Ekosistem Terumbu Karang

25
I. Ekosistem Terumbu Karang I.1. Pengertian Terumbu Karang Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Sclerectinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (CaCO3) (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Razak dan Simatupang (2005), Menurut Razak dan Simatupang (2005) bahwa, karang adalah fauna laut yang umumnya hidup berkoloni dan mempunyuai kerangka kapur di bagian luar tubuhnya. Fauna karang bersama dengan jenis ubur-ubur (Filum Cnidaria, Kelas Scypozoa). Untuk daerah persebaran dapat merujuk pada Dahuri et al., (2008) dan Nybakken (1988) bahwa ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau – pulau di perairan tropis dan terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis, perairan pantai yang dangkal didominasi oleh pembentuk terumbu karang yang memang sering digunakan untuk membatasi lingkungan tropik. Hal ini didukung oleh Hutabarat dan Evans (1985) yang menyatakan organisme pembangun karang hanya dapat hidup di perairan yang dangkal di mana terdapat sinar matahari

Transcript of Ekosistem Terumbu Karang

I. Ekosistem Terumbu Karang

1.1. Pengertian Terumbu Karang

Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Sclerectinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (CaCO3) (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Razak dan Simatupang (2005), Menurut Razak dan Simatupang (2005) bahwa, karang adalah fauna laut yang umumnya hidup berkoloni dan mempunyuai kerangka kapur di bagian luar tubuhnya. Fauna karang bersama dengan jenis ubur-ubur (Filum Cnidaria, Kelas Scypozoa).

Untuk daerah persebaran dapat merujuk pada Dahuri et al., (2008) dan Nybakken (1988) bahwa ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau pulau di perairan tropis dan terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis, perairan pantai yang dangkal didominasi oleh pembentuk terumbu karang yang memang sering digunakan untuk membatasi lingkungan tropik. Hal ini didukung oleh Hutabarat dan Evans (1985) yang menyatakan organisme pembangun karang hanya dapat hidup di perairan yang dangkal di mana terdapat sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara hidup mereka seolah-olah seperti tumbuh-tumbuhan.

Razak dan Simatupang (2005) membedakan terumbu karang menjadi tiga jenis berdasarkan dengan letak tumbuhnya, yaitu terumbu tepi, penghalang, cincin dan gundukan. Sedangkan terumbu juga dapat dibedakan berdasarkan zonasi, terdapat dua zonasi pada pertumbuhan terumbu yaitu yang menghadap angin dan membelakangi angin (Anonim, 2011).

1.2. Fungsi Ekosistem Terumbu Karang

Menurut Anonim (2011), terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Estimasi jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat dari terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah :

sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan manusia dalam bidang pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning), batu karang.

pariwisata, wisata bahari melihat keindahan bentuk dan warnanya.

penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di dalamnya.

Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan gelombang dan ombak laut, serta sebagai sumber keanekaragaman hayati.

Untuk lebih detailnya, terumbu karang berfungsi untuk menjadi rumah bagi organisme-organisme yang berfotosintesis seperti tumbuhan bersel tunggal (uniseluler) seperti zooxanthellae yang sepenuhnya mendapatkan perlindungan dari karang (Hutabarat dan Evans, 1985).

Menurut Romimoharto dan Juwana (2007), ekosistem terumbu karang memberi manfaat langsung kepada manusia dengan menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan bahan lainnya. Manfaat penting lagi yaitu, terumbu karang menopang kelangsungan hidup ekosistem-ekosistem lain di sekitarnya yang juga menjadi tumpuan hidup manusia.

Pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat penting, artinya ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang tidak diusik maka fungsinya akan optimal dan produksi ikan karang akan dapat dipanen secara berkesinambungan dan memberi keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat di seluruh Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang sejalan pembangunan nasional. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian terumbu karang secara seksama sehingga aspek-aspek yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan dapat berlangsung dengan baik (Anonim, 2012).

1.3. Bentuk Pertumbuhan Karang

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora

dan non-Acropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non-

Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit.

Gambar: (kiri) Acropora, (kanan) Non-Acropora

Bentuk pertumbuhan karang Non-Acropora menurut (http://www.terangi.or.id) dapat terbagi menjadi:

a. Branching (Bercabang)

Memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

b. Massive (Padat)

Ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.

c. Encrusting (Kerak)

Tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras sertaberlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

d. Foliose (Lembaran)

Merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran

kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

e. Mushroom (Jamur)

berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

f. Submassive (Submasif)

Berbentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

g. Millepora (Karang Api)

semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.

h. Heliopora (Karang Biru)

Dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

Sedangkan untuk karang Acropora menurut (http://www.terangi.or.id) pertumbuhannya dibagi menjadi berikut:

a. Acropora Branching

bentuk bercabang seperti ranting pohon.

b. Acropora Tabulate

bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

c. Acropora Encrusting

Bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

d. Acropora Submassive

Bentuk percabangan berbentuk gada/lempeng dan kokoh.

e. Acropora Digitate

Digitate memiliki bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

1.4. Line Intercept Transect

Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan sebelumnya paling baik digunakan cara jalur atau transek. Metode transek biasa digunakan untuk mengetahui vegetasi tertentu seperti padang rumput dan lain-lain atau suatu vegetasi yang sifatnya masih homogen (Admin, 2008). Transek adalah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/ diselidiki yang bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungannya atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Menurut Oosting (1956), menyatakan bahwa transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah bentukan atau beberapa bentukan. Transek dapat juga digunakan untuk studi altitude dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Ukuran dari transek tergantung pada beberapa kondisi. Transek pada komunitas yang kecil penarikan garis menyilang hanya beberapa meter panjangnya. Pada daerah berbatuan transek dapat dibuat beberapa ratus meter panjangnya.

Metode Line Intercept Transect biasa digunakan oleh ahli ekologi untuk mempelajari komunitas padang rumput dan terumbu karang bawah laut. Dalam cara ini terlebih dahulu ditentukan dua titik sebagai pusat garis transek. Panjang garis transek dapat 10 m, 25 m, 50 m, 100 m. Tebal garis transek biasanya 1 cm. Pada garis transek itu kemudian dibuat segmen-segmen yang panjangnya bisa 1 m, 5 m, 10 m. Dalam metode ini garis-garis merupakan petak contoh (plot). Tanaman yang berada tepat pada garis dicatat jenisnya dan berapa kali terdapat/ dijumpai. Metode Transek garis (Line Intercept Transect/LIT) merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter (Anonim, 2013).

Cara menggunakan metode LIT adalah garis transek dibuat dengan cara membentangkan tali atau rol meter sepanjang 50 m sejajar garis pantai. Transek ini diberi tanda (sebagai transek permanen) dengan menancapkan besi beton sepanjang 1.2 m sebanyak 5 buah, dengan jarak antara 12.5 m. Genera atau spesies dari komunitas bentos utama (seperti karang dan alga makro) serta kategorikategori lifeform kemudian dicatat pada data sheet, oleh penyelam yang bergerak sepanjang garis yang dibentangkan secara paralel dengan reef crest, pada kedalaman 3 dan 10 m disetiap lokasi pengamatan. Semua bentuk pertumbuhan karang dan biota yang terletak di bawah transek dicatat (Anonim, 2013).

Gambar: Contoh Pengukuran dengan Metode LIT

1.5. Macam-Macam Penyakit Karang

Penyakit karang didefinisikan sebagai semua perusakan dari suatu sistem atau fungsi penting dari organisme, mencakup gangguan (interruption), perhentian (cessation), perkembangbiakan (proliferation), atau kegagalan lain (other malfunction) (Anonim, 2010). Penyakit karang (coral disease) tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun masih banyak penyebab lainnya. Berdasarkan penyebabnya, penyakit karang dapat digolongkan menjadi 2, yaitu infeksius dan non-infeksius. Infeksius dibedakan menjadi 2, yaitu mikro dan makro, sedangkan non-infeksius dapat berupa mutasi genetic, kekurangan nutrisi, meningkatnya suhu air, laut, radiasi ultraviolet, sedimentasi, dan polutan (Santavy & Peters, 1997).

Berikut ini adalah berbagai penyakit karang, yaitu:

a. Bleaching

Bleaching terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena anthropogenik yang menyababkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Secara umum,pengertian bleaching adalah terpisahnya alga yang bersimbiosis ( zooxanthellae ) dari induk karang. Lebih lanjut Jones et al. (1998) mengatakan bahwa bleaching adalah gangguan dalam proses fotosintesis zooxanthellae pada reaksi fotosistem II (PSII) dan non photochemical quenching (NPQ) yang berkaitan denga mekanisme foto protektif sebagai indikator tekanan panas. Bleaching umumnya dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan terhadap lingkungan dan organisme zooxanthellae. Penampilan yang pucat dari karang scleractinian dan hydrocorals, sangat berkaitan dengan rangka cnidarian yang sangat mengandung zat kapur yang terlihat dari luar jaringan yang tembus cahaya ( hampir tanpa pigmentasi zooxanthellae ). Temperatur yang tinggi akan menyebabkan adanya gangguan sistem enzim di dalam zooxanthellae, sehingga pada akhirnya akan menurunkan katahanan untuk mengatasi oksigen toxicas. Fotosintesis dalam zooxanthellae akan menurun pada temperatur di atas 30oC dan dampaknya dapat mengaktifkan pemisahan karang / alga simbiosjs. Batas tertinggi suhu maksimal adalah 30-34oC dengan kemampuan toleransi suhu tertinggi 2oC. (Jokiel & Coles, 1990 ).

b. Black Band Disease

Pada awal 1970, Arnfried Antonius melaporkan kejadian suatu band bermaterial hitam lembut yang keluar ke permukaan dari beberapa jenis karang massif pada terumbu karang di Carribean Barat. Band adalah suatu tanda berupa garis yang terdapat pada koloni karang dimana warna tersebut mencirikan jenis penyakit pada suatu jenis karang. Penyakit ini ditandai dengan suatu lembaran/bercak hitam yang luasnya sekitar 0,25-2 inci pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini bergerak melewati permukaan rangka karang dengan kecepatan sekitar 3mm - 1cm perhari dan kemudian meninggalkan rangka karang berwarna putih kosong. BBD juga dicirikan oleh suatu cincin gelap, yang memisahkan antara jaringan karang yang masih sehat dengan rangka karang. Penyakit ini disebut juga Black Band Ring.

Dari hasil pengamatan pada begian karang yang terkena penyakit ini, dijumpai satu gabungan jasad renik, cyanobacterium , Spirulina, oksidasi sulfur bakteri pereduksi sulfat, bakteri heterotropik dan jasad renik lain (Richardson et al., 1997). BBD akan meningkat, apabila terjadi sedimentasi serta adanya pasokan nutrient, bahan kimia beracun dan suhu yang melebihi normal (Richardson, 1998).

c. Dark Spots Disease

Dark spots disease dalam jaringan karang masif telah banyak dikenal, tetapi belum banyak yang dipelajari. Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen gelap, warna coklat atau warna ungu yang menyerang pada karang sclerectanian. Jaringan karang yang tertinggal tetap terlihat utuh, walaupun terkadang mengakibatkan kematian jaringan karang dalam pusat bintik. Warna ungu gelap kecoklatan atau kelabu dari jaringan tersebut sering melingkar pada permukaan, tapi kadang-kadang dijumpai juga bentuk yang tidak beeraturan pada permukaan koloni (bercak warna ungu terang terlihat pada permukaan koloni). Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun diduga disebabkan oleh adanya akumulasi sedimen pada suatu bintik hitam (Anonim, 2010).

d. Red Band Disease

Penyakit ini menyerupai Black-band disease (BBD). (Santavy dan Peters, 1997) melaporkan bahwa suatu band coklat telah menginfeksi karang di Great Barrier Reef. RBD adalah suatu lapisan microbial yang berwarna merah bata atau coklat gelap, dan warna tersebut mudah dilihat pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini mendinfeksi karang otak (Diploria strigosa, Montastrea annularis, Montastrea cavernosa, Porites astreoides, Siderastrea sp. dan Colpophyllia natans) di Great Barrier Reef. Band Nampak seperti gabungan dari cyanobacteria dan jasad renik yang berbeda dibanding dengan biota yang ditemukan pada BBD. Selain itu, pergerakan microbial ini berbeda, yakni tergantung pada induk karang (Richardson, 1992). RBD yang ditemukan di perairan Carribean barat Amerika, sedangkan Brown Band ditemukan di Great Barrier Reef. Penyakit RBD dan BBD menunjukkan gejala yang sama, yaitu hilangnya jaringan karang. Penyakit ini disebabkan karena rangka karang tercemar oleh alga berfilamen dan adanya akumulasi sedimen, yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang baru.

e. White Band Disease

White-band disease (WBD) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang yang bercabang. Hilangnya jaringan tersebut akan menyebabkan suatu garis pada koloni karang, oleh karena itu penyakit ini disebut white-band disease atau WBD (Green & Buckner, 2000). Berbeda dengan kasus BBD, pada penyakit ini tidak ditemukan adanya kumpulan jasad renik yang konsisten yang menyebabkan terjadinya penegulapasan pada jaringan dan rangka karang yang kosong. Pada bagian jaringan Acropora cervicornis, hanya hilang pada pertengahan suatu cabang. Tingkat jaringan karang yang hilang sebesar 1/8 inci/hari, dan rangka karang yang kosong segera akan diganti dengan alga berfilamen. Band rangka yang berwarna kosong yang terlihat, lebarnya dapat mencapai antara 5-10 cm (Gladfelter, 1991). Jaringan karang yang tersisa pada cabang tidak menunjukkan adanya pemutihan, walaupun koloni yang terpengaruh secara keseluruhan erlihat adanya goresan warna. Penyebab terjadinya WBD masih belum banyak diketahui, namun sudah ditemukan adanya kumpulan bakteri pada jaringan karang yang mampu meluas dari satu koloni ke koloni lainnya. Pada saat ini, para peneliti masih belum mampu mengidentifikasi peranan mikroorganisme yang ada pada jaringan karang yang terkena penyakit tersebut (Richardson, 1998).

f. White Plague

Penyakit White Plague (WP) terlihat mirip dengan WBD, tetapi WP menyerang karang yang berbeda. Karang jenis massive dan encrusting yang diamati terlihat adanya jaringan karang yang hilang, meninggalkan rangka karang yang berwarna putih kosong, wabah ini disebut wabah putih atau WP. WP juga dikenal sebagai white-band disease, white death dan stress-related necrosis tetapi peran dari tekanan perubahan lingkungan dan infeksi bakteri pathogen terhadap hilangnya jaringan belum dilakukan penelitian. WP tipe I, dilaporkan mempengaruhi 10 spesies karang dan efeknya menyebabkan jaringan lunak karang mengalami kematian dengan kisaran sekitar 3mm/hari. Pada WP tipe II, menyebabkan kematian pada jaringan lunak karang sampai sekitar 2cm/hari. Sekitar 32 spesies karang terjangkit WP tipe II, WP tipe III mempengaruhi karang pembentuk terumbu yang sangat luas termasuk karang dengan bentuk pertumbuhan massive. Jaringan karang yang hilang yang disebabkan oleh WP tipe III, dampaknya lebih besar daripada tipe I dan II. Hilangnya jaringan karang yang sangat cepat, mungkin disebabkan oleh bacterium dan dampaknya meluas dari satu koloni ke koloni lain (Anonim, 2010)

g. White Pox

Penyakit ini ditemukan oleh Craig Quirolo dan Jim Porter di barat Florida pada tahun 1996. Penyakit ini ditandai dengan munculnya tambalan (bercak) pada rangka berwarna putih kosong yang berbentuk irregular. Tambalan (bercak) dapat terjadi di permukaan atas atau bagian bawah percabangan. Jaringan karang terlihat mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju penghilangan jaringan karang terjadi sangat cepat. Jaringan karang pada umumnya ditempeli alga berfilamen dalam beberapa hari. Peristiwa mengelupasnya jaringan karang ini masih belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh bakteri pathogen (Anonim, 2010)

h. Yellow Band Disease

Penyakit ini hanya mempengaruhi karang jenis Montastrea dan Colpophyllia natans. YBD pertama kali ditemukan pada tahun 1994 (Green dan Buckner, 2000) yang diawali dengan danya warna pucat, bintik sirkular pada jaringan translusen atau sebagai band yang sempit pada jaringan karang yang pucat di bagian pinggir koloni. Namun areal di sekitar koloni tersebut masih normal dan pigmen jaringannya baik. Bagian dari jaringan karang yang dipengaruhi oleh penyakit tersebut, akan keluar dari karang dan kemudian karang akan mati. Jaringan karang yang hilang dari pengaruh YBD, rata-rata adalah 5-11 cm/tahun, lebih sedikit dari penyakit karang lainnya. meskipun demikian, penyakit ini dapat menyebar pada koloni karang yang lain dan menyerang koloni karang dewasa dan berukuran besar.

DAFPUS

http://www.terangi.or.id

Anonim. 2013. http://karangrumpi.blogspot.com/2013/02/bagaimana-melakukan-survei-karang.html. Diakses pada 10 Juni 2015.

Anonim. 2012. http://ndhh-lestari.blogspot.com/2012/02/metode-transek.html. Diakses pada 10 Juni 2015 pukul 6.07 PM WIB

Anonimous, 2011a. Coral_reef dalam http://en.wikipedia.org/wiki. Dikunjungi pada 10 Juni 2015, 11.20 WIB.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey manual for Tropical marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.

Hutabarat, S dan Evans, S.M., 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia, cet ke-2. hal 140 143.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis.. Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 325-363.

Razak, T, B dan Simatupang, K. L. M. A., 2005. Buku panduan pelestarian Terumbu Karang; Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta, 113 hal.

Romimohtarto, K, Juwana, S. 2007. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta. Ed. Rev.,cet. ke-3. pp 321 - 332.

Nybakken, J.W. 1997. Marine Biology: An Ecological Approach, Fourth Edition. Addison-Wesley Educational Publishers Inc. Dalam http://faridmuzaki.blogspot.com/biologi-karang.htm. Dikunjungi pada 01 November 2011, 10.32

Admin, 2008. Metode Transek. http://www.indonesianbiodiversity.com/indexphp?pilih=newa&mod=yes&aksi=arsi&topik=1 Campbell, N.A. 2004. Biologi. Jilid 3. Jakarta : Erlangga.

Dahuri, H. R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J., 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wiayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Ed. Rev.,cet.ke-4. Pp 197 201.

Oosting. 1956. The Study of Plant Communities. W.H. Freeman and Company, San Fransisco

Anonim. 2010. http://skp.unair.ac.id/repository/web-pdf/web_Penyakit_Pada_Karang_BAGUS_RIZKI_NOVIANTO.pdf. Diakses pada 10 Juni 2015 pukul 6. 46 PM WIB

Jones, R.J., Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.D. and Schreiber, U. 1998. Temperature-induced bleaching of corals begins with impairment of the CO2 fixation mechanism in zooxanthellae. Plant, Cell and Environment 21: 1219-1230.

Jokiel, P.L. and Coles, S.L. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated sea temperatures. Coral Reefs 8: 155-162.

Richardson L.L., K.G. Kuta, S. Schnell & R.G. Carlton. 1997. Ecology of the Black Band Disease Microbial Consortium. Proc. 8th Intl. Coral Reef Symp., Smithsonian Trops. Res. Inst., Panama 1:597-600

Richardson L.L., R.B. Aronson, W.M. Goldberg, G.W. Smith, K.B. Ritchie, J.C. Halas, J.S. Feingold and S.M. Miller. 1998. Florida;s Mistery Coral-Killer Identified. Nature 392: 557-558.

Richardson, L.L. 1992.vRed band disease: a new cyanobacterial infestation of corals. Proc. Tenth Ann. Amer. Acad. Underw. Sci. 153-160.

Bruckner A.W. & R.J. Bruckner. 1997. The Persistence of Black Band Disease in Jamaica: Impact on Community Structure. Proc. 8th Intl. Coral Reef Symp., Smithsonian Trop. Res. Inst., Panama 1: 601-606

Gladfelter, W.B. 1991. Population structure of Acropora palmata on the windward fore reef, Buck Island National Monument, St. Croix, U.S.Virgin Islands. U.S. Department of the Interior, National Park Service, U.S.Virgin Islands. 172 pp

Santavy, D.L. and E.C. Peters. 1997. Microbial pests: Coral diseaseresearch in the western Atlantic. Proc. Eighth Intern.Coral Reef Symp. 1:607-612.

Green, E.P. and A. W. Buckner. 2000. The significance of coral disease epizootiology for coral reef conservation. Biological Conservation. 96: 347-361.