Web viewBAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Acruired Immune Deficiensy Syndrome . atau yang lebih...
Click here to load reader
-
Upload
hoangkhanh -
Category
Documents
-
view
220 -
download
1
Transcript of Web viewBAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Acruired Immune Deficiensy Syndrome . atau yang lebih...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acruired Immune Deficiensy Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya kelainan yang
komplek dalam sistem pertahanan selular tubuh dan menyebabkan korban menjadi
sangat peka terhadap mikroorganisme oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini
merupakan penyakit kelamin, yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum
homoseksual. AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika
Serikat. Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan
oleh komunitas kaum homoseksual (Varney, 2006: 151).
Menurut data UNAIDS/WHO AIDS Epidemic Update yang
dipublikasikan pada 21 November 2007, diperkirakan 39,5 juta Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA). Terdapat 4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8 juta (65
persen) dari jumlah tersebut terjadi di Sub-Sahara Afrika, sedangkan kawasan
Asia Selatan dan Asia Tenggara menyumbang angka 860.000 (15 persen).
Sedangkan kanker merupakan penyakit atau kelainan pada tubuh sebagai
akibat dari sel-sel yang tumbuh abnormal, diluar batas kewajaran dan tidak
terkendali perkembangannya. (Sunaryati, 2011: 12) Kanker mempunyai andil
yang besar dalam kasus kematian penduduk dunia. Insidensi kanker di Asia
berkisar 20 kasus baru di antara 100.000 penduduk. Adapun di negara maju, yaitu
100 kasus per 100.000 penduduk dan sekitar 40.000 akan meninggal akibat
penyakit ini.
Pasien yang menderita AIDS dan mengalami kanker memperlihatkan
adanya gangguan psikologis berupa stres dan depresi yang ditunjukkan dengan
perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak puas dalam hidup,
merasa lebih buruk dibandingkan dengan orang lain, penilaian rendah terhadap
tubuhnya, dan merasa tidak berdaya. (Jeffry dkk, 2006: 157). Berdasarkan latar
belakang tersebutlah maka penulis menyusun makalah mengenai “Psikologi pada
Pasien dengan HIV AIDS dan Kanker”.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian HIV AIDS dan Kanker
2. Apa kebutuhan psikologi pada pasien dengan HIV AIDS dan Kanker
3. Bagaimana masalah psikologis yang akan terjadi pada pasien dengan
HIV AIDS dan Kanker
4. Apa strategi pemecahan masalah psikologis yang terjadi pada pasien
dengan HIV AIDS dan Kanker
5. Bagaimana sistem rujukan pada pasien HIV AIDS dan Kanker dalam
lingkup masalah psikologi
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
6. Untuk mengetahui pengertian HIV AIDS dan Kanker
7. Untuk mengidentifikasi kebutuhan psikologi pada pasien dengan HIV
AIDS dan Kanker
8. Untuk memprediksi masalah psikologis yang akan terjadi pada pasien
dengan HIV AIDS dan Kanker
9. Untuk menjelaskan strategi pemecahan masalah psikologis yang
terjadi pada pasien dengan HIV AIDS dan Kanker
10. Untuk menerangkan sistem rujukan pada pasien HIV AIDS dan
Kanker dalam lingkup masalah psikologi
2
BAB II
HIV AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus penyebab AIDS. HIV
tidak dikenal hingga awal tahun 1980-an, dan sejak saat itu telah menginfeksi
jutaan manusia di seluruh dunia. HIV ditularkan terutama melalui semen, darah
dan cairan serviks. Hasil dari infeksi HIV adalah rusaknya sistem kekebalan tubuh
yang akan menjadi penyebab munculnya AIDS. AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) yaitu sindrom (kumpulan gejala) menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS sangat mudah
tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita
telah menurun. Semua orang yang terinfeksi HIV adalah orang yang berisiko
untuk sakit atau mati akibat infeksi oportunistik dan komplikasi neoplastik
sebagai suatu konsekuensi yang tidak terelakkan dari AIDS (Nugraha, 2006: 125).
Untuk keperluan surveilans AIDS pada remaja dan dewasa (lebih dari 12
tahun), WHO telah menetapkan sebagai kasus AIDS apabila hasil tes untuk
antibodi HIV positif, dan munculnya satu atau lebih tandatanda/kondisi berikut
ini:
1. Berat badan menurun lebih dari 10 persen, disertai dengan diare kronis
atau demam berkepanjangan yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
2. Cryptococcal meningitis.
3. Pulmonary atau extrapulmonary tuberculosis.
4. Sarkoma kaposi.
5. Kerusakan syaraf.
6. Candidiasis pada oesophagus.
7. Pneumonia dengan episode berulang.
8. Kanker serviks invasif.
Tidak ada obat atau vaksin untuk infeksi HIV, akan tetapi penggunaan
antiretroviral yang sangat aktif memberi harapan dalam memperpanjang usia
penderita. (Jerry dkk, 2006: 158)
3
B. Kebutuhan Psikologi
Studi yang dilakukan oleh Meredith (dalam Varney: 2006) yang menanyai
wanita HIV positif mengenai apa yang mereka butuhkan dari perawatan mereka,
menjawab:
1. Perawatan personal dan dihargai
2. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-
masalahnya
3. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
4. Tindak lanjut medis
5. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
6. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
Selain itu beberapa studi lainnya menjelaskan bahwa seorang penderita
HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya.
Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:1. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
2. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
3. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang
dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007)Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang
akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan sosial
1) Dukungan EmosionalMencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan2) Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain
4
3) Dukungan InstrumentalMencakup bantuan langsung misalnya orang memberi
pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
4) Dukungan InformatifMencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
C. Masalah Psikologi
Pasien yang didiagnosis dengan HIV akan mengalami masalah fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual. Masalah psikologis yang timbul adalah:
1. Stres, yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan keinginan untuk
mati.
Individu yang terinfeksi AIDS (atas pemberitahuan dokter), biasanya
mengalami shock. Bisa putus asa (karena shock berat). Penderita mengalami
“depressi berat”, sehingga menyebabakan penyakit makin lama makin berat,
timbul berbagai infeksi opotunistik, penderita makin tersiksa. Biaya pengobatan
tambah besar, macam penyakit tambah banyak, obat yang di beri harus tambah
banyak dan tambah keras, dengan berbagai efek samping, yang memperparah
keadaan penderita.
2. Keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan
penderita mengalami hypochondria.
Dimana penderita seringkali memikirkan mengenai kehilangan, kesepian
dan perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan sehingga
menyebabkan mereka kurang menitik beratkan langkah-langkah penjagaan
kesehatan dan kerohanian mereka. Seorang pasien yang telah didiagnosis HIV
positif dan mengetahuinya, kondisi mental penderita akan mengalami fase yang
sering disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).
3. Kecemasan akan HIV/AIDS berkorelasi negatif dengan Psychological
Well Being (kesejahteraan psikologis)
5
Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita
HIV/AIDS, maka Psychological Well Being (kesejahteraan psikologis) pada
penderita HIV/AIDS akan semakin rendah.
Dalam pandangan masyarakat, ODHA sering dianggap memiliki perilaku
yang tercela (orang jahat) dan mereka kemudian dilihat sebagai orang yang berhak
mendapatkan takdir atas perilaku tercela tadi. Pada saat yang sama masyarakat
menyalahkan ODHA sebagai sumber penularan penyakit AIDS. Pandangan dan
pendapat masyarakat tentang HIV/AIDS yang akhirnya menimbulkan stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA. Menurut The Centre for the Study of AIDS
University of Pretoria, terdapat 2 macam stigma, yaitu:
a. Eksternal stigma
Eksternal stigma merujuk pada pengalaman ODHA yang diperlakukan
secara tidak wajar/tidak adil dan berbeda dengan orang lain. Eksternal stigma
meliputi:
1) Menjauhi (avoidance), yakni orang-orang menjauhi ODHA atau tidak
menginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.
2) Penolakan (rejection), yakni orang-orang menolak ODHA. Hal ini
dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau teman yang tidak mau lagi
berhubungan dengan ODHA atau dapat juga suatu masyarakat atau
kelompok tertentu yang tidak mau menerima ODHA.
3) Peradilan moral (moral judgement), yakni orang menyalahkan ODHA
karena status HIV mereka atau melihat ODHA sebagai orang yang
tidak bermoral.
4) Stigma karena hubungan (stigma by association), yakni orang yang
terkait dengan ODHA (seperti keluarga atau teman dekatnya) akan
terstigma juga karena keterkaitan tersebut.
5) Keenggganan untuk melibatkan ODHA (unwillingness to invest in
PLHA), yakni orang mungkin akan dipinggirkan dalam suatu
organisasi/kelompok karena status HIV mereka.
6) Diskriminasi (discrimination), yakni penghilangan kesempatan untuk
ODHA, seperti ditolak untuk bekerja, ditolak untuk mendapatkan
6
pelayanan kesehatan yang memadai atau petugas menolak untuk
melayani ODHA.
7) Pelecehan (abuse), yakni ODHA yang secara fisik ataupun lisan
dilecehkan.
8) Pengorbanan (victimization), sebagai contoh anak-anak yang
terinfeksi HIV atau anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal
karena AIDS.
9) Pelanggaran hak asasi manusia (abuse of human right), sebagai contoh
pelanggaran asas kerahasiaan seperti membuka status HIV seseorang
pada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan atau dilakukan
tes HIV tanpa melakukan informed consent.
b. Internal stigma
Internal stigma adalah perasaan tertentu seseorang tentang diri mereka
sendiri seperti rasa malu atau rasa takut ditolak. Internal stigma meliputi:
1) Mengasingkan diri dari pelayanan atau kesempatan (self-exclusion
from services or opportunities), yakni ODHA tidak menginginkan
untuk mendapatkan pelayanan atau tidak bekerja karena mereka takut
diketahui sebagai ODHA.
2) Persepsi terhadap diri sendiri (perception of self), ODHA memiliki
rasa rendah diri karena status HIV mereka yang positif.
3) Penarikan diri secara sosial (social withdrawal), ODHA akan menarik
diri dari hubungan pribadi dan sosial.
4) Mengganti secara berlebihan (overcompensation), ODHA percaya
bahwa mereka seharusnya memberi lebih dibanding orang lain atau
adanya perasaan berhutang jika orang lain bersikap baik pada mereka.
5) Ketakutan untuk pengungkapan (fear of disclosure), ODHA tidak
akan mengungkapkan status HIV mereka karena mereka takut akan
konsekuensinya.
D. Strategi Pemecahan Masalah
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka
7
orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime
koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari
dampak dari stresor tersebut. Kemampuan koping dari individu tergantung dari
temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma dimana dia
dibesarkan. Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar disini adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
faktor internal dan eksternal. Menurut Roy, yang dikutip oleh Nursalam (2007)
mekanisme belajar merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator)
yang meliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam bentuk implisit
maupun eksplisit.
Belajar implisit umumnya bersifat reflektif dan tidak memerlukan
kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar. Keadaan ini ditemukan pada
perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu
penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari
penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal
presinap. Pada habituasi menuju ke depresi homosinaptik untuk suatu aktivitas
dari luar yang terangsang terus menerus. Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari
habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai beberapa
minggu). Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan
tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu
penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap
koping tidak hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru penekanannya pada
kondisi sakit yang berat.
Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk, yaitu:
a) Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi
mekanisme psikologis dan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat
dasar coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang
dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang
tidak realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat
ringan saja terhadap suatu keadaan.
b) Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara
sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya.
8
Terbentuknya mekanisme koping bisa diperoleh melalui proses belajar
dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu
mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam menghadapi stresor,
maka stresor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan
(disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang mendatangkan
wellness dan prestasi.
Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung
ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit.
Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:
a) Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)
Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu
dalam memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan
lingkungan. Karakterisik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang
penting.
1. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori dari
Colley’s looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi
masalah yg dihadapi.
2. Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan
situasi (internal control) dan external control (bahwa kehidupannya dikendalikan
oleh keberuntungan, nasib, dari luar) sehingga pasien akan mampu mengambil
hikmah dari sakitnya (looking for silver lining).
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien,
perawat harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan:
(1) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia
dapat mengontrol diri
(2) Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah
(3) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan
mendapatkan hasil yang lebih baik
(4) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan
terhadap dirinya
9
(5) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat
meningkatkan kontrol diri: keyakinan, agama
b) Rasionalisasi (Teknik Kognitif)
Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres
dalam mencari arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi
situasi stres, respons individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara
terus terang, mengabaikan, atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa
masalah tersebut bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan dan semuanya akan
berakhir dengan sendirinya. Sebagaian orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian
akan menjadi sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan
semua permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan diri
kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.
c) Teknik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam
mengatasi situasi stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat
dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan
aktivitas yang dapat membantu peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara
teratur, makan seimbang, minum obat anti retroviral dan obat untuk infeksi
sekunder secara teratur, tidur dan istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi
obat-abat yang memperparah keadan sakitnya.
E. Sistem Rujukan
Selama hari-hari sulit dimana pasien dengan HIV AIDS, keluarga dapat
menjadi sangat tergantung pada keputusan professional. Oleh sebab itu, seorang
tenaga professional hendaknya secara empati mampu mengarahkan dan
memberikan pilihan pada keluarga untuk menemukan tempat rujukan terbaik,
berupa klinik kesehatan mental, layanan psikolog/psikiater atau dokter dengan
spesialisasi kejiwaan.
Dalam hal pemberian pengarahan alternatif rujukan ini, Laura A. Talbot
menganjurkan bekerja dengan anggota keluarga dengan jalan:
10
1) Memberikan pilihan
2) Membantu mereka mengidentifikasi dan memfokuskan perasaan
3) Mendorong istirahat dari krisis
4) Memberi pengarahan dalam cara memberi tanggung jawab dan harapan
BAB III
KANKER
A. Definisi
Kanker adalah penyakit yang tidak mengenal status sosial dan dapat
manyerang siapa saja dan muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel
jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya. Sel-sel
kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menimbulkan
kematian(Varney, 2006: 107). Hal ini sejalan dengan defenisi dari American
Cancer Society yang mengatakan kanker sebagai kelompok penyakit yang
ditandai oleh pertumbuhan dan penyebaran sel abnormal yang tidak terkendali.
Sel kanker berbahaya karena dapat menyebabkan kematian baik secara
langsung maupun tidak langsung. Sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga sel
kanker pada umumnya cepat menjadi besar. Sel kanker menyusup ke jaringan
sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-
kakinya mencengkram alat tubuh yang terkena (Sunaryati, 2011: 13). Di samping
itu, sel kanker dapat menyebar (metatasis) ke bagian alat tubuh lainnya yang jauh
dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening sehingga
tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyeberan sel kanker ke jaringan sehat pada
alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut
menjadi terganggu. Di sisi lain, bila ditinjau dari aspek gender, maka jumlah
kaum perempuan yang menderita penyakit kanker menduduki proporsi yang lebih
banyak dibandingkan kaum lelaki. (Varney: 2006: 107)
Manusia mempunyai sifat yang holistik, dalam artian manusia adalah
makhluk fisik yang sekaligus psikologis, yang mana kedua aspek ini saling
berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Sehingga apa yang terjadi
dengan kondisi fisik manusia akan mempengaruhi pula kondisi psikologisnya,
dengan kata lain setiap penyakit fisik yang dialami seseorang tidak hanya
11
menyerang manusia secara fisik saja, tetapi juga dapat membawa masalah-
masalah bagi kondisi psikologisnya. Hal ini dapat kita lihat pada pasien penderita
kanker dimana ketika dokter mendiagnosis bahwa seseorang menderita penyakit
berbahaya seperti kanker.
B. Kebutuhan Psikologi
Bagi pasien dengan penyakit kanker, terdapat beberapa kebutuhan yang
mampu menurunkan ketegangan akibat masalah-masalah bagi kondisi
psikologisnya, antara lain:
1. Rasa Nyaman, terhindar dari hal-hal yang menyulitkan, ketenangan.
2. Komunikasi, mendengarkan berbagai keluhan pasien, mendapat
informasi mengenai kebenaran kondisinya, serta perkembangan yang
dialaminya setelah mendapat pengobatan
3. Dukungan Keluarga, merupakan bentuk dukungan terpenting bagi
pasien, membuat mereka merasa masih dibutuhkan
Berdasarkan teori kebutuhan dasar manusia dari Abraham Maslow,
kebutuhan pasien dengan penyakit kanker pun dapat dianalisis sebagai berikut,
yaitu:
1. Kebutuhan fisik, pasien dengan kanker tentu membutuhkan nutrisi,
cairan, oksigenasi, eliminasi, istirahat, tidur, dan sebagainya, hanya
saja berbeda dengan dalam hal pemenuhannya bagi tiap jenis kanker.
2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, lebih kepada psikologis
pasien, dalam hal inilah dibutuhkan peran tenaga kesehatan guna
meyakinkan bahwa pasien sedang menjalani pengobatan dengan aman.
3. Kebutuhan rasa cinta, berupa kasih saying, kehangatan, persahabatan,
mendapat tempat bukan hanya ditengah keluarga, juga kelompok
social dan sebagainya.
4. Kebutuhan akan harga diri, perasaan dihargai orang lain, guna
memperoleh kekuatan, rasa percaya diri untuk menjalani kehidupan.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan untuk berkontribusi pada orang
lain, hal ini dapat diwujudkan dengan ikut serta dalam kelompok / grup
12
komunitas penderita kanker, sehingga penderita bisa saling berbagi dan
saling berkontribusi satu sama lain. (Uliyah, 2006: 3)
C. Masalah Psikologi
Kemungkinan terjadinya gangguan psikologi seperti depresi, kecemasan,
kemarahan, perasaan tidak berdaya dan tidak berharga dialami antara 23%-66%
pasien kanker. Diperkirakan saat ini ada sekitar 25% pasien kanker yang
mengalami depresi berat.
a) Stress
Salah satu pengobatan yang harus dijalani pasien kanker adalah
radioterapi. Radioterapi memberikan dampak fisik dan psikis terhadap
penderitanya. Dampak fisik tersebut berupa bentuk tubuh tidak indah lagi, rambut
rontok, kulit menghitam, susah menelan, makan tidak enak, mual, muntah, dan
terasa nyeri pada luka bekas operasi. Dampak psikisnya dapat berupa perasaan
cemas, was-was, khawatir, takut, tegang, distres, bingung, dan kekhawatiran
terhadap perubahan sikap orang-orang terdekat.
b) Kecemasan
Perawatan di rumah sakit merupakan salah satu hal yang cukup
mencemaskan bagi pasien, misalnya ketika akan dilakukan operasi dan merasa
tidak nyaman atau mengalami rasa sakit setelah dilakukannya operasi. Setelah
operasi, penderita kanker seringkali mengalami perasaan kecewa ketika harus
kehilangan salah satu organ tubuh Selain itu, pendekatan yang tidak personal dari
dokter, perawat ataupun pegawai rumah sakit menyebabkan pasien merasa hanya
menjadi objek pemeriksaan semata. Dalam kondisi demikian, seorang seringkali
mengalami kehilangan identitas diri dan kehilangan kontrol atas tubuh,
lingkungan fisik dan sosialnya, sehingga membuat pasien kurang nyaman
menjalani pemeriksaan dan perawatan di rumah sakit.
c) Depresi
Secara umum ada tiga bentuk respon emosional yang bisa muncul pada
pasien penyakit kronis seperti kanker, yaitu penolakan, kecemasan dan depresi.
13
Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima
dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan
stres yang terus-menerus, sehingga tidak hanya mempengaruhi penyesuaian fisik
tapi juga penyesuaian psikologi individu.
d) Gangguan Kualitas Hidup
Penyakit kanker juga berkaitan dengan kualitas hidup penderitanya.
Kualitas hidup terdiri atas empat dimensi, yaitu kesejahteraan fisik, psikologis,
fungsional, dan sosial. Salah satu bentuk penurunan kualitas hidup yang banyak
dialami pasien kanker adalah terjadinya penurunan kesejahteraan psikologis.
Kesejahteraan psikologis adalah gambaran kesehatan psikologis individu
berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif individu tersebut
(positive psychological functioning). Fungsi psikologis positif yang dimaksud
adalah enam kriteria dasar yang disarikan dari teori-teori psikologi kepribadian,
kesehatan mental, maupun psikologi perkembangan. Adapun kriterianya adalah
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
D. Strategi Pemecahan Masalah
1) Strategi KopingPerilaku atau usaha yang dilakukan individu dalam
menyesuikan diri maupun menghindari hal-hal yang menekannya atau proses mengatasi kondisi yang mengancam disebut strategi koping. Lazarus dan Folkam membagi koping menjadi 2 macam fungsi, yaitu;
(1) Problem focus coping yaitu perilaku koping yang berpusat pada masalah. Individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru. Individu cenderung menggunkan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi;
(2) Emotion focused coping, yaitu perilaku koping yang berpusat pada emosi digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress
14
2) Pengobatan PaliatifStrategi yang dilakukan dapat pula berupa pengobatan paliatif diberikan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penyakit yang serius
atau membahayakan jiwa. Tujuan dari pengobatan paliatif adalah mencegah atau
merawat sedini mungkin gejala-gejala penyakit dan efek samping yang
disebabkan dari pengobatan penyakit tersebut, serta masalah-masalah psikologi.
Pengobatan paliatif diantaranya:
a) Mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya
b) Menegaskan arti kehidupan dan memandang kehidupan sebagai suatu
proses yang normal
c) Tidak bertujuan untuk membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai
saatnya meninggal
d) Menawarkan dukungan untuk membantu keluarga pasien agar tabah
selama pasien sakit serta disaat-saat sedih dan kehilangan
e) Menggunakan pendekatan secara tim untuk menjawab kebutuhan pasien
dan keluarganya, termasuk dukungan disaat-saat sedih dan kehilangan
f) Meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan pengaruh positif selama
sakit
g) Dapat diterapkan sejak awal pengobatan penyakit, bersamaan dengan
terapi-terapi lain yang bertujuan untuk memperpanjang hidup
E. Sistem Rujukan
Rujukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas yang lebih
baik diharapkan mampu menanggulangi gangguan psikologi kanker sedini
mungkin. Tempat rujukan yang dipilih harus:
memiliki tenaga spesialis yang khusus menangani kanker,
mempunyai sarana terapi kanker yang memadai
layanan psikolog/psikiater
dokter dengan spesialisasi kejiwaan.
Dalam hal ini pun perlu kerjasama dengan anggota keluarga guna
pengambilan keputusan yang tepat.
15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. HIV AIDS dan Kanker adalah penyakit yang mampu menyebabkan
masalah psikologi pada penderitanya, berupa stress, kecemasan dan
depresi
2. Dukungan merupakan hal yang paling dibutuhkan baik bagi pasien
HIV AIDS maupun kanker
3. Strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah psikologi adalah
metode koping dan pengobatan paliatif
4. Rujukan dilakukan dengan kerjasama anggota keluarga menuju
psikolog atau ahli kejiwaan yang tepat.
B. Saran
1. Setelah mengetahui masalah-masalah psikologis pada penderita HIV
AIDS dan Kanker diharapkan kita mampu menjaga pola hidup sehat
agar terhindar dari penyakit-penyakit tersebut.
2. Supaya kita lebih peka untuk memberi dukungan pada penderita HIV
AIDS dan Kanker yang berada disekitar kita.
16