II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoretis 2.1.1. Konsep ... · Gender dapat menentukan akses...

45
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoretis 2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan merupakan hal yang penting karena terkait masalah pembangunan yang tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor sosial budaya dan lingkungan. Keseluruhan faktor ini akan menentukan posisi dan bentuk hubungan laki-laki dan perempuan selaku sasaran pembangunan. Dalam hal ini pemahamanan nilai gender oleh para perencana pembangunan dengan sendirinya akan turut mempengaruhi pendekatan dan orientasi program pembangunan untuk laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus (Hubeis, 2010). Membicarakan persoalan gender berarti membahas persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dipertautkan dengan pembagian kerja dan tanggung jawab. Pembahasan tersebut kerap diacu pada pembedaan biologis yang merupakan produk kodrati yang dibawa oleh setiap anak manusia. Belakangan ini, persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki tidak lagi sekedar dilihat dari perbedaan biologis tetapi juga dilihat dari nilai-nilai sosial historis dan budaya, lingkungan sosial ekonomi dan politik sebagai suatu proses pembelajaran sosial yang eksis di masyarakat (Hubeis, 2010). Membedakan relasi sosial antara lelaki dan perempuan dari acuan biologis dan acuan pembelajaran sosial merupakan sesuatu yang sulit dicari garis pemisahnya secara jelas karena keduanya bersifat saling melengkapi. Namun, perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki apapun wujudnya merupakan pusat perhatian analisis gender. Untuk memahami persoalan gender perlu dipahami dahulu pengertian gender dan seks (jenis kelamin). Menurut Sugiarti dan Handayani (2008), seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan, dan bersifat kodrati, misalnya adalah bentuk tubuh dan alat reproduksi. Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor- faktor sosial, agama, budaya, bahkan kekuasaan negara sehingga lahir beberapa

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoretis 2.1.1. Konsep ... · Gender dapat menentukan akses...

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoretis

2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender

Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan

merupakan hal yang penting karena terkait masalah pembangunan yang tidak

hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor sosial budaya

dan lingkungan. Keseluruhan faktor ini akan menentukan posisi dan bentuk

hubungan laki-laki dan perempuan selaku sasaran pembangunan. Dalam hal ini

pemahamanan nilai gender oleh para perencana pembangunan dengan sendirinya

akan turut mempengaruhi pendekatan dan orientasi program pembangunan untuk

laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus (Hubeis, 2010).

Membicarakan persoalan gender berarti membahas persoalan relasi sosial

antara perempuan dan laki-laki yang dipertautkan dengan pembagian kerja dan

tanggung jawab. Pembahasan tersebut kerap diacu pada pembedaan biologis yang

merupakan produk kodrati yang dibawa oleh setiap anak manusia. Belakangan ini,

persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki tidak lagi sekedar dilihat

dari perbedaan biologis tetapi juga dilihat dari nilai-nilai sosial historis dan

budaya, lingkungan sosial ekonomi dan politik sebagai suatu proses pembelajaran

sosial yang eksis di masyarakat (Hubeis, 2010).

Membedakan relasi sosial antara lelaki dan perempuan dari acuan biologis

dan acuan pembelajaran sosial merupakan sesuatu yang sulit dicari garis

pemisahnya secara jelas karena keduanya bersifat saling melengkapi. Namun,

perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki apapun wujudnya merupakan

pusat perhatian analisis gender.

Untuk memahami persoalan gender perlu dipahami dahulu pengertian

gender dan seks (jenis kelamin). Menurut Sugiarti dan Handayani (2008), seks

adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada

jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan, dan bersifat kodrati,

misalnya adalah bentuk tubuh dan alat reproduksi. Sedangkan gender adalah sifat

yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-

faktor sosial, agama, budaya, bahkan kekuasaan negara sehingga lahir beberapa

10

anggapan peran sosial laki-laki dan perempuan. Prosesnya cukup panjang

sehingga gender lambat laun seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan tidak

dapat diubah lagi. Padahal sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan,

berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antar tempat.

Selanjutnya menurut Mosse (1993), gender menentukan kehidupan

individu ke depannya. Gender dapat menentukan akses terhadap pendidikan,

pekerjaan dan sumber daya. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup,

dan kebebasan gerak. Gender akan menentukan hubungan dan kemampuan kita

untuk membuat keputusan. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor

terpenting dalam membentuk individu akan menjadi apa nantinya.

2.1.2. Landasan Hukum Kesadaran Gender

Konferensi Internasional pertama tentang perempuan diselenggarakan di

Mexico City pada tahun 1975. Pada konferensi itu hak-hak perempuan

dibicarakan sebatas upaya meninjau kembali aturan/perundangan yang ada sesuai

dengan instrumen internasional yang ada dan bagaimana memperkuatnya. Di

konferensi internasional di Mexico City ini untuk pertama kalinya dilaksanakan

pertemuan NGO internasional yang berlangsung secara paralel dengan pertemuan

resmi delegasi antarnegara.

Topik-topik yang dibicarakan pada konferensi pertama adalah peningkatan

partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, perlakuan yang lebih baik terhadap

tenaga kerja perempuan yang mencerminkan prinsip-prinsip dalam konfensi ILO,

kesehatan dan pendidikan, konsep keluarga dalam masyarakat modern,

kependudukan dan tren demografi, perumahan dan berbagai fasilitas yang

berhubungan dengan itu, dan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi situasi

sosial seperti kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial,

perempuan migran, orang tua, kriminalitas perempuan, prostitusi, dan trafficking.

Konferensi ini menghasilkan world plan for action, yaitu suatu program

untuk jangka waktu sepuluh tahun. Sasarannya adalah agar dalam jangka waktu

sepuluh tahun tersebut perempuan dapat mencapai kemajuan sehingga dapat

berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan pembangunan.

Konferensi internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen pada

Tahun 1980. Tema yang dibahas dalam konferensi adalah “ pekerjaan, kesehatan,

11

dan pendidikan”. Hal terpenting dari konferensi kedua ini adalah diadopsinya

“konvensi perempuan” sebagai dokumen internasional yang dapat diratifikasi oleh

negara-negara anggota PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 165

negara anggota PBB.

Konvensi ini merupakan dokumen internasional yang penting dalam

menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum bagi

perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam

lingkup domestik dan dalam lingkup keluarga. Konvensi ini mencerminkan

seperangkat nilai dan norma sekaligus instrumen yang prinsip-prinsipnya

memungkinkan dipenuhi oleh negara yang meratifikasi. Konferensi internasional

yang kedua ini juga menghasilkan “ Conpenhagen Programme for Action” yang

difokuskan untuk mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan

melalui peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga

kerja dan mendukung peran perempuan di bidang pertanian.

Konferensi ketiga di Nairobi pada tahun 1985 mengambil tema “equity,

development and peace”. Tujuan dari konferensi ketiga ini adalah untuk meninjau

pencapaian dari satu dekade kesetaraan gender dan mencatat kemajuan yang telah

dicapai. Hasil dari konferensi ini adalah “Nairobi Forward Looking Strategies

for the Advancement of Women” to the year 2000. Dokumen tersebut masih

menyoroti fakta bahwa masih didapati ketidaksetaraan gender, kemiskinan massal

dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di muka bumi

terutama di banyak negara-negara berkembang.

Konferensi Internasional keempat tentang perempuan berlangsung di

Beijing pada tahun 1995. Hasil konferensi keempat ini adalah penegasan secara

global mengenai peran sentral dari Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perjuangan

ke arah kesetaraan gender. Konferensi ini menghasilkan Beijing Platform for

action (BPFA) yang melipui 12 bidang kritis keprihatinan (critical point of

concern), yaitu perempuan dan kemiskinan, perempuan dan pendidikan serta

pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan

dalam konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, perempuan dan politik dan

pengambilan keputusan, HAM perempuan, mekanisme institusional, perempuan

dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, dan hak anak perempuan.

12

Selanjutnya, komitmen mengkonkretkan penanganan kualitas hidup

penduduk termasuk perempuan dilanjutkan dengan lahirnya deklarasi Millenium

Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global

yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB

bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke

dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal

18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa

(A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration).

Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang

negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun

komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk

menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan

fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian

mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut

indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama

pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs

didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung

jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka,

sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Dampak berbagai komitmen internasional tersebut terhadap Indonesia

adalah dibentuknya kementerian untuk meningkatkan status dan kondisi

perempuan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peningkatan Wanita

(Menmud-UPW) tahun 1978 dalam rangka menindaklanjuti konferensi

perempuan pertama di Mexico tahun 1975. Kementerian ini terus mengalami

metamorfosis yang sampai sekarang dikenal dengan kementerian Negara

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PP-PA).

Selanjutnya, menyadari perlunya penegakan keadilan dalam perbaikan

kualitas hidup penduduk, terutama perempuan maka pemerintah pada tahun 2000

telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender

(PUG) di segala bidang pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang

menginstruksikan pejabat daerah untuk melaksanakan PUG agar perencanaan,

13

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian kebijakan dan program

pembangunan menjadi responsif gender.

Untuk memperkuat aturan pengarusutamaan gender ke dalam semua

aspek pembangunan, maka dikeluarkanlah permenndagri No. 123 tahun 2003.

Kemudian, tahun 2008 dikeluarkan Inmendagri No. 15 untuk menggantikan

permenndagri No. 123 tahun 2003 sebagai pedoman umum pelaksanaan PUG di

daerah. Berikutnya pada tahun 2010, perencanaan dan penganggaran responsif

gender sudah menjadi agenda nasional dan penyosialisasikannya ke daerah-

daerah dilakukan oleh kemeneg PP-PA. Selain itu, tahun 2000 Indonesia ikut

meratifikasi komitmen internasional untuk mencapai tujuan global yang dikenal

dengan Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia mempunyai

kewajiban melaporkan progres pencapaian MDG setiap tahunnya, di mana butir-

butir MDGs tersebut dapat dicapai salah satunya melalui kesetaraan gender.

2.1.3. Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja

Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan

lebih) yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja dan

pengangguran. Selanjutnya, tenaga kerja adalah seseorang yang bekerja paling

sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut

termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu

usaha/kegiatan ekonomi. Pasar tenaga kerja terbentuk karena adanya permintaan

dan penawaran tenaga kerja.

Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah

tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan untuk dipekerjakan. Sedangkan

penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan

jumlah tenaga kerja yang siap untuk disediakan.

Terkait dengan permintaan tenaga kerja, perusahaan yang diasumsikan

hendak memaksimalkan keuntungan akan membayar tenaga kerja sebesar value

marginal product (VMP). Oleh karena itu, kurva permintaan tenaga kerja

merupakan kurva VMP.

14

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja

Permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersama-

sama menentukan tingkat upah dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Pada

Gambar 2 tampak bahwa tingkat upah keseimbangan (W1) dan tingkat

penggunaan tenaga kerja keseimbangan (L1) ditentukan oleh interaksi kurva

permintaan tenaga kerja (D1=VMP1) dengan kurva penawaran tenaga kerja (S).

Apabila permintaan tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva

permintaan menjadi D2, maka akan terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja

sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan

terbentuk pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar W2 dengan tingkat

penggunaan tenaga kerja sebesar L2.

Selanjutnya, apabila penawaran tenaga kerja meningkat sehingga

menggeser kurva permintaan menjadi S2 (Gambar 3), maka akan terdapat

kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu

keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih rendah yaitu

sebesar W2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L2.

15

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja

2.1.4. Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender

Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan

struktur di mana baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban dari sistem

tersebut. Ketidakadilan gender menyebabkan ketimpangan gender di mana salah

satu gender mengalami kerugian dari kebijakan pembangunan misalnya tidak

memiliki kesempatan yang sama dalam kepemilikan sumber daya, pendidikan

dan pasar tenaga kerja.

a. Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja

Ketimpangan gender antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan dapat

dikaji berdasarkan karakteristik produktif identik. Menurut kajian ini,

ketimpangan gender muncul karena adanya diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan yang memiliki kesamaan karakteristik produktif.

Ketimpangan gender juga dapat dikaji antara laki-laki dan perempuan pada

pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Menurut kajian ini, ketimpangan gender

muncul ketika salah satu jenis kelamin terwakili secara berlebih pada segmen

yang tidak menguntungkan.

16

Ketimpangan Gender Berdasarkan Karakteristik Produktif yang Identik

Menurut Bellante dan Jackson (1983), diskriminasi pasar tenaga kerja

berdasarkan gender terjadi jika pekerja yang memiliki karakteristik produktif

identik tetapi diperlakukan berbeda karena berasal dari jenis kelamin tertentu.

Diskriminasi tersebut merupakan sumber ketimpangan gender yang terjadi antara

pekerja laki-laki dan perempuan. Diskriminasi berdasarkan gender di dalam pasar

tenaga kerja dibagi ke dalam dua bentuk yaitu diskriminasi upah (wage

discrimination) dan diskriminasi pekerjaan (occupational discrimination).

Diskriminasi Upah (Wage Discrimination)

Diskriminasi upah terjadi jika perusahaan membayar pekerja perempuan

lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan kondisi memiliki lama pengalaman

yang sama dan bekerja di bawah kondisi yang sama di pekerjaan yang sama.

Ilustrasi diskriminasi upah dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 4. Dampak Diskriminasi Upah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Perempuan

Permintaan tenaga kerja perempuan ditentukan oleh rasio upah perempuan

terhadap upah laki-laki (Wf/Wm). Perusahaan yang tidak diskriminatif akan

menyamakan upah antara pekerja perempuan (Wf) dan laki-laki (Wm). Sedangkan

perusahaan yang diskriminatif akan menetapkan upah perempuan lebih rendah

dari laki-laki. Perusahaan yang diskriminatif memiliki ukuran yang berbeda-beda

Wf/Wm S1

S2

A

0.75

1.0

D

N2 N0 N1

17

terhadap upah diskriminatifnya, ada yang rendah dan tinggi. Hal ini menyebabkan

kurva permintaan tenaga kerja patah pada titik A. Kurva ini menggambarkan

bahwa untuk mempekerjakan perempuan lebih dari N0 menyebabkan turunnya

rasio upah perempuan (Wf) terhadap upah laki-laki (Wm).

Jika penawaran tenaga kerja perempuan relatif kecil (S1), maka seluruh

pekerja perempuan akan direkrut oleh perusahaan yang tidak diskriminatif

sehingga tidak terjadi perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Tetapi jika jumlah perempuan yang mencari pekerjaan relatif besar (S2) maka

sejumlah perusahaan yang diskriminatif akan merekrut pekerja perempuan

sehingga menurunkan rasio upah pekerja perempuan terhadap laki-laki. kombinasi

penawaran dan permintaan pekerja perempuan pada Gambar 4 menyebabkan rasio

upah turun menjadi 0.75.

Diskriminasi Pekerjaan (Occupational Discrimination)

Diskriminasi pekerjaan terjadi jika pekerja perempuan dengan pendidikan

dan potensi produktivitas yang sama ditempatkan di pekerjaan dengan upah

rendah, sedangkan pekerjaan bergaji tinggi diposisikan untuk laki-laki.

Diskriminasi pekerjaan berbeda dengan seagregasi pekerjaan. Seagregasi

pekerjaan terjadi jika suatu pekerjaan tertentu didominasi oleh perempuan dan

pekerjaan yang lain didominasi oleh laki-laki. Seagregasi pekerjaan

menggambarkan diskriminasi pekerjaan jika pilihan pekerjaan bagi gender

tertentu tersebut secara langsung dibatasi atau menggambarkan upah yang lebih

rendah pada tingkat sumberdaya manusia yang sama.

Diskriminasi pekerjaan menyebabkan perempuan terkumpul pada

pekerjaan tertentu yang terbatas jumlahnya, sehingga menurunkan upah di

pekerjaan tersebut. Di sisi lain, luasnya lapangan pekerjaan yang didominasi laki-

laki menyebabkan tingginya permintaan tenaga kerja laki-laki sehingga

mendorong upah di sektor-sektor tersebut.

Diskriminasi pekerjaan dapat diilustrasikan seperti Gambar 5. Misalkan

ada 2 pekerjaan yang secara tradisi pekerjaan M diperuntukan bagi laki-laki dan

pekerjaan F diperuntukan bagi perempuan. Tanpa ada diskriminasi pekerjaan,

upah di kedua pekerjaan itu adalah sama pada tingkat We. Hal tersebut terjadi

karena ketika upah di salah satu pekerjaan meningkat, menyebabkan terjadinya

18

We

Wf

perpindahan tenaga kerja dari pekerjaan lebih murah sehingga secara perlahan

upah di kedua pekerjaan tersebut bergerak kembali menjadi sama. Ketika ada

diskriminasi pekerjaan, peningkatan upah di sektor M tidak menyebabkan

perpindahan tenaga kerja perempuan dari sektor F yang bergaji lebih murah ke

sektor M yang bergaji lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pekerja perempuan akan

menumpuk pada sektor F sehingga berdampak pada rendahnya upah Wf yang

diterima perempuan. Sedangkan laki-laki akan menikmati upah Wm yang lebih

tinggi karena pasar tenaga kerja di sektor M tidak sejenuh di sektor F. Jadi,

adanya diskriminasi menghalangi pekerja perempuan untuk berpindah dari sektor

F ke sektor M.

Sektor M Sektor F

Sumber: Bellante D dan Jackson M (1990)

Gambar 5. Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga

Kerja Perempuan

Gambar 5 menunjukkan bahwa tenaga kerja di kedua sektor dibayar

berdasarkan produk marginalnya. Upah yang lebih rendah yang diterima pekerja

perempuan bukan karena dibayar di bawah produk marginalnya, melainkan

karena tertumpuknya pekerja perempuan pada sektor F yang memaksa produk

marginal pekerja perempuan harus diturunkan lebih rendah daripada pasar tenaga

kerja yang bebas.

Diskriminasi pekerjaan tersebut disebabkan karena empat faktor yaitu:

prasangka dari perusahaan, informasi yang kurang sempurna dari perusahaan,

prasangka di pihak pekerja, dan prasangka di pihak pelanggan. Umumnya

S2

Wf S1

S1

S2 Wm

D= VMP D= VMP

E2 E1 E2 E1

19

sumber tingkah laku diskriminasi yang pertama terkait dengan alasan pribadi

perusahaan sedangkan tingkah laku ketiga lainnya merupakan akibat dari tingkah

laku ingin meraih keuntungan maksimal.

Prasangka perusahaan dapat terjadi bila perusahaan secara pribadi

menaruh prasangka terhadap pekerja perempuan. Ada kemungkinan seorang

perusahaan memiliki alasan pribadi untuk menyukai atau tidak menyukai

mempekerjakan pekerja perempuan sehingga mengorbankan keuntungan atas

pilihannya tersebut. Sedangkan informasi yang kurang sempurna dari perusahaan

bisa terjadi karena perusahaan memiliki pengalaman masa lalu yang

menggambarkan bahwa pekerja perempuan memiliki produktivitas lebih rendah.

Selain itu perusahaan juga bisa melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka

yang dimiliki pihak pekerja. Misalkan pekerja laki-laki bisa saja menolak bekerja

secara berdampingan dengan pekerja perempuan, di mana hubungan tenaga kerja

yang serius mengakibatkan perusahaan hanya memperkerjakan pekerja laki-laki

saja. Sumber diskriminasi terakhir adalah prasangka dari pihak pelanggan, di

mana pelanggan lebih menyukai pekerja laki-laki atau pekerja perempuan saja

sehingga menyebabkan perusahaan melakukan diskriminasi dalam memilih

pekerjanya. Keempat sumber diskriminasi tersebut dapat menyebabkan

diskriminasi di pasar tenaga kerja, baik itu berupa diskriminasi upah ataupun

diskriminasi jabatan.

Ketimpangan Gender Berdasarkan Segmentasi Pasar Tenaga Kerja

Menurut Hulk (2011), Pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang

cenderung sangat tersegmentasi dengan upah dan kondisi kerja yang berbeda di

setiap sektor dan mobilitas tenaga kerja yang rendah dari pekerjaan "kurang

produktif" ke pekerjaan "lebih produktif". Tenaga kerja akan memilih pekerjaan

“kurang produktif” sebagai alternatif pekerjaan untuk keluar dari pengangguran.

Pekerjaan “kurang produktif” memiliki pendapatan dan kondisi kerja di

bawah pekerjaan "lebih produktif". Pekerjaan “kurang produktif” seringkali

diwakili oleh pekerjaan informal, sedangkan pekerjaan "lebih produktif" diwakili

oleh pekerjaan formal. Menurut ILO, pekerjaan informal adalah pekerjaan dengan

upah lebih rendah tidak memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan

asuransi kesehatan) seperti pada pekerjaan formal.

20

Ketimpangan dengan kriteria pekerja formal dan informal digunakan oleh

Wanjala dan Were (2010) untuk melihat ketimpangan gender di pasar tenaga

kerja Kenya. Wanjala dan Were (2010) menyimpulkan bahwa ketimpangan

gender terjadi di pasar tenaga kerja Kenya disebabkan karena perempuan terwakili

secara berlebih sebagai pekerja informal.

b. Definisi dan Kriteria Pekerja Formal dan Informal

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003,

pekerja informal mengacu pada orang yang bekerja tanpa relasi kerja, yang berarti

tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara umum mendefinisikan sektor

informal sebagai semua bisnis komersial dan non-komersial (atau aktivitas

ekonomi) yang tidak terdaftar, yang tidak memiliki struktur organisasi formal dan

secara umum memiliki ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, kegiatan berskala kecil,

padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber

daya lokal.

Banyak istilah digunakan para peneliti yang merujuk pada ekonomi

informal. Istilah-istilah itu antara lain irregular economy (Ferman dan Ferman,

1973), the subterranean economy (Gutmann, 1977), the underground economy

(Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), the black economy (Dilnot dan Morris,

1981), the shadow economy (Frey, Weck, dan Pommerehne, 1982; Cassel dan

Cichy, 1986), dan informal economy (Mc Crohan dan Smith, 1986).

Istilah formal dan informal dalam ketengakerjaan pertama kali

diperkenalkan dalam studi ILO tentang pasar tenaga kerja Ghana. Studi tersebut

menyimpulkan ada dualisme dalam pasar tenaga kerja di daerah perkotaan, yaitu

sektor informal yang terdiri dari usaha-usaha tidak terdaftar dan berproduktivitas

rendah sangat banyak muncul berdampingan dengan sektor formal yang terdiri

dari usaha terdaftar dan sektor publik.

ILO bersama sekelompok peneliti telah memperluas definisi sektor

informal dengan menggunakan istilah ekonomi informal (Chen, 2007). Menurut

definisi baru ini, ekonomi informal tidak hanya mencakup usaha-usaha yang tidak

terdaftar, tetapi juga terkait dengan hubungan kerja yang secara resmi tidak diatur

dan tidak dilindungi. Bentuk tidak dilindunginya pekerja informal adalah tidak

21

memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti

yang diberikan kepada tenaga kerja formal. Tenaga kerja Informal umumnya

memiliki upah yang lebih rendah dibanding pekerja formal sehingga sering

dihubungkan dengan tingkat kemiskinan (ILO, 2013).

Secara singkat, Bertulfo (2011) meringkas pembagian tenaga kerja formal

dan informal menurut ILO seperti yang terlihat pada Tabel 3. Sektor informal

mengacu pada usaha informal, sedangkan tenaga kerja informal mengacu pada

pekerjaan informal. Tenaga kerja di ekonomi informal didefinisikan sebagai

jumlah dari tenaga kerja di sektor informal dan tenaga kerja informal yang berada

di luar sektor informal (A+B+C).

Tabel 3. Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal

Jenis Usaha Pekerjaan Informal Pekerjaan Formal

Usaha sektor Informal A B

Usaha Sektor Formal C D

Keterangan:

A + C = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja informal

A + B = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja di sektor informal

C = Tenaga kerja informal di luar sektor informal

B = Tenaga kerja formal di dalam sektor informal

A + B + C = Total tenaga kerja di dalam ekonomi

Selanjutnya, BPS (2009) menyatakan bahwa kegiatan informal mengacu

pada kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan secara tradisional oleh

organisasi bertingkat rendah ataupun yang tidak memiliki struktur, tidak ada akun

transaksi (transaction accounts) dan ketika terdapat relasi kerja biasanya bersifat

musiman (casual), pertemanan atau relasi personal, ketimbang berbasis perjanjian

kontrak. Secara spesifik, kegiatan informal dan formal merupakan tabulasi silang

antara status pekerjaan dan pekerjaan utama seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Selanjutnya, data yang dikumpulkan BPS tersebut digunakan sebagai data dasar

penelitian ini.

Status pekerjaan menurut BPS dikategorikan menjadi tujuh, yaitu:

1) Berusaha sendiri

22

2) Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan

tidak dibayar

3) Pengusaha dengan pekerja tetap atau pekerja diupah

4) Karyawan/staf/pekerja

5) Pekerja musiman di bidang pertanian

6) Pekerja musiman di bidang non-pertanian

7) Pekerja tidak dibayar

Tabel 4. Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS Status Pekerjaan

Jenis Pekerjaan

Umum

Berusaha

sendiri

Berusaha

sendiri

dengan

bantuan

keluarga

atau

anggota

keluarga

dengan

Pengusaha

dengan

pekerja

tetap/

pekerja

diupah

Karyawan

/staf/

pekerja

Pekerja

musiman di

bidang

pertanian

Pekerja

musiman di

bidang non-

pertanian

Pekerja

tidak

dibayar

Pekerja

profesional,

teknik, dan

pekerja terkait

lainnya

F F F F F F INF

Pekerja

administrasi dan

manajerial

F F F F F F INF

Pekerja juru tulis

dan terkait F F F F F F INF

Pekerja bidang

penjualan INF INF F F INF INF INF

Pekerja bidang

jasa INF F F F INF INF INF

Pekerja pertanian,

peternakan,

kehutanan,

nelayan dan

pemburu

INF F F F INF INF INF

Pekerja produksi

dan terkait INF F F F INF INF INF

Sumber: Nazara, 2009

Sedangkan pekerjaan utama menurut BPS dikategorikan menjadi 10

kategori, yaitu:

1) Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya

2) Pekerja administrasi dan manajerial

3) Pekerja juru tulis dan terkait

4) Pekerja bidang penjualan

5) Pekerja bidang jasa

23

6) Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu

7) Pekerja produksi dan terkait

8) Operator dan pekerja perlengkapan pengangkutan

9) Buruh

10) Lain-lain

Pembagian pekerja informal berdasarkan kriteria BPS tersebut mirip

dengan definisi ekonomi informal ILO. Bisa saja sektor informal memiliki pekerja

formal. Contohnya adalah pekerjaan pemulung yang dikutip dari Nazara (2009).

Seorang bos pemulung yang melaksanakan beberapa pekerjaan administratif,

manajerial bahkan sejumlah pekerjaan profesional, kemungkinan mendapatkan

imbalan finansial cukup banyak. Terkait dengan itu, pemulung yang sebenarnya

pergi dari satu rumah ke rumah lain dapat dikategorikan sebagai pekerja informal

(pekerja berusaha sendiri di bidang penjualan), namun bos yang menjalankan

bisnis pemulung ini dapat dikategorikan sebagai pekerja formal. Bos tersebut

menjalankan pekerjaan profesional atau manajerial. Fenomena ini banyak

ditemukan di kota-kota besar di seluruh dunia.

Di sisi lain, terdapat juga kasus-kasus di mana semakin banyak pekerja

yang berusaha sendiri dapat dikategorikan sebagai seorang profesional. Seorang

programer komputer dapat dikategorikan sebagai pekerja formal, walaupun orang

tersebut mungkin saja bekerja sendiri atau dibantu oleh pekerja sementara.

Meskipun pekerja informal umumnya dikenal terkait dengan kemiskinan,

tetapi ada satu kajian yang dilakukan Angelini dan Hirose (2004) dalam Nazara

(2009) menunjukkan bahwa hampir seperlima dari pekerja/karyawan yang terlibat

dalam kegiatan informal mampu memperoleh pendapatan lebih dari rata-rata

nasional. Namun menurut Nazara (2009), diperlukan sebuah kajian yang lebih

sistematis dengan sampling yang dapat digeneralisir untuk mencapai kesimpulan

tersebut.

Menurut Nazara (2009), peningkatan informalitas tidak selalu berarti

buruk dan tidak terhindarkan pekerjaan informal adalah alternatif pekerjaan

terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak

pekerjaan formal. Sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan

sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Tapi

24

pergerakan ke arah formalisasi ekonomi senantiasa menjadi tujuan utama

pembangunan.

Segmentasi ternyata juga terjadi pada ekonomi informal. Menurut Chen

(2007) ekonomi informal terdiri dari beberapa segmen yang dapat memengaruhi

pendapatan di setiap segmen. Segmen paling bawah adalah outworker (pekerja

lepas) industrial atau pekerja rumahan, dan pekerja lepas diupah. Segmen paling

atas adalah karyawan informal dan pengusaha informal.

Segmen paling bawah berada dalam posisi paling terakhir dalam hal

penghasilan dan didominasi oleh pekerja perempuan. Sedangkan segmen paling

atas memiliki penghasilan pada posisi tertinggi dan didominasi oleh pekerja laki-

laki.

Sumber: Chen (2007)

Gambar 6. Struktur Ekonomi Informal

2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga

Kerja

Pakar ekonomi menggunakan banyak jenis data untuk mengukur kinerja

perekonomian. Salah satu kinerja perekonomian yang penting adalah Produk

Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan indikator ekonomi yang mengukur

jumlah barang dan jasa yang diproduksi suatu negara. Pertumbuhan PDB ini

Pengusaha Informal

Pekerja Informal

Operator dengan usaha sendiri

Pekerja musiman

Pekerja lepas/pekerja rumahan

Penghasilan Tinggi

Penghasilan Rendah

Mayoritas Laki-laki

Mayoritas Perempuan

Laki-laki dan Perempuan

25

disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2003),

menyatakan bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi merupakan tema sentral

dalam perekonomian suatu negara, bahkan sering kali program-progam

pembangunan di negara berkembang dinilai berdasarkan tinggi rendahnya

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional.

Pertumbuhan ekonomi yang kuat dianggap sebagai cara terbaik untuk

menciptakan lapangan kerja. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi maka semakin

banyak barang dan jasa yang dihasilkan, selanjutnya semakin banyak juga tenaga

kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Oleh karena

itu pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan

penyerapan tenaga kerja disuatu negara.

a. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di

Pasar Tenaga Kerja

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja

dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun muncul dari pengamatan

bahwa untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa dalam suatu

perekonomian diperlukan tenaga kerja yang banyak pula. Oleh karena itu hukum

ini mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan

pengangguran, di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin

rendah tingkat pengangguran. Adapun formula Hukum Okun dalam Knotek

(2007), adalah sebagai berikut:

Perubahan tingkat pengangguran = a + b (pertumbuhan output real)

Parameter b disebut "Koefisien Okun" yang diharapkan bernilai negatif,

sehingga ketika pertumbuhan output meningkat maka tingkat pengangguran akan

turun. Rasio "-a/b" merupakan tingkat pertumbuhan output untuk

mempertahankan tingkat pengangguran tetap stabil.

Adapun hasil regresi Hukum Okun dengan data Amerika pada kuartal

kedua tahun 1948 sampai dengan kuartal keempat tahun 1960, adalah sebagai

berikut:

Perubahan tingkat pengangguran = 0,30-0,07(pertumbuhan output real)

Hasil regresi ini menunjukkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi yang

terjadi sebesar 0% maka pengangguran akan meningkat sebesar 0,3 %. Sedangkan

26

laju pertumbuhan output yang mampu mempertahankan tingkat pengangguran

stabil adalah sebesar 4,285714 % (- 0,3/0,07). Pertumbuhan ekonomi lebih besar

dari 4,285714 % berarti terjadi pengurangan pengangguran, sedangkan

pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 4,285714 % berarti terjadi penambahan

pengangguran.

Hukum Okun membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak

terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja termasuk juga tenaga kerja

perempuan. Tetapi peningkatan jumlah pekerja perempuan harus dicermati karena

tidak bisa menggambarkan kesejahteraan perempuan karena secara umum mereka

terserap pada pekerjaan kasar dan bergaji murah Abdullah (2001). Peningkatan

tenaga kerja perempuan pada pekerjaan kasar mengindikasikan terjadinya

ketimpangan gender khususnya di pasar tenaga kerja (Illich, 1983: Molo, 1993

dalam Abdullah, 2001). Penomena tersebut diperkuat oleh Wanjala dan Were

(2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di

Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal

jika dibandingkan dengan laki-laki.

Hal senada diungkapkan dalam studi Seguino (2000). Studi tersebut

menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan

merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan

ekonomi.

Sumber: World Bank (2011a)

Gambar 7. Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang

Waktu pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara

Rat

a-ra

ta p

arti

sipas

i T

K

per

empuan

Log, PDB per kapita (konstan Tahun 2000, US$)

27

Secara global, fakta yang sama ditunjukkan dalam laporan World Bank

(2011a). Laporan tersebut berdasarkan data GDP per kapita dan partisipasi

angkatan kerja perempuan tahun 1980 dan 2008 untuk 130 negara. Disimpulkan

bahwa hubungan antara pertumbahan ekonomi dan partisipasi angkatan kerja

perempuan di berbagai negara berbetuk U, baik pada tahun 1980 maupun 2008

(gambar 7). Kurva U tahun 2008 bergerak ke kanan atas, yang artinya pada setiap

perubahan GDP perkapita di setiap titik kurva U tersebut terjadi peningkatan

jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan. Atau dengan kata lain jumlah

partisipasi tenaga kerja perempuan tahun 2008 lebih tinggi dari pada tahun 1980

seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada rentang tahun tersebut.

Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut menyebabkan

menyempitnya gap partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki dari 32

persen di tahun 1980 menjadi 26 persen pada tahun 2008. Salah satu penyebab

meningkatnya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja adalah karena

membaiknya tingkat pendidikan perempuan.

Selanjutnya studi World Bank tersebut menyatakan bahwa peningkatan

partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan

adanya perbaikan ketimpangan gender. Hal tersebut disebabkan karena

perempuan lebih banyak terserap pada pekerjaan informal dan produktivitas

rendah.

b. Penetapan Target Pertumbuhan Ekonomi dalam Perencanaan

Pembangunan

Pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan produksi barang dan

jasa di suatu negara, sehingga menjadi indikator berjalannya suatu perekonomian.

Oleh karena itu, penting untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi baik

dalam jangka panjang, menengah, ataupun pendek.

Di Indonesia, target pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu

komponen penting dalam perencanaan pembangunan. Target pertumbuhan

ekonomi tersebut dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP)

nasional, rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, dan rencana

kerja pemerintah (RKP).

28

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Periode 20

Tahunan

RPJP nasional yang sedang berlangsung sekarang adalah RPJP nasional

2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.

RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan

Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam

Sebelumnya, RPJP nasional dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN). Pergantian ini disebabkan karena adanya perubahan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengakibatkan

terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Oleh karena itu,

Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang baru sebagai

arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara

bertahap.

RPJP Nasional tahun 2005–2025, memiliki delapan arah pembangunan,

yaitu: (1) mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika,

berbudaya, dan beradab; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3)

mewujudkan Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan

Indonesia yang aman, damai dan bersatu; (5) mewujudkan pembangunan yang

lebih merata dan berkeadilan; (6) mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari; (7)

mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan

berbasiskan kepentingan nasional; (8) mewujudkan Indonesia yang berperan aktif

dalam pergaulan internasional

Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas,

pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang

akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan

dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang

hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu,

29

tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus

berkesinambungan dari periode ke periode

Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap

perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka

menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan dalam RPJM Nasional I

Tahun 2005–2009, RPJM Nasional II Tahun 2010–2014, RPJM Nasional III

Tahun 2015–2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020–2024.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Periode Lima

(5) Tahunan

Definisikan RPJM nasional, dituangkan dalam pasal 4 Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

(SPPN). Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RPJM Nasional merupakan

penjabaran dari visi, misi, dan program presiden terpilih. Penyusunannya

berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,

kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas

Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka

ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh

termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi

dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Adapun rangkaian RPJM nasional menurut RPJP nasional 2004-2020

adalah sebagai berikut:

a. RPJM ke-1 (2005 – 2009), fokus kepada penataan kembali negara kesatuan

Republik Indonesia, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil

dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

b. RPJM ke-2 (2010 – 2014), fokus kepada memantapkan kembali negara

kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,

membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing perekonomian.

c. RPJM ke-3 (2015 – 2019), fokus kepada memantapkan pembangunan secara

menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif

perekonomian yang berbasis sumberdaya alam yang tersedia, sumberdaya

manusia yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK.

30

d. RPJM ke-4 (2020 – 2024), fokus kepada mewujudkan masyarakat Indonesia

yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di

segala bidang struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan

konpetitif.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Periode Satu (1) Tahunan

Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RKP merupakan penjabaran dari

RPJM Nasional. Berikutnya, RKP akan menjadi pedoman bagi penyusunan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) seperti yang

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Rencana pembangunan

memiliki kaitan erat dengan pembiayaan. Adapun alur RPJP nasional sampai

dengan penyusunan APBD yang diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU

Nomor 17 Tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 8.

Ketiga tahapan perencanaan pembangunan tersebut selalu memiliki target.

Target tersebut akan dicapai melalui rincian rencana program. Pertumbuhan

ekonomi menjadi salah satu target penting dalam setiap tahapan perencanaan

pembangunan tersebut. Pertumbuhan ekonomi selalu ditargetkan baik pada RPJP

nasional, RPJM nasional, dan RKP.

Sumber: Riyadi, 2011

Gambar 8. Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional

UU 25/2004 ttg SPPN

UU 17/2003 ttg KN

31

Tabel 5. Target Pertumbuhan Ekonomi 2010 – 2014 Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II

Target Pertumbuhan Ekonomi (%)

Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-rata

Total 5.5-5.6 6.0-6.3 6.4-6.9 6.7-7.4 7.0-7.7 6.3-6.8

Sisi Pengeluaran

a. Konsumsi Masyarakat 5.2-5.2 5.2-5.3 5.3-5.4 5.3-5.4 5.3-5.4 5.3-5.4

b. Konsumsi Pemerintah 10.8-10.9 10.9-11.2 12.9-13.2 10.2-13.5 8.1-9.8 10.6-11.7

c. Investasi 7.2-7.3 7.9-10.9 8.4-11.5 10.2-12.0 11.7-12.1 9.1-10.8

d. Ekspor Barang dan Jasa 6.4-6.5 9.7-10.6 11.4-12.0 12.3-13.4 13.5-15.6 10.7-11.6

e. Impor Barang dan Jasa 9.2-9.3 12.7-15.2 14.3-15.9 15.0-16.5 16.0-17.4 13.4-14.9

Sisi Produksi

a. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan

Perikanan 3.3-3.4 3.4-3.5 3.5-3.7 3.6-3.8 3.7-3.9 3.6-3.7

b. Pertambangan dan penggalian 2.0-2.1 2.1-2.3 2.3-2.4 2.4-2.5 2.5-2.6 2.2-2.4

a. Industri Pengolahan 4.2-4.3 5.0-5.4 5.7-6.5 6.2-6.8 6.5-7.3 5.5-6.0

b. Industri Bukan Migas 4.8-4.9 5.6-6.1 6.3-7.0 6.8-7.5 7.1-7.8 6.1-6.7

c. Listrik, Gas dan Air 13.4-13.5 13.7-13.8 13.8-13.9 13.9-14.0 14.1-14.2 13.8-13.9

d. Konstruksi 7.1-7.2 8.4-8.5 8.8-9.3 8.9-10.1 9.1-11.1 8.4-9.2

e. Perdagangan, Hotel, dan restoran 4.0-4.1 4.2-4.8 4.4-5.2 4.5-6.4 4.6-6.6 4.3-5.4

f. Pengangkutan dan telekomunikasi 14.3-14.8 14.5-15.2 14.7-15.4 14.9-15.6 15.1-16.1 14.7-15.4

g. Keuangan, Real Estat, dan jasa perusahaan 6.5-6.6 6.6-6.7 6.8-7.0 6.9-7.0 7.2-7.3 6.8-6.9

h. Jasa-jasa 6.7-6.9 6.9-7.0 7.0-7.1 7.1-7.2 7.2-7.4 6.9-7.1

Sumber: RPJM, 2010

32

Indonesia saat ini telah memasuki RPJM Tahap 2. Adapun target

pertumbuhan ekonomi RPJM nasional Tahap 2 Tahun 2010-2014 ditunjukkan

pada Tabel 5. Tampak bahwa total pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat

setiap tahunnya. Pada Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5.5-

5.6 persen. sedangkan pada tahun 2014 di targetkan sebesar 7.0-7.7 persen. Target

pertumbuhan dalam RPJM dibuat fleksibel pada rentang tertentu agar dapat

mengakomodasi berbagai perubahan variabel yang mempengaruhi perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih akurat akan ditentukan pada RKP yang

merupakan rencana pembangunan periode satu tahun yang diacu dari RPJM

nasional dan perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. Tabel

6 menunjukkan rincian target pertumbuhan ekonomi tahun 2003. Tampak bahwa

pertumbuhan ekonomi 2013 berdasarkan RKP sebesar 7 persen. Pertumbuhan

ekonomi dari sisi pengeluaran lebih banyak didorong oleh sektor jasa yaitu

sebesar 8.1 persen, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masing-masing

sebesar 4.9 persen dan 3.9 persen. Target pertumbuhan ekonomi 2013 berdasarkan

RKP ini digunakan dalam simulasi penelitian.

Tabel 6. Target Pertumbuhan Ekonomi 2013 menurut Rencana Kerja Pemerintah

Keterangan Target (%)

Pertumbuhan Ekonomi 7

1. Sisi Pengeluaran

a. Konsumsi Masyarakat 5

b. Konsumsi Pemerintah 7.1

c. Investasi 11.1

d. Ekspor Barang dan Jasa 12.3

e. Impor Barang dan Jasa 13.1

2. Sisi Produksi

a. Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

Kehutanan, dan Perikanan 3.9

b. Pertambangan dan penggalian 3

c. Industri Pengolahan 6.7

d. Listrik, Gas dan Air 6.8

e. Konstruksi 7.5

f. Perdagangan, Hotel, dan restoran 9.1

g. Pengangkutan dan telekomunikasi 12.4

h. Keuangan, Real Estat, dan jasa

i. perusahaan 6.3

j. Jasa-jasa 6.3

Sumber: RKP, 2012

33

2.1.6. Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga

Kerja

Pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan fiskal yang mampu

meningkatkan permintaan barang dan jasa nasional, dan selanjutnya

meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi tambahan permintaan

barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah dapat

mempengaruhi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

a. Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di

Pasar Tenaga Kerja

Hubungan antara pengeluaran pemerintah dan penyerapan tenaga kerja

diawali dari perubahan realisasi pengeluaran pemerintah (G) pada perpotongan

Keynesian. Misalkan yang terjadi adalah peningkatan G. Peningkatan G sama

artinya dengan peningkatan permintaan barang dan jasa yang dibeli oleh

pemerintah, yang selanjutnya akan meningkatkan total permintaan barang dan jasa

nasional. Karena permintaan meningkat, maka produsen akan merekrut tenaga

kerja baru untuk memproduksi tambahan permintaan tersebut.

Perpotongan Keynesian

Model dasar perpotongan Keynesian (Keynesian cross) ini adalah

interpretasi paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2003).

Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan

pengeluaran pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan

Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang

direncanakan (PE). Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan

pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB). Teori pendapatan

nasional Keynesian dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

Y = C + I + G ........................................................................................ (2.1)

Gambar 5 menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pengeluaran

pemerintah (G) sebesar G , maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga

output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah

dituliskan kembali sebagai berikut:

MPCG

Y

1

1 ...................................................................................... (2.2)

34

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 9. Kurva Perpotongan Keynesian

Gambar 9 adalah kurva perpotongan Keynesian yang merupakan kerangka

dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan

di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka

akan terbentuk kurva permintaan agregat (AD). Peningkatan G akan menggeser

kurva AD ke kanan atas pada level Y yang lebih tinggi.

Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Keseimbangan Pemintaan

Agregat, Penawaran Agregat dan Penyerapan Tenaga Kerja

Apabila pemerintah meningkatkan pengeluarannya (G), maka dalam

jangka pendek akan meningkatkan jumlah permintaan barang dalam negeri.

Selanjutnya, peningkatan permintaan barang dan jasa berdampak pada

meningkatkan output dari Y1 ke Y2 seperti pada Gambar 10. Peningkatan output

tersebut kemudian mendorong permintaan jumlah tenaga kerja untuk

memproduksi output sehingga tenaga kerja meningkat dari L1 menjadi L2.

Uraian di atas menjalaskan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah

mampu memberikan pengganda penyerapan tenaga kerja. Tetapi, peningkatan

penyerapan tenaga kerja tersebut tidak bisa menggambarkan distribusi yang

merata antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan karena pengambil

kebijakan cenderung melihat anggaran sebagai instrumen yang netral gender.

Anggaran yang netral gender mengabaikan efek penganggaran pembangunan

yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (Budlender dan Sharp, 1998).

Padahal menurut Mosse (1993), inisiatif pembangunan apapun akan

35

mempengaruhi kehidupan kaum laki-laki dan perempuan dengan cara yang

berbeda, termasuk juga dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Output, Y

Y=F(L)

L1 L2 Tenaga Kerja, L

Sumber: Mankiw (2003)

Gambar 10. Dampak Pengeluaran Pemerintah dalam Jangka Pendek dan

Penyerapan Tenaga Kerja

Apabila realisasi pengeluaran pemerintah tersebut netral gender maka

ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di suatu negara akan semakin besar.

Menurut Balmori (2003), gap ini tidak hanya mengurangi kualitas hidup setengah

penduduk suatu negara tetapi juga memiliki risiko pertumbuhan ekonomi jangka

panjang karena negara yang tidak menggunakan setengah dari potensi sumber

daya manusianya akan mengurangi daya saing negaranya. Biaya dari ketimpangan

Y2

Y1

36

gender tersebut terlihat dari rendahnya produktifitas, daya saing dan level

kehidupan.

b. Pengarusutamaan Gender Mendukung Pengeluaran Pemerintah

Responsif Gender

Upaya pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender melalui

kebijakan anggarannya tampak dari dikeluarkannya kebijakan pengarusutamaan

gender dan dipertegas dengan kebijakan anggaran responsif gender. Kebijakan

pengarusutamaan gender diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000

(Lampiran 6). Kebijakan anggaran responsif gender diatur dalam Peraturan

Menteri Keuangan (PMK) No. 104 Tahun 2010.

Kebijakan Pengarusutamaan Gender

Menurut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pengarusutamaan

gender (gender mainstreaming) adalah strategi yang dibangun untuk

mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program

pembangunan nasional.

Pengarusutamaan gender dilaksanakan dengan dua cara: analisis dan

upaya komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender

pada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah. Analisis

gender dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidak adanya

dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk

pemecahan permasalahannya. Sedangkan upaya komunikasi, informasi, dan

edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan

instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah tentang gender.

Kegiatan analisis gender meliputi: 1) identifikasi ketimpangan antara laki-

laki dan perempuan dalam memperoleh hasil dari kebijakan dan program

pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan, 2) identifikasi dan memahami

sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan

menghimpun faktor-faktor penyebabnya, 3) menyusun langkah-langkah yang

diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, 4) menetapkan

indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan

kesetaraan dan keadilan gender.

37

Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah

melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap

pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan

evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender, oleh pimpinan instansi dan

lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah dilaporkan kepada Presiden

dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksaaan pengarusutamaan

gender dibebankan kepada: (1) anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara

(APBN) untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat,

(2) Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (APBD) untuk masing-masing

instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Daerah.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan melaporkan hasil pelaksanaan

pengarusutamaan gender secara berkala kepada Presiden. Laporan hasil

pelaksanaan pengarusutamaan gender meliputi: 1) hambatan-hambatan yang

tejadi, 2) upaya-upaya yang telah dilakukan, dalam mengatasi hambatan yang

terjadi, dan 3) hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pengarusutamaan

gender.

Anggaran Responsif Gender

Dalam rangka mempertegas pengarusutamaan gender dalam

pembangunan, maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104

Tahun 2010. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2010, Anggaran

Responsif Gender (ARG) adalah anggaran yang memberi/mengakomodasi

terhadap 2 (dua) hal:

1. Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran

dan hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program

pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan

mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya;

2. Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terhadap kesempatan/peluang dalam

memilih dan menikmati hasil pembangunan.

ARG bukan suatu pendekatan yang berfokus pada klasifikasi anggaran.

ARG lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran.

Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam

38

program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat ketimpangan gender. ARG

bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap

perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran

tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Oleh

karena itu ARG melekat pada struktur anggaran (program, kegiatan, dan output)

yang ada dalam RKA-KL. Suatu output yang dihasilkan oleh kegiatan akan

mendukung pencapaian hasil (outcome) program. Hanya saja muatan

subtansi/materi output yang dihasilkan tersebut dilihat dari sudut pandang

(perspektif) gender.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran responsif

gender yaitu:

1. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil kebutuhan

setiap warga negara dari berbagai kelompok yang berbeda, baik laki-laki

maupun perempuan (keadilan dan kesetaraan gender)

2. Bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk

pengarusutamaan gender, tapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran

keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan

perempuan. Prinsip tersebut mempunyai arti:

a. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan

b. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatani ketimpangan status

peran dan tanggung jawab laki-laki, perempuan serta kelompok lain

c. ARG bukanlah dasar yang “valid” untuk meminta tambahan alokasi

anggaran

d. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan

untuk program perempuan

e. Bukan berarti bahwa alokasi ARG berada dalam program khusus

pemberdayaan perempuan

f. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50% laki-laki – 50% perempuan

untuk setiap kegiatan

39

g. Tidak harus semua program dan kegiatan perlu mendapat koreksi agar

menjadi responsif gender

c. Desentralisasi Fiskal

Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari

dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas

pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di

daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan

berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat.

Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak

terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk

sektor-sektor penting di daerah.

Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga

pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola

oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk

memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni

hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang

relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang

digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden

yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.

Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin

meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi

Daerah yang terdiri dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan Undang-Undang RI No. 34 Tahun

2004) dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah (telah diganti dengan Undang-Undang RI No.

33 Tahun 2004).

Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Konsekuensi otonomi daerah tersebut adalah

40

penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah

untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan (kecuali untuk beberapa urusan yang masih menjadi bagian

pemerintah pusat, yaitu: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,

moneter dan fiskal nasional, dan agama)

Otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah leluasa untuk

menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan

masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan

masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian

wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna

mendukung penyerahan wewenang tersebut.

Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah.

Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1)

peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana

alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan

Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus.

Dana Bagi Hasil

Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat

dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan

persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil

tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah

dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan,

pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.

Dari Tabel 7 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal

telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH),

provisi sumber daya hutan (PSDH), royalti dan land rent sumber daya alam

pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain

mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan

persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk

beberapa pos.

41

Tabel 7. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah

Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

No. Jenis Penerimaan

Lama (%) Baru (%)

Pusat Prop Kab/

Kota Pusat Prop

Semua

Kab/

Kota

Kab/

Kota

Penghasil

Kab/

Kota

Lain

I

Bagian daerah

1. Pajak bumi & bangunan

(PBB)

2. Bea perolehan atas tanah

& bangunan (BPHTB)

3. Pajak penghasilan (PPh)

perorangan

4. SDA kehutanan:

- Iuran hasil hutan (IHH)

- Provisi sumber daya

hutan (PSDH)

5. SDA pertambangan

umum:

- royalti 3.3% dari 13.5%

(batu bara + emas)

- landrent (iuran tetap)

6. SDA migas:

- royalti migas

a. Minyak bumi

b. gas alam

7. Agraria

8. Royalti perikanan

- pungutan pengusaha

perikanan (PPP) &

pungutan hasil

perikanan (PHP)

10

20

80

55

30

20

20

100

100

40

-

16.2

16

20

30

70

16

16

-

-

40

-

64.8

64

-

15

-

64

64

-

-

20

-

10

20

80

20

20

20

20

85

70

100

20

16.2

16

20

16

16

16

16

3

6

-

-

64.8

64

-

-

-

-

-

-

-

-

80

-

-

-

64

32

32

64

6

12

-

-

-

-

-

-

32

32

-

6

12

-

-

II (DAU) SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - -

III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan

Sumber: Tambunan ( 2001)

Dana Alokasi Umum

Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat

dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk

mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal

(horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini

42

disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber

daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan

kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak

bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah & bangunan, dan pajak penghasilan

perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa

daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke

daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.

Menurut Tambunan (2001), setelah otonomi dana alokasi umum

(sebelumnya dikenal dengan istilah dana rutin daerah dan dana pembangunan

daerah) meningkat signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya

paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah

dikurangi bagian dari pajak dan sumber daya alam yang diserahkan ke daerah.

Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan.

Dana Alokasi Khusus

Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal

dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah

untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi

khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran

pendapatan dan belanja negara.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud

dengan kebutuhan khusus adalah: (1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan

dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang

tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan

transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan

jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan

(2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui

dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam

pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi

fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah

sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan

meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan

43

kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup

tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama

pembiayaan tersebut (Sidik, 2002).

Desentralisasi fiskal menyebabkan dana transfer dari pemerintah pusat dan

daerah meningkat cukup tinggi. Akhmad (2012) menunjukkan bahwa DBH dan

DAU meningkat sekitar Rp 22 triliun dan Rp 61 miliar dari sebelumnya sebesar

Rp 4 triliun dan Rp 15 triliun. Meskipun DAK mengalami penurunan menjadi Rp

1 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 10 triliun, tetapi secara keseluruhan total

dana perimbangan mengalami peningkatan sebesar 184 persen.

Peningkatan dana perimbangan tersebut terjadi di seluruh kabupaten dan

kota di Indonesia. Barbara (2008) menunjukkan bahwa setelah desentralisasi

fiskal, dana perimbangan kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah meningkat

menjadi Rp 544 miliar dari sebelumnya sebesar Rp 246 miliar, atau naik sebesar

121.32 persen. Rindayati (2009) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal

menyebabkan rata-rata dana perimbangan daerah Jawa Barat meningkat menjadi

Rp 3 triliun (2001-2005) dari sebelumnya sebesar Rp 0.4 triliunr (1995-2000),

atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 571 persen.

Berikutnya, Astuti (2007) menggambarkan bahwa kebijkan desentralisasi

fiskal menyebabkan rata-rata penerimaan dana perimbangan kabupaten dan kota

di Bengkulu meningkat dari Rp 129 miliar (1998-2000), menjadi Rp 372 miliar

(2001-2003), atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 190 persen. Terakhir,

Panjaitan (2006) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan dana

perimbangan pemerintah daerah Sumatera Utara naik sekitar 41 persen.

2.1.7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap

ketimpangan gender di pasar tenaga kerja dapat dianalisis dengan menggunakan

Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Alat analisis yang sama digunakan oleh

Wanjala dan Were (2010) untuk mengkaji dampak investasi terhadap

ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Kenya.

Daryanto dan Hafizrianda (2010) menjelaskan SNSE sebagai berikut.

Tabel input-output adalah komponen dasar untuk membentuk SNSE. Apabila

variabel endogen tabel input-output terdiri dari faktor produksi dan sektor

44

produksi, maka SNSE melengkapinya dengan menambahkan satu variabel

endogen yaitu institusi. Adanya variabel institusi ini menyebabkan SNSE mampu

menganalisis distribusi pendapatan ketika variabel eksogen berubah.

a. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Kerangka dasar pembentukan SNSE adalah berbentuk matriks dengan

ukuran 4x4, yang berbasis pada neraca-neraca pelaku ekonomi (actors) yang telah

dikonsolidasikan. Bentuk dari matriks yang menggambarkan perilaku dari pelaku-

pelaku ekonomi dalam bentuk berbagai transaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel

8.

Tabel 8. Kerangka Dasar SNSE

Pengeluaran

Penerimaan

Neraca Endogen Neraca

Eksogen Jumlah Faktor

Produksi Institusi

Sektor

Produksi

1 2 3 4 5

Ner

aca

Endoen

Faktor

Produksi 1 0 0 T13 X1 Y1

Institusi 2 T21 T22 0 X2 Y2

Sektor

produksi 3 0 T32 T33 X3 Y3

Neraca eksogen 4 L1 L2 L3 L4 Y4

Jumlah 5 Y’1 Y’2 Y’3 Y’4

Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)

Tabel 8 ini merupakan tabel contoh yang sangat ringkas yang tujuannya

adalah untuk menunjukkan bagaimana sistem data ini bekerja. Susunan angka-

angka yang terlihat pada tabel merupakan suatu sistem neraca, di mana pada

setiap angka yang ada pada sel-sel matriks mencerminkan hubungan antara

transaksi pada satu neraca dengan transaksi pada neraca yang lainnya. Dalam

kerangka SNSE terdapat 4 neraca utama, yaitu:

1. Neraca faktor produksi,

2. Neraca institusi,

3. Neraca sektor produksi, dan

4. Neraca lainnya (rest of the world)

Masing-masing neraca tersebut menempati satu lajur baris dan satu lajur

kolom. Isian pada setiap lajur baris menjelaskan tentang struktur penerimaan,

45

sedangkan isian pada setiap lajur kolom menjelaskan tentang struktur

pengeluaran. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lainnya

memberikan arti tersendiri. Tabel 9 memberikan arti secara singkat mengenai

masing-masing perpotongan tersebut.

Tabel 9. Arti Hubungan Antarneraca dalam Kerangka SNSE

Pengeluaran

Penerimaan

Neraca Endogen

Neraca

Eksogen Jumlah Faktor

Produksi Institusi

Sektor

Produksi

1 2 3 4 5

Ner

aca

En

do

en

Faktor

Produksi 1 0 0

Alokasi

nilai tambah

ke faktor

produksi

Pendapatan

faktor

produksi dari

luar negeri

Distribusi

pendapatan

faktorial

Institusi 2

Alokasi

pendapatan

faktor ke

institusi

Transfer

antar

institusi

0 Transfer dari

luar negeri

Distribusi

pendapatan

institusional

Sektor

produksi 3 0

Penerimaa

n domestik

Penerimaan

antara

Ekspor dan

investasi

Total output

menurut sektor

produksi

Neraca

eksogen 4

Alokasi

pendapatan

faktor ke

luar negeri

Tabungan

pemerintah

swasta dan

rumahtang

ga

Impor dan

pajak tak

langsung

Transfer

lainnya

Total

penerimaan

neraca lainnya

Jumlah 5

Distribusi

pengeluaran

faktor

Distribusi

pengeluara

n institusi

Total input

Total

pengeluaran

lainnya

Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)

Neraca SNSE dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu neraca endogen dan

neraca eksogen. Neraca endogen terdiri dari neraca (sub-sistem) faktor produksi,

neraca institusi kecuali pemerintah, neraca sektor produksi, dan neraca komoditas.

Sedangkan yang dikelompokkan dalam neraca eksogen adalah neraca atau

variabel yang dapat dijadikan alat untuk mengatur kebijaksanaan (policy tools)

oleh pemerintah atau variabel yang sulit dikontrol (di luar jangkauan model), yang

meliputi neraca pemerintah, neraca kapital, pajak tak langsung neto, dan neraca

luar negeri.

b. Keterkaitan Antarindustri

Ketika kita berbicara tentang "guncangan sisi permintaan eksogen" untuk

ekonomi, kita mengacu kepada perubahan ekspor permintaan, pengeluaran

pemerintah, atau investasi permintaan. Dampak guncangan ini memiliki baik

46

langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung adalah yang berkaitan dengan

sektor yang secara langsung dipengaruhi oleh shock. Sebagai contoh,

peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki dampak

langsung pada sektor pertanian. Selain itu, peningkatan permintaan untuk ekspor

pertanian juga memiliki efek tidak langsung yang berasal dari keterkaitan sektor

pertanian dengan sektor lain dalam perekonomian, misalnya industri pupuk, bibit,

dan industri pengguna output pertanian dalam negeri.

c. Analisis Multiplier

Berdasarkan tabel sebelumnya, distribusi pendapatan dan pengeluaran

neraca endogen dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pendapatan faktor produksi : Y1 = T13 + X1 ............................. (2.3)

Pendapatan institusi : Y2 = T21 + T 22 + X2 ............................. (2.4)

Pendapatan kegiatan produksi : Y3 = T32 + T33 + X3 ............................. (2.5)

Pengeluaran faktor produksi : Y1 = T21 + L1 ............................. (2.6)

Pengeluaran institusi : Y2 = T22 + T32 + L2 ............................. (2.7)

Pengeluaran kegiatan produksi : Y3 = T13 + T33 + L3 ............................. (2.8)

Persamaan-persamaan di atas dapat ditulis kembali secara singkat sebagai berikut:

Y = T + X ............................. (2.9)

Dalam hal ini Y adalah pendapatan/pengeluaran, T adalah transaksi, dan X adalah

neraca eksogen. Matriks T sebagai matriks transaksi antar blok di dalam neraca

endogen ditulis sebagai berikut:

........................... (2.10)

Matriks transaksi T menunjukkan adanya transaksi antarneraca seperti T13,

T21, T32, dan transaksi dalam neraca sendiri yaitu: T22 dan T33. Transaksi antar

neraca ini dapat juga dituangkan dalam bentuk gambar, sebagaimana yang terlihat

pada Gambar 11.

Apabila kecenderungan pengeluaran Aij merupakan pembagian antara

pengeluaran sektor j untuk sektor ke i dengan total pengeluaran ke j (Yj), maka:

........................... (2.11)

Maka matriks Aij dapat ditulis kembali sebagai berikut:

47

........................... (2.12)

Apabila persamaan sebelumnya dibagi dengan Y diperoleh persamaan-persamaan

sebagai berikut:

........................... (2.13)

........................... (2.14)

........................... (2.15)

........................... (2.16)

........................... (2.17)

(T32) (T13) T13

(T21)

Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)

Gambar 11. Keterkaitan Transaksi dalam SNSE

di mana: adalah merupakan matrix accounting multiplier.

Melalui multiplier tersebut dapat diperoleh berbagai macam jenis multiplier

ekonomi yang sangat bermanfaat dalam menentukan seberapa besar hubungan

antara aktivitas ekonomi dalam suatu perekonomian secara keseluruhan. Adapun

multiplier yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Production multiplier atau gross output multiplier yaitu besaran multiplier

yang menunjukkan berapa besar pengaruh dari suatu sektor produksi terhadap

perubahan output perekonomian secara keseluruhan

Aktivitas

produksi

(T33)

Distribusi

pendapatan institusi

(T22)

Distribusi

pendapatan

factorial (T11)

48

2. Value added multiplier yaitu besaran multiplier yang menunjukkan berapa

besar pengaruh dari suatu sektor dalam blok produksi terhadap perubahan

value added.

3. Other sektor linkage multiplier yaitu besaran multiplier yang menunjukkan

berapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap perubahan output di sektor-

sektor lainnya dalam blok produksi.

4. Induced household income multiplier yaitu besaran multiplier yang

menunjukkan berapa besar pengaruh dari suatu sektor dalam blok produksi

terhadap perubahan pendapatan rumahtangga dalam blok institusi.

Penjumlahan kolom anak matriks SNSE memiliki nilai yang sama dengan

keempat multiplier tersebut. Berdasarkan masing-masing nilai multiplier dapat

diketahui bagaimana peran dari suatu sektor produksi misalnya terhadap

penciptaan nilai ambah atau pendapatan rumahtangga.

d. Pengganda Tenaga Kerja

Perkiraan jumlah penyerapan tenaga kerja (L) dihitung dengan

mengalikan matriks koefisien tenaga kerja (i) dengan matriks PDB per sektor (Y).

Setiap sektor memiliki jumlah penyerapan tenaga kerja yang berbeda-beda karena

masing-masing sektor memiliki koefisien tenaga kerja dan pendapatan yang

berbeda. Oleh karena itu, jika diuraikan untuk masing-masing sektor maka

diperoleh:

........................... (2.18)

........................... (2.19)

........................... (2.20)

Dalam bentuk matriks, persamaan-persamaan di atas dapat ditulis sebagai:

........................... (2.21)

Dimana:

L = Matriks jumlah tenaga kerja

Y = Output

49

........................... (2.22)

Karena , maka:

........................... (2.23)

Dimana:

L = Kebutuhan tenaga kerja yang dipengaruhi permintaan akhir

2.2. Tinjauan Empiris

Khan (1999), melakukan penelitian tentang pertumbuhan sektoral dan

pengurangan kemiskinan di Afrika Selatan dengan menggunakan teknik

dekomposisi multiplier. Dalam penelitian ini, Khan mencoba untuk menjelaskan

bagaimana hubungan antara pertumbuhan sektoral dan pengurangan kemiskinan

di Afrika Selatan.

Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi hubungan antara

pertumbuhan sektoral dan pengurangan kemiskinan sama seperti yang dilakukan

Thorbecke dan Hong-sang di Indonesia. Secara empiris, ekonomi Afrika selatan

lebih maju daripada Indonesia tetapi kemiskinan yang berlangsung lama terjadi

pada kelompok masyarakat berwarna kulit hitam yang merupakan penduduk asli.

Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada kebijakan untuk pengentasan

kemiskinan, khususnya di antara penduduk asli Afrika .

SNSE Afrika Selatan yang digunakan memiliki tiga faktor endogen yaitu

faktor produksi, rumahtangga dan kegiatan produksi. Sedangkan faktor

eksogennya adalah pengeluaran pemerintah, kapital, dan rest of the world.

Nilai tambah yang dihasilkan dalam kegiatan produktif didistribusikan

antara pemilik tanah, pemilik modal, kelompok pekerjaan yang dibagi

berdasarkan ras. Pengelompokan berdasarkan ras ini bertujuan untuk menangkap

kebijakan masa lalu di mana pekerjaan banyak ditentukan oleh faktor ras. Untuk

tujuan mempelajari hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan rumahtangga

dipisahkan menjadi tipe pedesaan dan perkotaan. Selanjutnya, dalam wilayah

50

perkotaan dan pedesaan, rumahtangga diklasifikasikan menjadi tinggi, menengah,

dan rendah menurut status ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan pangsa pedesaan

berpendapatan rendah dan sedang signifikan lebih tinggi dibandingkan empat

rumahtangga lainnya. Pada saat yang sama, kelompok berpenghasilan rendah

perkotaan merupakan kantong kemiskinan di kawasan perkotaan.

Sektor pertanian dan pertambangan memberikan dampak paling besar

terhadap pengurangan kemiskinan total diikuti oleh transportasi dan jasa, dan

manufaktur. Pengolahan makanan, tekstil, tenun, kulit dan kayu memiliki dampak

pengentasan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan kertas, listrik bahan

kimia, atau konstruksi. Ini kemungkinan besar merupakan refleksi dari perbedaan

di antara sektor-sektor dalam hal keterkaitan ke belakang dan penggunaan tenaga

kerja tidak terampil di Afrika Selatan

Pengentasan kemiskinan untuk beberapa sektor industri seperti konstruksi,

bahan kimia dan listrik sangat rendah hal ini disebabkan masyarakat miskin

Afrika tidak dipekerjakan secara signifikan di sektor ini. Implikasi kebijakannya

adalah orang Afrika miskin harus dibawa ke dalam proses industrialisasi secara

langsung. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan kualitas sumberdaya

manusia sehingga rekomendasi kebijakan jangka panjang yang diambil adalah

pendidikan dan pelatihan kepada penduduk Afrika miskin.

Hafizrianda (2007), melakukan penelitian dengan judul Dampak

Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan

Perekonomian Regional Provinsi Papua dengan alat analisis SNSE. Ada tiga yang

menjadi tujuan berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi

Papua, yaitu: 1) menganalisis peranan dari sektor-sektor ekonomi yang berbasis

pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, 2) mengukur dan

menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antara sektor-sektor ekonomi,

rumahtangga dan tenaga kerja di provinsi Papua, 3) menganalisis dampak

pembangunan sektor-sektor ekonomi berbasis pertanian terhadap penurunan

ketimpangan pendapatan di Propinsi Papua. Alat analisis yang digunakan adalah

analisis multiplier SNSE, dekomposisi multiplier SNSE, structural path analysis

SNSE, Theil-index dan L-index.

51

Penelitian ini melakukan pemutahiran Tabel Input Output Papua menjadi

tahun 2003, yang kemudian menjadi dasar untuk membangun SNSE Papua.

Neraca SNSE Papua dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neraca endogen dan

eksogen. Neraca endogen terdiri atas blok neraca faktor produksi, blok neraca

institusi, dan blok neraca aktivitas produksi. Faktor produksi terdiri atas tenaga

kerja dan modal, di mana tenaga kerja didisagregasi menjadi tenaga kerja papua

dan nonpapua. Institusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: rumahtangga

(rumahtangga desa berpendapatan rendah, rumahtangga desa pendapatan sedang,

rumahtangga desa pendapatan tinggi, rumahtangga kota pendapatan rendah,

rumahtangga kota pendapatan sedang, dan rumahtangga kota pendapatan tinggi)

dan institusi lainnya (swasta dan pemerintah). Sedangkan aktivitas produksi

meliputi 20 sektor dengan fokus utama pada sektor-sektor berbasisi pertanian.

Neraca eksogen dipisah menjadi neraca kapital (capital account), neraca pajak tak

langsung (indirect tax account), dan neraca rest of the world. Sebagai catatan,

masuknya pemerintah ke dalam neraca endogen menyebabkan simulasi

pengeluaran pemerintah tidak dapat dilakukan, sehingga simulasi hanya

bergantung pada peran swasta saja.

Data-data yang diperlukan untuk membangun SNSE Papua adalah hasil

pemutahiran tabel input-output Papua tahun 2003, pengeluaran konsumsi

penduduk Papua tahun 2002, statistik penduduk Papua tahun 2003, SNSE

Indonesia tahun 2002, Survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga

(SKTIR) tahun 2003, susenas 2003 dan statistik keuangan Papua 2002/2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang

berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di Provinsi Papua.

Hal ini dapat dilihat dari sebagian hasil simulasi yang menunjukkan bahwa sektor

berbasis pertanian mampu mengurangi ketimpangan pendapatan dalam

perekonomian Papua. Rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah redistribusi

pendapatan yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horisontal.

Berdasarkan Tabel Input-output 1993-1994, Fontana dan Wobst (2001)

membangun sebuah SNSE Bangladesh dengan membagi tenaga kerja berdasarkan

gender. SNSE yang dibangun terdiri atas 43 sektor dengan fokus analisis pada 10

sektor pertanian dan 19 sektor industri. Neraca institusi dibagi kedalam dua belas

52

kelompok sosial-ekonomi untuk mempertajam analisis kesejahteraan rumahtangga

dan kemiskinan. Sedangkan faktor produksi terdiri atas sepuluh yaitu modal,

tanah dan delapan jenis tenaga kerja yang dipilah berdasarkan tingkat pendidikan

dan gender. Dengan dipilahnya tenaga kerja maka SNSE yang dibangun dapat

menjadi dasar untuk analisis sensitif gender ketika terjadi perubahan kebijakan.

Tenaga kerja yang dipilah terdiri atas delapan kategori, yaitu: tenaga kerja

perempuan tak terdidik, tenaga kerja perempuan berpendidikan rendah, tenaga

kerja perempuan berpendidikan sedang, tenaga kerja perempuan berpendidikan

tinggi, tenaga kerja laki-laki tak terdidik, tenaga kerja laki-laki berpendidikan

rendah, tenaga kerja laki-laki berpendidikan sedang, tenaga kerja laki-laki

berpendidikan tinggi. Dikatakan tidak terdidik jika tidak pernah mengikuti

pendidikan formal, dikatakan berpendidikan rendah jika lama pendidikan antara

1-5 tahun, dikatakan berpendidikan sedang jika lama sekolah antara 5-10 tahun,

dan dikatakan berpendidikan tinggi jika lama sekolah di atas 10 tahun.

Wanjala dan Were (2010) meneliti tentang ketimpangan gender dan

pertumbuhan ekonomi di Kenya dengan menggunakan SNSE. Penelitian ini

menganalisis dampak investasi dari berbagai sektor terhadap pendapatan tenaga

kerja di Kenya. Alat analisis yang digunakan adalah matriks pengganda SNSE, di

mana SNSE yang digunakan memilah tenaga kerja berdasarkan gender sehingga

diperoleh hasil penelitian yang responsif gender.

Ketimpangan gender memang sudah ada di Kenya, hanya saja

implementasi kebijakan yang buta gender dapat melanggengkan ketidaksetaraan

gender di Kenya. Reformasi kebijakan Kenya bertujuan untuk meningkatkan

peran swasta sehingga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan di sektor

swasta yang sebagaian besar adalah sektor informal. Penelitian ini bertujuan

untuk menggambarkan bagaimana ketimpangan di pasar tenaga kerja Kenya dan

struktur ekonomi menjadi penentu terbesar yang menciptakan ketimpangan

pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian Kenya memberikan

dampak peningkatan tertinggi terhadap pendapatan tenaga kerja (terutama tenaga

kerja laki-laki terampil, sementara sektor industri tertinggi dalam persentase

peningkatan lapangan kerja. Walaupun perempuan banyak diuntungkan oleh

53

penciptaan tanaga kerja tersebut, tetapi lebih besar terjadi pada sektor informal.

ketimpangan gender di Kenya adalah gambaran dari adanya ketimpangan di pasar

tenaga kerja dan struktur sosial ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang

ditujukan mengatasi kendala yang membatasi partisipasi efektif perempuan dalam

Kenya pasar tenaga kerja, termasuk meningkatkan produktivitas dan

meningkatkan keterampilan perempuan, adalah penting agar perempuan dan laki-

laki memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati peningkatan kesempatan

kerja dan pertumbuhan ekonomi.