Case Bedah

download Case Bedah

of 41

Transcript of Case Bedah

BAB I PENDAHULUANSistem endokrin merupakan sistem dan organ yang memproduksi hormon. Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang tidak mempunyai saluran keluar (ductus exkretorius). Yang termasuk susunan endokrin ialah: hipotalamus, kelenjar hipofisis (pituitaria), kelenjar pineal, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, kelenjar timus, pulaupulau langerhans pankreas, korteks dan medula anak ginjal, ovarium, testis dan sel endokrin di saluran cerna yang disebut sel amine precursor uptake and decarboxylation (sel APUD). Hormon yang dihasilkan hipofise dapat bersifat tropik. Hormon ini tidak langsung mempengaruhi sel-sel tubuh tapi mempengaruhi hormon endokrin lain (target gland). Ilmu bedah endokrin adalah ilmu bedah yang mempelajari pemeriksaan, diagnosis, teknik pembedahan, dan perawatan pasca bedah kelenjar. Kelenjar tiroid merupakan salah satu organ dari sistem endokrin. Kelenjar tiroid berfungsi untuk mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar optimal, merangsang konsumsi oksigen pada sebagian besar sel ditubuh, mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, dan penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal. Fungsi tiroid diatur oleh hormon perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone = TSH = Tirotropin) dari hipofisis anterior. Kelenjar tiroid merupakan organ terbesar dari sistem endokrin. Gangguan organ ini memberikan manifestasi klinik tersering dibandingkan dengan organ lainnya dari sistem endokrin.

EpidemiologiKelenjar tiroid termasuk bagian tubuh yang jarang mengalami keganasan yaitu sekitar 3-5 % dari semua tumor maligna. Tetapi diantara kelenjar endokrin, keganasan tiroid termasuk jenis keganasan kelenjar endokrin yang paling sering ditemukan (90%). Insidensnya lebih tinggi di negara dengan struma endemik, terutama jenis yang tidak berdiferensiasi. Kanker tiroid didapat 1% dari seluruh penyakit keganasan dan menempati urutan petama keganasan kelenjar endokrin. Insidens kanker tiroid sampai saat ini di Indonesia belum didapati, hanya saja pada registerasi patologi menempati urutan ke 9 (4%) dari 10 keganasan tersering. Di Amerika didapati 14000 penderita baru dan Republik Federal German 3000 penderita setiap tahunnya 1

Tabel 1. Pola kanker pada kelenjar endokrin

Tipe Thyroid Endocrine pancreas Adrenal Thymus Pineal gland Pituitary gland Parathyroid Carotid body or paragangliaTabel 2. Pola penyakit kanker

Jumlah penderita 13.900 800 550 425 128 77 65 33

Persentase 87 5 3.4 2.6 0.8 0.5 0.4 0.2

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

ICD 180 174 196 173 147 183 154 171 193 153

Lokasi Leher rahim Payudara wanita Limfoid sekunder Kulit Nasofaring Ovarium Rectum Jaringan ikat Tiroid Kolon

Jumlah Kasus 3.110 1.925 1.523 1.394 950 803 735 708 539 476

Frek. Relative 25.57 % 15.83 % 12.52 % 11.46 % 7.80 % 6.60 % 6.04 % 5.82 % 4.43 % 3.91 %

Sumber data: bulletin badan registrasi kanker Indonesia BRK IAPI, No 4, 1989

Karsinoma tiroid didapat pada semua usia dengan puncak pada usia muda (7-20 tahun) dan usia setengah baya (40-60 tahun). Insidens pada pria sekitar 3/100.000/th dan wanita sekitar 8/100.000/th. Berbagai perubahan neoplasma dapat terjadi pada kelenjar tiroid, baik jinak maupun ganas. Secara klinis antara nodul jinak maupun yang ganas sulit dibedakan. Dari berbagai penelitian, terdapat beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk menduga kecenderungan nodul tiroid tersebut ganas atau tidak, antara lain riwayat terekspos sinar radiasi, usia saat timbul nodul, konsistensi nodul, dan lain-lain. Insiden kanker di Indonesia diperkirakan 180 per 100.000 penduduk. Struktur umur pada suatu populasi besar pengaruhnya terhadap suatu kanker. Nodul tiroid ditemukan lebih dari 7 % populasi dan 4-6 % nodul tersebut adalah ganas. Nodul yang teraba pada kelenjar tiroid sangat sering ditemukan pada pemeriksaan fisik, terutama pada wanita muda. Insidens nodul tiroid yang teraba di Amerika Serikat dilaporkan pada 4 - 7% dari populasi dewasa. 2

The American Cancer Society memperkirakan terdapat 20.700 kasus baru dari karsinoma tiroid pada tahun 2002 di Amerika Serikat. Kematian akibat karsinoma tiroid tersebut diperkirakan mencapai angka 1300 jiwa. Distribusi histiologik dari karsinoma tiroid primer adalah kanker tiroid jenis papilar (71,4%); kanker tiroid jenis folikular ( 16,7%); kanker tiroid jenis anaplastik (8,4%); dan kanker tiroid jenis medular (1,4%). Dengan berbagai kemajuan teknologi kedokteran, seperti aplikasi biopsi jarum halus (BAJAH), ultrasonografi (USG), thyroid stimulating hormone (TSH) sensitive dan terapi supresi L-tiroksin, telah memungkinkan para peneliti melakukan evaluasi nodul tiroid secara lebih cermat hingga sampai pada diagnosis nodul junak atau ganas. Karsinoma tiroid termasuk kelompok penyakit keganasan dengan prognosis relatif baik. Umumnya tergolong pada slow growing tumor dengan pertumbuhan dan perjalanan penyakit yang lambat, serta morbiditas dan mortalitas yang rendah. Perjalanan klinis karsinoma tiroid sering sukar diramalkan. Kadang-kadang nodul tiroid baru muncul dalam beberapa bulan dan timbul mendadak seperti pada karsinoma tiroid anaplastik. Tetapi dapat pula mengalami nodul tiroid berpuluh tahun dan memberi gejala klinis yang ringan saja seperti pada karsinoma tiroid papiler. Modalitas terapi karsinoma tiroid, khususnya yang berdiferensiasi adalah operasi, ablasi iodium radioaktif dan terapi supresi L-tiroksin. Agresivitas terapi didasarkan atas faktor resiko prognostik pada masing-masing pasien. Untuk evaluasi hasil pengobatan, parameter yang digunakan adalah pencitraan dan petanda keganasan. Walaupun hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang bagaimana bentuk terbaik pengobatan karsinoma tiroid, telah disepakati bahwa tiroidektomi adalah langkah pertama yang harus dilakukan pada karsinoma tiroid atau pada struma yang dicurigai ganas. Angka kematian akibat karsinoma tiroid hanya 0,4% dari semua kematian akibat kanker, yang merupakan angka yang cukup rendah. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengenal nodul tiroid sebagai suatu proses keganasan, karena banyak kelainan atau nodul tiroid yang lain yang bukan merupakan karsinoma. Dengan demikian tidak akan terlewat adanya nodul ganas yang memerlukan tindakan bedah, sekaligus dapat terhindar dari tindakan operasi yang seharusnya tidak perlu pada nodul yang jinak.

3

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Nama Umur Jenis kelamin No RM Alamat Agama Suku Status pernikahan Pekerjaan Pendidikan Terakhir : Ny. Suparti : 40 tahun : Perempuan : 21-61-23 : Rancabungur RT/RW 04/009 : Islam : Sunda : Kawin : ibu rumah tangga : SD

II. Anamnesis Pada tanggal 19 september 2011 pukul 07.30 WIB dilakukan autoanamnesis di Ruang Antasena 4 RSMM, pasien masuk RSMM tanggal 18 September 2011

Keluhan Utama : Benjolan pada leher bagian depan kanan yang makin lama makin membesar sejak 9 tahun yang lalu

Keluhan Tambahan : Os mengeluh demam yang hilang timbul, rasa mengganjal saat menelan, kadang sesak, sulit untuk bab, sering merasa lelah, berat badan dan nafsu makan yang menurun.

Riwayat penyakit sekarang Os datang dengen keluhan benjolan di leher depan bagian kanan sejak 9 tahun yang lalu, benjolan dirasakan makin lama makin besar, awalnya hanya sebesar kelereng. Os mengaku pernah berobat 7 tahun yang lalu untuk benjolannya ke alternatif dan dilakukan penyedotan pada benjolan dengan suntikan dan saat itu cairan yg dikeluarkan berwarna kuning kehitaman. Sejak saat itu, benjolan dirasakan semakin cepat membesar sampai sebesar telur ayam. Selain itu, demam sering dirasakan hilang timbul disertai keringat yang banyak dan lebih menyukai tempat yang dingin. Terutama saat menelan, os mengeluh ada 4

rasa mengganjal tetapi tidak nyeri dan terkadang sesak pada posisi tidur terlentang. Os juga mengeluh nafsu makan yang menurun disertai penurunan badan sekitar 20kg. Sejak 6 bulan yang lalu, os juga mengeluh susah untuk buang air besar dan juga sering merasakan cepat lelah. Os menyangkal benjolan nyeri saat ditekan Gejala-gejala seperti sering cemas, sulit tidur, mudah berkeringat, berdebar-debar, diare, tremor halus di tangan, penurunan berat badan walaupun nafsu makan meningkat dan gangguan pola menstruasi disangkal oleh pasien. Tidak pernah ada perubahan warna kulit , keluar cairan, ataupun rasa nyeri dari benjolan tersebut. Os mengaku memiliki riwayat DM dan berobat secara teratur di RSMM.

Riwayat penyakit dahulu Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi dan riwayat sakit TBC. Tidak pernah menjalani pengobatan radiasi di daerah leher ataupun dada.

Riwayat lingkungan Os mengaku di tempat tinggal ada orang lain/tetangga yang menderita seperti ini.

Riwayat Penyakit Keluarga Pasien menyangkal ada keluarga yang menderita seperti ini.

III. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi Pernafasam Suhu : : : : : : tampak sakit ringan compos mentis 130/100 mmHg 82 x/menit, reguler, isi cukup. 22 x/menit, teratur 36,4C

Status Generalis Kepala : Normocephali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut. Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, oedem -/-. Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -, sekret -/-. 5

Telinga Mulut

: Normotia, nyeri tarik aurikula -/-, nyeri tekan tragus -/:Bibir merah kecoklatan, agak kering, sianosis (-), sariawan(-), trismus (-), halitosis (-), candidiasis(-).

Lidah Gigi geligi Uvula Tonsil Tenggorokan Leher

: Normoglossia, warna merah muda, lidah kotor (-). : Baik : Letak di tengah, hiperemis (-) : T1/T1, tidak hiperemis : Faring tidak hiperemis : Lihat status lokalis

Thorax

Paru Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, efloresensi primer/sekunder dinding dada (-), pulsasi abnormal (-),

gerak napas simetris, irama teratur, retraksi suprasternal (-) Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus cordis tidak tampak : Tidak dilakukan. : Tidak dilakukan : S1 normal,S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-) : Gerak napas ,vocal fremitus simetris : Sonor di semua lapangan paru : Suara napas vesikuler, ronchi +/+, wheezing-/-

Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Bentuk datar : Supel, tidak teraba pembesaran hepar dan lien. : Timpani di semua kuadran abdomen, shifting dullness(-) : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Atas Bawah

: : akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-). : akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-). 6

Status Lokalis Regio colli anterior 1. Inspeksi : Tampak benjolan bulat di regio coli anterior dextra. Warna sama dengan kulit sekitarnya. Kulit tidak meradang. Benjolan tidak mengeluarkan darah atau pus 2. Palpasi : Teraba massa di regio colli anterior dextra dengan ukuran 7x5 cm , bentuk agak lonjong, batas tegas, konsistensi kenyal, permukaan licin, mobile, tanda radang (-), nyeri tekan (-). Benjolan ikut bergerak saat menelan. 3. Auskultasi : Bruit (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Darah:

Hb Ht Leukosit Trombosit Eritrosit Ureum Creatinin SGOT SGPT GDS TSHs

: 9,7 g/dl : 30 % : 9600 / uL : 327.000/uL : 3,79 jt /uL : 32 mg/dL : 0,6 mg/dL : 22 mg/dl : 31 mg/dl : 165 mg/dl : 0,234 IU/ml

T3 ( Total ) : 0,93 ng/ml T4 ( Total ) : 7,73 g/dl

Foto Thorax

: dbn

7

V. DiagnosisTumor Tiroid Suspek Jinak

VI. Penatalaksanaan

Subtotal Tiroidektomi

IX. PROGNOSISAd vitam Ad fungsionam Ad sanasionam : ad bonam : ad bonam : ad bonam

X. Analisa Kasus

Pada pasien ini didiagnosis sebagai suatu tumor tiroid suspek jinak dengan dasar : Dari anamnesis didapatkan bahwa benjolan tidak tumbuh secara cepat, tanda-tanda keganasan juga tidak didapatkan pada pasien ini, seperti : adanya nyeri pada benjolan, keluar cairan dari benjolan, kesulitan bernafas ataupun nyeri saat menelan. Dari anamnesis juga dapat diperkirakan jenis dari tumor tiroid yang mengarah pada struma noduler non toksik karena tidak adanya tanda-tanda hipertiroiditas, seperti : Gejala-gejala seperti sering cemas, sulit tidur, mudah berkeringat, berdebar-debar, diare, tremor halus di tangan, penurunan berat badan walaupun nafsu makan meningkat dan gangguan pola menstruasi. Selain itu, adanya riwayat lingkungan yang menyatakan bahwa ada orang lain/ tetangga yang menderita penyakit serupa, dapat menandakan daerah tempat tinggal os merupakan daerah yang penduduknya kekurangan intake iodium. Dari pemeriksaan fisik juga mendukung diagnosis kearah jinak dengan adanya sebuah benjolan dengan batas tegas, konsistensi kenyal, mobile, tidak nyeri, tidak adanya tanda radang dan permukaan yang licin dan juga tidak ditemukannya perbesaran KGB regional.

8

Dari permeriksaan penunjang didapatkan kadar TSH yang menurun yang dapat meninbulkan gejala hipotiroidisme.

Laporan Operasi

Operasi tanggal 19 September 2011. Operator : dr. Solya Wijaya SpB Diagnosis sebelum operasi : Tumor tiroid dextra Suspek Jinak Diagnosis setelah operasi : Tumor tiroid dextra Suspek Jinak Macam operasi : Subtotal Tiroidektomi dextra Posisi pasien berbaring terlentang dalam GA kepala hiperekstensi Asepsis dan antisepsis daerah operasi Insisi collar kutis subkutis Platisma buat flap proksimal distal Strep muscle dipotong Traksi proksimal distal Tampak kelenjar tiroid diameter 7cm a/v tiroidea superior kenali, klem, potong, ligasi a/v tiroidea media kenali, klem, potong, ligasi preservasi n. Laringeus superior a/v tiroidea inferior kenali, klem, potong, ligasi angkat kelenjar tiroid hemostase jahit lapis demi lapis operasi selesai

9

BAB III Tinjauan PustakaIII.1.Anatomi Kelenjar Tiroid IIiI.1.1.Embriologi Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama. Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh dan mengalami migrasi ke bawah yang akhirnya melapaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berasal dari foramen sekum di basis lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobi. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian kegagalan tertutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus tiroglosus dapat berupa kista duktus tiroglosus, tiroid lingual, atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Sisa ujung kaudal duktus tiroglosus ditemukan pada lobus piramidalis yang menempel pada ismus tiroid. Brachial pouch keempatpun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel-C yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. III.1.2.Anatomi Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang kecil, berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak di leher tepat di bawah jakun ( adams apple ), yaitu antara fasia koli media dan fasia prevertebralis dengan banyak pembuluh darah. terdiri atas dua lobus, terletak setinggi tulang vertebra servikal kelima sampai vertebra torakalis pertama. Kelenjar tiroid dihubungkan oleh istmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5 - 4 cm, lebar 1,5 2 cm dan tebal 1 1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium. Pada 10

orang dewasa beratnya bervariasi sekitar 25 30 gram (lebih berat pada wanita). Kelenjar tiroid membesar saat menstruasi dan hamil.

Di daerah leher juga terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis, dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Dibawah lapisan tengah dari fasia bagian dalam servikal, kelenjar tiroid memiliki kapsul dalam yang sesungguhnya, yang tipis dan melekat erat pada kelenjar. Kapsul ini membagi kelenjar tiroid menjadi lobus dan lobulus. Lobulus terdiri dari folikel dengan epitel yang sederhana yang berisi koloid. Koloid mengandung glikoprotein teriondinasi, iodotiroglobulin, dan precursor hormon tiroid. Folikel bervariasi dalam ukuran 11

tergantung derajat keaktifannya dan mereka dikelilingi oleh pleksus yang berisi kapiler yang menyusup, pembuluh limfe, dan saraf simpatis. Kelenjar tiroid terdiri dari dua tipe sel, yaitu sel principal (folikuler tiroid) yang bertanggung jawab terhadap formasi dari koloid dan sel parafolikuler (C-cell) yang menghasilkan hormon kalsitonin (bertanggung jawab terhadap homeostasis kalsium).

Kelenjar tiroid dilapisi oleh fasia viseralis yang membagi lapisan tengah dari fasia servikal bagian dalam yang melekat secara halus pada tulang laryngeal. Ligamentum suspensorim anterior dimulai dari bagian superior-medial dari kelenjar tiroid yang melekat pada krikoid dan kartilago tiroid. Bagian postero-medial dari kelenjar melekat pada samping dari kartilago krikoid, cincin trakea pertama dan kedua oleh ligamentum suspensorium posterior (ligamentum Berry). Melalui cara ini menuju laring, nervus laringeal rekuren biasanya melewati ligamentum Berry atau antara ligament utama dengan sisi lateralnya. Lapisan-lapisan inilah yang bertanggung jawab pada pergerakan dari kelenjar tiroid dan struktur yang berhubungan dengan proses menelan. Pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar kearah cranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Sisi lateral tiroid ditutupi oleh m. sternotiroid dan ini melekat pada garis oblik dari kartilago tiroid untuk mencegah bagian superior tiroid menonjol ke superior dibawah muskulus tirohyoid. Lebih anterior terdapat sternohyoid dan superior belly dari otot omohyoid. Saling tumpang tindih pada bagian bawah dengan 12

m.sternokleidomastoideus. m.sternohyoid dan m.sternotiroid bergabung pada garis tengah oleh fasia avaskuler. Kelenjar tiroid adalah kelenjar dengan banyak pembuluh darah yang terletak dibagian bawah leher.

Vaskularisasi dari kelenjar tiroid berasal dari 4 arteri yang utama,yaitu : 2 dari atas yaitu dari a. tiroidea superior kanan dan kiri, (cabang a. karotis eksterna) 2 dari bawah yaitu a. tiroidea inferior kanan dan kiri (cabang a.subclavia) Sistem vena berasal dari plexus perifolikular terdiri atas: v. tiroidea superior v.tiroidea media v. tiroidea inferior Vaskularisasi kelenjar tiroid amat baik. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis. Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber; arteri karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. A tiroidea superior berasal dari A. karotis komunis atau A. karotis eksterna; A. tiroidea inferior berasal dari A. subklavia. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler (beranastomosis secara ipsilateral maupun kolateral; dan jala-jala limfatik; Kadang kala dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena berasal dari pleksus perifolikuler yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral, dan vena

13

tiroidea inferior. Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/ menit.

Distribusi arteri tiroid dari penempang depan

Distribusi arteri tiroid dari penampang belakang

14

Distribusi vena tiroid

The thyroid gland and its arterial supply. (Drs. L. J. Rizzolo and W. B. Stewart, Section of Anatomy. Department of Surgery, Yale University School of Medicine, New Haven, Connecticut, are acknowledged for providing the figure. From parathyroid and thyroid anatomy, in Surgery of the thyroid and parathyroid glands, 1e. Oertli D, and Udelsman R, eds. Berlin-HeidelbergNew York: Springer, with permission.)

Persarafan yang terdapat di sekitar kelenjar tiroid adalah cabang dari Nervus Vagus yaitu N. laryngeus superior dan N. laryngeus inferior atau N. laryngeus recurrens.Terdapat dua macam saraf yang mempersarafi laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus laringeus superior. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring dan terdapat pada kedua sisi. Fungsi motorik dari nervus rekurens adalah untuk mengabduksi pita suara dari garis tengah. Kerusakan nervus rekurens menyebabkan kelumpuhan pita suara dan apabila nervus rusak pada kedua sisi mengakibatkan hilangnya suara dan obstruksi dari saluran udara sehingga memerlukan intubasi dan tracheostomy.

15

Nervus laryngeal superior mempersarafi lobus atas tiroid walaupun kerusakan dari nervus ini tidak menyebabkan gangguan yang terlalu besar seperti yang dialami pada kerusakan nervus recurens pada orang-orang yang membutuhkan kualitas suara yang bagus.

Kelenjar tiroid kaya akan sistem limfatik. Drainase sistem limfatik perlu diketahui karena hubungannya dalam pembedahan karsinoma tiroid, karena pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan plexus trakealis, terdapat nodus paratrakea, nodus tracheoesophageal, nodus mediastinal di posisi anterior dan superior. Nodus jugular pada posisi atas tengah dan bawah. Nodus retropharyngeal dan esophageal pada posisi lateral. Nodus cervical metastase kanker tiroid. Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid menempel dibelakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius, sedangkan nervus laringeus rekurens berjalan di sepanjang trakea dibelakang tiroid. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan 16 pada segitiga posterior dan nodus limfatik pada segitiga submaxillary berhubungan dengan

pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

III.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid Fungsi utama hormon tiroid adalah mempertahankan derajat yang lebih tingggi. Kelenjar tiroid termasuk salah satu alat tubuh yang sensitif dan dapat bereaksi terhadap berbagai rangsang.. Pada masa pubertas, kehamilan, dan stress, kelenjar dapat membesar dan berfungsi lebih aktif. Fungsi tiroid juga dipengaruhi oleh hipofise. Yodium dari makanan dan minunan diabsorpsi oleh usus halus bagian atas dan lambung dan kira-kira sepertiga hingga setengahnya ditangkap oleh kelenjar tiroid, sisanya dikeluarkan melalui urin. Tiroid mempunyai daya yang kuat untuk menarik yodida secara selektif, kemudian dikonsentrasi. Yodium yang ditangkap oleh sel tiroid akan diubah menjadi hormon melalui 7 tahap yaitu: (1) tahap trapping, (2) tahap oksidasi, (3) tahap coupling, (4) tahap penimbunan storage, (5) tahap deidonasi, (6) tahap proteolisis, (7) tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid. Dalam keadaan fisiologik, trapped iodine akan dioksidasi menjadi bentuk dengan valensi yang lebih tinggi. Yodium dengan cepat terikat pada tirosin, membentuk MIT (mono-yodo-tirosin ) dan DIT ( di-yodo-tirosin ). Dua DIT atau satu MIT dan satu DIT digabung dalam reaksi oksidatif kedua sehingga terbentuk tiroksin dan T3. Tetapi T3 juga dapat dibuat dengan jalan deiodinasi thyroxin dalam jaringan non tiroid. Tiroksin dan T3 disimpan dalam folikel tiroid sebagai tiroglobulin yang pada keadaan fisiologik tidak termasuk dalam sirkulasi darah. Enzim proteolitik akan menghidrolisis tiroglobulin menjadi MIT, DIT, T3, dan T4. 17

T4 yang beredar, diproduksi dan diseksresikan secara primer oleh kelenjar tiroid, dan T3 , yang kebanyakan berasal dari perubahan T4 menjadi T3 di hati, diikat oleh protein plasma, sebagian besar ikatan tersebut adalah tiroksin yang berikatan dengan globulin (throxine binding-globulin, TBG) dan sebagian kecil menjadi tiroksin yang berikatan dengan prealbumin (thyroxine binding pre-albumin TBPA), dan sebagian kecil lagi hormon yang dalam keadaan bebas inilah yang secara fisiologis berperan penting, termasuk yang berfungsi dalam proses umpan balik. Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolism kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang. T3 dan T4 berbeda dalam jumlah total molekul iodium yang terkandung (tiga untuk T3 dan empat untuk T4 ). Sebagian besar (90%) hormon tiroid yang dilepaskan ke dalam darah adalah T4, tetapi T3 secara fisiologis lebih bermakna. Baik T3 maupun T4 dibawa ke sel-sel sasaran mereka oleh suatu protein plasma. Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid Ada 7 tahap, yaitu: 1. Trapping Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH. 2. Oksidasi Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase. Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di

18

intra sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan lebih banyak daripada T4. 3. Coupling Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui proses eksositosis granula. 4. Penimbunan (storage) Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH. 5. Deiodinasi Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium. 6. Proteolisis TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT dan DIT. 7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing) Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25% dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas. Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada 19

seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein pembawa yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar protein binding akan berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat. Efek metabolik hormon tiroid, antara lain: o Kalorigenik dan termoregulasi o Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3 tahun pertama kehidupan. Diduga kelainan endokrin terjadi karena efek ini yang terganggu. o Efek hematopoetik. Kebutuhan oksigen meningkat pada hipertiroid, hal ini menyebabkan eritropoesis dan produksi eritropoetin meningkat sehingga volume darah tetap tetapi red cell turn over meningkat o Metabolisme protein, dalam dosis fisiologik kerjanya bersifat anabolik tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik o Metabolisme karbohidrat, bersifat diabetogenik karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot, menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degradasi insulin meningkat. o Metabolisme lipid, T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroid kolesterol total, kolesterol ester, dan fosfolipid meningkat. o Vitamin A, konversi provitamin A menjadi vitamin A dihati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia o Hormon tiroid meningkatkan curah jantung dan takikardi dengan meningkatkan sistem simpatis o Hormone tiroid berperan dalam sintesis gonadotropin, hormon pertumbuhan, reseptor beta adrenergic

20

Efek lainnya: o Gangguan metabolisme kreatinin fosfat yang menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meningkat (hiperperistaltik, sehingga sering menyebabkan diare), gangguan faal hati, anemia defisiensi Fe o Hormone tiroid meningkatkan metabolisme turn over. Turn over tulang meningkat sehingga resorpsi tulang meningkat. Turn over neuromuskuler meningkat, sehingga terjadi miopati dan hilangnya otot. Hal ini menyebabkan kreatinuri spontan, kontraksi dan relaksasi otot meningkat sehingga terjadi hiperreflek Kontrol Faal Kelenjar Tiroid 1. TRH (thyrotrophin releasing hormone) Hormon ini merupakan tripeptida yang telah dapat disintesis, dan dibuat di hipotalamus. TRH ini melewati median eminence, tempat ia disimpan dan kemudian dikeluarkan lewat system hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya TSH meningkat. Belum jelas apakah ada short negative feedback TSH pada TRH ini. Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang-kadang juga follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Apabila TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid terangsang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi. 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh dua subunit (alfa dan beta). Subunit alfa sama seperti hormone glikoprotein (TSH, LH, FSH dan human chorionig gonadotropin/HCG) dan penting untuk kerja hormon secara aktif, tetapi subunit beta adalah khusus untuk setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat teseptor di permukaan sel tiroid (TSH-receptor-TSH-R) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan traping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat. 3. Umpan balik sekresi hormon Kedua hormon ini mempunyai efek umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 di samping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan

21

mengurangi kepekaan hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH. 4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri Produksi hormon juga diatur oleh kadar yodium intra tiroid. Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut fenomena wolf-chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap yodium sehingga kadar intra tiroid pun mengurang. Escape ini terganggu pada penyakit tiroid imun.

22

III.3 Struma Definisi Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998). Histologi Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 m. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001) Fisiologi Hormon Tyroid Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

23

Metabolisme T3 dan T4 Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3,5 triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001). Pengaturan faal tiroid : Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001) 1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat 3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH. 4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

24

Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001) 1. Kalorigenik 2. Termoregulasi 3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik 4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat. 5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat. 6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia. 7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme. Klasifikasi Struma Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan) Menurut American society for Study of Goiter membagi : 1. Struma Non Toxic Diffusa 2. Struma Non Toxic Nodusa 3. Stuma Toxic Diffusa 4. Struma Toxic Nodusa Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. 1. Struma non toxic nodusa

25

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. 2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun 3. Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid 5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004) 2. Struma Non Toxic Diffusa Etiologi : (Mulinda, 2005) 1. Defisiensi Iodium 2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis 3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid. 4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin 26

5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid. 6. Terpapar radiasi 7. Penyakit deposisi 8. Resistensi hormon tiroid 9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis) 10. Silent thyroiditis 11. Agen-agen infeksi 12. Suppuratif Akut : bacterial 13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit 14. Keganasan Tiroid 2. Struma Toxic Nodusa Etiologi : (Davis, 2005) 1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4 2. Aktivasi reseptor TSH 3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G 4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor. 4. Struma Toxic Diffusa Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004) Patofisiologi : Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSHResepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005) Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel 27

kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005) Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma. Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi : 1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan Kadang Multilobaris Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Batas Jelas Konsistensi kenyal sampai keras Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

batas tidak jelas Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek 28

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah Berdenyut Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein

Dari faalnya struma dibedakan menjadi : 1. Eutiroid 2. Hipotiroid 3. Hipertiroid Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi : 1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid 2. Toksik : Hipertiroid Pemeriksaan Fisik : Status Generalis : 1. Tekanan darah meningkat 2. Nadi meningkat 3. Mata :

Exopthalmus Stelwag Sign : Jarang berkedip Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu melihat ke bawah

Morbus Sign : Sukar konvergensi Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus 5. Jantung : Takikardi Status Lokalis : 29

1. Inspeksi

Benjolan Warna Permukaan Bergerak waktu menelan

2. Palpasi

Permukaan, suhu Batas :

Atas : Kartilago tiroid Bawah : incisura jugularis Medial : garis tengah leher Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi 30

besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .

Manifestasi klinis Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) : 1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa. 2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas. 3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras. Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996). Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau (Tim penyusun, 1994). Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994). Diagnosis

31

Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994). Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) : 1. jumlah nodul 2. konsistensi 3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak 4. pembesaran gelenjar getah bening Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada palpasi harus diperhatikan :o o o o o o

lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya) ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter) konsistensi mobilitas infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.

32

Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994). Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) : 1. Pemeriksaan sidik tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :o

nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.

o

Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.

o

Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :o o o o

kista adenoma kemungkinan karsinoma tiroiditis

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA) Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996). Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran 33

sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi. 4. Termografi Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain. 5. Petanda Tumor Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Penatalaksanaan Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) : 1. keganasan 2. penekanan 3. kosmetik Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening. Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang : 34

1. inoperabel 2. kontraindikasi operasi 3. ada residu tumor setelah operasi 4. metastase yang non resektabel Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel. Preparat : Thyrax tablet Dosis : 3x75 Ug/hari p.o

STRUMA TOKSIK Struma difus toksik (Graves Disease) Graves disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Graves terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001). Manifestasi klinis Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price dan Wilson, 1994). Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai 35

bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan Wilson, 1994).

Diagnosis Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001).

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal). 1. Obat antitiroid Indikasi : 1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis. 2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif. 3. Persiapan tiroidektomi 4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia

36

5. Pasien dengan krisis tiroid Obat antitiroid yang sering digunakan : Obat Karbimazol Metimazol Propiltourasil Dosis awal (mg/hari) 30-60 30-60 300-600 Pemeliharaan (mg/hari) 5-20 5-20 5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif Indikasi : 1. pasien umur 35 tahun atau lebih 2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi 3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid 4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik 2. Operasi Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi : 1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat antitiroid. 2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar 3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif 4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik 5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Struma nodular toksik Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummers disease (Sadler et al, 1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik. 37

Manifestasi klinis Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al, 1999) Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999) Penatalaksanaan Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)

PENYAKIT TIROID YANG LAIN Tiroiditis Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid. Klasifikasi (Noer, 1996) :

38

1. Akut (supuratif) Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage. 2. Subakut Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam, malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat, demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari. 3. Menahun 1. limfositik (Hashimoto)

39

merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur 30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut. 2. Non spesifik 3. fibrous-invasif (Riedel)

40

DAFTAR PUSTAKAAnonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi., Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine., http://www.emedicine.com/med/topic917.htm Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine., http://www.emedicine.com/med/topic920.htm Sjamsuhidajat R. Jong WD. 1997. Sistem Endokrin. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 926-940. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine., http://www.emedicine.com/med/topic919.htm Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine., http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork. Ganong, W.F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Hassan, Irmawati.1997. Kelainan pada Kelanjar Tiroid/Gondok. Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbitan. Moeljanto, Djoko R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1933 1943

41