No. 148 Tahun 2015 yang memuat perubahan mengenai biaya

operasional dan pelaksanaan untuk pengadaan tanah skala kecil atau di bawah lima

hektar.

1.1.3 Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang tahapan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum. Tahapan-tahapan tersebut adalah perencanaan,

persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.

Tahapan perencanaan diawali dengan penyusunan dokumen perencanaan

pengadaan tanah yang paling sedikit memuat maksud dan tujuan rencana

pembangunan, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana

7

pembangunan nasional serta daerah, letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan,

gambaran umum status tanah, perkiraan waktu pelaksanaan, perkiraan waktu

pelaksanaan pembangunan proyek, perkiraan nilai tanah dan rencana

penganggaran. Dokumen perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan kepada

pemerintah provinsi. Selanjutnya proses pengadaan tanah masuk pada tahapan

proses persiapan. Pada tahap ini instansi yang membutuhkan tanah dan pemerintah

provinsi melakukan pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi

rencana pembangunan, dan konsultasi publik. Pemberitahuan rencana

pembangunan ini disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi

pembangunan untuk kepentingan umum, baik langsung maupun tidak langsung.

Aktivitas pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan

pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Data awal

digunakan untuk pelaksanaan konsultasi publik pengadaan tanah. Konsultasi publik

ini mendapatkan kesepakatan lokasi pembangunan dari pihak yang berhak dan

masyarakat yang terkena dampak pembangunan. Kemudian kesepakatan

dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang dilanjutkan permohonan

penetapan.

1.1.4 Peran Penilai dalam Pengadaan Tanah

Agar hak-hak masyarakat yang terkena tanah benar-benar terjamin dan

terlindungi, dalam mentukan nilai ganti kerugian UU No. 2 Tahun 2012 menunjuk

lembaga independen yang bekerja secara objektif dan profesional. Undang-Undang

No. 2 Tahun 2012 pasal 31 mengatur tentang penilaian ganti kerugian, di mana

ganti kerugian atas pengadaan tanah dilakukan oleh Penilai Pertanahan. Penilai

pertanahan dalam UU No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 (angka 11), didefinisikan sebagai

8

orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional

yang telah mendapat ijin praktik dari Kementerian Keuangan dan telah mendapat

lisensi dari Lembaga Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) untuk menghitung

nilai atau harga objek pengadaan tanah

Penilai pertanahan merupakan poin penting yang dibahas dalam UU No. 2

Tahun 2012. Keberadaan Penilai sebagai pihak yang bertugas dalam melakukan

penilaian terhadap nilai tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum,

sangat menentukan hasil nilai ganti rugi yang akan diterima oleh pemegang hak

atas tanah.

Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Penilai Objek pengadaan

tanah merupakan Penilai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan

harus mendapatkan penetapan dari lembaga pertanahan. Penilai selanjutnya dalam

melaksanakan tugas wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang dilakukanya

sehingga pelanggaran terhadap kewajiban penilai pertanahan tersebut dikenakan

sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Definisi tersebut sangat jelas sekali jika bahwa dalam proses pengadaan

tanah, harus dilakukan oleh Penilai bersifat independen dan profesional. Hal ini

dimaksudkan agar penilaian tanah benar-benar dapat dipertanggung jawabkan

sehingga hak-hak masyarakat yang tanahnya diambil alih dapat terlindungi sesuai

dengan ketentunan perundang-undangan.

Independensi dan profesionalitas Penilai Pertanahan dalam proses

menentukan nilai ganti kerugian sangat dibutuhkan. Independensi Penilai

Pertanahan akan sangat dominan dalam mempertemukan kepentingan pemerintah

selaku pihak penyedia tanah dengan pemegang hak atas tanah dalam

9

mempertahankan hak-haknya, mengingat kasus-kasus pengadaan tanah sebagian

berujung pada tidak tercapainya kesepakatan mengenai bentuk dan besaran ganti

kerugian.

1.1.5 Pengadaan Tanah untuk Jalan Tembus

DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang merupakan

pusat pemerintahan memiliki peran sebagai pusat kegiatan nasional di mana fungsi

Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai “kota jasa”. Untuk mendukung fungsi tersebut

maka pembangunan yang dilakukan harus mendukung fungsi-fungsi pelayanan

kota yang dapat dinikmati dalam skala lokal, nasional maupun internasional.

Beberapa jenis pelayanan kota yang sangat diperlukan salah satunya adalah

pembangunan infrastruktur bidang jalan dan jembatan. Pembangunan jalan dan

jembatan merupakan prasarana transportasi yang terdiri dari pembangunan jalan

seperti jalan tembus, jalan inspeksi, jalan untuk jalur busway maupun subway dan

jembatan, baik yang melintasi sungai (parit) maupun jembatan yang melintasi jalan

yaitu jalan simpang tak sebidang berupa fly over maupun underpass.

Sebagai salah satu bentuk program pelayanan kepada masyarakat Jakarta,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, akan melakukan pembangunan infrastruktur

jalan, yaitu jalan tembus yang berlokasi di wilayah Kampung Warung Jengkol,

RW.13, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Kota Jakarta

Utara, Provinsi DKI Jakarta. Jalan tembus ini akan menghubungkan Jalan Kelapa

Gading Timur sampai dengan Terminal Pulo Gadung. Pembangunan jalan tembus

ini diharapkan dapat membantu distribusi arus lalu lintas untuk wilayah Jakarta

Timur dan Jakarta Utara.

10

1.2 Rumusan Masalah

Keberadaan lembaga Penilai (appraisal) tanah sebagai pihak yang bertugas

dalam proses penilaian terhadap tanah yang akan digunakan untuk kepentingan

umum akan menentukan nilai ganti kerugian yang akan diterima oleh pemegang

hak atas tanah. Harapan pemerintah dengan keberadaan penilai tanah dapat

memperlancar proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum dan masyarakat yang terkena pengadaan tanah dapat menerima besarnya

ganti kerugian. Untuk itu dalam proses perhitungan nilai ganti kerugian perlu

dilakukan analisis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang

berlaku saat ini, sehingga diperoleh nilai ganti kerugian yang layak dan adil sesuai

dengan mandatori undang-undang pengadaan tanah.

1.3 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia

sudah mulai banyak dilakukan. Rizky (2015), melakukan penelitian mengenai

mekanisme pelaksanaan pengadaan tanah untuk pemerintah ditinjau dari peraturan

perundang-undangan pengadaan tanah (studi pengadaan tanah jalan tol Kota

Medan-Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang). Adapun hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah jalan tol Kota Medan-Tebing

Tinggi telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

digunakan. Namun dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, baik kewenangan

BPN maupun kewenangan pemerintah daerah masih belum dilaksanakan secara

efektif, serta kewenangan pengawasan juga belum berjalan efektif karena banyak

warga sekitar belum mengerti undang-undang tersebut.

11

Simanjutak (2015), meneliti mengenai perlindungan hukum terhadap yang

berhak atas tanah ganti rugi tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa guna menghindari terjadinya

konflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu dengan

mengedepankan asas-asas dan ketentuan materil pengadaan tanah, adanya

transparansi dalam prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti kerugian yang

layak dan adil kepada pihak yang berhak atas tanah. Selanjutnya konsinyasi yang

disebabkan tidak sepakatnya akan besaran ganti rugi, tidak dapat dibenarkan karena

merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap rakyatnya. Selain itu,

perlindungan hukum terhadap pihak yang berhak atas tanah khususnya dalam hal

ganti rugi tanah harus berdasarkan kepada asas keadilan dan kelayakan dengan

memperhitungkan jaminan penggantian kerugian yang bersifat secara fisik dan

nonfisik, sehingga apabila hal ini dipenuhi, maka secara otomatis konsinyasi yang

disebabkan karena tidak sepakatnya harga ganti rugi menjadi tidak diperlukan lagi

keberadaannya

Adi (2013), melakukan analisis perkiraan ganti kerugian pada proses

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan menggunakan peraturan dan

perundang-undangan yang baru, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 dan

Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012. Hasil analisis tersebut menunjukkan

bahwa ganti kerugian meliputi ganti kerugian fisik dan non fisik.

Riko (2010), meneliti pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

dalam hubungannya dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan

pada pembangunan jalan tol trans Jawa di Kabupaten Tegal. Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan jalan tol trans Jawa di

12

Kabupaten Tegal mengalami keterlambatan, prosesnya baru pemasangan patok dan

pengukuran. Dalam hal penentuan ganti rugi melalui musyawarah juga belum

terjadi kesepakatan mengenai nilai ganti rugi tanah yang akan diterima masyarakat

yang terkena rencana dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Pemegang

hak atas tanah menganggap bahwa ganti rugi yang ditawarkan kepada pemegang

hak tidak sesuai dengan harga pasar setempat (umum). Adapun pengaruh yang

ditimbulkan terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena rencana pengadaan tanah,

diantaranya: 1) turunnya harga tanah; 2) menghambat pertumbuhan ekonomi

warga; dan 3) hilangnya rasa nyaman.

Haryanti (2007), melakukan penelitian di Kabupaten Wonogiri tentang

pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bagi pembangunan jalan

lintas Selatan di Kabupaten Wonogiri terkait bentuk dan dasar perhitungan ganti

rugi, hambatan-hambatan yang dihadapi, dampak yang terjadi bagi masyarakat

yang terkena proyek pembangunan jalan lintas tersebut. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengadaan tanah dilaksanakan dengan memperhatikan

prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Pelaksanaan musyawarah mufakat agar tercapai

kesepakatan. 2. Penetapan ganti kerugian berdasarkan harga dasar tanah setempat.

3. Pembayaran ganti kerugian dibayarkan secara langsung dan tunai kepada yang

berhak. 4. Hambatan-hambatan yang timbul dalam pengadaan tanah untuk

pembangunan jalan lintas Selatan Wonogiri adalah harga tanah harus sama tidak

ada perbedaan.

Lesmana (2011), melakukan penelitian pengadaan tanah pada normalisasi

Sungai Krukut, Jakarta dengan tujuan utama untuk mengetahui besarnya dana ganti

rugi yang diharapkan masyarakat. Responden merupakan masyarakat yang terkena

13

dampak dari normalisasi dan metode yang digunakan yaitu metode skala semantik

untuk mengkaji persepsi masyarakat, Willingness to Accept (WTA) untuk

mengestimasi nilai ganti rugi, dan regresi linier berganda untuk analisis faktor-

faktor yang mempengaruhi nilai WTA. Adapun hasil penelitiannya adalah nilai

ganti rugi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat untuk tanah dan bangunannya

sebesar Rp2.110.000 per m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut

adalah luas lahan, jarak tempat tinggal dengan sungai, pendidikan, status

kepemilikan lahan, dan jenis bangunan.

Belej dan Walacik (2008), melakukan penelitian pembebasan tanah untuk

kepentingan umum (public purpose) di Polandia dengan mengambil contoh

pembangunan jalan umum di Provinsi Warmia dan Mazury yang merupakan

provinsi terbesar ke empat di Polandia. Hasil penelitian bahwa pembebasan lahan

tidak berjalan lancar, karena ada perbedaan harga yang cukup besar (lebih kurang

dua kali lipat) yang diajukan oleh pemilik lahan dan pemerintah, di mana pemilik

lahan menuntut kompensasi yang adil yang meliputi semua komponen yang terdiri

dari (nilai pasar + jumlah kemungkinan kenaikkan harga tanah + kompensasi atas

biaya mendapatkan tanah yang baru + biaya pembelian tanah baru + biaya-biaya

lainnya) sedangkan undang-undang Polandia hanya memberikan kompensasi

sebesar nilai pasar. Kemudian ditempuh prosedur pencabutan hak namun

mendapatkan perlawanan dari pemilik tanah hingga 2 tahun lebih proses pengadaan

tanah belum dapat diselesaikan.

Todd dan McDonagh (2011), melakukan penelitian pada negara-negara

persemakmuran yang telah memiliki undang-undang pengadaan tanah untuk

meneliti apakah pada undang-undang tersebut selain memberikan ganti kerugian

14

sesuai nilai pasar juga pembayaran premium atau solatium, yaitu ganti kerugian

karena terhina, hilang rasa nyaman dan sebagai pelipur lara. Adapun hasil penelitian

adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Penelitian ini mengambil kasus rencana pengadaan tanah di Desa

Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah seluas lebih

kurang 8,1 Hektar yang akan digunakan untuk Baffer Zone Terminal Bahan Bakar

Minyak Tegal. Penelitian ini menghitung perkiraan nilai ganti kerugian yang harus

diberikan kepada masyarakat yang terkena pengadaan tanah sesuai dengan Undang-

Undang nomor 2 tahun 2012 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang

relevan, yaitu Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 dan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 2012.

Tabel 1.1 Pembayaran Kerugian Emosional (Solatium) di Berbagai Negara

Yuridiksi Pembayaran Premiun atau Solatium

New Zealand Ya, $2.000 untuk akuisisi tempat tinggal

Australia (federal) Ya, $10.000 untuk akuisisi tempat tinggal

Northern Territory Ya, untuk akuisisi tempat tinggal - kuantum tidak ditetapkan

Australia Barat Ya, hingga 10 persen dari nilai pasar

South Australia Tidak ada

Victoria Ya, Sampai dengan 10 persen dari nilai pasar

Tasmania Tidak ada

ACT Ya, $ 15,000 (diindeks terhadap inflasi sejak tahun 1994) untuk akuisisi

tempat tinggal

NSW Ya, sampai $ 15.000 untuk akuisisi tempat tinggal

Queensland Tidak ada

Kanada (Federal) Tidak ada

Wilayah Northwest Tidak ada

Yukon Tidak ada

Otario Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal

Nova Scotia Tidak ada

Newfoundland Tidak ada

Prince Edward Island Tidak ada

British Columbia Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal di mana penuntut

memenuhi ambang pendapatan

Manitoba Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal

Alberta parsial, 5 persen dari nilai pasar untuk menutupi biaya gangguan atau biaya

yang sebenarnya jika lebih besar dari 5 persen

Saskatchewan Tidak ada

New Brunswick Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal ditambah 5 persen

jika pemilik diwajibkan untuk menyerahkan kepemilikan fisik

Quebec Tidak ada

Inggris Raya Ya, 10 persen untuk akuisisi tempat tinggal dan satu tahun

15

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:

1. lokasi dan waktu penelitian di Provinsi DKI Jakarta dengan waktu penelitian

bulan Oktober 2015;

2. penilaian untuk menghitung nilai ganti kerugian untuk kegiatan pengadaan tanah

bagi kepentingan umum adalah pendekatan penilaian yang diatur dalam Standar

Penilaian Indonesia 306 (SPI 306).

1.4 Tujuan Penelitian

Peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan

kepentingan umum telah terbit, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012,

Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPN RI nomor 5

tahun 2012, serta dalam pelaksanaannya Asosiasi Penilai atau MAPPI yang diakui

di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2008 telah

mengeluarkan Standar Penilaian Indonesia 306 yang menjadi pedoman bagi Penilai

dalam merumuskan besaran nilai ganti rugi pengadaan tanah pembangunan untuk

kepentingan umum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses dan

perkiraan nilai ganti kerugian pada proses pengadaan tanah yang dilakukan di

Kampung Warung Jengkol, RW.13, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan

Kelapa Gading, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.

16

1.5 Manfaat Penelitian

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan atau

manfaat sebagai berikut.

1. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu penilaian terutama penilaian

untuk tujuan perhitungan besarnya ganti kerugian pada pengadaan tanah dalam

rangka pembangunan untuk kepentingan umum.

2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada para pihak yang terlibat dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam hal menentukan besarnya

ganti kerugian yang akan diberikan kepada warga masyarakat yang terkena

pembebasan lahan untuk meminimalkan keberatan atau bahkan tuntutan dari

warga masyarakat dimaksud.

3. Sebagai referensi untuk penelitian yang akan datang dengan kajian yang lebih

mendalam.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab di mana gambaran umum

tiap-tiap bab adalah sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang,

keaslian penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka membahas tentang dasar hukum pengadaan

tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum di beberapa negara, landasan

teori yang mencakup standar operasional prosedur pengadaan tanah, panduan

penerapan penilaian Indonesia, proses penilaian dan pendekatan penilaian yang

digunakan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Bab III Metode

Penelitian berisi uraian tentang gambaran umum lokasi penelitian, proses penilaian,

analat analisis dan definisi dari istilah yang digunakan. Bab IV Hasil Penelitian

17

berisi ganti kerugian fisik dan ganti kerugian non fisik dan Bab V Kesimpulan

merupakan hasil dari penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan serta

saran-saran dari penulis untuk penelitian yang akan datang.