KAJIAN MITOS MASYARAKAT TERHADAP FOLKLOR KI...
Transcript of KAJIAN MITOS MASYARAKAT TERHADAP FOLKLOR KI...
KAJIAN MITOS MASYARAKAT TERHADAP FOLKLOR
KI AGENG GRIBIG
Doni Rachman
Yuni Pratiwi
Roekhan
Email [email protected]
Universitas Negeri Malang Jalan Semarang No. 5
Abstrak: Penelitian ini menggunakan pendekatan mitologi untuk mendapatkan
deskripsi asal usul kisah Ki Ageng Gribig. Mendeskripsikan mitos Ki Ageng
Gribig yang tertanam dalam masyarakat Gribig dan peziarah. Serta
mendeskripsikan efek mitos Ki Ageng Gribig terhadap masyarakat Gribig dan
peziarah. Asal usul kisah Ki Ageng Gribig terdapat dua versi, yakni adanya
program mataramisasi dan ekspansi blambangan kulon. Mitos yang tertanam
pada masyarakat Gribig yakni Ki Ageng Gribig adalah penyebar agama islam
dan sebagai salah satu pendiri kota Malang. Sedangkan peziarah yakin Ki Ageng
Gribig adalah sosok yang sakti. Efek yang muncul dari masyarakat Gribig tidak
Nampak, sedangkan dari peziarah mereka sangat antusias dengan cara melakukan
takziah kubur.
Kata kunci: mitos, folklor, makam Ki Ageng Gribig
Abstract: Mythological approach use to obtain a description of the origin story
of Ki Ageng Gribig. Describe the myth of Ki Ageng Gribig that embedded in
Gribig societies and pilgrims, and describe the effect of the myth of Ki Ageng
Gribig on Gribig societies and pilgrims. Based on the description of data and
research findings can be concluded that the origin story of Ki Ageng Gribig have
two versions. The first version, Ki Ageng Gribig is the mesengger of The
Mataram Kingdom and Blambangan Kulon Kingdom. Gribig societies believe
that Ki Ageng Gribig is the one of the founders of Malang, also a prominent
Islamic missionaries in Malang. Ki Ageng Gribig’s miracle is tangible in treating
the disease. The effect of these myth to Gribig societies are indifferent, but the
pilgrims are enthusiastic.
Keywords: myth, folklore, the tomb of Ki Ageng Gribig
Brunvand menuliskan dalam Danandjaja (1986:169) bahwa latar belakang
mengapa mitos masih bertahan sampai hari ini di tengah-tengah masyarakat yang
modern dapat dijelaskan dengan berbagai kategori. Misalnya, disebabkan oleh
cara berpikir yang salah, koinsidensi, predileksi (kegemaran) secara psikologis
umat manusia untuk percaya pada yang gaib, ritus peralihan hidup, teori keadaan
dapat hidup terus (survival), perasaan ketidaktentuan akan tujuan-tujuan yang
sangat didambakan, ketakutan akan hal-hal yang tidak normal atau penuh resiko
dan takut akan kematian, pemodernisasian takhyul, serta pengaruh kepercayaan
bahwa tenaga gaib dapat tetap hidup berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan
agama. Salah satu folklor berbentuk cerita prosa rakyat yang masih ada di kota
Malang yaitu keberadaan Makam Ki Ageng Gribig. Makam Ki Ageng Gribig
terletak dalam satu komplek pemakaman bersama Bupati Malang I, Bupati
Malang II, dan Bupati Malang III. Komplek pemakaman tersebut berada di Jalan
Ki Ageng Gribig 2, Kecamatan Kedungkandang, Kelurahan Madyopuro, Kota
Malang.
Penelitian mengenai Kajian Mitos terhadap Folklor Ki Ageng Gribig ini
merupakan penelitian yang pertama dilakukan, karena selama ini belum ada yang
meneliti. Sebagai bukti, sampai saat ini belum ditemukan buku maupun artikel
yang menceritakan keberadaan Makam Ki Ageng Gribig di kota Malang secara
utuh.Sebagai penelitian awal, penelitian ini diarahkan kepada asal usul kisah Ki
Ageng Gribig, mitos Ki Ageng Gribig yang tertanam dalam masyarakat pemilik
cerita, serta efek yang mucul dari adanya mitos tersebut. Masyarakat yang
dimaksudkan tentunya bukan masyarakat luas. Masyarakat yang dimaksudkan
disini adalah masyarakat dalam lingkup kecil, yakni masyarakat setempat dan
masyarakat peziarah Makam Ki Ageng Gribig. Hal ini disebabkan pemilik cerita
Ki Ageng Gribig adalah masyarakat Gribig dan para peziarah itu sendiri, bukan
masyarakat luas pada umunya.
Penelitian ini tidak menggunakan pendekatan struktural, tetapi
menggunakan pendekatan mitologi dengan metode etnografi. Metode etnografi
digunakan untuk memperoleh pemahaman makna implisit maupun eksplisit dari
data-data penelitian. Sedangkan melalui pendekatan mitologi, diharapkan
penelitian ini mampu memberikan gambaran secara jelas bagaimana kisah asal-
usul Ki Ageng Gribig bisa sampai berada di kota Malang. Selain itu penelitian ini
dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai mitos Ki Ageng
Gribig yang tertanam dalam masyarakat Gribig dan peziarah. Selanjutnya
penelitian ini menggambarkan kepada masyarakat luas bagaimana efek mitos
Makam Ki Ageng Gribig terhadap prilaku masyarakat Gribig dan peziarah.
Istilah mitos dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “mythos” (Yunani)
yang berarti cerita dewata, dongeng terjadinya bumi dengan segala isinya
(Zulfahnur, 1997: 45). Lebih lanjut, Zulfahnur (1997: 46) menjelaskan bahwa
mitos juga diartikan cerita perihal dewata, kejadian bumi dan isinya, cerita
kepercayaan pada dunia gaib. Menurut Wallek dan Werren (dalam Budianta,
1995: 243), mitos diartikan sebagai cerita-cerita anonim mengenai asal mula alam
semesta dan nasib serta tujuan hidup, penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh
suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku
manusia, citra alam dan tujuan hidup manusia.
Pemakaian istilah zaman dahulu dalam pengertian mitos menandakan
bahwa mitos merupakan peristiwa atau ceritera yang sudah usang. Berkaitan
dengan hal gaib, isi mitos menyangkut dewa dan pahlawan. Sejalan dengan hal
tersebut, Chulsum (2006:466) mengartikan mitos sebagai cerita tentang pahlawan
dan dewa pada zaman dahulu yang dipercaya secara turun-temurun. Mitos
merupakan milik masyarakat yang bersifat anonim dalam arti tidak bisa ditelusuri
siapa pencipta/pembuat/pencetusnya, sehingga mitos tersebut dianggap sebagai
milik komunal masyarakat setempat. Mitos berkembang di masyarakat dari mulut
ke mulut dan umumnya bersifat lisan.
Mitos sebagai bagian dari folklor biasanya menceritakan terjadinya alam
semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon);
terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero);
terjadinya makanan pokok, seperti beras dan sebaginya, untuk pertama kali
(Danadjaja, 1986:52). Mitos dijadikan sebagai pedoman dan arah bagi masyarakat
dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar berlaku lebih bijaksana. Mitos
menjadikan masyarakat pengikutnya menjadi patuh dan taat terhadap ajaran-
ajaran yang dianutnya, untuk menciptakan suatu kesadaran akan tingkah laku dan
keselarasan dalam hidup bermasyarakat.
Mitos juga dapat dipahami sebagai realitas kultur yang kompleks dengan
kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan even pada waktu primodial,
yaitu waktu permulaan yang mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-
dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian-kejadian yang
berpangkal pada asal mula segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia. Mitos
adalah yang terakhir – bukan yang pertama – berdiri dalam perkembangan
seorang pahlawan. Tokoh historis diasimilasikan dengan model mistis (pahlawan,
dan sebagainya), sementara itu peristiwa diidentikkan dengan kategori tindakan
mitis (Eliade, 2002:44).
METODE
Menurut Lofland dan Lordland (dalam Moleong, 2000:112) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Informan
penelitian ini adalah juru kunci makam Ki Ageng Gribig berserta tukang kebun
yang menetap di dalam komplek Makam Ki Ageng Gribig, para peziarah, dan
warga sekitar Makam Ki Ageng Gribig.
Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk
angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan
data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang
telah dituangkan dalam catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif
adalah gambar yang diperoleh melalui pemotretan atau rekaman video (Dir.
Tenaga Kependidikan, 2008:5). Sejalan dengan pernyataan tersebut di dalam
penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data, yakni (1) observasi,
(2) wawancara mendalam, (3) diskusi terfokus, serta (4) kuesioner.
Data yang dipakai dalam penelitian ini berupa rekaman wawancara dengan
informan yang kemudian ditranskrip dari bahasa lisan Jawa menjadi bahasa tulis
dan diterjemahkan atau dialihbahasakan dari bahasa Jawa. Data berikutnya adalah
berupa gambar-gambar keadaan sekitar Makam Ki Ageng Gribig.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah penduduk asli Gribig.
Mereka terdiri dari 4 orang, yaitu: seorang juru kunci makam Ki Ageng Gribig, 2
orang sesepuh kampung Gribig, dan 1 orang tukang kebun pemakaman Ki Ageng
Gribig.
Informan lain berjumlah 20 orang yang terdiri dari golongan tua, dewasa,
dan golongan muda. Golongan tua berjumlah 5 orang, dewasa 10 orang, dan
golongan muda 5 orang. Responden merupakan warga Gribig dan para peziarah.
Pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan syarat minimal yang
disebutkan Spradley (1997: 61). Persyaratan tersebut adalah: (1) enkulturasi
penuh, artinya informan mengetahui budayanya dengan baik, (2) keterlibatan
langsung, artinya informan adalah orang yang terlibat langsung dalam suasana
budaya yang diteliti, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, artinya peneliti
mempelajari suasana budaya yang belum dikenal sehingga ia bisa menerima
berbagai hal yang disampaikan dari sudut pandang informan, (4) cukup waktu,
artinya informan memiliki cukup waktu dalam memberikan partisipasinya, dan (5)
non-analitik, informan mendeskripsikan berbagai kejadian dan tindakan
berdasarkan perspektif penduduk asli dengan mengesampingkan ilmu-ilmu sosial
yang dimilikinya.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
empat teknik, yaitu (1) observasi, (2) wawancara mendalam, (3) diskusi terfokus,
dan (4) kuesioner. Observasi yang dilakukan adalah observasi berpartisipasi,
peneliti ikut serta dalam kegiatan objek yang diamati. Selain itu, peneliti juga
melakukan pengamatan terbuka, sehingga keberadaan peneliti diketahui oleh
informan sebagai subjek dalam penelitian. Oleh sebab itu, antara peneliti dan
subjek saling mengenal.
Teknik wawancara terbagi atas dua cara, yaitu (a) wawancara berstruktur,
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan, dan (b)
wawancara tidak berstruktur yang dilaksanakan secara fleksibel, sehingga peneliti
dapat mengubah dan mengembangkan pertanyaan sesuai kondisi pada saat
wawancara. Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari
informan mengenai kisah asal usul Ki Ageng Gribig, mitos yang beredar di
masyarakat Gribig dan peziarah, serta efek yang muncul dari adanya mitos
tersebut.
Di samping kedua teknik tersebut, peneliti juga menggunakan teknik
kuesioner. Hal ini dilakukan untuk menambah informasi dari para informan,
sehingga diperoleh kedalaman informasi yang memadai. Teknik ini dilakukan
dengan cara tatap muka, baik secara individu maupun kelompok. Mengingat
kondisi informan yang beraneka ragam baik dari segi fisik, mental, spiritual, dan
intelektual, maka pertanyaan disusun dari hal yang paling umum dan konkret,
seperti data diri, dilanjutkan dengan masalah yang berkaitan dengan objek
penelitian. Sasaran informan adalah para peziarah makam dan penduduk asli
Gribig. penyebaran angket dilakukan langsung di tempat penelitian. Pengisian
angket oleh peziarah dilakukan di dalam komplek makam Ki Ageng Gribig ketika
informan sedang berziarah. Sedangkan pengisian kuesioner oleh penduduk asli
Gribig dilakukan dirumah informan yang bersangkutan.
Bogdan berpendapat dalam Dir. Tenaga Kependidikan (2008:11) bahwa
analisis data kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan. Tujuan akhir analisis
data kualitatif adalah memperoleh makna, menghasilkan pengertian-pengertian,
konsep-konsep serta mengembangkan hipotesis atau teori baru. Analisis data
penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya
ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan mana yang akan dikaji sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan
untuk disampaikan kepada orang lain. Teknik pengolahan data penelitian ini
dilakukan melalui beberapa tahap seperti berikut. Reduksi data . Reduksi data
merupakan proses analisis untuk memilih, memusatkan, menyederhanakan,
mengabstraksikan serta mentransformasikan data yang muncul dari catatan-
catatan lapangan.
Klasifikasi data. Data yang terkumpul dipilah menjadi dua bagian besar
yaitu informan termasuk masyarakat kampung Gribig atau peziarah, dengan cara
melihat identitas informan apakah informan berasal dari daerah Gribig atau
bukan, jika bukan maka informan tersebut termasuk ke dalam golongan
peziarah.Data yang telah direduksi diklasifikasikan sesuai jawaban yang diberikan
oleh informan. Setiap jawaban dari responden dikelompokkan menurut
kesamannya. Salah satu contonya yakni pertanyaan nomor dua yang terdapat
dalam lembaran koesioner. Menayakan apakah informan mengetahui asal usul Ki
Ageng Gribig beserta penjelasaanya. Apa bila ada kesamaan atau kemiripan
jawaban, jawaban di kelompokkan menurut kesamaannya. Penyajian data.
Penyajian data dilakukan agar data hasil reduksi terorganisasi, tersusun dalam
pola hubungan sehingga mudah dipahami. Data yang sudah diklasifikasi,
dianalisis sesuai dengan ketiga fokus penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kisah asal usul Ki Ageng Gribig didapat dari masyarakat Gribig selaku
pemilik cerita. Menurut Danandjaja (1986:2) folklor adalah kegiatan kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
Kisah asal usul Ki Ageng Gribig termasuk dalam folklore karena termasuk
dalam jenis cerita prosa rakyat. Folklor di Indonesia meliputi (a) bahasa rakyat,
(b) ungkapan tradisional, (c) pernyataan tradisional, (d) sajak dan puisi rakyat, (e)
cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat (Danandjaja,1986:22).
Untuk membedakan cerita Ki Ageng Gribig termasuk dalam mite atau
termasuk dalam legenda yaitu dengan memperhatikan kolektif (folk) yang
memiliki suatu versi cerita, karena dengan mengatahui kolektifnya dapat
ditentukan katagori suatu cerita (Danandjaja,1986:51). Adanya dua versi cerita Ki
Ageng Gribig menandakan bahwa makam Ki Ageng Gribig termasuk dalam cerita
prosa rakyat. Di mana syarat cerita prosa rakyat adalah adanya versi-versi
menurut pemilik cerita. Lebih sempit lagi cerita Ki Ageng Gribig ini termasuk
cerita prosa rakyat sejenis legenda perseorangan. Legenda perseorangan adalah
cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu, yang dianggap oleh yang empunya cerita
benar-benar terjadi (Danandjaja,1986:73).
Tokoh masyarakat yang masih bisa dijumpai sebagai informan, di
antaranya yakni putera juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang bernama Bapak
Devi, dua sesepuh kampung Gribig, dan satu penjaga komplek makam Ki Ageng
Gribig. Penjaga komplek makam Ki Ageng Gribig ini sebenarnya bukan orang
asli Gribig, namun dia mampu memberikan sedikit informasi mengenai cerita Ki
Ageng Gribig dikarenakan sudah sepuluh tahun lebih beliau tinggal di komplek
Makam Ki Ageng Gribig, beliau biasa akrab dipanggil Mas Bawi (34).
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari anak juru kunci Makam Ki
Ageng Gribig, keberadaan kedua pintu Komplek Makam Ki Ageng Gribig
berkaitan dengan adanya versi cerita mengenai asal usul Ki Ageng Gribig bisa
sampai berada di kota Malang. Hal ini juga sesuai dengan informasi yang
diberikan oleh Bapak Devi, bahwa cerita mengenai Ki Ageng Gribig sejauh ini
memiliki dua versi.
Versi pertama yaitu dari adanya program Mataramisasi dan versi kedua
dari adanya program espansi Blambangan Kulon. Walaupun tidak didapatkan data
secara tertulis atau dokumen utuh, kedua versi ini masih dipegang kebenarannya
oleh pemilik cerita. Selain itu kedua versi yang ada ini juga diperkuat dengan
urutan tahun, yakni pada tahun 1625 ketika Hanyokro Kusuma menjadi rajanya.
Sehingga dengan demikian kedua versi ini masih dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut program Mataramisasi atau ekspansi Mataram untuk perluasan
daerah kekuasaan, Ki Ageng Gribig adalah seorang utusan dari kerajaan Mataram
untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan dalih menyebar agama Islam.
Seperti yang diketahui secara mendasar, semua pemimpin Mataram mulai dari
Penewu sampai ratu berfungsi sebagai orang yang dituakan, atau sebagai panutan
bagi masyarakat. Semua pejabat kerajaan diwajibkan memiliki pemahaman yang
luas mengenai agama Islam, sehingga dengan sendirinya semua pejabat Mataram
mengemban tugas sebagai ulama atau dikenal sebagai sayidin panotoagomo.
Begitu juga dengan Ki Ageng Gribig, jika dilihat sesuai dengan versi program
Mataramisasi Ki Ageng Gribig adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam
yang ada di wilayah Jawa Timur, khususnya daerah Malang.
Sedangkan menurut versi kedua bahwa Ki Ageng Gribig adalah utusan
dari Blambangan kulon yang pada saat itu dipimpin oleh Aryo Menak Koncar.
Tujuan Ki Ageng Gribig ke kota Malang juga tidak jauh berbeda dengan versi
yang pertama. Konon, Ki Ageng Gribig ini adalah utusan dari Blambangan kulon
untuk mengadakan ekspansi Blambangan atau perluasan daerah kekuasaan
kerajaan Blambangan. Jika dilihat menurut tahun, Blambangan Kulon ini muncul
setelah masa jayanya Ratu Triguana Tunggal Dewi, Ratu dari kerajaan Majapahit.
Ki Ageng Gribig dikenal juga sebagai tokoh yang mendirikan kota
Malang. Ini ditandai dengan adanya Makam Aryo Panji Malang, bapak dari Ki
Ageng Gribig yang dimakamkan dibelakang Masjid Jamek. Berpegang dari
tatanan pemerintahan lampau bahwa dengan adanya Masjid Jamek, maka di
dekatnya pasti ada sistem pemerintahan seperti kantor Bupati atau sistem
pemerintahan yang lainnya. Sistem pemerintahan seperti ini masih terlihat pada
sistem bangunan kota Malang pada saat ini. Hal inilah yang menguatkan bahwa
Ki Ageng Gribig adalah utusan dari kerajaan Blambangan Kulon.
Dengen demikian, fokus penelitian yang pertama yakni mengenai cerita
asal usul Ki Ageng Gribig ditemukan terdapat dua versi cerita yang menjelaskan
kedatangan Ki Ageng Gribig bisa sampai ke kota Malang. Menurut versi pertama,
Ki Ageng Gribig adalah utusan dari kerajaan Mataran untuk melakukan program
Mataramisasi atau program perluasan daerah kekuasaan. Sedangkan menurut versi
kedua, Ki Ageng Gribig adalah utusan dari kerajaan Blambangan Kulon untuk
melaksanakan program ekspansi Blambangan. Kedua versi cerita tersebut
memiliki kesamaan tujuan, yakni sama-sama melakukan program perluasan
daerah kekuasaan kerajaan.
Pemakaian istilah zaman dahulu dalam pengertian mitos menandakan
bahwa mitos merupakan peristiwa atau ceritera yang sudah usang. Berkaitan
dengan hal gaib, isi mitos menyangkut dewa dan pahlawan. Sejalan dengan hal
tersebut, Chulsum (2006:466) mengartikan mitos sebagai cerita tentang pahlawan
dan dewa pada zaman dahulu yang dipercaya secara turun-temurun. Mitos
merupakan milik masyarakat yang bersifat anonim dalam arti tidak bisa ditelusuri
siapa pencipta/pembuat/pencetusnya, sehingga mitos tersebut dianggap sebagai
milik komunal masyarakat setempat. Mitos berkembang di masyarakat dari mulut
ke mulut dan umumnya bersifat lisan.
Mitos sebagai bagian dari folklor biasanya menceritakan terjadinya alam
semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon);
terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero);
terjadinya makanan pokok, seperti beras dan sebaginya, untuk pertama kali
(Danadjaja, 1986:52). Mitos dijadikan sebagai pedoman dan arah bagi masyarakat
dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar berlaku lebih bijaksana. Mitos
menjadikan masyarakat pengikutnya menjadi patuh dan taat terhadap ajaran-
ajaran yang dianutnya, untuk menciptakan suatu kesadaran akan tingkah laku dan
keselarasan dalam hidup bermasyarakat.
Mitos yang muncul sangat beragam, mengingat makam Ki Ageng Gribig
ini masih di anggap sakral oleh masyarakat. Baik dari masyarakat Gribig maupun
peziarah, memiliki kepercayaan yang bersifat gaib atau dapat dikatakan tidak
dapat di logika secara akal sehat. Keanehan yang muncul bukan dalam hal yang
merugikan orang lain, melainkan keanehan dalam hal kebaikan. Seperti jatuhnya
pesawat penjajah setelah terbang melewati Makam Ki Ageng Gribig, dijumpai
pula pencuri motor yang terjatuh dari motor curiannya ketika melewati makam Ki
Ageng Gribig. Peristiwa-peristiwa gaib tersebut tidak merugikan masyarakat,
melainkan membantu mengamankan daerah Gribig. hal ini sesuai mitos yang
beredar ditengah-tengah masyarakat Gribig, yakni konon Ki ageng Gribig semasa
hidupnya pernah berpesan kepada masyarakat Gribig jangan sampai ada yang
meminta apa pun kepada beliau, beliau hanya bisa memberikan doa agar
masyarakat Gribig selalu hidup rukun dan selamat dimana pun berada.
Menurut pemilik cerita, baik masyarakat Gribig sendiri maupun peziarah,
Ki Ageng Gribig sederajat dengan sunan-sunan yang ada di Jawa Timur. Terbukti
bahwa peziarah para wali selalu mengunjungi makam Ki Ageng Gribig setelah
berkunjung ke makam-makam para sunan yang ada di Jawa Timur. Ritual
semacam ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya, yakni ketika memasuki bulan
Rajab, penanggalan jawa. Peziarah percaya bahwa doa yang dipanjatkan ketika
berziarah kubur akan dikabulkan.
Mitos berikutnya ditemukan bahwa Ki Ageng Gribig merupakan sosok
yang sangat sakti, hal ini masih terwujud meskipun beliau sudah meninggal.
Kesaktianya tersebut terwujud dalam hal mengobati orang yang sakit. Terbukti
tidak sedikit peziarah yang melakukan ziarah kubur demi kesembuhan
penyakitnya. Selain itu, masih banyak peziarah yang mendapatkan benda-benda
pusaka setelah berdiam diri di dalam Komplek Makam Ki Ageng Gribig. Seperti
yang dikatakan oleh informan bahwa siapa saja yang mampu menahan hawa nafsu
keduniawiannya, maka indera keenam orang tersebut lebih peka dibandingkan
dengan orang yang senang mengumbar hawa nafsu keduniawiannya. Tentunya
benda-benda tersebut tidak didapatkan dengan cara yang mudah. Maksudnya,
untuk mendapatkan barang tersebut harus dilakukan dengan cara ritual tertentu.
Mitos bukan hanya berlaku sebagai sebuah kisah mengenai dewa-dewa
dan keajaiban dunia, tetapi melalui mitos manusia dapat juga turut serta
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian disekitarnya. Mitos dapat dijadikan
sebagai pedoman dan arah bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-
hari agar berlaku lebih bijaksana. Mitos menjadikan masyarakat pengikutnya
menjadi patuh dan taat terhadap ajaran-ajaran yang dianutnya, untuk menciptakan
suatu kesadaran akan tingkah laku dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat.
Singkat kata, keberadaan mitos sedikit banyak mampu memerikan efek terhadap
pemilih mitos itu sendiri.
Kuatnya masyarakat Gribig memegang amanah tersebut membuat
masyarakat Gribig seperti enggan untuk berziarah kubur ke makam Ki Ageng
Gribig, meskipun hanya sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasa Ki Ageng
Gribig kepada masyarakat Gribig semasa hidupnya. Efek seperti ini dilakukan
secara turun temurun, dengan demikian sampai saat ini tidak akan dijumpai
masyarakat Gribig yang nyekar ke makam Ki Ageng Gribig. Hanya ada beberapa
orang saja yang yang peduli dengan keberadaan makam Ki Ageng Gribig, mereka
hanya sekedar menunggu kendaraan para peziarah dengan harapan mendapatkan
imbalan. Dapat dikatakan mereka hanya ingin mengambil keuntungan dari
kepeduliannya tersebut. Secara logika memang benar, bahwa sesuatu yang tidak
menguntungkan akan dianggap remeh bahkan tidak akan dihiraukan sedikitpun
oleh seseorang. Hal ini menunjukkan keadaan masyarakat yang hidup ditengah-
tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini.
Efek mitos yang muncul dari masyarakat Gribig ternyata berbeda dengan
efek mitos yang muncul dari peziarah. Perbedaan ini terlihat dari antusiasnya
mereka untuk berbondong-bondong berziarah ke Makam Ki Ageng Gribig. Efek
seperti ini muncul dari adanya mitos bahwa Ki Ageng Gribig merupakan tokoh
penyebar agama Islam di Jawa Timur yang sejajar dengan sunan-sunan
kebanyakan. Dengan keyakinan ini mereka percaya bahwa setiap doa yang
mereka panjatkan ketika berziarah kubur, doa tersebut akan di kabulkan.
Kepercayaan semacam inilah yang mendorong para peziarah bersikap antusias
terhadap keberadaan makam Ki Ageng Gribig.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan yang telah dibahas dimuka, dapat disimpulkan bahwa cerita
mengenai kisah asal usul Ki Ageng Gribig memiliki dua versi yang masing-
masing dapat dipertanggungjawabkan. Menurut versi yang pertama, Ki Ageng
Gribig adalah utusan dari kerajaan Mataram pada zaman kekuasaan Sultan Agung
Hanyokro Kusuma pada tahun 1625. Ki Ageng Gribig bisa sampai di Malang
tidak dengan tanpa tujuan, beliau diutus oleh raja untuk melakukan program
Mataramisasi, yakni program perluasan daerah kekuasaan kerajaan Mataram.
sedangkan versi kedua, Ki Ageng Gribig merupakan utusan dari Kerajaan
Blambangan Kulon yang pada zaman itu dikuasai oleh Aryo Menak Koncar. Ki
Ageng Gribig bisa sampai di kota Malang juga karena mengemban tugas untuk
melakukan ekspansi Blambangan, yakni bertugas melakukan perluasan daerah
kekuasaan kerajaan Blambangan.
Masyarakat Gribig percaya selain menjadi salah satu tokoh pendiri kota
Malang, Ki Ageng Gribig juga seorang tokoh penyebar agama Islam yang berada
di kota Malang. Baik masyarakat Gribig sendiri maupun peziarah, sosok Ki
Ageng Gribig dianggap sederajat dengan sunan-sunan yang ada di Jawa Timur.
Terbukti bahwa peziarah para wali selalu mengunjungi makam Ki Ageng Gribig
setelah berkunjung ke makam-makam para sunan yang ada di Jawa Timur.
Peziarah juga memiliki keyakinan bahwa Ki Ageng Gribig memiliki kesaktian.
Kesaktianya tersebut terwujud dalam hal mengobati orang yang sakit, dengan
bukti banyak peziarah yang melakukan ziarah kubur demi kesembuhan
penyakitnya. Selain itu, terdapat pula peziarah yang mendapatkan benda-benda
pusaka setelah berdiam diri di dalam Komplek Makam Ki Ageng Gribig. Seperti
yang dikatakan oleh informan bahwa siapa saja yang mampu menahan hawa nafsu
keduniawiannya, maka indera keenam orang tersebut lebih peka dibandingkan
dengan orang yang senang mengumbar hawa nafsu keduniawiannya.
Efek mitos Ki Ageng Gribig terhadap prilaku masyarakat Gribig dan
peziarah ditemukan bahwa masyarakat Gribig bersikap acuh terhadap keberadaan
makam Ki Ageng Gribig yang disebabkan oleh adanya mitos yang beredar, alasan
lain adalah dikarenakan keberadaan Makam Ki Ageng Gribig tidak bisa
mendongkrak perekonomian masyarakat Gribig. Sedangkan bagi para peziarah,
efek yang muncul yakni mereka menganggap makam Ki Ageng Gribig ini adalah
bagian dari sunan-sunan yang ada. Mereka merasa kurang puas ketika melakukan
ziarah tanpa mengunjungi atau berziarah ke makam Ki Ageng Gribig. Hal ini
disebabkan bahwa mereka menganggap Ki Ageng Gribig ini adalah tetua atau
orang yang dituakan pada masanya dahulu, atau dapat dikatakan dahulu Ki Ageng
Gribig memiliki kedudukan yang sama dengan para sunan-sunan yang ada di
Jawa Timur.
Selain itu peziarah percaya bahwa makam Ki Ageng Gribig merupakan
tempat yang sakral dan masih menyimpan banyak benda-benda pusaka
peninggalan Ki Ageng Gribig. Terbukti bahwa sampai saat ini masih banyak
peziarah yang datang untuk maksud tertentu, yakni bertujuan mencari benda
pusaka. Keajaiban lain yakni banyak peziarah yang datang ke makam Ki Ageng
Gribig dengan tujuan menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Berdasarkan kesimpulan tentang kajian mitos terhadap folklor Ki Ageng
Gribig, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut. (1) Di bidang pendidikan,
diharapkan agar penelitian ini digunakan sebagai acuan penyusunan buku mengenai
Makam Ki Ageng Gibig, sebagai salah satu situs sejarah kota Malang, serta digunakan
sebagai bahan ajar dalam mata kuliah kajian sastra lisan oleh pendidik sastra, dikarenakan
penelitian ini merupakan fenomena kesusastraan yang bersifat ilmiah. (2) Bagi pembaca,
diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk menggali wawasan mengenai
keberadaan makam Ki Ageng Gribig yang tidak terpublikasikan dengan baik. (3) Bagi
peneliti selanjutnya, sebagai bahan referensi dan rujukan untuk melakukan penelitian
lanjutan mengenai sejarah Makam Ki Ageng Gribig.
Daftar Rujukan
C. U. W. N. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko.
D. J. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng Dan Lain-
Lain. Jakarta: Grafiti.
D. T. K. 2008. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Jakarta: Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu, Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Departemen Pendidikan Nasional.
E. M. 2002. Mitos: Gerak Kembali yang Abadi, Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta:
Ikon Teralitera.
M. L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
S. J. P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya.
Z. Z. S. K. Z. Z. 1997. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.
Penulis
Doni Rachman
NIP 906212403153
Pembimbing I
Dr. Hj. Yuni Pratiwi, M.Pd
NIP. 19610603 198503 2 001
Pembimbing II
Dr. Roekhan, M.Pd
NIP. 19610504 198701 1 001