BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar...

14
1 BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, collaborative governance (tata kelola pemerintahan kolaboratif) menjadi trend dan fenomena baru yang menarik diteliti dan dikaji. Collaborative governance sendiri telah dikembangkan selama dua dekade terakhir (Ansell dan Gash, 2007: 543). Di Indonesia, anjuran untuk melibatkan multipihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam manajemen dan kebijakan publik sektor lingkungan hidup tersirat dalam beberapa regulasi pemerintah. Salah satunya adalah UU No. 32 / 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inisiasi pemerintahan berpola collaborative governance terlihat terus berkembang di berbagai daerah seiring dengan adanya agenda otonomi daerah. Pernyataan ini berdasar pada potret pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar yang mengikutsertakan pihak swasta dan masyarakat secara aktif mulai dari formulasi sampai evaluasi program green and clean (hijau dan bersih). Praktek yang dilakukan dalam program green and clean lebih dari sekedar pola kerjasama pemerintah swasta (KPS) sebagaimana yang sering dilakukan oleh pemerintah dalam perencanaan proyek infrastruktur. Konsep dan prinsip collaborative governance yang diterapkan di berbagai negara atau daerah relatif sama. Adapun yang membedakannya terletak pada sektornya, tujuannya, strukturnya, prosesnya dan dampaknya. Dengan adanya

Transcript of BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, collaborative governance

(tata kelola pemerintahan kolaboratif) menjadi trend dan fenomena baru yang

menarik diteliti dan dikaji. Collaborative governance sendiri telah dikembangkan

selama dua dekade terakhir (Ansell dan Gash, 2007: 543). Di Indonesia, anjuran

untuk melibatkan multipihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam

manajemen dan kebijakan publik sektor lingkungan hidup tersirat dalam beberapa

regulasi pemerintah. Salah satunya adalah UU No. 32 / 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inisiasi pemerintahan berpola collaborative

governance terlihat terus berkembang di berbagai daerah seiring dengan adanya

agenda otonomi daerah. Pernyataan ini berdasar pada potret pengelolaan dan

pengendalian lingkungan hidup di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya,

Medan dan Makassar yang mengikutsertakan pihak swasta dan masyarakat secara

aktif mulai dari formulasi sampai evaluasi program green and clean (hijau dan

bersih). Praktek yang dilakukan dalam program green and clean lebih dari

sekedar pola kerjasama pemerintah swasta (KPS) sebagaimana yang sering

dilakukan oleh pemerintah dalam perencanaan proyek infrastruktur.

Konsep dan prinsip collaborative governance yang diterapkan di berbagai

negara atau daerah relatif sama. Adapun yang membedakannya terletak pada

sektornya, tujuannya, strukturnya, prosesnya dan dampaknya. Dengan adanya

2

perbedaan tersebut, tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk dipahami lebih

lanjut. Terutama pada kasus yang terjadi di tingkat kabupaten atau kota.

Komitmen, kepercayaan dan kewenangan diantara kolaborator di setiap daerah

selalu memiliki dinamika tersendiri. Ada lokalitas kedaerahan yang memicu

munculnya perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Mengkaji suatu

kasus tata pemerintahan berbasis collaborative governance dimaksudkan untuk

mengetahui potret best practices (praktek-praktek terbaik) dan worst practices

(praktek-praktek terburuk). Alasan utama mengkaji fenomena MGC beranjak dari

kesadaran bahwa collaborative governance merupakan instrumen kebijakan

publik (Gray dkk, 2003: 8).

Praktek pemerintahan yang terjadi dalam program Makassar Green and

Clean (MGC) berbasis collaborative governance. Alasan mendasar mengklaim

MGC sebagai wujud dari collaborative governance karena program ini

melibatkan organ pemerintah dan non pemerintah aktif bekerjasama. Ini

mencirikan praktek governance. Disamping itu, isu-isu seperti kepercayaan,

kesepahaman, komitmen, kepemimpinan, kelembagaan dan sumber daya tampak

dalam program MGC. Ini mencirikan sebuah praktek collaborative. Jadi, aktivitas

collaborative governance ada dalam program MGC. Program MGC diinisiasi oleh

Yayasan Peduli Negeri (YPN), Pemerintah Kota Makassar dan PT Unilever

Indonesia pada tahun 2008. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti melalui kolaborasi

dengan Media Fajar dan PT Pertamina. Dalam kolaborasi tersebut, komunitas

masyarakat dilibatkan secara aktif sebagai fasilitator dan kader lingkungan. Untuk

3

selanjutnya, pada tahun 2010 dibentuk Forum Kampung Bersih dan Hijau

(FORKASIH) sebagai paguyuban masyarakat.

Praktek collaborative governance dalam program MGC 2008 – 2013

dinilai memiliki pengaruh terhadap situasi dan kondisi lingkungan hidup di kota

Makassar. Ikatan kesepahaman antara kolaborator yang tetap utuh selama kurang

lebih enam tahun menjadi catatan tersendiri. Program berbasis collaborative

governance tingkat lokal yang mampu eksis selama enam tahun merupakan

pencapaian yang patut di apresiasi. Keterlibatan aktif komunitas masyarakat

sebagai bagian dari program memberi nuansa yang lebih unik. Program MGC

dianggap mampu merubah pola pikir masyarakat kota Makassar dalam mengelola

lingkungan hidup. Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dimaksud yakni

penghijauan pemukiman dan pengelolaan sampah. Program MGC mampu

mendorong kota Makassar memperoleh Sertifikat Adipura tahun 2010 dan Piala

Adipura tahun 2013. Mengaitkan antara program MGC dengan penghargaan

Adipura berdasar pada pernyataan Walikota Makassar. Walikota Makassar (2009

- 2014), Ilham Arief Sirajuddin, mengatakan bahwa MGC terbukti turut andil atas

penghargaan sertifikat Adipura 2010 yang diraih kota Makassar

(www.makassartv.co.id). Program yang salah satunya mengantarkan Makassar

meraih piala Adipura 2013 adalah program MGC (www.fajar.co.id).

Namun, terjadi dinamika tersendiri pada hasil program MGC 2008 – 2013

di tingkat RW sebagai praktek pelaksanaan collaborative governance. Hasil

pelaksanaan program di wilayah yang menjadi lokasi MGC terbagi menjadi dua

bagian. Ada yang tergolong berhasil. Adapula yang tergolong kurang atau tidak

4

berhasil. Beberapa RW yang menjadi wilayah MGC mampu eksis secara

berkelanjutan, begitupun sebaliknya. Terjadinya dua fenomena tersebut pada

suatu program lingkungan hidup di kota Makassar menarik dikaji secara

komparatif. Minimal beranjak dari penelitian ini dapat diketahui mengapa pada

wilayah tertentu berhasil dengan baik (jangka pendek dan jangka panjang) dan

pada beberapa wilayah kurang atau tidak berhasil dengan baik (jangka pendek dan

jangka panjang). Cakupan hasil yang dimaksud dikaitkan dengan kondisi fisik dan

non fisik lingkungan hidup kota Makassar selama program MGC

diimpementasikan. Pelaksanaan dan hasil program MGC sebagai wujud

collaborative governance penting diketahui ruang lingkupnya supaya pengetahuan

terhadap kasus lebih komprehensif. Penelitian ini tidak fokus pada lingkup best

practices atau worst practices secara parsial. Lebih pada studi komparasi antara

yang baik dan buruk agar dapat diketahui semua hal yang terkait dengan hasil

collaborative governance pada program MGC.

Secara umum, pelaksanaan upaya penghijauan dan pengelolaan sampah

dapat dilakukan karena governance melingkupi Pemerintah Kota Makasar, PT

Unilever Indonesia, Media Fajar dan Yayasan Peduli Negeri serta FORKASIH

dalam program MGC mampu berkolaborasi. Prinsip governance dalam sektor

lingkungan hidup merupakan suatu keharusan karena upaya kerjasama dan

hubungan sinergis mutlak ada di antara domain governance menurut Budiati

(2012: 5). Desain kolaborasi public-private-society dalam tata kelola lingkungan

merupakan salah satu penjabaran lanjutan dari konsep governance. Organisasi

pemerintah dan non pemerintah sudah mulai mengedepankan apa yang disebut

5

tata kelola kolaboratif sektor lingkungan hidup (collaborative environmental

governance). Pada dasarnya collaborative governance dalam program MGC bisa

terwujud karena program lingkungan hidup Pemerintah Kota Makassar bersinergi

dengan aksi corporate social responsibility (CSR) PT Unilever Indonesia dan

Media Fajar. Juga bersinergi dengan gerakan peduli lingkungan Yayasan Peduli

Negeri. Biddle (2011: 9) menyebutkan bahwasanya banyak peneliti telah

menyarankan collaborative governance diantisipasi untuk membawa hasil

lingkungan yang membaik.

Ruang lingkup dari praktek collaborative governance dalam program

MGC erat kaitannya dengan desentralisasi urusan lingkungan hidup. Program

MGC sendiri tetap eksis karena adanya dukungan dari sistem desentralisasi

lingkungan. Seiring dengan eksisnya program MGC, penting untuk diketahui

bahwa berdasar hasil peninjauan pelaksanaan otonomi daerah lingkungan hidup

oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2013), ada beberapa masalah yang

masih dihadapi selama pelaksanaan desentralisasi lingkungan seperti:

1. Kebijakan atau peraturan pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup

(PPLH) daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi

kepala daerah yang kurang terhadap lingkungan.

2. Sarana dan prasarana atau infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan

sebagainya) yang belum memasdai.

3. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) lingkungan hidup secara

kualitas dan kuantitas yang belum memadai.

4. Pengalokasian anggaran yang sangat terbatas.

6

5. Iklim politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.

Kelima poin tersebut merupakan deskripsi umum problem pengelolaan

lingkungan hidup di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ternyata banyak

problematika yang belum terselesaikan di berbagai daerah. Bahkan masalah demi

masalah terus bermunculan secara perlahan dan pasti. Meskipun gambaran

umumnya demikian, pastinya tidak semua kabupaten atau kota memiliki semua

masalah sebagaimana yang dijelaskan. Penjelasan masalah desentralisasi

lingkungan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bersifat universal di

seluruh pemerintah daerah. Kalaupun mayoritas daerah mengalami persoalan

sebagaimana yang disebutkan, tentu tingkatannya berbeda-beda antar pemerintah

daerah. Ada pemerintah daerah yang mengalami semua persoalan yang

diutarakan. Ada pemerintah daerah yang hanya mengalami beberapa saja.

Adapula pemerintah daerah yang tidak mengalami satu masalah pun. Peluang

bervariasinya tingkatan masalah dikarenakan setiap pemerintah daerah memiliki

kelebihan dan kekurangan dalam mengelola urusan lingkungan hidup didaerahnya

masing-masing.

Keberpihakan Pemerintah Kota Makassar dalam mengelola lingkungan

hidup dibuktikan dengan dieksiskannya program MGC dari 2008 sampai 2013

secara berkelanjutan. Selain itu, keseriusan pemerintah dalam membuat regulasi

terkait lingkungan hidup dibuktikan pula dengan dibuatnya beberapa regulasi

seperti Peraturan Walikota Makassar No. 37 / 2010 tentang Upaya Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Surat

Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan

7

Peraturan Daerah Kota Makassar No. 4 / 2011 tentang Pengelolaan Sampah.

Terkait regulasi, saat ini sedang dirampungkan Peraturan Daerah untuk merevisi

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang No. 25 /1997

tentang Penghijauan Dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung

Pandang. Guna mendukung tata kelola lingkugan hidup kota Makassar, pada

tahun 2009 dibentuk Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar

untuk membantu Dinas Pertamanan dan Kebersihan (DPK) Kota Makassar.

Kunci kesuksesan atau kegagalan upaya penghijauan pemukiman dan

pengelolaan sampah banyak ditentukan oleh kepiawaian pemerintah daerah

sebagai pemegang otoritas kewilayahan. Kemampuan daerah memperadakan

program berbasis collaborative governance seperti MGC menjadi nilai tambah

tersendiri. Pemerintah bukan lagi aktor tunggal pembangunan. Patut di apresiasi

daerah yang tidak menjadikan pemerintahnya sebagai aktor tunggal dalam

manajemen publik. Terutama sektor lingkugan lingkungan hidup yang memang

sangat sulit diselesaikan tanpa pelibatan multipihak. Kondisi lingkungan yang

memprihatinkan dari tahun ke tahun perlu ditanggulangi semaksimal mungkin.

Aturan perundang-undangannya sangat jelas diatur dalam UU No. 32 / 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang

tersebut menuntut keikutsertaan semua kalangan dalam pengendalian lingkungan.

Beberapa asas yang ditekankan yakni partisipatif, kearifan lokal, tata kelola

pemerintahan yang baik dan otonomi daerah. Undang-undang ini mempertegas

landasan yuridis pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

8

Pembahasan terkait manajemen dan kebijakan publik sektor lingkungan

hidup dengan mengaitkannya dengan collaborative governance dalam program

MGC berarti muatan utamanya adalah interkorelasi Pemerintah Kota Makassar,

PT Unilever Indonesia, Media Fajar, Yayasan Peduli Negeri dan juga

FORKASIH. Tentunya ada hal pendukung dan penghambat yang turut mengiringi

program atau kegiatan lingkungan yang melibatkan multi pihak. Dinamika yang

baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam tata kelola akan menjadi pemicu

keberhasilan collaborative governance. Sebaliknya, dinamika yang buruk dari

pihak-pihak yang terlibat akan menjadi pemicu kegagalan collaborative

governance. Untuk menentukan baik atau buruknya suatu hubungan pemerintah,

swasta dan masyarakat, dapat dikaji pada proses keterlibatan, motivasi dan

kapasitas kolaborator selama program MGC dilaksanakan. Ketiganya merupakan

bahan kajian yang menarik. Oleh Emerson, dkk (2011) menyebutnya sebagai

dinamika collaborative governance.

Collaborative governance sektor lingkungan terkadang masih

diperbincangkan, antara substansi atau simbol (Rodrigue, Magnan dan Cho,

2012). Adapun praktek kolaborasi yang dilakukan oleh banyak pihak pada

program MGC telah mengindikasikan adanya pengutamaan muatan substansi.

Adanya sesuatu hal yang dihasilkan terhadap kolaborator dan kondisi lingkungan

hidup menjadi alasan mendasarnya, meskipun belum merata berhasil di seluruh

wilayah yang menjadi area pelaksanaan program. Collaborative governance yang

dilakukan sudah cukup tepat untuk dijadikan sebagai bahan penelitian pada kasus

kolaboratif dalam pembangunan berkelanjutan. Ini mengingat masih jarang daerah

9

yang mengelola lingkungannya dengan mengedepankan praktek collaborative

governance. Dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHD) 2012 dijelaskan

peranan multipihak pihak terdiri dari dunia usaha, Badan Usaha Milik Nnegara

(BUMN), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat hukum ada, media,

perguruan tinggi dan masyarakat luas dalam mengelola lingkungan hidup.

Sayangnya, laporan SLHD tersebut belum menjelaskan satu sub bab pun tentang

sejauhmana eksistensi kerjasama yang dilakukan pihak-pihak tersebut. Sementara

itu, penting untuk disadari bahwa aksi dalam penghijauan dan pengelolaan

sampah dapat berimpak pada kualitas lingkungan hidup.

Kolaborasi dalam pengelolaan lingkungan penting digalakkan mengingat

situasi dan kondisi lingkungan hidup di kota Makassar masih memprihatinkan.

Secara khusus SLHD Kota Makassar 2013 merilis bahwa :

1. Pencemaran air limbah akibat sampah domestik dari rumah tangga

menunjukkan kecenderungan naik. Kanal, sungai dan laut mengalami

pencemaran dari limbah industri.

2. Pencemaran udara terus terjadi yang disebabkan oleh emisi aktivitas

industri, transportasi dan timbulan sampah dalam jumlah besar.

Data SLHD Kota Makassar 2013 minimal mengingatkan kepada semua

pihak untuk turut mengambil bagian. Oleh karena konteks sebab akibat masalah

lingkungan bersumber dari berbagai kalangan maka pengendaliannya jangan

diparsialkan. Bagaimanapun juga, masalah lingkungan sulit ditangani oleh satu

pihak. Pengendalinya bukan hanya pemerintah melainkan juga pihak swasta dan

masyarakat. Secara umum pemerintahan yang melibatkan pemerintah, swasta dan

10

masyarakat pada sektor lingkungan dikenal dengan konsep environmental

governance (tata kelola lingkungan). Pergeseran paradigma dari sentralisasi ke

desentralisasi lingkungan dan dari environmental government ke environmental

governance merupakan suatu hal yang bersifat transformatif sekaligus reformis.

Dengan demikian, suatu keharusan atau kewajiban bagi pemerintah daerah

bersama swasta dan masyarakat setempat untuk menunaikan amanat negara

dengan maksimal. Perubahan teks mesti seiring dengan perubahan konteks.

Wujud nyata dari environmental governance diperlukan dalam pembangunan

berkelanjutan.

Suatu collaborative governance sektor lingkungan hidup baik apabila

semua pihak bisa bekerjasama tanpa konflik dan aksinya memunculkan perbaikan

lingkungan hidup. Fenomena itulah yang mengemuka sehingga hal tersebut

penting untuk dikaji lebih lanjut. Secara ringkas, pemilihan telaah pada program

MGC 2008 – 2013 di kota Makassar didasarkan pada beberapa alasan berikut :

1. Program MGC melibatkan pemerintah, perusahaan, media, lembaga

swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat. Sebuah wujud dari

collaborative environmental governance. Interkorelasi antara pihak

memunculkan fakta sosial yang menarik diteliti dan dikaji dalam sudut

pandang manajemen dan kebijakan publik.

2. Program serupa juga dilaksanakan di beberapa kota besar meliputi

Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung, Banjarmasin,

Balikpapan, Manado dan Denpasar. Pelaksanaan di kota Makassar

11

memiliki karakteristik tersendiri sehingga penting untuk diketahui dengan

pendekatan studi kasus.

3. Program MGC telah dijadikan program unggulan Pemerintah Kota

Makassar sejak tahun 2008 dalam rangka menyelesaikan masalah

lingkungan kota. Selama pelaksanaannya, ada dinamika collaborative

governance yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, secara khusus

terkait isu-isu collaborative governance seperti komunikasi, komitmen dan

kepemimpinan.

4. Program MGC menekankan upaya penghijauan dan kebersihan

(pengelolaan sampah) kota Makassar. Sejak program dirintis, ada dampak

yang dirasakan terhadap perbaikan lingkungan hidup. Khususnya

penghijauaan dan pengelolaan sampah.

5. Program MGC di Makassar diklaim sebagai pelopor sekaligus

percontohan praktek collaborative environmental governance di Indonesia

bagian timur. Dalam konteks ini, ada fenomena yang menarik diketahui

dan dikembangkan agar kelebihannya bisa dimaksimalkan dan

kelemahannya bisa diminimalisir.

Pada prinsipnya collaborative environmental governance sangat penting

untuk diteliti sebagai bagian dari kepedulian terhadap instrumen kebijakan dan

tata kelola lingkungan hidup daerah. Penelitian terhadap fenomena-fenomena

sosial dari aspek collaborative governance yang terjadi dalam program MGC

menarik dan tepat bila ditinjau dari disiplin ilmu administrasi negara atau

manajemen dan kebijakan publik. Sebagaimana diketahui bahwa collaborative

12

governance merupakan instrumen kebijakan publik sekaligus desain manajemen

publik. Baik atau buruknya collaborative environmental govenrnance akan

menjadi catatan dalam pengelolaan lingkungan hidup masa kini dan masa akan

datang. Oleh karena itu, peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul

‘Collaborative Governance Dalam Program Makassar Green and Clean

(MGC) 2008 – 2013’. Secara spesifik peneliti mengkaji ruang lingkup dari

kolaborasi dalam tata kelola lingkungan hidup (collaborative environmental

governance). Peneliti fokus pada dinamika isu dan aksi para kolaborator.

Kemudian diakaitkan dengan hasil dari aksi yang dilakukan terhadap perbaikan

lingkungan hidup. Oleh karena kolaborasi terkait dengan sektor lingkungan hidup

maka pembahasannya erat kaitannya dengan upaya penghijauan dan pengelolaan

sampah.

I.B. Pertanyaan Penelitian

Secara umum, penelitian ini mengarah pada kajian environmental

governance di era desentralisasi. Untuk selanjutnya penelitian fokus pada

collaborative governance dengan studi kasus pada program MGC di kota

Makassar. Setelah memahami kolaborasinya, selanjutnya ditelaah dampaknya

terhadap lingkungan perkotaan. Beranjak dari hal tersebut, peneliti merangkum 2

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana berlangsungnya collaborative governance dalam program

Makassar Green and Clean (MGC) 2008 – 2013 ?

13

2. Sejauhmana collaborative governance tersebut menghasilkan kondisi

lingkungan perkotaan yang lebih baik ?

I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Baik dalam teori maupun praktek, collaborative governance sektor

lingkungan merupakan suatu hal yang menarik sehingga peneliti mencoba

mengkaji dalam satu penelitian dengan tujuan tertentu. Penelitian ini bermaksud

untuk mengkaji dan mengembangkan studi manajemen dan kebijakan publik yang

terkait dengan praktek kolaborasi. Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai

berikut:

1. Mengetahui collaborative governance dalam program Makassar Green

and Clean (MGC) 2008 – 2013.

2. Mengetahui sejauhmana collaborative governance tersebut memperbaiki

kondisi lingkungan perkotaaan.

Suatu penelitian diharapkan mempunyai manfaat bagi dunia akademisi dan

praktisi. Oleh karena studi administrasi publik, manajemen publik dan kebijakan

publik berbentuk ilmu terapan dan penelitian ini berbentuk kajian akademik maka

kemanfaatan penelitian pada aspek teori dan praktek sudah menjadi keharusan.

Bagaimanapun juga, hasil dari penelitan ini tetap berorientasi pada pengembangan

konsep dan aplikasi. Berikut manfaat yang diharapkan berdasar kategorinya:

1. Dalam aspek akademik, penelitian ini mengembangkan kerangka

collaborative governance sektor lingkungan sehingga membantu para

ilmuwan atau akademisi dalam mengkaji pola hubungan antara pemerintah

14

daerah, swasta dan masyarakat lokal dalam menyelesaikan masalah

lingkungan. Juga memberi tambahan referensi ilmu pengetahuan dalam

studi manajemen dan kebijakan publik atau administrasi publik serta ilmu

pemerintahan.

2. Dalam aspek praktis, penelitian ini dapat membantu pemerintah daerah,

swasta dan masyarakat lokal dalam memformulasikan,

mengimplementasikan dan mengevaluasi upaya pengendalian dan

perlindungan lingkungan hidup. Juga dapat dijadikan sebagai salah satu

pedoman atau pertimbangan dalam pembuatan program hijau (green) dan

bersih (clean) berbasis kota berkelanjutan di Indonesia.