Bedah Mayor 1

download Bedah Mayor 1

of 22

description

lklk

Transcript of Bedah Mayor 1

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Bedah Mayor

    1. Pengertian

    Bedah mayor adalah istilah yang di pakai untuk tindakan operasi besar

    yang biasanya dikerjakan dengan anastesi umum/general anastesi (Mansjoer,

    2000). Bedah mayor adalah tindakan bedah yang dilakukan dalam rangka

    tindakan pengobatan terhadap adanya kelainan-kelainan pada organ tubuh

    (Nuraini, 2006).

    2. Indikasi bedah mayor

    Bedah mayor diindikasikan untuk :

    a. Prosedur diagnostik seperti ketika dilakukan biopsi atau laparatomi

    eksploratif.

    b. Kuratif seperti untuk mengeksisi masa tumor atau mengangkat appendik

    yang mengalami inflamasi.

    c. Reparatif seperti untuk memperbaiki luka multiple.

    d. Rekonstruksi seperti ketika melakukan mamoplasti atau perbaikan wajah.

    e. Paliatif seperti pemasangan selang nasogastrik untuk mengkompensasi

    ketidak mampuan menelan.

    (Brunner & Suddart, 2002)

  • 3. Prinsip-prinsip pembedahan

    a. Tiap tindakan pembedahan harus didasarkan atas indikasi yang tepat.

    b. Perlu dipilih tindakan yang paling aman bagi klien yang akan dioperasi.

    c. Tindakan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin

    tidak timbul komplikasi pada klien.

    (Nuraini, 2006)

    4. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembedahan

    a. Persiapan pra bedah yang baik.

    b. Asepsis dan antisepsis yang baik.

    c. Analgetik yang baik.

    d. Prosedur yang baik.

    e. Evaluasi dan penatalaksanaan post bedah yang baik.

    (Nuraini, 2006)

    B. Nyeri Post Bedah

    1. Pengertian

    Menurut Melzak dan Wall (1965) yang dikutip dari Brunnert dan

    Suddart, nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

    menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

    Sedangkan menurut ISPA (International Association of the Study of Pain),

    nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak

    menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi

    rusak atau tergambarkan seperti itu. Nyeri adalah suatu mekanisme protektif

  • bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang di rusak dan ia

    menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan

    nyeri tersebut (Guyton, 1995).

    Nyeri post bedah adalah nyeri akut yang berhubungan dengan

    kerusakan jaringan (Nuraini, 2005). Pengertian yang lain menyebutkan

    bahwa nyeri post bedah merupakan nyeri akut yang berlangsung kurang dari

    6 bulan dengan serangan yang muncul mendadak dengan sebab dan daerah

    nyerinya yang dapat diketahui ( Brunner & Suddart, 2002 ). Nyeri post bedah

    merupakan nyeri menetap selagi luka dalam masa penyembuhan yang

    ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena

    rangsangan yang biasanya hanya sebabkan nyeri ringan (Ganong, 2003 ).

    2. Bentuk nyeri post bedah

    Bentuk nyeri pada post bedah merupakan nyeri akut yang disebabkan

    oleh kerusakan jaringan karena adanya insisi pada saat pembedahan yang

    memiliki karakteristik nyeri sbb:

    a. Awitannya mendadak.

    b. Intensitas ringan sampai berat.

    c. Durasinya singkat ( dari beberapa detik sampai 6 bulan ).

    d. Meningkatkan respon otonum seperti: konsisten dengan stress simpatis,

    frekuensi jantung meningkat, volume sekuncup meningkat, tekanan darah

    meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas

    gastrointestinal dan prodoksi saliva menurun.

  • e. Komponen psikologis yang berperan adalah ansietas.

    f. Berhubungan dengan kerusakan jaringan.

    ( Brunner & Suddart, 2002, Kozier, Glenora, Berman, Snyder, 2004 ).

    3. Mekanisme nyeri post bedah

    Menurut Melzak dan Wall (1965), mekanisme nyeri berawal dari

    reseptor nyeri (nosiseptor). Reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam

    kulit yang hanya berespon pada stimulus yang kuat yang secara potensial

    merusak jaringan (Brunner & Suddart, 2002). Antara kerusakan jaringan

    (sumber rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi terdapat suatu

    proses elektrofisiologis yang disebut nociceptive. Terdapat 4 proses yang

    terjadin pada nociceptive:

    a. Proses Transduksi, merupakan proses pengubahan rangsangan nyeri

    menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung syaraf.

    Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, tekanan, suhu dan kimia.

    b. Proses Transmisi, merupakan penyaluran hasil isyarat listrik yang terjadi

    pada proses transduksi melalui syaraf A delta bermielin dari perifer ke

    medula spinalis, kemudian isyarat nyeri tersebut melalui medulasi

    sebelum diteruskan ke thalamus melalui traktus spinotalamikus yang

    selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di kortek serebri dimana

    isyarat tersebut diterjemahkan

    c. Proses Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen

    yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medulla

    spinalis. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri

  • d. menjadi sangat subyektif bagi setiap individu dan sangat ditentukan oleh

    makna atau arti dari asupan nyeri.

    e. Proses Persepsi, merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks

    dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang diterjemahkan oleh

    daerah somatosensorik kortek serebri yang menghasilkan suatu perasaan

    subyektif sebagai persepsi nyeri (Sylvia & Lorraine, 2006).

    Pada nyeri post bedah rangsangan nyeri disebabkan oleh rangsangan

    mekanik yaitu luka (insisi) dimana insisi ini akan merangsang mediator-

    mediator kimia dari nyeri seperti histamin, bradikinin, asetilkolin dan

    subtansi prostaglandin dimana zat-zat ini diduga dapat meningkatkan

    sensitifitas reseptor nyeri yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Selain zat

    yang mampu merangsang kepekaan nyeri, tubuh juga memiliki zat yang

    mampu menghambat (inhibitor) nyeri yaitu endorfin dan enkefalin yang

    mampu meredakan nyeri (Brunner & Suddart, 2002).

    4. Teori nyeri

    Telah diajukan sejumlah teori untuk menjelaskan mekanisme

    neurologik yang mendasari sensasi nyeri termasuk dua teori yang terbaru

    yaitu:

    a. Theory Kontrol Gerbang

    Melzack dan Wall (1965) menciptakan teori pengendalian gerbang. Teori

    ini berusaha menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulus yang

    identik dengan menggunakan suatu model skematik untuk

    menggambarkan gagasan mereka. Teori pengendalian gerbang

    menjelaskan mengapa aktivitas penggosokan, pemijatan, TENS, dan

  • teknik relaksasi napas dalam dapat menghilangkan nyeri karena karena

    aktivitas-aktivitas di serat besar dirangsang oleh tindakan ini, sehingga

    gebang untuk aktifitas serat berdiameter kecil (nyeri) tertutup. Prinsip

    dasar pada teori kontrol gerbang adalah sbb: (price & Wilson, 2006)

    1). Baik serat sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi

    mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (A-a dan A-b)

    maupun serat kecil (S) yang membawa informasi mengenai nyeri

    (serat A-a dan C) menyatu di korno dorsalis medulla spinalis.

    2). Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi (T)

    medula spinalis di korno dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme

    gerbang di sel-sel subtansi gelatinosa. Apabila gerbang tertutup,

    impuls nyeri tidak dapat dirasakan. Apabila gerbang terbuka atau

    sedikit terbuka, impuls nyeri akan merangsang sel T di kornu dorsalis

    dan kemudian naik melalui medula spinalis ke otak, tempat impuls

    tersebut dirasakan sebagai nyeri.

    3). Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh jumlah relatif aktifitas di

    serat aferen primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S).

    Aktivitas di serat besar cenderung menghambat transmisi nyeri

    (menutup gerbang), sedangkan aktivitas di serat kecil cenderung

    mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang). Serat berdiameter

    besar merangsang neuron-neuron substansi gelatinosa inhibitorik

    sehingga input ke sel T berkurang sehingga nyeri dihambat.

    Sebaliknya, serat berdiameter kecil menghambat substansi gelatinosa

  • inhibitorik sehingga terjadi peningkatan transmisi nyeri dari aferen

    primer ke sel T dan karenanya meningkatkan intensitas nyeri. Inhibisi

    dan fasilitasi diperkirakan dilakukan oleh mekanisme prasinaps dan

    pascasinaps.

    4). Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun

    dari otak. Aspek mekanisme ini didasarkan oleh banyaknya faktor

    psikologis yang diketahui mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa

    kornu dorsalis medula spinalis dipengaruhi oleh beberapa jalur yang

    turun dari otak. Berbagai sistem modulasi-nyeri desendens yang

    melibatkan nukleus-nukleus batang otak dan neuron serotonergik dan

    noradrenali nyang berproyeksi ke substansi gelatinosa di kornu

    dorsalis

    5). Apabila keluaran dari sel T medula spinalis melebihi suata ambang

    kritis, terjadi pengaktivan sistem aksi untuk perasaan dan respon

    nyeri. Apabila pengaktivan ini terjadi, input sensorik akan disaring

    dan aktivitas sensorik dan afektif yang berkelanjutan terjadi ditingkat

    SSP; sebagai contoh, terjadi interaksi antara sistem pengendalian

    gerbang dan sistem aksi atau otak menganalisi dan bekerja

    berdasarkan input sensorik yang diterimanya.

    b. Theory Endorfin-Enkefalin

    Pada tahun 1975, Hughes dan rekan-rekannya menemukan enkefalin

    yang merupakan zat opioid endogen yang bersifat mirip morfin dan

    berkaitan dengan reseptor opioid. Sampai saat ini terdapat 3 golongan

  • utama peptida opioid endogen yaitu: golongan enkifalin, beta-

    endorfin, dan dimorfin. Enkifalin ditemukan di hipotalamus, sistem

    limbik, PAG, RVM (yang banyak mengandung neuron serotonergik), dan

    korno dorsalis medula spinalis. Diluar SSP enkefalin juga ditemukan di

    saluran gastro intestinal dan kelenjar adrenal. Dipercaya bahwa enkifalin

    mungkin menghambat pelepasan zat p di kornu dorsalis medula spinalis.

    Beta-endorfin adalah suatu pragmen peptida yang berasal dari

    proopiomelanokortin (POMC) di kelenjar hipofisis yang memiliki efek

    analgetik. Beta-endorfin terdapat dalam jumlah signifikan di hipotalamus

    dan PAG serta sedikit di medula spinalis. Dimorfin merupakan endorfin

    yang paling akhir ditemukan yang memiliki efek analgetik yang paling

    kuat. Dimorfin berasal dari pro-dimorfin yang dihasilkan oleh kelenjar

    hipofisis posterior. Semua opioid endogen ini bekerja dengan mengikat

    reseptor opioid, dengan efek analgetik serupa dengan yang ditemukan

    oleh opioid eksogen. Dengan demikian reseptor opioid dan opioid

    endogen membentuk suatu sistem penekan nyeri intrinsik. Bukti

    eksperimental mengisyaratkan bahwa tindakan-tindakan untuk

    mengurangi nyeri seperti plasebo, akupungtur, TENS dan teknik relaksasi

    napas dalam mungkin bekerja karena tindakan-tindakan tersebut

    merangsang pelepasan opioid endogen (Price & Wilson, 2005).

  • 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah sbb:

    a. Ambang nyeri

    Intensitas rangsangan terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri

    bila rangsangan tersebut digunakan untuk waktu yang lama disebut

    dengan ambang nyeri (Guyton, 1995), karena hal inilah maka tidak semua

    orang yang terpajang terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas

    nyeri yang sama. Bisa saja suatu sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang

    mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain, hal ini disebabkan karena

    masing-masing orang memiliki ambang nyeri yang berbeda ( Brunner &

    Suddart, 2005 ).

    b. Toleransi nyeri

    Toleransi nyeri mengacu pada lama atau intensitas nyeri yang masih

    dapat ditahan oleh pasien sampai secara ekplisit pasien tersebut mengaku

    dan mencari pengobatan. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri

    lebih besar kemungkinannya bervariasi antar individu. Faktor-faktor yang

    menurunkan toleransi nyeri adalah pajanan nyeri yang berulang,

    kelelahan, kurang tidur, rasa cemas dan ketakutan. Sedangkan yang

    meningkatkan toleransi nyeri adalah keadaan hangat atau dingin, adanya

    pengalihan, konsentrasi alcohol, hypnosis dan keberagamaan (Price &

    Wilson, 2005)

  • c. Arti nyeri

    Nyeri mempunyai arti yang berbeda bagi orang, berbeda untuk

    orang yang sama pada waktu yang berbeda. Pada umumnya orang

    memandang nyeri sebagai pengalaman negatif.

    d. Persepsi terhadap nyeri

    Sistem yang terlibat dalam persepsi nyeri disebut sistem nosiseptif

    yang terletak pada kortek cerebri. Sensitifitas dari sistem nosiseptor di

    pengaruhi oleh berbagai faktor dan berbeda diantara individu oleh karena

    itulah tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama

    mengalami intensitas nyeri yang sama.

    e. Pengalaman masa lalu

    Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak

    kejadian nyeri selama rentang hidupnya. Orang yang mempunyai

    pengalaman yang multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih

    sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibandingkan orang yang

    hanya mengalami sedikit nyeri, namun bagi sebagian orang hal ini tidak

    selalu benar.

    f. Sosial budaya

    Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana

    seseorang berespon terhadap nyeri, namun budaya dan etnik tidak

    mempengaruhi persepsi nyeri ( Zatzik & Dimsdale, 1990 ).

    Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar

    mereka tentang respon nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau

  • tidak diterima, misalnya budaya pasien mungkin saja menerima orang

    untuk menangis ketika merasa nyeri dan menggunakan kata-kata sifat

    seperti tidak tertahankan dalam menggambarkan istilah nyeri. Namun

    pada budaya lain bisa bertingkah secara berbeda seperti diam seribu

    bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri dengan suara keras.

    g. Usia

    Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari

    perubahan patologis yang berkaitan dengan beberapa penyakit, tetapi

    pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Lansia juga

    cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam

    waktu yang lama.

    h. Efek plasebo

    Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan

    atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan

    tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan

    tersebut benar-banar bekerja. Efek flasebo ditimbulkan oleh endorfin

    yang mampu menurunkan intensitas nyeri.

    6. Tingkat nyeri

    Rentang intensitas nyeri dapat di tentukan dengan 4 cara yaitu

    dengan menggunakan skala intensitas nyeri baik yang berupa skala

    intensitas nyeri diskriptif sederhana, skala intensitas nyeri numerik 0

    sampai dengan 10, dengan skala analog visual dan dengan menggunakan

  • kuesioner McGill. Penggunaan skala intensitas nyeri ini didasarkan pada

    pertimbangan bahwa individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang

    dialaminya dan karenanya individu diminta untuk memverbalkan atau

    menunjukkan tingkat nyerinya. Berdasarkan kuesioner McGill nyeri

    dibagi menjadi lima (5) tingkatan, yaitu:

    a. Nilai 0 : tidak nyeri

    b. Nilai 1 : nyeri ringan

    c. Nilai 2 : tidak nyaman

    d. Nilai 3 : menderita

    e. Nilai 4 : sangat menderita

    f. Nilai 5 : menyiksa

    (Kozier, Glenora, Berman, Snyder, 2004)

    7. Stategi penatalaksanaan nyeri

    Menghilangkan nyeri merupakan tujuan dari penatalaksanaan nyeri

    yang dapat dicapai dengan dua (2) pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi

    dan non farmakologi. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan

    dan tujuan klien secara individu.

    a. Pendekatan farmakologis

    Pendekatan farmakologi merupakan suatu pendekatan yang

    digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan.

    Obat merupakan bentuk pengendalian nyeri yang paling sering diberikan

  • yang diberikan oleh perawat dengan berkolaborasi dengan dokter.

    Terdapat 4 kelompok obat nyeri yaitu:

    1). Analgetik Nonopioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN)

    Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang

    terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti peritik,

    analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat (Aspirin) dan

    ibuprofin (Morfin, Advil) merupakan OIANS yang sering digunakan

    untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan. OAINS menghasilkan

    analgetik dengan bekerja ditempat cedera melalui inhibisi sintesis

    prostaglandin dari prekorsor asam arakidonat. Prostaglandin

    mensintesis nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan prodok

    inflamatorik lain ditempat cedera, misalnya bradikinibin dan histamin

    untuk menimbulkan hiperanalgetik. Dengan demikian OAINS

    mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer

    dengan menghambat sintisis prostaglandin.

    2). Analgetik Opioid

    Merupakan analgeti yang kuat yang tersedia dan digunakan dalam

    penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan berat.

    Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca

    operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah satu jenis

    obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat. Berbeda dengan

    OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek

    analgetiknya di sentral. Morfin menimbulkan efek dengan mengikat

  • reseptor opioid di nukleus modulasi nyeri di batang otak yang

    menghambat nyeri pada sistem assenden.

    3). Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid

    Merupakan obat yang melawan obat opioid dan menghambat

    pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis ini

    yang efektif jika diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya

    menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan

    dengan opioid murni.

    4). Adjuvan atau Koanalgetik

    Merupakan obat yang memiliki efek analgetik atau efek

    komplementer dalam penatalaksanaan nyeri yang semula

    dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah

    Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin) (Price & Wilson,

    2006).

    b. Penatalaksanaan non farmakologis

    Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk

    memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan

    nyeri. Namun begitu banyak aktifitas keperawatan non farmakologi yang

    dapat membantu dalam menghilangkan nyeri. Bentuk-bentuk

    penatalaksanaan non farmakologi menurut brunnert dan suddart (2002)

    meliputi:

  • 1). Stimulasi dan Massage Kutaneus

    Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

    dipusatkan pada pinggang dan bahu. Massage menstimulasi reseptor

    tidak nyeri. Massage juga membuat pasien lebih nyaman karena

    membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot.

    2). Terapi Es dan Panas

    Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat

    sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area

    sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran

    darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri

    3). Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS)

    TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan

    elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi

    kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai

    dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup

    transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat

    untuk menurunkan intensitas nyeri.

    4). Distraksi

    Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu

    selain pada nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri

    dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan

    lebih sedikit stimulus nyeri yang di transmisikan ke otak. Keefektifan

    transmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan

    membangkitkan input sensori selain nyeri.

  • 5). Teknik Relaksasi

    Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari

    ketegangan dan stress yang mampu memberikan individu kontrol

    ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri/stress fisik dan emosi pada

    nyeri.

    6). Imajinasi Terbimbing

    Dilakukan dengan menggunakan imajinasi seseorang dalam

    suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif

    tertentu. Individu di instruksikan untuk membayangkan bahwa dengan

    setiap napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat akan

    menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan dikeluarkan.

    7). Hipnosis

    Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini

    mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit

    8. Efek nyeri post bedah

    Menurut Yeagar (1987) dan Benedetti (1984) yang dikutip dari brunnert

    dan suddart selain ketidaknyamanan nyeri yang tidak dikelola dengan baik

    akan menimbulkan efek yang membahayakan yaitu mempengaruhi sistem

    pulmonal, kardiovaskuler, gastrointestinal, endogrin dan imonologik, efek

    tersebut dapat berupa peningkatan laju metabolisme dan curah jantung,

    kerusakan respon insulin, peningkatan prodiksi kortisol, dan retensi cairan.

  • C. Teknik Relaksasi Napas Dalam

    1. Pengertian

    Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

    keperawatan pra bedah, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada

    klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan

    inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara

    perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas

    dalam juga dapat meningkatkkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi

    darah ( Brunner dan Suddart, 2002 ).

    2. Indikasi

    Teknik relaksasi napas dalam di indikasikan pada klien yang akan

    menjalani pembedahan, klien yang mengalami gangguan ventilasi paru

    seperti pada penderita PPOM dan klien yang mengalami kecemasan.

    3. Tujuan

    Menurut Alimul (2006), Burnner dan Suddart (2005). Tujuan teknik

    relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

    memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi

    batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu

    menurunkan intensitas nyeri dan menurunkantingkat kecemasan.

    4. Prosedur teknik relaksasi napas dalam

    Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapan

    diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi

    yang mengakibatkan pembesaran abdomenbagian atas sejalan dengan

  • desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik

    relaksasi napas dalam adalah sbb :

    a. Atur posisi: Lakukan dalam posisi yang sama seperti posisi anda ditempat

    tidur nanti setelah pembedahan yaitu posisi semi fowler (posisi setengah

    duduk dengan sudut antara 15 derajat sampai 30 derajat) atau berbaring di

    tempat tidur dengan punggung dan bahu tersangga baik dengan bantal.

    b. Dengan tangan dalam posisi ganggam kendur, biarkan tangan berada di

    atas iga paling bawah. Jari-jari tangan menghadap dada bagian bawah

    untuk merasakan gerakan.

    c. Keluarkan napas dengan perlahan dan penuh bersamaan dengan gerakan

    iga menurun dan kedalam mengarah pada garis tengah.

    d. Kemudian ambil napas dalam melalui hidung dan mulut anda, biarkan

    abdomen mengembang bersamaan dengan paru-paru terisi udara.

    e. Tahan napas dalam hitungan ketiga.

    f. Hembuskan dan keluarkan semua udara melalui hidung dan mulut anda

    g. Ulangi 15 kali dengan istirahat singkat setelah setiap lima kali

    h. Lakukan hal ini 2 kali pra operasi

    (Potter & Perry, 2006)

    D. Pengaruh Teknik Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas

    Nyeri

    Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri

    melalui tiga (3) mekanisme yaitu:

  • 1. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang

    disebabakan oleh insisi (trauma) jaringan pada saat pembedahan.

    2. Relaksasi otot-otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

    mengalami trauma sehingga mempercepat penyembuhan dan menurunkan

    (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah merupakan nyeri yang

    disebabkan oleh trauma jaringan oleh karena itu jika trauma (insisi) sembuh

    maka nyeri juga akan berkurang (hilang).

    3. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk

    melepaskan opoiod endogen yaitu endorfin dan enkefalin.

    (Brunner & Suddart, 2002, Price & Wilson, 2006)

    E. Penelitian Terkait

    Penelitian tentang nyeri yang penulis temukan adalah penelitian milik

    Irawati dengan judul Perbedaan Intensitas Nyeri Kala I Persalinan Normal

    Sebelum dan Sesudah Diberikan Teknik Relaksasi Napas Dalam di Puskesmas

    Srondol Semarang (skripsi). Universitas Diponegoro tahun 2003. Hasil dari

    penelitian yang dilakukan adalah: Ada perbedaan secara bermakna intensitas

    nyeri kala I persalinan normal sebelum dan setelah diberikan teknik relaksasi

    napas dalam. Nyeri persalinan kala I yang dirasakan ibu sebelum pemberian

    teknik relaksasi napas dalam yaitu tidak nyaman (skala nyeri 2) 13,3 %,

    menderita (skala nyeri 3) 16,7%, sangat menderita (skala 4) dan manyiksa (skala

    nyeri 5) 30%, sedangkan setelah pemberian teknik relaksasi napas dalam yaitu

    kondisi tidak nyaman (skala nyeri 2) 6,7%, menderita (skala nyeri 3) 53,3%,

    sangat menderita (skala nyeri 4) 26,7%, dan menyiksa (skala nyeri 5) 13,3%.

  • Selain penelitian milik Irawati penulis juga menemukan penelitian milik

    Maya Dewi Yustini dengan judul Hubungan Relaksasi Pernapasan Dalam dengan

    Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pemasangan Kateter Menetap Program Sectio

    Sesaria di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang (skripsi). Universitas

    Diponegoro tahun 2002. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah: Ada

    hubungan yang bermakana antara pemberian teknik relaksasi pernapasan dalam

    dengan penurunan intensitas nyeri yang dirasakan ibu pada pemasangan kateter

    menetap program section sesaria yaitu dari 30 sample yang dilakukan teknik

    relaksasi pernapas dalam 22 sample mengeluh nyeri sedang dan 8 sample

    mengerasa nyeri berat, sedangkan pada 30 sample yang tidak dilakukan teknik

    relaksasi pernapasan dalam 9 sample mengeluh nyeri sedang dan 21 sample

    mengeluh nyeri berat.

  • E. Kerangka Teori

    Skema 2. 1: kerangka teori penelitian

    (Sumber: Brunner & Suddart, 2002, Price & Wilson, 2006)

    Post bedah mayor

    Kerusakan jaringan (luka insisi)

    Nyeri

    Factor yang mempengaruhi: - Ambang nyeri - Toleransi nyeri - Arti nyeri - Persepsi nyeri - Pengalaman masa lalu - Sosial budaya - Usia - Efek flasebo Perawat

    Perubahan intensitas nyeri

    Berdasarkan kuesionerMcGill nyeri dibagi: 0 : tidak nyeri

    1 : nyeri ringan

    2 : tidak nyaman

    3 : menderita

    4 : sangat menderita

    5 menyiksa

    Penatalaksanaan non farmakologi:

    pemberian teknik relaksasi napas dalam

  • G. Kerangka Konsep

    Skema 2. 2: Kerangka konsep penelitian

    H. Hipotesis

    Uraian ringkas dalam latar belakang masalah yang telah ditulis memberi dasar

    bagi peneliti dalam merumuskan hipotesa sebagai berikut: Ada penurunan

    intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam pada klien post

    bedah mayor.

    Intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi

    napas dalam

    Intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi

    napas dalam