Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh:...

11
Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri 2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil qath’i, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini. Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah. Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim di atas. Faktanya tatkala kita membaca kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya serta para ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khabar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khabar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzan rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah. Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qath’i-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khabar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khabar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan. Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khabar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para ulama tersebut. Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan para ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut: Pendapat Para Ulama Hanafiyah Imam Abu Hanifah ( w. 150 H) Imam Abu Hanifah cenderung untuk berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa hadis yang tidak sampai derajat Mutawatir terdapat kemungkinan terdapat kesalahan di dalamnya atau kelalaian dalam jalur periwayatannya, sehingga menjadikan validitas hadis ahad diragukan dalam masalah aqidah. Kontribusi yang paling berharga oleh Imam dalam bidang Ilmu Hadis adalah pembagian hadis menjadi beberapa tingkatan dan cara penggalian hukum dari nash-nash syara’ berdasarkan pembagian di atas. Sumber hukum yang utama adalah al-Quran dimana tidak ada seorang pun yang mempermasalahkannya. Sumber hukum setelah al-Quran adalah as-Sunnah. Di antara 1 WWW.OBM.CLARA.NET 2 Rektor Institut Syari’ah Islam London-Inggris

Transcript of Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh:...

Page 1: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad1 Oleh:

Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan

jalan membatasinya pada dalil-dalil qath’i, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.

Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.

Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim di atas. Faktanya tatkala kita membaca kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya serta para ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khabar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khabar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzan rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.

Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qath’i-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khabar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khabar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.

Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khabar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para ulama tersebut.

Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan para ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:

Pendapat Para Ulama Hanafiyah

Imam Abu Hanifah ( w. 150 H)

Imam Abu Hanifah cenderung untuk berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa hadis yang tidak sampai derajat Mutawatir terdapat kemungkinan terdapat kesalahan di dalamnya atau kelalaian dalam jalur periwayatannya, sehingga menjadikan validitas hadis ahad diragukan dalam masalah aqidah.

Kontribusi yang paling berharga oleh Imam dalam bidang Ilmu Hadis adalah pembagian hadis menjadi beberapa tingkatan dan cara penggalian hukum dari nash-nash syara’ berdasarkan pembagian di atas. Sumber hukum yang utama adalah al-Quran dimana tidak ada seorang pun yang mempermasalahkannya. Sumber hukum setelah al-Quran adalah as-Sunnah. Di antara 1 WWW.OBM.CLARA.NET 2 Rektor Institut Syari’ah Islam London-Inggris

Page 2: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

2

keduanya tidak ada perbedaan yang substansial, dimana salah satu di antara keduanya menjadi Wahi Matlu dan lainnya menjadi Wahi Ghori Matlu, tetapi ada perbedaan di antara keduanya berkaitan tingkat pembuktian. Jika hadis terbukti shohih dan qath’i maka ia mempunyai kedudukan seperti al-Quran sebagai sumber hukum.

Hadis, bervariasi tegantung dari tingkat kebenarannya dan variasi ini harus diperhitungkan dalam proses penggalian hukum darinya. Klasifikasi hadis oleh para ahli hadis menjadi Hadis Shohih, Hasan dan Dha’if adalah tidak mencukupi, karena belum ada yang membagi hadis tersebut sebagai sumber hukum yang legal. Hanya hadis dha’if saja yang tidak dapat dipercaya, selain hadis dha’if (hadis shohih dan Hasan-pent) dapat digunakan sebagai dalil/hujjah. Beliau (Imam Abu Hanifah-pent) sepakat untuk membagi Hadis dari sudut pandangnya sebagai dalil menjadi tiga tingkatan:

a) Mutawatir. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah besar orang pada tiap tabaqat (generasi-pent) periwayatan sampai pada kolektor hadis (Para Imam yang mempunyai kitab hadis-pent). Sehingga kesepakatan mereka tentang kemungkinan adanya pernyataan yang salah telah ditolak dengan logika manusia. Contoh dari hadis ini adalah hadis yang menggambarkan jumlah raka’at sholat atau jumlah tertentu yang harus dikeluarkan dalam zakat.

b) Mashur. Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh 1s/d 3 orang shahabat, tapi pada masa sesudahnya yaitu pada masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, hadis ini menjadi terkenal dan diterima secara umum oleh umat. Dari tabaqat ini (generasi-pent) ke atas diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, sehingga hampir mencapai derajat Mutawatir. Contohnya: perintah yang tegas dari Syara’ (Pembuat Hukum yaitu Allah SWT-pent) tentang hukuman bagi para pezina yang telah menikah dengan dilempari batu sampai meninggal.

c) Ahad. Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kepada satu orang atau sekelompok orang, atau dari sekelompok orang kepada satu orang.

Sehingga pembagian hadis berdasarkan pendapat (ijtihad-pent) dari para Imam, yang kemudian membawa perbedaan dalam penunjukan dalilnya. Status hukum yang digali dari hadis Mutawatir adalah wajib dan fundamental. Sedang status hukum yang digali dari hadis mashur adalah tidak wajib, tapi dapat membatasi (men-taqyid-pent) dari kemutlakan ayat al-Quran dan dapat menjadi suplemen dari al-Quran. Pada Hadis Ahad walaupun shohih tetapi sebatas dugaan keras, tidak ada jalan baginya untuk mempengaruhi penunjukkan yang jelah dari ayat al-Quran.

Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan mengamalkan hadis ahad dengan beberapa

kriteria3 : a) Perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, tetapi kalau menyalahi, maka yang

diambil adalah pendapatnya, bukan yang ia riwayatkan. Sebab kalau perawi menyalahi riwayatnya, berarti itu mendapat keterangan bahwa hadis/riwayat itu sudah mansukh.

b) Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum bahwa seharusnya diriwayatkan oleh orang banyak.

c) Riwayat itu tidak bertentangan dengan qiyas.

Issa ibn Aban (w. 220 H) Murid dari Imam Hasan ash-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan secara

jelas: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai dalil amal perbuatan”.

3 Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hlm. 31

Page 3: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

3

Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H) Dalam kitabnya (Khabar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam

masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.

Imam ath-Thabari (w. 310 H) Dari Imam as-Sarkhasi (Ushul al-Sarkhasi), Imam ath-Thabari menyatakan: “Hadis

Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.

Imam al-Karabasi an-Najafi (W. 322 H) Beliau berkata: “ (Hadis) Ahad hanya berfaedah Ilmu Dzohir”.

Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams al-A’ima al-Sarkhasi (w. 483) Imam besar Hanafiyah dan seorang mujtahid, dalam kitabnya4 membantah mereka yang

menerima Khabar Ahad dalam masalah aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khabar Ahad dan perbedaan antara dalil Qath’i dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan Khabar. Untuk mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.

Abdul Qohir al-Baghdadi (w. abad 5 H) Ibn Athir al-Jazari (w. 606)5 Imam al-Izz Ibn Abd as-Salam (w. 660 H): “Tidak mengambil Hadis Ahad sebagai dalil dalam masalah Aqidah”. Ala ad-Din Ibn Abidin (w. 1306 H)

Para Ulama Hambaliyah

Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra: “Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah aqidah berpegang pada dalil-dalil

syara’ (secara manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah seorang ulama ahli Sunnah. Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang ditegakkan berdasarkan dalil Qath’i karena ia (dalil qath’i yaitu al-Quran dan Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qath’i juga berasal dari Allah SWT”6

Al-Qadhi dalam Kitab al-Iddah menyatakan: “ Hadis Ahad tidak berfaedah ilmu Qath’i” (Al-Iddah)

Abu Bakar al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan, bahwa Imam Ahmad telah berkata: “Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa nabi SAW benar-benar menyatakan demikian” (Ma’anil Hadis)

Abu Ya’la, menyatakan: “Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan di dalamnya (jika umat tidak sepakat, berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzan –pent)”.

4 al-Usul al-Sarkhasi juz 1/hlm. 112, 321-333 5 dalam al-Nihayah fi Gharib al-Hadis 6 Lihat Tarikh al-Madzhib al-Islamiyah hlm. 506

Page 4: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

4

Abu Muhammad, menegaskan: “Hadis Ahad tidak berfaedah qath’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung dan ulama mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad”7

Ibn Abdil bar memandang bahwa: “Hadis Ahad mewajibkan amal, tetapi tidak mewajibkan ilmu qath’i”.

Ibnu Badran menegaskan: “Apa yang dituduhkan kepada Imam Ahmad oleh Ibnu Hajib, al-Wasithi dan lainnya, yang menyatakan bahwa Imam Ahmad menyatakan setiap hadis ahad yang diriwayatkan perawi yang adil walaupun tanpa qarinah adalah qath’i. Ini tidak benar, bagaimana seorang tokoh sunni mengaku berpendapat seperti ini dan dalam kitab yang mana pendapat seperti ini diriwayatkan dari beliau’’.

Abu Khatab (murid Imam Hambali) menyatakan: “Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qath’i, tetapi digunakan sebagai dalil masalah amal perbuatan”. Abu Khatab juga menyatakan dalam (at-Tamhid fi Takhriji al-Furu’i ‘ala al-Ushul) , pendapat yang sama dengan Ibn Qudamah Al-Maqdisi, tetapi berbeda tentang apakah umat sepakat atau tidak.

Ahmad Ibn al-Muthanna al-Tamimi al-Qodi Abu Ya’la al-Mausuli (w. 307 H): yang meriwayatkan dalam (al-Iddah) bahwa dia melihat dalam kitab (Manin al-Hadis) dari Abi Bakar al-Athram (murid dari Imam Ahmad) pernyataan dari Imam Ahmad: “Jika saya melihat hadis shohih, saya akan berbuat berdasarkan hadis itu, tapi saya tidak bersumpah bahwa Nabi SAW mengatakan demikian”.

Ahmad Ibn Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 689) pengarang kitab Al-Mughi menyatakan dari Abu Khatab: “Imam Ahmad berkata bahwa Hadis Ahad adalah dalil yang Qath’i kalau umat menyepakatinya”8

Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah al-Maghdisi (w. 620 H) berkata: “Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad adalah tidak Qath’i, tetapi digunakan sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan”9

Abu al-Abbas Taqiyudin Ibn Taimiyah (w. 728 H) Shihabudin Abbas Ibn Taimiyah al-Hambali (w. 745 H) Abu Abdullah al-Zura’I Ibn Qoyyim al-Jawziyya (w. 751 H) menyatakan: “Ijma’ yang diriwayatkan secara ahad adalah tidak Qath’i. Tetapi digunakan sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan”10

Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri)11

Pendapat Para Ulama Syafi’iyah

Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204), membedakan ilmu menjadi 2 jenis Ilmu : Ilmu Dzahir dan Ilmu Batin. Beliau berkata:12 7 lihat Kitab Raudhah 8 Al-Mughni- Bab Khabar Ahad 9 Raudhatul Nadhar wa Jannatu al-Manadzhar 10 Sawaiq al-Mursala 11 Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hlm. 31 12 Risalah Fi Ushul Fiqh, Bab Qiyas, lihat juga hlm. 357-359,478

Page 5: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

5

1) Terdiri dari keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir dan Ilmu Bathin. Yang lainnya, jawaban yang benar pada Ilmu Dzahir saja. Keputusan yang benar (pada Ilmu dzahir dan Ilmu Bathin) adalah yang didasarkan pada perintah Allh SWT atau Sunnah Rasul SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (mutawatir-pent) dari generasi-generasi awal. Ini (perintah Allah SWT dan as-Sunnah) adalah dua sumber kebaikan yang dengannya sesuatu ditetapkan sebagai sesuatu yang halal dan yang lain ditetapkan sebagai sesuatu yang haram. Inilah (jenis ilmu pengetahuan) yang tidak seorang pun diperkenankan untuk mengabaikan atau meragukannya (sebagai sumber yang memberi kepastian).

2) Pengetahuan yang dimiliki oleh para Ahli yang bersumber dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh beberapa orang dan diketahui hanya oleh para ulama, tetapi untuk masyarakat umum tidak ada kewajiban untuk memahaminya. Pengetahuan seperti itu dapat ditemukan di antara semua atau sebagian orang ulama, yang diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dari Nabi SAW. Inilah jenis ilmu pengetahuan yang mengikat para ulama untuk menerima dan menetapkan keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir sebagaimana kita dapat menerima (validitas) persaksian dari dua orang saksi. Inilah kebenaran (hanya ada) pada Ilmu Dzahir, karena ada kemungkinan ( dalil/petunjuk) dari dua orang saksi terdapat terdapat kesalahan.

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari al-

Quran , karena al-Quran adalah Mutawatir.13

Imam Ahmad Ibn Ali Ibn Abu Bakr al-Khatib Baghdadi (w. 463), berkata: “Khabar Ahad tidak memberikan faedah Ilmu/Dzani (Khabar Ahad la yufidal ilm’)’’14

Abdul Malik Ibn Yusuf Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H), menyatakan berkaita dengan masalah Al-Bayan ( peryataan eksplisit-pent): “Bayan dapat ditempatkan brdasarkan urutan berikut : Al-Quran, Sunnah, Al-Ijma’, Khobar Wahid dan Qiyas.”15

Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H) berkata: “Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka ini tidak berfaedah Ilmu/Dzani dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: “Ada pun pendapat para ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan ilmu/qath’i adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qath’i (yang menghasilkan Ilmu/qath’i-pent)”16

Imam Abu a l-Hasan Saifudin al-Amidi (w. 631), beliau berkata : “Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzani’’. Lalu menambahkan: “Barang siapa menolak ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan.’’17

13 Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31 14 Kifayah Fi Ilm ar-Riwayah 15 Nihaya al-Matlab Fi Diraya al-Madzab 16 al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1/hal 145-146 -pent 17 Lihat Al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam Imam al-Amidi juz I/hal. 71-72; al-Ihkam fi ushuli al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I/hlm. 114 -pent.

Page 6: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

6

Imam Abu Zakariya Muhyidin an-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan: “Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah di atas.18

Imam Sa’diudin Ibn Umar at-Taftazani (w. 792) berkata: “Ahad la yufiddal Ilm’, karena ada kemungkinan dalam khobar ini terdapat kesalahan’’.

Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa: “ Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’19

Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin as-Suyuti (w. 911 H) menyatakan: “Hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib an-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain20

Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi (w. 606 H) mengilustrasikan poin berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut: “Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar, karena jika hadis ini diterima, maka akan membuktikan Ibrahim sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan bahwa para perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis ini, kalau kita terima akan membuktikan bahwa Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau ditolak berarti para perawi dianggap pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih disukai adalah untuk diberikan pada Ibrahim AS ”21

Imam al-Quramani menyatakan: “Hadis ahad tidak dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah”.

Ibn Syafi’i menyataakan: “Hadis Ahad bernilai Qoth’I kalau Umat sepakati atasnya”22

Al-Hafidz al-Iraqi: “Hadis Ahad tidak Qoth’I walaupun umat menyepakatinya”.

Imam Syaukani (w. 1255 H), berkaitan dengan sifat Allah SWT: Menukil pernyataan Imam Haramain al-Juwaini yang berkata : “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah”. Pendapat Para Ulama Malikiyah

Imam al-Hafidz Abu Nu’aim al-Isfahani (w. 430 H) berkata: “Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu/dzani, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang hukum syari’at”.

Imam Abul Husain Ibn Ali at-Tayyib (w. 436 H); Imam Yahyariyah al-Ansari; Imam al-Kasa’i (w abad ke-6 H); Imam Shamsudin Ibn Ahmad al-Mullai; Imam Abdurrahman 18 Syarah Shahih Muslim juz 1/hlm. 130-131 19 Fathul Bari, juz 8, Bab Khabar Ahad 20 al-Itqan Fi Ulum al-Quran juz 1/hlm. 77 dan juz 2/hlm. 5 21 Lihat Tafsir al-Kabir dan al-Mahshul fi Ilmi al-Ushul 22 al-Muqadama Fil Ulumil Hadis

Page 7: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

7

Ibn Jad al-Magrib Ibn al-Banani ; dan ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal Ahli Madinah23 Imam Malik ra. menegaskan: “Hadis Ahad apabila bertentangan dengan qawa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak diamalkan.24

Pernyataan Ulama Dzhahiri

Imam Ibn Hazm (w 456 H) menyatakan: “Seluruh ulama Hanafilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah telah sepakat (ijma’) tentang masalah hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu/Dzani (Ahad la yufidal ilm’). Lalu beliau menambahkan: “Kewajiban pertama atas setiap orang, yang mana Islam-nya tidak sah sebelum melakukannya, adalah dia harus mengetahui dengan hati yang yakin dan ikhlas yang tidak ada keraguan di dalamnya (harus dibangun dengan dalil-dalil Qath’i -pent)’’25

Menurut Ahli Dzhahhir bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh sebagian Ulama Hambaliyah.26

Pernyataan Dari Ulama Lainnya

Imam Abu Ishak asy-Sya’tibi (w. 790 H) menyatakan: “ Bahwa Ushulu fiqh dalam agama harus dibangun dengan dalil-dalil qath’i, bukannya dengan dalil-dalil dzani. Seandainya boleh menjadikan dalil dzani sebagai dalil dalam masalah ushul seperti ushul fiqh maka juga membolehkan (hadis ahad-pent) sebagai dalil dalam masalah ushul ad-din (aqidah –pent) dan hal ini jelas tidak diperbolehkan menuruj ijma’ (kesepakatan-pent). Karena masalah ushul fiqh juga dinisbahkan dalam masalah Ushul ad-din”27

Imam Asnawi menyatakan: “Syara’ memperbolehkan dalil dzani dalam masalah-masalah amaliyah yaitu masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para Ulama yang terpercaya.”28

Imam Ibn Taimiyah berkata: “Khabar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu menurut jumhur sahabat Abu Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti al-Asfaraini dan Ibn Faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzani. Bila ia didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah yang pasti (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent)29

Imam az-Zamakhsari, menambahkan: “Imam Malik berpendapat barang siapa sholat dengan membaca qira’at (bacaan –pent) Ibn Mas’ud yang tidak Mutawatir dan tidak termasuk qira’at para

23 Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hlm. 32 24 Fathul Bari juz 4/hlm. 156 25 al-Muhalla juz I/hlm. 2 26 Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hlm. 31 27 al-Muwafaqat fi Ushuli asy-Syar’iyah -pent 28 Nihayah Fi Ilm’ al-Ushul 29 Lihat Majmu Fatwa juz 18, hlm. 41

Page 8: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

8

shahabat, maka ia telah menyelisihi mushfah (Mushhaf Imam yang mutawatir-pent) dan janganlah sholat di belakangnya”30

Imam Jamaluddin al-Qasimi menyatakan: “Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzan tidak sampai derajat ilmu (yakin)”31

Imam Kasani menyatakan: “Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja.”32

Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan al-Asnawi (w. 772 H), berkata: “Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama.”33

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy- Syairazi (w. 476 H) menyatakan: “ Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu qath’i).”34

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani (w. 1255 H) mengatakan: “Hadis Ahad menghasilkan dzan’.’35

Syeikh Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Athar (w. 1250 H) menyatakan: “Hadis Ahad menghasilkan Dzan.’’36

Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani mengatakan: “Hadis ahad tidak berfaedah kecuali dzan, apabila tidak sampai derajat mutawatir.37”

Imam al-Amidi menyatakan: “Sebagian sahabat kami menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah dzan (prasangka)38 Syeikh Shadr asy-Syarif Ubaidilah bin Mas’ud (w. 747 H) menyatakan: “Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan/Dzan.’’39

Syeikh Kamal bin Hamam (w. 861 H) dan Syeikh Ibn Amir Al-Haj (w. 879 H) menyatakan: “Hadis Ahad menghasilkan Dzan”40

30 al-Burhan Fi Ulumil Qur’an juz I/hlm. 222 31 Qawaidut Tahdis, hlm. 147-148 32 Badaa’iu shanaa’i juz 1/hlm. 20 33 Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul al-Baidhawi, juz 1/hlm. 214). 34 at-Tabshirah fi Ushuli al-Fiqh dan al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh 35 Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilmi al-Ushul, hlm. 46 dst 36 Hasiyah al-Athar ala Syarh al-Mahali ala Jam’i jawami’ as-Subki, juz /hlm 146 37 Fathul Bari, juz 13/hlm. 238 38 al-Ihkam Lil Amidi, 2/hlm 34) 39 at-Talwih Syarh at-Taudhih li Matan at-Tanqih, juz 2/hlm. 303 40 at-Taqrir wa at-Tahbir Syarh Kabir, juz 2/hlm. 235-236).

Page 9: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

9

Imam Alaudin bin Abdi Al-Aziz Al-Bukhari (w.730 H) menyatakan: Hadis Ahad menghasilkan keraguan/Dzan” 41

Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa: “Hadis Ahad menghasilkan Dzan”42

Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan: “Hadis Ahad berfaedah Dzan.”43

Syeikh Muhammad al-Khudhari berkata: “Hadis ini (hadis ahad –pent) adalah menghasilkan Dzan.”44

Syeikh Muhammad Musthafa Syalbi menyatakan: “Hadis Ahad menghasilkan Dzan.”45

Syeikh Hafidz Tsanauullah Az-Zahidi tatkala menjelaskan tentang Bab Fardhu, beliau berkata: “Fardhu Amali atau dzan adalah apa yang ditetapkan dengan dalil Dzani Tsubut dan Qoth’i Dalalah, yang statusnya lebih kuat dari al-Wajib al-Istilahi dan lebih ringan dari al-Fardhu al-Qath’i’’. Selanjutnya beliau menambahkan: “Hukum Fardhu Amali adalah wajib untuk diamalkan tetapi tidak untuk dalil untuk masalah i’tiqad, maka tidak kafir orang yang mengingkarinya.”46

Imam Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Sahal as-Sarkhasi ( w. 490 H) menyatakan: Menurut Jumhur Ulama Hanafiyah wajib adalah apa yang telah ditetapkan dengan dalil qath’i dalalah dan dzan tsubut (termasuk hadis ahad-pent) atau dzon dilalah dan qoth ‘i tsubut dengan penegasan dan penekanan atas tuntutannya (Al-Syadah wa Al-Jazm fi Ath-Tholab) atau dengan kata lain adalah apa dengan dalil yang mewajibkan Ilmu untuk diamalkan tetapi tidak mewajibkan ilmu yaqin, karena ada stubhat/keraguan dalam jalannya.”47

Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama dengan Imam as-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzan Tsubut-pent) wajib diamalkan, tetapi tidak untuk masalah i’tiqad (Aqidah-pent)48

Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam As-Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad.49 Pendapat Para Ulama Kontemporer

Imam Shuhaib al-Hasan menukil Imam Ahmad yang menyatakan: “Jangan tulis hadis Gharib ini (hadis Ahad), karena dia tidak diterima dan kebanyakan di antaranya adalah dha’if” (Musthala hadis).

Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan: Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya menghasilkan Dzan’’.

41 ( Kasfu al-Asrar An Ushul al-Bazdawi, juz 2/hal 360 42 Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1/hlm. 451 43 Ushul al-Fiqh, hlm. 83-84 44 Ushul al-Fiqh, hal. 214-215 45 Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm. 139 46 Taisiru al-Ushul, hlm. 156-158 47 Ushul as-Sarkhasi, juz 1/hlm. 111 48 Lihat Fath al-Ghaffar al-Ma’ruf bi Misykah al-Anwari, juz 2/hlm. 63 49 Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-Ushuli Al-fiqhi Li al-Khabazi, hlm. 84

Page 10: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

10

Syeikh DR. Abdurahman al-Baghdadi, menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah”50

Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa: Menurut mayoritas ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis masyhur”. Kemudian beliau melanjutkan pembahasannya: “Sedang Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan dan keyakinan.’’51

Syeikh DR. Thoha Jabir Al-Ulwani menyampaikan: Sumber hukum Islam ada yang Qath’i Tsubut (Memberi faedah pasti –pent)seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir. Dan ada juga sumber hukum yang Dzani Tsubut seperti hadis Ahad (memberi faedah Dzan –pent)52

Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal.53

Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan/keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzanni.54

Maulana M. Rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari serangan para orientalis: “ Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis.”55 Juga pendapat-pendapat dari: M. Muhammad Azami56 Sayid Qutb57 Syeikh Hasan Attar Syeikh Zakiudin Sha’ban Imam Juzairi Syeikh Abdullah Ibn Abdul Muhsin at-Turki (Rektor Univ. Madinah) Syike Shu’ban Muhammad Ismail Syeikh Abdul Wahab Khalaf (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Taqiyudin an-Nabhani (Mujtahid abad ini) Syeikh Abdul Wahab Najjar

50 Lihat Kitab Radu’ alal Kitab ad-Da’wah al-Islamiyah hlm. 191 51 Lihat kitab Ta’arudh al-adilati asy-Syar’iyati min al-Kitabi Wa as-Sunnahi Wa at-Tarjihu Bainaha, hlm. 70 52 Adab Al-Ikhtilaf/Bab Khatimah 53 Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hlm. 54 54 Ilmu Mustholah Hadits, hlm. 31 55 Izhar al-Haq juz 4 56 dalam Studies in Hadis Methodology and Literature, hlm. 43 57 dalam tafsirnya ( Fi Dzilanil Quran/juz 30

Page 11: Sekali Lagi Tentang Hadis Ahad - O. Solihin · PDF fileSekali Lagi Tentang Hadis Ahad 1 Oleh: Syeikh Muhammad Umar Bakri2 dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi Usaha untuk menggunakan dalil

11

Syeikh Muhammad Abu Zahra (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Badran Abu Ainain badran Syeikh Md. Salam Mudkur Syeikh Umar Bakri Muhammad (Rektor Istitut Syari’ah Islam-London) Syeikh Umar Abdullah Syeikh DR. Muhammad Ujjaj Al-Khatib (Pakar Hadis) Syeikh DR. Samih Athif Az-Zein (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh DR. Muhammad Muhammad Ismail (Guru Besar salah satu Univ. di Mesir) Syeikh DR. Muhammad Husain Abdullah (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh DR. Muhammad Ali Hasan (Pakar Bahasa Arab) Syeikh DR. Abdul Madjid Al-Muhtasib (Pakar Tafsir) Syeikh DR. Abdurahman Al-Maliki (Pakar Hukum Islam) Syeikh DR. Mahmud Al-Khalidi ( Staf pengajar Univ. Madinah) Syeikh DR. Mahmud Abdul Karim Hasan (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh DR. Mahmud Thahan (Pakar Hadis) Syeikh DR. Muhammad Wafa’ (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh DR. Muhammad Khoir Haikal (Pakar Hukum Islam) Imam Jamaluddin Al-Qosimi (pakar Hadis) Syeikh Musthafa As-Shibalah Syeikh Md. Al-Khadari Syeikh Ali Hasabulah Syeikh Iyadh Hilal (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Atha’ Abi Rustha (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Abdul Aziz Al-Badri (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Abdul Qadim Zalum (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Fathi’ Salim (Pakar Hadis) Syeikh Ishom Amirah (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Ahmad Mahmud Syeikh M. Abdul Lathif Uwaidhah Syeikh Fauzi Sanqarth Syeikh Hafidz Sholeh (Master Bahasa Arab dan Studi Islam, Univ. Salafiyah Pakistan) Syeikh Ali Raghib (Staf pengajar Univ. al-Azhar-Mesir) Syeikh Abdul Ghoni Sholah Syeikh Muhammad Syakir Syarif Syeikh Muhammad Musa Syeikh Abdullah Ath-Tharablusi Syeikh Tsabit Al-khawajan Syeikh Al-Jibali (Pakar Hadis) Syeikh Ahmad Iyadh Athiyah (Pakar Ushul Fiqh) Syeikh Dawud Hamdan Syeikh Abdurrahman Muhammad Khalid Syeikh Muhammad Syuwaiki (Imam Masjid al-Aqsa) Syeikh Muhammad Hasan Haitu Syeikh Muhammad Izzat At-Thahthawi Mayoritas Ulama al-Azhar (Mesir) dan Universitas Islam terkemuka di negeri-negeri kaum muslimin[]