BAB II@Landasan Teori -...

44
19 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Teori Pendidikan Kajian utama tesis ini adalah penerapan teori belajar dari John Dewey yang terkenal dengan teori “learning by doing”. Teori belajar ini merupakan sub ordinat dari teori pendidikan. Karenanya sebelum membahas teori belajar tersebut, perlu diuraikan pengertian teori pendidikan. Menurut Moore (1974 : 3-5) istilah teori merujuk pada suatu usaha untuk menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi seperti adanya. Selain itu teori juga merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin terjadi di masa datang. Pengertian ini mengandung makna bahwa fungsi teori adalah melakukan prediksi. Teori juga diartikan sebagai kebalikan dari sebuah praktek. Moore (1974 : 3-5) menambahkan bahwa hakekat teori pada dasarnya adalah penjelasan terhadap sesuatu. Dari pengertian tersebut peran teori adalah sebagai penjelasan tentang sejumlah asumsi, sesuatu yang terjadi, telah terjadi, dan akan terjadi. Sejumlah aspek ini merujuk pada pola dari teori sebagai alat untuk penjelasan logis dan membuat prediksi. Namun menurut Moore (1974 : 5) pengertian teori seperti ini merupakan pengertian yang digunakan dalam sains seperti fisika dan matematika. Sedangkan untuk kasus teori pendidikan pengertian tersebut tidaklah terlalu tepat. Jika dihubungkan dengan pendidikan maka teori pendidikan merupakan seperangkat penjelasan yang rasional sistematis membahas tentang aspek- aspek penting dalam pendidikan sebagai sebuah sistem. Mudyahardjo (2002 : 26) menjelaskan bahwa teori pendidikan adalah sebuah pandangan atau

Transcript of BAB II@Landasan Teori -...

19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Teori Pendidikan

Kajian utama tesis ini adalah penerapan teori belajar dari John Dewey

yang terkenal dengan teori “learning by doing”. Teori belajar ini merupakan sub

ordinat dari teori pendidikan. Karenanya sebelum membahas teori belajar

tersebut, perlu diuraikan pengertian teori pendidikan.

Menurut Moore (1974 : 3-5) istilah teori merujuk pada suatu usaha untuk

menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi seperti adanya. Selain itu teori juga

merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin terjadi di masa

datang. Pengertian ini mengandung makna bahwa fungsi teori adalah melakukan

prediksi. Teori juga diartikan sebagai kebalikan dari sebuah praktek. Moore

(1974 : 3-5) menambahkan bahwa hakekat teori pada dasarnya adalah

penjelasan terhadap sesuatu. Dari pengertian tersebut peran teori adalah

sebagai penjelasan tentang sejumlah asumsi, sesuatu yang terjadi, telah terjadi,

dan akan terjadi. Sejumlah aspek ini merujuk pada pola dari teori sebagai alat

untuk penjelasan logis dan membuat prediksi. Namun menurut Moore (1974 : 5)

pengertian teori seperti ini merupakan pengertian yang digunakan dalam sains

seperti fisika dan matematika. Sedangkan untuk kasus teori pendidikan

pengertian tersebut tidaklah terlalu tepat.

Jika dihubungkan dengan pendidikan maka teori pendidikan merupakan

seperangkat penjelasan yang rasional sistematis membahas tentang aspek-

aspek penting dalam pendidikan sebagai sebuah sistem. Mudyahardjo (2002 :

26) menjelaskan bahwa teori pendidikan adalah sebuah pandangan atau

20

serangkaian pendapat ihkwal pendidikan yang disajikan dalam sebuah sistem

konsep. Pendidikan sebagai sistem mengandung arti suatu kelompok tertentu

yang setidaknya memiliki hubungan khusus secara timbal balik dan memiliki

informasi.

Pengertian teori pendidikan memiliki perbedaan mendasar dibandingkan

dengan teori dalam sains. Teori pendidikan pada awalnya mengambil sedikit saja

dari tahap pengamatan atau eksperimen melalui metodis sistematis terhadap

sesuatu yang berhubungan dengan konsep dan proses pendidikan. Teori

pendidikan yang dikemukakan tokoh-tokoh pendidikan klasik seperti Plato,

Rousseau, atau Froebel misalnya berakar pada asumsi khusus tentang apa yang

dapat dilakukan atau harus dilakukan dalam pendidikan, dan berdasarkan asumsi

tersebut memberikan rekomendasi tentang apa yang harus dilakukan oleh guru

atau pihak lain terhadap pendidikan. Karenanya pada awalnya pandangan

terhadap pendidikan seperti yang diungkapkan oleh Plato, Roesseau serta

lainnya tidaklah berdasar pengamatan empirik dan karenanya tidak pula dapat di

cek kebenarannya melalui pengujian metode ilmiah. Teori pendidikan tidaklah

bekerja seperti teori ilmiah, dan akibatnya tidak bisa pula mengambil validitas

dari metode ilmiah. Kebenaran dari sebuah teori pendidikan tidaklah ditentukan

berdasarkan paradigma ilmiah, tetapi memiliki cara dan polanya tersendiri.

Karakteristik yang berbeda antara teori sains dan teori pendidikan

memunculkan dua tipe atau jenis teori. Moore (1974 : 7) menjelaskan bahwa

teori terbagi menjadi 2, yaitu teori eksplanatori, yaitu teori sains dan teori

praktis, yaitu teori non sains (salah satunya adalah teori pendidikan). Artinya

bangunan teori yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan bukanlah teori yang

21

bersifat praktis tetapi eksplanatori atau penjelasan (deskriptif). Seorang ilmuwan

memiliki tugas untuk “menemukan sesuatu”. Sedangkan pendidikan bersifat

praktek. Dalam pendidikan yang terjadi adalah sesuatu yang melibatkan

tindakan, usaha merubah perilaku dan sikap seseorang, biasanya para peserta

didik atau siswa. Tugas seorang guru atau ahli pendidikan adalah untuk

“melakukan sesuatu”.

Dalam studinya, Hirst (1966 :55) mengemukakan bahwa teori pendidikan

adalah “It is the theory in principles, stating what ought to be done in a range of

practical activities…… educational theory as hierarchically situated between

practice and more general theory of knowledge from variety of forms” . Arti kata

praktek dalam pengertian ini merupakan entitas tunggal, sebuah hal ideal,

tentang “apa yang seharusnya” , daripada suatu tampilan apa adanya. Teori

pendidikan walaupun memiliki fungsi sebagai pedoman bertindak untuk sebuah

praktek pendidikan, tidaklah menutup kemungkinan memberikan penjelasan

terhadap apa yang terjadi. Namun karena konsep pendidikan sendiri adalah

sebuah praktek maka teori pendidikan cenderung bersifat praktis juga. Sebuah

teori pendidikan melibatkan tidak hanya penjelasan empirik jika ada, tetapi juga

hal ikhwal nilai dan memasukkan pandangan filosofis. Pada akhirnya walaupun

teori pendidikan saat ini telah diperkaya dan didasarkan pada sejumlah sumber

ilmu empirik seperti psikologi dan sosiologi misalnya, namun bagi Hirts dalam

artikelnya “Philosophy and Educational Theory” (Cohen, 1969 : 23), teori

pendidikan haruslah terlebih dahulu dimengerti sebagai landasan bagi

berlangsungnya praktek pendidikan, dan tidak dalam kacamata teori ilmiah.

Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan karakter yang penting antara teori

22

ilmiah dan teori pendidikan karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda dan

keduanya dibangun untuk melakukan pekerjaan yang berbeda pula. Dalam

sebuah teori pendidikan terdapat aspek-aspek penting yang dibahas (Rozycky :

1999), yaitu :

I. Theory of Value : what knowledge and skill are worthwhile learning ? what are the goals of education? (pembahasan tentang nilai apa yang layak dalam sebuah proses pendidikan. Nilai ini berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan apa yang layak dipelajari dan apa tujuan serta arah pendidikan)

II. Theory of Knowledge : what is knowledge ? how is it different from belief? What is mistake? A lie? (teori pengetahuan membahas tentang konsep dan jenis pengetahuan, pengetahuan seperti apa yang ada dalam sebuah proses pendidikan, bagaimana sebuah pengetahuan itu ditemukan, apa perbedaannya dengan keyakinan (asumsi awal) atau pendapat, dan seterusnya)

III. Theory of human nature : what is human being? How does it differ from other species? What are the limit of human potential? (aspek ini membahas tentang hakekat peserta didik dari sisi kemanusiaannya, peran dan posisi peserta didik dalam pendidikan, potensi manusia yang belajar, dan bagaimana manusia dengan potensinya dapat berkembang melalui pendidikan).

IV. Theory of Learning : what is learning? How skill and knowledge acquired? (membahas tentang konsep dan hakikat belajar, bagaimana siswa belajar,tujuan belajar, metode belajar, konten, serta proses pembelajaran)

V. Theory of Transmission : who is to teach? By what method? What will the curriculum be? (berkaitan dengan bagaimana sebuah proses pendidikan dijalankan, siapa target pendidikan, dengan cara apa proses pendidikan berlangsung, dan bagaimana pengembangannya?)

VI. Theory of Society : what is society? What institutions are involved in educational process? (pendidikan tidak bisa dilepaskan dari masyarakat, karenanya proses pendidikan perlu memperhatikan keberadaan dan perkembangan masyarakat serta lembaga lain yang langsung atau tidak berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan)

VII. Theory of Opportunity : who is to be educated ? who is to be schooled? (membahas sekitar target dan sasaran pendidikan, dan peluang serta kesempatan belajar)

VIII. Theory of Consensus : why do people disagree? How is consensus achieved? Whose opinion takes precedence? (teori konsensus berkaitan dengan kesepakatan atas terselenggaranya pendidikan, hal ini berhubungan dengan kebijakan dan politik pendidikan)

Tabel 2.1 Aspek-aspek dalam teori pendidikan

Berdasarkan uraian Rozycky tentang unsur-unsur dalam sebuah teori

pendidikan dapat disimpulkan aspek utama dalam sebuah teori pendidikan

23

tersurat dalam proses atau tindakan mendidik. Proses ini lebih dikenal secara

khusus sebagai proses belajar dan mengajar. Pembelajaran yang didalamnya

terdapat tindakan guru mengajar merupakan kegiatan nyata untuk

mengaplikasikan sebuah teori pendidikan. Sebaliknya menurut Moore (1974 : 12)

sebuah proses belajar di kelas bisa juga merupakan pedoman atau landasan

untuk membangun teori baru dan teori tersebut menjadi sumber bagi sebuah

pandangan filosofis atau ilmu pendidikan yang baru pula. Kaitan penjelasan

tersebut dapat diperlihatkan melalui skema berikut ini :

Bagan 2.1 Hubungan filsafat, teori dan prektek pendidikan

Ruang lingkup dari teori pendidikan pun terdiri dari teori umum dan teori

khusus. Moore (1974 : 12-13) menjelaskan yang dimaksud teori khusus

pendidikan membahas secara mendalam aspek pedagogis, seperti bagaimana

cara yang paling efektif untuk belajar dan mengajar. Teori belajar merupakan

salah satu dari teori khusus pendidikan. Sedangkan teori umum pendidikan

adalah teori yang luas dari segi cakupan dan tujuannya. Teori umum pendidikan

tidak hanya sebuah rekomendasi tentang kondisi pembelajaran yang efektif

tetapi juga rekomendasi untuk membentuk dan menghasilkan tipe manusia

tertentu, kadang-kadang juga tipe masyarakat ideal. Teori umum pendidikan

memperhatikan masalah sekitar membentuk manusia ideal dan pembahasannnya

Teori Pendidikan

Proses belajar

filsafat

24

tidak hanya bertumpu pada apa yang dianggap sebagai cara terbaik mengajar

tetapi meluas pada persoalan apa yang harus diajarkan dan untuk tujuan apa.

B. Teori Pendidikan John Dewey (1859-1952)

1. Sumber-sumber Pandangan John Dewey tentang Pendidikan

John Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont.

Dewey adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Archibald

Sprague Dewey dan Lucina Rich Dewey (Levine : 2001). Setelah lepas dari

Burlington High School pada tahun 1875, Dewey melanjutkan studinya di

Universitas Vermont sampai dengan tahun 1879 (Columbia Encyclopedia : 2003).

Setelah lulus dari Vermont, Dewey mengajar bahasa Latin (klasik), sains dan

aljabar selama dua tahun di sekolah menengah atas di South Oil City,

Pennsylvania (Levine : 2001). Dewey kembali ke Burlington pada tahun 1881,

belajar paruh waktu di Universitas Vermont, mendalami filsafat di bawah

bimbingan Professor Torrey. Kemudian Dewey berhasil mendapatkan gelar Ph.D

dalam bidang filsafat pada Universitas John Hopkins di Baltimore pada tahun

1884 dengan disertasinya “The Psychology of Kant” (Ecker : 1997). Salah

seorang pembimbing akademiknya , Morris menawarkan pekerjaan kepada

Dewey sebagai dosen yunior di Universitas Michigan. Dewey menduduki jabatan

sebagai instruktur filsafat dan mulai mengajar di universitas Michigan pada

September 1884 (Walker : 1997). Pada tahun 1886 Dewey ditunjuk sebagai

asisten professor dan menjadi salah satu pendiri klub “the Schoolmaster” (klub

filsafat) di Ann Arbor, Michigan (Maxcy, 2002 : xx-xxi).

25

Reputasi dan karir Dewey sebagai dosen semakin berkembang dengan

diterimanya tawaran mengajar di Universitas Minnesota. Di perguruan tinggi

inilah John Dewey menerima posisi sebagai professor dalam bidang filsafat

mental dan moral pada tahun 1988 (Ecker : 1997). Namun pekerjaan tersebut

hanya berlangsung selama setahun karena Dewey kembali ke Universitas

Michigan sampai dengan tahun 1894. Pada tahun tersebut Dewey direkrut oleh

William Rainey Harper untuk bergabung di Universitas Chicago. Di universitas

inilah Dewey memimpin fakultas yang membidangi tiga subyek sekaligus yaitu

filsafat, psikologi, dan pendidikan (memusatkan perhatian pada hubungan antara

guru sekolah dasar dan menengah dengan para pendidik di perguruan tinggi).

Atas usaha Dewey kemudian departemen pendidikan menjadi fakultas yang

berdiri sendiri. Dewey bekerja sebagai administrator dan guru besar di

Universitas Chicago dari tahun 1894-1904. Ketika bekerja di Universitas Chicago,

Dewey mendirikan “Laboratory School”. Sekolah ini berdiri pada tahun 1896,

pada saat pendiriannya “the Laboratory School” memiliki 2 instruktur dan 16

siswa. Pada tahun 1902, berkembang menjadi 23 guru yang terdiri dari alumnus

dari 10 universitas dan 140 siswa. Tahun-tahun perkembangannya, sekolah

Chicago ini menjadi inspirasi dan percontohan bagi lembaga pendidikan lain dan

cukup berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan serta teori pendidikan (World

Book,1993 : 177).

Segera setelah Dewey pensiun dari Universitas Chicago, Dia mendapat

tawaran posisi guru besar di Universitas Columbia dalam bidang filsafat dan

pendidikan yang bernaung dalam “Teacher College” (akademi guru). Universitas

Columbia merupakan tempat terakhir Dewey mengembangkan karir mengajarnya

26

sampai dia pensiun dari jabatan praktis pada tahun 1930. Namun Dewey masih

terus mengajar sebagai guru besar emeritus sampai tahun 1939. Walaupun

sepenuhnya berhenti mengajar sejak tahun 1939, Dewey tetap menghasilkan

karya berupa tulisan dan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah sampai saat-saat

akhir hidupnya pada tanggal 01 Juni 1952.

John Dewey terkenal sebagai seorang ahli filsafat sekaligus juga ahli

pendidikan Amerika yang pikiran-pikirannya mempengaruhi aliran progresive

pendidikan di Amerika Serikat pada pertengahan abad-20 (Brubacher, 1966 : 19-

20; Cremin, 1969 : 9-24 ; Wiles : 1998). Selama hidupnya Dewey konsisten pada

kajian filsafat, khususnya filsafat pendidikan dan mencoba membangun suatu

eksplanasi filosofis pragmatis untuk kemudian diterapkan dalam praktek

pendidikan. Selain berdiri di bawah payung pragmatisme, pandangan-pandangan

pendidikannya mendapat warna dari sejumlah pakar intelektual baik itu filsuf

maupun ilmuwan.

Masa hidupnya yang cukup panjang dimanfaatkan oleh Dewey untuk

menghasilkan setumpuk karya lintas bidang yang membuatnya menjadi tokoh

disegani. Dewey merupakan ilmuwan kreatif yang mampu membuat lebih dari

700 karya ilmiah berupa buku, artikel, dan kumpulan ceramah/pidato untuk tema

filsafat, pendidikan, seni, psikologi, masalah perempuan, buruh, politik, ekonomi,

dan lain-lain. Sejumlah karyanya yang monumental dalam bidang pendidikan,

misalnya “My Pedagogic Creed (1987)”, “The School and Society (1899)”, “The

Child and the Curriculum (1902)”, “ How We think (1910)”, “Interest and Effort in

Education (1913)”, “School of Tomorrow (1915)”, “Democracy and Education

27

(1916)”, “Experience and nature (1925)”, “Logic: The Theory of Inquiry (1938)”,

dan “Experience and Education (1938)”.

Pikiran pragmatisme pendidikan John Dewey berakar dan berkembang

pada sejumlah pemikiran pakar pendidikan sebelumnya. Teori pendidikan Dewey

yang pragmatis memusatkan perhatian pada makna kebenaran yang fungsional

dan berlaku untuk kepentingan rekonstruksi sosial masyarakat atau interaksi

masyarakat dengan lingkungannya agar masyarakat tersebut dapat bertahan dan

berkembang. Pragmatisme merupakan aliran filsafat Amerika yang beranggapan

bahwa konsekuensi dari sebuah tindakan dibatasi oleh kaidah moral tentang baik

dan buruk yang menyebabkan tindakan itu terjadi (Turner : 1996). Kebenaran

dari sebuah makna ditentukan oleh nilai guna atau manfaatnya. Sesuatu

dikatakan benar jika suatu itu memiliki kegunaan dan manfaat. Sebuah makna

dan kebenaran tidaklah bersifat statis. Kebenaran merupakan bagian dari

kehidupan, dan bahkan kebenaran itu sendiri dibuat oleh kehidupan yang sukses

(Buford, 1969 : 420). Filsafat pragmatis ini bertolak belakang dengan gaya

rasionalisme atau formalisme. Pengalaman merupakan sebuah tes terhadap

sebuah eksistensi nyata. Dengan kata lain, pragmatisme membangun standar

kebenaran pada sejumlah penilaian non rasional, seperti tindakan, pemenuhan

kebutuhan, hal-hal yang bersifat nyata, dan kemungkinan untuk bertahan hidup.

Pengaruh intelektual atas John Dewey dimulai ketika Dewey masuk dalam

kehidupan akademik di Universitas Vermont. Dari sinilah Dewey mulai

mempelajari filsafat Immanuel Kant (1724-1804). Dewey pada masa awal karir

akademisnya dipengaruhi oleh tradisi berpikir Kant (Maxcy : 2002). Dalam Kant,

Dewey menemukan klarifikasi yang berharga tentang masalah-masalah filosofis,

28

salah satunya tentang epistemologi berbasis pada aktivitas dan tindakan

daripada kepasifan akal, dan teori etika yang terinternalisasi dalam hukum moral

dengan mengidentifikasikannya berdasar pada alasan-alasan (kebutuhan)

manusia (Maxcy : 2000). Selain itu sikap skeptis atau ragu-ragu menjadi dasar

untuk mencari kebenaran melalui penelitian atau yang diistilahkan Kant sebagai

“empirical knowledge” (pengetahuan empiris) (Buford, 1969 : 22).

Ketika berada di Universitas John Hopkins, Dewey mulai dipengaruhi oleh

filsafat idealis Hegel (Maxcy : 2002). Sumbangan Hegel atas pandangan

pendidikan John Dewey terletak pada paham bahwa kenyataan mengalami

perubahan sebagai akibat dari proses adaptasi (Buford, 1969 : 420). Dari sini

juga terungkap pendapat Hegel tentang pentingnya lingkungan sebagai sarana

dalam sebuah proses pendidikan. Pandangan Hegel tentang rekonstruksi dan

rekonsiliasi juga tergambar dalam pandangan-pandangan Dewey. Namun

pengaruh terbesar terhadap pandangan pendidikan Dewey adalah teori evolusi

Darwin. Pengaruh ini muncul dalam kata kunci tentang perubahan dan proses.

Evolusi merupakan gagasan utama Dewey tentang pendidikan (Maxcy : 2000).

Demikian juga Darwinisme memberikan arahan pada Dewey tentang batasan

empirik untuk menemukan kebenaran materi dan hakikat kemanusiaan (Eakin :

2000). Konsep Darwin tentang interaksi yang kompleks antara organisme dengan

lingkungannya dikenal sebagai pendekatan naturalistik yang dipakai Dewey untuk

menjelaskan tentang teori pengetahuan. Dewey juga percaya bahwa

pengetahuan berkembang sebagai bentuk respon manusia yang beradaptasi

dengan lingkungannya secara aktif.

29

Paradigma Herbartian juga merupakan bagian terpenting dalam

penemuan Dewey tentang konsep pendidikan. Menurut pandangan Johann

Friedreich Herbart (1776-1841) proses pendidikan haruslah dilaksanakan

menurut konsep sains. Herbart menyatakan bahwa ada tiga disiplin utama yang

signifikan terhadap pedagogi ( ilmu pendidikan dan proses pendidikan) (Boyd,

1950 : 337-348). Pertama adalah disiplin filsafat yang menuntun gagasan-

gagasan tentang pendidikan menjadi lebih jelas. Kedua bahwa untuk

melaksanakan pendidikan seorang pendidik haruslah menguasai disiplin psikologi

sebagai pedoman memahami bagaimana seseorang dengan kemampuan

akalnya itu belajar. Ketiga, adalah ilmu etika. Seorang pendidik perlu memahami

ilmu moral tersebut untuk membentuk karakter peserta didik.

2. Konsep-konsep Penting dalam Teori Pendidikan John Dewey

Pemahaman terhadap teori pendidikan John Dewey selalu merujuk pada

tiga gagasan utama yang bersumber pada renungan filsafatnya. Tiga hal

tersebut adalah teori pengalaman, konsepsinya tentang demokrasi (demokrasi

dalam pendidikan), dan perhatiannya tentang penerapan metode sains dalam

proses pendidikan (Hook, 1969 : 132).

Pengertian Dewey tentang hakikat pengalaman terdapat secara detail

dalam tulisannya “Experience and Education” yang terbit tahun 1939. Menurut

pendapat Dewey istilah pengalaman diberikan dalam konteks suatu proses

manusia belajar. Dewey menyatakan bahwa segala jenis kegiatan pendidikan

yang sejati tercipta melalui pengalaman, tetapi tidak semua pengalaman

terhubung dengan pendidikan (Dewey, 1939 : 30). Pengalaman apapun yang

30

mempunyai pengaruh penghambat ataupun mendistorsi pertumbuhan

pengalaman selanjutnya adalah salah didik. Pengalaman seperti itu tidak layak

dijadikan sebagai sarana anak didik belajar. Jenis pengalaman yang salah didik

adalah pengalaman yang menimbulkan sifat-sifat jelek dalam diri anak, misalnya

pengalaman yang mengakibatkan katidakpekaan, ketidakacuhan, dan membatasi

naluri respon anak untuk melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, tugas penting

pendidikan yang berbasis pengalaman adalah bagaimana memilih sejumlah

pengalaman sekarang, agar dapat melahirkan pengalaman selanjutnya yang

lebih baik dan kreatif (Dewey, 1939 : 33). Pemilihan kriteria dari pengalaman

yang baik dilakukan dengan prinsip “kesinambungan pengalaman”, atau lebih

akurat lagi harapan akan kontinuitas pengalaman sehingga pengalaman masa

depan menjadi lebih siap diperoleh berbasis pada pengalaman sebelumnya.

Dewey juga menyatakan bahwa hanya pengalaman di mana individu

dapat bereaksi dengan penuh kepedulian terhadap masalah dan tantangan yang

terjadi di sekitar lingkungannya yang dapat dikatakan proses pendidikan yang

berhasil. Reaksi tersebut dapat meningkatkan potensi dan kekuatan dari dalam

untuk mengendalikan lingkungan dan dirinya. Urusan pendidik adalah mengatur

segala jenis dan menyeleksi pengalaman tersebut sehingga pengalaman itu

dapat melibatkan aktivitas anak didik yang menyenangkan karena dapat

meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.

Kelanjutan antara pengalaman masa kini sebagai bekal pengalaman masa

depan oleh Dewey disebut sebagai “experiental continuum” atau rangkaian

pengalaman yang berkelanjutan (Dewey : 1939). Prinsip kesinambungan

pengalaman berarti bahwa setiap pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari

31

pengalaman yang telah berjalan sebelumnya dan mengubah dengan cara

tertentu kualitas pengalaman yang datang sesudahnya. Kesinambungan

pengalaman inilah yang merupakan kriteria utama untuk menentukan mana

pengalaman yang mendidik dan mana yang tidak. Arah dari pengalaman juga

harus diperhatikan dalam setiap proses pendidikan. Di sinilah peran manusia

dewasa sebagai pihak yang memiliki kematangan pengalaman menjadi pendidik

untuk mengevaluasi setiap pengalaman anak didiknya dengan cara yang khusus.

Menurut Dewey, pengalaman tidak hanya berlangsung secara eksklusif

dalam tubuh dan pikiran individu saja. Hal lain yang penting dalam ketersediaan

pengalaman adalah lingkungan. Manusia tidak hidup sendiri tetapi bersama-sama

dengan benda di sekitarnya. Lingkungan merupakan penentu bagaimana

manusia atau anak didik dapat memperoleh pengalaman yang bermakna, yaitu

pengalaman yang membawa ke arah pertumbuhan. Antara manusia dengan

lingkungannya terdapat hubungan yang dimulai dengan apa yang kita kenal

dengan “interaksi”. Interaksi atau hubungan antara manusia dengan kondisi

obyektif lingkungan akan melahirkan situasi. Situasi ini lahir karena interaksi dari

kondisi obyektif (lingkungan) dan kondisi internal (pengalaman individu) yang

terus menerus.

Kesinambungan dan interaksi dalam kesatuan aktif keduanya memberi

ukuran mengenai makna dan kualitas pengalaman yang edukatif. Kedua aspek

ini merupakan prinsip dasar pembentukan pengalaman. Dewey dengan demikian

memandang bahwa tidak ada individu ataupun masyarakat yang bisa

membebaskan diri satu sama lain. Itulah sebabnya Dewey beranggapan bahwa

pengalaman yang terbentuk sebagai hasil dari interaksi yang kemudian

32

memunculkan situasi haruslah juga merupakan pengalaman di bawah kontrol

sosial yang berlaku.

Konsep yang kedua adalah demokrasi dalam pendidikan. Istilah

demokrasi menurut pandangan umum seringkali berkaitan dengan bentuk

pemerintahan atau proses politik dimana pemimpin tertinggi dipilih secara

langsung oleh pemilih yang memenuhi syarat. Pengertian demokrasi dalam

konteks pandangan Dewey tidaklah merujuk pada pengertian tersebut. Menurut

Dewey (1964 : 134) demokrasi berarti kehidupan yang modern. Demokrasi juga

berarti bebas secara intelektual, yaitu emansipasi pikiran sebagai individu untuk

melakukan sesuatu. Kebebasan dalam demokrasi tidaklah semata kebebasan

berbuat, karena kebebasan seperti ini tanpa dilandasi kebebasan berpikir akan

menimbulkan kekacauan.

Dalam dunia pendidikan, demokrasi merupakan keharusan. Bagi Dewey

(1958 : 34-35) hubungan antara demokrasi dan pendidikan merupakan

hubungan vital dan saling melengkapi. Di dalam proses pendidikan prinsip-prinsip

demokrasi haruslah dijalankan. Bahkan demokrasi sendiri adalah landasan,

ukuran kualitas, dan kebijakan pendidikan. Menurut Hook (1969 : 144) esensi

dari demokrasi Dewey adalah bahwa demokrasi memiliki komitmen terhadap

persamaan peluang bagi setiap individu mengembangkan jati dirinya dalam

masyarakat. Dengan begitu fungsi pendidikan adalah untuk menemukan dan

membebaskan individu beserta kapasitas yang dimilikinya. Pendidikan

memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan dirinya

secara maksimum secara harmonis bersama-sama dengan lingkungannya.

33

Implikasinya dalam proses pembelajaran, prinsip demokrasi ini tercermin

dalam situasi belajar yang menggerakkan pikiran atau kecerdasan anak didik

untuk menemukan jati dirinya dan membangun hubungan guru-murid yang

seimbang. Dalam proses belajar yang demokratis, guru perlu menghindari cara

belajar yang bersifat mendikte, transmisi pengetahuan jadi, atau metode yang itu

itu saja, juga supervisi yang berlebihan pada anak. Semua itu menurut Dewey

(1964 : 137) membelenggu kemampuan intelektual anak dan memenjarakan

semangat anak belajar.

Konsep penting Dewey lainnya yang terhubung langsung dengan teori

pendidikannya adalah penerapan metode sains dalam proses pendidikan dan

atau lebih khusus lagi pembelajaran. Sebagai penganut pragmatisme, empirisme

merupakan bagian tak terpisahkan dalam kajian teorinya.

Pandangan pragmatis (Shook : 2000) yang menganggap kebenaran

terhadap suatu realita dan bangunan pengetahuan berlandaskan pada observasi

langsung antara individu terhadap objek alam menjadi kerangka berpikir Dewey

untuk menempatkan metode sains sebagai metode berpikir. Metode sains

menurut Dewey berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan

manusia. Bahkan sains modern merupakan bukti hidup bahwa manusia yang

belajar dapat berubah setiap saat. Penerapan sains modern yang bersifat

eksperimen sebagai paradigma perkembangan hakikat manusia yang belajar juga

akhirnya memberi kontribusi sebagai solusi atas permasalahan hidup manusia itu

sendiri (Shook : 2000).

Dengan menganalisis metodologi sains modern yang bersifat eksperimen,

kelompok pragmatis mengembangkan konsep dan pemahaman tentang kekuatan

34

mental yang dibutuhkan dalam proses belajar yang sainstifik. Metode

pengetahuan dimana sains mengambil posisi yang penting memiliki tiga

karakteristik yang essensial, yaitu : (1) sains mengarahkan manusia bagaimana

memenuhi kebutuhan dasar hidup. Metode sains memberi peluang kepada

manusia untuk menerapkan kebiasaan berinteraksi dengan alam untuk

menghasilkan produk yang bermanfaat hasil dari pengalaman yang berharga.

Artinya ketika seseorang telah mengetahui sesuatu, maka dia dapat membuat

dan menggunakan obyek tersebut, (2) sains dapat berhubungan dengan situasi

yang kompleks dan problematik, hal mana tidak bisa dilakukan oleh metode

biasa yang dipakai manusia. Sains menyediakan alat-alat (baik itu rumus atau

pola) analisis terhadap situasi terkini sebagai usaha untuk membangun objek

baru dan alat adaptasi manusia terhadap obyek tersebut, (3) posisi dan

karakteristik sains yang terpenting adalah bahwa sains menawarkan cara untuk

merefleksikan dan membuat perubahan aturan-aturan dasar terhadap situasi

yang juga tidak bisa dilakukan dengan cara-cara lama yang bersifat umum

(kebiasaan lama yang berkembang) (Shook : 2000, Kilpatrick, 1951 : 25-26).

Menurut Dewey sains merupakan metode baru yang dikembangkan oleh

manusia yang berciri pada kooperasi dan eksperimen, dan keduanya

mengekspresikan kecerdasan manusia (Dewey, 1913 : 83). Dalam proses belajar

metode sains ini dapat mengembangkan kebiasaan berpikir murid yang

kemudian menjadi proses pembiasaan dalam pengalaman belajar mereka.

Berpikir adalah cara belajar yang cerdas (Dewey, 1916 : 22). Berpikir merupakan

elemen yang cerdas dalam pengalaman belajar (Dewey, 1916 : chap 11).

Menurut Dewey (1916 : 20) salah satu fungsi terpenting dari sekolah adalah

35

menggerakkan dan mengembangkan kebiasaan dan kemampuan anak berpikir.

Kecerdasan anak merupakan potensi yang harus secara terus menerus dilatih.

Bagi Dewey (Lynd, 1969 : 195) cara mendapatkan pengetahuan yang

benar adalah melalui kemampuan berpikir dalam konteks pengalaman yang

berlandaskan metode sains eksperimental. Kaitannya dengan konsep demokrasi

dalam pendidikan adalah bahwa metode belajar yang dipersiapkan oleh guru

merupakan sebuah proses eksperimen yang menggunakan kemampuan berpikir

siswa sebagai aktivitas utama untuk menemukan jawaban terbaik terhadap

masalah. Proses ini yang lebih dikenal sebagai metode sains merupakan ide

sentral Dewey untuk membuktikan bahwa pengetahuan tidaklah bersifat statis

dan terpisah dari tindakan (Dewey : 1916 : 42). Metode sains ini

menggabungkan aktivitas mental dan pengalaman, dan memberi peluang siswa

untuk terus menemukan dan membangun pengetahuan baru.

Ketiga konsep inti dari pandangan John Dewey tentang pendidikan

menggambarkan hakikat pendidikan yang harus dijalankan dalam sebuah sistem

dan proses pendidikan. Jika ketiga prinsip tersebut dilaksanakan, maka Dewey

yakin pendidikan di persekolahan akan mampu membentuk siswa menjadi

manusia yang berkarakter dan siap menghadapi segala tantangan hidup yang

terus berubah.

3. Teori Belajar “Learning by Doing”

Karakteristik pembelajaran “learning by doing” bermula sebagai bentuk

ketidakpuasan atau “protes” melawan metode didaktik yang sebelumnya

diterapkan dalam sistem belajar tradisional yang berlangsung di sekolah (Dewey

36

:1907). Secara historis, pembelajaran di kelas berpusat pada guru di mana frase

“chalk and talk” menjadi metode mengajar utama yang dianggap optimal. Kelas

dapat digambarkan sebagai proses pencetakan “bentuk” atau hasil yang harus

sama. Kondisi belajar dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengumpulkan

siswa dalam satu ruangan, diajar oleh satu orang guru, lalu aktivitas belajar yang

terlihat hanyalah “menyampaikan”. Karenanya dapat dipastikan satu-satunya

pelaku yang paling aktif di kelas hanyalah guru. Peran siswa sebatas merespon

secara kolektif dalam bentuk jawaban seragam atas pertanyaan yang

disampaikan guru. Pembelajaran yang dilakukan lebih sering mengikuti

kebiasaan, tempat duduk siswa di atur berdasarkan deret formal, dan seringkali

apa yang disampaikan guru sebatas pernyataan-pernyataan abstrak yang

menjauhkan kehidupan sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat

(Handlyn, 1969 : 29). Karenanya pembelajaran tiada lain berisi proses memori

data-data yang tidak dapat dipahami secara langsung oleh siswa.

Dewey sepenuhnya menghindari cara-cara belajar tersebut dan

memandang bahwa proses belajar dilakukan untuk mengembangkan siswa

sebagai pribadi yang utuh. Dewey sendiri berprinsip bahwa cara guru mengajar

diarahkan sepenuhnya pada upaya melahirkan siswa aktif (Brubacher, 1966 :

228). Belajar adalah sesuatu yang aktif, dengan metode pembelajaran yang

didesain oleh guru mengarah pada dua tujuan utama, yaitu : mencapai

pemahaman dan memotivasi belajar.

Hal yang terpenting menurut pandangan Dewey adalah bahwa para

pendidik seharusnya mempertemukan sedekat mungkin kehidupan kelas dengan

dunia luar. Masyarakat secara cepat berubah sebagai akibat dari urbanisasi dan

37

industrialisasi (Dewey : 1907 : 18-22), dan tentunya perubahan ini tidak

selamanya baik. Sebaiknya guru mempersiapkan siswa untuk mengantisipasi

perubahan tersebut. Siswa dibekali dengan keterampilan untuk peka terhadap

kenyataan yang terjadi dan belajar bagaimana cara menghadapinya.

Pendidik seharusnya berusaha mengakhiri belenggu sekolah yang

mengisolasi siswa dari kehidupan nyata dan mengubah sekolah sebagai lembaga

yang berhubungan akrab dengan keluarga dan masyarakat. Sekolah perlu

mengembangkan sikap peduli siswa terhadap lingkungan rumah, tetangga,

kehidupan ekonomi dan profesional yang berkembang di masyarakat yang

semuanya itu dapat memfungsikan peran sekolah secara lebih efektif (Dewey,

1907 : 38). Kehidupan keluarga dan masyarakat yang terhubung langsung dalam

pengalaman siswa dapat mempermudah komunikasi antara guru dengan anak

didiknya sekaligus memberikan pandangan yang utuh kepada siswa manfaat

belajar yang sesungguhnya. Pembelajaran yang bersumber dari pengalaman

siswa dengan keluarga dan masyarakatnya membuat siswa familiar dengan apa

yang dipelajari.

Desain belajar dalam kondisi tersebut dapat berhasil karena secara

langsung berkaitan dengan pengalaman yang dimiliki siswa. Dengan demikian

Dewey memberikan pandangan kepada kita bahwa pendidikan bukanlah sesuatu

yang dipaksakan kepada anak. Pendidikan lebih kepada proses pertumbuhan dan

perkembangan terus menerus dan berkelanjutan yang bersumber pada siswa

bahkan sebelum siswa masuk dalam kehidupan sekolah. Karenanya dalam

mengajar perlu diperhatikan kondisi pembelajaran untuk menanamkan

kemampuan membaca, menulis, dan menggunakan kecerdasan dalam

38

memahami sesuatu yang nyata dan bermakna sebagai bekal agar siswa lebih

siap mengahadapi pengalaman hidupnya (Moore, 1930 : 23).

Belajar dengan demikian menjadi sebuah proses yang berhubungan

dengan situasi nyata. Siswa yang telah terbiasa membuat sesuatu sesungguhnya

telah belajar, dan pembelajaran di sekolah berperan untuk lebih memberikan

makna pada kemampuan siswa tersebut. Misalnya para siswa yang belajar

memilih ketua kelas mereka menemukan bahwa cara-cara pemilihan telah

mereka kenal dalam pemilihan umum yang biasa dilakukan oleh lingkungan desa,

kabupaten dan bahkan negara.

Sekolah berperan untuk menyeleksi setiap subyek atau bahan belajar

yang dapat mengarahkan siswa agar memperoleh prestasi yang memuaskan.

Pengetahuan seperti geografi, sejarah, kewarganegaraan (politik), dan

matematika misalnya diperoleh melalui rekonstruksi yang terus menerus atas

pengalaman siswa. Pada saat siswa menyerap dan memahami apa yang mereka

kerjakan, anak dapat langsung memaknai secara luas dan mendalam dan

mendapatkan hal yang berguna dari apa yang mereka kerjakan tersebut. Lebih

jauh lagi, minat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan berhubungan langsung

dengan minat dalam prosesnya, yaitu “thinking things out” baik secara intelektual

maupun secara teori. Keseluruhan proses pendidikan dengan demikian

digambarkan sebagai proses belajar berpikir melalui solusi terhadap masalah-

masalah nyata.

Dorongan siswa untuk belajar kemungkinan besar dapat dipercepat dan

ditingkatkan jika setting dan aktivitas belajarnya bersumber pada kehidupan

nyata. Guru tentunya berusaha mendesain kurikulum pembelajaran yang

39

menggambarkan data-data yang bersumber dari pengalaman hidup siswa dan

bagaimana dalam pengembangan kurikulum tersebut, disiplin akademik atau

pelajaran disusun dengan tujuan memperkaya pengalaman siswa (Entwisle 1970:

148). Seperti yang diungkapkan oleh Dewey (1933 : 13-14) tentang arti belajar

bahwa “ belajar sesungguhnya akan terjadi ketika seseorang berhadapan dengan

sebuah dilema sebagai sesuatu yang harus dicari jalan keluarnya”.

Karenanya desain kurikulum yang disajikan kepada siswa dianjurkan oleh

Dewey berupa desain belajar berbasis masalah. Asumsi ini erat kaitannya

dengan pengembangan dari psikologi pembelajaran sebagai salah satu sumber

teori belajar. Pernyataan teori belajar yang mengembangkan pembelajaran

berbasis masalah berangkat dari keyakinan bahwa seseorang hanya dapat

belajar secara optimal ketika dia melakukannya (Entiwisle, 1970 : 151). Sebagai

contoh, keterampilan seperti berdoa, membaca, menulis, melakukan penelitian

biologi, melaporkan investigasi sejarah, mendiagnosis penyakit, menghitung atau

membaca rumus matematika, menjahit, berkebun, atau memasak, semua itu

hanyalah dapat dikuasai secara maksimal dengan cara mempraktekkannya dan

tidak ada cara selain itu (Dewey : 1907: 21-22).

Pembelajaran yang bersifat praktek pada prinsipnya tidak bisa kita

hindari. Pembelajaran seperti ini menguntungkan karena secara langsung dapat

mengetahui sejauhmana suatu keterampilan atau kompetensi berhasil dikuasai

oleh siswa. Hanya dengan cara mempraktekkannya kita sebagai pendidik

ataupun siswa sendiri mengetahui apakah dirinya telah mengerti dan menguasai

suatu pelajaran/keterampilan, terutama jika pelajaran yang disajikan bersifat

kompleks dan terintegrasi. Seseorang siswa tidak mungkin bisa membuat sebuah

40

laporan sejarah atau artikel sejarah jika dia hanya membaca sumber sejarah atau

memperhatikan guru menulis. Dia mungkin mengerti cara-cara menulis sejarah

yang baik, tapi tanpa mempraktekkannya dia tidak akan pernah mengetahui

apakah dirinya mampu membuat tulisan sejarah. Belum lagi tahap-tahap

penulisan sejarah yang harus dia kuasai, seperti bagaimana keterampilan

menggali sumber sejarah, kritik sejarah, dan intepretasi sejarah. Semua itu

hanya dapat dimengerti oleh siswa ketika siswa berlatih melakukannya. Guru

juga bisa menjelaskan mana sumber primer atau sekunder dalam sejarah, pelaku

sejarah, apa itu yang dimaksud dengan penafsiran, atau eksplanasi sejarah, tapi

apa yang diberikan sebatas istilah yang relatif dan maknanya dalam konteks

sesungguhnya hanya dapat dimengerti dalam praktek. Biarkan anak melakukan

eksplorasi sendiri untuk menemukan makna dalam pengalaman belajar yang

menuntut berpikir dan hasil dari eksplorasi tersebut bisa saja berbeda dengan

gurunya, seperti yang diarahkan Dewey (1972) dengan istilah “berusaha” berarti

: “we do something and it does something to us in return”. Kita berharap bahwa

siswa menemukan makna belajarnya pada saat dia berusaha membuat sesuatu.

Ketika siswa melakukan sesuatu, maka tidaklah sebatas perkara

psikomotor belaka. “Learning by doing” adalah suatu aktivitas belajar yang

melibatkan baik itu fisik maupun mental. Selain itu tidak hanya mengembangkan

aspek kognitif tetapi juga dampaknya terhadap afektif. Hal ini terjadi karena

ketika siswa belajar terjalin hubungan antara dirinya dengan subyek yang dia

pelajari. Ada hal-hal atau pengalaman yang harus siswa temukan sendiri. Belajar

adalah soal bagaimana mengelola waktu, bagaimana siswa mengarahkan

konsentrasinya pada obyek pelajaran, bagaimana siswa belajar dibawah tekanan

41

untuk menemukan sesuatu yang baru. Misalnya, ketika siswa harus melakukan

wawancara dengan seorang pelaku sejarah, maka siswa tentunya perlu

mempersiapkan hal-hal tertentu agar wawancara tersebut berhasil. Keterampilan

seperti ini yang harus didalami oleh siswa dan berlangsung dalam konteks

pembelajaran. Artinya dalam konteks pembelajaran siswa menemukan

pengetahuan baru, dan yang terpenting pengetahuan baru itu mereka temukan

pada saat melakukan sesuatu.

Landasan berpikir dari pembelajaran dengan melakukan adalah bahwa

pembelajaran haruslah memberikan makna bagi siswa dalam hidupnya. Sasaran

dari kegiatan pendidikan adalah untuk mempersiapkan siswa agar mampu

menggenggam makna untuk apa dia belajar dan paham apa yang dia pelajari.

Jika tidak, maka belajar tidak lain hanyalah sesuatu yang hampa, sebuah usaha

mengumpulkan data-data, suatu kegiatan yang tidak ada aplikasinya dalam

kehidupan di luar sekolah. Pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah

sebuah usaha agar para siswa mengerti betul apa yang mereka telah peroleh

dalam belajar. Hasil belajarnya menjadi watak bagi dirinya untuk menentukan

sikap dalam hidupnya. Pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran

merupakan pengetahuan yang diperoleh atas usaha dan kerja kerasnya sehingga

menjadi pengetahuan pribadi dan menjadi bagian dari dirinya. Dengan begitu dia

memahami bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan pengetahuannya

(Entwisle, 1970 : 204). Kesimpulannya adalah bahwa siswa tidak akan

memahami dan menguasai keterampilan tertentu hanya dengan diberitahu.

Karenanya “learning by doing” merupakan hal yang penting sebagai cara siswa

mendapatkan pengetahuan sebagai milik dan bagian dari dirinya.

42

C. Pendekatan Belajar “Problem Solving”

1. Pengertian dan Karakteristik “Problem Solving”

Kita tahu bahwa hampir semua subyek dalam belajar bisa dipelajari

dengan cara menghapal. Namun cara ini bermasalah karena memorisasi

menimbulkan kebosanan dan kelelahan pikiran, belum lagi keterampilan yang

diperoleh hanyalah sebatas pengumpulan fakta-fakta dan pengetahuan abstrak.

Masalah lain yaitu, cara hapalan menyulitkan kita untuk memperluas wawasan

untuk kemudian dihubungkan dengan situasi baru. Siswa yang dituntut untuk

menghapal tanpa belajar memahami sebuah alasan dibalik fakta atau

pengetahuan akan memiliki sedikit pemahaman terhadap sesuatu.

Pemahamannya menjadi dangkal sehingga tidak dapat mengetahui pengetahuan

lainnya yang justru dapat membantunya untuk menyelesaikan masalah. Tidak

ada hal yang menyenangkan dengan cara belajar hapalan kecuali mungkin

peraihan nilai ujian tulis yang bagus. Namun kenyataannya siswa yang

menghapal tanpa memahami sulit menjelajahi pengetahuan yang sebenarnya.

Belajar dengan cara menghapal membuat siswa bergantung pada guru

sebagai sumber informasi dan karenanya mereka kurang peduli dengan

kekurangannya sendiri. Siswa tidak berkeinginan belajar secara lebih dalam lagi

karena informasi sudah tersedia. Belajar seperti ini pada akhirnya dapat

membentuk sikap siswa yang belajar tanpa bertanya, mempercayai segala

sesuatu tanpa keraguan dan kurangnya pemahaman terhadap informasi-

informasi yang kompleks. Salah satu cara untuk merubah dan memperbaiki

kekurangan tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan belajar berbasis

masalah (Montgomery, et al. : 1999)

43

Pendekatan belajar “problem solving” atau metode pemecahan masalah

atau belajar berbasis masalah merupakan salah satu alternatif untuk

memfasilitasi belajar siswa sehingga lebih bermakna dan berdaya guna. Belajar

dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah berusaha untuk

menciptakan kondisi belajar yang berorientasi pada proses dan berpusat pada

siswa.

Duch (1995) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada

dasarnya adalah metode instruksional yang memiliki ciri utama yaitu menjadikan

masalah-masalah aktual dan atau nyata sebagai konteks untuk siswa belajar

agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan

kemampuan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan yang

mendalam. Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Mc Cormick (Boser :

1993) bahwa berdasarkan konteksnya, problem solving memiliki sejumlah

pengertian, yaitu : (a) sebagai metode belajar yang memfasilitasi belajar aktif;

(b) kemampuan umum untuk berhubungan dengan situasi yang bermasalah; (c)

metode yang seringkali dipakai dalam matematika dan ilmu alam; dan (d)

sebuah investigasi empirik. Sedangkan Boser (1993) sendiri menyimpulkan dua

pengertian utama dari problem solving ini. Pertama, “tecnological problem

solving” sebagai cara yang sistematis untuk melakukan investigasi terhadap

situasi tertentu dan menerapkan sebuah solusi. Kedua, “the problem solving

approach” digunakan untuk mendeskripsikan metode belajar yang

mengembangkan wawasan baru dan proses berpikir melalui belajar aktif dengan

cara melakukan investigasi.

44

Pemecahan masalah sebagai sebuah pendekatan belajar melibatkan

lingkungan belajar dimana masalah adalah kunci untuk menuju proses belajar,

yaitu sebelum siswa belajar sejumlah pengetahuan, terlebih dahulu mereka

diberikan masalah (Mc Master Medical School : 1960). Duch (1995) juga

menjelaskan bahwa belajar berbasis masalah sebagai metode instruksional

menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar” (Learn how to learn).

Bekerja sama dengan anggota grupnya untuk mencari solusi atas masalah yang

dihadapi. Masalah-masalah tersebut digunakan untuk melahirkan rasa penasaran

dan motivasi siswa untuk mempelajari subyek tertentu. Cara belajar seperti ini

menyiapkan siswa berpikir kritis dan analitis, dan bagaimana mereka berlatih

menemukan dan menggunakan sumber-sumber belajar yang layak.

Pada umumnya, belajar dengan pendekatan “problem solving” dilakukan

dengan cara siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil antara 3-5 orang.

Setiap grup mencari isu-isu aktual (bisa berupa topik tertentu, pertanyaan,

artikel, pernyataan) untuk dipelajari sebagai masalah. Masalah bisa juga

dipersiapkan atau didesain oleh guru untuk mempermudah. Setelah itu tiap grup

menggali informasi dan menyusun solusi sementara sebagai data-data awal

untuk diskusi. Kemudian bersama-sama dalam satu kelas tiap kelompok

mempresentasikan hasil investigasi mereka dan kemudian diambil keputusan

bersama sebagai solusi akhir masalah.

Duch (1995) mengemukakan proses umum yang digunakan dalam

pembelajaran “problem solving” sebagai berikut :

• Siswa diberikan masalah (masalah bisa berupa sebuah kasus, laporan

penelitian, video , artikel, dan seterusnya). Siswa dalam kelompok

45

mengorganisasikan atau menyusun gagasan-gagasan dan

pengetahuan/konsep awal mereka yang dianggap berhubungan dengan

masalah dan berusaha menyusun draft atau hakikat masalah.

• Melalui diskusi, siswa mengajukan pertanyaan, yang disebut “isu-isu belajar”

yaitu tema atau hal-hal yang tidak dimengerti. Isu-isu ini kemudian dicatat

oleh grup/kelompok. Setiap siswa berusaha membuat daftar konsep-konsep,

pernyataan-pernyataan, atau apa saja yang mereka belum mengerti dan

yang mereka sudah pahami.

• Siswa kemudian mengadakan diskusi kelas sekitar klarifikasi masalah. Mereka

membuat pilihan mana masalah yang bisa diangkat untuk dipelajari dan

diselesaikan oleh kelompok, oleh individu, atau yang dibuang. Kemudian

siswa juga bersama-sama dengan guru mendiskusikan langkah-langkah

pemecahan masalah, termasuk sumber-sumber apa sajakah yang bisa

digunakan untuk meneliti “isu-isu belajar” , bagaimana dan dimana mereka

dapat memperoleh sumber tersebut.

• Ketika siswa berkumpul kembali, setelah mengerjakan tugas dan investigasi,

mereka membahas kembali “isu-isu belajar”, kemudian menggabungkan

pengetahuan baru yang diperoleh ke dalam konteks masalah. Para siswa juga

berlatih keterampilan dan keberanian untuk merangkum pengetahuan

mereka dan menghubungkan antara konsep lama dan konsep baru. Mereka

selanjutnya menyusun “isu-isu belajar” yang baru sebagai proses lanjutan

tetap melalui cara-cara pemecahan masalah. Siswa diharapkan memiliki

kesadaran bahwa belajar adalah sebuah proses yang terus menerus, dan

akan selalu ada “isu-isu belajar” untuk dipelajari dan diteliti.

46

Sedangkan teknik atau cara pemecahan masalahnya sendiri secara jelas

dikemukakan oleh Dewey dalam bukunya “How We Think” (1933 : Chap. 6)

dimana Dewey memberikan 5 tahap strategi pemecahan masalah, yaitu :

(1) The student must sense a difficulty. Preferably he must feel balked in some activities in which he is engaged so that the problem arises of how to restore its continuity; (2) Having ones senses a problem, he must next explore and clearly define it. (3) Ones the situation has been throughly surveyed and analyzed, he must hunt data as to how the continuity of his initial activity can be restored or reconstructed into a more adequate form. (4) Next the student reason out the implications of his data in terms of hypotetis. Then he dramatizes his mind what consequences of each hypothetis would be if acted out. (5) Finally he test the hypothesis that seems most likely to achieve his end by acting on it.”

Dari pengertian yang diberikan Dewey tentang teknik pemecahan masalah dapat

dijelaskan bahwa dalam pengalaman belajar ada saatnya siswa berada pada

tahap mengalami kemacetan atau kesulitan untuk memahami atau menguasai

suatu keterampilan atau pengetahuan. Pada saat inilah siswa harus menyadari

bahwa ada suatu masalah yang harus diselesaikan agar pengalaman belajarnya

terus berlanjut ke tahap berikutnya. Kesulitan inilah yang seharusnya

memunculkan rasa penasaran dan keinginan siswa untuk melakukan eksplorasi.

Kontinuitas pengalaman belajar itu bisa diibaratkan seorang siswa yang harus

menaiki tangga menuju puncak. Setiap tangga mengandung pengetahuan dan

keterampilan tertentu. Untuk mencapai tangga selanjutnya, siswa dihadapkan

pada tantangan dan masalah. Siswa bisa melanjutkan ke tangga selanjutnya, jika

dia berhasil menyelesaikan tantangan dan masalah tersebut. Setelah menyadari

adanya masalah, siswa belajar mendefinisikan atau menyatakan masalah

tersebut secara jelas. Kemudian setelah melakukan investigasi, siswa menyusun

data-data yang diyakini sebagai sumber untuk membantu penyelesaian masalah.

47

Siswa kemudian menyusun hipotesis atau jawaban tentatif dari data-data yang

diperolehnya. Hipotesis diujicobakan dan dites apakah hipotesis tersebut bisa

diterima atau tidak (dalam sebuah tindakan).

Pengembangan metode “problem solving” dalam pengajaran khususnya

belajar sejarah dilandasi oleh sejumlah asumsi yang seringkali digunakan untuk

mengembangkan tekniknya (Thomas : 2003) yaitu :

• Masalah haruslah berhubungan dengan subyek atau tema yang dipelajari.

• Solusi dari masalah haruslah secara logis berkaitan dengan masalah.

• Masalah haruslah merupakan masalah real (berdasarkan kehidupan nyata

sehari-hari), dan menggunakan informasi yang real pula sebagai dasarnya.

Samford (2004) mengemukakan karakteristik pembelajaran “problem

solving” yang baik sebagai berikut :

• Terhubung dan berorientasi kepada kehidupan nyata.

• Menggunakan sejumlah hipotetis (jawaban sementara sebagai pedoman).

• Melibatkan kerjasama dalam belajar (teamwork berupa cooperative learning).

• Konsisten dengan tujuan pembelajaran.

• Belajar dibangun dari konsep dan pengetahuan awal, serta pengalaman

siswa.

• Mempromosikan pengembangkan kemampuan keterampilan kognitif siswa

pada ranah tingkat tinggi (berdasarkan taksonomi Bloom).

2. Tujuan dan Manfaat Penerapan Belajar “Problem Solving”

Pelaksanaan belajar berbasis masalah membutuhkan latihan dan

ketekunan serta kerjasama tim. Cara belajar ini memerlukan daya berpikir yang

48

kritis dan ulet, serta kepekaan untuk menggali informasi, menyusun hipotesis,

merancang aksi, dan pengambilan keputusan (Atlas : 2000).

Tujuan belajar dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah

menurut Robbs & Meredith (2000) di antaranya adalah : (a) meningkatkan daya

ingat terhadap informasi; (b) mengembangkan pengetahuan dasar yang

terintegrasi; (c) memberi motivasi pada siswa ke arah semangat belajar seumur

hidup; (d) membangun kesadaran atas kebutuhan sosial.

Pendekatan belajar berbasis pemecahan masalah menurut Engel (1991

:21-31) dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa seperti :

• Mampu beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan.

• Mampu mengaplikasikan teknik pemecahan masalah untuk situasi baru masa

kini dan masa datang.

• Mampu berpikir kreatif dan kritis.

• Mampu mengadopsi pendekatan yang holistik untuk berbagai masalah dan

situasi.

• Menghormati perbedaan pandangan.

• Menjadi anggota tim yang aktif dan sukses

• Mampu mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan sendiri dalam belajar

• Berani belajar sendiri

• Memiliki keterampilan berkomunikasi yang efektif

• Memiliki pengetahuan dasar untuk setiap argumentasi

• Kemampuan memimpin (leadership)

• Mampu memilih dan menggunakan sumber-sumber yang bervariasi.

49

Beberapa alasan mengapa pendekatan belajar berbasis masalah menjadi

pilihan bagi proses belajar yang bermakna, yaitu bahwa belajar berbasis masalah

memberikan keuntungan dan manfaat bagi siswa untuk menumbuhkan

keterampilan berpikir yaitu mengembangkan sisi kognitif siswa agar mereka

mampu membangun konsep-konsep yang bermakna melalui pengumpulan fakta-

fakta. Mereka belajar dengan sejumlah masalah dan berhadapan dengan situasi

tertentu yang bersifat kontekstual. Mereka juga belajar secara berkelompok,

membangun keharmonisan dalam perbedaan dari setiap anggota yang dinamis,

dan melakukan pengamatan atau investigasi sistematis. Karena hal-hal inilah

maka Rhem (1998) menyimpulkan manfaat utama yang bisa diperoleh siswa

setelah belajar adalah mereka akan memiliki pemahaman yang utuh dan

mendalam terhadap subyek, siswa dapat mengembangkan keterampilan-

keterampilan belajar yang sesuai bagi dirinya untuk mendapatkan pengetahuan

baru, dan siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial mereka.

3. Sistem Penilaian Pendekatan Belajar “Problem Solving”

Penilaian prestasi belajar atau outcome siswa dengan menggunakan

pendekatan belajar problem solving lebih kompleks dari pada belajar dengan

menggunakan metode konvensional. Sistem penilaiannya tidak cukup

menggunakan tes tertulis berupa latihan soal-soal. Penilaian juga tidak sebatas

pada hasil belajar tetapi lebih ditentukan pada proses belajar siswa. Sehingga

dalam pembelajaran berbasis masalah penilaian proses dan tes perbuatan

merupakan cara penilaian yang dianjurkan.

50

Penilaian proses meliputi penilaian yang memantau kegiatan siswa mulai

dari identifikasi masalah sampai pada pengambilan keputusan. Dalam penilaian

proses ini keterampilan siswa menyusun masalah, menggali informasi, berdiskusi

kelompok, mempresentasikan data melalui simulasi atau diskusi kelas, menyusun

laporan hasil investigasi, membuat tabel rencana/rekomendasi aksi, dan

seterusnya menjadi perhatian guru dan juga siswa. Penilaian tidak hanya berasal

dari keputusan guru, bisa juga penilaian dilakukan oleh satu kelompok terhadap

hasil kerja kelompok lainnya, atau keputusan kelas.

Penilaian tertulis bisa juga dilakukan, terutama untuk mengukur

pengetahuan dasar dan keterampilan analisis terhadap fakta-fakta atau informasi

tertentu. Pengetahuan dasar tentang fakta atau konsep adalah bekal utama bagi

siswa untuk menyelesaikan masalah. Tanpa penguasaan terhadap fakta dan

konsep, siswa akan kehilangan pijakan untuk menyusun argumentasi sebagai

sumber penyelesaian masalah. Fakta dan konsep juga menjadi alat berpikir kritis,

di mana siswa berlatih mengklasifikasikan, menganalisis, dan mengsintesiskan

fakta-fakta tersebut. Namun penilaian tertulis tidak hanya kemampuan

menyelesaikan soal-soal latihan saja. Keterampilan menulis, menyusun laporan,

membuat ikhtisar, keterampilan menyusun konsep dan masalah dalam skema

terstruktur, membuat mental model (contohnya : pemetaan pikiran/konsep),

merupakan ujian yang perlu dilalui siswa sebagai bagian dari pencapaian tujuan

dan prestasi belajar.

51

D. Hakikat dan Makna Pembelajaran Sejarah

1. Pengertian Belajar Sejarah

Sejarah adalah sebuah studi tentang masa lalu. Dalam sejarah

terkandung konsep inti tentang perubahan dan perkembangan yang bernaung

dalam waktu. Karena konsep inilah masa lalu dan masa kini adalah sebuah

jaringan yang terhubung secara erat satu sama lain. Menurut sejarawan Streans

(Frankel : 2002) peristiwa masa lalu adalah penyebab peristiwa masa kini dan

juga masa depan. Hanya dengan mempelajari sejarah kita dapat memahami

mengapa sebuah perubahan terjadi. Studi terhadap sejarah juga bisa menggali

pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab perubahan itu dan melalui studi

sejarah kita dapat memahami elemen apa dalam sebuah lembaga atau

masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan.

Pengertian ini juga sesuai dengan pandangan Sjamsuddin (1996) yang

memandang bahwa kajian sejarah berkaitan dengan kajian tentang aktivitas

manusia, baik berkedudukan sebagai individu maupun anggota masyarakat,

dimana aktivitas itu berhubungan dengan apa yang telah dikerjakan, dipikirkan,

dirasakan pada suatu waktu dan tempat tertentu dan faktor-faktor apa yang

menyebabkan tindakan manusia atau masyarakat tersebut terjadi. Dalam hal ini

Sjamsuddin menempatkan proses tindakan manusia yang terus menerus dan

berubah sesuai dengan rentang waktu dimana perubahan tersebut memiliki

aspek kausalitas atau sebab akibat.

Kata sejarah digunakan dalam bahasa Indonesia untuk

merepresentasikan masa lalu memiliki dasar etimologis dari bahasa Arab

“syajaro” yang berarti terjadi, “syajarah” yang berarti pohon, dan “syajara an-

52

nasab” yang bermakna pohon silsilah (Kuntowijoyo : 1995). Sedangkan dalam

tradisi Barat, sejarah sepadan dengan kata “history” untuk Inggris dan

“geschichte” (Jerman). Kata history sepadan dengan istilah Romawi yang berasal

dari bahasa Yunani Kuno yaitu “istoria” yang berarti “ilmu”, “belajar dengan cara

bertanya-tanya” atau “inquiry” untuk bahasa Inggris. Menurut Aristoteles,

historia berarti keterangan yang sistematis dari sejumlah fenomena dan gejala

alam, lambat laun kata ini menjadi keterangan yang sistematis dari gejala-gejala

alam terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronologis. Sedangkan

gejala alam yang tidak bersifat kronologis dipakai istilah latin, yaitu scientia atau

science. Kalau kita melihat pengertian sejarah tersebut maka ruang lingkup

sejarah adalah membicarakan kegiatan manusia baik itu sebagai individu

maupun kelompok pada masa lalu. Secara khusus lingkup sejarah dalam konteks

inkuiri (sejarah sebagai peristiwa) dikemukakan oleh Dewey (1916 : chap. 16)

sebagai “Historical inquiry is an affair of selection and arrangement. And

historical inquiry is controlled by the dominant problems and conceptions of the

culture of periode in which it is written”

Marwick (1970 : 15) menjelaskan “Sejarah” pada dasarnya memiliki tiga

level pengertian : (1) Sejarah bisa mengandung arti adalah keseluruhan masa

lalu manusia seperti apa adanya; ini merupakan pengertian sejarah sebagai

kejadian sesungguhnya seperti saat terjadinya; (2) Sejarah juga berarti sebuah

usaha manusia untuk menggambarkan dan menafsirkan masa lalu, atau dengan

kata lain adalah usaha menemukan sesuatu yang penting dari kumpulan bukti-

bukti yang tercecer atau tidak lengkap tentang masa lalu. Inilah pengertian

sejarah yang sering kita bicarakan dalam konteks sejarah sebagai kebutuhan

53

sosial, atau mendekati makna sejarah yang berasal dari istilah Yunani, yaitu

sejarah sebagai “inkuiri” atau “to know”; (3) pengertian ketiga adalah kedudukan

sejarah sebagai sebuah studi sistematis tentang masa lalu atau sejarah sebagai

sebuah disiplin ilmu. Pengertian ini merupakan pengertian yang sering digunakan

terutama pada abad ke-19 di negara-negara Barat (Eropa Barat dan Amerika

Serikat).

Karakterisitk utama sejarah sebagai kumpulan aktivitas masyarakat pada

masa lalu yang terus berubah dan mengalami perkembangan merupakan sumber

inspirasi bagi pembelajaran siswa untuk mencapai keterampilan tertentu

berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu sebelumnya. Manfaat

sejarah dalam pembelajaran diungkapkan oleh Dewey (1916 : 57) bahwa sejarah

memberikan suplai pelajaran tentang latar belakang dan pandangan, perspektif

intelektual dari perilaku atau keterampilan yang dicontohkan oleh seseorang di

masa lalu. Ketika kita berusaha meningkatkan kemampuan kita dengan cara

“masuk” ke dalam “waktu dan ruang sejarah”, maka kita akan mendapatkan

sesuatu yang berharga. Karenanya menurut Dewey (1916 : 58) sejarah

merupakan sebuah studi tentang kegiatan kelompok sosial yang menyebabkan

kehidupan kita di masa sekarang terus berlangsung dan petunjuk dimana

kebiasaan dan adat istiadat kehidupan kita dicerahkan.

Pengetahuan masa lalu merupakan kunci untuk memahami masa kini.

Demikian juga Dewey (1916 : 58) menyatakan bahwa sejarah membahas

tentang masa lampau, tetapi masa lampau ini merupakan sejarah masa kini.

Artinya isi dari masa lampau adalah keberlanjutan pengalaman yang menjadikan

aktivitas manusia masa kini memiliki maknanya. Pembelajaran sejarah dengan

54

demikian berusaha untuk mengambil makna yang berharga sebagai kelanjutan

dari pengalaman masa kini. Makna ini menurut Dewey bisa dipelajari dan

dibangun dengan cara menemukan sisi kecerdasan, usaha-usaha eksplorasi dan

investigasi dari kegiatan manusia masa lalu. Misalnya studi terhadap eksplorasi,

penemuan dan kolonisasi Amerika sampai dengan pembentukan Amerika Serikat

haruslah juga berupa studi tentang masyarakat Amerika sekarang. Pembelajaran

sejarah tersebut difokuskan pada prosesnya. Siswa mempelajari proses

pembentukan dan permasalahan bangsa Amerika sekarang dengan cara

mengenal dan menginvestigasi sejarah proses pembentukan bangsa Amerika.

Menurut Dewey, memahami sejarah sebagai proses memang cukup kompleks

dan membutuhkan waktu untuk sampai pada pemahaman. Namun Dewey

menjelaskan bahwa awal dari usaha memahami sejarah selalu berangkat dari

persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh situasi masa kini.

2. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Pembelajaran Sejarah

Sebuah masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari sejarah. Masyarakat

tersebut tumbuh dan diarahkan oleh apa yang terjadi di masa lalu. Tanpa

pengetahuan sejarah, manusia dan masyarakat akan terkatung-katung, tanpa

arah tujuan di tengah-tengah bentangan waktu kehidupan. Masyarakat

memerlukan pemahaman dan kesadaran sejarah yang akan membantu mereka

untuk merefleksikan tujuan dan perkembangannya sebagai komunitas yang

hidup di masa sekarang dan masa depan. Pemahaman dan kesadaran sejarah

secara maksimal dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengajaran.

Tujuan dari pendidikan dan pembelajaran sejarah menurut Marwick (1970

55

: 13) pada hakikatnya adalah usaha menggambarkan kehidupan seperti apa yang

akan berlangsung dalam masyarakat yang satu pun anggotanya tidak mengenal

dan memahami sejarahnya sendiri. Ini adalah gambaran yang harus dihindari,

karena hanya melalui pengetahuan yang diperoleh sepanjang sejarah mereka,

masyarakat tersebut dapat membangun pengetahuannya di masa sekarang. Jadi

masyarakat tanpa memori, tanpa ingatan kolektifnya tentang masa lalu,

hanyalah masyarakat yang kehilangan pijakan dan jati dirinya. Masyarakat yang

tidak mempedulikan sejarahnya menurut Levi-Strauss sama dengan menghukum

dirinya sendiri untuk tidak memahami masa kini, karena perkembangan historis

merupakan alat untuk mengukur dan mengevaluasi hal-hal yang berhubungan

dengan kekinian.

Menurut Trevelyan (Marwick, 1970 : 57) bahwa tujuan sejarah adalah

“mendidik”. Studi sejarah menyediakan pelatihan dasar kewarganegaraan. Setiap

peristiwa sejarah yang menjadi sumber siswa tidak dilihat dari kejadiannya

tetapi makna dibalik kejadian tersebut. Makna di sini berkaitan dengan proses

tingkah laku pelaku sejarah, tindakan yang dilakukan, masalah-masalah yang

berhasil atau gagal diselesaikan dan dampak dari perilaku serta tindakan pelaku

tersebut terhadap peristiwa selanjutnya. Dengan demikian peristiwa sejarah

memberikan informasi yang berharga tentang perilaku manusia yang dapat

dijadikan pedoman membangun aturan-aturan dasar kewarganegaraan.

Tujuan pembelajaran sejarah memang tidak bisa dilepaskan dari nilai

guna yang tersirat dalam makna sejarah itu sendiri. Sejarah baik posisinya

sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu sosial bernilai guna

sebagai pelajaran serta memiliki relevansi praktis bagi kehidupan. Sejak jaman

56

Yunani kuno sejarah dianggap sebagai bagian penting dalam pembentukan

kewarganegaraan dan pengembangan pribadi anak didik sebagai makhluk sosial.

Hal ini disebabkan sejarah memuat setumpuk pengalaman berharga dari individu

atau kelompok orang tertentu yang dapat dijadikan contoh dan sumber inspirasi

(Sjamsuddin, 1999 : 15). Bagi Clark (1975 : 179) nilai guna sejarah juga terletak

pada peristiwa yang terseleksi yang dapat dijadikan cerminan dan pedoman

untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang dan menjadi bekal masa

mendatang.

Hal senada juga dinyatakan oleh Dewey (1916) bahwa sejumlah subyek

sejarah seperti sejarah ekonomi, sejarah industri, dan sejarah intelektual bagi

pembelajaran memberikan nilai-nilai etika. Subyek-subyek tersebut memberikan

wawasan kecerdasan yang mampu membentuk kehidupan sosial masa sekarang

yang berkarakter. Itulah sebabnya disimpulkan bahwa sejarah memiliki nilai-nilai

bagi pembentukan moral, karakter dan kepribadian. Sejarah juga merupakan alat

analisis bagi terbentuknya struktur sosial dan pengetahuan atas kekuatan-

kekuatan yang membentuk pola-pola dari struktur sosial tersebut. Manfaat

sejarah dalam hal membangun kecerdasan sosial mengandung nilai moral.

Bantuan yang diberikan oleh sejarah berkisar pada timbulnya pemahaman yang

simpatik dan cerdas atas situasi sosial masa kini dimana peran individu di

dalamnya merupakan aset moral yang konstruktif dan bersifat permanen.

Dalam hal tujuan belajar, Depdiknas (2003) menyatakan bahwa tujuan

utama pembelajaran sejarah adalah :

57

• Mendorong siswa berpikir kritis dan memanfaatkan pengetahuan tentang

masa lalu untuk memahami kehidupan masa kini dan masa yang akan

datang.

• Memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.

• Mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami

proses perkembangan masyarakat (Balitbang : 2002).

Demikian juga aspek kognitif maupun afektif siswa perlu menjadi sorotan

utama untuk dikembangkan, karenanya dalam pendidikan sejarah setidaknya

terdapat tujuan-tujuan yang lebih spesifik berhubungan dengan kedua ranah

tersebut (Hasan : 1999, 15) yaitu :

1) Aspek kognitif yang dikembangkan dalam pendidikan sejarah,yaitu :

• Pengetahuan tentang peristiwa sejarah

• Pemahaman tentang peristiwa sejarah

• Kemampuan mengklasifikasikan sumber sejarah

• Kemampuan melakukan kritik terhadap sumber sejarah

• Kemampuan merumuskan informasi dari sumber sejarah

• Kemampuan menghubungkan antar informasi

• Kemampuan menggunakan hukum sebab akibat

• Kemampuan menggunakan berbagai istilah dan konsep dalam sejarah

• Kemampuan menggunakan berbagai konsep, generalisasi, dan teori dari

berbagai disiplin ilmu

• Kemampuan menafsirkan fakta-fakta sejarah

• Kemampuan menarik pelajaran dari suatu peristiwa sejarah

• Kemampuan bercerita tentang peristiwa sejarah

58

2) Kemampuan ranah afektif yang dapat dikembangkan dalam belajar sejarah

adalah :

• Membina dan mengembangkan kesadaran berbangsa (cinta tanah air dan

bangsa)

• Mengembangkan penghargaan terhadap prestasi

• Memupuk keinginan untuk mengambil teladan dari tokoh-tokoh sejarah

• Memupuk saling pengertian

• Mengembangkan inisiatif

• Gemar membaca

Sedangkan Ismaun (2001 : 114) dalam tulisannya “Paradigma Pendidikan

Sejarah yang Terarah dan Bermakna” menyatakan setidaknya ada tiga pilar

tujuan pendidikan sejarah, yaitu :

a. Mampu memahami sejarah, dalam arti : (1) memiliki pengetahuan dan

pemahaman tentang peristiwa, (2) memiliki kemampuan berpikir secara kritis

yang dapat digunakan untuk menguji dan memanfaatkan pengetahuan

sejarah, (3) memiliki keterampilan sejarah yang dapat digunakan untuk

mengkaji berbagai informasi yang sampai kepadanya guna menentukan

kesahihan informasi tersebut, dan (4) memahami dan mengkaji setiap

perubahan yang terjadi dalam masyarakat di lingkungan sekitarnya seta

digunakan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis.

b. Memiliki kesadaran sejarah, dalam arti : (1) memiliki kesadaran akan penting

dan berharganya waktu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, (2) kesadaran

akan terjadinya perubahan secara terus menerus sepanjang kahidupan umat

manusia serta lingkungannya, (3) memiliki kemampuan untuk menyaring

59

nilai-nilai yang terkandung di dalam sejarah, memilih serta mengembangkan

nilai-nilai positif menjadi milik dirinya, (4) memiliki kemauan dan kemampuan

untuk mengambil teladan yang baik dri para tokoh pelaku dalam berbagai

peristiwa sejarah, (5) memiliki kemampuan kesadaran untuk tidak akan

mengulangi lagi atau menghindari dan meniadakan hal-hal yang bersifat

negatif dalam peristiwa sejarah.

c. Memiliki wawasan sejarah, dalam arti : (1) memiliki wawasan tentang

kelangsungan dan perubahan dalam sejarah sebagai satu kesatuan tiga

dimensi waktu : masa lalu, masa sekarang, masa datang, (2) memiliki

wawasan terhadap tiga dimensi waktu sejarah sebagai rangkaian kausalitas

sejarah, dan (3) memiliki kemampuan belajar dari pengalaman dalam sejarah

masa lampau, melihat kenyataan sekarang, dan mengutamakan pandangan

masa depan yang lebih maju dan bermutu lebih baik.

Walsh (1951) menyatakan fungsi utama dalam sejarah adalah sebagai

alat bagi manusia atau masyarakat untuk sadar akan karakter dan jati dirinya

sepanjang waktu dengan cara membandingkan dan memperbedakan antara

dirinya dengan orang lain. Dalam konteks pendidikan sejarah di Indonesia,

Balitbang (2002) menyatakan fungsi penting sejarah adalah memberikan bekal

kepada siswa dengan berbagai macam keterampilan agar mereka mampu belajar

dari masa lalu yang akan menjadi bekal masa kini dan masa depan. Secara

khusus fungsi pembelajaran sejarah di tingkat pendidikan menengah, yaitu SMA

adalah memberi kesadaran kepada siswa akan konsep perubahan dan

perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu, dalam rangka membangun

60

perspektif dan kesadaran sejarah, dengan cara menemukan, memahami,

menjelaskan masa kini dan masa depan serta memupuk jati diri bangsa.

Sejarah baik sebagai memori kolektif maupun konstruksi faktual yang

dilakukan oleh sejarawan pada dasarnya menghadirkan pengalaman. Sejarah

merupakan gudang pengalaman yang dihadirkan untuk memupuk kesadaran

identitas sosial dan prospek masa depan. Pengalaman masa lalu memberi

orientasi hidup bagi individu maupun masyarakat sebagai sumber untuk

menyelesaikan setiap persoalan masa kini yang semakin kompleks di tengah-

tengah keberagaman budaya dan manusia. Orientasi tersebut menjadi jalan yang

memungkinkan manusia melangkah di masa kini dan mempersiapkan masa

depan secara lebih mantap dengan menggunakan cara-cara yang realistis.

Selain itu Walsh (1951) berpendapat bahwa manfaat pembelajaran sejarah

memberikan kesadaran bagi komunitas sosial agar mereka menyadari ciri-ciri

jamannya dengan cara melakukan studi komparasi antar budaya di antara

mereka yang berbeda dalam periode tertentu. Kartodirdjo (1982) menyatakan

bahwa pengalaman sejarah dapat digunakan untuk mengatasi krisis masa kini

dengan mempelajari dan membandingkannya dengan krisis masa lampau.

Dalam konteks pendidikan, menurut Kuntowijoyo (1995) sejarah adalah

sebuah pendidikan moral, penalaran, dan pendidikan politik, kebijakan,

perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu. Notosusanto menyatakan

ada tiga guna sejarah yaitu memberi pelajaran, memberi inspirasi, dan memberi

kesenangan. Pelajaran sejarah sebagai bagian dari rumpun Pengetahuan Sosial

dalam kurikulum 2004, atau Ilmu pengetahuan Sosial dalam kurikulum 1994

mengandung manfaat sebagai sebuah perspektif berkaitan dengan penggunaan

61

pengetahuan tentang masa lampau untuk membangun pemahaman yang

bermakna atas keragaman warisan budaya dan media untuk membuat keputusan

dalam rangka menjadi warganegara yang baik dan khususnya berkaitan dengan

upaya pembentukan masyarakat yang demokratis, sejarah merupakan pra

kondisi dari kecerdasan politik (Depdiknas :2005).

Berdasarkan pada tujuan dan fungsi pembelajaran sejarah maka

pembelajaran sejarah haruslah diarahkan pada keterampilan proses yang melatih

keterampilan berpikir siswa agar lahir wawasan, pemahaman, dan kesadaran

sejarah yang diinginkan dalam tujuan pendidikan sejarah. Keterampilan berpikir

historis ini merupakan pijakan pertama dan utama mengingat kesadaran sejarah

tidak akan muncul jika siswa tidak diberi peluang untuk mengkonstruksi sendiri

wawasan sejarahnya dalam pembelajaran. Sejarah akan menjadi sesuatu yang

asing dan jauh dari kebutuhan siswa. Siswa akan bertanya-tanya mengapa harus

belajar sejarah jika sejarah sendiri tidak terkait dalam kehidupan sehari-hari

siswa dan tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian. Jaringan

yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang hanya dapat dipahami

oleh siswa ketika siswa sendiri “masuk” dalam konteks ruang dan waktu masa

lalu untuk kemudian menjadikan keduanya sebagai sumber inspirasi bagi

pembentukan karakter dan kepribadian sebagai persiapan menjadi anggota

masyarakat yang baik.

Sudah menjadi tugas guru untuk kemudian mengkondisikan pembelajaran

siswanya ke arah pembelajaran sejarah yang terarah dan bermakna, yaitu

pembelajaran sejarah yang membebaskan siswa melakukan investigasi,

eksplorasi dan menemukan peristiwa-peristiwa sejarah sebagai jawaban atas

62

masalah-masalah yang dihadapi siswa. Persoalan-persoalan ini berkaitan dengan

tujuan pendidikan sejarah itu sendiri, yaitu masalah sekitar pembentukan

warganegara yang demokratis, kesadaran multikultural, kesiapan siswa

menghadapi percepatan informasi sebagai bagian dari perubahan dan kemajuan

budaya masyarakat, dan seterusnya. Persoalan-persoalan tersebut menjadi

bagian dari latihan siswa menjadi warganegara seperti yang diinginkan.

Persoalan-persoalan tersebut tentunya juga harus dihadapi oleh siswa. Maka dari

sinilah guru perlu memfasilitasi belajar siswa dengan cara memberikan

pendekatan belajar yang sesuai sehingga siswa dapat mencapai keterampilan

kognitif dan afektifnya seperti yang diharapkan. Seperti sudah diuraikan

sebelumnya bahwa wawasan dan pemahaman sejarah hanya dapat dimengerti

dengan cara menggunakan sejumlah tema-tema penting dalam situasi kekinian

untuk kemudian menyeleksi situasi masa lampau yang layak dijadikan contoh

dan pedoman dalam usaha mencari seperangkat solusi. Dengan cara seperti ini

siswa akan menyadari bahwa “the past is not only the past”, tetapi masa lalu

adalah tempat dimana kita bisa bercermin darinya.