Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

24
Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi “Aktivitas Diuretika Obat/Sediaan Uji” Vincent Tristan 121501 Syuhada Cokrodiningrat 121501 Fadlina Aulia 121501 Mey Rosalina Sitorus 121501 Jumiaty 121501 Febbi Febiola 121501 Zakia Amelia 121501 Noviana Pratiwi Ginting 121501 Leni 121501 Program Studi : S1 Reguler Kelompok/hari : III/Rabu Asisten : Tanggal Percobaan : Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi 1

description

fs

Transcript of Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

“Aktivitas Diuretika Obat/Sediaan Uji”

Vincent Tristan 121501Syuhada Cokrodiningrat 121501Fadlina Aulia 121501Mey Rosalina Sitorus 121501Jumiaty 121501Febbi Febiola 121501Zakia Amelia 121501Noviana Pratiwi Ginting 121501Leni 121501

Program Studi : S1 RegulerKelompok/hari : III/RabuAsisten :Tanggal Percobaan :

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2014

1

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Lembar Pengesahan Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi

Judul Percobaan : Aktivitas Diuretika Obat/Sediaan Uji

Medan,… ……2014

Asisten, Praktikan,

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Perbaikan :

- Koreksi ITanggal :

- Koreksi IITanggal :

- Koreksi IIITanggal :

- AccTanggal :

2

Nilai

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

PENDAHULUAN

Gangguan volume cairan dan komposisi elekrolit merupakan gangguan klinis yang penting dan sering dijumpai. Obat yang memblokade fungsi transport tertentu di tubulus ginjal merupakan perangkat klinis yang berharg dalam mengobati gangguan ini. Meskipun beragam obat yang meningkatkan volume urin (diuretic) telah dikietahui sejak dulu, suatu agen diuretic yang praktis dan manjur (klortiazid) baru tersedia untuk digunakan secara luas pada tahun 1957 (Katzung, 2007).

Secara teknis “diuretika” adalah suatu agen yang meningkatkan volume urin, sedangkan “natriuretik” menyebabkan peningkatan ekskresi natrium ginjal. Karena obat natriuretik hamper selalu meningkatkan ekskresi air, obat-obat tersebut selalu disebut diuretik (Katzung, 2007)

Nefron teragi secara structural dan fungsional menjadi beberapa segmen. Sebagian besar diuretic bekerja pada protein transport membrane spesifik dalam hal epitel tubulus renalis. Diuretic lainnya memperlihatkan efek osmotic yang mencegah reabsorbsi air (mannitol), menghambat enzim (acetazolamid), atau mengganggu reseptor hormone dalam sel epitel ginjal (penyekat reseptor aldosteron). Berbagai efek ini dibahas pada bagian kedua bab ini. Fisiologi tiap segmen terkait erat dengan farmakologi obat yang bekerja di tiap segmen (katzung, 2007).

Fungsi dari ginjal adalah sangat kompleks dan mekanismenya dapat ditingkatkan jika kita sudah dapat memahami fungsinya secara keseluruhan. Aktivitas dari ginjal dapat dengan mudah dipahami jika kita juga mengingat bahwa selain sebagai organ ekskresi ginjal juga merupakan salah satu organ retensi. Fungsinya adalah untuk membersihkan tubuh dari zat-zat yang tidak diinginkan tanpa membuang zat-zat atau bahan-bahan yang dibuthkan dari tubuh (Wilson,1968).

Ada lebih dari jutaan unit fungsional pada ginjal atau disebut dengan nefron. Setiap neprong di bentuk dari sebuah glomerulus ( sebuah ruang kapilaritas yang diselubungi oleh lapisan dengan bentuk seperti cangkir berselubung yang disebut dengan kapsula bowman). Serta ruang panjang yang bermuara pada tubulus kontortus distal. Tubulus kontortus proksimal dimulai dari glomerulus, lengkung henle, tubulus kontortus distal, dan saluran pencernaan (Asperheim, 1985).

Reabsorbsi ini ditujukan untuk meningkatkan tekanan osmotic dari darah dalam kapiler yang melewati tubulus ini sebagai hasil dari hilangnya cairan dari darah pada saat di glomerulus. (Asperheim, 1985)

3

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

II. Tujuan Percobaan

- Untuk mengetahui efek dari obat diuretik pada hewan percobaan

- Untuk mengetahui efek dari obat diuretik yang diberikan secara

intravena dan intramuskular

- Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik

4

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Diuretika ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah dieresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dalam air. Fungsi utama diuretika adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti merubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Ganiswara, 1995).

Diuretik adalah zat-zat yang dapatmemperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhada ginjal (Sinaga, 2012).

Semua zat yang dapat meningkatkan aliran urin dapat di klasifikasikan sebagai diuretic, dan dalam hal ini air adalah agen dari diuretic tersebut. Tujuan utama dari penggunaan diuretic adalah untul meningkatkan ekskresi air, secara berkesinambungan membatasi kegunaan diuretic untuk zat-zat yang dapat menginduksi jumlah total air yang dibuang dari dalam tubuh. Dari segi pandang terapi, diuretic dapat di definisikan sebagai gabungan komponen yang membuang kelebihan cairan ekstraseluler pada penyakit, namun juga disesuaikan dengan zat lain seperti digitalis yang tidak memiliki fungsi diuretic pada ginjal normal namun dapat meningkatkan jumlah urin pada keadaan gagal jantung dengan meningkatkan sirkulasinya (Wilson,1968).

Diuretik adalah obat yang berfungsi untuk meningkatkan eksresi sodium dan air serta membebaskan cairan ekstraseluler yang melampaumi batas juga edema. Diuretic dapat dibagi menjadi dua kelas umum : 1. Diuretic fisiologis, yang meningkatkan penyaringan ion sodium dan klorida atau reabsorpsi tubular antagonis dari sodium dan klorida dengan caara meningkatkan tekanan osmotic dari filtrasi tubular dan yang lainnya. 2. Diureik farmakologi, yang menjadi inhibitor potensial dari reabsorbsi tubular (Asperheim, 1985).

Diuretic fisiologis, karena keterbatasan tingkat efektivitasnya dalam membuang cairan ekstraseluler akan lebih baik tingkat atau level kerjanya jika dikombinasikan sebagai suplemen terapi diuretic dengan agen farmakologis (Asperheim, 1985)

Sebagian besar diuretic bekerja pada protein transport membrane spesifik dalam hal epitel tubulus renalis. Diuretic lainnya memperlihatkan efek osmotic yang mencegah reabsorbsi air (mannitol), menghambat enzim (acetazolamid), atau mengganggu reseptor hormone dalam sel epitel ginjal (penyekat reseptor aldosteron). Berbagai efek ini dibahas pada bagian kedua bab ini. Fisiologi tiap segmen terkait erat dengan farmakologi obat yang bekerja di tiap segmen (katzung, 2007)

5

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Pengaruh diuretic terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretic sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suhu diuretic. Secara umum diuretic dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu : (1) diuretic osmosis, (2) penghambat mekanisme transport electrolit didalam tubuli ginjal (Ganiswara, 1995).

Obat yang dapat menghambat transport elektrolit di tubuli ginjal ialah : (1) penghambat karbonik anhidrase; (2) benzotiadiazid, (3) diuretic hemat kalium, (4) diuretik kuat. Xantin yang juga berefek diuretic tidak dibahas disini karena kegunaannya sebagai diuretic telah terdesak oleh diuretic yang lebih kuat (Ganiswara, 1995).

Setiap peningkatan jumlah natrium di urin biasanya berhubungan dengan peningkatan sekresi urin. Pengaturan air adalah cara paling sederhana untuk meningkatkan volume urin, tapi prosedur sederhana lainnya adalah mengatur kelebihan zat-zat seperti garam netral atau urea (Wilson, 1968).

Diuretic osmotic tidak hanya air abstrak dari tubuh namun juga meningkatkan eliminasi dari natrium dan klorida. Ini adalah dasar yang terpenting bagi aksi mereka dala odema. Jika hanya air yang dieliminasi dari tubuh, ia hanya akan di gantikan lagi dengan cepat (Wilson, 1968).

Istilah diuretic osmotic biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dimana dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat : (1) difiltrasi secara bebas di hlomerulus; (2) tidak atau hanya sedikit direasorbsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologi merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic. Dengan sifat-sifat ini maka diuretic osmotic dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbid. Adanya zat tersebut dalam cairan tubuli, meningkatkan tekanan osmotic, sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresi bertambah besar. Tetapi untuk menimbulkan dieresis yang cukup besar, diperlukan dosis diuretic osmosis yang tinggi (Ganiswara,1995).

Tubulus proksimal dan cabang descenden ansa henle sangat permeable terhadap air. Agen apapun yang aktif secara osmotic yang difiltrasi glomerulus tapi tidak direabsorbsi menyebabkan retensi air di segmen ini sehingga menimbulkan diuretic air. Agen seperti demikian dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial dan untuk cepat menghilangkan racun ginjal. Manitol adalah prototipe diuretic osmotic (Katzung, 2007).\

Diuretic osmotic terutama bermanfaat pada pasien oliguria akut akibat syok hipovolemik yang telah dikoreksi, reaksi transfuse atau sebab lain yang menimbulkan

6

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

nekrosis tubuli, karena dalam keadaan ini obat yang kerjanya ,mempengaruhi fungsi tubuli tidak efektif (Ganiswara,1995).

Diuretic osmotilk sulit diabsorbsi; artinya, obat ini garus di berikan secara parenteral. Jika iberikan per oral, manitol menyebabkan diare osmosis. Manitol tidak dimetabolisasi dan dieksresi melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30-60 menit, tanpa adanya reabsorbsi ataupun sekresi tubular yang berarti (katzung, 2007).

Diuretik osmotic terutama bekerja di tubulus proksimal dan cabang desenden ansa henle melalui efek osmotic, diuretic ini melawan kerja ADH di tubulus renalis coligens. Adanya bahan yang tidak dapat direabsorbsi, seperti manitol, mencegah absorbs normal air dengan menimbulkan tekanan osmotic yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urin meningkat. Peningkatan laju laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsorbsi Na+ dan juga reabsorbsi air. Natriuresis yang terjadi kurang berabrti dibandingkan dengan dieresis air, yang kemudian menyebabkan kehilangan banyak cairan tubuh dan hipernatremia (Katzung, 2007).

Manitol bekerja dengan mengurangi glukosa, sehingga dapat digunakan sebagai diuretic osmotic. Manitol juga dapat digunakan untuk mengukur rata-rata filtrasi glomerulus dimulai dari filtrasi padan glomerulus dan tidak direabsorbsi dan di sekresi oleh tubulus (Wilson, 1968).

Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, Karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali diabsorbsi tubuli bahkan praktis dianggap tidak direabsorbsi. Manitol harus diberikan secara intravena, jadi obat ini tidak praktis untuk pengobatan udem kronik. Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal (Ganiswara,1995).

Manitol digunakan misalnya untuk : (1) profilaksi gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul akibat operasi jantung, luka traumatic berat, atau tindakan operatif dengan penderita yang juga menderita ikterus berat; (2) menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokuler atau cairan serebrospinal. Dengan meninggikan tekanan osmotic plasma, maka air dari kedua macam cairan diatas akan berdifusi kembali ke plasma dan kedalam ruangan ekstrasel (Ganiswara, 1995)

Manitol didistribusi ke cairan ekstrasel, oleh karena itu pemberian larutan manitol hipertonis yang berlebihan akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel, sehingga secara tidak diharapkan akan terjadi penambahan jumlah cairan ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya bagi penderita payah jantung. Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan sakit kepalam mual dan muntah (Ganiswara, 1995).

Manitol. Untuk suntikan intravena digunakan larutan 5-25% dengan volume antara 50-1000 ml. Dosis untuk menimbulkan dieresis ialah 50-200 g yang diberikan

7

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

dalam cairan infuse selama 24 jam dengan kecepatan infuse sedemikian, sehingga diperoleh dieresis sebanyak 30-50 ml per jam.. untuk penderita dengan oliguria hebat diberikan dosis percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui infuse selama 3-5 menit. Bila dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresi masih kurang dari 30 ml per jam dalam 2-3 jam, maka status pasien harus di evakuasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan (Ganiswarta, 1995).

Untuk mencegah gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau untuk mengatasi oliguria, dosis total manito untuk orang dewasa ialah 50-100 g. untuk menurunkan tekanan intrakarnial yang meninggi menurnkan tekanan intraokuler pada serangan akut glaukoa kongesif atau sebelum operasi mata, digunakan manitol 1,5-1 g/kg BB sebagai larutan 15-20%, yang diberikan melalui infuse selama 30-60 menit (Ganiswara, 1995).

Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria; kongesti atau oedem paru yang berat. Dehidrasi hebat dan pendarahan intracranial, kecuali bila dilakukan kraniotomi; infuse manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan gungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau kongestif paru (Ganiswara, 1995).

Urea suatu Kristal putih dengan rasa agak pahit dan mudah larut dalam air. Sediaan intravena mengandung utea sampai 30% dalam dekstrose 5 % (iso-osmotik) sebab larutan urea murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada tindakan bedah saraf, urea diberikan intravena dengan dosis 1-1,5 g/kgBB. Sebagai diuretic, urea potensinya lenih lemah dibandingkan dengan manitol, karena hamper 50% senyawa urea ini akan direabsorbsi di tubuli ginjal (Ganiswara,1995).

Gliserin diberikan peroral sebelum suatu tindakan optamologi dengan tujuan menurunkan tekanan intraokuler. Efek maksiimal terlihat 1 jam sesudah pemberian obat dan menghilang sesudah 5 jam. Dosis orang dewaasa yaitu 1-1,5 g/kg BB dalam larutan 50 atau 75 %. Gliserin ini cepat dimetabolisme, sehingga efek diuresisnya relative kecil (Ganiswara,1995).

Isosorbid diberikan secara oral untk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya juga sama, hanya isosorbid menimbulkan dieresis yang lebih besar daripada gliserin. Tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1-3 g/ kg BB, dan dapat diberikan 2-4 kali sehari (Ganiswara,1995) (Ganiswara,1995).

Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi CO2 + H2O menjadi H2CO3. Enzim ini terdapat antara lain dalam korteks renalis, pancreas, mukosa lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Dalam tubuh H2CO3 keseimbangan dengan ion H+ dan HCO3 yang sangat penting dalam system buffer darah. Ion ini juga penting pada proses reabsorbsi ion dalam tubuli ginjal, sekresi asam lambung dan beberapa proses lain dalam tubuh. Sebenarnya,

8

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

tanpa enzim tersebut reaksi diatas dapat berjalan , tetapi sangat lambat (Ganiswara, 1995).

Karbonik anhidrase terdapat diberbagai lokasi pada nefron, tapi lokasi utama enzim ini adalah membrane lumen TCP. Di segmen ini karbonik anhidrase akan mengatalisasi dehidrasi H2CO3, seperti telah dijelaskan diatas. Dengan menyekat karbonik anhidrase, penghambat menyekat reabsorbsi NAHCO3 dan menyebabkan dieresis ( Katzung, 2007).

Penghambat karbonik anhidrase merupakan pendahulu diuretic modern. Obat ini ditemukan ketika diketahui bahwa bakteriostatik sulfonamide menyebabkan dieresis alkali dan asidosis metabolit hiperkloremik. Seiring berkembangnya obat-obat terbaru, penghambat karbonik anhidrase saat ini jarang digunakan sebagai diuretic, tetapi obat ini masih memiliki beberapa kegunaan spesifik yang akan dibahas dbawah ini. Prototipe penghambat karbonik anhidrase adalah acetazolamid (Ganiswara,1995).

Karbonik anhidrase merupakan protein dengan berat molekul kira-kira 30.000 dan mengandung satu atom Zn dalam setiap molekul. Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat sulfonamide yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Yang akan dibicarakan disini hanyalah asetazolamid, karena banyak digunakan dalam klinik (Ganiswara,1995).

Efek farmakodinamik yang utama dari asetazolamid adalah penghambatan karbonik anhidrase secara non kompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada (Ganiswara,1995).

Ginjal, untuk menimbulkan penghambatan efek fisiologis yang nyata, lebih dari 99 % aktivitas enzim tersebut harus dihambat. Sekresi H+ oleh sel tubuli berkurang karena pembentukan H+ dan HCO3- yang berkurang dalam sel tubuli, sehingga petukaran Na+ oleh H+ terhambat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi bikarbonat, natrium dan kalium melalui urin sehingga urin menjadi alkalis. Bertambahnya ekskresi elektrolit menyebabkan bertambahnya ekskresi air (Ganiswara,1995).

Susunan cairan plasma. Dengan bertambahnya ekskresi bikarbonat dan ion tetap (fixed ion) dalam urin, terutama Na+, maka kadar ion-ion ini dalam cairan ekstrasel menurun sehingga terjadi asidosis ekskresi bikarbonat dan kation, maka besarnya efek dieresis tergantung dari kadar ion tersebut dalam plasma. Pada alkalosis metabolit, kadar ion bikarbonat dalam plasma meninggi dan ion klorida menurun (karena adanya chloride shift), dalam keadaan ini efek dieresis asetazolamid makin kuat. Hal yang sebaliknya terjadi dalam keadaan asidosi metabolic (Ganiswara,1995).

9

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Bila pada penderita dengan udem diberikan asetazolamid jangka lama, maka dapat terjadi asidosis metabolic sehingga efek asetazolamid makin lemah. Selain ion bikarbonat agaknya kadar kalium juga penting dlam menentukan efek dieresis asetazolamid, karena pada alkalosis ekstrasel yang sudah disertai hipokalemia, efek dieresis obat ini juga kurang (Ganiswara,1995).

Asetazolamid memperbesar ekskresi K+, tetapi efek ini hanya nyata pada permulaan terapi saja, sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak sebesar pengaruh tiazid (Ganiswara,1995).

Mata, dalam cairan bola mata banyak sekali terdapat enzim bikarbonik anhidrase dan bikarbonat. Pemberian asetazolamid baik secara oral maupun parenteral, mengurangi pembentukan cairan bola mata disertai penurunan tekanan intraokulernsewhingga asetazolamid berguna dalam pengobatan glaucoma. Efek ini mungkin disebabkan oleh penghambatan terhadaop karbonik anhidrase (Ganiswara,1995).

Sintesis golongan benzotiazid merupakan hasil dari penelitian zat penghambat enzim karbonik anhidrase. Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung banyak ion klorida, efek ini sangat berbeda sdengan senyawa induknya yaiut benzene disulfonamid. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa benzotiazid berefek langsung terhadap transport Na+ dan Cl- ditubuli ginjal, lepas dari efek penghambatnya terhadap enzim karbonik anhidrase (Ganiswara,1995)

Bendroflumethiazid, clortalidone, metozalon dan indapamid adalah beberapa contoh dari obat diuretic turunan tiazid. Tiazid, secara umum memproduksi diuretict potensial yang menyebabkan 5-10% dari sodium di filtrasi (Yassin, 2007).

Sebagian besar senyawa benzotiazid merupakan analog dari 1,2,4-benzo-tiadiazin-1,1-dioksida. Golongan ini biasa disebut sebagai benzotiazid atau tiazid saja, hubungna struktru dan aktivitasnya ternyata sangan amat kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor fisiologik maupun farmakokinetik. Beberapa senyawa ternyata dapat menimbulkan hiperglikemia dan efek ini ditentukan oleh struktur yang berbeda dari struktur yang menentukan daya diuresisnya (Ganiswara,1995).

Kurva tiazid menunjukkan kurva dosis efek yang sejajar dan daya kloruretik maksimal yang sebanding. Ini menunjukkan bahwa cara kerjanya sama, jadi perbedaan hanya dalam dosis dan bukan dalam efek diuretic maksimalnya. Berapa diuretic sulfonamide yang strukturnya sama sekali berbeda dengan tiazid, menunjukkan efek farmakologi yang sama dengan tizid. Senyawa-senyawa tersebut ialah klortalidon, kuinetazon dan indapamid (Ganiswara,1995).

Yang tergolong dalam kelompok diuretic hemat kalium adalah antagonis aldosteron, triametaren dan amilorid. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diueritik kuat (Ganiswara,1995).

10

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Aldosteron adalah mineral kortikoid endogen yanbg paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah memperbesar rewabsorbsi natrium dan klorida ditubuli serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolic karena reabsorbsi HCO3- dan sekresi H+ yang bertambah (Ganiswara,1995).

Keadaan dan tindakan yang dapat menyebabkan bertambahnya sekresi aldosteron oleh korteks adrenal adalah sekresi glukokortikoid yang meninggi misalnya pembedahan, rasa takut, trauma fisik dan pendarahan, asupan kalium yang tinggi, asupan natrium yang rendah, bendungan pada vena kafa intferior, sirosis hepatis, nefrosis dan payah jantung akan meningkatkan ekskresi aldosteron tanpa peningkatan sekresi glukokortikoid. Keadaan tersebut diatas serung disertai adanya udem, sehingga pemberian antagonis aldosteron yaitu spironolakton sebagai diuretic sangat bermanfaat (Ganiswara,1995).

Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini terbukti dari kenyataam bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen maupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorbsi Na+ dihilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi dengan demikian ekskresi K+ juga berkurang (Ganiswara,1995).

Diuretic ini mencegah sekresi K+ dengan melawan efek aldosteron pada tubulus colligens renalis kortikal dan bagian distal akhir. Inhibisi dapat terjadi melalui antagonism farmakologi langsung pada reseptor mineralokortikoid ( spironolakton dan elprenon) atau inhibisi influx Na+ melalui kanal ion di membrane lumen (amilorid, triamferen) (Katzung, 2007).

Spironololakton merupakan steroid sintetik yang bekerja sebagai antagonis kompetitif terhadapa aldosteron. Awitan dan durasi kerjanya ditentukan oleh kinetic jaringan sasaran. Spironolaklton sebagian besar diinaktivasi dia hati. Secara keseluruhan awitan kerja spironolaktin agak lambat, membutuhkan beberapa hari sebelum efek penuh terapi dicapai. Epelerenon adalah spironolakton yang lebih selektif terbadap reseptor aldosteron (Katzung, 2007).

Amilorid dan triamteren adalah penghambat langsung induksi Na+ di TCC. Triamteren dimetabolisir di hati, tetapi ekskresi ginjal merupakan jalur utama eliminasi bentuk aktif dan metabolit triamferen yang utama. Karena sangat dimetabolisasi,, triamferen memiliki waktu paruh yang lebih singkat sehingga harus diberikan lebih sering dibandingkan dengan amilorid (Katzung, 2007).

Diuretic kuat atau (high-selling diuretics) mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretic lain. Tempat kerja utamanya dibagian epitel tebal ansa henle bagian ascenden, karena kelompok ini disebut juga

11

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

sebagai loop diuretic. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetamit (Ganiswara,1995).

Asam etakrinat termasuk diuretic yand dapat diberikan secar oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid, atau asam 4-kloro-N-furufil-5-sulfonamid. Antranilat masih tergolong derivate sulfonamide. Bumetamit merupakan derivate asam 3 aminobenzoat yang lebih poten daripada furosemid tetapi dalam hal ini kedua senyawa ini mirip satu dengan yang lain (Ganiswara,1995).

Furosemid merupakan turunan yang merupakan diuretik kuat dan bertitik kerja dilengkungan Henle bagian menaik. Sangat efektif pada keadaan udema diotak dan paru-paru yang akut. Mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Reabsorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t1/2 30-60 menit, eksresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu. Efek samping yang umum berupa hiponatremia, gejalanya berupa gelisah, kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk) dan kolaps. Pada injeksi intravena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian (reversibel) dan hipotensi. Hipokalemia reversibel dapat pula terjadi (Yuliani, 2008).

Xantin ternyata juga mempunyai efek dieresis. Efek stimulasinya pada fungsi jantung, menimbulkan dugaan bahwa dieresis sebagian disebabkann oleh meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Namun, semua derivate xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada pengasaman urin. Efek dieresis ini hanya sedikit dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase ( Ganiswara,1995).

Diantara kelompok xantin, teofilin memperlihatkan efek dieresis yang paling kuat. Xantin sangat jarang digunakan sebagai diuretic utama, namun bila digunakan untuk tujuan lain terutama seperti bronkodilator, adanya efek dieresis harus tetap diingat ( Ganiswara, 1995).

Udem, semua diuretic dapat digunakan untuk keadaan udem. Seringkali udem ini disertai dengan hiperaldosteronisme karena itu penggunaan diuretic cenderung disertai kalium, penyebab utama udem adalah payah jantung; epenyebab lainnya antara lain penyakit hati dan sindrom nefrotik. Pada semua keadaan ini harus diusahakan meningkatkan kadar kalium dalam serum dengan memberikan suplemen kalium atau dngan penggunaan bersama diuretic hemat kalium. Pada penderita sirosis hati yang disertai asitesis dan udem, sebaiknya digunakan dahulu diuretic hemat kalium, kemudian disusul dengan diuretic lebih kuat. Pada udem yang disertai gagal ginjal, penggunaan tiazid kurang bermanfaat. Terutama efeknya pada keseimbangan natrium terhadap resistensi perifer (Ganiswara,1995).

12

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

BAB IV

METODE PERCOBAAN

4.1 Alat

- Timbangan hewan (Kelinci)

- Alat suntik 1 ml

- Jarum oral dan spuit 5 ml

- Stopwatch

- Beaker Glass 25 ml

- Gelas ukur 10 ml, 25 ml, 250 ml

- Kotak pengamatan

4.2 Bahan

- Aquadest

- Furosemid Injeksi [ ] 1%

4.3 Hewan Uji

4.4 Prosedur PercobaanPerhitungan Dosisa. Kelinci Kontrol (Kelinci I, II, dan III)

Masing – masing di beri aquadest 3 ml secara oral

b. Kelinci Obati.m

Kelinci IV

Berat kelinci : 2 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 2 Kg

13

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

= 6,4 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

Volume furosemid = 6,4/10

= 0,6 ml

Kelinci V

Berat kelinci : 1,6 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 1,6 Kg

= 5,12 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

Volume furosemid = 5,12/10

= 0,512 ml

Kelinci VI

Berat kelinci : 1,3 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 1,3 Kg

= 4,16 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

14

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Volume furosemid = 4,16/10

= 0,416 ml

i.vKelinci VII

Berat kelinci : 1,5 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 1,5 Kg

= 4,8 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

Volume furosemid = 4,8/10

= 0,48 ml

Kelinci VIII

Berat kelinci : 1,7 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 1,7 Kg

= 5,44 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

Volume furosemid = 5,44/10

= 0,544 ml

Kelinci IX

15

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

Berat kelinci : 1,35 Kg

Konsentrasi furosemid : 1%

Dosis : 3,2 mg/KgBB

Jumlah furosemid = 3,2 mg/Kg x 1,35 Kg

= 4,32 mg

Konsentrasi furosemid = 1× 1000

100

= 10 mg/ml

Volume furosemid = 4,32/10

= 0,432 ml

16

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Dan Toksikologi

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, dkk. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. Jakarta : Gaya baru. Hal : 380-399

Katzung. G. Bertram (2001). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 240-256

Yassin, G. (2007). Pharmacology. Third edition. China: Elsevier. Pages: 146-149

Asperheim, M,K. (1985). Pharmacologic basis of patient care. Fifth edition. Philadelpia: W.B sauders company. Pages: 483-489

Wilson, A. (1968). Applied Pharmacology. London: J. & A. Churchill LTD. Pages: 199-213

Sinaga, M. (2012). Pengujian Efek Diuretik Sari Wortel (Daucus Carota L.) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/484

Yuliani, Fitri. (2008). Efek Diuretik Ekstrak Etanol 70% Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm.F) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar etd.eprints.ums.ac.id/1536/1/K100040229.pdf

.

17