Spondilitis Tb

34
BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosa atau Tubercle bacillus. Tuberkulosis, terutama TB paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. TBC pada anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TBC anak, permasalahan yang sering dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta komplikasi TBC pada penderita infeksi HIV. Berbeda dengan TBC dewasa, gejala TBC pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti pada penderita dewasa dapat ditegakkan dengan menemukan kuman TBC pada pemeriksaan putum. Sedangkan pada anak sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TBC pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TBC umumnya adalah orang 1

description

s tb

Transcript of Spondilitis Tb

Page 1: Spondilitis Tb

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal. Penyakit

ini disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosa atau Tubercle bacillus. Tuberkulosis,

terutama TB paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi

juga di negara maju. Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya

meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun.

Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3%

sampai >25%. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan

jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985,

dari 1261 kasus TB anak berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun.

TBC pada anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang

dewasa. Pada TBC anak, permasalahan yang sering dihadapi adalah masalah diagnosis,

pengobatan, pencegahan, serta komplikasi TBC pada penderita infeksi HIV. Berbeda dengan

TBC dewasa, gejala TBC pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti pada penderita

dewasa dapat ditegakkan dengan menemukan kuman TBC pada pemeriksaan putum.

Sedangkan pada anak sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena

sulitnya mendiagnosis TBC pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti

overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal

tersebut terjadi karena sumber penyebaran TBC umumnya adalah orang dewasa dengan

sputum BTA positif, sehingga penanggulangan TBC lebih ditekankan pada pengobatan TBC

dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak kurang diperhatikan. Peningkatan insidens infeksi

HIV dan AIDS di berbagai negara turut menambah permasalahan TBC anak. Saat ini, telah

terjadi peningkatan interaksi antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak.

Seperti halnya di negara-negara lain, besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia masih

relatif sulit diperkirakan.

Tuberkulosis tulang punggung merupakan salah satu tuberkulosis ekstra paru yang

dapat menimbulkan cacat fisik yang berat. Hampir 10% dari seluruh pendertita TB memiliki

keterlibatan dengan muskulo-skeletal. Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang

dengan disertai defisit neurologik 10% - 45% dari penderita.

1

Page 2: Spondilitis Tb

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis

yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi

terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1

Tuberkulosis sistem skeletal merupakan suatu bentuk penyakit TB ekstrapulmonal

yang mengenai tulang dan/atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1-7% dari seluruh TB, yang

mana TB sendi tulang belakang meruapakan kejadian tertinggi, diikuti dengan TB sendi

panggul dan sendi lutut. Umumnya TB sistem skeletal menganai satu tulang atau sendi.

Tuberkulosis pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis TB.2

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan sponditis tuberkulosa

merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium

tuberkulosa. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus dari

tempat lain dalam tubuh. Pervical Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit

dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang

belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.3,7

2.2 Epidemiologi

Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih dari 8

juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian

hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World

Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling

banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.

Di negara berkembang,TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh

kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5%-7%. Pada survei nasional di

Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452

anak berusia <15 tahun menderita TB. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang

didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total kasus TB. Data

seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat Pendidikan Indonesia selama 5 tahun

2

Page 3: Spondilitis Tb

(1998-2002) dijumpai 1086 kasus TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%.

Kelompok usia terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan 16,5

%. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi 12

bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua).

Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun

0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.4

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi

yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70%

dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari tuberkulosis tulang dan

sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 -10 tahun dengan

perbandingan yang hamper sama antara wanita dan pria.3

2.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan . MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri

atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat

kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.

Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan

bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat

ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif

lagi.5

Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam

jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak

mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa

kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini

tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian

apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis .5

2.4 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya

penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor

resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit).2,5

3

Page 4: Spondilitis Tb

1. Resiko infeksi TB

Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan

orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan

yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum

(panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa

aktif. 2,5

Sumber infeksi TB anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang

infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bayi dari seorang ibu BTA positif memiliki

resiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula

kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius. 2,5

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika

pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus

atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor

lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik. 2,5

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di

sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret

endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,

jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak

masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi

infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di

daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Dan yang

ketiga adalah sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk

di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.2,5

2. Resiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini

adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.

Faktor resiko yang pertama adalah usia. Anak yang berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih

besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum

berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara

bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih

4

Page 5: Spondilitis Tb

tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Resiko tertinggi

terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah

infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi

dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut. 2,5

Faktor resiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji

tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan

imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV AIDS, keganasan, transplantasi organ, dan

pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah

penting adalah sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,

pengangguran, pendidikan yang rendah dan kurangnya dana untuk pelayanan kesehatan

masyarakat. Faktor lain yang mempunyai resiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari

M. Tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi secara klinis hal ini sulit dibuktikan. 2,5

2.5 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup setelah melewati barier

mukosa basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis

spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada

individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan

memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman

TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan

akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat

tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).2,5

Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu

kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini

menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe

yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer,

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2,5

5

Page 6: Spondilitis Tb

Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer

secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah,

infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.2,5

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami

salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis

atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe

regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya

tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.2,5

Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi

penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,

kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut

penyakit sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread)

sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai

organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi

baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi

reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.2,5

6

Page 7: Spondilitis Tb

Gambar 2.1. Alur Patogenesis Perjalanan Tuberkulosis2

7

Page 8: Spondilitis Tb

Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis regional.

3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.

4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga

dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai

organ.2

Gambar 2.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer2

Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada

tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun

setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun

pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun

pertama setelah diagnosis TB.2

8

Page 9: Spondilitis Tb

Pada spondilitis TB umumnya mengenai lebih dari satu vertebrata. Infeksi berawal

dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial kortus vertebra. Kemudian terjadi

hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya

terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya.

Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan meyebabkan terjadinya kifosis.3,8

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis

serta basil tuberkulosa) meyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.

Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis

ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia

paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus.

Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal

sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea,

esophagus atau kavum pleura.3,8

Abses pada vertebrata torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat

menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada

daerah ini dapat menekan mendula spinalis sehingga timbul paraplegia.3,8

Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan

muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat

menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh daerah femoralis

pada trigonum skarpei atau region glutea.3,8

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu3 :

1. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,

bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan

ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah

sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi desktruksi korpus vertebra serta

penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium desktruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa

kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah

9

Page 10: Spondilitis Tb

stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus

invertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang taji terutama di sebelah depan (wedging anterior)

akibat kerusakan korpus vertebrata, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama

ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh

komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

5. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis

dan gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Manifestasi Klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2,5

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang

dapat dialami anak yaitu:2

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai

keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB

berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

10

Page 11: Spondilitis Tb

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak

bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Secara klinis gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan dengan gejala

tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan

menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada

punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries).

Akan tetapi gejala sistemik seperti ini biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang

dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi yang tinggi

yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu TB skeletal lebih sering terjadi pada anak

dibandingkan orang dewasa.2,3

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,

gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofiring. Kadangkala

penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal,

popliteal atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan

gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang

akibat spasme atau gibbus. Manifestasi klinis dapat muncul pascatrauma, yang berperan

sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang

sudah lanjut dan irreversible. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,

lumpuh dan sulit membungkuk.2,3

Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas, sehingga

umumnya didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain dijumpai gejala umum TB pada

anak, dapat pula dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan dan nyeri pada

pergerakan. Tidak jarang hanaya gejala pembengkakan sendi saja yang dikeluhkan.

Manisfetasi klinis TB tulang seringkali ditemukan atau disadari setelah terjadi trauma, jangan

lupa untuk mengeksplorasi kemungkingan TB tulang. 2

Gejala atau tanda pada TB sistem skeletal bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan

pada tulang belakang disebut gibbus, menampakan gejala benjolan pada tulang belakang

yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna

benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan asbes dingin. Apabila

11

Page 12: Spondilitis Tb

dijumpai kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri.

Kelainan pada sendi lutut dapat berupa pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan

berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis. 2

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang

Pada TB skleletal, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaaan

penunjang untuk TB pada anak secara umum dan pemeriksaan radiologis pada lokasi yang

dicurigai seperti tulang belakang, sendi panggul dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya

terdapat gambaran osteoporosis regional periartikuler dan pembengkakan jaringan lunak

sekitar sendi, destruksi tulang rawan sendi, dan lesi osteolitik pada daerah epifisis. Untuk

infeksi TB sendi, gambaran yang khas adalah osteoporosis periartikuler, destruksi tulang

rawan sekitar sendi, dan penyempitan celah. 2

Pada kelainan TB tulang belakang, terjadi destruksi tulang pada daerah korpus, serta

penyempitan diskus intervertebralis. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan

sendi dengan bantuan ulatrasonografi (USG). Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel,

penurunan glukosa, dan peningkatan protein, atau bahkan dapat ditemukan BTA positif

(sekitar 15-20% kasus). Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dapat dilakukan, sedangkan

pada pemeriksaan hispatologis dapat dijumpai gambaran perkijuan (granuloma TB). 2

2.7 Diagnosis Differensial

Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifik,

deformitas kifotik, kompresi medula spinalis yang sering menjadi alasan penderita untuk

datang berobat. Karena itu, pemikirian kemungkinan diagnosis banding harus didasarkan

pada hal ini. Sangat penting untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit lainnya, karena

terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka disabilitas dan morbiditas pasien.

Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa

dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan

penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus

aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih

sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi

spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik,

12

Page 13: Spondilitis Tb

tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB

semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang

lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan

lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering

menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.

Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan hitung

jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna

dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah

dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk34 menjabarkan

beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB:

1) sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas.

2) dinding abses tipis dan halus.

3) adanya abses paraspinal dan intraoseus.

4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra.

5) keterlibatan vertebra torakal.

6) lesi multipel.

Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya diagnosis

infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk menambahkan bahwa adanya

sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan

pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat

memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan invasif.

Tumor metastatik spinal mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang

belakang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor

metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal,

lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis

meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis

keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral,

sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.

13

Page 14: Spondilitis Tb

Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi

medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi abses

dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan spondilitis TB dari

neoplasma.

2.7 Tatalaksana

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. 2

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif

saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif

(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif

pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 10-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam

1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi

di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

14

Page 15: Spondilitis Tb

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin

diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.2

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,

menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. 2

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada

saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 30-40 mg/kgBB/hari. Kadar

serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena

pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman

yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang

dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau

gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang

terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna.

Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet

500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat

ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-25

mg/kgBB/hari. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam

bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-

15

Page 16: Spondilitis Tb

anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik

pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.2

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada

keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat

ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting

penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar

puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.2

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan

cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika

terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.2

Tabel. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5,9

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 10-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 30-40 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-25 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan

berkurang, buta warna merah-hijau,

penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal

16

Page 17: Spondilitis Tb

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu

bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal

pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Tatalaksana Spondilitis TB

Tatalaksana TB sistem skeletal adalah dengan empat atau lebih OAT, yaitu

rifampisin, isoniazid, prazinamid dan etambutol. Rifampisin dan isoniazid diberikan selama

12 bulan, sedangkan pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan pertama. Selain

medikamentosa, pemberian terapi suportif juga diperlukan.2,5,6

Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan neurologis atau tidak.

Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya berupa kelumpuhan atau neuritis perifer,

maka tindakan bedah segera dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis

maka tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah

adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons terhadap OAT.2,5,6

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita

tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting

dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia,

dan kifosis.3

Abses dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi

resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pasa abses yang besar dilakukan

drainase bedah.3

Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu3:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone bone graft di bagian depan

17

Page 18: Spondilitis Tb

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu3:

a. Pengobatan dengan kemotrapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Indikasi operasi

Indikasi operasi yaitu3:

a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin

berat. Biasanya tiga minggu sebelum tidakan operasi dilakukan, setiap spondilitis

tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan

sekaligus debrideman serta bone graft.

c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT

dan MRI ditemukan adanya penekan langsung pada medula spinalis.

Operasi Kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai

tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi

posterior atau melalui operasi radikal3.

Imobilisasi Pasca-operasi Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas

pasien. Dengan instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien

dapat cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada tingkat lesi.

Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal,

torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat diimobilisasi menggunakan body cast jacket.

Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral, dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body

jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fi ksasi salah satu sisi panggul.

a. Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi Terapi pada penderita spondilitis TB

dapat pula berupa tirah baring disertai dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa

imobilisasi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak

tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang belakang, atau

18

Page 19: Spondilitis Tb

bila terdapat permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya. Jenis imobilisasi

yang dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Imobilisasi dilakukan setidaknya selama enam bulan.

Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips untuk melindungi tulang belakang pada

posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan

untuk imobilisasi spinal, mengurangi kompresi medula spinalis dan progresi deformitas lebih

lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung hingga empat minggu. Alwali dkk

melaporkan bahwa imobilisasi dengan custom-made spinal jacket bersamaan dengan

kemoterapi dapat menjadi alternatif jika tindakan bedah tidak bisa dilakukan.

Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional. Dalam hal

ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis yang menimbulkan

kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensi fi sioterapi yang diberikan

disesuaikan dengan modalitas yang terganggu.

Paraplegia yang mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur berpotensi

menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus sering diganti. Selain itu,

pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan

defekasi dan berkemih dapat dibantu dengan kateterisasi intermiten dan evakuasi feses setiap

hari. Mobilisasi dengan kursi roda (wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai

pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan kemandirian,

kemampuan sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya dapat diberikan

pelatihan vokasional.

Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang diterapi secara medikamentosa atau

bedah, direhabilitasi mulai dari masa pre-operasi hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi

dan fusi spinal, membuktikan bahwa fi sioterapi mampu meningkatkan kualitas hidup pasien

spondilitis TB, terlebih jika dikombinasi dengan terapi kuratif yang adekuat. Terapi motorik

yang dilakukan antara lain difokuskan pada otot dada, perut, tungkai bawah, batang tubuh,

dan ekstensor sakrospinal. Skor Modifi ed Barthel Index (MBI) meningkat secara bermakna

dimana pada saat permulaan hanya 10,6 persen pasien termasuk dalam kategori mandiri, dan

pada akhir studi 70,2 persen pasien termasuk dalam kategori mandiri.

19

Page 20: Spondilitis Tb

II.8 Prognosis

Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan neurologis atau tidak.

Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya berupa kelumpuhan atau neuritis perifer,

maka tindakan bedah segera dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis

maka tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah

adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons terhadap OAT.2

Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau tulang.

Pada kelainan lain yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang

sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.2

20

Page 21: Spondilitis Tb

KESIMPULAN

Infeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan sekitar satu hingga lima persen penderita

tuberkulosis. Spondilitis TB berpotensi menyebabkan morbiditas serius yaitu kelumpuhan

dan deformitas tulang belakang yang hebat. Diagnosis dini spondilitis TB masih terbatas.

Keterlambatan diagnosis masih sering ditemukan dan mampu menyebabkan perburukan

kualitas hidup penderita. MRI sampai saat ini merupakan sarana pembantu penegakan

diagnosis yang paling baik sekaligus menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Namun, jika

fasilitas tidak memadai, CT scan, sinar-X, dan pencitraan lainnya dapat membantu.

Baku emas untuk diagnosis pasti tetap menggunakan pemeriksaan histologis dan

mikrobiologis dari spesimen biopsi lesi TB. Namun pemeriksaan terbaru seperti PCR dapat

membantu, tentunya harus dikorelasikan dengan klinis dan pemeriksaan lainnya.

Kemoterapi OAT adalah pilihan pengobatan awal yang terbaik, terbukti paling efektif

hingga saat ini. Terapi pembedahan relatif ditinggalkan sebagai pilihan pengobatan yang

utama. Pembedahan dilakukan hanya dengan indikasi-indikasi tertentu. Namun karena

diagnosis dini spondilitis TB yang sulit, maka pembedahan tetap masih merupakan

penatalaksanaan yang umum. Variasi teknik pembedahan sangat banyak dan belum ada

teknik yang baku yang dianggap paling efektif mengoreksi defi sit neurologis dan deformitas.

Penatalaksanaan secara holistik harus dinilai setiap pasien secara individual dan kembali lagi

disesuaikan dengan kemampuan tim medis yang ada.

21

Page 22: Spondilitis Tb

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid

1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

2. Rahajoe, dkk. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Ke-2 dengan revisi.

Jakarta : UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.

3. Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT Yarsif

Watampone.

4. Kartasasmita, Cissy. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2,

Agustus 2009.

5. Rahajoe, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta : Badan

Penerbit IDAI.

6. Tim Adaptasi Indonesia. 2008. Buku Saku Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di

Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : WHO Indonesia

dan Depkes RI.

7. Sharivi dan Alavi. 2010. Tuberculous spondylitis: Risk factors

andclinical/paraclinical aspects in the south west of Iran. Journal of Infection and

Public Health (2010) 3, 196—200.

8. Moesbar, Nazar. 2006. Infeksi Tuberculosa Pada Tulang Belakang. Majalah

Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006.

9. WHO. 2010. Rapid Advice Treatment Of Tuberculosis In Children. Switzerland :

WHO Press. Available from : http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/ (Accessed

28th Dec 2012)

22