BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar...

21
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi geografi merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasikan pada masalah atau gejala yang muncul sehubungan dengan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu geografi mempelajari aspek gejala keruangan di permukaan bumi yang mengambil manusia sebagai objek pokok, yang di dalamnya termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas sosial, aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik (Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4). Dalam geografi terpadu (integrated geography) untuk mendekati atau menghampiri masalah dalam geografi digunakan bermacam-macam pendekatan atau hampiran (approach) yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologi (ecological approach) dan pendekatan kompleks wilayah (regional approach) (Bintarto dan Hadisumarno, 1979:12). Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu geografi mempelajari aspek gejala keruangan di permukaan bumi yang mengambil manusia sebagai objek pokok, yang di dalamnya termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas sosial, aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik (Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4).

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi geografi merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasikan pada

masalah atau gejala yang muncul sehubungan dengan adanya interaksi antara

manusia dengan lingkungannya. Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu

geografi mempelajari aspek gejala keruangan di permukaan bumi yang

mengambil manusia sebagai objek pokok, yang di dalamnya termasuk aspek

kependudukan, aspek aktivitas sosial, aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik

(Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4). Dalam geografi terpadu (integrated

geography) untuk mendekati atau menghampiri masalah dalam geografi

digunakan bermacam-macam pendekatan atau hampiran (approach) yaitu

pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologi (ecological

approach) dan pendekatan kompleks wilayah (regional approach) (Bintarto dan

Hadisumarno, 1979:12).

Geografi manusia sebagai cabang dari ilmu geografi mempelajari aspek

gejala keruangan di permukaan bumi yang mengambil manusia sebagai objek

pokok, yang di dalamnya termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas sosial,

aspek ekonomi, dan aspek aktivitas politik (Surastopo Hadisumarno, 1985 : 4).

2

Analisis keruangan terdapat tiga pola analisis berdasarkan dimensi ruang dan

waktu, yaitu :

1. Time based analysis adalah suatu analisa yang menekankan analisis

keruangan pada perbedaan waktu pada ruang yang sama.

2. Space based analysis adalah suatu analisa yang menekankan analisis

keruangan pada perbedaan ruang pada waktu yang sama.

3. Time space based analysis adalah gabungan antara time based analysis dan

space based analysis yaitu analisa yang menekankan analisis keruangan

pada waktu dan ruang yang berbeda.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pendidikan menengah

atas di Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman dipilih sebagai daerah penelitian

karena Kabupaten Sleman dipilih sebagai obyek penelitian karena memiliki

karekteristik sosial ekonomi yang heterogen yang disebabkan karena terdapat

berbagai kelompok sosial. Penduduk yang multi etnis dengan banyaknya

pendatang membuat fenomena demografi semakin menarik untuk diteliti. Penulis

menggunakan pola space based analysis yang merupakan salah satu pola dalam

pendekatan keruangan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengamati fenomena yang

sama pada daerah wilayah yang berbeda yang berdasarkan pada penelitian ini

adalah untuk mengamati keadaan pendidikan pada kecamatan yang terdapat di

wilayah kabupaten Sleman.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

3

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Akhmat, 2010).

Pentingnya peran pendidikan telah disadari pemerintah sejak kemerdekaan

bangsa Indonesia. Pada tahap awal, program yang diluncurkan adalah program

pemberantasan buta huruf, yang kemudian dilaksanakan secara lebih terencana

pada tahun 1951. Tahap selanjutnya pada tahun 1972 pemerintah

memperkenalkan Pendidikan Aksarawan Fungsional (Functional Literacy).

Program ini dilaksanakan dengan cara memberikan pelajaran membaca dan

menulis, sekaligus pelajaran berhitung dan keterampilan tertentu kepada

masyarakat yang buta huruf (BPS,1982 dalam Ananta dan Sri, 1985).

Tahap selanjutnya pemerintah mencanangkan program wajib belajar 6

tahun pada awal Repelita IV, hingga diperluas menjadi program wajib belajar 9

tahun pada awal Repelita VI, yang semakin ditegaskan dengan diberlakukannya

Undang-undang no.20 tahun 2003, dimana dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa

setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib

mengikuti pendidikan dasar.

Tabel 1.1-1 Persentase Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Usia Sekolah

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009

Wilayah

7-12 Tahun 13-15 tahun 16-18 Tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Kota Yogyakarta 100,00 100,00 86,13 94,29 76,12 77,41

Kab. Bantul 100,00 100,00 93,42 100,00 68,68 74,69

Kab. Kulon Progo 100,00 100,00 92,58 93,40 71,35 62,42

Kab. Gunung Kidul 99,13 99,03 90,39 91,67 61,15 57,06

Kab. Sleman 98,96 100,00 91,81 96,01 93,24 72,13

Provinsi DIY 99,51 99,81 91,50 95,59 74,23 70,34

Sumber : BPS, Susenas Kor Tahun 2009

4

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok umur 7-12 tahun

dan kelompok umur 13-15 tahun mendekati angka 100%. Hal tersebut dapat

diartikan bahwa hampir semua anak dalam kelompok umur 7-12 tahun dan

kelompok umur 13-15 tahun telah mendapatkan akses terhadap jenjang

pendidikannya masing-masing, kelompok umur 7-12 tahun merupakan umur yang

disarankan terhadap jenjang pendidikan SD. Kelompok umur 13-15 tahun

merupakan jenjang pendidikan SMP dan kelompok umur 16-18 tahun merupakan

jenjang pendidikan SMA. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa program wajib

belajar 9 tahun telah mengalami keberhasilan.

Tantangan utama yang muncul dengan adanya krisis dewasa ini adalah

pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Zamroni, 2000). Sumberdaya

manusia terdiri dari dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif. Dimensi kuantitatif

meliputi tenaga kerja dan partisipasi tenaga kerja. dimensi kualitatif meliputi

semua potensi yang terkandung pada setiap manusia, antara lain pikiran (ide),

pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memberi pengaruh terhadap kapasitas

kemampuan manusia untuk melaksanakan pekerjaan yang produktif.

Seiring dengan perkembangan dunia, Indonesia telah masuk pada era

globalisasi dan industrialisasi. Persaingan antar bangsa semakin ketat, Indonesia

membutuhkan sumberdaya manusia yang dapat menjadi kekuatan nyata bagi

pembangunan bangsa agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Sumberdaya

manusia yang dibutuhkan adalah sumberdaya manusia yang terampil dan

berkualitas, yang menguasai, mampu memanfaatkan serta mengembangkan ilmu

dan teknologi, berdisiplin diri dan mempunyai etos kerja tinggi (Broto K, 1993).

5

Pasar bebas ASEAN tahun 2003 merupakan salah satu contoh globalisasi

yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara. Pasar bebas ini membuka peluang bagi

tenaga kerja dari luar negeri untuk memasuki pasar kerja yang ada Indonesia dan

menambah ketatnya pesaingan untuk memperebutkan lapangan pekerjaan di

Indonesia. Hal yang menjadi perhatian adalah terdapat kemungkinan besar bahwa

tenaga kerja asing yang memasuki pasar kerja dalam negeri telah membekali diri

dengan pendidikan dan keterampilan yang lebih baik sehingga memiliki posisi

tawar yang lebih baik pula dalam pasar kerja.

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia mutlak diperlukan untuk

menghadapi era globalisasi dan industrialisasi., penduduk tidak akan mampu

bersaing dalam pasar kerja jika hanya mengandalkan bekal pendidikan dasar

mengingat banyak negara menginginkan tenaga kerja yang memuaskan yang

dilengkapi dengan kompetensi dan keahlian yang tidak bisa didapat lewat

pendidikan dasar.

Pendidikan menengah telah mendapatkan perhatian di banyak negara dan

mulai jadi perhatian utama pengambil kebijakan pendidikan dan peneliti di dunia

karena berperan penting meningkatkan kesehatan dan ikatan masyarakat serta

memacu pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menengah penting dalam sistem

pendidikan karena tidak hanya untuk menjembatani untuk melanjutkan ke

perguruan tinggi, tetapi juga menghubungkan sistem sekolah dengan dunia kerja.

Laporan bertajuk ”Global Education Digest 2011: Comparing Education

Statistics Across the World” hasil kajian UNESCO menjelaskan bahwa

pendidikan di banyak negara berkembang mulai bergeser pada pendidikan

6

menengah setelah pendidikan dasar mengalami kemajuan. Irina Bokova, Direktur

Jenderal UNESCO, mengungkapkan bahwa:

“Tidak bisa suatu negara melepaskan diri dari belitan kemiskinan

tanpa ekspansi yang cepat pada jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan menengah inilah bekal minimum untuk melengkapi anak-

anak muda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat

membuat mereka siap hidup dalam persaingan global”.

Kualitas pendidikan pada setiap propinsi mempengaruhi kualitas

pendidikan bangsa Indonesia. Pendidikan nasional akan baik apabila

pembangunan pendidikan pada setiap propinsi memiliki kualitas yang baik.

Tuntutan kebutuhan sumberdaya manusia yang lebih baik maka pemerintah telah

merintis program lanjutan, yaitu program pendidikan menengah universal.

Kebijakan ini dirancang sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan

sumberdaya manusia melalui peningkatan lulusan SMA. Program ini juga

diharapkan mampu mengurangi pernikahan dini yang masih dijumpai pada

beberapa daerah.

Kebijakan ini dilaksanakan di seluruh propinsi, termasuk di Kabupaten

Sleman. Kabupaten Sleman merupakan salah satu perintis program pendidikan

menengah universal 12 tahun ketika sebagian besar provinsi di Indonesia masih

berjuang menuntaskan program wajib belajar 9 tahun. Kabupaten Sleman sebagai

pusat pendidikan di Yogyakarta dapat menjadi andalan bagi bangsa Indonesia

untuk mencetak sumberdaya manusia yang lebih terampil dan berkualitas dalam

menghadapi persaingan global.

7

1.2 Perumusan Masalah

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan perhatian utama

pemerintah sejak lama. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk

meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah melalui bidang pendidikan.

Tahap awal dalam dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia

adalah dengan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun.

Tabel 1.2-1 Angka Partisipasi Kasar Kabupaten Sleman Tahun 2008-2012

Jenjang

Pendidikan

Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

SD/MI 115,67 116,40 116,42 116,45 116,51

SMP/MTs 115,01 115,87 115,48 113,68 113,70

SMA/SMK/MA 75,45 75,73 77,17 77,66 77,69

Sumber : SIPD Kabupaten Sleman Tahun 2012

Kabupaten Sleman secara konsisten ikut melaksanakan berbagai program

yang dicanangkan pemerintah termasuk program wajib belajar 9 tahun. Wujud

dari dukungan tersebut terlihat bahwa sejak tahun 2008, Kabupaten Sleman

mencatat angka partisipasi kasar (APK) yang tinggi, yaitu lebih dari 100 persen.

Berdasarkan hal tersebut, maka Kabupaten Sleman telah berhasil melaksanakan

program wajib belajar 9 tahun karena pemerintah telah menetapkan bahwa daerah

dengan APK lebih dari 80 persen dianggap berhasil dalam melaksanakan program

wajib belajar 9 tahun.

Keberhasilan tersebut telah dihadapkan pada dampak telah berlakunya

globalisasi. Salah satu dampak yang ditimbulkan berupa penyedia lapangan kerja

8

mensyaratkan calon tenaga kerja minimal yang diterima adalah lulusan SMA,

sementara pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) baru mencatat angka

partisipasi kasar sebesar 77,69 persen. Persentase tersebut menunjukkan bahwa

terdapat sekitar 22, 31 persen penduduk yang belum mendapatkan akses dalam

jenjang pendidikan menengah sehingga belum dapat dikatakan memuaskan.

Akibat dari keadaan tersebut, pada masa mendatang terdapat peluang bahwa

Kabupaten Sleman akan kehilangan generasi potensial bagi pembangunan.

Penduduk yang tetap memasuki persaingan kerja berbekal pendidikan dasar,

terdapat kemungkinan penduduk tidak akan mampu bersaing untuk

memperebutkan lapangan pekerjaan yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Menghadapi era globalisasi yang telah dimulai, penting bagi suatu bangsa

untuk menyediakan sumberdaya manusia yang mampu bersaing dengan bekal

pendidikan dan keterampilan yang memadai. Agar mampu bersaing dalam pasar

kerja, maka pendidikan menengah menjadi syarat minimal yang harus diperoleh

penduduk. Penduduk usia sekolah mempunyai pilihan pada jenjang pendidikan

menengah, yaitu pendidikan menengah umum dalam bentuk SMA dan

pendidikan menengah kejuruan dalam bentuk SMK. Berdasarkan uraian tersebut,

dapat dihasilkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana profil pendidikan menengah atas di wilayah Kabupaten Sleman?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keadaan guru dan murid pada jenjang pendidikan

menengah atas di Kabupaten Sleman.

9

2. Mengetahui distribusi APM dan APK pendidikan menengah atas di

Kabupaten Sleman.

3. Mengetahui variasi jumlah sekolah di kecamatan Kabupaten Sleman

secara spasial.

4. Mengetahui kualitas pendidikan menengah atas di kabupaten Sleman.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai syarat untuk melengkapi syarat mencapai gelar sarjana S-1

Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

2. Memberikan informasi bagi penentu kebijakan sebagai upaya untuk

mempersiapkan generasi muda dalam menentukan jenis pendidikan.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Kebijakan Pemerintah Terkait Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai

kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat

(1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap

warga negara berhak mendapat pendidikan; Ayat dua (2) menegaskan bahwa

setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya; Ayat tiga (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; Ayat (4) menugaskan

negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20

10

persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran

pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional.

Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting

dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20

persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran

pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.

Alokasi tersebut memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia menempatkan

pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari

semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan

negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan

pembangunan sumber daya manusia masa depan.

Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa salah

satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan

bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh

pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa

memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pendidikan merupakan

bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena

merupakan salah satu penentu kemajuan bangsa. Pendidikan bahkan merupakan

sarana paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan

masyarakat, serta yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai

kemakmuran.

11

1.5.2 Tinjauan Teoritis

Undang-undang No.20 tahun 2003 menjelaskan bahwa dunia pendidikan

formal di Indonesia terdiri dari 3 jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar 9

tahun yang meliputi jenjang SD dan SMP, pendidikan menengah yang terdiri atas

pendidikan menengah umum dan pendidika menengah kejuruan berbentuk

sekolah menengah atas (SMA), madrasah Aliyah (MA), yang Sekolah Menengah

Kejuruan, Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat, dan

Pendidikan Tinggi yang meliputi Diploma hingga Doktoral. Jenjang pendidikan

adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan

peserta didik, tujuan yang ingin dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi

jembatan antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sistem Pendidikan

Nasional yang berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003, pendidikan

menengah merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan dasar, yang terdiri

dari Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),

Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Tidak seperti

jenjang pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan menengah terdiri atas

pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Badan Stadar

Nasional Pendidikan merumuskan bahwa pendidikan menegah memiliki tujuan :

1. Tujuan pendidikan menengah atas adalah meningkatkan kecerdasan,

pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk

hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

12

2. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta

keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih

lanjut sesuai dengan kejuruannya (BSNP, 2006).

Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk

melihat akses pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Indikator ini

juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan

dengan sekolah. Umumnya terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama,

yaitu Angka Pasrtisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).

Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan,

perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia standar di setiap

jenjang pendidikan (BPS, 2010). Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia

yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan

yang terdapat dalam Undang-undang No.20 tahun 2003, yang ditampilkan pada

tabel berikut :

Tabel 1.5-1 Angka Usia Standar di setiap jenjang

pendidikan

Jenjang Pendidikan Kelompok Usia

Sekolah Dasar (SD) 7 – 12 tahun

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 13 – 15 tahun

Sekolah Menengah Atas (SMA) 16 – 18 tahun

Perguruan tinggi 19 tahun keatas

13

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun

usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah

penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat

pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur

daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan

(BPS,2010).

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang

berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.

APM menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat

pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indikator daya serap

penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan

APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat

partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai

dengan standar tersebut (BPS, 2010).

1.5.3 Pembangunan Sumberdaya Manusia

Boediarso (2004) mengungkapkan bahwa sumberdaya manusia sebagai

salah satu faktor produksi selain sumberdaya alam, modal, entrepreneur untuk

menghasilkan output. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka

semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarah

mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi

manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber

daya alam yang berlimpah.

14

Pengembangan sumberdaya manusia tidak dapat dipisahkan dari

pendidikan. Pendidikan memegang peranan untuk meningkatkan kecerdasan dan

keterampilan manusia. Kondisi ini sejalan dengan Teori Human Capital yang

mengemukakan keterkaitan antara pendidikan dengan keterampilan dan

kemampuan produksi tenaga kerja. Teori yang pertama kali dikemukakan oleh

Theodore Schulz pada tahun 1971 merupakan suatu aliran pemikiran yang

menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana

bentuk-bentuk kapital lainnya. Sebagai kapital, manusia sangat menentukan

pertumbuhan produktivitas bangsa. Melalui investasi dirinya sendiri, seseorang

dapat memperluas alternatif untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan lain

untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Human Capital ini dapat

diaplikasikan melalui berbagai bentuk investasi sumberdaya manusia, salah

satunya adalah pendidikan (Simanjuntak, 1985).

Mengenai human capital theory, Simanjuntak (1985) mengemukakan

bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui penigkatan

pendidikan, setiap tambahan satu tahun sekolah berarti disatu pihak meningkatkan

kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, dan dipihak lain menunda

penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam menjalani sekolah tersebut.

Disamping penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan harus

membayar biaya secara langsung, seperti uang sekolah, pembelian buku dan alat-

alat sekolah, tambahan uang transport dan lain lain. Investasi modal manusia

bertujuan untuk mningkatkan produktivitas kerja dan penghasilan. Human

15

capitaltheory mengenai pendidikan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan

apakah seseorang akan melanjutkan sekolah atau tidak.

Ahli-ahli ekonomi mengembangkan teori pembangunan yang didasari

kepada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan, yang

kemudian dikenal dengan istilah Investment in Human Capital. Teori yang

merupakan hasil pemikiran Theodore Schulz (1971) ini didasari pertimbangan

bahwa cara paling efisien dalam melakukan pembangunan nasional suatu negara

terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya. Selain itu dihipotesiskan

pula bahwa faktor utama yang mendukung pembangunan adalah pendidikan

masyarakat. Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan informal

merupakan instrumen terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki

produktivitas yang tinggi. Menurut teori ini, pertumbuhan dan pembangunan

memiliki 2 syarat, yaitu adanya pemanfaatan teknologi, dan adanya sumber daya

manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusia

seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan

teori human capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi

dalam meningkatkan produktivitas masyarakat. Asumsi dasar yang melandasi

keharusan adanya hubungan pendidikan dengan penyiapan tenaga kerja adalah

bahwa pendidikan diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan dan

pengetahuan utuk bekerja, dengan kata lain pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga

yang siap bekerja.

Becker (1993) dalam bukunya “Human Capital, A Theoretical and

Empirical Analysis with Special Reference to Education” menyebutkan bahwa

16

pendidikan dan pelatihan merupakan investasi yang paling penting dalam mutu

modal manusia. Banyak studi menunjukkan bahwa para pekerja yang

berpendidikan menengah ke atas dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat telah

mampu meningkatkan pendapatan yang diterima. Artinya, ada hubungan positif

antara pendidikan dan pendapatan yang diterima oleh para pekerja. Pendapatan

yang diterima oleh masyarakat yang lebih terdidik hampir selalu lebih besar dari

pendapatan rata-rata masyarakat secara keseluruhan. Dari temuan becker tersebut

dapat disimpulkan bahwa investasi di bidang pendidikan merupakan investasi

jangka panjang, lebih-lebih lagi apabila peserta didik mengikuti pendidikan tinggi.

Jelas hasilnya baru dapat dinikmati apabila peserta didik yang bersangkutan sudah

menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Dengan demikian, keuntungan dari

investasi di bidang pendidikan baru dapat dinikmati apabila sudah terjadi

peningkatan modal manusia. Dengan meningkatnya mutu modal manusia,

pendapatan yang diterima para lulusan akan meningkat, dan pada gilirannya

pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Orang yang memiliki tingkat

pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan

memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang

pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka

semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi

produktivitas dan hasil ekonomi nasionalnya akan tumbuh lebih tinggi (Elwin

Tobing, 2005).

Hatmadji (1985) memberikan pernyataan yang rinci berkaitan dengan

hubungan antara pendidikan dan modal manusia, yang didasarkan pada temuan

17

penelitiannya dengan mengolah data hasil sensus penduduk tahun 1980. temuan

penelitiannya adalah : Pertama, bahwa hubungan positif antara tingkat pendidikan

dan partisipasi angkatan kerja baru terlihat sesudah tingkat pendidikan SMTP,

sedangkan pola untuk pendidikan SMTP ke bawah ditemukan hubungan yang

negatif. Kedua, pekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan adalah mereka

yang pada umumnya dipilih berdasarkan kemampuannya. Semakin tinggi

pengetahuan dan kemampuan seseorang, semakin besar kesempatannya untuk

dipilih. Baik untuk pekerja perempuan maupun laki-laki, daerah pedesaan

maupun perkotaan, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan,

semakin besar persentase pekerja yang berstatus buruh/karyawan. Hal ini dapat

diartikan bahwa pendidikan memberi kesempatan untuk mendapatkan mutu modal

manusia. Ketiga, hubungan antara tingkat pendidikan seseorang dan salah satu

kelompok jenis pekerjaan yang diberi nama kelompok tenaga ahli/profesional

menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar persentase

pekerja yang termasuk dalam kelompok tenaga ahli tersebut.

Ace (1994) menjelaskan bahwa titik temu antara pendidikan dengan

pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja. Akibatnya, semakin besar

semakin besar pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu

masyarakat. Adanya peningkatan tersebut diharapkan mereka dapat memperbaiki

kesejahteraannya. Oleh karena itu, peningkatan pendidikan penduduk sangat

diperlukan meskipun investasi pendidikan baru dapat dirasakan setelah beberapa

tahun kemudian mengingat pendidikan merupakan bentuk investasi jangka

panjang.

18

Hendra (1986) menyebutkan bahwa schiller mengemukakan 3 alasan

utama mengapa jenjang pendidikan sangat mampengaruhi pendapatan. Pertama,

tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat produktivitas, baik secara

langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari pengetahuan dan

keterampilan. Kedua dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, akan

terbuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan

dalam hal-hal tertentu dapat berfungsi sebagai penyalur tenaga kerja. Dari

beberapa hal tersebut berarti apabila dibandingkan dengan pendidikan yang lebih

rendah, mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan perlakuan yang

lebih istimewa dalam pasar tenaga kerja

Wheeler (dalam Aris Ananta,1995) mengemukakan bahwa modal manusia

mempunyai kontribusi langsung dan tidak langsung dalam pertumbuhan ekonomi.

Kontribusi yang tidak langsung dari modal manusia terhadap pertumbuhan

ekonomi adalah melalui efeknya pada peningkatan ekspor hasil industri,

perbaikan kesehatan, dan penurunan angka kelahiran.

1.5.4 Tinjauan Empiris

Masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan di indonesia bukanlah

semata-mata disebabkan oleh aspek pendidikan itu sendiri, tetapi juga terkait

aspek-aspek yang lain. Tantangan dan hambatan penyelenggaraan pendidikan di

indonesia yaitu untuk lanjutan tingkat pertama atau lanjutan tingkat atas antara

lain terhambat oleh faktor sosial ekonomi dan faktor geografis (depdikbud, 1992).

Psacharopoulus dan Woodhall (1985) seperti dikutip

Chiemprachanarakorn (1999) menyatakan bahwa di negara sedang berkembang,

19

faktor yang sangat menentukan kemungkinan anak bersekolah pada jenjang yang

lebih tinggi adalah pendapatan rumah tangga. Orang tua dari rumah tangga miskin

kurang mendukung anak untuk ikut serta pada sekolah lanjutan. Orang tua lebih

suka jika anak-anak mampu memberikan kontribusi pada pendapatan rumah

tangga. Selain itu, rumah tangga miskin cenderung mempunyai lebih banyak

anak usia sekolah dan bertempat tinggal di perdesaan dengan akses ke sekolah

yang masih terbatas.

Ruth Daroesman dalam Beeby (1994) menyatakan bahwa bayaran sekolah

merupakan beban yang terus meningkat dan hampir tak terpikul di pundak orang

tua dari golongan miskin, sehingga beberapa mungkin tak sanggup sama sekali

mengirimkan anaknya ke sekolah, dan banyak lagi yang harus berhenti sekolah.

Terdapat perbedaan jelas dalam memberikan pendidikan terhadap dari keluarga

miskin dan keluarga kaya. Beeby (1994), keluarga kaya akan lebih banyak

menyalurkan uang untuk pendidikan. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat

pendidikan anak selain ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan atau jabatan

ayah. Semakin rendah tingkat pendidikan dan jabatan ayah akan semakin kecil

kesempatan seorang anak menyelesaikan pendidikannya.

Aspek sosial yang berupa tingkat pendidikan orang tua dan persepsi

masyarakat terhadap pendidikan juga memiliki peranan penting dalam pendidikan

anak. Tingkat pendidikan formal orang tua akan mempengaruhi cara pandang

orang tua terhadap pendidikan anaknya. Vaizey (1982) menyatakan bahwa dalam

keluarga, sebagian besar faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan anak yaitu

latar pendidikan orangtuanya.

20

Penelitian dengan judul “Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani terhadap

pendidikan anak di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman” yang dilakukan Endang

Widayati (1982) mendapatkan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada pendidikan

anak. Persentase anak laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan dalam

pendidikan dijumpai di dua (2) desa penelitian, yaitu Donokerto dan Girikerto,

kecuali pada jenjang pendidikan SD. Perbedaan proporsi anak laki-laki dan

perempuan yang bersekolah paling nyata pada jenjang pendidikan SMA.

Widayati memperkirakan kondisi ini disebabkan dua hal yang saling

mendukung. Pertama, kondisi ekonomi rumah tangga yang kurang baik

mengharuskan orang tua memilih anak yang akan tetap bersekolah. Orang tua di

kedua desa tersebut lebih memilih untuk mempertahankan anak laki-laki tetap

bersekolah daripada perempuan. Alasan yang banyak dikemukakan adalah karena

di masaa datang anak laki-laki harus bertanggungjawab penuh atas kehidupan

ekonomi rumahtangganya. Kedua, dari hasil penelitian tersebut juga diketahui

bahwa banyak diantara anak perempuan usia sekolah lanjutan atas tidak

bersekolah lagi karena akan atau telah berumahtangga. Kondisi ini disebabkan

masih adanya anggapan bahwa merupakan suatu aib apabila seorang anak

perempuan menikah dalam usia yang lebih tua.

Penelitian yang dilakukan Mas’ud (1995) bertujuan untuk mengetahui

faktor-faktor penyebab wanita usia 7-15 tahun di D.I.Aceh tidak bersekolah.

Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa residensi (desa-kota) merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bersekolah atau

tidak. Hal ini ditunjukkan dari proporsi putus sekolah di perdesaan yang

21

cenderung lebih tinggi (13,67%) dibanding perkotaan (6,67%). Angka tersebut

disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan. Di perdesaan jumlah dan daya

tampung, khususnya sekolah lanjutan, masih terbatas. Untuk bersekolah si tempat

lain yang lebih jauh dibutuhkan biaya tambahan untuk treansportasi. Akibatnya

lebih banyak anak yang memilih untuk tidak bersekolah lagi.

1.6 Kerangka Pemikiran

Gambar 1.6-1Diagram Alir Kerangka Pemikiran