Stereotip Dan Diskriminasi Gender

20
STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER yang DIBENTUK MEDIA MASSA Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gender & Media Oleh : - Arrum Fat-han Adi A. 0811223008 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

Transcript of Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Page 1: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER

yang DIBENTUK MEDIA MASSA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gender & Media

Oleh :

- Arrum Fat-han Adi A. 0811223008

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2011

Page 2: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER

yang DIBENTUK MEDIA MASSA

Gender dan seks merupakan dua aspek penting ketika menyinggung soal

hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gender tidak sama dengan seks, tentunya

kata-kata ini perlu mendapatkan penekanan untuk memahami perbedaan diantara

keduanya. Pengertian seks adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia.

Perbedaan secara fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Ia ditentukan oleh

Tuhan dan diterima oleh manusia secara taken for granted (apa adanya) sehingga

disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat1. Secara fisik dan biologis, jelas terdapat

perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara kodrati tidak dapat

diubah karena setiap organ yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia memiliki

fungsi masing-masing, apabila terjadi kerusakan pada salah satu organ manusia tersebut

maka akan mengganggu jalannya fungsi organ yang lain, karena pada dasarnya tubuh

manusia ini merupakan suatu sistem. Contohnya, laki-laki mempunyai penis dan

sperma. Kemudian perempuan memiliki vagina dan sel telur. Kedua organ yang dimiliki

oleh masing-masing laki-laki dan perempuan ini memiliki fungsinya masing-masing

yang tidak bisa dipertukarkan.

Aspek kedua adalah gender, yang menjadi pembicaraan hangat disetiap belahan

dunia ini. Gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural manusia

(Mansour Fakih, 2001). Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan

psikologis. Perbedaan itu disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran

lingkungan (Arif Budiman, 1982). Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat,

disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran

keagamaan maupun negara (Mansour Fakih, 2001)2. Pada intinya gender berkaitan

dengan peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah berbeda lagi dengan

pembedaan berdasarkan seks (jenis kelamin). Bersumber pada kosntruksi sosial yang

1 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 3

2 Dalam Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 3

Page 3: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

kemudian dilanggengkan oleh media massa yang menempatkan laki-laki dan

perempuan dicitrakan berbeda.

Gender dapat dibedakan dalam beberapa pengertian, yaitu3:

1. Gender sebagai suatu istilah sains dengan makna tertentu

2. Gender sebagai fenomena sosial budaya

3. Gender sebagai kesadaran sosial

4. Gender sebagai persoalan sosial budaya

5. Gender sebagai sebuah konsep untuk dianalisis

6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan

Persoalan gender kemudian menjadi isu dan memunculkan gerakan-gerakan

karena adanya ketidakadilan (penyimpangan peran) yang dihasilkan oleh kosntruksi

sosial dan ideologi. Menurut Judith Waters dan George Ellis (1996), gender merupakan

kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya

orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap, dan perilaku, tujuan, dan

aktifitas seperti “maskulinitas” atau “feminitas”. Berbagai pembedaan itu akhirnya

memunculkan stereotip tertentu yang disebut dengan stereotip gender4.

Pembicaraan mengenai seks dan gender akan selalu berkaitan dengan teori

nature dan nurture. Nature berkaitan dengan seks (jenis kelamin) yang bersifat mutlak

karena berasal dari Tuhan. Sedangkan nurture, berkaitan dengan sosial budaya yang

bersifat relatif dan tentatif (sementara), dimana anak berada dalam pengasuhan yang

terbentuk oleh lingkungan, sehingga ketika dewasa mereka dapat memilih peranannya

masing-masing.

Pada waktu lahir terjadi perbedaan biologis secara nature, alamiah, kodrat Ilahi

yang tidak dapat diberontaki. Namun bayi yang lahir, kemudian “dibentuk” oleh

lingkungan hidupnya yang dinamakan sosialisasi. Pada sisi inilah, berbagai nilai bisa

berbeda, juga bisa sama5. Konstruksi sosial dalam masyarakat kemudian melekatkan

perbedaan gender dimana laki-laki yang secara fisik memiliki tubuh yang kuat, maka

dia mampu melakukan pekerjaan berat diluar rumah, mencari nafkah sebagai kepala

3 Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Hlm. 26

4 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 4

5 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Hlm. XVII

Page 4: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

keluarga dan bertindak sebagai pemimpin. Sedangkan perempuan dikonstruksikan

sebagai makhluk yang lemah lembut, lebih menggunakan perasaan daripada logika,

pintar memasak, maka hanya pantas sebagai seorang ibu rumah tangga saja, yang

mengurus anak, rumah dan mengabdi kepada suami. Pandangan dilakukan secara terus

menerus hingga pada akhirnya terkonstruksi secara kuat sehingga dianggap sebagai

kodrat yang tidak bisa diubah.

Lambat laun persoalan mengenai pembedaan gender yang dikonstruksikan oleh

manusia ini mengakibatkan munculnya suatu hubungan ketidakadilan yang telah

memunculkan diskriminasi, dan kebanyakan dalam hal ini pihak perempuan berada

pada posisi yang selalu dirugikan oleh laki-laki. Dimana label yang sudah melekat pada

diri perempuan yang harus selalu tunduk pada perintah laki-laki. Tidak hanya dari segi

sosial budaya, dari aspek agama pun semakin memperkuat bias gender ini hingga laki-

laki bisa semena-mena memperlakukan perempuan sebagai sebuah benda yang bisa

dipermainkan olehnya, bukan sebagai makhluk hidup yang harus dihargai meskipun

terdapat perbedaan diantara keduanya.

Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya struktur budaya

patriarkhat. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah daripada

laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan diberbagai

bidang kehidupan6. Dalam posisi ini, perempuan merasa sangat dirugikan karen akibat

dominasi tersebut memunculkan kekerasan terhadap perempuan yang seolah-olah itu

dibenarkan oleh lingkungan bahkan agama, dimana laki-laki harus mampu memberikan

pelajaran bagi perempuan (istrinya) agar menurut pada suami.

Tidak sedikit bias gender dibangun berdasar pada pemahaman kitab. Ada tiga

dasar pemahaman agama yang mendasari, yaitu (Syarif Hidayatulloh & M. Mukhtasa,

2002) 7:

1. Tujuan diciptakannya perempuan adalah untuk melengkapi laki-laki

2. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang berarti membawa

konsekuensi posisi sub-ordinatif dibawah laki-laki.

6 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 5

7 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 9

Page 5: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

3. Perempuan merupakan sebab jatuhnya manusia dari dalam surga, yang

membawa konsekuensi bahwa perempuan merupakan makhluk pembawa dosa

Stereotip yang semakin melekat kuat ini terus menerus berlangsung sehingga

semakin menjadikan label bahwa perempuan ini hanya memiliki kedudukan dibawah

laki-laki yang kemudian hidup dari perempuan akan ditentukan dan dkuasai oleh laki-

laki, sehingga perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengambil peranan mana yang

akan mereka lakukan dan disukainya. Situasi ini memunculkan berbagai macam bentuk

ketidakadilan gender, antara lain marginalisasi terhadap perempuan dimana mereka

dipandang sebagai orang nomor dua. Perempuan dicitrakan lemah, kurang rasional,

lebih sensitif, menggunakan perasaan yang kemudian akibatnya perempuan dianggap

tidak pantas sebagai pemimpin. Selanjutnya stereotip masyarakat terhadap perempuan

yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang

sudah dibakukan oleh lingkungan sosial budaya.

Pada kultur Jawa yang patrilineal, perempuan dipandang sebagai pelengkap

“konco wingking”, “orang belakang”, “sub-ordinat” bagi kaum laki-laki. Perempuan

hanya ditempatkan dalam posisi suwargo nunut neraka katut (segala hak dan

kepentingan perempuan sangat bergantung pada kaum laki-laki). Perempuan hanya

sebagai obyek pelengkap pria. Budaya tersebut sangat luas dianut dalam masyarakat

Jawa sehingga mempengaruhi banyak sendi kehidupan8.

Dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki secara universal ini membawa

keprihatinan yang besar atas nasib perempuan yang berda ditangan laki-laki. Perempuan

hanya dipandang sebelah mata, hanya digunakan sebagai pelengkap saja, Apalagi untuk

laki-laki yang sudah menikah, beranggapan bahwa perempuan yang sudah menjadi

istrinya itu adalah miliknya sepenuhnya, sehingga apaapun bisa dilakukan kepada

istrinya termasuk bersikap kasar apabila tidak mau menuruti perintah suami termasuk

dalam melakukan hubungan seks yang sering dipaksakan oleh laki-laki (suami).

Situasi seperti ini menyebabkan perempuan tidak bisa bebas dalam artian karena

selalu terikat oleh laki-laki. Perempuan tidak mendapatkan kemerdekaan untuk

menentukan hak dan kewajibannya sendiri. Hak azazi perempuan masih banyak belum

mendapatkan perhatian khusus untuk menghilangkan ketidakadilan gender ini, bahkan

8 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 9

Page 6: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

perempuan tidak menyadari bahwa hak dan kewajibannya telah dirampas oleh laki-laki,

hanya karena mereka berpengang pada konstruksi budaya yang telah terbentuk sejak

lama.

Situasi tersebul muncul dengan adanya struktur budaya yang dibuat oleh

manusia. Data ini dapat ditelusuri melalui9:

1. Struktur budaya patriarkhi yang muncul karena perubahan sosial ke arah

masyarakat industry (adanya hak miliki, akumulasi kapital)

2. Struktur ekonomi yang menghasilkan suatu sistem yang merugikan perempuan

(urusan pangan dibebankan perempuan, perempuan masuk kategori tenaga kerja

kurang produktif, kesempatan memimpin bagi perempuan banyak hambatannya)

3. Struktur sosial yang memunculkan hubungan hierarkis dalam keluarga sehingga

perempuan menjadi manusia nomor dua. Hubungan hierarkis ini berkembang

menjadi hubungan dalam kasta atau lapisan dalam masyarakat feodal lainnya.

4. Struktur politik yang memunculkan sistem “kelembutan perempuan” (sifat

feminin) tidak pernah mendapat kesempatan untuk turut mengambil keputusan

dalam bidang politik (contoh: Corry Aquino dikategorikan pemimpin yang tidak

tegas, Megawati dinilai kapasitasnya meragukan)

5. Struktur sosial religius, memunculkan pandangan “perempuan yang kehidupan

religiusnya bermutu” adalah mereka yang menafsirkan kitab suci sebagai sabda

Tuhan, tanpa mempersoalkan budaya patriarkhat yang melatarbelakangi

penulisan tersebut.

Struktur budaya tersebut semakin memperkuat stereotip dan diskriminasi gender

yang membuat perempuan semakin terpinggirkan. Dalam hal ini media massa juga

membantu semakin langgengnya pandangan tersebut. Tayangan-tayangan dalam media

massa baik cetak maupun elektronik, secara visual, audio maupun audio visual juga

mengangkat bahwa perempuan ini selalu tertindas oleh laki-laki. Media massa sebagai

alat yang paling ampuh dalam mempersespsi khalayaknya secara massal dalam waktu

yang bersamaan membantu pencitraan simbol yang baku bahwa perempuan dijadikan

sebuah komoditas media.

9 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 18-19

Page 7: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Rosinta Situmorang, dalam wacana iklan media massa, perempuan sering

diposisikan bukan sebagai subyek tetapi sebalinya sebagai obyek tanda. Media

menjadiakn tubuh dan fragmen tubuh perempuan sebagai penanda (signifier) yang

dikaitkan dengan makna atau pertanda (signified) tertentu, yang termanifestasikan

secara kitsch, sesuai dengan tujuan “politik ekonomi libidinal” (Kasiyan, 2001)10

.

Media massa terutama televisi memiliki kekuatan yang sangat besar untuk

mempengaruhi dan membentuk pola pikir bahkan hingga pada aksi (muncul tindakan)

atas apa yang dikonsumsi oleh audiens secara aktif. Tayangan ditelevisi banyak

memberitakan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami

kepada istri, selain itu perdangan perempuan sebagai pekerja seks komersial juga

semakin marak. Konstruksi terhadap perempuan sebagai manusia nomor dua ini,

kemudian memunculkan gerakanm untuk membela hak kaum perempuan agar tidak

selalu tertindas oleh laki. Secara seks (jenis kelamin) laki-laki dan perempuan memiliki

aspek fisik dan biologis yang memang mutlak berbeda. Akan tetapi secara peranan

seharusnya perempuan juga berhak menentukan peran apa yang akan diambil dalam

kehidupnnya, bukan ditentukan oleh laki-laki.

Isu-isu ketidakadilan gender ini memunculkan gerakan dan menjadi perhatian

dunia, karena hampir setiap perempuan didunia ini mendapat perlakuan tertindas oleh

laki-laki sehingga tidak adanya kesetaraan gender. Dalam perspektif gender, maskulin

maupun feminin sebenarnya merupakan sebuah pilihan bukan paksaan. Media massa

mengkonstruksikan bahwa laki-laki adalah sebagai seorang kepala keluarga, bekerja

dikantoran, memiliki jabatan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sedangkan

perempuan, dikonstruksikan untuk mengurus rumah, anak, dan mengikuti perintah

suami.

Pada dasarnya persoalan bias gender ini telah diperkuat oleh agama, sosial

budaya dan media massa yang kemudian memunculkan gerakan terutama untuk

membela hak perempuan agar tidak laki terjadi kekerasan dan menciptakan kesetaraan

gender yang sesungguhnya tidak atas dasar kepentingan tertentu yang justru akan

semakin memecahkan impian keluarga bahagia.

10 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 6

Page 8: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

FENOMENA STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER YANG DIBENTUK

MEDIA MASSA

Kasus ketidakadilan terhadap perempuan menjadi sorotan tajam dan selalu

diekspos oleh media massa. Stereotip perempuan sebagai obyek dalam iklan maupun

film selalu menampilkan perempuan yang bertubuh sexy atau kalau tidak begitu seorang

perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi rumah dan anak.

Media massa membedakan peran pekerjaan laki-laki dan perempuan didasarkan pada

perbedaan fisik yang dilakukan oleh masyarakat. Pada dasarnya apa yang

direpresentasikan mengenai laki-laki dan perempuan yang ditayangkan oleh media

massa, merupakan sebuah representasi dari fenomena sosial budaya dalam masyarakat

kita.

Dalam iklan deterjen Rinso yang dibintangi oleh Titi Dj, ditampilkan dalam

iklan tersebut laki-laki sebagi suami berangkat kerja, diantarkan oleh sopir dengan

menggunakan mobil mewah, tidak diketahui apa pekerjaan dari suami tersebut akan

tetapi dari kostum yang digunakan laki-laki tersebut menggunakan kemeja lengan

panjang dan berdasi serta membawa tas kantor, maka dapat direpresentasikan bahwa

suami tersebut adalah pekerjan kantoran yang memiliki jabatan tinggi.

Setelah suami berangkat kerja, maka giliran sang istri melakukan pekerjaan

rumah. Dalam iklan ini juga ditampilkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh istri

hanyalah melakukan pekerjaan rumah bersama anaknya. Istri hanya mengenakan

pakaian sehari-hari, tidak terlihat melakukan kegiatan diluar rumah atau pun

menggunakan baju kantoran sebagai seorang pekerja.

Gambar 1: Suami akan berangkat kerja

dalam iklan Rinso

Page 9: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Dalam bahasa Marry Cross, iklan adalah bagian dari kapitalisme (Marry Croos,

2006), karena menciptakan need, want, dan buy melalui materi iklan yang impactfull

maupun melalui reach, frequency, serta continuity di media yang efektif dan efisien

(Martadi, 2001)11

. Intinya iklan adalah alat untuk mempersuasif konsumen untuk

membeli produk, akan tetapi terlepas dari hal itu iklan sebagai produk media massa juga

membentuk diskriminasi gender dalam pembedaan peran laki-laki dan perempuan.

Dalam iklan Rinso ini, semakin menguatkan stereotip didalam masyarakat

bahwa yang boleh bekerja dikantoran (diluar rumah) adalah laki-laki (suami),

sedangkan istri hanya bertugas untuk mengatur kebutuhan rumah tangga seperti

mengurusi rumah dan merawat anak ketika dirumah. Media massa yang

mengkonstruksikan peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda ini dapat

menimbulkan bias gender karena terjadinya penyimpangan yang sering dilakukan oleh

suami kepada istri. Suami mengikat istri hanya untuk sekadar mengurus rumah tangga

11 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 13

Gambar 2: Kegiatan istri

bersama anak, mencuci mobil Gambar 3: Kegiatan istri

bersama anak, memasak dirumah

Gambar 4: Kegiatan istri

dirumah, mencuci pakaian

Page 10: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

saja, tidak perlu tahu urusan dunia luar dan mungkin tidak mau lagi mendengarkan apa

yang sebenarnya diinginkan oleh istri.

Stereotip yang timbul oleh lingkungan sosial budaya serta didukung oleh agama

terhadap perempuan yang selalu berada dibawah suami ini kemudian menimbulkan

diskriminasi yang selanjutnya juga dilakukan oleh media massa dalam menyampaikan

pesannya. Munculnya, tayangan-tayangan kekerasan dalam rumah tangga juga diambil

sebagai topik yang diangkat dalam cerita sinetron, film, dan produk media massa

lainnya. Tidak hanya berhenti pada satu iklan Rinso saja yang telah ditampilkan tersebut

diatas, akan tetapi juga didominasi oleh iklan-iklan lain yang serupa.

Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan

sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena

sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai

obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-

potongan tubuh yang dikomersialisasi karena keindahan tubuhnya atau kecantikan

wajahnya. Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga

menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat

stereotipe12

. Tidak bisa dipungkiri karena adanya stereotip tersebut maka memunculkan

diskriminasi yang sangat kental terhdap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Ideologi gender hasil konstruksi masyarakat menimbulkan berbagai masalah

dalam keluarga, karean tidak ada kesetaraan dalam relasi antar manusia. Pemahaman

bahwa setelah menikah istri adalah miliki suami mengundang perilaku suami untuk

menguasai istri13

. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan ini terlihat dalam bentuk

kekerasan fisik dan psikis baik verbal maupun non verbal. Stereotip ini yang

mendukung semakin maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh

suami kepada istri, karena seolah-olah konstruksi masyarakat ini telah melegalkan

bahwa apapun yang dilakukan suami pada istri itu adalah haknya dan istri hanya bisa

patuh serta melaksanakan apa yang diperintahkan oleh suami.

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada

istri yang dilanggengkan melalui sebuah konstruksi budaya ini, juga diangkat dalam

12 http://jurnalistik.blog.esaunggul.ac.id/2010/10/11/jurnalisme-berperspektif-gender/, diakses pada

12/03/10, pukul 22.14

13 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 199

Page 11: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

sebuah film India dengan setting lokasi di London. Film ini juga diangkat berdasarkan

kisah nyata yang kemudian diberi judul “PROVOKED, a true story”. Cerita yang

diangkat dari “Biografi Kiranjit Ahluwalla oleh Rahita Gupta & Kiranjit Ahluwalla” ini

mengisahkan tentang seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan

pelecehan seksual yang dilakukan oleh suami selama sepuluh tahun.

Kejadian ini berawal di London, 9 Mei 1989, tiba-tiba terdengar teriakan

Deepak (suami Kiranjit) yang keluar rumah dengan tergesa-gesa dan hampir seluruh

tubuhnya sudah terbakar oleh api. Sementara itu Kiranjit (istri Deepak) bersama kedua

anaknya terlihat duduk dibelakang rumah dan dia terlihat shock dalam keadaan yang

tidak sadar setelah kejadian itu. Deepak mengatakan pada polisi bahwa Kiranjit yang

telah membakarnya malam itu ketika dia sedang tertidur pulas dikamarnya. Setelah

dilakukan introgasi dan olah TKP akhirnya polisi mengungkapkan bahwa Kiranjit

sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Deepak suaminya.

Kiran didakwa telah membakar suaminya, kepada pengacaranya dia mengakui

hal tersebut akan tetapi terdapat pernyataan lain yang dia ungkapkan bahwa dia telah

dianiaya, dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks ketika suaminya pulang dalam

keadaan mabuk, hal ini dilakukan secara terus menerus stiap malam hingga sepuluh

tahun usia pernikahan mereka. Padahal pada awalnya Deepak bersikap baik dan sangat

menyayangi Kiran, mereka berdua dijodohkan dan belum pernah bertemua sama sekali

sebelum menikah. Beberapa waktu kemudian Deepak meninggal, dan hal ini semakin

memberatkan tuntutan terhadap Kiran meskipun dia sendiri telah mengalami siksaan

fisik dan psikis oleh suaminya selama sepuluh tahun. Kekerasan dalam rumah tangga

yang dialami Kiran tidak menjadi perhatian penting bagi hakim, yang dilihat hanya

Kiran telah membakar suaminya, bahkan hakim mengabaikan siksaan yang dialami oleh

Kiran.

Pengacara juga mengalami kesulitan untuk melakukan pembelaan terhadap

Kiran atas keputusan hakim dengan hukuman seumur hidup, karena Kiran tidak mau

menjadi saksi sebab dipengaruhi oleh konstruksi budaya yang dibawanya dari India,

bahwa masalah rumah tangganya adalah aib yang memalukan sehingga tak sepantasnya

diketahui orang lain termasuk jika dibicaran didepan pengadilan. Kiran tetap memegang

teguh ajaran budaya yang dibawanya, meskipun dia mengakui telah membunuh suami

Page 12: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

yang telah menzaliminya, namun dia tetap merasa menyesal dan berdosa sehingga

pantas menerima hukuman itu.

Mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi, bahwa laki-laki itu agresif dan

perempuan pasif, telah mendorong pemerkosaan dalam keluarga. Demikian pula,

konstruksi yang mengharuskan suami sebagai kepala keluarga. Banyak contoh bisa

disebutkan, sebuah keluarga berantakan justru karena tuntutan agar laki-laki harus

menjadi kepala keluarga. Hal itu terjadi, karena pada kenyataannya tidak semua laki-

laki mampu menjadi pemimpin, mampu mengorganisasi sebuah lembaga bernama

keluarga14

. Kasus yang diamali oleh Kiranjit ini tidak bisa terlepas dari konstruksi

pembentukan laki-laki dan perempuan yang telah dibentuk oleh budaya. Film ini

menunjukkan sangat kental budaya berpengaruh pada pembagian peran antara suami

dan istri yang terlihat berbeda jauh.

Deepak sebagai seorang suami yang pada awal pernikahan sangat menyayangi

Kiran, akan tetapi lama kelamaan dia berubah menjadi suami yang jahat,

temperamental, suka menyiksa istrinya dan mengatur setiap yang dilakukan Kiran

termasuk dalam hal berpakaian dan bergaul dengan teman. Pada diketahui bahwa

Deepak sendiri memiliki perempuan lain (selingkungan) berkulit putih. Ketika Kiran

marah pada suaminya karena perbuatannya yang tidak bermoral itu justru Kiran

mendapatkan tamparan keras dan siksaan dari suaminya, bahkan dia tidak mampu untuk

membalasnya dan hanya bisa menurut pada suaminya.

14 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 200

Gambar 5: Pernyataan Kiran

kepada Polisi

Gambar 6: Luka memar dipinggang

karena dipukul oleh Deepak

Page 13: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Ideologi gender patriarkhis telah menciptakan relasi yang timpang berdasarkan

kategori kuat-lemah, yang kuat menguasai yang lemah, dan di situlah letak

ketidakadilan beserta implikasinya seperti berlakunya kekerasan15

. Budaya patriarkhis

yang meninggikan derajat laki-laki ini menguatkan stereotip bahwa perempuan adalah

makhluk nomor dua yang hanya mendampingi laki-laki, sedangkan kekuasaan penuh

berada ditangan laki-laki. Dalam film ini meskipun selama sepuluh tahun Kiran dizalimi

oleh suaminya sendiri namun dia hanya bisa menurut dan patuh pada perintah suaminya

saja. Bahkan dalam hal pendidikan pun, ketika Kiran mengungkapkan dia ingin menjadi

pengacara, suaminya melarang keinginan istrinya tersebut. Kiran hanya boleh mengurus

pekerjaan rumah dan anak saja, bahkan keuangan pun sepenuhnya dipengang oleh

suami.

Perkawinan bagi perempuan merupakan penjara bagi kebebasannya secara

pribadi. Lebih-lebih apabila suami memonopolinya. Perempuan menjadi tidak berdaya

dalam situasi keluarga yang maskulin ditandai oleh dominasi laki-laki (dapat pula

dominasi oleh perempuan), otoriter, dan terjadi tindak kekerasan. Dalam keluarga ini,

tidak ada pembagian kekuasaan oleh pimpinan keluarga16

. Kekerasan yang dialami

Kiran ini terbentu karena label yang telah diberikan budaya kepada perempuan India,

dimana mereka layak disebut sebagai perempuan jika sudah menikah dan mempunyai

anak, tidak perlu memperhatikan pendidikan perempuan itu sendiri.

15 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Hlm. 229

16 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 230

Gambar 7: Suaminya melarang

Kiran menggunakan baju orang

kulit putih

Gambar 8: Deepak menampar

Kiran setelah dia berdansa

dengan temannya

Page 14: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Dikriminasi yang dialami oleh perempuan tidak hanya dialami oleh Kiran saja

yang terkonstruski oleh budaya India, akan tetapi ditengah-tengah modernitas London,

Roonie yang berprofesi sebagai artis juga mengalami penganiayaan oleh suaminya

hingga habis pada batas kesabarannya dan dia membunuh suaminya. Namun berbeda

dengan Kiran yang selalu menyesali telah membunuh suaminya itu. Roonie justru

menysal tidak melakukan hal itu sejak dulu, karena menurutnya dengan itu dia bisa

bebas dari tekanan laki-laki.

Berita mengenai Kiran yang membakar suaminya ini menjadi isu yang menyebar

luas melalui media massa, salah satunya adalah Koran. Didalam headline Koran itu

dituliskan “Ibu Orang Asia Membakar Pasangannya”. Pemberitaan ini menarik perhatin

Radha dan teman-temannya yang memiliki LSM untuk kepedulian mereka terhadap

perempuan yang mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Radha

berusaha membujuk Kiran untuk menuliskan kisahnya tersebut demi menarik simpati

dari masyarakat luas dan menyadarkan mereka bahwa terjadi ketidakadilan terhadap

Gambar 9: Pertengkaran Deepak

dan Kiran didepan ibu mertunya

Gambar 10: Deepak mencekik Kiran ketika

dia mengatakan suaminya selingkuh

Gambar 10: Roonie teman satu sel Kiran

yang juga mengalami kekerasan dalam

keluarga

Gambar 11: Kiran jatuh dari tangga

didorong oleh Deepak saat mengandung

anak keduanya

Page 15: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

kaum perempuan. Radha bersama LSM tersebut juga membantu Kiran untuk

mengajukan keputusan banding kepada hakim karena dianggap tidak memperhatikan

nasib perempuan yang telah terzalimi oleh suaminya dan merusak rumah tangganya

sendiri.

Keadaan yang semakin memprihatinkan atas ketidakadilan terhadap perempuan

ini, kemudian memunculkan gerakan-gerakan untuk membela kaum perempuan karena

mereka selalu tertindas oleh laki-laki dan hal ini disebabkan oleh pembentukan

konstruksi sosial budaya dan ideologi gender yang selalu menganggap wanita sebagai

makhluk nomor dua dan terabaikan bahkan oleh negara hak-hak perempuan belum

mendapatkan pengakuan yang layak. Peran gender sangat dipengaruhi oleh lingkungan

sosial yaitu orang tua, teman, dan media.

Film ini semakin mempertegas diskriminasi terhadap perempuan diman ketika

Kiran sebagai seorang istri menginginkan pendidikan yang lebih untuk menjadi

pengacara namun sang suami melarangnya. Dalam mengambil peranan seharusnya itu

adalah hak setiap individu untuk memilih bukan terikat oleh lingkungan sosial budaya.

Gambar 12: Raddha, anggota LSM

pembela perempuan korban KDRT

Gambar 13: Gerakan Free Kiranjit,

perlawanan atas ketidakadilan perempuan

Gambar 14: Raddha membacakan kisah

Kiran dalam konferensi pers

Gambar 15: Polisi melarang penempelan

pamflet Free Kiranjit

Page 16: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Persoalan gender yang kemudian menjadi isu ini telah memunculkan gerakan dan

perlawan dari kaum perempuan sendiri yang menuntut keadilan.

Kiran tidak akan membakar suaminya jika dia tidak mengalami penderitaan dan

penyiksaan yang terjadi selama sepuluh tahun ini. Kiran yang menderita sindrom wanita

terzolimi melakukan hal tersebut sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang

diterimanya meskipun kemudian bertentangan dengan norma-norma nilai dan budaya

yang dianutnya. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi yang dibentuk oleh budaya dan

lingkungan sosial bahkan agama belum tentu dapat dipraktekkan dalam berbagai zaman

dan keadaan, karena bisa saja budaya tersebut dibentuk karena adanya kepentingan dari

pihak-pihak tertentu yang tidak lagi memperhatikan kesetaraan gender. Jika peranan

antara laki-laki dan perempuan secara seks dan secara gender dapat dibagi dengan baik

dan adil sesuai pada porsinya masing-masing makan kekerasan dalam rumah tangga

bisa diminimalisir.

Akibat stereotip yang memberi label pada laki-laki dan perempuan, maka

terjadilah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam keluarga. Anak laki-laki

dan perempuan dididik secara tradisi dan adat menurut konstruksi sosial, dan bukan atas

kemampuan pribadi. Perkembangan anak-anak akan masuk kedalam kotak stereotip,

sehingga sulit menemukan identitas dirinya17

.

Pendidikan atas kesetaraan gender yang tidak diberikan sejak dini kepada anak-

anak dan kurangnya kedasaran orang tua akan hal ini, juga mendorong pembentukan

peran anak berdasarkan konstruksi sosial budaya yang juga dilakukan oleh media,

apalagi dizaman serba modern dan canggih ini, laki-laki masih mendapatkan priorotas

utama dalam hal penempatan kerja. Pada zaman ini terkadang laki-laki tidak siap jika

harus menganggur karena berdasarkan konstruksi sosial laki-laki adalah pencari nafkah,

sehingga tidak bisa menerima keadaan jika istri yang harus bekerja dan bahkan

memiliki pendapatam serta lebih survive daripada suami. Anak-anak pun juga akan

menjadi korban karena adanya situasi yang tidak nyaman dalam keluarga, serta adanya

pandangan dari lingkungan sosial yang tidak mendukung.

17 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 200

Page 17: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

“Kebudayaanku bagaikan darahku, mengalir ditiap nadi tubuhku. Budaya

ditempat aku dilahirkan, menganggap wanita merupakan kehormatan dari rumah.

Untuk menjungjung kehormatan, dia mengajariku memendam semua tekanan dan

penderitaan dalam keheningan. Seorang wanita adalah mainan, tak punya kemauan,

selalu setuju. Selama 10 tahun hidup dipukuli dan dihina dan tak seorang pun

memperhatikan. Aku keluar dari penjara suamiku, dan memasuki penjara hukum.

Disinilah akhirnya aku bisa menemukan semacam kebebasan”

Gambar 16: Deepak memarahi Kiran

karena telah mengambil uangnya

Gambar 17: Ekspresi Kiran, marah

dengan sikap Deepak selama ini

Gambar 18: Deepak mengancam

Kiran dengan setrika panas

Gambar 19: Deepak yang berperan

sebagai penguasa karena dia laki-laki

Gambar 20: Stereotip laki-laki kepada

perempuan (istrinya)

Page 18: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

Tulisan tersebut diatas adalah kutipan surat Kiranjit yang mewakili gambaran

kisah hidupnya akibat ketikadilan yang terbentuk oleh budaya yang telah tertanam kuat

secara turun temurun. Disebutkan bahwa budaya inilah yang menyebabkan wanita

memendam dan hanya sebagai mainan. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bawa stereotip

yang dibentuk oleh sosial budaya dalam masyarakat ini mampu menciptakan

diskriminasi terhadap perempuan terutamanya sehingga mengakibatkan adanya

ketidakadilan dan kekerasan oleh laki-laki terutama dalam kehidupan rumah tangga

karena tidak adanya pembagian peran yang jelas dan adil.

Akhirnya, perjuangan Kiran bersama Raddha dan LSM peduli perempuan itu

tidak sia-sia. Pengadilan mengabulkan permohonan pengadilan ulang untuk Kiran.

Setelah 3 tahun 4 bulan ditahan, pada 25 September 1992, Kiran dinyatakan bebas oleh

pengadilan, dan bisa berkumpul kembali dengan kedua anaknya. Hal ini sekaligus

mengubah dasar hukum Inggris selamanya, dengan menambahkan Pembelaan

Provokasi dan sindrom perempuan teraniaya sebagai pernyataan resmi sehubungan

dengan terdakwa yang menderita penyiksaan fisik yang berlebihan oleh pasangan istri

atau suaminya. Dia dikenal sebagai tokoh pembela hak kaum perempuan dan pada

tahun 2001 mendapatkan penghargaan dari istri PM Inggris, Tony Blair sebagai Tokoh

Wanita Asia Panutan atas keberaniaannya.

Media yang membantu semakin langgengnya konstruksi bias gender ini

menyebabkan munculnya gerakan-gerakan karena isu ketidakadilan gender sundah

muncul kepermukaan. Melalui media, individu menjadi sadar terhadap kewajiban moral

mereka terhadap yang lain. Lebih jauh bisa ditegaskan bahwa berkat dan melalui media

keprihatinan moral dan persoalan-persoalan moral diciptakan dan diekspresikan dalam

situasi sosial dan budaya modern18

.

Media massa mampu membentuk adanya stereotip dan diskriminasi gender,

akan tetapi ketika kita sebagai audiens aktif, kita harus mampu mengkritisi pesan dari

media tersebut tidak hanya menerima apa adanya. Dari sisi lain, media massa juga

mampu membantu gerakan-gerakan pembelaan atas kesetaraan gender karean

mengingat fungsinya sebagai persuasive khalayak secara massal. Budaya dan agama

18 Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Hlm 152

Page 19: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

yang membentuk konstruksi pembedaan seks dan gender juga harus dipahami secara

mendalam dan bebas dari kepentingan pihak mana pun.

Pemberdayaan perempuan dimulai dengan tidak membiarkan mereka bodoh dan

dibodohi. Perempuan tidak dibiarkan untuk tidak mendapatkan informasi. Perempuan

tidak dibiarkan untuk tidak sadar bahwa konstruksi budaya patriarchal telah meletakkan

posisi lemah baginya. Oleh karena itu, untuk tidak membiarkan perempuan ketinggalan

informasi, penyadaran gender perlu dipromosikan. Oleh karena ideologi gender yang

mempunyai akibat ketidakadilan gender bukan hanya merugikan perempuan, maka

promosi kesadaran gender perlu pula dilakukan pada kalangan laki-laki19

.

19 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 215

Page 20: Stereotip Dan Diskriminasi Gender

DAFTAR PUSTAKA

Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Magelang: IndonesiaTera

Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Magelang: IndonesiaTera

Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Malang: Bayumedia Publishing

Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose

Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media

Pressindo

Sumber internet:

http://jurnalistik.blog.esaunggul.ac.id/2010/10/11/jurnalisme-berperspektif-gender/,

diakses pada 12/03/10, pukul 22.14