Post on 01-Feb-2016
description
CASE REPORT
FIBROADENOMA MAMMA
Disusun Oleh :
Melyanti Lestari 110.2010.163
Nadya Adnita 110.2010.200
Yulirika Ashari Lucha 110.2010.301
Pembimbing :
Dr. Dublianus, Sp.An
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
JULI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya serta
karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus
dengan judul “Appendiktomi dengan Anestesi Regional” . Presentasi kasus ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian anestesiologi di RSUD
Cilegon. Penulis sangat sadar bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis
tidak akan dapat menyelesaikan presentasi kasus ini.
Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis tujukan kepada:
1. Kedua orang tua penulis, yang akan selalu menjadi sumber inspirasi penulis, yang tidak
pernah berhenti memberikan dukungannya baik dalam moral maupun materiil.
2. dr. Dublianus, Sp.An, selaku pembimbing yang dengan segala kesibukan dan aktifitasnya,
masih meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
3. Teman-teman dan semua pihak yang telah turut membantu dalam pembuatan referat ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan presentasi kasus
ini karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki. Masukan kritik dan saran yang konstruktif
sangat penulis hargai guna kesempurnan referat ini. Semoga tugas presentasi kasus ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Cilegon, Juli 2015
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................. 3
BAB I LAPORAN KASUS..................................................................................... 4
BAB II LAPORAN ANASTESI .............................................................................. 9
BAB III ANALISA KASUS ..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 17
3
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cilentrang
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Benjolan di payudara kiri
Anamnesa Khusus :
Pasien datang ke poliklinik RSUD cilegon tanggal 7 mei 2015 dengan keluhan
terdapat benjolan pada payudara sebelah kiri, benjolan di dada kiri disadari oleh penderita
sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan hanya sebesar biji kacang, lama kelamaan
sebesar biji salak. Benjolan terasa padat kenyal, dapat di gerakkan dan kadang-kadang
terasa nyeri, nyeri dirasakan pada malam hari.
Kulit di pada benjolan tidak di temukan adanya kemerahan, tidak ada kulit yang
melekuk kedalam, tidak ada puting tertanam kedalam. Riwayat keluar cairan, darah dari
puting susu disangkal dan tidak ditemukan benjolan di tempat lain. Keluhan tidak disertai
demam, batuk, sesak, sakit kepala hebat, rasa penuh diulu hati, nyeri pada tulang
punggung maupun paha. Pada saat ini pasien sedang tidak menstruasi, riwayat haid
pertama kali usia 13 tahun, haid dirasakan teratur setiap bulannya.
4
Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi obat disangkal
3) Riwayat operasi sebelumnya disangkal
4) Riwayat Hipertensi disangkal
5) Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 10 Juli 2015
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,6C
Pernafasan : 20 x/menit
Status Generalisa. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata
dan rambut tidak mudah dicabut. Tonsil T1-T1, kripte tidak
melebar, detritus (-).
c. Mata : Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
Tidak teraba pembesaran limfonodi submandibula.
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 3 cm dibawah papila mamae sinistra
5
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d) Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak
ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua paru. Tidak
terdengar suara wheezing
Status Lokalis
Pemeriksaan/regio Mammae dekstra Mammae sinistra
Inspeksi Warna kulit mammae sama seperti warna kulit sekitar,
kedua payudara tampak simetris, tidak terdapat penebalan
kulit mamae, tak tampak adanya massa, tidak terdapat
cekungan atau dimpling mamae, retraksi atau cekungan
papilla mammae, tidak terdapat pengeluaran discharge
secara spontan.
Palpasi Tidak teraba massa.
Papilla mamae elastis,
pengeluaran discharge
tidak ada.
Pembesaran KGB aksila
(-)
Teraba sebuah massa pada
kuadran regio mamma
inferolateral, bentuk bulat,
ukuran 3 cm x 2 cm x 3 cm,
permukaan rata/licin,
konsistensi padat kenyal,
mobile, berbatas jelas, nyeri
6
tekan (-),
Papilla mamae elastis,
pengeluaran discharge tidak
ada.
Pembesaran KGB aksila (-)
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut membuncit, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus dalam batas normal.
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas. Hepar dan
lien tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan 09-07-2015 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 11,4 14-18 g/dL
Leukosit 17210 5000-10000/L
Hematokrit 36,1 40-48%
Trombosit 424000 150000-450000/L
CT 8’ 5-15 menit
BT 2’ 1-6 menit
7
Gol. Darah O Rh(+)
Kimia Klinik
SGOT 18 < 37 U/L
SGPT 20 < 41 U/L
Ureum 21 17-43 mg/dL
Creatinin 0,7 0,7-1,1 mg/dL
GDS 88 ≤ 200 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAg
Anti-HIV
Negatif
Non Reaktif
Negatif
Non Reaktif
Elektrolit
Natrium 143,4 135-155 mmol/l
Kalium 3,72 3,0-5,5 mmol/l
Klorida 105,3 95-107 mmol/l
V. KESAN ANESTESI
Perempuan 20 tahun menderita Fibroadenoma Mamma sinistra dengan ASA I
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Pro Ekstirpasi
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I
8
BAB II
LAPORAN ANESTESI
A. 1. Preoperatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital:
o TD : 130/80 mmHg
o RR : 20 x/menit
o Nadi : 80x/menit
o Suhu : 36,6˚C
B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.
C. Tindakan Anestesi
Tanggal 10 Juli 2015 jam 10:40, Ny. R, 20 tahun tiba di ruang operasi dengan
terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan hasil
TD 130/80 mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 10:35. Diberikan premedikasi
dengan injeksi Ondancentron 4 mg secara intravena. Setelah diberikan premedikasi
dilakukan induksi dengan injeksi Fentanyl 150 µg, propofol 150 mg intavena. Bersamaan
dengan itu, pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin
anestesi yang mengalirkan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan
bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga
menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan
laryngeal mask airway (LMA).
9
Setelah pasien terinduksi dengan tanda reflek bulu mata menghilang, diberikan
oksigen 100% selama ± 3 menit. Kemudian setelah fasikulasi hilang dan leher pasien sudah
tidak kaku dilakukan pemasangan LMA no. 3. Setelah intubasi dilakukan dikunci dengan
menggembungkan balon LMA dengan udara dalam spuit, kemudian connector LMA
dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mendapatkan O2. Setelah itu dilihat apakah terjadi
pernafasan spontan.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2, N20 dan isoflurane.
Inhalasi N2O : O2 diberikan dengan perbandingan 50:50. Pada pasien ini diberikan N2O
sebesar 2 liter/menit dan O2 sebesar 2 liter/menit. Isoflurane diberikan sebanyak vol 2%.
Bila anestesinya terlalu dalam maka isoflurane diturunkan begitu pula sebaliknya.
Kombinasi dinaikkan dan diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan keadaan pasien.
Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit hingga operasi selesai.
Selama maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign diset otomatis dan
dicatat setiap 5 menit. Selama operasi , tekanan darah dan nadi di monitor tiap 5 menit
dengan hasil:
- lima menit I :140/85 mmHg, nadi 86x/mnt, SpO2 99%
- lima menit II :148/83 mmHg, nadi 84x/mnt, SpO2 99%
- lima menit III :110/68 mmHg, nadi 76x/mnt, SpO2 99%
- lima menit IV :110/72 mmHg, nadi 78x/mnt, SpO2 99%
- lima menit V :115/74 mmHg, nadi 80x/mnt, SpO2 99%
- lima menit VI :110/78 mmHg, nadi 60x/mnt, SpO2 99%
- lima menit VII :114/78 mmHg, nadi 67x/mnt, SpO2 99%
- lima menit VIII :115/76 mmHg, nadi 82x/mnt, SpO2 99%
- lima menit IX :120/80 mmHg, nadi 80x/mnt, SpO2 99%
Respirasi rate 22x/menit. Perdarahan selama operasi ± 10 cc. Pasien tidak tampak
hipoksia, sesak napas maupun hipovolemik. Pembedahan dilakukan selama 40 menit.
Intake IVFD RL 800 cc.
Setelah operasi selesai isoflurane diturunkan secara bertahap sampai mencapai 0
vol%, N2O diturunkan hingga 0 liter/menit, sementara itu O2 dinaikkan menjadi 6
10
liter/menit. Sesaat sebelum pasien sadar dilakukan ekstubasi. Sebelum LMA dilepas,
kemudian balon LMA dikempeskan kemudian baru dilepaskan. Setelah ekstubasi pasien
tetap diberikan O2 selama kurang lebih 5-10 menit.
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan (recovery room), dilakukan pemantauan
keadaan umum, tingkat kesadaran, dan vital sign hingga stabil. Pulse oximetry dimonitor
hingga pasien sadar penuh sampai pemulihan anestesi maksimal. Setelah berada di
recovery room dilakukan penilaian aldrete score, hingga nilai > 8, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal).
11
BAB III
ANALISIS KASUS
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien dapt diklasifikasikan ke dalam ASA I, yaitu pasien normal dan hanya menderita
penyakit yang akan dioperasi tanpa penyakit sistemik lainnya. Persiapan yang dilakukan
sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus, dan pasien
dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko aspirasi isi
lambung ke jalan nafas selama anestesi.
Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos
mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan teknik SCCS dengan
LMA. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien belum pernah menjalankan operasi apapun.
Pasien direncanakan untuk operasi extirpasi elektif.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan infus
berjalan lancar, ini dimaksudkan karena pada saat operasi sebagian besar obat-obatan
diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital seperti tensi, alat
saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien karena beberapa obat anestesi
dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. Alat saturasi bertujuan untuk memantau suplai
oksigen. Kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.
Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, yang
bertujuan agar pasien tidak mual dan muntah karena obat-obat anestesi dapat merangsang
muntah pada pasien. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor Serotonin 5 –
Hydroxytriptamine (5HT3) selektif. 5HT3 merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat
toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus
menyampaikan rengsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan
kemudian terjadi mual muntah.
Kemudian dilakukan anestesi general kepada pasien dengan menggunakan Fentanyl,
Propofol. Fentanyl sebagai analgesik adalah analgesik narkotika yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anestesi maupun sebagai awalan anestesi. Fentanil memiliki
12
kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100 µg.
Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian, bisa menyebabkan rigiditas otot,
euforia, miosis, dan bradikardi. Profopol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis induksi
menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek
sedasi, tanpa disertai efek analgesik. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan
berlangsung cepat.
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan extirapasi fibroadenoma mamma.
Teknik anestesi yang dianjurkan adalah pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan
lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih
manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu
lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi
dalam jangka waktu lama. LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET
untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
Pada kasus ini digunakan maintenance N2O dan O2 dengan perbandingan 50:50 (N20
2 liter per menit : O2 2 liter per menit) serta isofluran vol 2 %.
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan bekerja secara
cepat dan dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta
mempunyai batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat
dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk kombinasi.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara intravena dan inhalasi.
Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan Tramadol 100 mg secara bolus IV.
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara
stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan
respon terhadap nyeri. Di samping itu juga menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf
aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibat impuls nyeri terhambat.
Ekstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien sadar. Namun sebelum LMA dilepas
dilakukan pembersihan jalan napas dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih
supaya pernapasan lancar, kemudian balon LMA dikempeskan selanjutnya baru dilepaskan.
13
Setelah ekstubasi dipasang guedel dan pasien tetap diberikan O2 selama kurang lebih 5-10
menit.
Terapi cairan durante operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat
yang merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di RR (Recovery Room). Tampak
kondisi pasien stabil, sadar penuh, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak tampak adanya
tanda syok, dan dilakukan penilaian aldrete score, hingga nilai > 8, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal).
Apakah penggunaan LMA pada pasien operasi fibroadenoma mamma sudah tepat?
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan pemasangan
LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding dengan pemasangan
Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan
lama operasi yang tidak begitu lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang
membutuhkan bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA sebagai alternatif dari
ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu
penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah kurang invasif, mudah
penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek laringospasme dan bronkospasme
minimal, dan tidak membutuhkan agen relaksasi otot untuk pemasangannya.
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan
memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini
tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan
besar.
Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management.
LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
14
Kontraindikasi:
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency
adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10
% dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah
aspirasi.
Komplikasi Pemakaian LMA
Clasic LMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi
lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya
resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia
hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %13 dimana insidensi
ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 % - 30 % ( Wakeling et
al ), 28,5 % dan sampai 42 % Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan
komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET. Namun clasic LMA
mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 –
20 cmH2O ) sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah.
Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas
dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada
15
kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi
respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama ventilasi
kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA
sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai
tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat
menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Gwinnut, Carl L. 2010. Anestesia Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
17