BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan tersebut adalah melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Undang-Undang
Dasar 1945).
Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah
pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum,
ruang lingkupnya mencakup pembangunan berbagai insfrastruktur dan fasilitas
umum.
Berbagai macam pembangunan untuk kepentingan umum, dalam
pelaksanaannya memerlukan ketersediaan lahan atau tanah yang sangat luas. Tanah
(lahan) dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
berhasil tidaknya suatu pembangunan. Keterbatasan ketersediaan tanah yang
dikuasai Negara, sering kali lokasi tanah yang diperlukan pembangunan untuk
kepentingan umum merupakan tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat,
bahkan tidak jarang lokasi merupakan pemukiman penduduk atau lahan mata
pencaharian penduduk. Persoalan muncul ketika lokasi pembangunan yang akan
dilakukan tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain. Pada kasus ini, masyarakat
2
sebagai pemegang hak atas tanah atau yang menguasai tanah pada lokasi yang
dibutuhkan untuk kepentingan pembangunan harus melepaskan tanahnya.
Masyarakat sebagai pemilik tanah tidak pada posisi ingin menyerahkan tanahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut, maka pemerintah perlu melakukan
proses yang disebut pengadaan tanah.
1.1.1 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Istilah “pengadaan tanah” secara yuridis pertama kali dikenal sejak keluarnya
Keputusan Presiden (Keppres) No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah tersebut. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005
sebagai penganti Keppres di atas, menyebutkan bahwa pengadaan tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah.
Perubahan istilah terakhir diterangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak
yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.
3
Objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan
dan tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Pengertian pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Pengadaan
tanah dengan demikian dapat disimpulkan merupakan kegiatan pelepasan hak atas
tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk
kepentingan umum.
Proses pengadaan tanah harus mengedepankan prinsip yang terkandung di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum tanah nasional. Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai tanah Negara tersebut,
memberikan wewenang kepada Negara, diantaranya untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air,
dan ruang angkasa. Sehubungan dengan kewenangan ini, untuk menyelenggarakan
penyediaan tanah untuk kepentingan umum pemerintah dapat mencabut hak-hak
atas tanah dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur
dengan undang-undang, apabila upaya melalui cara musyawarah gagal membawa
hasil.
Pencabutan hak atas tanah oleh Negara untuk kepentingan umum harus
dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan sebaiknya harus diperoleh
melalui musyawarah. Melalui proses musyawarah pengambilan hak atas tanah
4
untuk kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Melalui proses musyawarah terjadinya sengketa akan jarang terjadi. Namun pada
kenyataannya, praktek pengadaan tanah, masih sering terjadi sengketa antara
pemerintah dengan pemilik tanah baik sebagai perseorangan maupun badan hukum
yang terkena proyek pembebasan lahan.
Proses pengadaan tanah dalam perkembangannya memiliki sejarah yang
panjang dan rumit. Pengadaan tanah untuk pembangunan sudah dilakukan sejak
zaman Kolonial Belanda dan dalam prakteknya proses pengadaan tanah sering
sekali timbul masalah konflik serta perselisihan antara pemerintah dengan pemilik
tanah. Terjadinya konflik dan peselisihan seringkali dikerenakan tidak sesuainya
nilai ganti kerugian hak atas tanah dan berbagai aspek lain yang melekat pada tanah
tersebut.
1.1.2 Instrumen Hukum Pengadaan Tanah di Indonesia
Instrumen hukum yang mengatur besaran nilai ganti rugi sudah ada sejak
tahun 1960, yaitu lewat UU nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria. Mekanisme ganti rugi lalu dipertegas melalui Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang
ada di Atasnya. Pada tahun 1973 terbit Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun
1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Asasi Atas Tanah dan Benda-benda
yang ada di atasnya. Inpres ini merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Pelaksanaan
pengadaan tanah dalam Impres ini masih diserahkan pada Panitia Penaksir Tanah
seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
5
Dua tahun setelah terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 1973, kemudian terbit
Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata
Cara Pengadaan Tanah. Pada Permendagri ini muncul dua istilah baru, yaitu
Pengadaan tanah dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Adapun yang dimaksud
dengan pengadaan tanah adalah melepaskan hubungan-hubungan hukum yang
semula terdapat di antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara
memberikan ganti rugi. Perkembangan selanjutnya, terbit Keppres Nomor 55 tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Pada Keppres ini, ganti kerugian dalam pengadaan tanah diberikan untuk
hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah. Besarannya kerugian ditaksir dan diusulkan oleh P2T.
Keppres nomor 55 tahun 1993 tersebut diganti dengan aturan baru, yakni
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Perpres
Nomor 65 Tahun 2006. Menurut Perpres, pengertian ganti rugi adalah penggantian
terhadap kerugian, baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan
tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah, dapat memberikan kelangsungan hidup yang
lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Untuk mengimplementasikan Perpres Nomor 36 tahun 2005 jo Nomor 65
tahun 2006, terbit Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2007. Peraturan ini mengatur secara lebih terperinci tata cara
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, mulai
dari tahap perencanaan, penetapan lokasi, hingga tahapan dan tata cara pengadaan
tanah.
6
Tahun 2012, terbit UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pertimbangan utama diterbitkannya UU
ini adalah peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah
untuk pelaksanaan pembangunan. Berbeda dengan Perpres sebelumnya, UU ini
menetapkan bahwa ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Untuk memenuhi ketentuan pada pasal
59 UU Nomor 2 Tahun 2012, terbit Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
yang mengatur secara lebih detail penyelenggaraan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian, terbit pula Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah yang merupakan
pelaksanaan dari ketentuan pasal 111 ayat 2 Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Perpres
No. 71 Tahun 2012 telah mengalami beberapa perubahan, perubahan terakhir diatur
dalam Perpres No. 148 Tahun 2015 yang memuat perubahan mengenai biaya
operasional dan pelaksanaan untuk pengadaan tanah skala kecil atau di bawah lima
hektar.
1.1.3 Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang tahapan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Tahapan-tahapan tersebut adalah perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Tahapan perencanaan diawali dengan penyusunan dokumen perencanaan
pengadaan tanah yang paling sedikit memuat maksud dan tujuan rencana
pembangunan, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana
7
pembangunan nasional serta daerah, letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan,
gambaran umum status tanah, perkiraan waktu pelaksanaan, perkiraan waktu
pelaksanaan pembangunan proyek, perkiraan nilai tanah dan rencana
penganggaran. Dokumen perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan kepada
pemerintah provinsi. Selanjutnya proses pengadaan tanah masuk pada tahapan
proses persiapan. Pada tahap ini instansi yang membutuhkan tanah dan pemerintah
provinsi melakukan pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi
rencana pembangunan, dan konsultasi publik. Pemberitahuan rencana
pembangunan ini disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, baik langsung maupun tidak langsung.
Aktivitas pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Data awal
digunakan untuk pelaksanaan konsultasi publik pengadaan tanah. Konsultasi publik
ini mendapatkan kesepakatan lokasi pembangunan dari pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak pembangunan. Kemudian kesepakatan
dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang dilanjutkan permohonan
penetapan.
1.1.4 Peran Penilai dalam Pengadaan Tanah
Agar hak-hak masyarakat yang terkena tanah benar-benar terjamin dan
terlindungi, dalam mentukan nilai ganti kerugian UU No. 2 Tahun 2012 menunjuk
lembaga independen yang bekerja secara objektif dan profesional. Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 pasal 31 mengatur tentang penilaian ganti kerugian, di mana
ganti kerugian atas pengadaan tanah dilakukan oleh Penilai Pertanahan. Penilai
pertanahan dalam UU No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 (angka 11), didefinisikan sebagai
8
orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional
yang telah mendapat ijin praktik dari Kementerian Keuangan dan telah mendapat
lisensi dari Lembaga Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) untuk menghitung
nilai atau harga objek pengadaan tanah
Penilai pertanahan merupakan poin penting yang dibahas dalam UU No. 2
Tahun 2012. Keberadaan Penilai sebagai pihak yang bertugas dalam melakukan
penilaian terhadap nilai tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum,
sangat menentukan hasil nilai ganti rugi yang akan diterima oleh pemegang hak
atas tanah.
Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Penilai Objek pengadaan
tanah merupakan Penilai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
harus mendapatkan penetapan dari lembaga pertanahan. Penilai selanjutnya dalam
melaksanakan tugas wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang dilakukanya
sehingga pelanggaran terhadap kewajiban penilai pertanahan tersebut dikenakan
sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Definisi tersebut sangat jelas sekali jika bahwa dalam proses pengadaan
tanah, harus dilakukan oleh Penilai bersifat independen dan profesional. Hal ini
dimaksudkan agar penilaian tanah benar-benar dapat dipertanggung jawabkan
sehingga hak-hak masyarakat yang tanahnya diambil alih dapat terlindungi sesuai
dengan ketentunan perundang-undangan.
Independensi dan profesionalitas Penilai Pertanahan dalam proses
menentukan nilai ganti kerugian sangat dibutuhkan. Independensi Penilai
Pertanahan akan sangat dominan dalam mempertemukan kepentingan pemerintah
selaku pihak penyedia tanah dengan pemegang hak atas tanah dalam
9
mempertahankan hak-haknya, mengingat kasus-kasus pengadaan tanah sebagian
berujung pada tidak tercapainya kesepakatan mengenai bentuk dan besaran ganti
kerugian.
1.1.5 Pengadaan Tanah untuk Jalan Tembus
DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang merupakan
pusat pemerintahan memiliki peran sebagai pusat kegiatan nasional di mana fungsi
Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai “kota jasa”. Untuk mendukung fungsi tersebut
maka pembangunan yang dilakukan harus mendukung fungsi-fungsi pelayanan
kota yang dapat dinikmati dalam skala lokal, nasional maupun internasional.
Beberapa jenis pelayanan kota yang sangat diperlukan salah satunya adalah
pembangunan infrastruktur bidang jalan dan jembatan. Pembangunan jalan dan
jembatan merupakan prasarana transportasi yang terdiri dari pembangunan jalan
seperti jalan tembus, jalan inspeksi, jalan untuk jalur busway maupun subway dan
jembatan, baik yang melintasi sungai (parit) maupun jembatan yang melintasi jalan
yaitu jalan simpang tak sebidang berupa fly over maupun underpass.
Sebagai salah satu bentuk program pelayanan kepada masyarakat Jakarta,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, akan melakukan pembangunan infrastruktur
jalan, yaitu jalan tembus yang berlokasi di wilayah Kampung Warung Jengkol,
RW.13, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Kota Jakarta
Utara, Provinsi DKI Jakarta. Jalan tembus ini akan menghubungkan Jalan Kelapa
Gading Timur sampai dengan Terminal Pulo Gadung. Pembangunan jalan tembus
ini diharapkan dapat membantu distribusi arus lalu lintas untuk wilayah Jakarta
Timur dan Jakarta Utara.
10
1.2 Rumusan Masalah
Keberadaan lembaga Penilai (appraisal) tanah sebagai pihak yang bertugas
dalam proses penilaian terhadap tanah yang akan digunakan untuk kepentingan
umum akan menentukan nilai ganti kerugian yang akan diterima oleh pemegang
hak atas tanah. Harapan pemerintah dengan keberadaan penilai tanah dapat
memperlancar proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum dan masyarakat yang terkena pengadaan tanah dapat menerima besarnya
ganti kerugian. Untuk itu dalam proses perhitungan nilai ganti kerugian perlu
dilakukan analisis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini, sehingga diperoleh nilai ganti kerugian yang layak dan adil sesuai
dengan mandatori undang-undang pengadaan tanah.
1.3 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia
sudah mulai banyak dilakukan. Rizky (2015), melakukan penelitian mengenai
mekanisme pelaksanaan pengadaan tanah untuk pemerintah ditinjau dari peraturan
perundang-undangan pengadaan tanah (studi pengadaan tanah jalan tol Kota
Medan-Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang). Adapun hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah jalan tol Kota Medan-Tebing
Tinggi telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
digunakan. Namun dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, baik kewenangan
BPN maupun kewenangan pemerintah daerah masih belum dilaksanakan secara
efektif, serta kewenangan pengawasan juga belum berjalan efektif karena banyak
warga sekitar belum mengerti undang-undang tersebut.
11
Simanjutak (2015), meneliti mengenai perlindungan hukum terhadap yang
berhak atas tanah ganti rugi tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa guna menghindari terjadinya
konflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu dengan
mengedepankan asas-asas dan ketentuan materil pengadaan tanah, adanya
transparansi dalam prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak atas tanah. Selanjutnya konsinyasi yang
disebabkan tidak sepakatnya akan besaran ganti rugi, tidak dapat dibenarkan karena
merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap rakyatnya. Selain itu,
perlindungan hukum terhadap pihak yang berhak atas tanah khususnya dalam hal
ganti rugi tanah harus berdasarkan kepada asas keadilan dan kelayakan dengan
memperhitungkan jaminan penggantian kerugian yang bersifat secara fisik dan
nonfisik, sehingga apabila hal ini dipenuhi, maka secara otomatis konsinyasi yang
disebabkan karena tidak sepakatnya harga ganti rugi menjadi tidak diperlukan lagi
keberadaannya
Adi (2013), melakukan analisis perkiraan ganti kerugian pada proses
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan menggunakan peraturan dan
perundang-undangan yang baru, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 dan
Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012. Hasil analisis tersebut menunjukkan
bahwa ganti kerugian meliputi ganti kerugian fisik dan non fisik.
Riko (2010), meneliti pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dalam hubungannya dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
pada pembangunan jalan tol trans Jawa di Kabupaten Tegal. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan jalan tol trans Jawa di
12
Kabupaten Tegal mengalami keterlambatan, prosesnya baru pemasangan patok dan
pengukuran. Dalam hal penentuan ganti rugi melalui musyawarah juga belum
terjadi kesepakatan mengenai nilai ganti rugi tanah yang akan diterima masyarakat
yang terkena rencana dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Pemegang
hak atas tanah menganggap bahwa ganti rugi yang ditawarkan kepada pemegang
hak tidak sesuai dengan harga pasar setempat (umum). Adapun pengaruh yang
ditimbulkan terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena rencana pengadaan tanah,
diantaranya: 1) turunnya harga tanah; 2) menghambat pertumbuhan ekonomi
warga; dan 3) hilangnya rasa nyaman.
Haryanti (2007), melakukan penelitian di Kabupaten Wonogiri tentang
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bagi pembangunan jalan
lintas Selatan di Kabupaten Wonogiri terkait bentuk dan dasar perhitungan ganti
rugi, hambatan-hambatan yang dihadapi, dampak yang terjadi bagi masyarakat
yang terkena proyek pembangunan jalan lintas tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengadaan tanah dilaksanakan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Pelaksanaan musyawarah mufakat agar tercapai
kesepakatan. 2. Penetapan ganti kerugian berdasarkan harga dasar tanah setempat.
3. Pembayaran ganti kerugian dibayarkan secara langsung dan tunai kepada yang
berhak. 4. Hambatan-hambatan yang timbul dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan lintas Selatan Wonogiri adalah harga tanah harus sama tidak
ada perbedaan.
Lesmana (2011), melakukan penelitian pengadaan tanah pada normalisasi
Sungai Krukut, Jakarta dengan tujuan utama untuk mengetahui besarnya dana ganti
rugi yang diharapkan masyarakat. Responden merupakan masyarakat yang terkena
13
dampak dari normalisasi dan metode yang digunakan yaitu metode skala semantik
untuk mengkaji persepsi masyarakat, Willingness to Accept (WTA) untuk
mengestimasi nilai ganti rugi, dan regresi linier berganda untuk analisis faktor-
faktor yang mempengaruhi nilai WTA. Adapun hasil penelitiannya adalah nilai
ganti rugi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat untuk tanah dan bangunannya
sebesar Rp2.110.000 per m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut
adalah luas lahan, jarak tempat tinggal dengan sungai, pendidikan, status
kepemilikan lahan, dan jenis bangunan.
Belej dan Walacik (2008), melakukan penelitian pembebasan tanah untuk
kepentingan umum (public purpose) di Polandia dengan mengambil contoh
pembangunan jalan umum di Provinsi Warmia dan Mazury yang merupakan
provinsi terbesar ke empat di Polandia. Hasil penelitian bahwa pembebasan lahan
tidak berjalan lancar, karena ada perbedaan harga yang cukup besar (lebih kurang
dua kali lipat) yang diajukan oleh pemilik lahan dan pemerintah, di mana pemilik
lahan menuntut kompensasi yang adil yang meliputi semua komponen yang terdiri
dari (nilai pasar + jumlah kemungkinan kenaikkan harga tanah + kompensasi atas
biaya mendapatkan tanah yang baru + biaya pembelian tanah baru + biaya-biaya
lainnya) sedangkan undang-undang Polandia hanya memberikan kompensasi
sebesar nilai pasar. Kemudian ditempuh prosedur pencabutan hak namun
mendapatkan perlawanan dari pemilik tanah hingga 2 tahun lebih proses pengadaan
tanah belum dapat diselesaikan.
Todd dan McDonagh (2011), melakukan penelitian pada negara-negara
persemakmuran yang telah memiliki undang-undang pengadaan tanah untuk
meneliti apakah pada undang-undang tersebut selain memberikan ganti kerugian
14
sesuai nilai pasar juga pembayaran premium atau solatium, yaitu ganti kerugian
karena terhina, hilang rasa nyaman dan sebagai pelipur lara. Adapun hasil penelitian
adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Penelitian ini mengambil kasus rencana pengadaan tanah di Desa
Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah seluas lebih
kurang 8,1 Hektar yang akan digunakan untuk Baffer Zone Terminal Bahan Bakar
Minyak Tegal. Penelitian ini menghitung perkiraan nilai ganti kerugian yang harus
diberikan kepada masyarakat yang terkena pengadaan tanah sesuai dengan Undang-
Undang nomor 2 tahun 2012 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
relevan, yaitu Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 2012.
Tabel 1.1 Pembayaran Kerugian Emosional (Solatium) di Berbagai Negara
Yuridiksi Pembayaran Premiun atau Solatium
New Zealand Ya, $2.000 untuk akuisisi tempat tinggal
Australia (federal) Ya, $10.000 untuk akuisisi tempat tinggal
Northern Territory Ya, untuk akuisisi tempat tinggal - kuantum tidak ditetapkan
Australia Barat Ya, hingga 10 persen dari nilai pasar
South Australia Tidak ada
Victoria Ya, Sampai dengan 10 persen dari nilai pasar
Tasmania Tidak ada
ACT Ya, $ 15,000 (diindeks terhadap inflasi sejak tahun 1994) untuk akuisisi
tempat tinggal
NSW Ya, sampai $ 15.000 untuk akuisisi tempat tinggal
Queensland Tidak ada
Kanada (Federal) Tidak ada
Wilayah Northwest Tidak ada
Yukon Tidak ada
Otario Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal
Nova Scotia Tidak ada
Newfoundland Tidak ada
Prince Edward Island Tidak ada
British Columbia Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal di mana penuntut
memenuhi ambang pendapatan
Manitoba Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal
Alberta parsial, 5 persen dari nilai pasar untuk menutupi biaya gangguan atau biaya
yang sebenarnya jika lebih besar dari 5 persen
Saskatchewan Tidak ada
New Brunswick Ya, 5 persen dari nilai pasar untuk akuisisi tempat tinggal ditambah 5 persen
jika pemilik diwajibkan untuk menyerahkan kepemilikan fisik
Quebec Tidak ada
Inggris Raya Ya, 10 persen untuk akuisisi tempat tinggal dan satu tahun
15
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:
1. lokasi dan waktu penelitian di Provinsi DKI Jakarta dengan waktu penelitian
bulan Oktober 2015;
2. penilaian untuk menghitung nilai ganti kerugian untuk kegiatan pengadaan tanah
bagi kepentingan umum adalah pendekatan penilaian yang diatur dalam Standar
Penilaian Indonesia 306 (SPI 306).
1.4 Tujuan Penelitian
Peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum telah terbit, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012,
Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPN RI nomor 5
tahun 2012, serta dalam pelaksanaannya Asosiasi Penilai atau MAPPI yang diakui
di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2008 telah
mengeluarkan Standar Penilaian Indonesia 306 yang menjadi pedoman bagi Penilai
dalam merumuskan besaran nilai ganti rugi pengadaan tanah pembangunan untuk
kepentingan umum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses dan
perkiraan nilai ganti kerugian pada proses pengadaan tanah yang dilakukan di
Kampung Warung Jengkol, RW.13, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan
Kelapa Gading, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
16
1.5 Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan atau
manfaat sebagai berikut.
1. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu penilaian terutama penilaian
untuk tujuan perhitungan besarnya ganti kerugian pada pengadaan tanah dalam
rangka pembangunan untuk kepentingan umum.
2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada para pihak yang terlibat dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam hal menentukan besarnya
ganti kerugian yang akan diberikan kepada warga masyarakat yang terkena
pembebasan lahan untuk meminimalkan keberatan atau bahkan tuntutan dari
warga masyarakat dimaksud.
3. Sebagai referensi untuk penelitian yang akan datang dengan kajian yang lebih
mendalam.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab di mana gambaran umum
tiap-tiap bab adalah sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang,
keaslian penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka membahas tentang dasar hukum pengadaan
tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum di beberapa negara, landasan
teori yang mencakup standar operasional prosedur pengadaan tanah, panduan
penerapan penilaian Indonesia, proses penilaian dan pendekatan penilaian yang
digunakan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Bab III Metode
Penelitian berisi uraian tentang gambaran umum lokasi penelitian, proses penilaian,
analat analisis dan definisi dari istilah yang digunakan. Bab IV Hasil Penelitian