24842890 BAB I PENDAHULUAN 1 1 Latar Belakang Syndrome

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang digunakan unyuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keerlambatan perkembangan maturitas paru(Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di kenal denga nama hyaline membrane disease(HMD) atau penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukn membran hialin yang melapisi alveoli. RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lagir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum. 1.2 Rumusan Masalah 1

Transcript of 24842890 BAB I PENDAHULUAN 1 1 Latar Belakang Syndrome

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang digunakan unyuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keerlambatan perkembangan maturitas paru(Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di kenal denga nama hyaline membrane disease(HMD) atau penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukn membran hialin yang melapisi alveoli.

RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS.

Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lagir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan(matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang,maka dapat dirumuskan masalahnya Sindrom Gawat Napas

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan Umum :

Tujuan pembuatan makalah ini untuk memperoleh pengetahuan mengenai Sindrom Gawat Napas

1.3.2Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa/mahasiswi di Siti Khadijah mengenai Sindrom Gawat Napas.

2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/mahasiswi Siti Khadijah Palembang mengenai Sindrom Gawat Napas.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1Secara Teoritis

Menambah khasanah ilmu terutama dalam keperawatan khususnya mengenai respiratory distress syndrome.

1.4.2Secara Praktis

1. Bagi Kelompok

Untuk memperoleh pengalaman dan wawasan mengenai respiratory distress syndrome sehingga terpacu untuk meningkatkan potensi diri sehubungan dengan penaggulangan Sindrom Gawat Napas.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan bacaan dan menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa ilmu keperawatan dalam hal pemahaman perkembangan dan upaya pencegahan yang berhubungan dengan Sindrom Gawat Napas yang sebaiknya dimulai sedini mungkin.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DefinisiSindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi :1. Sindrom Distres Pernapasan Dewasa ( ARDS )

2. Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS )

ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.

Hyaline Membrane Disease dikenal juga sebagai respiratory distress sydrome yang idiopatik, merupakan keaadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu mengalami RDS.

Respiratory distres syndrome adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae.RDS adalah keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat atelektasis primer yang luas.

Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan memadai. Surfactan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory. Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan kegagalan pernafasan yang progresif.

Atelektasis primer mengacu kepada keadaan kolapsnya alveolus secara substansial yang dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsya alveolus maka ventilasi berkurang. Timbul hipoksia yang menyebabkan cedera paru dan terpacunya reaksi peradangan. Peradangan menyebabkan edema dan pembengkakkan ruang interstisium yang semakin menurunkan pertukaran gas antara kapiler dan alveolus yang masih berfungsi. Peradangan juga menyebabkan terbentuknya membran-membran hialin yang merupakan akumulasi fibrin putih di alveolus. Pengendapan fibrin tersebut semakin menurunkan pertukaran gas serta compliance paru maka usaha bernapas meningkat.

Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan V/Q dan vasokonstriksi arteriol paru. Vasokonstriksi paru dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan jantung kanan, sehingga terjadi pirau darah dari atrium kanan, melalui foramen ovale bayi baru lahir yang masih paten, langsung ke atrium kiri. Demikian juga, resistensi paru yang tinggi juga dapat menyebabkan darah deoksigenasi melewatkan paru dan langsung di salurkan ke sisi kiri tubuh melalui duktus arteriosus dan menyebabkan pirau kanan ke kiri. Pirau kanan ke kiri memperburuk keadaan hipoksia, sehingga timbul sianosis berat.

Untuk setiap usaha melakukan ventilasi pada alveolus yang kolaps, bayi harus mengeluarkan sejumlah besar energi. Pengeluaran energi tersebut akan diiringi oleh peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin memperah sianosis. Seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen bayi terperangkap dalam suatu siklus umpan balik positif.

Pada awalnya bayi akan memperlihatkan napas yang cepat dan dangkal sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi, sehinga pada analisis gas darah mula-mula terjadi alkalosisi respiratorik karena karbon dioksida terbuang. Namun, bayi akan segera kelelahan karena kesulitan mengembangkan alveolus dan parunya dan tidak dapat mempertahankan usaha respirasinya. Apabila hal ini terjadi, maka usaha bernapas melambat dan gas darah memperlihatkan asidosis respiratorik dan dimulainya kegagalan pernapasan.

Maka dijelaskan dengan skema ini

(((((((( Peningkatan Usaha Bernapas(((((( (

((

( (+

+( (

(

( ( ( Peningkatan Kebutuhan Oksigen ( ( (

Sewaktu usaha bernapas meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat yang kemudian meningkatkan usaha bernapas.

2.2Etiologi2.2.1IRDS

1. Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu) dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactant

2. Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar

3. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau prematur.

2.2.2ARDS

Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau alveolus.Namun karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan destruksi yang lain.Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel.contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.

1. Destruksi Kapiler

Apabila kerusakan berawal di membran kapiler,maka akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah keruangan interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus di tempuh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga kecepata pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan interstisium bergerak ke dalam alveolus,mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang di perlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas, sehingga compliance paru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan ventilasi dan hipoksia. Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septicemia, pancreatitis dan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan tenggelam juga dapat merusak kapiler.2. Destruksi Alveolus Apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.

Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin memyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin didalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progresif dan semakin mengurangi pertukaran gas.Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.

2.3Faktor Resiko

1. Prematuritas2. Kelompok bayi baru lahirSemakin prematur bayi semakin tinggi terjadi IRDS, sel-sel alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia gestasi antara 28 dan 32 minggu. Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :

Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-lipatIni merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan

Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembangMustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.

3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayi yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin. Tampaknya isulin yang disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan.

2.4Gambaran Klinis ( biasanya sejak lahir )

1. Dispnoe Berat

2. Penurunan Compliance Paru

3. Pernapasan yang dangkal dan cepat pada mulanya yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak terbang.

4. Peningkatan kecepatan penapasan

5. Kulit kehitaman akibat hipoksia

6. Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas

7. Napas cuping hidung

8. Banyak bayi selamat dari IRDS, dimana gejala mereda dan menghilang biasanya dalam 3 hari.

9. Takipnea ( > 60x/mnt)

10. Mendengkur

Didapatkan gejala lain seperti :1. Bradikardi2. Hipotensi 3. Kardiomegali4. Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki5. Hipotermi6. Tonus otot yang menurun2.5Patofisiologi

Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.

Surfaktan adalah substansi yang merendahkan teganagn permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu kesehatan anak, 1985 ).

Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tkanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya.pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arterious dn foramen ovale.

Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstruksi vaskularisasi pulmonal yag menimbulkan penurunan oksigenisasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobic. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas.

Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi alveolar , PaO2 akan menuru tajam, PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.

Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanna pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.

RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriosasi ( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.

2.6Pemeriksaan Diagnostik2.6.1Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik, seperti :

1. Darah2. Urine dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia )3. Kalsium serum ( untuk meningkatkan hipokalsemia )4. Analisis gas darah ( menentukan PH serum ) 5. PaO2 ( tes untuk hipoksia )2.6.2Diagnostik prenatal

Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan ( tes cairan amnion ) yang disebut rasio L/S ( lesitin banding spingomielin ). Rasio L/S ini berguna untuk menentukan maturitas paru. Fosfolipid disintesis di sel alveolar dan kinsentrasi dalam cairan amnion selalau berubah selama masa kehamilan. Pada mulanya spingomielin lebih banyak, tetapi kira-kira pada usia kehamilan 32-33 minggu konsenrasi menjadi seimbang kemudian spingomielin berkurang dan lesitin meningkat secara berarti sampai usia kehamilan 35 minggu dengan rasio 2:1.2.7Penatalaksanaan

2.7.1Keperawatan

1. Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan

Pencegahan Penyebab lain dari kematian bayi antara lain adalah perhatian terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi ditempatkan dan usaha-usaha untuk mencegah penganiyayaan anak.

2. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut penyakit, karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat diberikan melalui parenteral.3. Tindakan Pendukung yang Krusial

Mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat Mempertahankan keseimbangan asam-basa Mempertahankan suhu lingkungan netral Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat Mencegah hipotermia Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat

4. Pertimbangan Keperawatan

Dalam merawat bayi RDS perawat harus melakukan observasi cermat dan intensif, masalah kompleks yang berhubungan dengan terapi pernapasan harus diperhatikan terutama pengobatan yang kontinu terhadap hipoksemia dan asidosis. Fungsi keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi terhadap terapi, mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan yang akan menghambat saluran pernapasan dan srlang endotrakea (ET). Pengisapan hanya dilakukan bila diperlukan dan berdasarkan pertimbangan terhadap bayi tersebut. Pertimbangan terhadap pengisapan termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban paada selang ET dan kepekaan bayi.

Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus menyadari dan waspada tentang hal berikut.

Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat menyebabkan spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf fagal, hipoksia, dan peningkatan tekanan intracranial sehingga mendorong bayi pada keadaan hemoragi intraventrikular. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara rutin, tehnik pengisapan ini dapat menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan pneumotoraks.

Penting diperhatiakn bahwa pengisapan yang terus menerus akan ikut mengeluakan udara bersamaan dengan keluarnya mucus. Oleh karena itu sekali pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik ( pengisapan menyebabkan saluran udara terambat )

Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga terbukanya jalan napas, bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan di luar ET dapat menyebabkan lesi trauma pada trakea.

Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum, selama dan sesudah pengisapan untuk memberi penilaian yang terus menerus terhadap status oksigenisasi dan untuk menghindari hipoksemia.

2.7.2 Medis

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah :

1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan cairan paru3. Fenobarbital4. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik

6. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya adalah pemberian surfaktan eksogen.

Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya manusia ( di dapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa juga berbentuk surfakatan buatan )

2.8 Komplikasi

Sebagian bayi yang selamat dari RDS kemudian mengidap displasia bronkupulmonaris, yaitu suatu penyakit pernapasan kronik yang ditandai oleh pembentukkan jaringn parut di alveolus, peradangan alveolus dan kapiler, dan hipertensi paru.

Tanda-tanda dispnu dan hipoksia dapat berlanjut dan menyebabkan kelelahan, kegagalan pernapasan, dan kematian bayi, biasanya dalam 3 hari.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian1. Riwayat maternal

Menderita penyakit seperti diabetes mellitus

Kondisi seperti perdarahan placenta

Tipe dan lamanya persalinan

Stress fetal atau intrapartus

2. Status infant saat lahir

Prematur, umur kehamilan

Apgar score, apakah terjadi aspiksia

Bayi prematur yang lahir melalui operasi Caesar

3. Cardiovaskular

Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat

Murmur sistolik

Denyut jantung dalam batas normal

4. Integumen

Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral

Pitting edema pada tangan dan kaki

Mottling

5. Neurologis

Immobilitas, kelemahan, flaciditas

Penurunan suhu tubuh

6. Pulmonary

Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 100 x )

Nafas grunting

Nasal flaring

Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal

Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase desaturasi hemoglobin

Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea7. Pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS, gejala tersebut dapat terjadi pada saat kelahiran atau antara waktu 2 jam. Perkembangan penyakit terjadi dengan cepat yang dimulai dengan Takipnea Pernapaan mendengkur Retraksi sukostal atau interkostal Sianosis dan pucat Meningkatnya gejala lapar udara Gerakan tubuh berirama Sentakan dagu Awalnya suara napas normal kemudian pernapasan dalam.

3.2Diagnosa Keperawatan

1. Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan vintilasi alveolar

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus

3. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insesible

4. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis

3.3Intervensi dan Rasionalisasi1. Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan vintilasi alveolar

Tujuan 1 : Tanda dan gejala disstres pernafasan, deviasi dari fungsi dan resiko infant terhadap RDS dapat teridentifikasiIntervensiRasional

1. Kaji infant yang beresiko mengalami RDS yaitu :

Riwayat ibu dengan daibetes mellitus atau perdarahan placenta Prematuritas bayi Hipoksia janin Kelahiran melalui operasi caesarPengkajian diperlukan untuk menentukan intervensi secepatnya bila bayi menunjukkan adanya tanda disstres nafas dan terutama untuk memperbaiki prognosa

2. Kaji perubahan status pernafasan termasuk :

Takipnea (pernafasan diatas 60 x per menit, mungkin 8 100 x) Nafas grunting Nasal flaring Retraksi intercostal, suprasternal atau substernal dengan penggunaan otot bantu nafas Cyanosis Episode apnea, penurunan suara nafas dan adanya craklesPerubahan tersebut mengindikasikan RDS telah terjadi, panggil dokter untuk tindakan secepatnya

Pernafasan bayi meningkat karena peningkatan kebutuhan oksigen Suara ini merupakan suara keran penutupan glotis untuk menghentikan ekhalasi udara dengan menekan pita suara Merupakan keadaan untuk menurunkan resistensi dari respirasi dengan membuka lebar jalan nafas Retraksi mengindikasikan ekspansi paru yang tidak adekuat selama inspirasi Cyanosis terjadi sebagai tanda lanjut dengan PO2 dibawah 40 mmHg Episode apneu dan penurunan suara nafas menandakan distress nafas semakin berat

3. Kaji tanda yang terkait dengan RDS

Pallor dan pitting edema pada tangan dan kaki selama 24 jam Kelemahan otot Denyut jantung dibawah 100 x per menit pada stadium lanjut Nilai AGD dengan PO2 dibawah 40 mmHg, pco2 diatas 65 mmHg, dan pH dibawah 7,15

Tanda-tanda tersebut terjadi pada RDS

Tanda ini terjadi karena vasokontriksi perifer dan penurunan permeabilitas vaskuler Tanda ini terjadi karena ekshaution yang disebabkan kehilangan energi selama kesulitan nafas Bradikardia terjadi karena hipoksemia berat Tanda ini mengindikasikan acidosis respiratory dan acidosis metabolik jika bayi hipoksik

4. Monitor PO2 trancutan atau nilai pulse oksimetri secara kontinyu setiap jamNilai PO2 traskutan dan pulse oksimetri non invasif menunjukkan prosentase oksigen saat inspirasi udara.

Tujuan 2. Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi pulmonal

IntervensiRasional

1. Berikan kehangatan dan oksigen sesuai dengan sbb

Oksigen yang dihangatkan 31,7C 33,9C Humidifikasi 40% 60%Untuk mencegah terjadinya hipotermia dan memenuhi kebutuhan oksigen tubuh

2. Berikan pancuronium bromide (Pavulon)

Obat ini berguna sebagai relaksan otot untuk mencegah injury karena pergerakan bayi saat ventilasi

3. Tempatkan bayi pada lingkungan dengan suhu normal serta monitor temperatur aksila setiap jamLingkungan dengan suhu netral akan menurunkan kebutuhan oksigen dan menurunkan produksi CO2.

4. Monitor vital signs secara kontinyu yaitu denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, serta auskultasi suara nafasPerubahan vital signs menandakan tingkat keparahan atau penyembuhan

5. Observasi perubahan warna kulit, pergerakan dan aktivitasKarena perubahan warna kulit, pergerakan dan aktivitas mengindikasikan peningkatan metabolisme oksigen dan glukosa. Informasi yang penting lainnya adalah perubahan kebutuhan cairan, kalori dan kebutuhan oksigen.

6. Pertahankan energi pasien dengan melakukan prosedur seefektif mungkin.Mencegah penurunan tingkat energi infant

7. Monitor serial AGD seperti PaO2, PaCo2, HCO3 dan pH setiap hari atau bila dibutuhkanPerubahan mengindikasikan terjadinya acidosis respiratorik atau metabolik

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.

Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi

IntervensiRasional

1. Berikan infus D 10% W sekitar 65 80 ml/kg bb/ hari

Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral

2. Pasang selang nasogastrik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambungPilihan ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.

3. Cek lokasi selang NGT dengan cara : Aspirasi isi lambung Injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung Letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selang tidak akan memproduksi gelembungUntuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan

4. Berikan makanan sesuai dengan prosedur berikut : Elevasikan kepala bayi

Berikan ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6 8 inchi dari kepala bayi Berikan makanan dengan suhu ruangan Tengkurapkan bayi setelah makan sekitar 1 jamMemberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi

5. Berikan TPN jika diindikasikan

TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel sounds tidak ada dan infants berada pada stadium akut.

3.Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insesibleTujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

IntervensiRasional

1. Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 100 ml/kg bb/hariPenggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan

2. Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan pemanas dan jumlah feedings

Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan

3. Pertahankan tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump

Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.

4. Monitor intake cairan dan output dengan cara : Timbang berat badan bayi setiap 8 jam Timbang popok bayi untuk menentukan urine output

Tentukan jumlah BAB Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hariCatatan intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak seimbangan cairan sebagai dasar untuk penggantian cairan

5. Lakukan pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam

Peningkatan tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya dehidrasi dan potensial ketidakseimbangan elektrolit

4.Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi kritisTujuan : Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung bounding antara orangtua dan infantIntervensiRasional

1. Kaji respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan koping mekanismeHal ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang efektif

2. Bantu orangtua mengungkapkan perasaannya secara verbal tentang kondisi sakit anaknya, perawatan yang lama pada unit intensive, prosedur dan pengobatan infantMembuat orangtua bebas mengekpresikan perasaannya sehingga membantu menjalin rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan

3. Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembangan infantInformasi dapat mengurangi kecemasan

4. Bila mungkin, anjurkan orangtua untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam perawatan anaknyaMemfasilitasi proses bounding

5. Rujuk pasien pada perawat keluarga atau komunitasRujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu orangtua menghadapi keadaan sakit kronis pada anaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Surasmi, Asrinin. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC

http://hyaline.membrane.disease/respiratory.distress.syndrome.blogspod.com/html

Sabtu : 25-10-2009/11.15 WIB

PAGE 9