BAB II@Landasan Teori -...
Transcript of BAB II@Landasan Teori -...
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Teori Pendidikan
Kajian utama tesis ini adalah penerapan teori belajar dari John Dewey
yang terkenal dengan teori “learning by doing”. Teori belajar ini merupakan sub
ordinat dari teori pendidikan. Karenanya sebelum membahas teori belajar
tersebut, perlu diuraikan pengertian teori pendidikan.
Menurut Moore (1974 : 3-5) istilah teori merujuk pada suatu usaha untuk
menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi seperti adanya. Selain itu teori juga
merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin terjadi di masa
datang. Pengertian ini mengandung makna bahwa fungsi teori adalah melakukan
prediksi. Teori juga diartikan sebagai kebalikan dari sebuah praktek. Moore
(1974 : 3-5) menambahkan bahwa hakekat teori pada dasarnya adalah
penjelasan terhadap sesuatu. Dari pengertian tersebut peran teori adalah
sebagai penjelasan tentang sejumlah asumsi, sesuatu yang terjadi, telah terjadi,
dan akan terjadi. Sejumlah aspek ini merujuk pada pola dari teori sebagai alat
untuk penjelasan logis dan membuat prediksi. Namun menurut Moore (1974 : 5)
pengertian teori seperti ini merupakan pengertian yang digunakan dalam sains
seperti fisika dan matematika. Sedangkan untuk kasus teori pendidikan
pengertian tersebut tidaklah terlalu tepat.
Jika dihubungkan dengan pendidikan maka teori pendidikan merupakan
seperangkat penjelasan yang rasional sistematis membahas tentang aspek-
aspek penting dalam pendidikan sebagai sebuah sistem. Mudyahardjo (2002 :
26) menjelaskan bahwa teori pendidikan adalah sebuah pandangan atau
20
serangkaian pendapat ihkwal pendidikan yang disajikan dalam sebuah sistem
konsep. Pendidikan sebagai sistem mengandung arti suatu kelompok tertentu
yang setidaknya memiliki hubungan khusus secara timbal balik dan memiliki
informasi.
Pengertian teori pendidikan memiliki perbedaan mendasar dibandingkan
dengan teori dalam sains. Teori pendidikan pada awalnya mengambil sedikit saja
dari tahap pengamatan atau eksperimen melalui metodis sistematis terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan konsep dan proses pendidikan. Teori
pendidikan yang dikemukakan tokoh-tokoh pendidikan klasik seperti Plato,
Rousseau, atau Froebel misalnya berakar pada asumsi khusus tentang apa yang
dapat dilakukan atau harus dilakukan dalam pendidikan, dan berdasarkan asumsi
tersebut memberikan rekomendasi tentang apa yang harus dilakukan oleh guru
atau pihak lain terhadap pendidikan. Karenanya pada awalnya pandangan
terhadap pendidikan seperti yang diungkapkan oleh Plato, Roesseau serta
lainnya tidaklah berdasar pengamatan empirik dan karenanya tidak pula dapat di
cek kebenarannya melalui pengujian metode ilmiah. Teori pendidikan tidaklah
bekerja seperti teori ilmiah, dan akibatnya tidak bisa pula mengambil validitas
dari metode ilmiah. Kebenaran dari sebuah teori pendidikan tidaklah ditentukan
berdasarkan paradigma ilmiah, tetapi memiliki cara dan polanya tersendiri.
Karakteristik yang berbeda antara teori sains dan teori pendidikan
memunculkan dua tipe atau jenis teori. Moore (1974 : 7) menjelaskan bahwa
teori terbagi menjadi 2, yaitu teori eksplanatori, yaitu teori sains dan teori
praktis, yaitu teori non sains (salah satunya adalah teori pendidikan). Artinya
bangunan teori yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan bukanlah teori yang
21
bersifat praktis tetapi eksplanatori atau penjelasan (deskriptif). Seorang ilmuwan
memiliki tugas untuk “menemukan sesuatu”. Sedangkan pendidikan bersifat
praktek. Dalam pendidikan yang terjadi adalah sesuatu yang melibatkan
tindakan, usaha merubah perilaku dan sikap seseorang, biasanya para peserta
didik atau siswa. Tugas seorang guru atau ahli pendidikan adalah untuk
“melakukan sesuatu”.
Dalam studinya, Hirst (1966 :55) mengemukakan bahwa teori pendidikan
adalah “It is the theory in principles, stating what ought to be done in a range of
practical activities…… educational theory as hierarchically situated between
practice and more general theory of knowledge from variety of forms” . Arti kata
praktek dalam pengertian ini merupakan entitas tunggal, sebuah hal ideal,
tentang “apa yang seharusnya” , daripada suatu tampilan apa adanya. Teori
pendidikan walaupun memiliki fungsi sebagai pedoman bertindak untuk sebuah
praktek pendidikan, tidaklah menutup kemungkinan memberikan penjelasan
terhadap apa yang terjadi. Namun karena konsep pendidikan sendiri adalah
sebuah praktek maka teori pendidikan cenderung bersifat praktis juga. Sebuah
teori pendidikan melibatkan tidak hanya penjelasan empirik jika ada, tetapi juga
hal ikhwal nilai dan memasukkan pandangan filosofis. Pada akhirnya walaupun
teori pendidikan saat ini telah diperkaya dan didasarkan pada sejumlah sumber
ilmu empirik seperti psikologi dan sosiologi misalnya, namun bagi Hirts dalam
artikelnya “Philosophy and Educational Theory” (Cohen, 1969 : 23), teori
pendidikan haruslah terlebih dahulu dimengerti sebagai landasan bagi
berlangsungnya praktek pendidikan, dan tidak dalam kacamata teori ilmiah.
Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan karakter yang penting antara teori
22
ilmiah dan teori pendidikan karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda dan
keduanya dibangun untuk melakukan pekerjaan yang berbeda pula. Dalam
sebuah teori pendidikan terdapat aspek-aspek penting yang dibahas (Rozycky :
1999), yaitu :
I. Theory of Value : what knowledge and skill are worthwhile learning ? what are the goals of education? (pembahasan tentang nilai apa yang layak dalam sebuah proses pendidikan. Nilai ini berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan apa yang layak dipelajari dan apa tujuan serta arah pendidikan)
II. Theory of Knowledge : what is knowledge ? how is it different from belief? What is mistake? A lie? (teori pengetahuan membahas tentang konsep dan jenis pengetahuan, pengetahuan seperti apa yang ada dalam sebuah proses pendidikan, bagaimana sebuah pengetahuan itu ditemukan, apa perbedaannya dengan keyakinan (asumsi awal) atau pendapat, dan seterusnya)
III. Theory of human nature : what is human being? How does it differ from other species? What are the limit of human potential? (aspek ini membahas tentang hakekat peserta didik dari sisi kemanusiaannya, peran dan posisi peserta didik dalam pendidikan, potensi manusia yang belajar, dan bagaimana manusia dengan potensinya dapat berkembang melalui pendidikan).
IV. Theory of Learning : what is learning? How skill and knowledge acquired? (membahas tentang konsep dan hakikat belajar, bagaimana siswa belajar,tujuan belajar, metode belajar, konten, serta proses pembelajaran)
V. Theory of Transmission : who is to teach? By what method? What will the curriculum be? (berkaitan dengan bagaimana sebuah proses pendidikan dijalankan, siapa target pendidikan, dengan cara apa proses pendidikan berlangsung, dan bagaimana pengembangannya?)
VI. Theory of Society : what is society? What institutions are involved in educational process? (pendidikan tidak bisa dilepaskan dari masyarakat, karenanya proses pendidikan perlu memperhatikan keberadaan dan perkembangan masyarakat serta lembaga lain yang langsung atau tidak berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan)
VII. Theory of Opportunity : who is to be educated ? who is to be schooled? (membahas sekitar target dan sasaran pendidikan, dan peluang serta kesempatan belajar)
VIII. Theory of Consensus : why do people disagree? How is consensus achieved? Whose opinion takes precedence? (teori konsensus berkaitan dengan kesepakatan atas terselenggaranya pendidikan, hal ini berhubungan dengan kebijakan dan politik pendidikan)
Tabel 2.1 Aspek-aspek dalam teori pendidikan
Berdasarkan uraian Rozycky tentang unsur-unsur dalam sebuah teori
pendidikan dapat disimpulkan aspek utama dalam sebuah teori pendidikan
23
tersurat dalam proses atau tindakan mendidik. Proses ini lebih dikenal secara
khusus sebagai proses belajar dan mengajar. Pembelajaran yang didalamnya
terdapat tindakan guru mengajar merupakan kegiatan nyata untuk
mengaplikasikan sebuah teori pendidikan. Sebaliknya menurut Moore (1974 : 12)
sebuah proses belajar di kelas bisa juga merupakan pedoman atau landasan
untuk membangun teori baru dan teori tersebut menjadi sumber bagi sebuah
pandangan filosofis atau ilmu pendidikan yang baru pula. Kaitan penjelasan
tersebut dapat diperlihatkan melalui skema berikut ini :
Bagan 2.1 Hubungan filsafat, teori dan prektek pendidikan
Ruang lingkup dari teori pendidikan pun terdiri dari teori umum dan teori
khusus. Moore (1974 : 12-13) menjelaskan yang dimaksud teori khusus
pendidikan membahas secara mendalam aspek pedagogis, seperti bagaimana
cara yang paling efektif untuk belajar dan mengajar. Teori belajar merupakan
salah satu dari teori khusus pendidikan. Sedangkan teori umum pendidikan
adalah teori yang luas dari segi cakupan dan tujuannya. Teori umum pendidikan
tidak hanya sebuah rekomendasi tentang kondisi pembelajaran yang efektif
tetapi juga rekomendasi untuk membentuk dan menghasilkan tipe manusia
tertentu, kadang-kadang juga tipe masyarakat ideal. Teori umum pendidikan
memperhatikan masalah sekitar membentuk manusia ideal dan pembahasannnya
Teori Pendidikan
Proses belajar
filsafat
24
tidak hanya bertumpu pada apa yang dianggap sebagai cara terbaik mengajar
tetapi meluas pada persoalan apa yang harus diajarkan dan untuk tujuan apa.
B. Teori Pendidikan John Dewey (1859-1952)
1. Sumber-sumber Pandangan John Dewey tentang Pendidikan
John Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont.
Dewey adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Archibald
Sprague Dewey dan Lucina Rich Dewey (Levine : 2001). Setelah lepas dari
Burlington High School pada tahun 1875, Dewey melanjutkan studinya di
Universitas Vermont sampai dengan tahun 1879 (Columbia Encyclopedia : 2003).
Setelah lulus dari Vermont, Dewey mengajar bahasa Latin (klasik), sains dan
aljabar selama dua tahun di sekolah menengah atas di South Oil City,
Pennsylvania (Levine : 2001). Dewey kembali ke Burlington pada tahun 1881,
belajar paruh waktu di Universitas Vermont, mendalami filsafat di bawah
bimbingan Professor Torrey. Kemudian Dewey berhasil mendapatkan gelar Ph.D
dalam bidang filsafat pada Universitas John Hopkins di Baltimore pada tahun
1884 dengan disertasinya “The Psychology of Kant” (Ecker : 1997). Salah
seorang pembimbing akademiknya , Morris menawarkan pekerjaan kepada
Dewey sebagai dosen yunior di Universitas Michigan. Dewey menduduki jabatan
sebagai instruktur filsafat dan mulai mengajar di universitas Michigan pada
September 1884 (Walker : 1997). Pada tahun 1886 Dewey ditunjuk sebagai
asisten professor dan menjadi salah satu pendiri klub “the Schoolmaster” (klub
filsafat) di Ann Arbor, Michigan (Maxcy, 2002 : xx-xxi).
25
Reputasi dan karir Dewey sebagai dosen semakin berkembang dengan
diterimanya tawaran mengajar di Universitas Minnesota. Di perguruan tinggi
inilah John Dewey menerima posisi sebagai professor dalam bidang filsafat
mental dan moral pada tahun 1988 (Ecker : 1997). Namun pekerjaan tersebut
hanya berlangsung selama setahun karena Dewey kembali ke Universitas
Michigan sampai dengan tahun 1894. Pada tahun tersebut Dewey direkrut oleh
William Rainey Harper untuk bergabung di Universitas Chicago. Di universitas
inilah Dewey memimpin fakultas yang membidangi tiga subyek sekaligus yaitu
filsafat, psikologi, dan pendidikan (memusatkan perhatian pada hubungan antara
guru sekolah dasar dan menengah dengan para pendidik di perguruan tinggi).
Atas usaha Dewey kemudian departemen pendidikan menjadi fakultas yang
berdiri sendiri. Dewey bekerja sebagai administrator dan guru besar di
Universitas Chicago dari tahun 1894-1904. Ketika bekerja di Universitas Chicago,
Dewey mendirikan “Laboratory School”. Sekolah ini berdiri pada tahun 1896,
pada saat pendiriannya “the Laboratory School” memiliki 2 instruktur dan 16
siswa. Pada tahun 1902, berkembang menjadi 23 guru yang terdiri dari alumnus
dari 10 universitas dan 140 siswa. Tahun-tahun perkembangannya, sekolah
Chicago ini menjadi inspirasi dan percontohan bagi lembaga pendidikan lain dan
cukup berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan serta teori pendidikan (World
Book,1993 : 177).
Segera setelah Dewey pensiun dari Universitas Chicago, Dia mendapat
tawaran posisi guru besar di Universitas Columbia dalam bidang filsafat dan
pendidikan yang bernaung dalam “Teacher College” (akademi guru). Universitas
Columbia merupakan tempat terakhir Dewey mengembangkan karir mengajarnya
26
sampai dia pensiun dari jabatan praktis pada tahun 1930. Namun Dewey masih
terus mengajar sebagai guru besar emeritus sampai tahun 1939. Walaupun
sepenuhnya berhenti mengajar sejak tahun 1939, Dewey tetap menghasilkan
karya berupa tulisan dan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah sampai saat-saat
akhir hidupnya pada tanggal 01 Juni 1952.
John Dewey terkenal sebagai seorang ahli filsafat sekaligus juga ahli
pendidikan Amerika yang pikiran-pikirannya mempengaruhi aliran progresive
pendidikan di Amerika Serikat pada pertengahan abad-20 (Brubacher, 1966 : 19-
20; Cremin, 1969 : 9-24 ; Wiles : 1998). Selama hidupnya Dewey konsisten pada
kajian filsafat, khususnya filsafat pendidikan dan mencoba membangun suatu
eksplanasi filosofis pragmatis untuk kemudian diterapkan dalam praktek
pendidikan. Selain berdiri di bawah payung pragmatisme, pandangan-pandangan
pendidikannya mendapat warna dari sejumlah pakar intelektual baik itu filsuf
maupun ilmuwan.
Masa hidupnya yang cukup panjang dimanfaatkan oleh Dewey untuk
menghasilkan setumpuk karya lintas bidang yang membuatnya menjadi tokoh
disegani. Dewey merupakan ilmuwan kreatif yang mampu membuat lebih dari
700 karya ilmiah berupa buku, artikel, dan kumpulan ceramah/pidato untuk tema
filsafat, pendidikan, seni, psikologi, masalah perempuan, buruh, politik, ekonomi,
dan lain-lain. Sejumlah karyanya yang monumental dalam bidang pendidikan,
misalnya “My Pedagogic Creed (1987)”, “The School and Society (1899)”, “The
Child and the Curriculum (1902)”, “ How We think (1910)”, “Interest and Effort in
Education (1913)”, “School of Tomorrow (1915)”, “Democracy and Education
27
(1916)”, “Experience and nature (1925)”, “Logic: The Theory of Inquiry (1938)”,
dan “Experience and Education (1938)”.
Pikiran pragmatisme pendidikan John Dewey berakar dan berkembang
pada sejumlah pemikiran pakar pendidikan sebelumnya. Teori pendidikan Dewey
yang pragmatis memusatkan perhatian pada makna kebenaran yang fungsional
dan berlaku untuk kepentingan rekonstruksi sosial masyarakat atau interaksi
masyarakat dengan lingkungannya agar masyarakat tersebut dapat bertahan dan
berkembang. Pragmatisme merupakan aliran filsafat Amerika yang beranggapan
bahwa konsekuensi dari sebuah tindakan dibatasi oleh kaidah moral tentang baik
dan buruk yang menyebabkan tindakan itu terjadi (Turner : 1996). Kebenaran
dari sebuah makna ditentukan oleh nilai guna atau manfaatnya. Sesuatu
dikatakan benar jika suatu itu memiliki kegunaan dan manfaat. Sebuah makna
dan kebenaran tidaklah bersifat statis. Kebenaran merupakan bagian dari
kehidupan, dan bahkan kebenaran itu sendiri dibuat oleh kehidupan yang sukses
(Buford, 1969 : 420). Filsafat pragmatis ini bertolak belakang dengan gaya
rasionalisme atau formalisme. Pengalaman merupakan sebuah tes terhadap
sebuah eksistensi nyata. Dengan kata lain, pragmatisme membangun standar
kebenaran pada sejumlah penilaian non rasional, seperti tindakan, pemenuhan
kebutuhan, hal-hal yang bersifat nyata, dan kemungkinan untuk bertahan hidup.
Pengaruh intelektual atas John Dewey dimulai ketika Dewey masuk dalam
kehidupan akademik di Universitas Vermont. Dari sinilah Dewey mulai
mempelajari filsafat Immanuel Kant (1724-1804). Dewey pada masa awal karir
akademisnya dipengaruhi oleh tradisi berpikir Kant (Maxcy : 2002). Dalam Kant,
Dewey menemukan klarifikasi yang berharga tentang masalah-masalah filosofis,
28
salah satunya tentang epistemologi berbasis pada aktivitas dan tindakan
daripada kepasifan akal, dan teori etika yang terinternalisasi dalam hukum moral
dengan mengidentifikasikannya berdasar pada alasan-alasan (kebutuhan)
manusia (Maxcy : 2000). Selain itu sikap skeptis atau ragu-ragu menjadi dasar
untuk mencari kebenaran melalui penelitian atau yang diistilahkan Kant sebagai
“empirical knowledge” (pengetahuan empiris) (Buford, 1969 : 22).
Ketika berada di Universitas John Hopkins, Dewey mulai dipengaruhi oleh
filsafat idealis Hegel (Maxcy : 2002). Sumbangan Hegel atas pandangan
pendidikan John Dewey terletak pada paham bahwa kenyataan mengalami
perubahan sebagai akibat dari proses adaptasi (Buford, 1969 : 420). Dari sini
juga terungkap pendapat Hegel tentang pentingnya lingkungan sebagai sarana
dalam sebuah proses pendidikan. Pandangan Hegel tentang rekonstruksi dan
rekonsiliasi juga tergambar dalam pandangan-pandangan Dewey. Namun
pengaruh terbesar terhadap pandangan pendidikan Dewey adalah teori evolusi
Darwin. Pengaruh ini muncul dalam kata kunci tentang perubahan dan proses.
Evolusi merupakan gagasan utama Dewey tentang pendidikan (Maxcy : 2000).
Demikian juga Darwinisme memberikan arahan pada Dewey tentang batasan
empirik untuk menemukan kebenaran materi dan hakikat kemanusiaan (Eakin :
2000). Konsep Darwin tentang interaksi yang kompleks antara organisme dengan
lingkungannya dikenal sebagai pendekatan naturalistik yang dipakai Dewey untuk
menjelaskan tentang teori pengetahuan. Dewey juga percaya bahwa
pengetahuan berkembang sebagai bentuk respon manusia yang beradaptasi
dengan lingkungannya secara aktif.
29
Paradigma Herbartian juga merupakan bagian terpenting dalam
penemuan Dewey tentang konsep pendidikan. Menurut pandangan Johann
Friedreich Herbart (1776-1841) proses pendidikan haruslah dilaksanakan
menurut konsep sains. Herbart menyatakan bahwa ada tiga disiplin utama yang
signifikan terhadap pedagogi ( ilmu pendidikan dan proses pendidikan) (Boyd,
1950 : 337-348). Pertama adalah disiplin filsafat yang menuntun gagasan-
gagasan tentang pendidikan menjadi lebih jelas. Kedua bahwa untuk
melaksanakan pendidikan seorang pendidik haruslah menguasai disiplin psikologi
sebagai pedoman memahami bagaimana seseorang dengan kemampuan
akalnya itu belajar. Ketiga, adalah ilmu etika. Seorang pendidik perlu memahami
ilmu moral tersebut untuk membentuk karakter peserta didik.
2. Konsep-konsep Penting dalam Teori Pendidikan John Dewey
Pemahaman terhadap teori pendidikan John Dewey selalu merujuk pada
tiga gagasan utama yang bersumber pada renungan filsafatnya. Tiga hal
tersebut adalah teori pengalaman, konsepsinya tentang demokrasi (demokrasi
dalam pendidikan), dan perhatiannya tentang penerapan metode sains dalam
proses pendidikan (Hook, 1969 : 132).
Pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman terdapat secara detail
dalam tulisannya “Experience and Education” yang terbit tahun 1939. Menurut
pendapat Dewey istilah pengalaman diberikan dalam konteks suatu proses
manusia belajar. Dewey menyatakan bahwa segala jenis kegiatan pendidikan
yang sejati tercipta melalui pengalaman, tetapi tidak semua pengalaman
terhubung dengan pendidikan (Dewey, 1939 : 30). Pengalaman apapun yang
30
mempunyai pengaruh penghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan
pengalaman selanjutnya adalah salah didik. Pengalaman seperti itu tidak layak
dijadikan sebagai sarana anak didik belajar. Jenis pengalaman yang salah didik
adalah pengalaman yang menimbulkan sifat-sifat jelek dalam diri anak, misalnya
pengalaman yang mengakibatkan katidakpekaan, ketidakacuhan, dan membatasi
naluri respon anak untuk melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, tugas penting
pendidikan yang berbasis pengalaman adalah bagaimana memilih sejumlah
pengalaman sekarang, agar dapat melahirkan pengalaman selanjutnya yang
lebih baik dan kreatif (Dewey, 1939 : 33). Pemilihan kriteria dari pengalaman
yang baik dilakukan dengan prinsip “kesinambungan pengalaman”, atau lebih
akurat lagi harapan akan kontinuitas pengalaman sehingga pengalaman masa
depan menjadi lebih siap diperoleh berbasis pada pengalaman sebelumnya.
Dewey juga menyatakan bahwa hanya pengalaman di mana individu
dapat bereaksi dengan penuh kepedulian terhadap masalah dan tantangan yang
terjadi di sekitar lingkungannya yang dapat dikatakan proses pendidikan yang
berhasil. Reaksi tersebut dapat meningkatkan potensi dan kekuatan dari dalam
untuk mengendalikan lingkungan dan dirinya. Urusan pendidik adalah mengatur
segala jenis dan menyeleksi pengalaman tersebut sehingga pengalaman itu
dapat melibatkan aktivitas anak didik yang menyenangkan karena dapat
meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.
Kelanjutan antara pengalaman masa kini sebagai bekal pengalaman masa
depan oleh Dewey disebut sebagai “experiental continuum” atau rangkaian
pengalaman yang berkelanjutan (Dewey : 1939). Prinsip kesinambungan
pengalaman berarti bahwa setiap pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari
31
pengalaman yang telah berjalan sebelumnya dan mengubah dengan cara
tertentu kualitas pengalaman yang datang sesudahnya. Kesinambungan
pengalaman inilah yang merupakan kriteria utama untuk menentukan mana
pengalaman yang mendidik dan mana yang tidak. Arah dari pengalaman juga
harus diperhatikan dalam setiap proses pendidikan. Di sinilah peran manusia
dewasa sebagai pihak yang memiliki kematangan pengalaman menjadi pendidik
untuk mengevaluasi setiap pengalaman anak didiknya dengan cara yang khusus.
Menurut Dewey, pengalaman tidak hanya berlangsung secara eksklusif
dalam tubuh dan pikiran individu saja. Hal lain yang penting dalam ketersediaan
pengalaman adalah lingkungan. Manusia tidak hidup sendiri tetapi bersama-sama
dengan benda di sekitarnya. Lingkungan merupakan penentu bagaimana
manusia atau anak didik dapat memperoleh pengalaman yang bermakna, yaitu
pengalaman yang membawa ke arah pertumbuhan. Antara manusia dengan
lingkungannya terdapat hubungan yang dimulai dengan apa yang kita kenal
dengan “interaksi”. Interaksi atau hubungan antara manusia dengan kondisi
obyektif lingkungan akan melahirkan situasi. Situasi ini lahir karena interaksi dari
kondisi obyektif (lingkungan) dan kondisi internal (pengalaman individu) yang
terus menerus.
Kesinambungan dan interaksi dalam kesatuan aktif keduanya memberi
ukuran mengenai makna dan kualitas pengalaman yang edukatif. Kedua aspek
ini merupakan prinsip dasar pembentukan pengalaman. Dewey dengan demikian
memandang bahwa tidak ada individu ataupun masyarakat yang bisa
membebaskan diri satu sama lain. Itulah sebabnya Dewey beranggapan bahwa
pengalaman yang terbentuk sebagai hasil dari interaksi yang kemudian
32
memunculkan situasi haruslah juga merupakan pengalaman di bawah kontrol
sosial yang berlaku.
Konsep yang kedua adalah demokrasi dalam pendidikan. Istilah
demokrasi menurut pandangan umum seringkali berkaitan dengan bentuk
pemerintahan atau proses politik dimana pemimpin tertinggi dipilih secara
langsung oleh pemilih yang memenuhi syarat. Pengertian demokrasi dalam
konteks pandangan Dewey tidaklah merujuk pada pengertian tersebut. Menurut
Dewey (1964 : 134) demokrasi berarti kehidupan yang modern. Demokrasi juga
berarti bebas secara intelektual, yaitu emansipasi pikiran sebagai individu untuk
melakukan sesuatu. Kebebasan dalam demokrasi tidaklah semata kebebasan
berbuat, karena kebebasan seperti ini tanpa dilandasi kebebasan berpikir akan
menimbulkan kekacauan.
Dalam dunia pendidikan, demokrasi merupakan keharusan. Bagi Dewey
(1958 : 34-35) hubungan antara demokrasi dan pendidikan merupakan
hubungan vital dan saling melengkapi. Di dalam proses pendidikan prinsip-prinsip
demokrasi haruslah dijalankan. Bahkan demokrasi sendiri adalah landasan,
ukuran kualitas, dan kebijakan pendidikan. Menurut Hook (1969 : 144) esensi
dari demokrasi Dewey adalah bahwa demokrasi memiliki komitmen terhadap
persamaan peluang bagi setiap individu mengembangkan jati dirinya dalam
masyarakat. Dengan begitu fungsi pendidikan adalah untuk menemukan dan
membebaskan individu beserta kapasitas yang dimilikinya. Pendidikan
memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan dirinya
secara maksimum secara harmonis bersama-sama dengan lingkungannya.
33
Implikasinya dalam proses pembelajaran, prinsip demokrasi ini tercermin
dalam situasi belajar yang menggerakkan pikiran atau kecerdasan anak didik
untuk menemukan jati dirinya dan membangun hubungan guru-murid yang
seimbang. Dalam proses belajar yang demokratis, guru perlu menghindari cara
belajar yang bersifat mendikte, transmisi pengetahuan jadi, atau metode yang itu
itu saja, juga supervisi yang berlebihan pada anak. Semua itu menurut Dewey
(1964 : 137) membelenggu kemampuan intelektual anak dan memenjarakan
semangat anak belajar.
Konsep penting Dewey lainnya yang terhubung langsung dengan teori
pendidikannya adalah penerapan metode sains dalam proses pendidikan dan
atau lebih khusus lagi pembelajaran. Sebagai penganut pragmatisme, empirisme
merupakan bagian tak terpisahkan dalam kajian teorinya.
Pandangan pragmatis (Shook : 2000) yang menganggap kebenaran
terhadap suatu realita dan bangunan pengetahuan berlandaskan pada observasi
langsung antara individu terhadap objek alam menjadi kerangka berpikir Dewey
untuk menempatkan metode sains sebagai metode berpikir. Metode sains
menurut Dewey berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan
manusia. Bahkan sains modern merupakan bukti hidup bahwa manusia yang
belajar dapat berubah setiap saat. Penerapan sains modern yang bersifat
eksperimen sebagai paradigma perkembangan hakikat manusia yang belajar juga
akhirnya memberi kontribusi sebagai solusi atas permasalahan hidup manusia itu
sendiri (Shook : 2000).
Dengan menganalisis metodologi sains modern yang bersifat eksperimen,
kelompok pragmatis mengembangkan konsep dan pemahaman tentang kekuatan
34
mental yang dibutuhkan dalam proses belajar yang sainstifik. Metode
pengetahuan dimana sains mengambil posisi yang penting memiliki tiga
karakteristik yang essensial, yaitu : (1) sains mengarahkan manusia bagaimana
memenuhi kebutuhan dasar hidup. Metode sains memberi peluang kepada
manusia untuk menerapkan kebiasaan berinteraksi dengan alam untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat hasil dari pengalaman yang berharga.
Artinya ketika seseorang telah mengetahui sesuatu, maka dia dapat membuat
dan menggunakan obyek tersebut, (2) sains dapat berhubungan dengan situasi
yang kompleks dan problematik, hal mana tidak bisa dilakukan oleh metode
biasa yang dipakai manusia. Sains menyediakan alat-alat (baik itu rumus atau
pola) analisis terhadap situasi terkini sebagai usaha untuk membangun objek
baru dan alat adaptasi manusia terhadap obyek tersebut, (3) posisi dan
karakteristik sains yang terpenting adalah bahwa sains menawarkan cara untuk
merefleksikan dan membuat perubahan aturan-aturan dasar terhadap situasi
yang juga tidak bisa dilakukan dengan cara-cara lama yang bersifat umum
(kebiasaan lama yang berkembang) (Shook : 2000, Kilpatrick, 1951 : 25-26).
Menurut Dewey sains merupakan metode baru yang dikembangkan oleh
manusia yang berciri pada kooperasi dan eksperimen, dan keduanya
mengekspresikan kecerdasan manusia (Dewey, 1913 : 83). Dalam proses belajar
metode sains ini dapat mengembangkan kebiasaan berpikir murid yang
kemudian menjadi proses pembiasaan dalam pengalaman belajar mereka.
Berpikir adalah cara belajar yang cerdas (Dewey, 1916 : 22). Berpikir merupakan
elemen yang cerdas dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916 : chap 11).
Menurut Dewey (1916 : 20) salah satu fungsi terpenting dari sekolah adalah
35
menggerakkan dan mengembangkan kebiasaan dan kemampuan anak berpikir.
Kecerdasan anak merupakan potensi yang harus secara terus menerus dilatih.
Bagi Dewey (Lynd, 1969 : 195) cara mendapatkan pengetahuan yang
benar adalah melalui kemampuan berpikir dalam konteks pengalaman yang
berlandaskan metode sains eksperimental. Kaitannya dengan konsep demokrasi
dalam pendidikan adalah bahwa metode belajar yang dipersiapkan oleh guru
merupakan sebuah proses eksperimen yang menggunakan kemampuan berpikir
siswa sebagai aktivitas utama untuk menemukan jawaban terbaik terhadap
masalah. Proses ini yang lebih dikenal sebagai metode sains merupakan ide
sentral Dewey untuk membuktikan bahwa pengetahuan tidaklah bersifat statis
dan terpisah dari tindakan (Dewey : 1916 : 42). Metode sains ini
menggabungkan aktivitas mental dan pengalaman, dan memberi peluang siswa
untuk terus menemukan dan membangun pengetahuan baru.
Ketiga konsep inti dari pandangan John Dewey tentang pendidikan
menggambarkan hakikat pendidikan yang harus dijalankan dalam sebuah sistem
dan proses pendidikan. Jika ketiga prinsip tersebut dilaksanakan, maka Dewey
yakin pendidikan di persekolahan akan mampu membentuk siswa menjadi
manusia yang berkarakter dan siap menghadapi segala tantangan hidup yang
terus berubah.
3. Teori Belajar “Learning by Doing”
Karakteristik pembelajaran “learning by doing” bermula sebagai bentuk
ketidakpuasan atau “protes” melawan metode didaktik yang sebelumnya
diterapkan dalam sistem belajar tradisional yang berlangsung di sekolah (Dewey
36
:1907). Secara historis, pembelajaran di kelas berpusat pada guru di mana frase
“chalk and talk” menjadi metode mengajar utama yang dianggap optimal. Kelas
dapat digambarkan sebagai proses pencetakan “bentuk” atau hasil yang harus
sama. Kondisi belajar dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengumpulkan
siswa dalam satu ruangan, diajar oleh satu orang guru, lalu aktivitas belajar yang
terlihat hanyalah “menyampaikan”. Karenanya dapat dipastikan satu-satunya
pelaku yang paling aktif di kelas hanyalah guru. Peran siswa sebatas merespon
secara kolektif dalam bentuk jawaban seragam atas pertanyaan yang
disampaikan guru. Pembelajaran yang dilakukan lebih sering mengikuti
kebiasaan, tempat duduk siswa di atur berdasarkan deret formal, dan seringkali
apa yang disampaikan guru sebatas pernyataan-pernyataan abstrak yang
menjauhkan kehidupan sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat
(Handlyn, 1969 : 29). Karenanya pembelajaran tiada lain berisi proses memori
data-data yang tidak dapat dipahami secara langsung oleh siswa.
Dewey sepenuhnya menghindari cara-cara belajar tersebut dan
memandang bahwa proses belajar dilakukan untuk mengembangkan siswa
sebagai pribadi yang utuh. Dewey sendiri berprinsip bahwa cara guru mengajar
diarahkan sepenuhnya pada upaya melahirkan siswa aktif (Brubacher, 1966 :
228). Belajar adalah sesuatu yang aktif, dengan metode pembelajaran yang
didesain oleh guru mengarah pada dua tujuan utama, yaitu : mencapai
pemahaman dan memotivasi belajar.
Hal yang terpenting menurut pandangan Dewey adalah bahwa para
pendidik seharusnya mempertemukan sedekat mungkin kehidupan kelas dengan
dunia luar. Masyarakat secara cepat berubah sebagai akibat dari urbanisasi dan
37
industrialisasi (Dewey : 1907 : 18-22), dan tentunya perubahan ini tidak
selamanya baik. Sebaiknya guru mempersiapkan siswa untuk mengantisipasi
perubahan tersebut. Siswa dibekali dengan keterampilan untuk peka terhadap
kenyataan yang terjadi dan belajar bagaimana cara menghadapinya.
Pendidik seharusnya berusaha mengakhiri belenggu sekolah yang
mengisolasi siswa dari kehidupan nyata dan mengubah sekolah sebagai lembaga
yang berhubungan akrab dengan keluarga dan masyarakat. Sekolah perlu
mengembangkan sikap peduli siswa terhadap lingkungan rumah, tetangga,
kehidupan ekonomi dan profesional yang berkembang di masyarakat yang
semuanya itu dapat memfungsikan peran sekolah secara lebih efektif (Dewey,
1907 : 38). Kehidupan keluarga dan masyarakat yang terhubung langsung dalam
pengalaman siswa dapat mempermudah komunikasi antara guru dengan anak
didiknya sekaligus memberikan pandangan yang utuh kepada siswa manfaat
belajar yang sesungguhnya. Pembelajaran yang bersumber dari pengalaman
siswa dengan keluarga dan masyarakatnya membuat siswa familiar dengan apa
yang dipelajari.
Desain belajar dalam kondisi tersebut dapat berhasil karena secara
langsung berkaitan dengan pengalaman yang dimiliki siswa. Dengan demikian
Dewey memberikan pandangan kepada kita bahwa pendidikan bukanlah sesuatu
yang dipaksakan kepada anak. Pendidikan lebih kepada proses pertumbuhan dan
perkembangan terus menerus dan berkelanjutan yang bersumber pada siswa
bahkan sebelum siswa masuk dalam kehidupan sekolah. Karenanya dalam
mengajar perlu diperhatikan kondisi pembelajaran untuk menanamkan
kemampuan membaca, menulis, dan menggunakan kecerdasan dalam
38
memahami sesuatu yang nyata dan bermakna sebagai bekal agar siswa lebih
siap mengahadapi pengalaman hidupnya (Moore, 1930 : 23).
Belajar dengan demikian menjadi sebuah proses yang berhubungan
dengan situasi nyata. Siswa yang telah terbiasa membuat sesuatu sesungguhnya
telah belajar, dan pembelajaran di sekolah berperan untuk lebih memberikan
makna pada kemampuan siswa tersebut. Misalnya para siswa yang belajar
memilih ketua kelas mereka menemukan bahwa cara-cara pemilihan telah
mereka kenal dalam pemilihan umum yang biasa dilakukan oleh lingkungan desa,
kabupaten dan bahkan negara.
Sekolah berperan untuk menyeleksi setiap subyek atau bahan belajar
yang dapat mengarahkan siswa agar memperoleh prestasi yang memuaskan.
Pengetahuan seperti geografi, sejarah, kewarganegaraan (politik), dan
matematika misalnya diperoleh melalui rekonstruksi yang terus menerus atas
pengalaman siswa. Pada saat siswa menyerap dan memahami apa yang mereka
kerjakan, anak dapat langsung memaknai secara luas dan mendalam dan
mendapatkan hal yang berguna dari apa yang mereka kerjakan tersebut. Lebih
jauh lagi, minat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan berhubungan langsung
dengan minat dalam prosesnya, yaitu “thinking things out” baik secara intelektual
maupun secara teori. Keseluruhan proses pendidikan dengan demikian
digambarkan sebagai proses belajar berpikir melalui solusi terhadap masalah-
masalah nyata.
Dorongan siswa untuk belajar kemungkinan besar dapat dipercepat dan
ditingkatkan jika setting dan aktivitas belajarnya bersumber pada kehidupan
nyata. Guru tentunya berusaha mendesain kurikulum pembelajaran yang
39
menggambarkan data-data yang bersumber dari pengalaman hidup siswa dan
bagaimana dalam pengembangan kurikulum tersebut, disiplin akademik atau
pelajaran disusun dengan tujuan memperkaya pengalaman siswa (Entwisle 1970:
148). Seperti yang diungkapkan oleh Dewey (1933 : 13-14) tentang arti belajar
bahwa “ belajar sesungguhnya akan terjadi ketika seseorang berhadapan dengan
sebuah dilema sebagai sesuatu yang harus dicari jalan keluarnya”.
Karenanya desain kurikulum yang disajikan kepada siswa dianjurkan oleh
Dewey berupa desain belajar berbasis masalah. Asumsi ini erat kaitannya
dengan pengembangan dari psikologi pembelajaran sebagai salah satu sumber
teori belajar. Pernyataan teori belajar yang mengembangkan pembelajaran
berbasis masalah berangkat dari keyakinan bahwa seseorang hanya dapat
belajar secara optimal ketika dia melakukannya (Entiwisle, 1970 : 151). Sebagai
contoh, keterampilan seperti berdoa, membaca, menulis, melakukan penelitian
biologi, melaporkan investigasi sejarah, mendiagnosis penyakit, menghitung atau
membaca rumus matematika, menjahit, berkebun, atau memasak, semua itu
hanyalah dapat dikuasai secara maksimal dengan cara mempraktekkannya dan
tidak ada cara selain itu (Dewey : 1907: 21-22).
Pembelajaran yang bersifat praktek pada prinsipnya tidak bisa kita
hindari. Pembelajaran seperti ini menguntungkan karena secara langsung dapat
mengetahui sejauhmana suatu keterampilan atau kompetensi berhasil dikuasai
oleh siswa. Hanya dengan cara mempraktekkannya kita sebagai pendidik
ataupun siswa sendiri mengetahui apakah dirinya telah mengerti dan menguasai
suatu pelajaran/keterampilan, terutama jika pelajaran yang disajikan bersifat
kompleks dan terintegrasi. Seseorang siswa tidak mungkin bisa membuat sebuah
40
laporan sejarah atau artikel sejarah jika dia hanya membaca sumber sejarah atau
memperhatikan guru menulis. Dia mungkin mengerti cara-cara menulis sejarah
yang baik, tapi tanpa mempraktekkannya dia tidak akan pernah mengetahui
apakah dirinya mampu membuat tulisan sejarah. Belum lagi tahap-tahap
penulisan sejarah yang harus dia kuasai, seperti bagaimana keterampilan
menggali sumber sejarah, kritik sejarah, dan intepretasi sejarah. Semua itu
hanya dapat dimengerti oleh siswa ketika siswa berlatih melakukannya. Guru
juga bisa menjelaskan mana sumber primer atau sekunder dalam sejarah, pelaku
sejarah, apa itu yang dimaksud dengan penafsiran, atau eksplanasi sejarah, tapi
apa yang diberikan sebatas istilah yang relatif dan maknanya dalam konteks
sesungguhnya hanya dapat dimengerti dalam praktek. Biarkan anak melakukan
eksplorasi sendiri untuk menemukan makna dalam pengalaman belajar yang
menuntut berpikir dan hasil dari eksplorasi tersebut bisa saja berbeda dengan
gurunya, seperti yang diarahkan Dewey (1972) dengan istilah “berusaha” berarti
: “we do something and it does something to us in return”. Kita berharap bahwa
siswa menemukan makna belajarnya pada saat dia berusaha membuat sesuatu.
Ketika siswa melakukan sesuatu, maka tidaklah sebatas perkara
psikomotor belaka. “Learning by doing” adalah suatu aktivitas belajar yang
melibatkan baik itu fisik maupun mental. Selain itu tidak hanya mengembangkan
aspek kognitif tetapi juga dampaknya terhadap afektif. Hal ini terjadi karena
ketika siswa belajar terjalin hubungan antara dirinya dengan subyek yang dia
pelajari. Ada hal-hal atau pengalaman yang harus siswa temukan sendiri. Belajar
adalah soal bagaimana mengelola waktu, bagaimana siswa mengarahkan
konsentrasinya pada obyek pelajaran, bagaimana siswa belajar dibawah tekanan
41
untuk menemukan sesuatu yang baru. Misalnya, ketika siswa harus melakukan
wawancara dengan seorang pelaku sejarah, maka siswa tentunya perlu
mempersiapkan hal-hal tertentu agar wawancara tersebut berhasil. Keterampilan
seperti ini yang harus didalami oleh siswa dan berlangsung dalam konteks
pembelajaran. Artinya dalam konteks pembelajaran siswa menemukan
pengetahuan baru, dan yang terpenting pengetahuan baru itu mereka temukan
pada saat melakukan sesuatu.
Landasan berpikir dari pembelajaran dengan melakukan adalah bahwa
pembelajaran haruslah memberikan makna bagi siswa dalam hidupnya. Sasaran
dari kegiatan pendidikan adalah untuk mempersiapkan siswa agar mampu
menggenggam makna untuk apa dia belajar dan paham apa yang dia pelajari.
Jika tidak, maka belajar tidak lain hanyalah sesuatu yang hampa, sebuah usaha
mengumpulkan data-data, suatu kegiatan yang tidak ada aplikasinya dalam
kehidupan di luar sekolah. Pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah
sebuah usaha agar para siswa mengerti betul apa yang mereka telah peroleh
dalam belajar. Hasil belajarnya menjadi watak bagi dirinya untuk menentukan
sikap dalam hidupnya. Pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran
merupakan pengetahuan yang diperoleh atas usaha dan kerja kerasnya sehingga
menjadi pengetahuan pribadi dan menjadi bagian dari dirinya. Dengan begitu dia
memahami bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan pengetahuannya
(Entwisle, 1970 : 204). Kesimpulannya adalah bahwa siswa tidak akan
memahami dan menguasai keterampilan tertentu hanya dengan diberitahu.
Karenanya “learning by doing” merupakan hal yang penting sebagai cara siswa
mendapatkan pengetahuan sebagai milik dan bagian dari dirinya.
42
C. Pendekatan Belajar “Problem Solving”
1. Pengertian dan Karakteristik “Problem Solving”
Kita tahu bahwa hampir semua subyek dalam belajar bisa dipelajari
dengan cara menghapal. Namun cara ini bermasalah karena memorisasi
menimbulkan kebosanan dan kelelahan pikiran, belum lagi keterampilan yang
diperoleh hanyalah sebatas pengumpulan fakta-fakta dan pengetahuan abstrak.
Masalah lain yaitu, cara hapalan menyulitkan kita untuk memperluas wawasan
untuk kemudian dihubungkan dengan situasi baru. Siswa yang dituntut untuk
menghapal tanpa belajar memahami sebuah alasan dibalik fakta atau
pengetahuan akan memiliki sedikit pemahaman terhadap sesuatu.
Pemahamannya menjadi dangkal sehingga tidak dapat mengetahui pengetahuan
lainnya yang justru dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah. Tidak
ada hal yang menyenangkan dengan cara belajar hapalan kecuali mungkin
peraihan nilai ujian tulis yang bagus. Namun kenyataannya siswa yang
menghapal tanpa memahami sulit menjelajahi pengetahuan yang sebenarnya.
Belajar dengan cara menghapal membuat siswa bergantung pada guru
sebagai sumber informasi dan karenanya mereka kurang peduli dengan
kekurangannya sendiri. Siswa tidak berkeinginan belajar secara lebih dalam lagi
karena informasi sudah tersedia. Belajar seperti ini pada akhirnya dapat
membentuk sikap siswa yang belajar tanpa bertanya, mempercayai segala
sesuatu tanpa keraguan dan kurangnya pemahaman terhadap informasi-
informasi yang kompleks. Salah satu cara untuk merubah dan memperbaiki
kekurangan tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan belajar berbasis
masalah (Montgomery, et al. : 1999)
43
Pendekatan belajar “problem solving” atau metode pemecahan masalah
atau belajar berbasis masalah merupakan salah satu alternatif untuk
memfasilitasi belajar siswa sehingga lebih bermakna dan berdaya guna. Belajar
dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah berusaha untuk
menciptakan kondisi belajar yang berorientasi pada proses dan berpusat pada
siswa.
Duch (1995) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada
dasarnya adalah metode instruksional yang memiliki ciri utama yaitu menjadikan
masalah-masalah aktual dan atau nyata sebagai konteks untuk siswa belajar
agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan yang
mendalam. Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Mc Cormick (Boser :
1993) bahwa berdasarkan konteksnya, problem solving memiliki sejumlah
pengertian, yaitu : (a) sebagai metode belajar yang memfasilitasi belajar aktif;
(b) kemampuan umum untuk berhubungan dengan situasi yang bermasalah; (c)
metode yang seringkali dipakai dalam matematika dan ilmu alam; dan (d)
sebuah investigasi empirik. Sedangkan Boser (1993) sendiri menyimpulkan dua
pengertian utama dari problem solving ini. Pertama, “tecnological problem
solving” sebagai cara yang sistematis untuk melakukan investigasi terhadap
situasi tertentu dan menerapkan sebuah solusi. Kedua, “the problem solving
approach” digunakan untuk mendeskripsikan metode belajar yang
mengembangkan wawasan baru dan proses berpikir melalui belajar aktif dengan
cara melakukan investigasi.
44
Pemecahan masalah sebagai sebuah pendekatan belajar melibatkan
lingkungan belajar dimana masalah adalah kunci untuk menuju proses belajar,
yaitu sebelum siswa belajar sejumlah pengetahuan, terlebih dahulu mereka
diberikan masalah (Mc Master Medical School : 1960). Duch (1995) juga
menjelaskan bahwa belajar berbasis masalah sebagai metode instruksional
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar” (Learn how to learn).
Bekerja sama dengan anggota grupnya untuk mencari solusi atas masalah yang
dihadapi. Masalah-masalah tersebut digunakan untuk melahirkan rasa penasaran
dan motivasi siswa untuk mempelajari subyek tertentu. Cara belajar seperti ini
menyiapkan siswa berpikir kritis dan analitis, dan bagaimana mereka berlatih
menemukan dan menggunakan sumber-sumber belajar yang layak.
Pada umumnya, belajar dengan pendekatan “problem solving” dilakukan
dengan cara siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil antara 3-5 orang.
Setiap grup mencari isu-isu aktual (bisa berupa topik tertentu, pertanyaan,
artikel, pernyataan) untuk dipelajari sebagai masalah. Masalah bisa juga
dipersiapkan atau didesain oleh guru untuk mempermudah. Setelah itu tiap grup
menggali informasi dan menyusun solusi sementara sebagai data-data awal
untuk diskusi. Kemudian bersama-sama dalam satu kelas tiap kelompok
mempresentasikan hasil investigasi mereka dan kemudian diambil keputusan
bersama sebagai solusi akhir masalah.
Duch (1995) mengemukakan proses umum yang digunakan dalam
pembelajaran “problem solving” sebagai berikut :
• Siswa diberikan masalah (masalah bisa berupa sebuah kasus, laporan
penelitian, video , artikel, dan seterusnya). Siswa dalam kelompok
45
mengorganisasikan atau menyusun gagasan-gagasan dan
pengetahuan/konsep awal mereka yang dianggap berhubungan dengan
masalah dan berusaha menyusun draft atau hakikat masalah.
• Melalui diskusi, siswa mengajukan pertanyaan, yang disebut “isu-isu belajar”
yaitu tema atau hal-hal yang tidak dimengerti. Isu-isu ini kemudian dicatat
oleh grup/kelompok. Setiap siswa berusaha membuat daftar konsep-konsep,
pernyataan-pernyataan, atau apa saja yang mereka belum mengerti dan
yang mereka sudah pahami.
• Siswa kemudian mengadakan diskusi kelas sekitar klarifikasi masalah. Mereka
membuat pilihan mana masalah yang bisa diangkat untuk dipelajari dan
diselesaikan oleh kelompok, oleh individu, atau yang dibuang. Kemudian
siswa juga bersama-sama dengan guru mendiskusikan langkah-langkah
pemecahan masalah, termasuk sumber-sumber apa sajakah yang bisa
digunakan untuk meneliti “isu-isu belajar” , bagaimana dan dimana mereka
dapat memperoleh sumber tersebut.
• Ketika siswa berkumpul kembali, setelah mengerjakan tugas dan investigasi,
mereka membahas kembali “isu-isu belajar”, kemudian menggabungkan
pengetahuan baru yang diperoleh ke dalam konteks masalah. Para siswa juga
berlatih keterampilan dan keberanian untuk merangkum pengetahuan
mereka dan menghubungkan antara konsep lama dan konsep baru. Mereka
selanjutnya menyusun “isu-isu belajar” yang baru sebagai proses lanjutan
tetap melalui cara-cara pemecahan masalah. Siswa diharapkan memiliki
kesadaran bahwa belajar adalah sebuah proses yang terus menerus, dan
akan selalu ada “isu-isu belajar” untuk dipelajari dan diteliti.
46
Sedangkan teknik atau cara pemecahan masalahnya sendiri secara jelas
dikemukakan oleh Dewey dalam bukunya “How We Think” (1933 : Chap. 6)
dimana Dewey memberikan 5 tahap strategi pemecahan masalah, yaitu :
(1) The student must sense a difficulty. Preferably he must feel balked in some activities in which he is engaged so that the problem arises of how to restore its continuity; (2) Having ones senses a problem, he must next explore and clearly define it. (3) Ones the situation has been throughly surveyed and analyzed, he must hunt data as to how the continuity of his initial activity can be restored or reconstructed into a more adequate form. (4) Next the student reason out the implications of his data in terms of hypotetis. Then he dramatizes his mind what consequences of each hypothetis would be if acted out. (5) Finally he test the hypothesis that seems most likely to achieve his end by acting on it.”
Dari pengertian yang diberikan Dewey tentang teknik pemecahan masalah dapat
dijelaskan bahwa dalam pengalaman belajar ada saatnya siswa berada pada
tahap mengalami kemacetan atau kesulitan untuk memahami atau menguasai
suatu keterampilan atau pengetahuan. Pada saat inilah siswa harus menyadari
bahwa ada suatu masalah yang harus diselesaikan agar pengalaman belajarnya
terus berlanjut ke tahap berikutnya. Kesulitan inilah yang seharusnya
memunculkan rasa penasaran dan keinginan siswa untuk melakukan eksplorasi.
Kontinuitas pengalaman belajar itu bisa diibaratkan seorang siswa yang harus
menaiki tangga menuju puncak. Setiap tangga mengandung pengetahuan dan
keterampilan tertentu. Untuk mencapai tangga selanjutnya, siswa dihadapkan
pada tantangan dan masalah. Siswa bisa melanjutkan ke tangga selanjutnya, jika
dia berhasil menyelesaikan tantangan dan masalah tersebut. Setelah menyadari
adanya masalah, siswa belajar mendefinisikan atau menyatakan masalah
tersebut secara jelas. Kemudian setelah melakukan investigasi, siswa menyusun
data-data yang diyakini sebagai sumber untuk membantu penyelesaian masalah.
47
Siswa kemudian menyusun hipotesis atau jawaban tentatif dari data-data yang
diperolehnya. Hipotesis diujicobakan dan dites apakah hipotesis tersebut bisa
diterima atau tidak (dalam sebuah tindakan).
Pengembangan metode “problem solving” dalam pengajaran khususnya
belajar sejarah dilandasi oleh sejumlah asumsi yang seringkali digunakan untuk
mengembangkan tekniknya (Thomas : 2003) yaitu :
• Masalah haruslah berhubungan dengan subyek atau tema yang dipelajari.
• Solusi dari masalah haruslah secara logis berkaitan dengan masalah.
• Masalah haruslah merupakan masalah real (berdasarkan kehidupan nyata
sehari-hari), dan menggunakan informasi yang real pula sebagai dasarnya.
Samford (2004) mengemukakan karakteristik pembelajaran “problem
solving” yang baik sebagai berikut :
• Terhubung dan berorientasi kepada kehidupan nyata.
• Menggunakan sejumlah hipotetis (jawaban sementara sebagai pedoman).
• Melibatkan kerjasama dalam belajar (teamwork berupa cooperative learning).
• Konsisten dengan tujuan pembelajaran.
• Belajar dibangun dari konsep dan pengetahuan awal, serta pengalaman
siswa.
• Mempromosikan pengembangkan kemampuan keterampilan kognitif siswa
pada ranah tingkat tinggi (berdasarkan taksonomi Bloom).
2. Tujuan dan Manfaat Penerapan Belajar “Problem Solving”
Pelaksanaan belajar berbasis masalah membutuhkan latihan dan
ketekunan serta kerjasama tim. Cara belajar ini memerlukan daya berpikir yang
48
kritis dan ulet, serta kepekaan untuk menggali informasi, menyusun hipotesis,
merancang aksi, dan pengambilan keputusan (Atlas : 2000).
Tujuan belajar dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah
menurut Robbs & Meredith (2000) di antaranya adalah : (a) meningkatkan daya
ingat terhadap informasi; (b) mengembangkan pengetahuan dasar yang
terintegrasi; (c) memberi motivasi pada siswa ke arah semangat belajar seumur
hidup; (d) membangun kesadaran atas kebutuhan sosial.
Pendekatan belajar berbasis pemecahan masalah menurut Engel (1991
:21-31) dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa seperti :
• Mampu beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan.
• Mampu mengaplikasikan teknik pemecahan masalah untuk situasi baru masa
kini dan masa datang.
• Mampu berpikir kreatif dan kritis.
• Mampu mengadopsi pendekatan yang holistik untuk berbagai masalah dan
situasi.
• Menghormati perbedaan pandangan.
• Menjadi anggota tim yang aktif dan sukses
• Mampu mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan sendiri dalam belajar
• Berani belajar sendiri
• Memiliki keterampilan berkomunikasi yang efektif
• Memiliki pengetahuan dasar untuk setiap argumentasi
• Kemampuan memimpin (leadership)
• Mampu memilih dan menggunakan sumber-sumber yang bervariasi.
49
Beberapa alasan mengapa pendekatan belajar berbasis masalah menjadi
pilihan bagi proses belajar yang bermakna, yaitu bahwa belajar berbasis masalah
memberikan keuntungan dan manfaat bagi siswa untuk menumbuhkan
keterampilan berpikir yaitu mengembangkan sisi kognitif siswa agar mereka
mampu membangun konsep-konsep yang bermakna melalui pengumpulan fakta-
fakta. Mereka belajar dengan sejumlah masalah dan berhadapan dengan situasi
tertentu yang bersifat kontekstual. Mereka juga belajar secara berkelompok,
membangun keharmonisan dalam perbedaan dari setiap anggota yang dinamis,
dan melakukan pengamatan atau investigasi sistematis. Karena hal-hal inilah
maka Rhem (1998) menyimpulkan manfaat utama yang bisa diperoleh siswa
setelah belajar adalah mereka akan memiliki pemahaman yang utuh dan
mendalam terhadap subyek, siswa dapat mengembangkan keterampilan-
keterampilan belajar yang sesuai bagi dirinya untuk mendapatkan pengetahuan
baru, dan siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial mereka.
3. Sistem Penilaian Pendekatan Belajar “Problem Solving”
Penilaian prestasi belajar atau outcome siswa dengan menggunakan
pendekatan belajar problem solving lebih kompleks dari pada belajar dengan
menggunakan metode konvensional. Sistem penilaiannya tidak cukup
menggunakan tes tertulis berupa latihan soal-soal. Penilaian juga tidak sebatas
pada hasil belajar tetapi lebih ditentukan pada proses belajar siswa. Sehingga
dalam pembelajaran berbasis masalah penilaian proses dan tes perbuatan
merupakan cara penilaian yang dianjurkan.
50
Penilaian proses meliputi penilaian yang memantau kegiatan siswa mulai
dari identifikasi masalah sampai pada pengambilan keputusan. Dalam penilaian
proses ini keterampilan siswa menyusun masalah, menggali informasi, berdiskusi
kelompok, mempresentasikan data melalui simulasi atau diskusi kelas, menyusun
laporan hasil investigasi, membuat tabel rencana/rekomendasi aksi, dan
seterusnya menjadi perhatian guru dan juga siswa. Penilaian tidak hanya berasal
dari keputusan guru, bisa juga penilaian dilakukan oleh satu kelompok terhadap
hasil kerja kelompok lainnya, atau keputusan kelas.
Penilaian tertulis bisa juga dilakukan, terutama untuk mengukur
pengetahuan dasar dan keterampilan analisis terhadap fakta-fakta atau informasi
tertentu. Pengetahuan dasar tentang fakta atau konsep adalah bekal utama bagi
siswa untuk menyelesaikan masalah. Tanpa penguasaan terhadap fakta dan
konsep, siswa akan kehilangan pijakan untuk menyusun argumentasi sebagai
sumber penyelesaian masalah. Fakta dan konsep juga menjadi alat berpikir kritis,
di mana siswa berlatih mengklasifikasikan, menganalisis, dan mengsintesiskan
fakta-fakta tersebut. Namun penilaian tertulis tidak hanya kemampuan
menyelesaikan soal-soal latihan saja. Keterampilan menulis, menyusun laporan,
membuat ikhtisar, keterampilan menyusun konsep dan masalah dalam skema
terstruktur, membuat mental model (contohnya : pemetaan pikiran/konsep),
merupakan ujian yang perlu dilalui siswa sebagai bagian dari pencapaian tujuan
dan prestasi belajar.
51
D. Hakikat dan Makna Pembelajaran Sejarah
1. Pengertian Belajar Sejarah
Sejarah adalah sebuah studi tentang masa lalu. Dalam sejarah
terkandung konsep inti tentang perubahan dan perkembangan yang bernaung
dalam waktu. Karena konsep inilah masa lalu dan masa kini adalah sebuah
jaringan yang terhubung secara erat satu sama lain. Menurut sejarawan Streans
(Frankel : 2002) peristiwa masa lalu adalah penyebab peristiwa masa kini dan
juga masa depan. Hanya dengan mempelajari sejarah kita dapat memahami
mengapa sebuah perubahan terjadi. Studi terhadap sejarah juga bisa menggali
pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab perubahan itu dan melalui studi
sejarah kita dapat memahami elemen apa dalam sebuah lembaga atau
masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan.
Pengertian ini juga sesuai dengan pandangan Sjamsuddin (1996) yang
memandang bahwa kajian sejarah berkaitan dengan kajian tentang aktivitas
manusia, baik berkedudukan sebagai individu maupun anggota masyarakat,
dimana aktivitas itu berhubungan dengan apa yang telah dikerjakan, dipikirkan,
dirasakan pada suatu waktu dan tempat tertentu dan faktor-faktor apa yang
menyebabkan tindakan manusia atau masyarakat tersebut terjadi. Dalam hal ini
Sjamsuddin menempatkan proses tindakan manusia yang terus menerus dan
berubah sesuai dengan rentang waktu dimana perubahan tersebut memiliki
aspek kausalitas atau sebab akibat.
Kata sejarah digunakan dalam bahasa Indonesia untuk
merepresentasikan masa lalu memiliki dasar etimologis dari bahasa Arab
“syajaro” yang berarti terjadi, “syajarah” yang berarti pohon, dan “syajara an-
52
nasab” yang bermakna pohon silsilah (Kuntowijoyo : 1995). Sedangkan dalam
tradisi Barat, sejarah sepadan dengan kata “history” untuk Inggris dan
“geschichte” (Jerman). Kata history sepadan dengan istilah Romawi yang berasal
dari bahasa Yunani Kuno yaitu “istoria” yang berarti “ilmu”, “belajar dengan cara
bertanya-tanya” atau “inquiry” untuk bahasa Inggris. Menurut Aristoteles,
historia berarti keterangan yang sistematis dari sejumlah fenomena dan gejala
alam, lambat laun kata ini menjadi keterangan yang sistematis dari gejala-gejala
alam terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronologis. Sedangkan
gejala alam yang tidak bersifat kronologis dipakai istilah latin, yaitu scientia atau
science. Kalau kita melihat pengertian sejarah tersebut maka ruang lingkup
sejarah adalah membicarakan kegiatan manusia baik itu sebagai individu
maupun kelompok pada masa lalu. Secara khusus lingkup sejarah dalam konteks
inkuiri (sejarah sebagai peristiwa) dikemukakan oleh Dewey (1916 : chap. 16)
sebagai “Historical inquiry is an affair of selection and arrangement. And
historical inquiry is controlled by the dominant problems and conceptions of the
culture of periode in which it is written”
Marwick (1970 : 15) menjelaskan “Sejarah” pada dasarnya memiliki tiga
level pengertian : (1) Sejarah bisa mengandung arti adalah keseluruhan masa
lalu manusia seperti apa adanya; ini merupakan pengertian sejarah sebagai
kejadian sesungguhnya seperti saat terjadinya; (2) Sejarah juga berarti sebuah
usaha manusia untuk menggambarkan dan menafsirkan masa lalu, atau dengan
kata lain adalah usaha menemukan sesuatu yang penting dari kumpulan bukti-
bukti yang tercecer atau tidak lengkap tentang masa lalu. Inilah pengertian
sejarah yang sering kita bicarakan dalam konteks sejarah sebagai kebutuhan
53
sosial, atau mendekati makna sejarah yang berasal dari istilah Yunani, yaitu
sejarah sebagai “inkuiri” atau “to know”; (3) pengertian ketiga adalah kedudukan
sejarah sebagai sebuah studi sistematis tentang masa lalu atau sejarah sebagai
sebuah disiplin ilmu. Pengertian ini merupakan pengertian yang sering digunakan
terutama pada abad ke-19 di negara-negara Barat (Eropa Barat dan Amerika
Serikat).
Karakterisitk utama sejarah sebagai kumpulan aktivitas masyarakat pada
masa lalu yang terus berubah dan mengalami perkembangan merupakan sumber
inspirasi bagi pembelajaran siswa untuk mencapai keterampilan tertentu
berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu sebelumnya. Manfaat
sejarah dalam pembelajaran diungkapkan oleh Dewey (1916 : 57) bahwa sejarah
memberikan suplai pelajaran tentang latar belakang dan pandangan, perspektif
intelektual dari perilaku atau keterampilan yang dicontohkan oleh seseorang di
masa lalu. Ketika kita berusaha meningkatkan kemampuan kita dengan cara
“masuk” ke dalam “waktu dan ruang sejarah”, maka kita akan mendapatkan
sesuatu yang berharga. Karenanya menurut Dewey (1916 : 58) sejarah
merupakan sebuah studi tentang kegiatan kelompok sosial yang menyebabkan
kehidupan kita di masa sekarang terus berlangsung dan petunjuk dimana
kebiasaan dan adat istiadat kehidupan kita dicerahkan.
Pengetahuan masa lalu merupakan kunci untuk memahami masa kini.
Demikian juga Dewey (1916 : 58) menyatakan bahwa sejarah membahas
tentang masa lampau, tetapi masa lampau ini merupakan sejarah masa kini.
Artinya isi dari masa lampau adalah keberlanjutan pengalaman yang menjadikan
aktivitas manusia masa kini memiliki maknanya. Pembelajaran sejarah dengan
54
demikian berusaha untuk mengambil makna yang berharga sebagai kelanjutan
dari pengalaman masa kini. Makna ini menurut Dewey bisa dipelajari dan
dibangun dengan cara menemukan sisi kecerdasan, usaha-usaha eksplorasi dan
investigasi dari kegiatan manusia masa lalu. Misalnya studi terhadap eksplorasi,
penemuan dan kolonisasi Amerika sampai dengan pembentukan Amerika Serikat
haruslah juga berupa studi tentang masyarakat Amerika sekarang. Pembelajaran
sejarah tersebut difokuskan pada prosesnya. Siswa mempelajari proses
pembentukan dan permasalahan bangsa Amerika sekarang dengan cara
mengenal dan menginvestigasi sejarah proses pembentukan bangsa Amerika.
Menurut Dewey, memahami sejarah sebagai proses memang cukup kompleks
dan membutuhkan waktu untuk sampai pada pemahaman. Namun Dewey
menjelaskan bahwa awal dari usaha memahami sejarah selalu berangkat dari
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh situasi masa kini.
2. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Pembelajaran Sejarah
Sebuah masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari sejarah. Masyarakat
tersebut tumbuh dan diarahkan oleh apa yang terjadi di masa lalu. Tanpa
pengetahuan sejarah, manusia dan masyarakat akan terkatung-katung, tanpa
arah tujuan di tengah-tengah bentangan waktu kehidupan. Masyarakat
memerlukan pemahaman dan kesadaran sejarah yang akan membantu mereka
untuk merefleksikan tujuan dan perkembangannya sebagai komunitas yang
hidup di masa sekarang dan masa depan. Pemahaman dan kesadaran sejarah
secara maksimal dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengajaran.
Tujuan dari pendidikan dan pembelajaran sejarah menurut Marwick (1970
55
: 13) pada hakikatnya adalah usaha menggambarkan kehidupan seperti apa yang
akan berlangsung dalam masyarakat yang satu pun anggotanya tidak mengenal
dan memahami sejarahnya sendiri. Ini adalah gambaran yang harus dihindari,
karena hanya melalui pengetahuan yang diperoleh sepanjang sejarah mereka,
masyarakat tersebut dapat membangun pengetahuannya di masa sekarang. Jadi
masyarakat tanpa memori, tanpa ingatan kolektifnya tentang masa lalu,
hanyalah masyarakat yang kehilangan pijakan dan jati dirinya. Masyarakat yang
tidak mempedulikan sejarahnya menurut Levi-Strauss sama dengan menghukum
dirinya sendiri untuk tidak memahami masa kini, karena perkembangan historis
merupakan alat untuk mengukur dan mengevaluasi hal-hal yang berhubungan
dengan kekinian.
Menurut Trevelyan (Marwick, 1970 : 57) bahwa tujuan sejarah adalah
“mendidik”. Studi sejarah menyediakan pelatihan dasar kewarganegaraan. Setiap
peristiwa sejarah yang menjadi sumber siswa tidak dilihat dari kejadiannya
tetapi makna dibalik kejadian tersebut. Makna di sini berkaitan dengan proses
tingkah laku pelaku sejarah, tindakan yang dilakukan, masalah-masalah yang
berhasil atau gagal diselesaikan dan dampak dari perilaku serta tindakan pelaku
tersebut terhadap peristiwa selanjutnya. Dengan demikian peristiwa sejarah
memberikan informasi yang berharga tentang perilaku manusia yang dapat
dijadikan pedoman membangun aturan-aturan dasar kewarganegaraan.
Tujuan pembelajaran sejarah memang tidak bisa dilepaskan dari nilai
guna yang tersirat dalam makna sejarah itu sendiri. Sejarah baik posisinya
sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu sosial bernilai guna
sebagai pelajaran serta memiliki relevansi praktis bagi kehidupan. Sejak jaman
56
Yunani kuno sejarah dianggap sebagai bagian penting dalam pembentukan
kewarganegaraan dan pengembangan pribadi anak didik sebagai makhluk sosial.
Hal ini disebabkan sejarah memuat setumpuk pengalaman berharga dari individu
atau kelompok orang tertentu yang dapat dijadikan contoh dan sumber inspirasi
(Sjamsuddin, 1999 : 15). Bagi Clark (1975 : 179) nilai guna sejarah juga terletak
pada peristiwa yang terseleksi yang dapat dijadikan cerminan dan pedoman
untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang dan menjadi bekal masa
mendatang.
Hal senada juga dinyatakan oleh Dewey (1916) bahwa sejumlah subyek
sejarah seperti sejarah ekonomi, sejarah industri, dan sejarah intelektual bagi
pembelajaran memberikan nilai-nilai etika. Subyek-subyek tersebut memberikan
wawasan kecerdasan yang mampu membentuk kehidupan sosial masa sekarang
yang berkarakter. Itulah sebabnya disimpulkan bahwa sejarah memiliki nilai-nilai
bagi pembentukan moral, karakter dan kepribadian. Sejarah juga merupakan alat
analisis bagi terbentuknya struktur sosial dan pengetahuan atas kekuatan-
kekuatan yang membentuk pola-pola dari struktur sosial tersebut. Manfaat
sejarah dalam hal membangun kecerdasan sosial mengandung nilai moral.
Bantuan yang diberikan oleh sejarah berkisar pada timbulnya pemahaman yang
simpatik dan cerdas atas situasi sosial masa kini dimana peran individu di
dalamnya merupakan aset moral yang konstruktif dan bersifat permanen.
Dalam hal tujuan belajar, Depdiknas (2003) menyatakan bahwa tujuan
utama pembelajaran sejarah adalah :
57
• Mendorong siswa berpikir kritis dan memanfaatkan pengetahuan tentang
masa lalu untuk memahami kehidupan masa kini dan masa yang akan
datang.
• Memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
• Mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami
proses perkembangan masyarakat (Balitbang : 2002).
Demikian juga aspek kognitif maupun afektif siswa perlu menjadi sorotan
utama untuk dikembangkan, karenanya dalam pendidikan sejarah setidaknya
terdapat tujuan-tujuan yang lebih spesifik berhubungan dengan kedua ranah
tersebut (Hasan : 1999, 15) yaitu :
1) Aspek kognitif yang dikembangkan dalam pendidikan sejarah,yaitu :
• Pengetahuan tentang peristiwa sejarah
• Pemahaman tentang peristiwa sejarah
• Kemampuan mengklasifikasikan sumber sejarah
• Kemampuan melakukan kritik terhadap sumber sejarah
• Kemampuan merumuskan informasi dari sumber sejarah
• Kemampuan menghubungkan antar informasi
• Kemampuan menggunakan hukum sebab akibat
• Kemampuan menggunakan berbagai istilah dan konsep dalam sejarah
• Kemampuan menggunakan berbagai konsep, generalisasi, dan teori dari
berbagai disiplin ilmu
• Kemampuan menafsirkan fakta-fakta sejarah
• Kemampuan menarik pelajaran dari suatu peristiwa sejarah
• Kemampuan bercerita tentang peristiwa sejarah
58
2) Kemampuan ranah afektif yang dapat dikembangkan dalam belajar sejarah
adalah :
• Membina dan mengembangkan kesadaran berbangsa (cinta tanah air dan
bangsa)
• Mengembangkan penghargaan terhadap prestasi
• Memupuk keinginan untuk mengambil teladan dari tokoh-tokoh sejarah
• Memupuk saling pengertian
• Mengembangkan inisiatif
• Gemar membaca
Sedangkan Ismaun (2001 : 114) dalam tulisannya “Paradigma Pendidikan
Sejarah yang Terarah dan Bermakna” menyatakan setidaknya ada tiga pilar
tujuan pendidikan sejarah, yaitu :
a. Mampu memahami sejarah, dalam arti : (1) memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang peristiwa, (2) memiliki kemampuan berpikir secara kritis
yang dapat digunakan untuk menguji dan memanfaatkan pengetahuan
sejarah, (3) memiliki keterampilan sejarah yang dapat digunakan untuk
mengkaji berbagai informasi yang sampai kepadanya guna menentukan
kesahihan informasi tersebut, dan (4) memahami dan mengkaji setiap
perubahan yang terjadi dalam masyarakat di lingkungan sekitarnya seta
digunakan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis.
b. Memiliki kesadaran sejarah, dalam arti : (1) memiliki kesadaran akan penting
dan berharganya waktu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, (2) kesadaran
akan terjadinya perubahan secara terus menerus sepanjang kahidupan umat
manusia serta lingkungannya, (3) memiliki kemampuan untuk menyaring
59
nilai-nilai yang terkandung di dalam sejarah, memilih serta mengembangkan
nilai-nilai positif menjadi milik dirinya, (4) memiliki kemauan dan kemampuan
untuk mengambil teladan yang baik dri para tokoh pelaku dalam berbagai
peristiwa sejarah, (5) memiliki kemampuan kesadaran untuk tidak akan
mengulangi lagi atau menghindari dan meniadakan hal-hal yang bersifat
negatif dalam peristiwa sejarah.
c. Memiliki wawasan sejarah, dalam arti : (1) memiliki wawasan tentang
kelangsungan dan perubahan dalam sejarah sebagai satu kesatuan tiga
dimensi waktu : masa lalu, masa sekarang, masa datang, (2) memiliki
wawasan terhadap tiga dimensi waktu sejarah sebagai rangkaian kausalitas
sejarah, dan (3) memiliki kemampuan belajar dari pengalaman dalam sejarah
masa lampau, melihat kenyataan sekarang, dan mengutamakan pandangan
masa depan yang lebih maju dan bermutu lebih baik.
Walsh (1951) menyatakan fungsi utama dalam sejarah adalah sebagai
alat bagi manusia atau masyarakat untuk sadar akan karakter dan jati dirinya
sepanjang waktu dengan cara membandingkan dan memperbedakan antara
dirinya dengan orang lain. Dalam konteks pendidikan sejarah di Indonesia,
Balitbang (2002) menyatakan fungsi penting sejarah adalah memberikan bekal
kepada siswa dengan berbagai macam keterampilan agar mereka mampu belajar
dari masa lalu yang akan menjadi bekal masa kini dan masa depan. Secara
khusus fungsi pembelajaran sejarah di tingkat pendidikan menengah, yaitu SMA
adalah memberi kesadaran kepada siswa akan konsep perubahan dan
perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu, dalam rangka membangun
60
perspektif dan kesadaran sejarah, dengan cara menemukan, memahami,
menjelaskan masa kini dan masa depan serta memupuk jati diri bangsa.
Sejarah baik sebagai memori kolektif maupun konstruksi faktual yang
dilakukan oleh sejarawan pada dasarnya menghadirkan pengalaman. Sejarah
merupakan gudang pengalaman yang dihadirkan untuk memupuk kesadaran
identitas sosial dan prospek masa depan. Pengalaman masa lalu memberi
orientasi hidup bagi individu maupun masyarakat sebagai sumber untuk
menyelesaikan setiap persoalan masa kini yang semakin kompleks di tengah-
tengah keberagaman budaya dan manusia. Orientasi tersebut menjadi jalan yang
memungkinkan manusia melangkah di masa kini dan mempersiapkan masa
depan secara lebih mantap dengan menggunakan cara-cara yang realistis.
Selain itu Walsh (1951) berpendapat bahwa manfaat pembelajaran sejarah
memberikan kesadaran bagi komunitas sosial agar mereka menyadari ciri-ciri
jamannya dengan cara melakukan studi komparasi antar budaya di antara
mereka yang berbeda dalam periode tertentu. Kartodirdjo (1982) menyatakan
bahwa pengalaman sejarah dapat digunakan untuk mengatasi krisis masa kini
dengan mempelajari dan membandingkannya dengan krisis masa lampau.
Dalam konteks pendidikan, menurut Kuntowijoyo (1995) sejarah adalah
sebuah pendidikan moral, penalaran, dan pendidikan politik, kebijakan,
perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu. Notosusanto menyatakan
ada tiga guna sejarah yaitu memberi pelajaran, memberi inspirasi, dan memberi
kesenangan. Pelajaran sejarah sebagai bagian dari rumpun Pengetahuan Sosial
dalam kurikulum 2004, atau Ilmu pengetahuan Sosial dalam kurikulum 1994
mengandung manfaat sebagai sebuah perspektif berkaitan dengan penggunaan
61
pengetahuan tentang masa lampau untuk membangun pemahaman yang
bermakna atas keragaman warisan budaya dan media untuk membuat keputusan
dalam rangka menjadi warganegara yang baik dan khususnya berkaitan dengan
upaya pembentukan masyarakat yang demokratis, sejarah merupakan pra
kondisi dari kecerdasan politik (Depdiknas :2005).
Berdasarkan pada tujuan dan fungsi pembelajaran sejarah maka
pembelajaran sejarah haruslah diarahkan pada keterampilan proses yang melatih
keterampilan berpikir siswa agar lahir wawasan, pemahaman, dan kesadaran
sejarah yang diinginkan dalam tujuan pendidikan sejarah. Keterampilan berpikir
historis ini merupakan pijakan pertama dan utama mengingat kesadaran sejarah
tidak akan muncul jika siswa tidak diberi peluang untuk mengkonstruksi sendiri
wawasan sejarahnya dalam pembelajaran. Sejarah akan menjadi sesuatu yang
asing dan jauh dari kebutuhan siswa. Siswa akan bertanya-tanya mengapa harus
belajar sejarah jika sejarah sendiri tidak terkait dalam kehidupan sehari-hari
siswa dan tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian. Jaringan
yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang hanya dapat dipahami
oleh siswa ketika siswa sendiri “masuk” dalam konteks ruang dan waktu masa
lalu untuk kemudian menjadikan keduanya sebagai sumber inspirasi bagi
pembentukan karakter dan kepribadian sebagai persiapan menjadi anggota
masyarakat yang baik.
Sudah menjadi tugas guru untuk kemudian mengkondisikan pembelajaran
siswanya ke arah pembelajaran sejarah yang terarah dan bermakna, yaitu
pembelajaran sejarah yang membebaskan siswa melakukan investigasi,
eksplorasi dan menemukan peristiwa-peristiwa sejarah sebagai jawaban atas
62
masalah-masalah yang dihadapi siswa. Persoalan-persoalan ini berkaitan dengan
tujuan pendidikan sejarah itu sendiri, yaitu masalah sekitar pembentukan
warganegara yang demokratis, kesadaran multikultural, kesiapan siswa
menghadapi percepatan informasi sebagai bagian dari perubahan dan kemajuan
budaya masyarakat, dan seterusnya. Persoalan-persoalan tersebut menjadi
bagian dari latihan siswa menjadi warganegara seperti yang diinginkan.
Persoalan-persoalan tersebut tentunya juga harus dihadapi oleh siswa. Maka dari
sinilah guru perlu memfasilitasi belajar siswa dengan cara memberikan
pendekatan belajar yang sesuai sehingga siswa dapat mencapai keterampilan
kognitif dan afektifnya seperti yang diharapkan. Seperti sudah diuraikan
sebelumnya bahwa wawasan dan pemahaman sejarah hanya dapat dimengerti
dengan cara menggunakan sejumlah tema-tema penting dalam situasi kekinian
untuk kemudian menyeleksi situasi masa lampau yang layak dijadikan contoh
dan pedoman dalam usaha mencari seperangkat solusi. Dengan cara seperti ini
siswa akan menyadari bahwa “the past is not only the past”, tetapi masa lalu
adalah tempat dimana kita bisa bercermin darinya.