MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA...

134
MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT DALAM SURAH AL-NISĀ’ MENURUT AL- MARGHI Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M. Ag) Oleh: Hasiolan NIM: 21160340000005 PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441H./2020M.

Transcript of MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA...

Page 1: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN

ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT

DALAM SURAH AL-NISĀ’ MENURUT AL-

MARᾹGHI Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Agama (M. Ag)

Oleh:

Hasiolan

NIM: 21160340000005

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441H./2020M.

Page 2: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI
Page 3: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI
Page 4: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI
Page 5: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

vi

ABSTRAK

Hasiolan, Munasabah Kandungan Ayat Dengan Asma Al-

Husna Sebagai Penutup Ayat Dalam Surah Al-Nisā’ Menurut

Al-Marāghi, 2019.

Para ulama sepakat mengenai kemukjizatan kitab suci al-

Qur’an namun mereka berbeda pendapat dalam hal pemaparan

kemukjizatan al-Qur’an secara rinci, bagian demi bagian. Salah

satu aspek kemukjizatan al-Qur’an adalah mengenai kesatuan al-

Qur’an, untuk mencari jawaban akan hal tersebut muncullah ilmu

munasabah seperti yang dibahas dalam tesis ini.

Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana penggunaan

munasabah oleh Ahmad Musthafa al-Marāghi dalam menafsirkan

kandungan ayat al-Qur’an dengan asma al-husna sebagai penutup

ayat dalam surah al-Nisâ’? Dengan menggunakan metode

diskriptif-analitis, penulis menjawab pertanyaan penelitian

tersebut melalui pencarian data kepustakaan, lebih khusus kitab

Tafsir Al-Marāghi. Selain itu, penulis juga mencari kitab tafsir,

buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,

penulis menafsir data-data yang terkumpul secara analitis

menggunakan pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.

Tesis ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama: al-

Marāghi tidak menggunakan klasifikasi munasabah yang

ditawarkan oleh al-suyuti atau al-Zarkasy dalam menghubungkan

pembuka dan asma al-husna sebagai penutup ayat. Dalam

menjelaskan hubungan kandungan ayat dengan asma al-husna

sebagai penutup ayat, al-Marāghi menggunakan metode

maknawiyyah/tafsiriyyah bukan uslūbiyyah. Temuan Kedua:

Untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat adakalanya

cukup melihat hubungannya dengan ayat yang sama dan ada juga

dengan beberapa ayat sebelumnya untuk memahami maksud

asma tersebut.

Kata Kunci: Tafsīr al-Marāghi, Munasabah.

Page 6: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

vii

ABSTRACT

Hasiolan, Munasabah Ingredients Verses With Asma Al-Husna

As Closing Verses In Surah Al-Nisā’ According To Al-Marāghi's

Tafsīr, 2019.

The scholars agreed on the miracles of the Holy Qur'an but

they differed in their presentation of the miracles of the Qur'an in

detail, section by section. One aspect of the miracle of the Koran

is the unity of the Koran, to find answers to it, the science of

munasabah appears as discussed in this thesis.

This thesis answers the question how is the use of

munasabah by Ahmad Musthafa al-Marāghi in interpreting the

contents of the Qur'anic verses with Asma al-Husna as the closing

verses in Surah al-Nisā'? By using a descriptive-analytical

method, the author answers the research question through

searching library data, more specifically the Tafsir Al-Marāghi.

In addition, the writer also looks for commentaries, books and

articles that are relevant to this research. Furthermore, the authors

interpret the data collected analytically using the collection of a

number of units in the analysis.

This thesis finds several points: First finding: al-Marāghi

does not use the munasabah classification offered by al-suyuti or

al-Zarkasy in linking the opening and asma al-husna as the

closing verse. In explaining the relationship of the verse content

with asma al-husna as the closing verse, al-Maragghi uses the

method of maknawiyyah/tafsiriyyah not uslūbiyyah. Second

Findings: To understand asma al-husna at the end of the verse

sometimes it is enough to see the relationship with the same verse

and there are also some previous verses to understand the purpose

of the asma.

Key Word: Tafsīr al-Marāghi, Munasabah.

Page 7: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, penulis haturkan kepada Allah Swt.

Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih

sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada

Rasulullah Muhammad Saw, pembawa kebenaran dan petunjuk

bagi umat manusia. Al-Hamd li Allâh, dengan berbagai kesulitan

yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis ini, akhirnya berkat

ridha dan inayah Allah Swt, semua kesulitan tersebut dapat

penulis lalui.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih

kepada banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil dalam

penyelesaian tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-

pihak lainnya.

Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany

Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., kepada Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Yusuf Rahman, M.A.,

Ph.D., kepada jajaran pimpinan serta para dosen pengajar

Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar,

MA, Prof. Hamdani Anwar, MA, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA,

Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, dan beberapa dosen yang lain.

Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa

terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

Dr. Faizah Ali Sibromalisi. MA dan Dr. Suryadinata. MA selaku

pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak

sekali memberikan masukan-masukan yang berharga kepada

penulis demi berkualitasnya karya ini.

Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan

terimakasih yang setelus-tulusnya kepada ayahanda Ali Ramlan

Nasution, serta Ibunda tercinta Yusro, yang tak pernah letih

memberikan motivasi serta kasih sayang yang tulus kepada

penulis. Selain itu, kepada kakak tersayang Eni Puspita S.Pd dan

Tulistini Nasution. M.Pd yang menyertai terselesainya karya ini.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis

persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian

terhadap kajian keislaman, disertai harapan semoga dengan

Page 8: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

ix

hadirnya karya ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat

dalam memperkaya wawasan intelektual, khususnya bagi

perkembangan khazanah Ulûm al-Qur’ân.

Jakarta, 22 Januari 2020

Hasiolan

Page 9: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……………………. ............................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………….. .......... iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………….. .. .......... v

ABSTRAK………………………………………………… ........... vi

KATA PENGANTAR……………………………………. ............ viii

DAFTAR ISI .................................................................................... x

TRANSLITERASI .......................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................... 7

C. Rumusan, dan Pembatasan Masalah ............................ 8

D. Tinjauan Pustaka .......................................................... 8

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................. 11

F. Metode Penelitian......................................................... 11

G. Sistematika Penulisan .................................................. 14

BAB II MUNASABAH ................................................................. 15

A. Sejarah Munasabah ...................................................... 15

B. Pengertian Munasabah ................................................. 17

C. Macam-Macam Munasabah ......................................... 18

D. Pendapat Ulama Mengenai Munsabah ......................... 33

E. Manfaat Ilmu Munasabah ............................................ 38

BAB III SURAH AL-NISᾹ’ DAN ASMA AL-HUSNA ................. 39

A. Profil Surah al-Nisa ...................................................... 39

B. Kandunga Surah al-Nisa .............................................. 42

C. Penjelasan asma al-husna ............................................ 44

BAB IV AHMAD MUSTAFA AL-MARᾹGHI DAN TAFSIR

AL-MARᾹGHI ................................................................. 65

D. Riwayat Hidup Ahmad Mustafa Al-Marāghi .............. 65

E. Karya Ahmad Mustafa Al-Marāghi ............................. 67

F. Tafsir Al-Marāghi ........................................................ 68

1. Sejarah Penulisan Tafsir .......................................... 68

2. Metode Penulisan Tafsir Al-Marāghi ...................... 73

3. Rujukan Tafsir Al-Marāghi ..................................... 77

4. Metodologi dan Corak Tafsir Al-Marāghi............... 78

G. Pandangan Ulama/Sarjanawan Terhadapa Ahmad

Mustafa Al-Marāghi ..................................................... 84

Page 10: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

xi

BAB V MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN

ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT

DALAM TAFSIR AL-MARᾹGHI ................................. 87

A. Tamkīn: Munasabah kandungan ayat dengan asma

al-husna dalam satu ayat .............................................. 87

1. Hukum .................................................................... 87

2. Sosial ...................................................................... 92

3. Akidah .................................................................... 95

4. Ibadah ..................................................................... 96

B. Tafsīr: Munasabah asma al-husna dengan

kandungan beberapa ayat sebelumnya ….. .................. 99

1. Hukum .................................................................... 99

2. Sosial ...................................................................... 103

3. Akidah .................................................................... 106

4. Ibadah ..................................................................... 109

BAB VI PENUTUP ....................................................................... 113

A. Kesimpulan .................................................................. 113

B. Saran ............................................................................ 114

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 115

Page 11: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam

aksara latin:

Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B be ب

T te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H h dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ’ ء

Y Ye ي

Page 12: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

xiii

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,

terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah

I Kasrah

U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya

adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i ي…

Au a dan u و…

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam

bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di ـآ

atas

Î i dengan topi di ـي

atas

Û u dengan topi di ـو

atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab

dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf

/l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh:

al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku

jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata

Page 13: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

xiv

tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian (الضرورة)

seterusnya.

6. Tâ’ Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah

terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal

yang sama juga berlaku jika tâ’ marbûtah tersebut diikuti oleh

kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Tarîqah طريقة 1

al-jâmî’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمیة 2

wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak

dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga

digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû

Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan

Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai

huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut

EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian

halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh

yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak

dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.

Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad

al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Page 14: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

xv

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun

huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa

contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab,

dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذ ھ ب األ ست اذ

tsabata al-ajru ث ب ت األ جر

ك ة الع صر ی ة al-harakah al-‘asriyyah ال حر

د أ ن ال إ لھ إ ال هلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھ

ال ح ل ك الص وال ن ا م Maulânâ Malik al-Sâlih م

ك م هلل ث ر yu’atstsirukum Allâh ی ؤ

al-mazâhir al-‘aqliyyah المظ اھ ر الع قل ی ة

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri

mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab

tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan

Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm;

Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

Page 15: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh

Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw untuk

dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sebagai khalifah di

bumi.1 Muhsin Qiraati dalam bukunya Lesson from al-Qur’an

menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang di satu

sisi sangat sederhana dan sangat mudah dipahami, dan di sisi lain

begitu bertenaga dan sangat efektif.2

Al-Qur’an tidak cukup hanya dibaca saja, namun hendaknya

diikuti dengan perenungan dan pengamalan. Quraish Shihab

menekankan bagaimana pentingnya membaca al-Qur’an dengan

disertai kesadaran akan keagungan al-Qur’an, dalam bentuk

tadzakkur dan tadabbur.3 Hal tersebut sesuai dengan pesan al-

Qur’an tersendiri, yaitu

رون ٱلقرءان أم على قلوب أقفالها أفلا يتدب Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-

Quran ataukah hati mereka terkunci.4

Al-Qur’an memiliki banyak aspek kemukjizatan di

antaranya dari segi bahasa.5 Bahasa al-Qur’an menurut Abdel

1 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas

Ayat-ayat Hukum Dalam al-Qur’an, cet. V (Jakarta: Penamadani, 2008), xix. 2 Muhsin Qiraati, Lesson From al-Qur’an diterjemahkan oleh M MJ.

Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah (Bogor: Cahaya, 2004), 225-229. 3 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, cet. II (Hidup Bersama

al-Qur’an) (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 21-22 4 Lihat QS. Muhammad [47]: 24 5 Manna al-Qattan dalam bukunya Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an

menerangkan bahwa selama ini, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan

festival bahasa dan mereka memperoleh kemenangan, tetapi tidak seorang pun

di antara mereka yang berani menyatakan dirinya menantang al-Qur’an,

melainkan ia hanya akan mendapat kehinaan dan kekalahan. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, kelemahan bahasa ini terjadi justru

pada masa kejayaan dan kemajuan ketika al-Qur’an diturunkan. Saat itu,

bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur

kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa. Al-

Qur’an berdiri tegak untuk menantang mereka dalam berbagai volume

tantangan yang terus-menerus menjadi lebih ringan. Lihat: Manna Khalil al-

Page 16: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

2

Haleem, dalam bukunya Memahami al-Qur’an, memiliki gaya

bahasa yang khas.6 Misalnya pada banyak surah al-Qur’an

mencampurkan pembahasan hukum dengan keimanan, ibadah dan

moral sebagai penguat hukum tersebut, dan lain-lain.7Kedua:

terletak pada pola susunannya.8

Keunikan bahasa al-Qur’an menarik banyak orang untuk

mengkajinya ketika mereka dihadapkan dengan teks tersebut.

Muhammad Hasan Qadardan menyebutkan bagaimana klaim

relativistik yang dikemukakan dalam hermeneutika bahwa semua

teks, termasuk al-Qur’an, tidak mengungkapkan apa-apa (bisu).9

Memang teks adalah sesuatu yang mati yang berada dalam

lembaran-lembaran buku. Teks tersebut akan hidup jika ada yang

meneliti dan memahaminya sehingga membuat teks tersebut bisa

berinteraksi langsung dengan realitas.10

Dalam buku Memahami al-Qur’an karya Muhammad Abdel

Haleem, beliau menyebutkan bahwa pendekatan yang paling

relevan untuk memahami al-Qur’an adalah dengan menggunakan

Qattan, Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an diterjemahkan oleh Muzakir, cet. xviii

(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), 382-383. 6 Issa J. Boullata mengungkapkan bahwa satu huruf dalam tempatnya

di dalam al-Qur’an adalah mukjizat. Huruf itu memegang kata pada tempat ia

berada, melalui kata ia memegang ayat, kemudian dari ayat menggandeng

ayat-ayat lain. Semua susunan itu berada di atas kemampuan dan hasil usaha

manusia. Satu hal yang paling menakjubkan menurutnya terkait dengan

perasaan yang tampil dalam kata-kata al-Qur’an adalah bahwasanya ia tidak

boros dan tidak menguras energi jiwa, tetapi hemat dalam mengeluarkan

segala jenis pengaruh, hingga jiwa tidak merasa sesak, tidak lari dan juga tidak

bosan. Di sisi lainnya, al-Qur’an terus menyuapi dengan kelezatannya, dan

menghibur dengan gaya dan metodenya. Lihat Issa J. Boullata, I’Jaz al-Qur’an

al-Karim ‘Abra al-Tarikh diterjemahkan oleh Bachrum (Tangerang: Lentera

Hati, 2008), 265 & 277. 7 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and

Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. I (Tebuireng: Marja’, 2002), 24-25. 8 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūn al-Nas Dirāsah fi Ulūm al-Qur’an

dialihbahasakan oleh Khoiron Nahdliyyin, cet. IV (Yogyakarta: LKiS

Yogyakarta, 2005), 186-187. 9 Muahammad Hasan Qadrdan, al-Qur’an wa Sekulorizm

diterjemahkan oleh Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta: Sadra International

Institute, 2011), 79. 10 Muhammad Syafii Maarif, al-Qur’an dan Realitas Umat (Jakarta:

Republika, 2010), 1-2.

Page 17: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

3

dua konsep kunci yaitu; Pertama: konteks.11 Kedua: hubungan

internal—konsep ini tergambarkan dalam sebuah teori “al-Qur’an

yufassir ba’ḏuhu ba’dan” dalam artian jika bagian-bagian al-

Qur’an itu saling menjelaskan antara satu dan yang lainnya, dalam

ilmu modern disebutkan dengan “intertekstualitas” yang

dimaksud sebagai susunan isi al-Qur’an yang diketengahkan

menjadi sebuah metode paling tepat dalam memahami al-

Qur’an.12

Nasir Hamid menyebutkan bahwa antar ayat dan surat-surat

al-Qur’an merupakan struktural yang bagian-bagiannya saling

berkaitan. Tugas mufassir selanjutnya adalah menemukan

hubungan-hubungan tersebut. Mengungkapkan hubungan antar

bagian dari al-Qur’an bukan berarti menjelaskan hubungan-

hubungan yang memang ada secara inherent dalam teks, tetapi

membuat hubungan antara akal mufassir dengan teks.13Bahkan al-

Zarqani menambahkan bahwa anggapan yang menyatakan jika

terdapat pertentangan antara bagian al-Qur’an muncul dari

musuh-musuh Islam yang mempunyai tujuan untuk mendorong

umat Islam meyakini jika al-Qur’an tersebut tunduk kepada waktu

dan keadaan yang berbeda.14

Melihat hubungan dan kesatuan al-Qur’an, para ulama

ulumul Qur’an membuat poin tersendiri yang dikenal dengan ilmu

munasabah.15

11 Para muafassir dan pengkaji al-Qur’an mulai dari zaman klasik

telah menekankan akan pentingnya konteks dalam memahami ayat-ayat al-

Qur’an 12 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and

Style, 212. 13 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūn Al-Nas Dirāsah fi ‘Ulūm al-

Qur’an, 199. 14 Muhammad Abdul Adzhim al-Zarqani, Manahil Urfan fi ‘Ulūm al-

Qur’an (‘Isya Al-Baby al-Halby), 206. 15 Hasani Ahmad Said menerangkan dalam bukunya Studi Islam 1

bahwa ulum al-Qur’an Sebagai metode tafsir sudah terumuskan secara mapan

sejak abad 7-9 H, yaitu bertepatan pada saat munculnya dua kitab yang paling

berpengaruh, yakni al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an karya Badruddin al-

Zarkasyi (w. 794 H) dan al-Itqān fi Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddin al-

Suyuthi (w. 911 H). beliau melanjutkan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu

tentang keterkaitan antara satu surat /ayat dengan surat /ayat lain merupakan

bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini mempunyai posisi yang cukup urgen

dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan

yang utuh (holistik). Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada

Page 18: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

4

Menurut Abdel, mereka yang tidak memahami keterkaitan

al-Qur’an beserta tujuannya, akan cenderung mengkritik al-

Qur’an sebagai kitab yang “simpangsiur”. al-Qur’an memang

tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah tapi karena

kesinambungan ayat-ayatnya, al-Qur’an dapat dengan mudah

untuk dipahami. al-Qur’an bukanlah sebuah karya ilmiah

akademik melainkan sebuah kitab petunjuk bagi manusia yang

sudah tentu memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan

pesannya.16

Dalam The Unity of al-Qur’an yang ditulis oleh Amir Faisol

Fath dijelaskan bahwa ada ulama yang mencoba mencari kesatuan

al-Qur’an secara komprehensif seperti al-Biqa’i (Damaskus.

1406-1480 M) yang menulis Nazm al-Durār fi al-Tanāsuq al-Ayi

Wa al-Suwār. Yang di dalamnya diterangkan hubungan antar

ayat-ayat al-Qur’an, hubungan antara bagian awal dan akhir

surah,membahas kesatuan tematik dalam satu surah, serta

kesatuan tematik antara surah-surah al-Qur’an. Selain al-Biqai

hadir Sa’id Hawa (Suriah 1935-1987 M) dengan karyanya al-Asas

fi al-Tafsîr yang membahas hubungan ayat-ayat al-Qur’an,

hubungan antara frase dalam satu surah, hubungan antara empat

bagian al-Qur’an yaitu bagian panjang, sedang, agak pendek dan

pendek.17Ketika berbicara tentang penutup ayat maka al-Suyuti

membaginya dalam empat macam yaitu tamkīn, tasdīr, tausyīkh

dan al-īghal.18 Dari keempat bagian tersebut hanya tamkīn yang

bisa mewakili munasabah kandungan ayat dengan penutup ayat

masalah munasabah adalah Syaikh Abu Bakar Abdullah Ibn al-Naisaburi (w.

324 H), berdasarkan pendapat al-Zarkasyi. Kemudian kajian ini dilanjutkan

oleh ulama ahli tafsir seperti Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab Tartīb al-

Suwār al-Qur’an, juga Syaikh Burhanuddin al-Biqa'I dengan buku Nazm al-

Durār fi Tanāsub al-Ayāt wa al-Suwār, dan al-Suyuthi dalam kitab Asrār al-

Tartīb al-Qur’an. Belakangan ini dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya. Lihat: Hasani Ahmad Said, Studi

Islam: Kajian Islam Kontemporer (jakarta : Rajawali Pers, 2016), 3. 16 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and

Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. 1 (Tebuireng: Marja’, 2002), 24-

25. 17 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an diterjemahkan

Naisiruddin Abbas, cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 112-113 & 228-

229. 18 Al-Suyuti, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460.

Page 19: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

5

sedangkan yang lain lebih kepada hubungan kalimat yang terdapat

pada pembuka ayat dengan kalimat yang ada pada penutup ayat.

Lebih jauh, tamkīn yang digagas oleh al-Suyuti mesih

menyisakan ruang permasalahan dengan kanyataan bahwa ada

ayat yang kandungannya tidak bisa berhubungan dengan penutup

ayat kecuali harus melihat kepada beberapa ayat sebelumnya,

seperti dalam ayat berikut;

حيما ه كان غفورا ر ه إن ٱلل وٱستغفر ٱلل Artinya: dan mohonlah ampun kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.19

Ayat di atas ditutup dengan sifat Ghafūran menunjukkan

Allah sebagai yang Maha Pengampun dan Rahīman, Allah

sebagai yang Maha Penyayang. Sifat Ghafūran sebagai dorongan

untuk umat manusia supaya senang meminta ampun kepada Allah

yang sempurna pengampunan dan rahmat-Nya. Padahal melihat

dari struktur kalimat maka didapati jika kalimat istaghfir adalah

bentuk fi’il amar yang failnya adalah dhamiīr mustatir dalam

bentuk huwa yang merujuk kepada tunggal, sehingga kurang tepat

jika ditujukan kepada umat manusia secara kaidah kebahasaan.

Masalah seperti yang terdapat dalam ayat di atas akan menjadi

fokus dari penelitian ini.

Lebih dari itu, Amir Faishol menuturkan bahwa salah

seorang ulama yang sangat memperhatikan tentang kesatuan al-

Qur’an adalah Ahmad Mustafa al-Marāghi. al-Marāghi

berpendapat bahwa al-Qur’an adalah satu kesatuan yang kokoh

dan kuat. Setiap kalimat yang membentuk ayat-ayatnya dipilih

oleh Allah dengan bijaksana. Semuanya berada dalam pucuk

keserasian dan kepaduan, diletakkan dalam posisi yang paling

tepat. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat yang membentuk

surah serta susunan surah secara keseluruhan. al-Marāghi juga

menjelaskan al-Qur’an mempunyai redaksi kalimat yang teliti dan

akurat dalam menyingkap berbagai kebenaran. Sehingga apabila

redaksi dan ungkapan tersebut diganti, maka akan hancur cita rasa

sastranya.20

19 Lihat, QS. Al-Nisā’ (4): 106. 20 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an, 112-113 & 228-229.

Page 20: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

6

Tesis ini akan mengupas pandangan Ahmad Mustafa al-

Marāghi (w. 1952 M) terkait munasabah kandungan ayat dan

asma al-husna sebagai penutup ayat di dalam karya

monumentalnya yang dikenal dengan Tafsîr al-Marāghi.21 Kitab

ini beliau tulis karena banyaknya pertanyaan dari muridnya.

Mereka bertanya tentang kitab Tafsir yang mudah dipelajari dan

memberikan manfaat yang banyak dalam waktu yang singkat.

Beliau terdiam karena dalam pandangan beliau setiap kitab Tafsir

pasti mempunyai banyak manfaat. Dari sini lah muncul keinginan

beliau untuk menulis kitab Tafsir yang bisa memenuhi kebutuhan

manusia modern., baik gaya tutur, susunan redaksi, mudah

dipahami dan dimengerti maknanya, yang sesuai dengan ilmu

pengetahuan dan argumentasi yang kokoh, dan sesuai penelitian.22

Sebagai seorang ulama yang cukup masyhur maka al-

Marāghi menjadi salah satu objek kajian akademik baik

pemikirannya maupun karyanya. Misalnya, penelitian Mu’min

Rauf dengan tema Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-

ayat Mutasyābihat23 dan A. Baidowi dengan judul Konsep

Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian Atas Tafsīr al-

Marāghi.24

Al-Marāghi adalah seorang pakar di dalam bidang Tafsir

yang peduli tentang aspek munasabah dalam menafsirkan Al-

Qur’an. Bentuk kepedulian al-Marāghi terhadap munasabah bisa

dibuktikan dengan penelitian yang terkait dengan munasabah di

dalam Tafsirnya, seperti sebuah disertasi yang ditulis oleh

Lukmanul Hakim dengan judul Analisis Tentang Aspek

Munasabah Dalah Kitab Tafsîr al-Marāghi. Lukmanul Hakim

meneliti pola munasabah antar surat dan pola munasabah antar

ayat, juga analisis perbandingan terhadap pola dan pendekatan.25

Karena cakupan munasabah dalam dalam Tafsîr al-

Marāghi sangat luas maka tesis ini berusaha meneliti munasabah

21 Ahmad Mustafa al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 1 (Bairut:

Darul Fikr, 1974), 3. 22 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 23 Mu’min Rauf, Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat

Mutasyabihat, (Tesis: UIN Jakarta, 2007) 24 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas

Tafsir al-Marāghi), (Tesis: UIN Jakarta, 2003) 25 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalah Kitab

Tafsir al-Marāghi, (Disertasi: UIN Jakarta, 2006) hal 208-264

Page 21: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

7

kandungan dan asma al-husna sebagai penutup ayat dalam surah

al-Nisa. Surah al-Nisa adalah sebuah surah yang berbicara

mengenai tema yang sangat sensitif yaitu perempuan.26 Seringkali

para penafsir mendiskreditkan kaum perempuan, padahal salah

satunya cita-cita al-Qur’an adalah mengangkat derajat kaum

perempuan, misalnya jika sebelum Islam datang perempuan tidak

mendapat bagian harta warisan maka setelah Islam perempuan

mendapatkan bagian tertentu. Bahkan Nabi pernah bersabda

“Orang yang mengusahakan bantuan bagi para janda dan orang-

orang miskin seolah-olah dia adalah orang yang berjihad di jalan

Allah” (Bukhari, 6007).27

Begitu juga dengan posisi asma al-husna sebagai penutup

ayat seringkali terabaikan di dalam beberapa kitab Tafsir dan

tidak mendapat ruang penafsiran yang layak, seakan-akan penutup

ayat tersebut hanya sebagai pelengkap semata. Padahal menurut

al-Marāghi menyebut nama Allah memiliki banyak manfaat

seperti memberi makanan iman, menyatakan rasa takut kepada

Allah, menimbulkan rasa harap hanya kepadanya, memandang

enteng kepada segala penderitaan di dunia dan agar tidak terlalu

memperdulikan kenikmatan dunia yang tidak sempat diperoleh.28

Manfaat lain adalah sebagai sebuah bentuk usaha termulia yang

dilakukan oleh setiap jiwa dan sebaik-baik apa yang diraih oleh

orang-orang yang memiliki kecerdasan akal dan petunjuk. Bahkan

ilmu ini merupakan puncak yang diperebutkan oleh manusia dan

akhir dari yang diperlombakan, karena ilmu ini adalah pondasi

jalan menuju Allah dan jalan yang lurus dalam meraih kecintaan

dan keridhaan-Nya.29

B. Identifikasi Masalah

Dari judul di atas bisa diidentifikasi beberapa masalah, di

antaranya;

1. Apakah ada munasabah dalam kitab suci al-Qur’an.

26 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Pisangan: Lentera Hati, 2012)

jilid 2, hal 393 27 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,

(Kairo: Al-Quddus, 2014), hal 1220 28 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 9, hal 217 29Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad Al-Badr, Fiqh Asma al-

Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, (Jakarta: Darus Sunnah,

2018) cet 21, hal 21-24

Page 22: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

8

2. Siapa pelopor kemunculan munasabah.

3. Bagaimana pandangan ulama mengenai pentingnya

munasabah dalam menafsirkan al-Qur’an.

4. Bagaimana pandangan al-Marāghi tentang munasabah.

5. Bagaimana penerapan munasabah dalam Tafsîr al-Marāghi.

6. Bagaimana cara al-Marāghi menghubungkan antara

kandungan ayat dan penutupnya.

7. Bagaimana munasabah kandungan ayat dengan nama-nama

Allah yang ada di penutup ayat tersebut.

8. Berapa jumlah asma al-husna.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dari banyaknya masalah yang timbul terkait judul ini, maka

tentu diperlukan pembatasan masalah supaya penelitian tersebut

fokus dan mendalam, juga mempunyai tujuan yang jelas.

Masalah tersebut dibatasi pada munasabah kandungan ayat dan

asma al-husna pada penutup ayat dalam surah al-Nisā’.

Surah al-Nisā’ termasuk dalam kumpulan Sab’ah al-Tiwāl

(tujuh surah panjang), sehingga tidak mungkin untuk diteliti

setiap ayat mengingat singkatnya waktu dan panjangnya

pembahasan. Maka dari itu, peneliti membatasi pada ayat-ayat

yang terdapat asma al-husna pada penutup ayat yang berjumlah

58 ayat kemudian diklasifikasi ayat sesuai dengan kandunganya,

seperti terkait hukum sebanyak 35 ayat, sosial 10 ayat, akidah 5

ayat, ibadah berjumlah 8 ayat. Kemudian peneliti mengangkat

satu contoh dari setiap kandungan tersebut.

2. Perumusan Masalah

Masalah-masalah yang bisa dirumuskan dari penelitian ini,

setelah melihat identifikasi masalah dan pembatasan masalahnya

adalah bagaimana munasabah kandungan ayat dengan nama

Allah yang menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ menurut

Tafsîr al-Marāghi, ini lah yang akan digali dan sekaligus

menjadi judul dari penelitian ini.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam percarian penulis terhadap penelitian sebelumnya,

atau buku-buku yang terkait dengan judul ini, ada beberapa yang

mempunyai beberapa kesamaan dari salah satu aspek tetapi

Page 23: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

9

mempunyai perbedaan pada bagian yang lainnya, dan hal ini

pulalah yang menjadikan penelitian ini berbeda dari penelitian-

penelitian yang telah ada, seperti;

1. Lukmanul Hakim yang menulis penelitian dalam bentuk

Disertasi yang berjudul “Analisis Tentang Aspek Munasabah

Dalam Tafsîr al-Marāghi” pada tahun 2006. Adapun

permasalahan yang ingin diteliti oleh Lukmanul Hakim

adalah sebagai berikut; Pertama: bagaimana al-Marāghi

mendeskripsikan munasabah surah dengan surah dan ayat

dengan ayat serta pendekatan yang digunakan dalam

mempertahankan kesatuan ayat. Kedua: apakah deskripsi

munasabah yang ditawarkan oleh al-Marāghi merupakan

sebuah pemikiran orisinil dari beliau atau lebih besar

pengaruhnya dari para pakar lain sebelumnya. Fokus dari

peneliti adalah pencarian pola dan pendekatan yang

digunakan oleh al-Marāghi.30Disertasi ini kelihatan hampir

mirip dengan apa yang ada dalam penelitian ini, tetapi

perbedaannya adalah penelitian ini fokus pada hubungan atau

munasabah kandungan ayat dan penutup ayat, sedangkan

disertasi tersebut membahas pola munasabah yang digunakan

oleh al-Marāghi secara umum di dalam Tafsîr nya.

2. Endad Musaddad dengan tesis dengan tema “Munasabah

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, pada tahun 2005, yang ingin

meneliti dalam dua aspek kajian. Pertama: bagaimana

penggunaan munasabah yang dilakukan oleh Fakhrudin Ar-

Razi berkaitan dengan penafsiran yang dilakukannya dalam

kitab Tafsīr Mafatih Al-Ghaib. Kedua: bagaimana jenis-jenis

munasabah yang terdapat dalam Tafsîr Mafatih al-Ghaib.31

Penelitian ini sangat berbeda dengan apa yang akan penulis

teliti, meskipun sama-sama meneliti tentang munasabah al-

Qur’an tetapi di sini terdapat perbedaan tokoh yang dikaji

juga aspek kajiannya. Yang dalam penelitian ini hanya

berfokus pada kesesuaian kandungan ayat dengan Asma

Allah yang menjadi penutup dari ayat tersebut dalam surah al-

Nisa.

30 Lukmanul Hakim, Analisis tentang aspek Munasabah Dalam tafsir

al-Marāghi, (Disertasi: UIN Jakarta, 2006) 31 Endad Musaddad, Munasabah Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,

(Tesis: UIN Jakarta, 2005), 15.

Page 24: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

10

3. Sedangkan penelitian terkait tentang tokoh mufassir dalam

hal ini al-Marāghi sudah sangat banyak ditemukan seperti

penelitian yang berjudul “Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an

(suatu kajian atas Tafsîr al-Marāghi) ditulis oleh A. Baidowi

pada 2003 dalam bentuk tesis32 dan “Pendekatan Takwil al-

Marāghi Terhadapa Ayat-ayat Mutasyabihat” karya Mu’min

Rauf pada tahun 2006 juga dalam bentuk tesis.33Kedua karya

ilmiah ini mengemukakan bagaimana pandangan al-Marāghi

terhadapa masalah mereka masing-masing tentu saja sangat

jauh berbeda dengan penelitian ini.

4. Hasan Zaini dengan disertasi pada tahun 1995 dengan judul

“Corak Pemikiran Kalam al-Marāghi, dari judul ini bisa

diketahui bahwa kajian ini mempunyai persamaan dalam sisi

tokohnya yaitu al-Marāghi, sedangkan sisi lainnya berbeda,

karena penelitian tersebut fokus pada masalah-masalah kalam

dalam pemikiran al-Marāghi.34Disertasi lainnya yang berjudul

“Tafsîr al-Marāghi dan Tafsîr al-Nur (sebuah studi

perbandingan)” ditulis oleh Abdul Djalal pada tahun 1985,

Disertasi ini tidak jauh berbeda dengan Disertasi

sebelumnya.35Disertasi Berikutnya yang berjudul “Telaah

Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam Tafsîr al-Maragi

(Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), karya Wajidi Sayadi,

Disertasi ini juga hanya memiliki kesamaan dalam

pembahasan tokohnya saja.36Selanjutnya Tesis yang berjudul

“Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat

Mutasyabihat, penelitian Mu’min Rauf pada tahun

2007.37Kemudian karya Hasani Ahmad Said dengan judul

32 A. Baidowi, Konsep syafaat Dalam al-Qur’an (suatu kajian atas

tafsir al-Marāghi), (UIN Jakarta: Tesis, 2003), 7. 33 Mu’min Rauf, Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadapa Ayat-

ayat Mutasyabihat (Tesis: UIN Jakarta, 2006), 18. 34 Hasan Zaini, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Marāghi, (IAIN

Jakarta: Disertasi, 1995), 15. 35 Abdul Djalal, Tafsir al-Marāghi dan al-Nur (Sebuah Studi

Perbandingan), (IAIN Jakarta: Disertasi, 1985) 36 Wajidi Sayadi, Telaah Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam

tafsir al-Marāghi (Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), (UIN Jakarta: Disertasi,

2006) 37 Mu’min Rauf, Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat

Mutasyabihat, (UIN Jakarta: Tesis, 2007)

Page 25: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

11

“Diskurs Munasabah al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr al-

Mishbah, pada tahun 2011.38

5. Amir Faishol Fath menulis buku yang bertema “The Unity of

al-Qur’an” karya ini mulanya merupakan sebuah disertasi

yang diajukan untuk meraih geral Ph. D bidang Tafsir dan

Ulumul Qur’an, di International Islamic University

Islamabad, dengan judul aslinya “Nadzariyatul Wihdah al-

Qur’aniyah ‘Inda ‘Ulamaail Muslimiin wa Dawruhaa fil

fikril islami” (Konsep Kesatuan al-Qur’an di mata ulama

Islam, dan Pengaruhnya dalam pemikiran Islam). Disertasi

tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an dalam pandangan

umat Islam adalah satu kesatuan sehingga tidak bisa dipahami

secara parsial.39

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari

adanya penelitian ini, di antaranya;

1. Tujuan Penelitian

a. Melihat kaitan asma al-husna sebagai penutup ayat

dengan kandungan ayat.

b. Melihat bentuk munasabah yang digunakan oleh al-

Marāghi dalam menghubungkan kandungan ayat dengan

asma al-husna sebagai penutup ayat di dalam surah al-

Nisā’.

2. Manfaat Penelitian

a. Mengemukakan contoh dari bentuk munasabah

kandungan dan penutup ayat yang digagas oleh al-Suyuti.

b. Membuktikan bahwa al-Qur’an adalah satu kesatuan,

antara satu bagian dan yang lainnya saling terkait atau

menguatkan.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Melihat dari jenis penelitian tentang munasabah maka

penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kualitatif. Objek

dari penelitian ini adalah teks al-Qur’an—yaitu setiap ayat dalam

38 Hasani Ahmad Said, Diskurs Munasabah al-Qur’an (Kajian Atas

Tafsir al-Mishbah), (UIN Jakarta: Disertasi, 2011) 39 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an, 1

Page 26: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

12

surah al-Nisā’ yang terdapat asma al-husna pada penutup ayatnya

dan Tafsīr al-Marāghi.

2. Teknis Pengumpulan data

a. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan atau

Library Research sebagai teknis pengumpulan data. Metode ini

digunakan untuk mencari literatur terdahulu yang relevan dengan

penelitian ini. Cresswel mengatakan bahwa prosedur penelitian

kualitatif memiliki ciri-ciri induktif dalam mengumpulkan dan

menganalisi datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh

dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut.40

Melihat dari objek kajiannya, maka ada dua macam data

yang akan dikumpulkan yaitu data primer dan sekunder;

1. Data Primer

Dikarenakan penelitian ini menyangkut ayat-ayat al-Qur’an

dan Tafsīr al-Marāghi maka tentu saja sumber primernya adalah

al-Qur’an itu sendiri dan Tafsīr al-Marāghi karya Ahmad

Mustafa al-Marāghi terutama jilid 4, 5 dan 6, karena surah al-

Nisa dibahas dalam jilid-jilid tersebut meski tidak menutup

kemungkinan jilid yang lainnya jika dibutuhkan.

2. Data Sekunder

Adapun sumber-sumber pendukung dalam masalah kajian

ini adalah sebagai berikut;

a. Buku-buku dan penelitian-penelitian yang terkait dengan

kajian ke-al-Qur’anan terutama yang berkaitan dengan ulumul

Qur’an dan Tafsir , seperti al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an karya

al-Suyuti begitu juga dengan al-Burhan fi ‘Ulūm al-Qur’an

karya dari al-Zarkasyi.

b. Kamus-kamus bahasa Arab yang menjelaskan ayat-ayat al-

Qur’an atau kajian kata al-Qur’an untuk memudahkan

menemukan posisi ayat-ayat al-Qur’an.

c. Buku-buku yang membantu dalam proses analisis, baik itu

sejarah, kebahasaan maupun psikologi, hadis dan sebagainya.

d. Demikian juga dengan buku-buku yang membantu dalam

proses pengolahan seperti metodologi penelitian.

40 Eva Nugraha, Komodisfikasi Dan Preservasi Kitab Suci, cet. I

(Ciputat: Hipius, 2019), 30.

Page 27: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

13

b. Teknis Analisis dan Pengumpulan data Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian

ini maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa

“menyalin atau mengutip”, hal ini dikarenakan data tersebut telah

tersedia dalam dokumen-dokumen atau tulisan-tulisan. Adapun

langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah;

1. Mengumpulkan data mentah yang diambil dari al-Qur’an

berupa surah al-Nisā’.

2. Pemilahan data untuk memudahkan analisis seperti

memisahkan ayat yang terdapat asma al-husna pada penutup

ayat dalam surah al-Nisā’.

3. Membaca data secara keseluruhan supaya bisa diambil topik

dan tema besar sebagai alat koding.

4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Peneliti membuat

kode kandungan ayat, bentuk asma al-husna, dan mukhatab

ayat.

5. Mengklasifikasikan ayat yang terdapat asma al-husna asma al-

husna yang sama pada penutup ayat dan mukhatab ayat yang

sedang diteliti.

6. Interpretasi konsistensi hubungan asma al-husna dengan

kandungan ayat yang terdapat dalam data yang sudah

terkumpul dalam klasifikasi.

c. Teknik Penulisan

Penulisan tesis ini mengacu pada buku Panduan Penulisan

Proposal Tesis/Disertasi yang dikeluarkan oleh Sekolah

Pascasarjana UIN Jakarta pada tahun 2017, sesuai dengan

keputusan rektor UIN Jakarta nomor: 507.

3. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teori munasabah itu sendiri. Munasabah

sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Suyuti dalam bukunya al-

Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an bahwa munasabah adalah muqarabah

(kedekatan) atau musyakalah (kesesuaian atau kecocokan),

tempat kembalinya ayat dan semisalnya dengan makna yang

terkait di antaranya, entahkah dengan alasan umum dan

khususnya, sabab dan musababnya, ilat dan ma’lum-nya atau

kesamaan dan keberlawanannya. Khususnya mengenai hubungan

Page 28: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

14

kandungan ayat dengan penutupnya. Al-Suyuti membaginya

dalam 4 macam yaitu: tamkīn, tasdir, tausīkh dan al-īghal.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika tesis ini akan ditulis dalam lima bab,

adapun rinciannya adalah sebagaimana yang akan diuraikan

dibawah ini:

Bab pertama merupakan dasar pijakan dari penelitian ini

baik secara konsepsual maupun operasional. Hal yang dilakukan

dalam bab ini adalah membuat rumusan masalah, menetapkan

tujuan penelitian, memilih metode penelitian yang relevan dan

membuat sistematika penulisan supaya peneliti bisa lebih terarah

dan tepat sasaran.

Bab dua memfokuskan pada kajian teoritis mengenai aspek

munasabah yang diperoleh dari kitab-kitab Ulumul Qur’an.

Dalam bab ini peneliti beberapa pandangan ahli seperti al-

Suyuthi, al-Zarkasy, dan lain-lain juga para pakar yang

refresentatif dalam masalah munasabah.

Bab tiga menitik beratkan pada profil dan kandungan surah

al-Nīsa’ dan penjelasan terkait asma al-husna.

Bab empat mengulas tokoh yang diteliti yaitu Ahmad

Mustafa al-Marāghi sebagai tokoh sentral dalam penelitian ini.

Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang kehidupan,

pendidikan dan karya dari al-Marāghi, khususnya Tafsīr al-

Marāghi.

Bab lima adalah inti dari penelitian ini yang mengkaji

munasabah kandungan ayat dan asma al-husna sebagai penutup

ayat dalam ayat yang sama dan berbeda dalam surah al-Nisa’.

Sekaligus melihat konsep munasabah tersebut menurut al-

Marāghi dalam Tafsîr nya.

Bab enam merupakan penutup memuat temuan-temuan

sebagai jawaban dari rumusan masalah. Selain itu juga terdapat

saran-saran sebagai pijakan penelitian selanjutnya.

Page 29: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

15

BAB II

MUNASABAH

A. Sejarah Ilmu Munasabah

Sejumlah pengamat barat memandang kitab suci al-

Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang sulit dipahami karena

bahasa, gaya dan aransemen kitab ini pada umumnya menjadi

masalah khusus bagi mereka, demikian pernyataan Montgomery

menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Acep Hermawan dalam

bukunya Ulumul Qur’an. Beliau menambahkan bahwa kaum

muslim sendiri masih membutuhkan banyak kitab tafsir untuk

memahami kitab al-Qur’an dan hal itu masih menyisakan banyak

persoalan.1

Ziyad al-Tubany memaparkan dalam bukunya Membaca

dan Memahami Konstruksi al-Qur’an bahwa mempelajari al-

Qur’an ibaratkan mempelajari alam semesta beserta isinya. Tidak

akan pernah habis dan selalu memunculkan hal-hal baru, dan ini

juga lah yang menjadi sebuah keistimewaan al-Qur’an atau sering

disebut dengan kemukjizatan al-Qur’an.2

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang terdiri dari 6236

ayat menurut ulama kufah,3 dalam 114 surat, 30 juz. 4

Salah satu cara untuk memahami al-Qur’an adalah dengan

menggunakan pendekatan Ilmu Munasabah. Dalam kitab al-

Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an dijelaskan oleh al-Zarkasyi (w. 794

H) yang mengambil pendapat dari Abu Hasan al-Syahrabani (w.

324 H) bahwa orang yang pertama memunculkan ilmu

munasabah adalah Syaikh Imam Abu Bakar al-Naysaburi di

Baqdad, dan belum pernah beliau dengar dari selainnya. Hal ini

dibuktikan ketika dibacakan al-Qur’an kepada al-Naysaburi maka

beliau akan bertanya kenapa ayat ini berada di samping ayat ini?

1 Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, cet. III (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Offset, 2016), 137. 2 Ziyad al-Tubany, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an,

(Jakarta: Indomedia Group, 2006), 23. 3 Ulama yang tinggal di Kufah 4 Ziyad al-Tubany, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an,

86-91.

Page 30: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

16

Atau kenapa surah ini terletak setelah surah ini.5 Tapi belum

disebutkan mengenai karangan dari al-Naysaburi ini.

Sedangkan pelopor pertama yang menulis tentang ilmu

munasabah menurut Abdul Wahid adalah Abu Ja’far Ibnu Zubeir,

dimulai pada abad ketiga hijriah dengan kitabnya al-Burhān fi

Munāsabat Tartīb Suwār al-Qur’an. Pada tahap berikutnya, ilmu

ini dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Mafātīh al-

Ghaib—kitab besar yang banyak menguraikan tentang

munasabah. Estapet ini dilanjutkan lagi oleh Jalaluddin al-Suyuti

dengan tiga karyanya Tanāsuq al-Durar fi Tanāsub al-Suwār,

Marāsid al-Matāli’ fi al-Maqāti’ dan Asrar al-Tanzīl.6 Barulah

ilmu ini disusun secara mendetail dan sistematis oleh Ibrahim

ibnu Umar al-Biqa’i (w. 885 H) dengan kitabnya Nazm al-Durar

fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwār yang secara khusus membahas

tentang keterkaitan antara satu ayat dengan ayat atau surat dengan

surat lainnya, metode ini pula lah yang menjadi landasan ulama-

ulama tafsir pada masa berikutnya.7 Masa belakangan

termasuklah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,

juga Muhammad Syalthut di dalam tafsir mereka.8

Hasani Ahmad Said menjelaskan bahwa ulum al-Qur’an

sebagai metodologi tafsir telah dirumuskan secara mapan sejak

abad ke-7-9 Hijriyah, yaitu pada saat munculnya dua kitab ulum

al-Qur’an yang sangat berpengaruh dan menjadi landasan utama

dalam kajian tafsir sampai saat ini, yakni al-Burhān fi ‘Ulūm al-

Qur’an karya Badruddin al-Zarkasy (w. 794 H) dan al-Itqān fi

‘Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H). Hasani

Ahmad Said melanjutkan bahwa ilmu munasabah memiliki posisi

yang sangat penting dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an

karena dengannya, seorang pengkaji al-Qur’an bisa melihat

pandangan al-Qur’an secara holistic (menyeluruh) bukan secara

atomistic (sepotong-sepotong).9 Bagaimana pun ayat al-Qur’an

itu mempunyai suatu keterkaitan antara yang satu dan yang

5 Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhān fi

‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1 (Cairo: Al-Quddus, 2016), 35. 6 Jalaludin al-Suyutiy, Al-Itqān fi Ulum al-Qur’an, 470. 7 Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulumul Qur’an &

‘Ulumul Hadis, cet.I (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), 97-98. 8 Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian Islam Kontemporer, cet.

I (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 6. 9 Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1, 3.

Page 31: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

17

lainnya seperti sebuah ungkapan bahwa al-Qur’an itu saling

menjelaskan antara satu dan yang lainnya (al-Qur’an yufassiru

ba’duhu ba’dan).

B. Pengertian Munasabah

Secara bahasa/etimologi munasabah menurut al-Suyutiy

bermakna muqārabah (saling berdekatan) atau musyākalah

(saling menyamai bentuk/keserupaan).10

Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang

dikemukakan oleh ulama-ulama ulumul Qur’an berikut;

a. Keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lainnya dari

sisi makna baik umum, khusus, hissy (inderawi), ‘Aqly

(logika), maupun Khayaly (abstraksi) dan sisi al-talazum al-

zinny (sebuah keniscayaan dalam logika) semisal sebab atau

alasan adanya atau terjadinya sesuatu, pasangan atau lawan,

sinonim atau antonim, demikian diungkapkan oleh al-

Suyuti.11

b. Al-Zarkasyi mendefinisikan munasabah sebagai ilmu akal,

tatkala dihadapkan pada akal maka akal tersebut akan

menerimanya. Munasabah yaitu keterkaitan antara awal ayat

dan penutupnya baik dari segi keumuman atau

kekhususannya, sebab dan musababnya atau illah dan

ma’lulnya.12

c. Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh Juhana Nasrudin yang

mengemukakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang

mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan al-ayat

dan surah al-Qur’an, baik itu mengenai ayat maupun

suratnya.13

d. Menurut Manna al-Qattan munasabah adalah sisi keterkaitan

antara beberapa ungkapan dalam satu ayat yang sama, antar

beberapa ayat atau antar surah di dalam al-Qur’an.14

10 Jalaludin al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 471. 11 Jalaludin al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 471. 12 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Turas,

tt), 35. 13 Juhana Nasrudin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, cet. I

(Yogyakarta: Deepublish, 2012), 245. 14 Manna al-Qattan, Mabahīs fi ‘Ulūm al-Qur’an, cet. III (Riyadh:

Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’,2000), 96.

Page 32: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

18

e. Rosihon Anwar menjelaskan munasabah adalah format

hubungan antara beberapa kalimat dalam satu ayat yang sama

atau antara ayat dan ayat dalam satu surat. 15

f. Acep Hermawan mengenai definisi munasabah yaitu

pengetahuan tentang berbagai hubungan unsur-unsur dalam

al-Qur’an seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah

dalam satu kalimat, ayat dengan ayat pada suatu surah, surah

dengan surah pada sekumpulan surah termasuk hubungan

antar nama surah dan isi atau tujuan surah, awal surat dan

akhir surat.16

g. Damanhuri juga menjelaskan dalam bukunya Ijtihad

Hermeneutis bahwa munasabah adalah kesepadanan antara

satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.17

Dapat diambil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang

dikemukakan oleh para pakar ulumul Qur’an di atas bahwa ilmu

munasabah adalah sebuah ilmu mulia yang mempunyai tujuan

untuk memahami kesatuan al-Qur’an.

C. Macam-Macam Munasabah

Sebagai sebuah ilmu, munasabah mempunyai ragam

tersendiri karena beragam objek yang dimaksud. Quraish Shihab

menjelaskan secara garis besar munasabah itu berorientasi pada

dua hal, yaitu hubungan ayat dengan ayat dan surat dengan surat

yang digambarkan dalam tujuh poin berikut. Hubungan ayat

dengan ayat meliputi;

a. Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.

b. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.

c. Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.

Sedangkan hubungan surat dengan surat meliputi;

a. Hubungan awal uraian surat dan akhir uraian surat.

b. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.

c. Hubungan surat dengan surat sebelumnya.

d. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat

berikutnya.18

15 Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka

Setia, 2009), 136. 16 Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, 138-139. 17 Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016),

77.

Page 33: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

19

Berikut penjelasan mengenai bagian-bagian dari macam-

macam munasabah tersebut sebagaimana yang bisa didapati

dalam banyak buku Ulum al-Qur’an;

1. Hubungan kalimat dan kalimat dalam ayat

Jika ditinjau dari segi sistematiknya maka munasabah

terbagi menjadi dua menurut al-Zarkasy:

a. Ma’tufah

Al-Zarkasi menjelaskan bahwa secara umum dapat

dikatakan bahwa dengan adanya huruf ‘ataf ini mengisyaratkan

adanya hubungan pembicaraan19 seperti:

ۥ أضعافا كثيرة ه قرضا حسنا فيضعفهۥ له ن ذا ٱل ذي يقرض ٱلل م ط وإليه ترجعون

ه يقبض ويبص وٱلل

Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada

Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan

Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran

kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah

menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-

lah kamu dikembalikan.20

Huruf ‘ataf yang menghubungkan kata yaqbid dan yabsut

yang mengindikasikan bahwa kedua kata tersebut memiliki

hubungan dalam bentuk kata yang berlawanan yaitu antara

menyempitkan dan melapangkan.21

1. Al-Mudādah

Al-Mudādah adalah perlawanan/bertolak belakang antara

suatu kata dengan kata lain seperti kata yaqbidu dan yabsutu

dalam surah al-Baqarah ayat 245.22

18 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Pisangan: Lentera Hati, 2013),

243-245. Lihat juga: Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 38. Lihat juga:

Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, 136. Lihat juga Juhana Nasrudin,

Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis,cet. I (Yogyakarta: Deepublish, 2017),

245-259. Hamdani Anwar, Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ilmu Tafsir, cet. I

(Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 127-146. 19 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 38. 20 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 245. 21 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 38. 22 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46.

Page 34: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

20

ۥ أضعافا كثيرة ه قرضا حسنا فيضعفهۥ له ن ذا ٱل ذي يقرض ٱلل م ط وإليه ترجعون

ه يقبض ويبص وٱلل

Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada

Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan

Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran

kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah

menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-

lah kamu dikembalikan.23

2. Al-Istidrād

Al-Istidrād adalah pindah ke kata lain yang ada

hubungannya atau penjelasan lebih lanjut.24 Misalnya;

اس وٱلحج قل هي يسئلونك عن ٱلأهل ة يس ٱلبر بأن موقيت للن ول ٱلبيوت من ظهورها و قى تأتوا ٱلبيوت من وأتو لكن ٱلبر من ٱت ا

كم تفلحون أبوبها ه لعل قوا ٱلل وٱت Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.

Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi

manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan

memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi

kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan

masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan

bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.25

Kaitan antara kata al-‘ahillah dengan memasuki rumah dari

belakang. Pada musim haji, kaum Anshar mempunyai kebiasaan

tidak memasuki pintu rumah dari depan. Ayat ini menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan al-birru adalah takwa kepada

Allah dengan menjalankan apa yang telah Allah tentukan dalam

berhaji. Mereka telah melupakan masalah al-‘ahillah tadi karena

beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya

dengan ibadah haji.26

23 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 245. 24 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39. 25 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 189. 26 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39.

Page 35: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

21

3. Al-Takhallus

Al-Takhallus adalah melepaskan kata satu ke kata lain yang

masih berkaitan.27 Misalnya;

ء كيف رفعت ما بل كيف خلقت وإلى ٱلس أفلا ينظرون إلى ٱلإArtinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta

bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia

ditinggikan?.28

Ayat 17 di takhallus ke ayat 18. Orang Arab mempunyai

kebiasaan menggantungkan penghidupan mereka pada unta al-

ibli. Al-Ibil tidak bermanfaat apa-apa kecuali menggantungkan

hidup dari air, dan air itu dari hujan sedangkan hujan itu turun

dari langit.29

4. Tamsil dari keadaan

Contoh tamsil dari keadaan adalah dalam surah al-Isra ayat

1 dan 2. Peristiwa Isra Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke

Palestina sebanding dengan Isra Nabi Musa a.s. dari Mesir ke

Palestina.30

سبحن ٱل ذي أسرى بعبدهۦ ليلا م ن ٱلمسجد ٱلحرام إلى ٱلمسجد ميع ٱلس هۥ هو يهۥ من ءايتنا إن ا حولهۥ لنر ٱلأقصا ٱل ذي بركن

هدى ل ب وءاتينا موسى ٱل كتب وجعلنه ا ٱلبصير ءيل أل ني إسرخذوا من دوني وكيلا تت

Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan

hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke

Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar

Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda

(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan Kami berikan

kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat

itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah

kamu mengambil penolong selain Aku.31

27 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 41. 28 Lihat QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17-18. 29 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 43. 30 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39-40. 31 Lihat: QS. Al-Isra [17]: 1-2

Page 36: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

22

b. Tidak ada ma’tufah

1. Al-Tanzīr

Al-Tanzīr adalah berhampiran atau berserupaan.32

Contohnya;

هم ومغفرة هم درجت عند رب ا ل ولئك هم ٱلمؤمنون حق ورزق أ يم يقا م ن ٱلمؤمنين كر وإن فر ب ك من بيتك بٱلحق كما أخرجك ر

ل كرهون Artinya: Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-

benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat

ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki

(nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu

pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal

sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu

tidak menyukainya.33

Huruf kaf pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat

bagi fi’il yang bersembunyi. Hubungan itu tampak dari jiwa

kalimat tersebut. Maksud ayat tersebut adalah Allah menyuruh

untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah

kalian lakukan ketika Perang Badar meskipun kaummu

membenci cara demikian. Allah menurunkan ayat ini agar kaum

Nabi Muhammad mengingat nikmat yang telah diberikan Allah

dengan diutusnya rasul dari kalangan mereka.34

2. Al- Istidrād35

3. Al-Mudādah36

2. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat

Munasabah antar ayat dalam satu ayat bisa diketahui

dengan beberapa kategori berikut, yaitu;

32 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 44. 33 Lihat QS. Al-Anfal [8]: 4-5. 34 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 44. 35Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46-47. Lihat halaman

sebelumnya mengenai penjelasan al- Istidrād. 36 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46. Lihat juga halaman

sebelumnya mengenai penjelasan al-Mudadah.

Page 37: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

23

a. Tafsir

Munasabah yang menggunakan pola tafsīr, yaitu apabila

satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat

atau bagian ayat sampingnya. Contohnya;

قين لا ريب فيه ذلك ٱل كتب ٱل ذين يؤمنون هدى ل لمت ا رزقنهم ينفقون لو ة ومم يقيمون ٱلص بٱلغيب و

Artinya: Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya,

petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang

beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan

menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan

kepada mereka.37

Kata lil muttaqīn pada ayat kedua ditafsirkan maknanya

oleh ayat ketiga, sehingga kesimpulannya mereka yang bisa

disebut bertakwa adalah mereka yang beriman dengan yang gaib,

mengerjakan shalat dan seterusnya.

b. Tasydid

Cara untuk melihat munasabah antar ayat yang jelas yaitu

dengan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat

mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Seperti;

ٱهدنا ٱلص رط ٱلمستقيم صرط ٱل ذين أنعمت عليهم غير ٱلمغضوب ل ين ا عليهم ولا ٱلض

Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan

orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka,

bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)

mereka yang sesat.38

Pernyataan al-sirat al-mustaqīm pada ayat enam dipertegas

oleh ungkapan yang terdapat pada ayat ketujuh sirat al-lazīna

terkadang untuk contoh seperti ini diperkuat dengan adanya huruf

‘ataf dan adakalanya juga tidak dicantumkan.

c. I’tirad

Cara berikutnya yaitu dengan menggunakan i’tirād apabila

pada suatu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam

i’rāb (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau antara

dua kalimat yang berhubungan maknanya. Misalnya;

37 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 2-3. 38 Lihat QS. Al-Fatihah [1]: 6-7.

Page 38: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

24

ا يشتهون ه ٱلبنت سبحنهۥ ولهم م ويجعلون لل Artinya: Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak

perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri

(mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak

laki-laki).39

Kata subhanahu pada ayat di atas merupakan bentuk i’tirad

dari dua ayat yang mengitarinya. Kata itu merupakan bantahan

bagi anggapan orang-orang kafir yang menetapkan anak

perempuan bagi Allah Swt.

d. Ta’kid

Munasabah antar ayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu

apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat

atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.40 Contohnya;

حيم حمن ٱلر ه ٱلر ه رب ٱلعلمين بسم ٱلل مد لل ٱلحArtinya: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha

Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah,

Tuhan semesta alam.41

Ungkapan Rabb al-‘alamīn pada ayat kedua memperkuat

kata al-Rahmān al-Rahīm pada ayat pertama.

3. Hubungan penutup dan kandungan ayat

Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa terdapat keselarasan

antara penutup ayat dengan kandungan ayat, dan selalu seperti

demikian meski tidak terlihat secara langsung melainkan dengan

penelitian yang cerdas. Bentuk hubungan tersebut terbagi dalam

empat macam yaitu: Tamkīn, Tasdir, Tausikh dan al-Īghal.42

a. Tamkīn

Tamkīn yang dimaksud di sini mempunyai arti

memperkokoh atau mempertegas pernyataan. Dengan kata lain,

penutup ayat memperkokoh pernyataan yang tersebut dalam

kandungan ayat. Maksud dari penutup ayat di sini berkaitan

langsung dengan apa yang dimaksud ayat tersebut, seandainya

penutup ini tidak ada maka kandungan ayat tersebut belum bisa

39 Lihat QS. An-Nahl [16]: 57. 40 Al-Zarkasy, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1, 38. 41 Lihat QS. Al-Fatihah [1]: 1-2. 42 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67.

Page 39: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

25

memberi arti lengkap, dan boleh jadi menimbulkan kekeliruan,43

contohnya dalam surah berikut:

ء فتصبح ٱلأرض ء ما ما ه أنزل من ٱلس أن ٱلل ألم تر ة إن مخضر ه لطيف خبير موت وما في ٱلل ه لهو ٱلأرض ل هۥ ما في ٱلس وإن ٱلل

مي ا في ٱلأرض وٱلفلك تجري د ٱلغني ٱلح ر ل كم م ه سخ ألم تر أن ٱلل ا بإذنه ء أن تقع على ٱلأرض إل ما مسك ٱلس ۦ في ٱلبحر بأمرهۦ وي

اس لرءوف ه بٱلن إن ٱلل حيم ر Artinya: Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah

menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau?

Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan segala

yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar

Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat

bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di

bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-

Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,

melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-

benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada

Manusia.44

Ayat pertama di atas ditutup dengan lafadz Latīfun Khabīrun

yang bermakna Allah Maha Halus dan juga Maha Mengetahui

yang menunjukkan bahwa Allah terlebih dahulu mengetahui

manfaat hujan yang diturunkan dari langit sebagai sumber

penghidupan dan rahmat. Ayat berikutnya ditutup dengan lafadz

al-Ghaniy al-Hamīd yang berarti Maha Kaya lagi Terpuji

mempertegas pernyataan sebelumnya bahwa Allah adalah

pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi dan tidak

membutuhkan semua itu. Maka sudah sepantasnya Ia dipuji

karena Allah telah bermurah hati memberikan kekayaannya

kepada para makhluk. Sedangkan ayat yang terakhir ditutup

dengan la Raūfun Rahīm sifat Allah yang Maha Santun dan

Penyayang menunjukkan kepada manusia bahwa Allah telah

memberikan nikmat kehidupan di dunia ini berupa tempat

43 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460. 44 Lihat QS. Al-Hajj [22]: 63-65.

Page 40: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

26

berusaha baik di darat maupun di laut dengan bentangan langit

yang memayunginya.45

b. Tasdir

Kalimat yang menjadi penutup ayat sudah dimuat di

permulaan, pertengahan atau di akhir kalimat, 46 seperti:

يكم ءايتي فلا تستعجلون من عجل خلق ٱلإنسن ور سأArtinya: Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.

Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-

Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku

mendatangkannya dengan segera.47

Kata tasta’jilūn sudah dimuat di dalam ayat tersebut dengan

lafadz ‘ajal.48 c. Tausīkh

Tausīkh adalah kandungan penutup ayat sudah tersirat di

dalam rangkaian kalimat sebelumnya dalam ayat, atau jiwa

kalimat tersebut menunjukkan maksud dari penutup ayat,49

seperti;

شوا فيه وإذ يخطف أبصرهم يكاد ٱلبرق ء لهم م ما أضا ا أظلم كل عليهم قاموا لذه ه ٱلل ء على ب بسمعهم وأبصرهم ولو شا ه إن ٱلل

شيء قدير كل Artinya: Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan

mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka

berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa

mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki,

niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan

mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala

sesuatu.50

Kata Qadīrun menegaskan bahwa Allah bisa dan berkuasa

untuk melakukan sesuatu bila Ia kehendaki, apalagi hanya untuk

menghilangkan pendengaran dan penglihatan manusia.51

45 Al-Suyutiy, al-Itqān fi Ulum al-Qur’an, 460. 46 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 47 Lihat QS. Al-Anbiya [21]: 37. 48 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 80. 49 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 50 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 20. 51 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 81.

Page 41: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

27

d. Al-Iqhal

Al-Īghal adalah tambahan keterangan terhadap kandungan

ayat yang sudah ada sebelum penutupnya, seandainya penutup

ayat tersebut tidak ada maka maksud ayat sudah lengkap52.

Contonya:

ة ه حكما ل قوم يوقنون يبغون أفح كم ٱلجهلي ومن أحسن من ٱلل Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,

dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)

Allah bagi orang-orang yang yakin.53

Ayat tersebut sudah sempurna jika sampai pada lafadz

hukman saja, akan tetapi ditambah penutupnya yang berbunyi

liqaumi yū qinūn.54

4. Hubungan awal uraian dengan akhir uraian surat

Al-Suyuti memberikan contoh hubungan awal uraian dan

akhir uraian surat yaitu terlihat dalam surah al-Mu’minun. Surah

ini membuat pernyataan pemula dengan ungkapan berikut;

قد أفلح ٱلمؤمنون Artinya; Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang

beriman,55

Pernyataan di atas adalah sebuah pernyataan bahwa kaum

mukmin akan menang dan pasti menang, sedangkan pada akhir

surat yang sama mengandung pernyataaan berikut;

هۥ لا يفلح ٱل كفرون إن Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada

beruntung.56

Pernyataan lā yuflih al-kāfirūn dalam ayat di atas

menjelaskan tanda sebaliknya bahwa mereka yang kafir tidak

akan memperoleh kemenangan.57Kedua pernyataan di atas

berbentuk pernyataan yang saling bertolak belakang, yang mana

nasib orang mukmin adalah kebalikan yang akan diterima oleh

52 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 53 Lihat QS. Al-Maidah [5]: 50. 54 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 81-82. 55 Lihat: QS. Al-Mu’minun [23]: 1 56 Lihat: QS. Al-Mu’minun [23]: 117 57 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 475. Lihat juga: Rachmat

Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 48.

Page 42: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

28

orang-orang kafir, meski terkadang sebagiannya berlaku di

akhirat nanti.

5. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya

Hubungan nama surah dengan tujuan turunnya adalah

adanya hubungan yang erat antara nama surah dengan tema

sentral ataupun berbagai pembahasan yang menonjol dalam ayat-

ayat yang terdapat dalam surah tersebut.58

Contohnya yaitu seperti terlihat pada surah al-Baqarah,

yang kata tersebut terambil dari kata yang terdapat dalam surah

tersebut pada ayat 67-71.

قالوا بقرة يأمركم أن تذبحوا ه ۦ إن ٱلل وإذ قال موسى لقومه أ ه خذنا هزوا قال أعوذ بٱلل قال إن هۥ —ٱلجهلين ن أكون من أتت

ا مة ل ا ذلول تثير ٱلأرض ولا تسقي ٱلحرث مسل ها بقرة ل يقول إن فذبحو ن جئت بٱلحق ها وما كادوا يفعلون شية فيها قالوا ٱل

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada

kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah

kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa

menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak

menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".—Musa

berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina

itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk

membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman,

tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata:

"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina

yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan

hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.59

Ayat-ayat tersebut memuat kisah al-Baqarah yang berkaitan

dengan kisah Nabi Musa a.s. dan kaumnya. Perintah Tuhan

kepada Musa a. s. kepada kaumnya untuk menyembelih Baqarah

itu lah yang menjadi tema utama dari surah ini berkenaan dengan

keimanan. Kata al-Baqarah sendiri adalah sebuah nama yang

mengejutkan masyarakat Arab pada masa itu. Menurut riwayat

58 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 579. 59 Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 67-71

Page 43: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

29

dari Ibn Abbas, pada masa itu, ada seseorang yang membunuh

kerabatnya untuk memperoleh warisan. Mayat digeletakkan saja

di jalan dan Nabi Musa a.s. tidak berhasil menyingkap siapa

pembunuhnya. Lalu kaumnya melecehkan Nabi Musa a.s. agar

supaya menanyakan kepada Tuhannya. Karena itu lah, Allah

berfirman agar Musa a.s. menyembelih sapi sebagai penebus

peristiwa tersebut, tetapi watak kaumnya memang demikian yang

selalu melecehkan apa yang Musa a.s. sampaikan seperti dengan

mempermasalahkan warna, jenis dan berbagai hal yang tidak

terkait dengan substansi perintah.60

6. Hubungan surat dengan surat sebelumnya

Diungkapkan oleh al-Suyuti bahwa sebagian ulama

meyakini bahwa tiap-tiap surat mempunyai kaitan pasti dengan

surat sebelumnya. Kaitan itu kadangkala nampak jelas dan ada

kalanya tidak. Setidaknya ada empat cara untuk mengetahui

hubungan tersebut, yaitu;

a. Dilihat melalui huruf awal surah, misalnya surat-surat yang

dimulai dengan alif lām mīn dan alif lām rā’ yang tersusun

berurutan.

b. Adanya persesuaian antara akhir suatu surat dengan permulaan

surat berikutnya, misalnya akhir surah al-Fatihah dengan

permulaaan surat al-Baqarah.

c. Dapat dilihat dari wazan dalam lafadznya. Misalnya, akhir

surah al-Lahab dengan awal surah al-Ikhlas.

d. Adanya kemiripan dalam bilangan ayat dalam ayat dalam

suatu surah berikutnya. Seperti, bilangan surat al-Duha dan al-

Insyirah.61

Contoh lainnya yang dikemukakan oleh Rosihon Anwar

dalam bukunya Pengantar Ulumul Qur’an, seperti korelasi antara

ayat 2 dari surah al-Baqarah dengan ayat 3 surah Al Imran. Jika

di dalam surah al-Baqarah ditegaskan mengenai kedudukan al-

Kitab tersebut:62

60 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 49-50. 61 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an, 476. 62 Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, 137-138.

Page 44: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

30

قين هدى ل لمت ذلك ٱل كتب لا ريب فيهArtinya: Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya,

petunjuk bagi mereka yang bertakwa.63

Maka dalam surah Al Imran dijelaskan mengenai salah

satu tujuan diturunkannya al-Kitab tersebut;

ورى ة وأنزل ٱلت قا ل ما بين يديه مصد ل عليك ٱل كتب بٱلحق نز وٱلإنجيل

Artinya: Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu

dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah

diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.64

7. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat

berikutnya

Al-Suyuti menyebutkan bahwa adanya hubungan awal

dengan akhir surat sebelumnya merupakan rahasia yang akan

menunjukkan juga hubungan lafadznya. Sebagai contohnya pada

surah al-Quraisy65 dengan akhir surah al-Fīl66. Dalam surah al-

Fīl menceritakan kehancuran tentara gajah di bawah pimpinan

Abrahah, gubernur Yaman yang hendak menghancurkan Ka’bah.

Pada akhir surah tersebut dijelaskan bahwa pasukan Abrahah

hancur dimakan ulat karena bertindak menentang Allah. Awal

surah al-Quraisy menerangkan kebiasaan orang Arab bepergian

di musim dingin dan musim panas. Ini semua dapat mereka

nikmati berkat anugerah dari Allah. Oleh karena itu, sembahlah

Allah dan jangan mengingkari-Nya. Bila manusia terus

mengingkari Allah mereka dapat juga menemui kehancuran

seperti halnya tentara gajah.67

8. Munasabah antara huruf fawātih al-suwār dengan huruf yang

ada dalam surah tersebut.

63 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 2. 64 Lihat QS. Al Imran [3]: 3. 65 Lihat: QS. Al-Quraisy [106]: 1-4 66 Lihat: QS. Al-Fīl [105]:1-5 67 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an, 479. Lihat juga: Rachmat

Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 51-52.

Page 45: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

31

Al-Suyuti menambah satu poin lagi dalam macam-macam

munasabah yaitu munasabah antara huruf fawātih al-suwār

dengan huruf yang ada dalam surah tersebut. Yang dimaksud

dengan hal tersebut adalah bila suatu surah diawali dengan al-

hurūf al-muqata’ah maka huruf-huruf dalam surah tersebut akan

didominasi oleh huruf-huruf tersebut. Sebagai contoh dalam

surah Yunus, kata-kata yang terdiri dari huruf alif, lam, dan ra’,

terulang sebanyak 220 kali lebih, sehingga surah ini dimulai

dengan huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surah.68

Munasabah yang dicari adalah bentuk munasabah yang

jelas. Hubungan tersebut bisa berupa penggalan ayat dengan

lanjutan penggalannya, bisa juga antara ayat dengan ayat

berikutnya. Berbagai bentuk hubungan yang ditemukan

sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam

bukunya Kaidah Tafsir.69Bentuk munasabah tersebut bisa juga

dari keterkaitan maknawi, seperti kemungkinan adanya

keterkaitan antara tema-temanya, kalimat umum dan khsusunya

atau keterkaitan makna yang terjadi karena adanya keterkaitan

kausalitas demikian jelas Abdul Wahid.70

Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat

mengandalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau kenyataan yang

terjadi. Karena itu, bisa saja ada banyak ragam hubungan yang

dikemukakan oleh para mufasir, bahkan bisa jadi seorang mufasir

menghidangkan dua tiga hubungan buat satu ayat yang

dibahasnya. Bisa juga munasabah yang dikemukakan atau

ditampilkan oleh ulama atau pemikir A namun tdak diterima baik

oleh ulama dan pemikir yang lain, demikian tutur Quraish

Shihab.71

Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa para ulama yang

mendukung adanya munasabah menyatakan bahwa tidak semua

ayat atau bagiannya harus dicarikan munasabahnya dalam

beberapa kondisi karena munasabahnya sudah sangat jelas.

Sedangkan yang dicari munasabahnya adalah yang masih belum

68 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 477. Lihat juga: Hamdani

Anwar, Ulumul Qur’an, 146-147. 69 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 247-250. 70 Abdul Wahid, dkk, Pengantar ‘Ulumul Qur’an & ‘Ulumul Hadis,

96. 71 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 245-246.

Page 46: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

32

jelas hubungannya.72 Yang tidak dicari munasabahnya seperti

berikut ini;

1. Ayat yang disusul oleh pengecualiaanya73 seperti;

لحت ا ٱل ذين ءامنوا وعملوا ٱلص وٱلعصر إن ٱلإنسن لفي خسر إل بر وتواصوا بٱلص وتواصوا بٱلحق

Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-

benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman

dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya

mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya

menetapi kesabaran.74

2. Kandungan ayat yang menguatkan kandungan sebelumnya.75

Misalnya;

ب وتول ى ق ولا صل ى ولكن كذ فلا صد Artinya: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-

Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia

mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).76

3. Tidak juga dibahas antara sepenggal ayat dengan bagian yang

lain, atau satu ayat dengan ayat yang lain bila disela atau

bagian ayat tersebut ada jumlah mu’taridah.77 Seperti;

ار ٱل تي وقودها ٱلن قوا فٱت م تفعلوا ولن تفعلوا فإن ل اس وٱلحجارة ٱلن ين ت لل كفر عد أ

Artinya: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan

pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah

dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,

yang disediakan bagi orang-orang kafir. Bagian yang

menjadi jumlah muta’aridah dalam ayat tersebut adalah

(dan pasti kalian tidak akan dapat melakukannya sampai

kapan pun).78

72 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 73 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 74 Lihat QS. Al-Ashr [103]: 2-3. 75 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 76 Lihat QS. Al-Qiyamah [75]: 31-32. 77 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 78 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 24.

Page 47: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

33

D. Pendapat Ulama Mengenai Munasabah Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah

adalah sebuah kajian yang berbentuk ijtihadi, hal ini lah yang

menyebabkannya timbul hubungan logis bagi masing-masing

ahli. Maka timbullah dua aliran yaitu aliran yang meyakini bahwa

semua ayat/surat memiliki hubungan dan kelompok sebaliknya

yang meyakini bahwa tidak semua ayat/surat memiliki

hubungan.79

Ilmu munasabah ini memiliki kaitan erat dengan

penyusunan surat-surat dalam mushaf al-Qur’an, apakah

penyusunan ini dari Nabi Muhammad Saw langsung yang dikenal

dengan istilah tawqīfi atau berdasarkan ijtihad para sahabat yang

dikenal pula dengan ijtihādi.

Faktanya susunan mushaf yang dapat disaksikan sekarang

ini tidak sesuai dengan susunan turunnya ayat atau memiliki

susunan tersendiri, tentu ada alasan-alasan filosofis yang bisa

dikaji, karena setiap sesuatu yang telah tersusun pasti mempunyai

alasan kenapa susunannya seperti demikian. Masalah berikutnya

adalah kenyataannya para ulama berbeda pendapat mengenai hal

ini, ada yang menganggap susunan tersebut langsung dari Nabi

atau hanya ijtihad para sahabat.

Pendapat pertama mayoritas ulama berpendapat bahwa

surat-surat al-Qur’an disusun berdasarkan tawqīfi. Pelopor

pendapat ini adalah Abu Ja’far ibn Nuhas (w. 338 H), al-Kirmani,

Ibn al-Hasar (w. 611 H), Abu Bakar al-Anbari (w. 271-328 H)

dan al-Baghawi (w. 286 H). Misalnya pendapat dari al-Bagawi

dalam Syarh al-Sunnah seperti dikutip oleh Lukmanul Hakim

yang menjelaskan bahwa para sahabat menulis ayat-ayat al-

Qur’an seperti yang mereka dengar dari Rasulullah Saw tanpa

mendahulukan atau mentakhirkan dan susunan tersebut tidak

ditambah maupun dikurangi, karena tugas para sahabat hanyalah

mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan

susunannya dan al-Qur’an ditulis di Lauh Mahfuz yang

susunannya sama dengan mushaf al-Qur’an yang diturunkan ke

langit dunia kemudian dilanjutkan secara berangsur-angsur sesuai

kebutuhan kepada Nabi Muhammad Saw.80

79 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 36. 80 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam

Tafsir al-Maraghi, 31-32.

Page 48: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

34

Pendapat kedua, penyusunan surat-surat dalam al-Qur’an

didasarkan pada ijtihad para sahabat. Penganut pendapat ini

adalah Imam Malik dan Abu Bakr al-Tib al-Baqilani. Imam

Malik berkata bahwa para sahabat menyusun al-Qur’an sesuai

dengan apa yang mereka dengar dari Nabi Saw dan penyusunan

surat-surat tersebut berdasarkan pendapat mereka.81

Pendapat ketiga yaitu yang mengatakan bahwa penyusunan

surat-surat al-Qur’an sebagiannya adalah tawqīfi dan sebagian

yang lain adalah ijtihadi para sahabat. Ulama yang berpendapat

seperti di atas, di antaranya adalah al-Qadi Abu Muhammad ibn

‘Atiyyah, al-Baihaqi dan Ibn Hajar al-Asqalani. Misalnya

pendapat al-Baihaqi dan Ibn Hajar yang sependapat mengatakan

bahwa penyusunan surat-surat al-Qur’an adalah tawqīfi kecuali

pada surah al-Anfal dan Bara’ah.82

Jika dicermati dari semua pendapat ulama tersebut bisa

disimpulkan bahwa tak seorang pun ulama yang menafikan

petunjuk penyusunan surat-surat al-Qur’an oleh Nabi Saw. Hanya

dua surat saja yang diragukan yaitu al-Anfal dan Bara’ah, itu pun

pada masalah apakah di antara kedua surah tersebut terdapat

basmalah atau tidak, sedangkan susunan al-Anfal lebih dahulu

disetujui oleh semua ulama. Landasan ini karena surat-surat

tersebut sudah dibaca berulang-ulang pada masa Nabi, seperti

sedang shalat. Istilah penyusunan surat seperti tawasin, hawamim

dan al-musabbahat sudah sangat populer dikalangan para

sahabat. Maka kemungkinan yang disebut dengan ijtihadi para

sahabat adalah mengenai penyusunan surat-surat al-Qur’an dalam

satu mushaf, Karena Nabi tidak pernah memerintahkan akan hal

tersebut, demikian juga dipaparkan oleh Lukmanul Hakim.83

Dijelaskan oleh Rachmat Safe’i bahwa terdapat dua aliran

mengenai apakah perlu ilmu munasabah ini dalam memahami al-

Qur’an ini:

1. Pihak yang mengatakan secara pasti tentang adanya pertalian

yang erat antar komponen al-Qur’an, seperti ayat dengan ayat

81 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam

Tafsir al-Maraghi, 32. 82 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam

Tafsir al-Maraghi, 32-38. Lihat Juga: Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al-

Qur’an, 134. 83 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam

Tafsir al-Maraghi, 38-39.

Page 49: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

35

dan surat dengan surat. Pihak yang mendukung pendapat ini

salah satunya adalah;

a. Izz Addin Ibn ‘Abd al-Salam (577-600 H) seperti

pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Rachmat Safe’i

bahwa al-Qur’an diturunkan dalam masa lebih dari dua

puluh tahun, al-Qur’an memuat berbagai hukum dengan

sebab yang berbeda, maka apakah tidak ada peraturan satu

sama lainnya? 84

b. Fakhruddin al-Razi yang menyebutkan bahwa sebagian

besar keindahan al-Qur’an itu terletak pada tertib susunan

ayat dan surahnya, serta adanya keterikatan antara satu

dengan yang lainnya, demikian yang dikemukakan oleh al-

Suyutiy dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an.85

c. Muhammad Izah Darwazah menyebutkan sebagaimana

dikutip oleh Masyfuk Zuhdi bahwa semula orang mengira

tidak ada hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, atau

antara satu surah dengan surah lain. Tetapi kemudian

ternyata bahwa sebagian besar antara satu ayat atau surah

dengan lainnya itu terdapat hubungan satu sama lainnya

demikian dijelaskan oleh Hamdani Anwar.

d. Al-Zarkasy menurut Hamdani Anwar, menjelaskan dalam

al-Burhān bahwa sebagian ulama muhaqqiqin menegaskan

bahwa orang yang menyatakan tidak harus ada munasabah

antara ayat-ayat al-Qur’an karena ayat-ayat tersebut

diturunkan sesuai dengan peristiwa yang mendahuluinya,

yang masing-masing terpisah dari yang lain adalah tidak

benar. Mereka berada dalam ketidak pastian karena al-

Qur’an merupakan wujud suhuf yang isinya sama persis

seperti yang terdapat di Lauh Mahfuz. Oleh sebab itu,

penting kiranya dicari setiap ayat, apakah ayat tersebut

merupakan penyempurnaan bagi ayat sebelumnya? Atau

berdiri sendiri? Jika berdiri sendiri maka dicari pula;

adakah segi munasabah dengan ayat sebelumnya?.

Demikian lah cara untuk melihat keterkaitan antara bagian-

bagian dari al-Qur’an tersebut.86

84 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53. 85 Al-Suyuti, al-Itqān fi Ulumil Qur’an, 470. 86 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 148-150.

Page 50: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

36

2. Pihak yang mengatakan bahwa tidak perlu adanya munasabah

dengan alasan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut saling

berlainan dan juga al-Qur’an disusun dan diturunkan serta

diberi hikmah secara tauqīfi dan tersusun atas petunjuk

Allah.87Di antara para ulama yang menganggap tidak perlu

adanya munasabah adalah;

a. Subhi Shalih memaparkan bahwa mencari hubungan antara

satu surah dengan surah yang lain merupakan perkara yang

sulit, bahkan nyaris seperti sesuatu yang dicari-cari tanpa

ada pedoman dan petunjuk kecuali hanya tertib surah yang

tauqifi. Padahal susunan surah yang tauqīfi tidak lah harus

memiliki hubungan satu bagian dan bagian lainnya.

Dilanjutkan oleh beliau bahwa yang masih mungkin adalah

biasanya setiap surah mempunyai topik atau tema

pembicaraan yang menonjol dan bersifat umum.

Berdasarkan tema tersebutlah kemudian tersusun bagian

surah atau ayat yang berhubungan. Meski begitu, kesamaan

topik yang ada pada tiap-tiap surah tersebut tidak lah berarti

ada kesamaan topik pada setiap surah al-Qur’an. Sementara

kesimpulan yang diambil oleh para ulama tafsir tidak

sampai sejauh itu, karena mereka hanya menunjukkan

adanya hubungan antara ayat terakhir dengan ayat pertama

dalam surah berikutnya. Seolah-olah hubungan kedua surah

tersebut terjadi langsung antara kedua ayat tersebut jika

tidak dipisahkan oleh basmalah. Dengan artian, hubungan

kedua surah tersebut tidak berarti adanya hubungan secara

keseluruhan, demikian yang dikutip oleh Hamdani Anwar.

b. Syaikh ‘Izzudin Abdissalam juga meyatakan sebagaimana

yang dikutip oleh Hamdani Anwar, bahwa Ilmu munasabah

itu sebenarnya ilmu yang baik dengan segala keindahan

hubungan yang dibicarakan tersebut. Namun ditambahkan

oleh beliau jika siapapun yang hanya mencari-cari

hubungannya, maka sebenarnya ia hanya membebani

dirinya dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya,

karena hasil yang ditemukan hanyalah hubungan yang

lemah dan sepintas, yang hanya menunjukkan kepada

keindahan susunan kalimat ketimbang hubungan yang

mempunyai arti lebih mendalam. Hal ini tidak lepas dari

87 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53.

Page 51: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

37

masa turunnya al-Qur’an dalam jangka waktu lebih dari 20

tahun, sehingga ayat-ayatnya membicarakan hukum yang

berbeda disertai dengan sebab turun yang berbeda pula.88

Pendapat di atas yang menolak adanya munasabah dengan

dalil bahwa ayat-ayat al-Qur’an turun dalam masa yang berbeda-

beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan

masa kemudian. Quraish Shihab membantah dan berkata bahwa

tidak sepenuhnya pendapat tersebut benar dengan alasan bahwa

karena setiap ayat yang turun, Rasul Saw menjelaskan kepada

penulis wahyu di mana ayat itu ditempatkan. Memang

penempatan sesuatu katakanlah seperti tamu undangan tidak

harus berdasar masa kehadirannya. Presiden yang datang paling

akhir menempati tempat paling depan. Yang mendampingi beliau

pun bisa berbeda antara satu acara dengan acara yang lain. Sekali

menteri ini dan menteri yang lain pada kesempatan lain sesuai

dengan acara yang diselenggarakan. Contoh lain yang

dikemukakan oleh Quraish Shihab bahwa Jika seseorang ditanya

tentang siapa saja saudara kandung anda maka anda dapat

memulainya dengan yang sulung atau urutannya dapat berbeda

sesuai tujuan anda menyampaikan jawaban. Jika maksud anda

hendak menjelaskan siapa yang paling pandai urutan

penyebutnya berbeda dengan jika maksud anda menjelakan siapa

yang paling butuh dibantu.89

Demikian lah sedikit dari sekian banyak pernyataan ulama

mengenai ilmu munasabah, ada yang setuju dan ada pula yang

kontra. Namun tetap harus diberikan apresiasi khusus bagi para

ulama yang telah memulai kajian ini sehingga bisa memudahkan

umat muslim dalam mempelajari kitab suci al-Qur’an, seringkali

ilmu munasabah ini sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an

dan melupakan ilmu ini sama sekali belum bisa juga dikatakan

sebuah langkah yang benar atau baik.

Dilanjutkan oleh Rachmat Safe’i bahwa terlepas dari dua

kelompok di atas, munasabah adalah sebuah ilmu yang tak

terpisahkan dari Ulum al-Qur’an.90 Hamdani Anwar dalam

bukunya Ulumul Qur’an menjelaskan bahwa menurut sebagian

ulama suatu pembicaraan itu akan tampak indah jika antara

88 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 150-151. 89 Quraish Shihab, Kaidah tafsir, 244-245. 90 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53.

Page 52: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

38

kalimat-kalimatnya saling terkait sehingga tidak kelihatan akan

adanya keterputusan atau keterpisahan antara satu kalimat dengan

kalimat lainnya.91

E. Manfaat Ilmu Munasabah

Dalam mendalami pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an

maka mengetahui ilmu munasabah adalah sebuah keharusan.

Dengan mengetahui ilmu tersebut bisa memungkinkan untuk

memahami ayat-ayat tersebut dengan baik dan benar.

Adapun beberapa manfaat yang akan diraih jika mengetahui

ilmu munasabah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan tema-tema dalam al-Qur’an yang tampak terpisah

menjadi satu kesatuan. Sehingga satu ayat atau satu surah

dengan lainnya menjadi saling terkait. Dari sini juga bisa

didapat sebuah pengertian bahwa ayat atau surah dengan yang

lainnya itu saling menguatkan ibarat seperti sebuah bangunan.

2. Ilmu munasabah bahkan bisa menjadi sebuah ilmu pengganti

ilmu asbab al-nuzul dalam memahami al-Qur’an. Ilmu

munasabah bisa menjadi sebuah peta bagi pembaca al-Qur’an

sehingga kelihatan arah yang sedang ia tempuh.92

3. Dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat

menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an,

jika dipenggal maka keserasian, kehalusan keindahannya akan

hilang.93

4. Ilmu munasabah akan mempermudah dalam memahami dan

menafsirkan al-Qur’an sehingga mudah pula untuk mengambil

hukum maupun penjelasannya.94

91 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 150. 92 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 152-153. 93 M. Taqiyuddin, Ulumul Qur’an, cet. 1 (Bengkulu: LP2 Stain

Curup, 2010), 129. 94 Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Intimedia

Ciptanusantara, tt), 298.

Page 53: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

39

BAB III

SURAH AL-NISᾹ’ DAN ASMA AL-HUSNA

A. Profil Surah Al-Nisā’

Nama surah al-Nisā’ sudah dikenal sejak masa Nabi Saw.

Nama lain dari surah ini adalah al-Nisā’ al-Kubra atau al-Nisā’

al-Tula. Di namai dengan surah al-Nisâ’ dari segi makna berarti

“perempuan” karena ia banyak membahas ketetapan hukum

tentang wanita seperti pernikahan, anak-anak wanita, kemudian

ditutup dengan ketentuan hukum tentang perempuan demikian

dijelaskan oleh al-Suyuti.1 Penjelasan yang sama dikemukakan

oleh al-Shabuni dalam tafsir Safwah al-Tafāsir2 dan Quraish

Shihab dalam Tafsir al-Misbah.3

Surah al-Nisā’ adalah surah yang keempat dari susunan

Mushaf al-Qur’an.4 Al-Marāghi memaparkan bahwa surah ini

terdiri dari 176 ayat. Turun setelah surah al-Mumtahanah.5

Pendapat ini juga disetujui oleh Muhammad Izzat Darwazah

(1305-1404H) dalam kitab Tafsir al-Hadis6 dan Quraish Shihab

dalam Tafsir al-Misbah.7 Sekalipun para ulama sepakat jika surah

al-Nisā’ turun setelah surah al-Baqarah dan mayoritas ulama

mengatakan setelah surah ali Imran.8 Semua pendapat di atas bisa

disatukan jika melihat kitab Tafsīr al-Hadīts yang berisi susunan

surah al-Qur’an sesuai waktu turunnya maka akan didapati jika

surah al-Nisā’ berada setelah surah al-Baqarah, Al Imran dan al-

Mumtahanah.

1 Al-Suyuti, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 87. 2 Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafāsir, Jilid. I (Kairo: Dar Al-Shabuni,

1399 H), 249-250. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 2, 393. 4 Jamaluddin Muhammad Syarif, al-Qiraah al-‘Asyirah al-

Mutawatirah min Thariq al-Syatibiiyah wa al-Dhurah, Cet. V (Darr al-

Shahabah, 2016), 77. 5 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 173. 6 M. Izzat Darwazah, Tafsīr al-Hadīts, Jilid. VI, Cet. I (kairo: Darr al-

Qarbu al-Islami, 200), 5. Tafsīr al-Hadīts adalah sebuah kitab tafsir yang

membahas ayat al-Qur’an dari segi turunnya. 7 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 2, 393. 8 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 13, 580.

Page 54: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

40

Al-Marāghi menjelaskan bahwa surah al-Nisā’ termasuk

dalam kelompok surah Madaniyyah9berdasarkan sebuah riwayat

Imam Bukhari dari ‘Aisyah r.a yang pernah berkata:

ه عليه وسلم ما نزلت سورة النساء الا وانا عند رسول الل ه صلى الل Artinya: Surah al-Nisā’ tidak diturunkan kecuali aku selalu

berada di sisi Rasullullah Saw. 10

Al-Marāghi memahami hadis di atas jika Nabi Muhammad

membangun rumah tangga bersama ‘Aisyah r.a11setelah Hijrah ke

Madinah pada bulan kedelapan tepatnya bulan syawal tahun

pertama hijriah.12Pendapat ini juga disepakati oleh Ibn Katsīr13

dan al-Suyuti dalam tafsir mereka.14

Tujuan turun surah al-Nisā’ adalah mengenai persoalan

tauhid yang diuraikan dalam surah Al Imran, serta ketentuan yang

digariskan dalam surah al-Baqarah dalam rangka melaksanakan

ajaran agama yang telah terhimpun dalam surah al-Fatihah,

sambil mencegah kaum muslimin supaya tidak jatuh ke dalam

jurang perpecahan demikian papar al-Biqai.15

9 Surah Madaniyyah adalah surah yang turun setelah Rasulullah Saw

hijrah meski turunnya dikota Makkah seperti pada saat Fath Makkah, Haji

Wada’, dll. Lihat: Al-Suyuti, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’an, 19. 10 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 11 Nabi Saw menikahi Aisyah pada saat belum hijrah ke Madinah

bersamaan dengan perkawinan Nabi Saw dengan istrinya yang bernama

Saudah r.a. Aisyah r.a adalah putri dari Abu Bakar al-Shiddiq dari pasangan

Ummu Ruman binti ‘Amiral-Kinaniyah. Aisyah lahir pada tahun keempat

kenabian dan menikah dengan Nabi pada tahun kesepuluh kenabian, baru

hidup layaknya suami isteri pada tahun pertama hijrah di kala usianya

mencapai 12 tahun, demikian riwayat populer menurut Quraish Shihab. Lihat

M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw Dalam Sorotan al-

Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, Cet. IV (Ciputat: Lentera Hati, 2014), 526-

527. 12 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 13 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azim, Jilid. II (Jepang: Maktabah

al-Walad al-Syaikh li al-Turas, 200), 331. 14 Al-Suyuti, Dur al-Mansyūr fi Tafsīr al-Ma’sūr, Jilid II (Libanon:

Darr al-Fikr, 2011) 15 Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim Umar Al-Biqai, Nazm al-Durār fi

Tanāsub al-Ᾱyah wa al-Suwār, Jilid 5, 169.

Page 55: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

41

Al-Marāghi menjelaskan bahwa surah al-Nisā’ memiliki

munasabah dengan surah Al Imran sebagai berikut; 16

1. Kandungan surah Al Imran diakhiri dengan perintah untuk

bertakwa, dan ini menjadi awal pembicaraan dalam surah al-

Nisā’.

2. Dalam surah Al Imran diceritakan mengenai perang Uhud maka

dalam surah al-Nisā’ diuraikan kelanjutan peristiwa perang

tersebut:

يدون أن ه أركسهم بما كسبوا فما ل كم في ٱلمنفقين فئتين وٱلل أتر ه لن تجد لهۥ سبيلا تهدوا من أضل ٱلل ه ف ومن يضلل ٱلل

Artinya: Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua

golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik,

padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran,

disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu

bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang

telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah,

sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi

petunjuk) kepadanya.17

3. Dalam kedua surah ini sama-sama menjelaskan tentang

peperangan yang terjadi setelah perang Uhud yakni perang

Hamraul Asad pada tahun ke-3 Hijriah. Berikut bunyi

ayatnya;

سول من ب وٱلر ه ذين عد ما أصابهم ٱلقرح ٱل ذين ٱستجابوا لل ل لقوا أجر عظيم أحسنوا منهم وٱت

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah

dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam

peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat

kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala

yang besar.18

ء ٱلقوم ولا ته هم يألمون كما نوا في ٱبتغا إن تكونوا تألمون فإن ه م تألمون وترج ه عليما حكيما ا لا يرجون ون من ٱلل وكان ٱلل

16 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 173. 17 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: ayat 88. 18 Lihat: QS. A-Nisā’ [4]: ayat 172.

Page 56: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

42

Artinya: Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar

mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka

sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula),

sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap

dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan

adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.19

B. Tema-Tema Ayat Yang Dibahas Dalam Surah Al-Nisā’

Sebelum membahas surah al-Nisā’, al-Marāghi terlebih

dahulu menjelaskan kandungan surah al-Nisā’, seperti berikut ini;

1. Perintah agar bertakwa kepada Allah baik secara sembunyi

maupun terang-terangan.

2. Mengingatkan orang yang diajak bicara bahwa mereka

berasal satu jiwa.

3. Hukum-hukum pertalian kerabat dan bersemenda.

4. Hukum-hukum yang menyangkut masalah pernikahan dan

pembagian waris.

5. Hukum-hukum mengenai peperangan.

6. Sebagian berita yang menelanjangi perilaku orang-orang

munafik.

7. Pembicaraan dengan kaum ahli kitab sampai batas tiga ayat

sebelum akhir surat.20

Ali al-Sabūni menambahkan dalam tafsirnya mengenai

kandungan surah al-Nisā’, seperti:

1. hak-hak perempuan dan anak yatim (khususnya anak yatim

perempuan)

2. memuliakan kaum wanita, menjaga esensinya, mentaati

hukum-hukum yang telah Allah tetapkan atas mereka seperti

mahar, waris dan mempergauli mereka dengan sangat baik.

3. Bersikap toleransi, adil, amanah di dalam bermasyarakat dan

tidak bersikap nepotisme.

4. Mengatur hubungan umat muslim dan umat lainnya.21

Muhammad Izzat menjelaskan lebih detail tentang tema

yang dibahas dalam surah al-Nisā’ seperti: yang halal dan yang

haram dinikahi, ketentuan tentang waris, hak perorangan,

kewajiban manusia dalam menghormati yang lain, memelihara

19 Lihat: QS. Al-Nisâ’ [4]: ayat 104. 20 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 21 Ali al-Shabuni, Safwah al-Tafāsir, jilid 1, 249-250.

Page 57: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

43

hak orang yang lemah dan membantunya, tayamum, hukum

shalat dalam keadaan junub, larangan shalat dalam keadaan

mabuk, memperkuat keimanan tentang Nabi sebagai pemimpin

umat muslimin, menetapkan al-Qur’an dan sunnah sebagai

landasan utama ketika terjadi perselisihan dalam kehidupan,

memberikan kewenangan ijtihad kepada yang memiliki kapasitas

tentangnya, perintah untuk selalu waspada dan mempersiapkan

pertahanan menghadapi musuh, jihad membela orang-orang yang

terzalimi, menjaga persatuan sesama umat muslim, mengatur

politik umat Muslim dengan selainnya, hukum tentang

membunuh karena sengaja dan tidak sengaja, kaharusan

membantu umat manusia, tidak menjadikan jihad sebagai sarana

untuk meraih harta kekayaan, shalat khauf, kewajiban hakim

untuk selalu berlaku adil, menentang orang-orang munafik,

meningkatkan keimanan kepada semua Nabi dan Rasul,

penjelasan tentang pengutusan Rasulullah, penjelasan tentang

Nabi Isa a. s dan membantah anggapan kaum Yahudi dan Nasrani

dan menyeru semua manusia untuk menerima kebenaran Islam.22

Jika dilihat dari ketiga pendapat di atas maka dapat

disimpulkan jika al-Marāghi hanya menyebutkan kandungan

besar saja yang berbeda dengan Muhammad Izzat yang lebih

detail. Meskipun jika melihat dari makna surah maka pendapat al-

Sabūni lebih mewakili mengenai kandungan yang dimaksud

karena lebih banyak mengangkat tema perempuan. Misalnya awal

surah yang dimulai dengan bagaimana memperlakukan

perempuan yatim pada ayat 3;

ا تقسطوا في ٱليتمى فٱنكحوا ما طاب ل كم م ن أل وإن خفتم أو ما ا تعدلوا فوحدة أل بع فإن خفتم لث ور ء مثنى وث ٱلن سا

ا تعولوا مل كت أ يمنكم ذلك أدنى أل Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang

kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

22 Muhammad Izzat Darwazah, Tafsīr al-Hadīts, jilid 8, 7.

Page 58: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

44

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya.23

Kemudian surah al-Nisā ditutup dengan pembagian harta

warisan yang berbentuk kalalah, masih berkaitan dengan

perempuan;

إن ٱمرؤا هلك ليس لهۥ ولد ه يفتيكم في ٱلكللة يستفتونك قل ٱلل فإن ها ولد م يكن ل وهو يرثها إن ل لها نصف ما ترك ۥ أخت ف وله

ا ترك لثان مم لهما ٱلث ء كانتا ٱثنتين ف ر جالا ونسا وإن كانوا إخوة شيء ه بكل وا وٱلل ه ل كم أن تضل بي ن ٱلل ٱلأنثيين ي مثل حظ لذ كر ل ف

عليم Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang

kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu

tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan

ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu

seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya

yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara

perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika

saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua

pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara

laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-

laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.

Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu

tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.24

Melihat pembahasan awal dan penutup surah, maka dapat

disimpulkan jika surah al-Nisā’ sangat dominan berbicara tentang

perempuan sesuai dengan penamaan surahnya.

C. Pengertian Asma Al-Husna

Ungkapan sifat-sifat Allah di dalam al-Qur’an disebut

dengan al-Asma al-husna. Menurut penulis al-Mu’jam al-

Mufarras li Alfāz al-Qur’an al-Hakīm menyebutkan bahwa asma

23 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 3 24 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 176

Page 59: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

45

al-husna diulang sebanyak empat kali di dalam al-Qur’an, 25 yaitu

terdapat pada surat al-A’raf [7]: 180;

ء ٱلحسنى فٱدعوه بها وذروا ٱل ذين ه ٱلأسما لحدون في أسمئهۦ ولل ي سيجزون ما كانوا يعملون

Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka

bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul

husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang

dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti

mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah

mereka kerjakan.26

Kata asma al-husna juga terdapat dalam surah al-Isra;

حمن قل ٱدعوا ٱلل ه أو ٱدعوا ٱلر ا تدعوا ف ا م ء ٱلحسنى أي ٱلأسما له ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وٱبتغ بين ذلك سبيلا

Artinya: Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-

Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia

mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)

dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu

dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan

tengah di antara kedua itu".27

Selanjutnya kata asma al-husna juga ditemukan dalam

surah Taha;

ؤا عليها وأهش بها على غنمي ولي فيها م رب أقال هي عصاي أتوك أخرى

Artinya; Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku

bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk

kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain

padanya".28

Terakhir kata asma al-husna terdapat dalam surah al-Hasyr;

25 Muhammad Fuad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufarras li Alfaz al-

Qur’an al-Hakīm, (Kairo: Dar al-Hadis, 2007), 249. 26 Lihat: QS. Al-A’raf [7]: 180 27 Lihat: QS. Al-Isra [7]: 110 28 Lihat: QS. Taha [7]: 180

Page 60: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

46

ه ٱل ٱلل ء هو ٱلأسما له ا في يسب ح لهۥ م ٱلحسنى خلق ٱلبارئ ٱلمصو رموت وٱلأرض يز ٱلحكيم ٱلس وهو ٱلعز

Artinya: Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang

Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai

Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit

dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.29

Al-Marāghi menjelaskan bahwa Asma al-Husna adalah

nama yang menunjukkan arti yang terbaik dan sifat yang paling

sempurna, maka panggillah Dia dengan mengucapkan nama-

nama tersebut.30Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa

redaksi al-asma al-husna terdiri dari dua kata. Pertama: kata al-

Asma adalah bentuk jamak dari kata al-ism yang biasa diartikan

dengan nama. Sedangkan kata asalnya adalah as-sumuww yang

berarti ketinggian atau as-simah yang bermakna tanda. Karena

nama merupakan tanda sesuatu dan harus dijunjung tinggi. Allah

memiliki apa yang dinamai-Nya sendiri dengan al-Asma al-

Husna.31

Al-Marāghi memaparkan bahwa nama-nama Allah itu

banyak, yang semuanya indah-indah, agar tiap-tiap nama itu

menunjukkan betapa maha sempurnanya makna yang terkandung

padanya, dan bahwa tiap nama itu lebih dari sekedar nama yang

dinisbatkan kepada makhluknya seperti al-Rahmān, al-Hakīm,

dan lain-lain.32 Jumlah nama-nama Allah itu berjumlah 99 bentuk

seperti riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a, hadis nomor

2736;

ان لل ه تسعة الجنة ل ن أحصاها دخالا واحدا م وتسعين اسما مائة Artinya: Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh

sembilan nama yakni seratus kurang satu, siapa

menghitungnya maka ia masuk surga.33

Al-Tirmidzi meriwayatkan nama-nama Allah tersebut,

dalam hadis ke 3507;

29 Lihat: QS. Al-Hasyr [7]: 24 30 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 216-217. 31 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, xxxvii. 32 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 218. 33 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, 557.

Page 61: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

47

ب ثنا إ جور حد ثنا راهيم ب ن يع قوب ال ثنا صف وان ب ن صالح حد جاني حد عن ثنا شعي ب ب ن أبي حم زة لم حد أبي الز ناد عن ال وليد ب ن مس

ي رة قال م إن ال أع رج عن أبي هر ه علي ه وسل ه صل ى الل قال رسول الل ة ن ج صاها دخل ال ما مائة غي ر واحد من أح عة وتس عين اس ه تعالى تس لل

ه ال ذي لا إله الل لام هو وس الس ال ملك ال قد حيم من الر ح الر ا هو إل ار ال غف ال مصو ر الق ال بارئ خ ال ال متكب ر ار ب ج ال يز ال مؤ من ال مهي من ال عز

اح ال عليم ال قابض ال ب اق ال فت ز اب الر ار ال وه افع ال قه افض الر خ اسط ال ليم ح ال بير خ طيف ال ل الل حكم ال عد ال ميع ال بصير ال معز ال مذل الس ليل ج حسيب ال حفيظ ال مقيت ال كور ال علي ال كبير ال ال عظيم ال غفور الش

قيب ال مجيب الر يم كر ال ودود ال مجيد ال باعث ال حكيم ال واسع ال صي ال مب دئ ميد ال مح ح حق ال وكيل ال قوي ال متين ال ولي ال هيد ال الش مد وم ال واجد ال ماجد ال واحد الص حي ال قي يي ال مميت ال ال معيد ال مح

ال باطن ال والي ال ق اهر الظ ل ال آخر ال أو ال مؤخ ر م ال مقد تدر ال مق ادرلال ج ءوف مالك ال مل ك ذو ال اب ال من تقم ال عفو الر و ال متعالي ال بر الت

امع ال غني ال م ج سط ال ور وال إك رام ال مق افع الن ار الن غ ني ال مانع الض بور شيد الص ال هادي ال بديع ال باقي ال وارث الر

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin

Ya'qub al-Jurjani telah menceritakan kepada kami Safwan

bin Shalih telah menceritakan kepada kami al-Walid bin

Muslim telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Abu

Hamzah dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah

ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah

Swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus

kurang satu. Barang siapa yang hafal, mengamalkan dan

membenarkannya akan masuk Surga. Yaitu; Allah yang

tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia al-

Rahmān, al-Rahīm, al-Malīk, al-Quddūs, al-Salām, al-

Page 62: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

48

Mukmīn, al-Muhaimin, al-'Azīz, al-Jabbar, al-Mutakabbir,

al-Khaliq, al-Bari-u, al-Mushawwir, al-Ghaffar, al-

Qahhar, al-Wahhab, al-Razzaq, al-Fattah, al-'Alīm, al-

Qabid, al-Basit, al-Khafid, al-Mu'īz, al-Muzill, al-Sami', al-

Bashīr, al-Hakam, al-'Adlu, al-Latīf, al-Khabīr, al-Halīm,

al-'Azīm, al-Qhafūr, al-Syakūr, al-'Aliyy, al-Kabīr, al-Hafiz,

al-Muqit, al-Hasīb, al-Jalīl, al-Karīm, al-Raqīb, al-Mujīb,

al-Wasi', al-Hakīm, al-Wadūd, al-Majīd, al-Ba'its, al-

Syahīd, al-Haqq, al-Wakīl, al-Qawiyy, al-Matīn, al-Waliyy,

al-Hamīd, al-Muhshi, al-Mubdi`, al-Mu'īd, al-Muhyi, al-

Mumīt, al-Hayy, al-Qayyum, al-Wajīd, al-Majīd, al-Wahīd,

al-Samad, al-Qadīr, al-Muqtadir, al-Muqaddim, al-

Muakhkhir, al-Awwal, al-Akhir, al-Zahīr, al-Batīn, al-Wali,

al-Muta'āli, al-Barr, al-Tawwab, al-Muntaqim, al-

Ghafuww, al-Rauf, Mālikul Mulk, Zul Jalāl wal Ikrām, al-

Muqsit, al-Jami', al-Ghani, al-Mani', al-Dharr, al-Nāfi', al-

Hādi, al-Badi', al-Bāqi, al-Warits, al-Rasyīd, al-Shabūr."34

Al-Tirmidzi (w 279H) mengomentari hadis di atas sebagai

hadis gharib. Telah menceritakan kepada kami dengan hadis

tersebut lebih dari satu orang dari Safwan bin Salih dan kami

tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Safwan bin Salih, dan ia

adalah orang yang tsiqah menurut ahli hadis. Hadits ini telah

diriwayatkan lebih dari satu jalur dari Abu Hurairah dari Nabi

Saw, dan kami tidak mengetahui kebanyakan riwayat-riwayat

tersebut memiliki sanad yang shahih yang menyebutkan nama-

nama kecuali hadits ini. Dan Adam bin Abu Iyas telah

meriwayatkan hadits ini dengan sanad selain ini dari Abu

Hurairah dari Nabi Saw, dan padanya ia menyebutkan nama-

nama tersebut, dan tidak memiliki sanad yang shahih.35

Komentar al-Marāghi mengenai hadis di atas adalah terjadi

perselisihan mengenai penyusunan nama-nama Allah tersebut.

Apakah marfu’ ataukah mudraj (disisipkan) saja dalam hadis oleh

sementara perawi. Al-Marāghi menyetujui pendapat kedua yang

mengatakan bahwa nama tersebut hanyalah sisipan sehingga

hadis ini tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim karena

hanya al-Walid sendiri yang meriwayatkannya dan dimungkinkan

34 Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,

(kairo: Al-Quds, 2009), 219-220. 35 Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,

(kairo: Al-Quds, 2009), 219-220.

Page 63: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

49

terjadi penyisipan sebagaimana dikatakan oleh al-Hafiz Ibnu

Hajar.36

Jika melihat dari riwayat al-Bukhari maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa nama Allah tersebut berjumlah 99 nama meski

secara penyusunannya masih terjadi perbedaan pendapat. Namun

asma al-husna pada ayat tersebut belum lah mencakup semua

asma al-husna yang ada, misalnya dalam al-Qur’an disebut salah

satu asma Allah dengan al-Nasīr, Allah Yang Maha Menolong.

Sehingga dapat disimpulkan jika maksud dari angka 99 dalam

hadis riwayat Imam al-Bukhari adalah sebagai gambaran bahwa

asma al-husna itu banyak jumlahnya.

Abdulrazzaq juga mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah37:

“Di dalam al-Qur’an penyebutan tentang nama, sifat dan

perbuatan Allah lebih banyak dari pada penyebutan tentang

makanan, minuman serta surga. Bahkan Rasul pernah bersabda

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam

shahihnya, terdapat dalam hadis yang ke 7375 dalam bab tauhid,

tentang hal ini:

بى عن عائشة ة -صلى الل ه عليه وسلم -أن الن ي بعث رجلا على سرا ه أحد ( فلم تم ب ) قل هو الل ته فيخ حابه فى صلا رأ لأص ، وكان يق

بى » فقال -صلى الل ه عليه وسلم -رجعوا ذكروا ذلك للن سلوه لأى نع ذلك ش ء يص من ، وأنا أحب « . ى ح ها صفة الر فسألوه فقال لأن

بى ه » -صلى الل ه عليه وسلم -أن أق رأ بها . فقال الن أخ بروه أن الل ه «يحب

Artinya: Dari Aisyah bahwa Nabi Saw pernah mengutus

seorang laki-laki dalam sebuah ekspedisi militer, lantas

laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam

shalatnya dengan Qul huwa al-Allah Ahad (Surah al-Ikhlas)

dan menutupnya juga dengan surat itu. Di kala mereka

pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi Saw,

Lantas Nabi Saw bersabda: tolong tanya dia, mengapa dia

berbuat demikian? Mereka pun menanyainya, dan sahabat

36 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 9, 221. 37 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abbās Taqi al-Dīn Ahmad bin ‘Abd

al-Salām bin Abd Allah Ibn Taimiyah al-Harani, wafat 1328 M.

Page 64: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

50

tadi menjawab, karena surat itu adalah menggambarkan

sifat al-Rahman, dan aku sangat menyukai membacanya.

Sepontan Nabi Saw bersabda: Beritahukanlah kepadanya

bahwa Allah menyukainya. (HR. Bukhari)38

Al-Marāghi memaparkan bahwa sangat banyak faedah dari

menyebut nama Allah seperti memberi makanan iman,

menyatakan rasa takut kepada Allah, menimbulkan rasa harap

hanya kepadanya, memandang enteng kepada segala penderitaan

di dunia dan agar tidak terlalu memperdulikan dengan

kenikmatan dunia yang tidak sempat diperoleh.39 Manfaat lain

dari mempelajari ilmu tentang asma al-husna adalah sebuah

usaha termulia yang dilakukan oleh setiap jiwa dan sebaik-baik

apa yang diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan akal

dan petunjuk. Bahkan ilmu ini merupakan puncak yang

diperebutkan oleh manusia dan akhir dari yang diperlombakan,

karena ilmu ini adalah pondasi jalan menuju Allah dan jalan yang

lurus dalam meraih kecintaan dan keridhaan-Nya. Sebagai

pondasi dari bangunan amal manusia maka sedikitnya dapat

terbagi dalam dua hal, Pertama: mengenal Allah, perintah, nama

serta sifat-sifatnya dengan baik. Kedua: tunduk dan patuh kepada

Allah dan rasul-Nya. Sehingga tidak mustahil jika ditemukan

hampir semua ayat al-Qur’an tidak terlepas dari penyebutan nama

dan sifat-Nya, demikian yang dikemukakan oleh Abdulrazzaq bin

Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.40

1. Raqîban

Sifat Raqīban sebagai penutup ayat hanya terdapat pada

ayat pertama dalam surah al-Nisā’. Al-Marāghi memahami al-

Raqīb dengan Dzat Yang Mengawasi dari tempat yang tinggi.

Kata al-marqab yang memiliki akar yang sama dengan al-Raqīb

dipahami dengan nama tempat seseorang yang bertugas

mengawasi orang-orang yang ada di bawahnya.41Sedangkan Ibn

Faris dalam kitab Maqāyis al-Lughah menambahkan, kata Raqīb

38Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari,

(Kairo: Dar al-Atrak), 1474. 39 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 217. 40Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Fiqh Asma al-

Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, Cet. 21 (Jakarta: Darus

Sunnah, 2018), 21-24. 41 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 174.

Page 65: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

51

berasal dari perpaduan huruf ra’, qaf, dan ba’ yang memiliki

makna dasar tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu.

Sehingga pengawas disebut juga dengan Raqīb karena ia tampil

untuk memerhatikan dan mengawasi demi memelihara yang

diawasi.42

Lebih jauh, Imam al-Ghazali memahami Raqīb dengan

Yang Maha Mengetahui lagi Maha Memelihara. Siapa yang

memelihara sesuatu, maka tidak akan lengah terhadapnya dan

memperhatikannya dengan perhatian berkesinambungan.

Sehingga menjadikan yang disaksikan, bila dilarang melakukan

sesuatu, tidak akan melakukannya, maka itulah yang dinamai

Raqīb.43 Namun Quraish Shihab menyebutkan bahwa pengawasan

ini bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang

diawasi. Karena itu, para malaikat pengawas yang menjalankan

tugasnya mencatat amal-amal manusia atas perintah Allah,

tidak/belum mencatat niat buruk seseorang sebelum niat itu

terwujudkan dalam bentuk perbuatan. Sebaliknya berbeda dengan

niat baik seseorang yang akan dicatat sebagai kebaikan walaupun

belum diwujudkan atau dilaksanakan.44

2. Hasīban

Sifat Hasīban sebagai penutup ayat dalam surah al-Nisā’

diulang sebanyak dua kali yaitu pada ayat 6 dan 86. Menurut al-

Marāghi al-Hasīb memiliki makna yang sama dengan al-Ragīb

yaitu Allah sebagai Yang Maha Mengawasi.45Sedangkan Ibn

Faris menyebut kata Hasīban yang akar katanya terdiri dari huruf

ha’, sin, dan ba’ mempunyai empat kisaran makna, yakni

menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang

menimpa kulit sehingga memutih. Tentu saja dapat disimpulkan

bahwa makna ketiga dan keempat tidak layak disematkan atau

dikaitkan dengan Allah Swt. Kata Hasīb sering didahului dengan

42 Ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin Habib Abu

Husain al-Razi al-Qazwaini, Maqāyis al-Lughah, (Kairo: Dar al-Ifaq al-

Arabiyyah, 2017), 375. 43 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Maqsad al-

Asna (Syarh Ma’ani al-Asma al-Husna, Cet. I (Cyprus: Dar Ibn Hazm, 2003),

117. 44 M. Quraish Shihab, Menyingkap tabir Ilahi, 216. 45 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 190.

Page 66: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

52

kata kafa yang berarti cukup sehingga bisa dipahami maknanya

menjadi Yang Memberi Kecukupan.46

Lain lagi dengan penjelasan Imam al-Ghazali yang

menyatakan bahwa makna al-Hasīb adalah “Dia yang mencukupi

siapa yang mengandalkannya”. Sifat ini tidak dapat disandang

kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah saja yang dapat

mencukupi lagi diandalkan oleh setiap makhluk. Makna lainnya

adalah al-Hasīb sebagai Yang Maha Menghitung maka Allah

yang melakukan perhitungan amal baik dan buruk manusia secara

teliti dan amat cepat. Seseorang yang meyakini bahwa Allah

adalah al-Hasīb maka hidupnya akan tenteram, tidak terusik oleh

gangguan, tidak kecewa ketika kehilangan materi atau

kesempatan karena selalu merasa cukup dengan Allah. Jangan

pernah menduga bahwa bayi yang membutuhkan ibu yang

menyusukan dan memeliharanya, jangan pula menduga bahwa

bukan Allah yang mencukupinya karena Allah menciptakan

ibunya, serta air susu yang dihisapnya, Allah pula yang

mengilhami bayi tersebut untuk menghisap serta menciptakan

rasa kasih sayang di kalbu ibu kepadanya.47

3. ‘Alīman

Sifat ‘Aliman sebagai penutup ayat dalam surah al-Nisā’

diulang sebanyak 16 kali. Sifat ‘Alīman bediri sendiri terdapat

pada lima tempat yaitu ayat 33, 39, 70, 127 dan 176. Satu tempat

bergandengan dengan sifat Khabīran pada ayat 35, dengan sifat

Syākīran satu kali pada ayat 147 dan satu kali dengan sifat

Samīan pada ayat 148. ‘Alīman juga bergandengan dengan sifat

Hakīman pada 8 tempat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104,

111 dan 170.

Sifat ‘Alīman menurut Ibn Faris terambil dari kata ‘ilm

yang mempunyai makna menjangkau sesuatu sesuai dengan

keadaannya yang sebenarnya. Bahasa Arab menggunakan semua

kata yang tersusun dari huruf-huruf ‘ain, lām, dan mim dalam

berbagai bentuknya bermakna untuk menggambarkan sesuatu

yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan.48

46 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 226-227. 47 Al-Ghazali, Al-Maqsad Al-Asna, 113-116. 48 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 636.

Page 67: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

53

Allah Swt dinamai al-‘Alīm karena pengetahuan-Nya yang

amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya hal-hal sekecil apa pun.

Perbedaan ilmu Allah dan ilmu manusia adalah

1. Dalam hal objek pengetahuan. Allah mengetahui segala

sesuatu, manusia tidak mungkin dapat mendekati pengetahuan

Allah.

2. Kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat

mencapai kejelasan ilmu Allah.

3. Ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu tetapi melainkan sesuatu

itu lah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya, sedangkan ilmu

manusia dihasilkan dari adanya sesuatu.

4. Ilmu Allah tidak berubah dengan berubahnya objek yang

diketahuinya.

5. Allah mengetahui tanpa menggunakan alat sedangkan manusia

meraih ilmunya dengan bantuan alat seperti pancainderanya.

6. Ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya.49

4. Hakīman

Sifat Hakīman bergandengan dengan sifat ‘Alīman dalam

surah al-Nisā’ yaitu pada 8 tempat, pada ayat 11, 17, 24, 26, 92,

104, 111 dan 170. Bergandengan dengan sifat ‘Azīzan pada ayat

56, 158 dan 165. Satu kesempatan bergandengan dengan sifat

Wāsī’an pada ayat 130. Sifat Hakīman terambil dari kata hakama,

kata ini menggunakan susunan huruf ha’, kāf dan mīm yang

maknanya berkisar pada menghalangi atau mencegah, seperti kata

“hikmah” yang terambil dari asal yang sama memiliki makna

mencegah dari kejahilan atau kebodohan, demikian dijelaskan

oleh Ibn Faris.50

Al-Hakam yang menjadi sifat Allah dengan makna bahwa

Dia yang melerai dan memutuskan kebenaran dari kebatilan,

menetapkan siapa yang taat dan siapa yang durhaka, serta

memberi balasan setimpal bagi setiap usaha, semuanya

berdasarkan ketetapan yang ditetapkannya. Dengan demikian

qada dan qadar–Nya dikandung oleh sifat al-Hakām. Bahkan

sifat-Nya ini menyangkut segala sesuatu di dunia dan di akhirat,

lahir dan batin, termasuk hukum-hukum syariat yang ditetapkan-

49 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 87. 50 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 240.

Page 68: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

54

Nya, bahkan Dia adalah al-Hakām, sebelum Dia menetapkan

sesuatu.51

5. Halīmun

Sifat Halimun hanya sekali menjadi penutup ayat dalam

surah al-Nisā’ yaitu pada ayat 12.

Sifat Halīmun menurut Ibn Faris terambil dari akar kata

yang terdiri-dari huruf ha’, lām dan mīm mempunyai tiga makna

yaitu tidak bergegas, lubang karena kerusakan dan mimpi.52

Sedangkan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa sifat al-Halīm

yang disandangkan kepada Allah sebagai Dia yang menyaksikan

kedurhakaan para pendurhaka, melihat pembangkangan mereka,

tetapi kemarahan tidak mengundangnya untuk bertindak, tidak

juga ia disentuh oleh kemurkaan atau didorong untuk bergegas

menjatuhkan sanksi—padahal ia amat mampu dan kuasa.

Manifestasi dari sifat Ilahi ini, tercermin dari penangguhan siksa

terhadap yang bergelimang dalam dosa, atau terhadap yang tak

mau tahu dan melecehkan tuntunan-Nya, walau demikian rezeki-

Nya tidak diputus buat mereka.53

6. Tawwāban

Sifat Tawwāban selalu bergandengan dengan sifat Rahīman

menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ pada dua tempat yaitu

pada ayat 38 dan 39.

Menurut Ibn Faris Tawwāban yang akar katanya terdiri-dari

ta’, wauw dan ba maknanya cuma satu yaitu kembali.54 Kata ini

mengandung makna bahwa yang kembali pernah berada pada

satu posisi—baik tempat maupun kedudukan—kemudian

meninggalkan posisi itu, selanjutnya dengan kembali maka ia

menuju pada posisi semula. Yang dimaksud dengan Allah

sebagai al-Tawwāb adalah sebagai penerima taubat. Dijelaskan

oleh Imam al-Ghazali bahwa Dia (Allah) yang kembali berkali-

kali menunjukkan cara yang memudahkan taubat untuk hamba-

hamba-Nya, dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaran-

Nya, menggiring kepada mereka peringatan-peringatan-Nya,

serta mengingatkan akan ancaman-ancaman-Nya sehingga bila

51 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 92. 52 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 241. 53 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 103-104. 54 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 144.

Page 69: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

55

mereka telah sadar dengan perbuatan buruk yang mereka lakukan

dan merasa takut maka mereka akan kembali kepada Allah dan

Allah pun kembali kepada mereka dengan pengabulan.55

7. Rahīman

Sifat Rahīman menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada 11 tempat yaitu pada ayat 40 berdiri sendiri. Bergandengan

dengan sifat Tawwāban pada ayat 38 dan 39. Bergandengan

dengan sifat Ghafūran pada 8 tempat yaitu pada ayat 23, 25, 96,

100, 106, 110, 129 dan 152.

Sifat Rahīman menurut Ibn Faris berasal dari susunan ra,

ha dan mīm. Makna kata ini berkisar pada kasih sayang,

kehalusan dan kelemahlembutan.56 Sehingga silaturrahim adalah

hubungan kasih sayang. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa jika

kata al-Rahmān hanya khusu menunjuk Allah, sedangkan kata al-

Rahīm bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya.57 Seringkali

didapati penyebutan al-Rahīm setelah al-Rahmān seperti dalam

surah al-Fatihah ayat 3, tujuannya menurut Quraish Shihab

adalah untuk menjelaskan bahwa anugerah Allah apa pun

bentuknya, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau

sesuatu yang mengandung pamrih, tetapi semata-mata lahir dari

sifat rahmat, Allah sebagai pencurah dan al-Rahīm, Allah sebagai

kasih sayang yang telah melekat pada diri-nya.58

8. Ghafūran

Sifat Ghafūran bergandengan dengan sifat Rahīman

menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ pada 8 tempat yaitu

pada ayat 23, 25, 96, 100, 106, 129 dan 152 dan bergandengan

dengan sifat ‘Afuwwan pada dua tempat yaitu pada ayat 43 dan

99.

Sifat Ghafūr menurut Ibn Faris Ghafūran ditinjau dari akar

katanya yaitu ghafara yang berarti menutup, huruf asalnya adalah

huruf ghain, fa dan ra.59Perbedaan antara al-Ghaffar dan al-

Ghafūr adalah al-Ghaffar yang menutupi aib atau kesalahan di

dunia sedangkan al-Ghafūr menutupi aib di akhirat, demikian

55 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 139. 56 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 404. 57 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 84. 58 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 22. 59 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 741.

Page 70: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

56

penjelasan perbedaannya menurut Ibnu al-Arabi sebagaimana

yang dikutip oleh Quraish Shihab.60

9. Syahīdan

Sifat Syahīdan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada tiga tempat yaitu pada ayat 33, 79 dan 166 yang berdiri

sendiri.

Dikemukakan Ibn Faris bahwa Syahīdan yang bermakna

Yang Maha Menyaksikan yang terambil dari akar kata yang

terdiri dari huruf-huruf syin, ha’, dan dal, yang makna dasarnya

berkisar pada kehadiran, pengetahuan, informasi dan kesaksian.61

Selain menunjukkan pada sifat Allah juga menunjukkan kepada

para nabi, malaikat pemelihara, umat Nabi Muhammad Saw yang

gugur di jalan Allah, yang menyaksikan kebenaran atas makhluk

Allah, teladan dan sekutu. Patron kata syahīd dapat berarti objek

yang bermakna disaksikan/teladan atau menjadi subjek sehingga

bermakna menyaksikan. Allah sebagai Syahīd berarti Dia hadir,

tidak gaib dari segala sesuatu serta menyaksikan segala sesuatu.

Pendapat dari Imam al-Ghazali yang menyebutkan bahwa sifat

Allah sebagai Syahīd adalah pengetahuan Allah mengenai hal-hal

yang nyata sedangkan untuk hal-hal yang ghaib Allah menyetahui

dengan sifat al-Khabīr-Nya, adapun sifat ‘Alīm bermakna

pengetahuan Allah mengenai hal ghaib dan nyata. Mereka yang

meneladani sifat ini maka mereka harus menyadari bahwa Allah

mengetahui segala yang tersembunyi dan segala yang

ditampakkan oleh makhluk-Nya.62

10. ‘Aliyyan

Sifat Aliyyan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 34 yang bergandengan dengan sifat Kabīran. Kata

‘Aliyyan tersusun dari huruf ‘ain, lām dan mu’tal ya’ atau wauw,

menunjuk pada makna ketinggian atau lawan dari kerendahan,

baik yang bersifat material maupun sebaliknya. Allah Maha

Tinggi karena tidak ada yang melebihi ketinggian kedudukannya

demikian yang diungkapkan oleh Ibn Faris.63

60 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 176-177. 61 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 494. 62 Al-Ghazali, Al-Maqsad Al-Asna, 126. 63 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 637.

Page 71: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

57

Al-Ghazali berpendapat bahwa memang pada mulanya

manusia memahami ketinggian dari segi tempat, hal ini karena

dikaitkan dengan mata kepala tetapi dengan disadarinya bahwa

ada juga pandangan mata akal atau batin yang berbeda dengan

pandangan yang bersifat inderawi. Contoh dalam kehidupan

ketika seseorang mengembalikan keputusan kepada Allah maka

ia akan berkata “terserah yang di atas” sambil menunjuk ke

langit. Itu bukan berarti ia menunjuk kepada Tuhan karena Allah

ada di mana-mana, Allah Maha Tinggi maka tidak ada yang bisa

mencapai ketinggiannya kecuali diri-Nya sendiri.64

11. Kabīran

Sifat Kabīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 34 yang bergandengan dengan sifat Aliyyan. Sifat

Kabīran atau al-Kabīr yang tersusun dari huruf kaf, ba’ dan ra’

yang berarti antonim dari kecil papar Ibn Faris.65

Dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa kebesaran adalah

kesempurnaan dzat, yang dimaksud dengan dzat adalah wujud-

Nya sehingga kesempurnaan Dzat-Nya adalah kesempurnaan

wujud-Nya. Kesempurnaan wujud ditandai dengan keabadian dan

sumber wujud. Allah kekal abadi, Dia awal yang tanpa

permualaan dan akhir yang tanpa akhir. Sifat al-Khabīr ini, juga

mencakup makna ketiadaan kebutuhan sehingga pada akhirnya

tiada yang maha besar kecuali Allah Swt.66

12. Khabīran

Sifat Khabīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada 3 tempat yaitu pada ayat 35, 94, 128, 135 dan yang

bergandengan dengan sifat ‘Alīman pada ayat 35. Menurut Ibn

Faris khabīran yang huruf asalnya adalah kha, ba dan ra

memiliki makna yang terkait dua hal yaitu ilmu dan kelembutan.

Menurut imam al-Ghazali Khabīr adalah yang tidak

tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan yang

disembunyikan, serta tidak terjadi sesuatu pun dalam kerajaan-

Nya di dunia maupun di alam raya kecuali diketahui-Nya. Tidak

bergerak atau diam suatu benda, tidak bergejolaknya jiwa kecuali

ada beritanya di sisi-Nya.

64 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 106-108. 65 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 851. 66 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 109.

Page 72: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

58

Quraish Shihab berpendapat jika Khabīr memiliki

perbedaan dengan kata ‘Alīm. Al-‘Alīm adalah yang mencakup

pengetahuan Allah tentang segala sesuatu dari sis-Nya,

sedangkan al-Khabīr adalah Dia yang pengetahuan-Nya

menjangkau sesuatu yang diketahui. Penekanannya terletak pada

sesuatu yang diketahui itu.67

13. ‘Afūwwan

Sifat Afuwwan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 149 bergandengan dengan sifat Qadīran dan yang

bergandengan dengan sifat Ghafūran pada ayat 43 dan 99.

Sifat ‘Afuwwan dalam penutup ayat di atas menurut al-

Marāghi adalah kelapangan dan kemudahan, sedangkan Ibn Faris

menjelaskna bahwa ‘Afuwwan terambil dari susunan huruf ‘ain,

fa’ dan wauw yang menunjukkan kepada dua hal yaitu

meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini lahirlah kata

‘Afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah

(memaafkan). Jangan menduga bahwa pemaafan Allah hanya

tertuju kepada mereka yang bersalah secara tidak sengaja, atau

melakukan kesalahan karena tidak tahu. Juga jangan menduga

bahwa Dia selalu menunggu yang bersalah untuk meminta maaf.

Tidak! Sebelum manusia meminta maaf maka Allah sudah

memaafkannya, tidak hanya untuk orang-orang baik saja tetapi

Allah juga memaafkan mereka yang durhaka.68

Allah adalah al-‘Afuww yakni Dia yang menghapus

kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-

pelanggaran mereka. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa

pemaafan Allah lebih tinggi dari maghfiī. Jika ghafūr bermakna

menutupi, yang berarti sesuatu yang ditutupi pada hakikatnya

tetap wujud hanya saja tidak terlihat sedangkan sesuatu yang

dihapus atau ‘afwu pasti hilang, kalaupun ada tersisa maka itu

hanyalah bekas-bekasnya saja. Pemaafan Allah terbuka bagi

semua makhluk-Nya.69 Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa

selama penelitiannya, ia belum menemukan perintah dalam al-

Qur’an untuk meminta maaf yang ada hanyalah perintah untuk

memberi maaf. Hal ini bukan berarti bahwa yang bersalah tidak

harus meminta maaf. Tetapi ia wajib meminta maaf kepada yang

67 Quraish Shihab, Menyingkap tabir Ilahi, 164. 68 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 615. 69 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 140.

Page 73: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

59

telah ia sakiti, hal yang jauh lebih penting dari itu adalah

menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu

atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air

mukanya dengan suatu permintaan—walaupun permintaan itu

adalah pemaafan.70

14. Waliyyan

Sifat Waliyyan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 45, 123 dan 173 yang selalu bergandengan dengan sifat

Nasīran.

Waliyyan kata akarnya terdiri dari huruf wauw, lām dan ya’

makna dasarnya adalah dekat, demikian penjelasan Ibn

Faris.71Dari sini berkembanglah makna-makna baru seperti

pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama,

dll, yang kesemuanya diikat oleh makna kedekatan. Kedekatan

Allah kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan tentang

mereka dan dapat juga berarti cinta, pembelaan dan bantuan-Nya.

Kesimpulannya adalah dukungan dan perlindungan positif dari

siapa pun, bersumber dari Allah dan atas izin-Nya, demikian

penjelasan al-Ghazali.72

15. ‘Azīzan

Sifat Azīzan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 56, 158 dan 165 yang selalu bergandengan dengan sifat

Hakīman. Ibn Faris menjelasakan bahwa‘Azīzan terambil dari

akar kata yang terdiri dari ‘ain dan zai yang maknanya adalah

kekukuhan, kekuatan dan kemantapan, tidak ada yang dapat

menandinginya dalam hal tersebut.73 Allah sebagai al-‘Azīz berarti

Yang Maha Mengalahkan siapa pun yang melawan-Nya dan

tidak terkalahkan oleh siapa pun. Ada tiga syarat bagi yang layak

menyandang sifat ini menurut al-Ghazali yaitu; a). Peranan yang

sangat penting lagi sedikit sekali wujud yang sama dengannya,

b). sangat dibutuhkan, c). sulit untuk diraih/disentuh.74

Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa Allah adalah wujud

yang paling al-‘Azīz/mulia karena tidak ada wujud yang sama

70 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 378-381. 71 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1029. 72 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 141. 73 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 608. 74 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 73.

Page 74: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

60

dengan-Nya. Jika kemuliaan adalah milik Allah maka Allah pula

yang menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendakinya.

Ini berarti bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada

kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai

hubungannya dengan Allah.75

16. Samī’an

Sifat Samīan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 148 yang bergandengan dengan sifat ‘Alīman. Pada

ayat 58 dan 134 yang bergandengan dengan sifat Basīran.

Samī’an atau al-Samī’ yang terambil dari kata samī’an yang

bermakna mendengar. Ini dapat berarti menangkap suara/bunyi,

dapat juga berarti mengindahkan atau mengabulkan demikian

tutur Ibn Faris.76

Allah Maha Mendengar dalam arti tidak ada sesuatu pun

yang tidak dapat didengar, walau sangat halus, yang tidak

tertangkap oleh-Nya atau luput dari jangkauan-Nya. Dia

mendengar jejak semut hitam yang berjalan di atas batu yang

halus di malam yang gelap, bahkan Allah mendengar itu di

tengah sorak-sorai kebisingan yang memecahkan anak telinga

seluruh makhluk. Dia mendengar pujian yang memuji-Nya maka

diberinya ganjaran. Dia mendengar tanpa telinga, sebagaimana

halnya makhluk, Dia melakukan sesuatu tanpa anggota badan,

demikian dijelaskan oleh al-Ghazali.77 Diteruskan oleh Quraish

Shihab bahwa pada umumnya penyebutan sifat tersebut disertai

dengan sifat-Nya yang lain seperti ‘Alīm, Bashīr dan Qarīb.78

17. Basīran

Sifat Basīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 58 dan 134 yang keduanya bergandengan dengan sifat

Samī’an.

Sifat kedua yaitu Bashīran, Quraish Shihab mengemukakan

bahwa Basiran atau al-Basīr terambil dari akar kata bashara

yang tersusun dari huruf ba’ sad dan ra’ yang memiliki dua

makna, pertama ilmu atau pengetahuan tentang sesuatu dan

kedua kasar atau berarti batu (tetapi yang lunak dan mengandung

75 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 59-62. 76 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 448. 77 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 90. 78 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 140.

Page 75: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

61

warna keputih-putihan. Salah satu kota di Iraq dinamakan dengan

Basrah karena sifat tanah dan batu-batunya demikian.79

18. Wakīlan

Sifat Wakīlan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 81, 123 dan 171 yang selalu berdiri sendiri. Kata

wakīlan terambil dari akar kata wakala yang pada dasarnya

bermakna pengandalan pihak lain tentag urusan yang

seharusnya ditangani oleh yang mengandalkan, demikian

penjelasan Ibnu Faris.80

Yang diwakilkan boleh jadi wajar untuk diandalkan karena

adanya sifat-sifat dan kemampuan yang dimiliki, sehingga yang

mengandalkannya menjadi tenang dan sebaliknya boleh jadi yang

diandalkan itu tidak sepenuhnya memiliki kemampuan, bahkan

dia sendiri pada dasarnya masih memerlukan pihak lain untuk

diandalkan. Allah adalah Wakīl yang paling dapat diandalkan

karena Dia Maha Kuasa atas segara sesuatu. Menjadikan Allah

sebagai Wakīl dengan makna yang digambarkan di atas berarti

menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang

berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia

yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Satu hal yang

wajib disadari menurut Quraish Shihab adalah seperti halnya sifat

Rahmān dan Rahīm yang bisa disandang oleh manusia tetapi

sifat yang ada pada Allah berbeda dengan apa yang ada di dalam

diri manusia. Pada hakikatnya manusia mewakilkan kepada yang

Maha Kuasa yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih banyak

dari pada manusia itu sendiri sehingga dengan pengetahuannya

yang diwakilkan tidak langsung menyetujui/membatalkan

tindakan dari yang mewakilkan karena Allah Maha Tahu dan

manusia tidak mengetahui.81

Jika manusia mewakilkan urusannya kepada Allah maka si

manusia tersebut masih diharuskan berusaha dan ini berbeda jika

mewakilkan kepada manusia biasa lainnya—yang mewakilkan

menyerahkan urusan sepenuhnya dan tidak terlibat lagi kepada

yang diwakilkan. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang

muslim dituntut untuk berusaha, tetapi pada saat yang sama ia

79 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 144. 80 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1027. 81 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 250-253.

Page 76: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

62

dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah. Anda boleh

berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan disertai dengan

ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu, tetapi jika anda

gagal meraihnya maka jangan anda meronta atau berputus asa

serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda

capai.82

19. Muqītan

Sifat Muqītan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 85 yang berdiri sendiri. Dijelaskan oleh Quraish Shihab

bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai

makna kata tersebut sebagai sifat Allah. Ada yang memahaminya

sebagai Pemberi Rezeki sehingga memelihara jiwa raga

makhluknya—baik rezeki jasmani maupun rohaninya. Perbedaan

pada sifat Allah al-Razāq adalah bahwa sifat al-Muqīt terdapat

penekanan dalam sisi jaminan rezeki baik banyak maupun sedikit

sedangkan dengan sifat al-Razāq memiliki tekanan pada terulang

dan banyaknya penerima rezeki. Kemudian ada juga yang

memahami makna al-Muqīt sebagai Yang Maha Kuasa memberi

rezeki yang mencukupi makhluknya, pendapat ini

menggabungkan dua makna dari akar kata ini yaitu makanan dan

kekuasaan. Pendapat lainnya yaitu yang memahaminya sebagai

Yang Memelihara dan Menyaksikan karena siapa yang memberi

makan sesuatu, maka ia telah memeliharanya dari rasa lapar

sekaligus menyaksikannya.83

Kata ini menurut Imam al-Ghazali memiliki dua

kemungkinan arti. Pertama: Pencipta, Pemberi serta Pengantar

makanan ke jasmani dan rohani. Kata al-Razāq memiliki makna

rezeki secara umun seperti pakaian dan kedudukan sedangkan al-

Muqīt khusus pada makanan jasmani dan rohani. Kedua: Yang

Menggenggam, Menguasai, Lagi Mampu. Menguasai menuntut

adanya ilmu dan kuasa maka al-Muqīt mencakup keduanya—

Kuasa dan Ilmu.84

82 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 253-254. 83 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 200-202. 84 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 113.

Page 77: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

63

20. Wāsī’an

Sifat Wāsian menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 130 yang bergandengan dengan sifat Hakīman.

Wasī’an terambil dari kata yang menggunakan huruf wauw, sin

dan ‘ain yang maknanya menurut Ibn Faris berkisar pada

antonym dari kesempitan dan kesulitan.85

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kata ini sekali

berkaitan dengan ilmu Ilahi yang meliputi segala sesuatu, dikali

lain berkaitan dengan limpahan karunia-Nya. Allah sebagai al-

Wasī’ dalam arti ilmu-Nya mencakup segala sesuatu dan rahmat-

Nya pun wasī’ dengan keaneka ragamannya. Yang luas dalam

ilmu tidak akan keliru, tidak juga salah bahkan memberi ilmu

melalui pencarian atau tanpa usaha. Yang luas dalam kekuasaan

tidak akan berlaku aniaya, tidak juga tergesa-gesa, bahkan akan

memberi kekuasaan.86

21. Ghaniyan Hamidan

Sifat Ghanīyyan Hamīdan menjadi penutup ayat dalam

surah al-Nisā’ pada ayat 131 yang keduanya bergandengan.

Menurut Ibn Faris Ghaniyyan terambil dari kata yang terdiri dari

huruf ghain, nun dan ya’ yang maknanya berkisar pada dua hal,

pertama yaitu kecukupan, baik menyangkut harta maupun

selainnya. Makna yang kedua adalah suara, dari sini lahir lah

kata mughanni dalam arti penarik suara atau penyanyi.87

Sedangkan Hamīdan yang asal katanya adalah ha, ma dan

dal memiliki makna antonim dari celaan.88Dalam bahasa al-

Qur’an kata “kekayaan” tidak selalu diartikan banyaknya harta

benda. Memperhatikan keadaan Rasul Saw sejak kecil hingga

kemudian berhasil mengislamkan jazirah Arab, sejarah tidak

menginformasikan bahwa suatu ketika beliau pernah memiliki

kekayaan yang melimpah, demikian diangkat oleh al-Ghazali.89

22. Qadīran

Sifat Qadīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 133 berdiri sendiri dan bergandengan dengan ‘Afuwwan

85 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1017. 86 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 119. 87 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 746. 88 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 243. 89 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 144.

Page 78: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

64

pada ayat 149. Ibn Faris menuturkan bahwa kata Qadīran akar

katanya terambil dari qaf, dal dan ra’, yang artinya adalah batas

akhir dari sesuatu. Bila dikatakan qadar maka itu berarti telah

dijelaskan batas akhir mutunya.90

Quraish Shihab menjelaskan bahwa sifat Qadīr yang

menunjuk kepada Allah semuanya dikemukakan dalam konteks

kecaman dan peringatan tentang kekuasaan Allah kepada yang

membangkang. Namun ada juga kata Qadīr yang menunjukkan

kepada manusia-manusia durhaka yang bermaksud menggunakan

kekuasaannya untuk menindas yang lemah serta menduga

kekuasaan dan kemampuannya dapat mengalahkan kekuasaan

Allah Swt.91

23. Syākiran

Sifat Syākiran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’

pada ayat 147 yang bergandengan dengan sifat ‘Alīman. Syakîran

terambil dari kata syakara yang maknanya berkisar antara lain

pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu, demikian

menurut Ibn Faris.92

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali bahwa dalam al-

Qur’an kata Syukur biasa dihadapkan dengan kata kufūr. Pakar-

pakar bahasa juga mengungkapkan bahwa tumbuhan yang

tumbuh walau dengan sedikit air dinamai dengan Syakūr. Dengan

demikian Allah yang bersifat al-Syakūr adalah Dia yang

mengembangkan walau sedikit dari amalam hamba-Nya dan

melipat gandakan ganjarannya.93

90 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 813. 91 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 329-330. 92 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 489. 93 Iman al-Ghazali juga berpendapat bahwa Allah yang memberikan

balasan yang banyak terhadap pelaku kebaikan yang sedikit. Maka barang

siapa yang membalas kebajikan dengan berlipat ganda maka dia dinamai

mensyukuri kebajikan itu. Seorang sufi pernah bertanya kepada seseorang:

Bagaimana syukur menurut anda? Kalau kami memperoleh kenikmatan kami

memuji-Nya dan bila tidak kami bersabar. Sang sufi berkomentar: buat kami

tidak demikian, jika kami mendapat nikmat kami dahulukan orang lain atas

diri kami sehingga kami memberinya dan bila kami tidak mendapat nikmat

kami tetap bersyukur karena dalam petaka pun kami tidak luput dari nikmat-

Nya. Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 105-106.

Page 79: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

65

BAB IV

AHMAD MUSTAFA AL-MARᾹGHI DAN TAFSIR AL-

MARᾹGHI

A. Riwayat Hidup Ahmad Mustafa Al-Marāghi

Nama lengkap dari al-Marāghi adalah Ahmad Mustafa bin

Muhammad bin Abdul Mun’im al-Marāghi, beliau lahir di wilayah

al-Marāgha sebuah perkampungan yang berada di pinggiran

sungai Nil, sekitar 70 km ke arah selatan kota Kairo di Mesir pada

tahun 1300 H/1883 M dan wafat pada tahun 1371 H/1952 M.

Selain ahli tafsir beliau juga merupakan seorang ahli fiqh.1Jika

melihat dari keluarganya maka dapat disimpulkan bahwa Ahmad

Mustafa al-Marāghi berasal dari keluarga ulama, hal ini berangkat

dari kenyataan bahwa lima dari delapan bersaudara, anak dari

Mustafa al-Marāghi adalah ulama besar yang cukup terkenal,

seperti;

1. Syeikh Muhammad Mustafa al-Marāghi (pernah menjadi

syeikh al-Azhar dua periode yaitu pada tahun 1928-1930 dan

1935-1945).

2. Syeikh Ahmad Mustafa al-Marāghi (Penulis Tafsir al-

Marāghi).

3. Syeikh Abdul Aziz al-Marāghi (Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas al-Azhar dan Imam Raja Faruq).

4. Syeikh Abdullah Mustafa al-Marāghi (Inspektur Umum pada

Universitas al-Azhar).

5. Syeikh Abdul Wafa Mustafa al-Marāghi (Sekretaris Badan

Penelitian dan Pengembangan Universitas al-Azhar).2

Empat dari anaknya pun adalah para hakim, seperti;

1. M. Aziz Ahmad al-Marāghi, Hakim di Kairo.

2. A. Hamid al-Marāghi, Hakim dan Penasehat Menteri

Kehakiman di Kairo.

3. Asim Ahmad al-Marāghi, Hakim di Kuwait dan Pengadilan

Tinggi di Kairo.

1Iyazi Muhammad Ali, al-Mufassirūn (hayātuhum wa manhājuhum),

(Taheran; 1414), 358. 2 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 179.

Page 80: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

66

4. Ahmad Midhat al-Marāghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo

dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo.3

Al-Marāghi tumbuh besar bersama delapan saudaranya di

bawah naungan rumah tangga yang sarat akan pendidikan agama.

Beliau telah menghafal al-Qur’an pada usia 13 tahun dari

kampungnya dan yang menjadi guru pertamanya adalah ayahnya

sendiri, kemudian beliau melanjutkan menuntut ilmu di al-Azhar

dan Darul Ulum pada tahun 1314 H/1897 M-1909 M dan berguru

pada grand syeikh al-Azhar seperti Muhammad Abduh,

Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dll.

Guru-guru tersebutlah yang banyak mempengaruhi pemikiran al-

Marāghi dalam bidang keagamaan. Setelah selesai dari dua

universitas tersebut, al-Marāghi mulai mengabdikan diri di

beberapa madrasah. Tak lama berselang beliau diangkat menjadi

Direktur Madrasah Mu’allimim di Fayum, sebuah kota yang

terletak sekitar 300 KM arah barat daya kota Kairo.4

Tahun 1916-1920, beliau didaulat sebagai dosen tamu di

Fakultas Filail Universitas al-Azhar, di Khartoum, Sudan.

Selanjutnya beliau juga diangkat menjadi dosen Bahasa Arab di

Universitas Darul Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan

Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar.

Madrasah lainnya tempat ia mengabdi adalah Madrasah Usman

Basya di Kairo. Selanjutnya al-Marāghi menetap di kota satelit

bernama Hilwan, terletak sekitar 25 KM sebelah selatan Kota

Kairo hingga wafat dalam usia 69 tahun, 1371 H/1952 M. Nama

beliau diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota tersebut

berkat jasa-jasanya demikian yang ditulis oleh Saiful Amin

Ghofur.5

Dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah

yang ditulis oleh Muhammad Sa’id Mursi diungkapkan bahwa al-

Marāghi juga meraih sertifikat international pada tahun 1904 M

dan termasuk yang termuda pada levelnya. Beliau juga pernah

menjabat sebagai ketua pengadilan Syariah dan menjadi Hakim

Agung di Sudan. Pada Tahun 1928, beliau sempat terpilih sebagai

Syaikh al-Azhar meski setahun kemudian diturunkan oleh Perdana

3 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 179. 4 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta:

Pustaka Insan Madani, 2008), 151-152. 5 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 151-152.

Page 81: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

67

Menteri Muhammad Mahmud Basya melalui peraturan

pemerintah. Peraturan tersebut ditolak oleh dewan penasehat al-

Azhar dan mengangkat kembali al-Marāghi sebagai Syaik al-

Azhar. Langkah-langkah besar yang digaungkan oleh al-Marāghi

adalah memimpin gerakan dakwah yang menyuarakan pintu

ijtihad terbuka lebar dan penyatuan mazhab untuk menyatukan

umat dan mengurangi konflik antar pengikut mazhab.

Memperketat aturan Majelis Ulama dalam merekrut anggotanya.

Memonitor buku-buku yang menghujat Islam. Mengawasi kajian-

kajian peradaban Islam. 6

Dalam disertasinya, Lukmanul Hakim menyebutkan

beberapa bekas mahasiswa dari Mustafa Al-Marāghi seperti

Syeikh Ahmad Hasan al-Baquri, Syeikh Abdul Muhaimin Al-

Faqih, Dr. Ahmad al-Sinbat dan Dr. Fathi Usman. Selain itu, ada

juga beberapa mahasiswa yang berasal dari Indonesia seperti Prof.

Dr. H. Bustami Abdul Gani (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta), Prof. Dr. Mukhtar Yahya (Guru Besar UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta), H. Mastur Djahri, MA (UIN Antasari

Banjar Masin), H. Ibrahim Abdul Halim (UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta) dan H. Abdul Razaq al-Amudy (UIN Sunan Ampel

Surabaya).7

B. Karya Ahmad Mustafa Al-Marāghi

Al-Marāghi merupakan potret ulama yang mengabdikan

hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, meski beliau

sangat sibuk mengajar namun beliau juga menyempatkan diri

untuk menulis.8

Sebagai seorang mufassir pada masanya tentu tidak

mengherankan jika beliau banyak menulis karya-karya

monumental. Dengan buku-buku yang telah berhasil beliau tulis

itu pula lah yang membuat namanya harum sampai saat ini

sehingga banyak para mahasiswa yang mengkaji pemikirannya

6 Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang

Sejarah (diterjemahkan oleh: Khoirul Amru Harahap, dkk), (Jakarta Timur,

Pustaka al-Kautsar, 2007), 389. Dalam buku ini disebutkan bahwa beliau lahir

pada tahun 1881 M. 7 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi,183. 8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 152.

Page 82: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

68

terutama dalam hal tafsir al-Qur’an. Berikut karya-karya yang

beliau tulis pada masa hidupnya9, yaitu;

1. Tafsir Al-Marāghi

2. Al-husbah fi al-Islam

3. Al-Wajiz fi al-Ushul al-Fiqh

4. ‘Ulum al-Balaghah

5. Muqaddimah al-Tafsir

6. Al-Diyanah wa al-Akhlaq

7. Tafsir Juz Tabarak

8. Tafsir Surah al-Hujarat

9. Al-Durus al-Diniyah

10. Al-Auliya wa al-Mahjurun (sebuah kitab dalam ilmu fiqih)

11. Hidayah al-Thalib

12. Al-Taudhih

13. Buhuts wa Ara fi Funun al-Balaghah

14. Tarikh ‘Ulum al-Balaghah wa Ta’rif bi Rijalihi

15. Mursyid al-Thullab

16. Al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi

17. Al-Mujaz fi ‘Ulum al-Ushul

18. Syarh Tsalatsin Haditsan

19. Tafsir Juz Innama al-Sabil

20. Risalah fi Zaujat al-Nabi

21. Risalah Isbat Ru’yat al-Hilal fi Ramadhan

22. Al-Khutbah wa al-Khuthaba fi Daulah al-Umawiyah wa al-

Abbasiyah

23. Al-Muthala’ah al-Arabiyah li al-Madaris al-Sudaniyyah.10

C. Tafsir Al-Marāghi

1. Sejarah Penulisan Tafsir

Proses penulisan tafsir al-Marāghi ini memakan waktu

kurang lebih 10 tahun lamanya, sejak tahun 1940-1950 M. ketika

menulis tafsirnya ini al-Marāghi hanya beristirahat selama 4 jam

sehari, 20 jam ia habiskan untuk mengajar dan menulis. Ketika

malam telah bergeser pada paruh waktu terakhir kira-kita pukul

03:00, al-Marāghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajud dan

hajat. Dalam shalat ini lah ia memanjatkan doa agar diberikan

petunjuk oleh Allah Swt, kemudian melanjutkan kegiatan

9 Iyazi Muhammad Ali, Al-Mufassirūn, 358. 10 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 19.

Page 83: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

69

menulisnya ayat demi ayat. Sepulang dari mengajar ia tidak

langsung istirahat melainkan melanjutkan agenda menulisnya

yang sempat terhenti.11

Al-Marāghi menulis kitab Tafsirnya ini dengan

menggunakan bahasa yang ringan dan mengalir lancar, pada

beberapa bagian penjelasannya cukup global namun di bagian

yang lain penjelasannya sangat mendetail, tergantung kondisi.

Beliau berusaha menyatukan riwayat dan penalaran logis sebagai

sumber utama dari tafsirnya. Tafsir ini beliau tulis dalam rangka

memenuhi tanggungjawabnya terhadap masyarakat yang

mengalami banyak masalah namun belum menemukan solusi yang

berdasarkan al-Qur’an maka muncul lah Tafsir al-Marāghi,

demikian penjelasan dari Saiful Amin Ghofur.12

Dalam Muqaddimah tafsirnya, al-Marāghi menyampaikan

alasan penulisan dari Tafsir al-Marāghi ini. Beliau menyampaikan

bahwa perhatian masyarakat terhadap cakrawala keagamaan

semakin meningkat hari demi hari, terutama dalam bidang tafsir

al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga banyak bermunculan

pertanyaan kepada beliau mengenai masalah tafsir seperti tafsir

apakah yang paling mudah dan bermanfaat bagi para pembaca,

serta tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk

mempelajarinya.13

Al-Marāghi merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan dari muridnya tersebut karena menurut beliau

meskipun kitab tafsir itu berusaha untuk menyingkap pemahaman

mengenai agama dan kepelikannya tetapi tafsir itu sendiri juga

sudah dirasuki oleh ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Balaghah, Nahwu,

Sharaf, Figh, Tauhid, dll. Semua ilmu itu terkadang malah menjadi

hambatan bagi para pembaca untuk memahami al-Qur’an melalui

kitab-kitab tafsir. Ditambah lagi dengan banyaknya ilustrasi

cerita-cerita yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran

bahkan terkadang dengan akal dan fakta ilmu pengetahuan yang

bisa dipertanggungjawabkan.14

Meski begitu, ada juga kitab tafsir yang berusaha

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan fakta-fakta ilmiah—

meski tidak salah karena memang banyak juga ayat al-Qur’an yang

11 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 153. 12 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 153. 13 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 14 Al-Marāghi, Tafsir all-Marāghi, jilid 1, 3.

Page 84: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

70

menjelaskan tentang perlunya yang demikian. Bahayanya adalah

bahwa fakta ilmiah terkadang hanya berlaku pada masa tertentu

saja sedangkan al-Qur’an adalah mutlak kebenarannya sepanjang

waktu.15

Pada masa dulu, penulis tafsir meskipun dengan bahasa yang

rumit tetapi tetap menjadi kebanggaan tersendiri dari penulis

tersebut tetapi masa terus berkembang, penulisan tafsir dengan

bahasa yang rumit hanyalah menghasilkan pemborosan waktu,

padahal ilmu-ilmu yang lain juga harus dipelajari, tambah beliau.

Tak jarang juga hal itu membuat masyarakat merasa berat untuk

memahami kitab tafsir sehingga muncullah metode baru penulisan

tafsir sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu penulisan tafsir

dengan bahasa yang ringan, penggunaan bahasa yang efektif dan

mudah dimengerti, disusun dengan sistematis, disamping tetap

mengemukakan fakta ilmiah sebagai penguat argumentasi dan

mengesampingkan cerita-cerita dari mufassir terdahulu yang

bertentangan dengan kebenaran.16

Kondisi politik pada masa hidup al-Marāghi sangat dinamis

dalam usaha dari masyarakat Mesir untuk terbebas dari negara

penjajah yaitu Inggris. Mesir yang sedang berevolusi dari negara

Islamis Mesir menjadi negara sekuler pada rentang tahun 1882-

1952.17

Tokoh-tokoh yang berperan penting bagi modernisme Islam

di Mesir adalah Jamaluddin al-Afgani (1839-1897) dan

Muhammad Abduh (1849-1905). Al-Afgani berusaha untuk

menyadarkan umat muslim Mesir dari dominasi bangsa Eropa dan

menantang penguasa-penguasa Muslim yang bersekongkol dengan

intervensi pihak kristen. Sebagai seorang filosof yang sangat

berpengaruh dan keberadaannya selalu dicurigai oleh pihak lawan.

Karir politiknya ibarat kutu loncat yang selalu berpindah dari satu

negara ke negara lain seperti India, Perancis, Inggris, Mesir,

Afganistan dan Istanbul tempat ia meninggal dunia.18

Misi modernisme menjadi berbeda ketika berada di tangan

Muhammad Abduh. Ketika diangkat menjadi mufti pada tahun

15 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 16 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 4. 17 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 150. 18 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 152.

Page 85: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

71

1889-1905 M, Abduh mengupayakan pada pemodrenan hukum

Islam dan perbaikan kurikulim al-Azhar dengan memasukkan

pelajaran sejarah dan geografi modern. Sebuah model yang

diterapkan oleh Abduh sebagai sebuah usaha bagi umat Islam

untuk memisahkan antara yang esensial dan nonesensial,

mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek

aksidental juga menyatakan bahwa al-Qur’an dan hadis adalah

petunjuk Tuhan namun pemikiran adalah unsur utama mengenai

masalah yang tidak tercantum dalam keduanya.19

Jika al-Afgani menekankan kebutuhan pragmatis terhadap

solidaritas sosial sementara Abduh menegaskan pada tujuan yang

sama dengan titik tekan pada pendidikan hukum dan reformasi

spritual. Tokoh lain yang sangat berpengaruh adalah Mustafa

Kamil dengan gagasannya tentang kesatuan bangsa, semangat

politik, semangat kebencian terhadap pemerintahan asing,

pembentukan sebuah pemerintahan konstitusional dan pendidikan

model Barat.20

Kondisi politik Mesir yang demikian dinamis dan panas dari

tahun 1920-1950 M, karena belum terdistribusinya kemakmuran

dan keadilan secara merata. Kondisi ini pula lah yang mengilhami

para ilmuan Mesir untuk memberikan sumbangsih kepada

masyarakat Mesir untuk memajukan bangsa Mesir dan termasuk

juga lah di dalamnya Mustafa al-Marāghi dengan caranya sendiri

sesuai kapasitas keilmuannya. Masa kehidupan al-Marāghi juga

dipenuhi dengan tantangan dan peperangan besar seperti perang

dunia I dan II.21

Kondisi sosial budaya pada abad ke-20, tidak bisa lepas dari

akhir abad ke-19, karena pada masa ini lah titik awal dari proses

intelektual dan akademis menuju era kebebasan. Era kebebasan ini

adalah sebuah era rasionalisme dalam memahami sumber-sumber

ajaran Islam termasuk di dalam memahami al-Qur’an secara

19 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 153. 20 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 153. 21 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 154.

Page 86: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

72

rasional. Semangat yang dibangun adalah semangat untuk

mengadakan ijtihad dan melepaskan diri dari belenggu taqklid.22

Nampaknya hal tersebut dipengaruhi juga oleh

perkembangan liberalisme yang terjadi di Turki dan dipelopori

oleh Mustafa Kemal al-Taturk. Muhammad Abduh pun membuka

sebuah terobosan baru dengan mendirikan sebuah institusi

pendidikan diluar al-Azhar yang diberi nama Madrasah al-Qada

al-Syar’iy, memiliki tujuan untuk memperkenalkan kepada calon

hakim tentang gagasan pemikiran Barat modern, namun tidak

mengabaikan sumber-sumber tradisional Islam ortodoks. Dari

madrasah ini pula banyak melahirkan tokoh-tokoh besar seperti

Qasim Amin dengan karyanya Tahrir al-Mar’ah (kebebasan

wanita) dan al-Mar’ah al-Jadidah. Ali Abdurraziq dengan buku

al-Islam wa Usul al-Hukmi (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan)

salah satu pandangannya adalah bahwa kekhalifahan bukanlah

pengganti Nabi dan nabi tidak pernah membuat sebuah sistem

pemerintahan sendiri karena Nabi tidak pernah menjadi pemimpin

negara, demikian papar Amin al-Khuliy dan beberapa tokoh lain,

demikian pemaparan Lukmanul Hakim.23

Lukmanul Hakim melanjutkan jika mencermati masa

kebebasan berpikir tersebut maka setidaknya ada tiga buah

kecenderungan pemikiran islam yaitu golongan Islamis tokohnya

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, golongan sintesis dengan

tokohnya Qasim Amin dan Ali Abdurraziq dan golongan rasionalis

ilmiah dan liberal yang diwakili Lutfi Syayyid dengan pemikiran

bahwa kebebasan adalah sebuah basis dasar bagi masyarakat.24

Kondisi perkembangan penafsiran pada saat Tafsīr al-

Marāghi ditulis oleh al-Marāghi juga tumbuh subur pada rentang

waktu tersebut, misalnya Tafsīr al-Jawāhir fi Tafsīr al-Qur’an

karya Tantawi Jauhari dan al-Manār karya Rasyid Ridha, Fi Zilālil

Qur’an karya Sayyid Qutb, al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’an al-

Karīm karya Bint al-Syati’ isteri dari Amin al-Khuli, dan tawaran

22 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 160. 23 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 160-164. 24 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 165-168.

Page 87: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

73

tafsir maudhu’i oleh Mahmud Syaltut. Al-Marāghi adalah murid

dari Muhammad Abduh selain Muhammad Rasyid Ridha.25

Al-Marāghi memang tidak sepopuler Rasyid Ridha dalam

bidang pembaharuan namun tidak dalam bisang tafsir. Ide-ide

pembaharuan yang dikemukakan oleh al-Marāghi terilhami

langsung dari gurunya Muhammad Abduh, karena keduanya

memiliki kedekatan secara akademis. Dari uraian tersebut dapat

diambil sebuah kesimpulan bahwa al-Marāghi merupakan seorang

tokoh yang sangat dekat dengan sumber pembaharuan di Mesir,

karena beliau adalah murid dari Muhammad Abduh langsung

demikian paparan Lukmanul Hakim.26

Tafsir ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit al-Musthafa

al-Baby al-Halaby, Kairo tahun 1369 H/1950 M. Kemudian

diterbitkan kembali oleh Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Bairut tahun

1985 M. Al-Marāghi berkata seperti yang dikutip oleh Husnul

Hakim bahwa jika akal fikiran mampu menyingkap proses awal

penciptaan manusia, maka akan lebih mudah untuk memahami

keniscayaan adanya hari kebangkitan. Sebab proses penciptaan

manusia sejatinya berasal dari bahan yang bermacam-macam yang

tersebar di alam raya. Misalnya, air mani berasal dari makanan

yang dikonsumsi oleh manusia, yang dikumpulkan oleh Allah ke

tempatnya masing-masing. Kemudian bapak ibu melakukan

hubungan, maka bertemu keduanya, yaitu air sperma dan sel telur

di satu tempat. Kemudian Dia menciptakan dari padanya seorang

anak.27

Kitab tafsir karya al-Marāghi adalah sebuah kitab tafsir yang

sangat mudah dipahami, memiliki sasaran yang jelas sesuai dengan

kebutuhan mereka yang membaca serta sesuai dengan

perkembangan zaman. 28

2. Metode Susunan Penulisan Tafsir Al-Marāghi Setiap mufassir pasti menggunakan cara tersendiri dalam

menyampaikan tafsirnya baik dari segi penulisan ataupun dari segi

25 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 168. 26 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab

Tafsir al-Marāghi, 170-178. 27 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:

el-SiQ, 2013), 170-174. 28 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, 175.

Page 88: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

74

penggunaan bahasa sesuai dengan selera penulis. Muhammad

Mustafa al-Marāghi menggunakan metode sendiri dalam menulis

tasirnya, yaitu:

a. Menyampaikan ayat-ayat di awal pembahasan.

Ayat-ayat yang ingin ditasirkan dikumpulkan menjadi satu

sehingga ada yang terdiri dari satu, dua, tiga, atau lebih dalam satu

kelompok berdasarkan pengertian yang masih menyatu. 29

b. Penjelasan kata-kata.

Penulis tafsir kemudian menyertakan penjelasan kata-kata

yang sulit dalam ayat-ayat tersebut sehingga menjadi mudah

dipahami.30

c. Pengertian ayat secara global.

Beliau menyebutkan pengertian ayat yang telah

dikelompokkan secara global sehingga sebelum pembaca

memasuki tafsir ayat-ayat tersebut sudah memahami pengertian

secara global terlebih dahulu dan ini diharapkan bisa lebih

memudahkan para pembaca.31

d. Asbab Al-Nuzul.

Menyebutkan asbab al-nuzul jika ayat-ayat tersebut

memiliki asbab al-nuzul yang bersumber dari riwayat shahih dan

dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir.32

e. Mengesampingkan istilah-istilah yang berhubungan dengan

kebahasaan.

Dalam tafsir ini beliau menjelaskan bahwa gaya

penulisannya sengaja mengesampingkan istilah-istilah yang

berhubungan dengan ilmu kebahasaan. Misalnya Ilmu Saraf,

Nahmu, Balaghah dan lainnya. Hal ini berdasarkan pengamatan

beliau bahwa masuknya istilah ilmu-ilmu tersebut yang memang

sudah biasa ditengah penulisan tafsir tetapi malah menjadi

penghambat bagi para pembaca sehingga perlu mencari solusi

baru. Para pembaca kitab tafsir banyak yang tidak mendapatkan

jawaban apa yang dicarinya karena lebih dahulu menghabiskan

banyak waktu untuk memahami istilah-istilah tersebut.33

29 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 30 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 31 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 32 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 16. 33 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 16.

Page 89: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

75

f. Gaya Bahasa

Di dasari dengan kenyataan mengenai tafsir-tafsir terdahulu

yang disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para

pembaca saat itu. Mereka sudah pasti sangat mengerti dengan

bahasa yang digunakan pada masanya. Sehingga banyak para

mufassir yang menyajikan tafsirannya dengan ringkas.34

Pergantian masa selalu diwarnai dengan ciri-ciri tertentu,

baik dalam bidang bahasa, tingkah laku, kerangka berpikir

masyarakat, sehingga sudah menjadi kewajiban pula bagi para

mufassir untuk menyajikan dengan mempertimbangkan kondisi

masyarakatnya. Tafsir al-Marāghi pun berusaha menjadi jawaban

terhadap masalah tersebut sehingga lahirlah sebuah tafsir yang

mudah dicerna oleh para pembaca saat ini pula. Hal yang tak kalah

penting adalah al-Marāghi selalu mengaitkan hasil pemikiran

dengan ilmu pengetahuan dalam sebuah pendapat. Beliau banyak

sekali melakukan konsultasi dengan para dokter medis, astronom,

sejarawan untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka sesuai

ahlinya mereka masing-masing. Nilai positif lainnya menurut al-

Marāghi adalah dengan adanya diskusi tersebut sehingga beliau

bisa melihat perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Dengan

mendiskusikan pemahaman yang membutuhkan ilmu lain sangat

penting supaya bisa meraih pemahaman yang orisinil dan otentik.35

g. Pesatnya sarana komunikasi di masa modern.

Al-Marāghi menjelaskan bahwa pada masa sekarang ini,

para pembaca atau masyarakat memiliki cara dan kecenderungan

tersendiri seperti pemilihan gaya bahasa sederhana yang dapat

dimengerti maksud dan tujuannya, terutama ketika bahasa

digunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan

pengertian. Al-Marāghi melanjutkan bahwa sebelum menulis kitab

tafsir ini, beliau lebih dahulu membaca hampir seluruh kitab tafsir

dan memahaminya kemudian meyajikannya dengan bahasa yang

sederhana sehingga bisa dipahami oleh para pembaca.36

Alasan al-Marāghi menggunakan cara baru, yang tidak

digunakan oleh para penafsir sebelumnya berangkat dari

kenyataan bahwa kebanyakan orang enggan untuk membaca kitab

tafsir yang sudah ada ditangannya karena kitab-kitab tafsir tersebut

sulit untuk dipahami, dan dicampuri pula oleh istilah-istilah yang

34 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 35 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 36 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17.

Page 90: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

76

hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang membidangi ilmu

tersebut. Dengan adanya tafsir ini, Al-Marāghi mengharapkan

bahwa banyak para pembaca yang tertarik untuk memahami

rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an tanpa harus

menghabiskan banyak energi dalam memahaminya.37

h. Seleksi terhadap kisah-kisah yang ada dalam kitab tafsir

Al-Marāghi menjelaskan bahwa kebanyakan mufassir

terdahulu menyampaikan sejarah umat-umat terdahulu sebelum

kenabian Nabi Muhammad Saw yang tertimpa azab Allah adalah

akibat perbuatan dosa dan noda. Para mufassir juga

menggambarkan bagaimana proses kejadian langit dan bumi

padahal bangsa Arab ketika itu belum ada yang berkemampuan

untuk memberikan interpretasi terhadap masalah-masalah umum

seperti yang disiggung oleh al-Qur’an karena mereka adalah kaum

yang hidup secara terisolasi di gurun sahara, jauh dari informasi—

bahkan kebanyakan mereka masih buta huruf.38

Dijelaskan oleh al-Marāghi bahwa sudah menjadi fitrah

manusia yang selalu ingin mengetahui hal-hal yang masih samar,

sehingga berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit

untuk dipahami. Terdesak dengan kebutuhan tersebut, mereka

justru mengidentifikasi masalah-masalah tersebut kepada ahli

kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Lebih-lebih

kepada ahli kitab yang sudah memeluk agama Islam seperti

Abdullah bin Salam, Kaab bin al-Ahbar dan wahab bin munabbih.

Mereka bertiga menceritakan kepada umat Islam mengenai kisah

yang dianggap sebagai tafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an yang sulit

dipahami.39

Husnul Hakim menjelaskan bahwa karakteristik dari kitab

Tafsīr Al-Marāghi adalah berusaha menghindar dari riwayat yang

tidak jelas kesahihannya atau bertentangan dengan ilmu

pengetahuan.40

i. Jumlah Juz tafsir al-Marāghi.

Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Marāghi dalam 30 jilid. Setiap

jilid terdiri-dari satu juz al-Qur’an. Hal ini agar memudahkan para

pembaca, di samping mudah juga dibawa ke mana-mana, baik

37 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 38 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 18. 39 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 18. 40 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, 172.

Page 91: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

77

ketika berada di satu tempat atau dilain tempat. Munculnya kitab

tafsir ini dimulai pada tahun baru hijriyah 1365 H.41

Sesuai dengan tujuan penulisan dari kitab tafsir ini yaitu

usaha penulis memenuhi kewajibannya terhadap kitabullah dengan

cara mengupas masalah-masalah yang rumit dan menyingkap

berbagai rahasia yang terdapat di dalamnya dengan bahasa yang

mudah dipahami oleh masyarakat umum yang ingin mempelajari

al-Qur’an dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Rujukan Tafsir al-Marāghi

Dalam menulis tafsirnya, ada beberapa kitab yang menjadi

rujukan utama al-Marāghi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

seperti yang ditulis di Muqaddimah Tafsirnya:42

1. Tafsīr Abi Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (w. 310 H)

2. Abul Qasim Jarullah al-Zamakhsyari (w. 538 H), Tafsir al-

Kasysyaf al-Haqaiqit-Tanzil.

3. Hasyiah Syarafuddin al-Hasan Ibnu Muhammad al-Tiby (w.

713 H). Hasyiah ini membahas Tafsir al-Kasysyaf.

4. Qadhi Nashiruddin Abdullah Ibnu Umar al-Baidawy (w. 692

H) Anwārul al-Tanzil.

5. Al-Raqib al-Asfani (w. 500 H). Tafsir Abil-Qasim al-Husain

Ibnu Muhammad.

6. Imam Abil Hasan al-Wahidi al-Naisabury (w. 468 H). Tafsir

al-Basit.

7. Imam Fakhruddin al-Razy (w. 610 H). Mafātih al-Gaib.

8. Kitab Tafsir Karya al-Hasain Ibnu Mas’ud al-Baqawy (w. 516

H).

9. Nizamuddin Al-Hasan Ibnu Muhammad al-Qummy.

Ghara’ibul Qur’an.

10. Al-Hafiz ‘Imaduddin Abil-Fida Ismail Ibnu Kasir al-Qurasyi

al-Damasyqy (w. 774 H). Tafsir Ibnu Katsir.

11. Asiruddin Abi Hayyan Muhammad Ibnu Yusuf al-Andalusy

(w. 745 H). Bahru al-Muhit.

12. Burhanuddin Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’iy (w. 885 H). Tafsir

Nazhmu al-Durar fi Tanasubil Ayi wa al-Suwar.

13. Tafsir Abi Muslim al-Ashfahany (w. 495 H).

14. Tafsir al-Qadi Abi Bakar al-Baqilany.

41 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 19. 42 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 20-21.

Page 92: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

78

15. Tafsir al-Katib al-Syarbiny, yang diberi nama al-Sijar al-

Munir.

16. Al-Allusy, Ruh al-Ma’any.

17. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar.

18. Tantawi Jauhari, Tafsir al-Jawahir.

19. Sirah Ibnu Hisyam.

20. Imam al-Bukhari, Kitab Syarah al-Alamah Ibnu Hajar.

21. Imam al-Bukhari, Kitab Syarah al-Alamah al-Aini.

22. Fairuszabadi (w. 816 H). Syarah al-Qamus.

23. Ibnu Mansur al-Afriqy (w. 711 H). Lisan al-Arab.

24. Imam al-Zamakhsyari, Kitab Asas al-Balagah.

25. Diya’ al-Maqdisy, al-Hadis al-Mukhtarah.

26. Imam al-Subuki, Tabaqat al-Syafi’iyyah.

27. Ibnu Hajar, Kitab al-Zawajir.

28. Imam Al-Subuki, I’lam al-Muwaqqi’in.

29. Al-Alamah al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.

30. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun.

4. Metodologi dan Corak Tafsir Al-Marāghi

Anshori menjelaskan bahwa corak tafsir bisa diartikan

sebagai kecenderungan atau spesifikasi keilmuan seorang

mufassir. Hal ini karena para mufassir memiliki latar belakang

pendidikan, lingkungan bahkan akidah yang berbeda. Misalnya

jika seorang mufassir itu adalah seorang ahli bahasa maka sudah

tentu kemungkinan besar ia akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

dengan pendekatan analisis kebahasaan atau corak lughawi.43

Muhammad Amin Suma dalam bukunya Ulumul Qur’an

menyebutkan bahwa Tafsir al-Marāghi bercorak

ahkam/fiqhi.44Meski jika melihat cara penafsirannya langsung

maka tafsir ini bercorak al-Adabi al-Ijtima’i, hal ini juga disetujui

43 Anshori, Ulumul Qur’an, 21. 44 Corak tafsir dengan corak fiqhi yang kemudian lebih populer dengan

sebutan tafsir ayat al-ahkam adalah sebuah tafsir yang beriontasi pada ayat-ayat

hukum dalam al-Qur’an. Keberadaam tafsir dengan corak ini sepakat diterima

oleh semua ulama tafsir, berbeda dengan corak ilmi dan falsafi. Tafsir seperti

ini sudah memiliki usia yang sudah sangat tua karena lahir seiring dengan

lahirnya tafsir al-Qur’an pada umumnya, demikian dijelaskan oleh Muhammad

Amin Suma. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 399.

Page 93: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

79

oleh Fitrotin di dalam jurnal al-Furqan.45 Corak ini bisa kita lihat

ketika menafsirkan ayat berikut;

ما ٱلر جال قو ه بعضهم على بعض وب ل ٱلل ما فض ء ب مون على ٱلن سام ه من أمول أنفقوا ظت ل تت حف حت قن ل فٱلص ما لغيب ب

ه ظ ٱلل حف ظوهن وٱهجروهن ف يوٱل تي تخافون نشوزهن فعبوهن ي فإن أطعنكم فلا ٱلمضاجع وٱضر ن سب ه لاتبغوا عليه إن ٱلل

يرا ا كب ي كان علArtinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum

wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian

mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan

karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari

harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang

taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak

ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-

wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka

nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur

mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka

mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi

Maha Besar.46

Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan

perempuan dengan tugasnya masing-masing. Dalam pembuka ayat

di atas, al-Marāghi menjelaskan bahwa di antara tugas kaum laki-

laki adalah memimpin kaum wanita sehingga laki-laki diwajibkan

berperang sebagai bentuk perlindungan sementara wanita tidak

dan laki-laki mendapat bagian dari harta pusaka lebih besar dari

perempuan karena berkewajiban memberi nafkah. Kewajiban

tersebut khusus bagi laki-laki karena Allah memberi kekuatan dan

kemampuan memberi nafkah yang tidak diberikan kepada kaum

perempuan. Mahar sebagai suatu pengganti bagi kaum wanita atas

kepemimpinan laki-laki yang diungkap dengan lafadz al-qiyam

dengan maksud orang yang bertindak sesuai dengan kehendak

pemimpin atau dengan makna lain, bimbingan dan pengawasan di

45 Fitrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa

al-Marāghi Dalam Kitab Tafsir al-Marāghi, Vol 1, 117. 46 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 34

Page 94: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

80

dalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukkan oleh suami, seperti

menjaga rumah dan menentukan nafkah di dalam rumah.47

Kandungan selanjutnya adalah mengenai tatacara

memperlakukan isteri dalam berbagai kondisi yang dibagi oleh al-

Marāghi dalam dua perkara. Pertama: wanita shalihah yaitu yang

taat kepada suami dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa

berlaku di antara mereka ketika bersama juga urusan-urusan

khusus yang berkenaan dengan suami isteri. Wanita shalihah

menurut al-Marāghi selain yang disebutkan di atas adalah mereka

yang tidak mengizinkan seorang laki-laki pun untuk melihat

kepadanya meski ia hanya kerabat. Hendaknya ia memelihara

kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau

pendengaran telingan yang khianat. Dalam pembuka ayat di atas

juga terdapat nasehat yang sangat agung supaya wanita terus

menjaga rahasia-rahasia suami-isteri. Terhadap wanita seperti ini,

maka suami tidak mempunyai kekuasaan untuk mendidiknya

karena tidak ada hal yang mengharuskan.48

Kedua: wanita-wanita yang dikawatirkan akan bersikap

sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami isteri menurut cara

yang kalian ridhai maka lakukanlah dengan cara berikut;

1. Memberi nasehat yang dapat menyentuh hati mereka.

2. Memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling,

sehingga isteri menyadari dengan perubahan suaminya.

3. Suami boleh memukul dengan syarat tidak mencederai.

Langkah di atas hendaknya dilakukan secara bertahap. Al-

Marāghi mengkritik sikap umat muslim dewasa ini yang mengikuti

tradisi Prancis yang enggan menerima syariat memukul isteri yang

berbuat nusyuz, namun perbuatan nusyuz tidak pula mereka sukai

dari isterinya. Dalam kondisi seperti ini, suami sebenarnya sebagai

kepala keluarga diinjak dan telah dipimpin. Nasehat pun sudah

tidak memberi pengaruh di dalam jiwa isterinya. Padahal orang

Perancis sendiri memukul isteri mereka yang berpendidikan dan

terpelajar, perbuatan tersebut juga dilakukan oleh orang-orang

yang bijaksana, kaum cendekia dan para raja. Memukul isteri pada

kondisi yang mengharuskan adalah anjuran agama yang sangat

penting bagi masyarakat sebagai langkah terakhir.49

47 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 27. 48 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 27-39. 49 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 29-30.

Page 95: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

81

Catatan penting menurut al-Marāghi adalah jika salah satu

cara tersebut bisa membuat perempuan taat maka jangan pula

berbuat aniaya dan melampaui batas.50

Contoh lainnya yang menggambarkan corak penafsiran al-

Adabi al-Ijtima’I dalam Tafsir al-Marāghi. yaitu pada ayat

berikut;

ه كان على وها إن ٱلل أحسن منها أو رد وا ب ي ة فح ي تح يتم ب وإذا حي شيء حسيبا كل

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu

penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan

yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu

dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah

memperhitungankan segala sesuatu.51

Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas

terkait ajaran Allah terkait hubungan antar manusia dalam bentuk

memberikan ucapan selamat. Apabila seseorang mengucapkan

selamat kepada kalian dengan suatu ucapan selamat maka balaslah

dengan ucapan yang serupa atau yang lebih baik, seperti misal jika

ada yang mengucapkan Assalāmu’alaikum, ucapkanlah

Wa’alaikum al-salam atau ditambah wa rahmatullah.52Hal ini juga

disepakati oleh Muhammad Abduh, namun Muhammad Abduh

menyebutkan, bentuk ucapan tersebut sangat banyak seperti

as’ada Allah sabāhukum wa masā’ukum kemudian dijawab

dengan as’ada Allah jami’a auqātikum, maka sudah dianggap

menjawab dengan yang lebih baik dari salam yang diucapkan.53

Al-Marāghi melanjutkan bahwa balasan ucapan selamat

tidak selamanya hanya dengan ucapan saja tapi bisa juga seperti

membalas perbuatan orang yang berbuat baik dengan yang lebih

baik. Kesimpulannya adalah bahwa ada dua tingkatan dalam

menjawab ucapan selamat yaitu yang paling rendah adalah

menjawab dengan ucapan yang serupa dan yang paling tinggi

50 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 30. 51 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 52 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 53 Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II

(Kairo: Dar al-Manār, 1947), 311.

Page 96: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

82

adalah dengan memberikan jawaban yang lebih baik, dan orang

yang menjawab bebas memilih antara keduanya tersebut.54

Kritik al-Marāghi terkait sikap umat muslim dewasa ini yang

tidak suka bila ada kaum lain yang mengucapkan selamat kepada

mereka dengan al-salam, terlebih untuk menjawab salam mereka.

Menurut al-Marāghi bahwa kaum muslimin lupa tentang adab-

adab islami yang telah diajarkan. Sebuah hadis yang diriwayatkan

oleh Hakim yaitu;55

Dari penafsiran ayat di atas dapat dilihat jika al-Marāghi

merespon kondisi lingkungan sekitar di dalam menjelaskan ayat

al-Qur’an. Cara penafsiran yang demikian termasuk dalam corak

penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i.

Corak tafsir dengan adab ijtima’i yaitu penafsiran yang

bernuansa sosial kemasyarakatan. Corak ini memiliki dua model

seperti yang dijelaskan oleh Anshori dalam buku Ulumul

Qur’annya;

a. Seorang mufassir berusaha menafsirkan al-Qur’an yang terkait

dengan masalah kemanusiaan baik pada ruang lingkupnya,

peranannya dan perbedaan keadaan mereka seperti mulia dan

hina, ilmu dan kebodohan, iman dan kafir atau kuat dan lemah.

Dalam hal ini seorang mufassir cenderung untuk mengetahui

sosial dan sejarah.56

b. Tafsir sosial yaitu tafsir yang dilakukan untuk memahami

keadaan sosial dan kebutuhan masa kini, seorang mufassir

akan berusaha untuk menggabungkan tujuan agama di dalam

al-Qur’an dengan tujuan sosial. Dengan kata lain adalah salah

satu upaya pelaksanaan ajaran al-Qur’an di kancah realitas

sosial atas dasar prinsip-prinsip al-Qur’an.57

Rachmat Syafe’i menjelaskan dalam bukunya Pengantar

Ilmu Tafsir bahwa meskipun Muhammad Abduh tidak

memberikan label khusus bagi tafsir yang dipeloporinya, tetapi

para peneliti kemudian menganggap bahwa beliau beserta

muridnya Muhammad Rasyid Ridha sebagai perintis corak tafsir

Adabi Ijtima’i. Muhammad Abduh yang lahir pada tahun 1849-

1905 M adalah seorang pelopor pembaharu di Mesir dalam tiga

bidang; keagamaan, bahasa dan politik. Pembaharuannya dalam

54 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 55 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 56 Anshori, Ulumul Qur’an, 220. 57 Anshori, Ulumul Qur’an, 220-221.

Page 97: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

83

bidang keagamaan lah yang kemudian dituangkan dalam tafsirnya

baik dalam bentuk tulisan maupun lisan (ceramah, pengajaran,

dakwah, dan lain-lain).58

Prinsip-prinsip pokok dalam tafsir yang bercorak adabi

ijtima’i menurut Rachmat Syafe’i seperti yang dilakukan oleh

Muhammad Abduh dalam tafsirnya adalah;

1. Menganggap bahwa setiap surah dalam al-Qur’an sebagai satu

kesatuan yang serasi. Konsekuensi dari prinsip ini adalah

bahwa dengan sendirinya tidak mengikuti cara penafsiran

terdahulu yang memisahkan satu ayat dengan ayat lainnya.59

2. Al-Qur’an bersifat umum dalam artian petunjuk al-Qur’an

selalu refresentatif dan berkelanjutan sampai hari kiamat.

Ajaran-ajarannya, janji dan ancamannya, serta berita baik dan

buruknya ditujukan pada individu-individu, namun bersifat

universal, seperti kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi

khusussh al-sabāb.60

3. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dari akidah dan syariat

Islam. Adapun pendapat para ulama dan madzhab-madzhab

tertentu dalam Islam, baik dalam akidah maupun syariat tidak

dapat dipegang secara mutlak. Bahkan sebaliknya, pandangan-

pandangn tersebut lah yang harus tunduk kepada al-Qur’an

sebagai sumber utama.61

4. Memerangi dan memberantas taklid, dan membuka pintu

ijtihad seluas-luasnya untuk mendukung semangat dinamis

terhadap perkembangan Islam dalam segala aspeknya. Ada dua

poin yang menjadi perhatian besar dari Abduh yaitu

pembebasan akal dari belenggu taklid, memahami agama

sesuai dengan cara kaum salaf sebelum datangnya kaum khalaf

serta kembali pada sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan yang

kedua yaitu pembaharuan terhadap uslub-uslub bahasa Arab

baik dalam kondisi formal atau informal.62

58 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II (Bandung: Pustaka

Setia, 2012), 257. 59 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 259. 60 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 260. 61 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 261. 62 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 262.

Page 98: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

84

5. Berpegang teguh pada kekuatan akal dan menjadikannya

sebagai penentu (tahkim) dalam memahami ayat-ayat al-

Qur’an.63

Jika melihat dari metode penulisan dari Tafsir al-Marāghi

maka tafsir bisa disimpulkan bahwa tafsir tersebut menggunakan

metode tafsir tahlili64 yaitu sebuah penulisan tafsir yang

menyeluruh secara urut dari awal surah hingga akhir dan

menjelaskan dari segala aspek ayat tersebut.

D. Pandangan ulama/sarjanawan terhadap Ahmad Mustafa

Al-Maragi

Banyak komentar-komentar para sarjanawan mengenai

Ahmad Mustafa al-Marāghi dalam berbagai sisi, seperti;

1. Muhammad Hasan Abdul Malik (dosen fakultas syariah

Universitas Ummul Qura Madinah) menilai bahwa Ahmad

Mustafa al-Marāghi adalah seorang yang mengambil faedah

tafsir dari orang sebelumnya, dan mengembangkannya

sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Al-

Marāghi adalah seorang pembaharu dalam bidang tafsir, baik

dari segi sistematika maupun bahasa. Ia menuangkan ide-ide

baru dalam tafsirnya dan tidak hanya mengutip pendapat

gurunya Muhammad Abduh dalam bidang filsafat,

kemasyarakatan dan politik.65

63 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II (Bandung: Pustaka

Setia, 2012), 257-263. 64 Ada empat metode penulisan tafsir yang berkembang yaitu tahlili,

ijmali, maudhui dan muqarran. Tahlili adalah metode tafsir yang menjelaskan

kandungan ayat al-Qur’an dari segala aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam

al-Qur’an seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan munasabah. Metode Ijmali

adalah metode yang menjelaskan ayat al-Qur’an secara global atau general

berdasarkan urutan bacaan ayat al-Qur’an. Metode maudhui adalah metode yang

menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari

berbagai surah al-Qur’an kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh

ayat tersebut sebagai jawaban dari permasalahan, demikian salah satu definisi

yang diangkat oleh Anshori. Metode muqaran (komparasi) adalah

membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan dan kemiripan

redaksi yang berbicara mengenai masalah yang sama atau berbeda dan yang

memiliki redaksi yang berbeda terhadap masalah yang sama. Lihat Ansori,

Ulumul Qur’an (Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan), Cet. III (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2016), 207-216. 65 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas

Tafsir al-Marāghi), (UIN Jakarta: Tesis, 2003), 21.

Page 99: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

85

2. Abdul Rahmad Hasan Habannaka—dosen tafsir dan ulumul

Qur’an pada dirasah ‘Ulya (pascasarjana) Universitas

Ummul Qura Mekkah—menyampaikan bahwa Mustafa al-

Marāghi adalah termasuk Ulama al-Azhar yang modern dan

dapat menyajikan pendapat-pendapat sesuai dengan

zamannya, ia memiliki pemikiran-pemikiran baru mengenai

tafsir yang berbeda dengan pendapat-pendapat ulama

terdahulu, karena ia telah memenuhi syarat menjadi seorang

mufassir.66

3. Muhammad Tanthawi—ketua jurusan Tafsir dan dosen

Tafsir/Ulumul Qur’an pada Pascasarjana Universitas Islam

Madinah—menilai bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi

adalah seorang ahli dan menguasai ilmu-ilmu syariat dan

bahasa Arab. Selain ia mempunyai banyak karya dalam

bidang tafsir dan bahasa Arab, ia juga memiliki pemikiran-

pemikiran baru tapi tidak menyimpang dari syariat.67

4. Muhammad Jum’ah—ketua jurusan tafsir pada Fakultas al-

Qur’an al-Karim Universitas Islam Madinah—memandang

bahwa Muhammad Mustafa al-Marāghi adalah seorang ahli

dan menguasai bahasa Arab, balaghah, nahwu, sharaf,

tafsir, al-Qur’an, hadis, hukum-hukum syariat dan ilmu-

ilmu lain yang diperlukan untuk menafsirkan al-Qur’an.

Selain itu, beliau juga memenuhi syarat sebagai seorang

mufassir. Al-Marāghi juga mengikuti jalan yang ditempuh

oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang

menggabungkan metode bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi.68

5. Abdul Mun’in M. Hasanin—guru besar Tafsir dan Ulum al-

Qur’an pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar—

mengatakan Mustafa al-Marāghi adalah seorang ulama yang

ahli dan banyak menulis berbagai bidang ilmu agama seperti

tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, akhlak dan lain-lain. Ia

tidak mempunyai keahlian khusus sebagaimana yang terjadi

pada zaman sekarang. Tetapi sebaliknya ia ahli dan

menguasai berbagai bidang ilmu agama. Ia adalah seorang

pembaharu, namun pemikiran pembaharuannya tidak ada

yang bertentangan dengan syariat sebagaimana yang

66 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 21. 67 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22. 68 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22.

Page 100: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

86

termaktub dalam al-Qur’an dan hadis-hadis yang qath’i. Al-

Marāghi telah memenuhi syarat menjadi seorang mufassir.69

6. Syekh Zaki Ismail al-Marāghi—Inspektur Ma’ahid al-

Diniyah al-Azhar—memandang bahwa Mustafa al-Marāghi

telah memenuhi syarat sebagai seorang mufassir, karena ia

telah menelaah semua kitab-kitab tafsir dan pendapat-

pendapat para mufassir. Ia seorang pembaharu yang berpikir

bebas dan tidak menganut mazhab tertentu, ia bukan

penyempurna pendapat mufassir terdahulu tetapi ia

menempuh jalannya sendiri, meski banyak dipengaruhi oleh

Tafsir al-Manār, karya dari gurunya.70

7. Ahmad Yusuf Sulaiman Syahin—dosen tafsir dan ‘Ulum al-

Qur’an pada Fakultas Dar al-‘Ulum Universitas Kairo—

menilai bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi telah memenuhi

syarat mufassir. Ilmu-Ilmu yang seharusnya dimiliki oleh

seorang mufassir telah dikuasainya seperti asbab al-nuzul,

dll. Beliau seorang pembaharu karena dipengaruhi oleh

gurunya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Selain itu, perkembangan politik dan masyarakat Mesir juga

mempengaruhi pemikirannya, terutama untuk memecahkan

problema-problema yang timbul akibat penjajahan di negara

Mesir.71

8. Abdullah Syahathah—ketua jurusan Tafsir al-Qur’an pada

Fakultas Dar al-‘Ulum Universitas Kairo—memandang

bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi adalah seorang mufassir

yang menafsirkan al-Qur’an secara lengkap dari awal sampai

akhir. Ia banyak mengutip pendapat gurunya dan syarat

untuk menjadi mufassir telah ia penuhi.72

Setelah mencermati dari berbagai pendapat ulama di atas

maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Ahmad Mustafa al-

Marāghi adalah seorang mufassir yang sangat kompeten, juga

seorang pembaharu yang lurus dan tidak melenceng dari syariat.

Selain itu, ia juga sangat memahami masalah dan kondisi pada

zamannya, sehingga ia berusaha untuk memberikan solusi kepada

masyarakat Mesir yang pada saat itu sedang dijajah.

69 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22-23. 70 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23. 71 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23-24. 72 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23.

Page 101: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

87

BAB V

MUNASABAH KANDUNGAN PEMBUKA AYAT DENGAN

ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT DALAM

SURAH AL-NISÂ’ MENURUT AL-MARᾹGHI

Dalam surah al-Nisā’ terdapat 58 ayat yang pada

penutupnya terdapat asma al-husna, yang terdiri dalam 25

bentuk, dengan rincian 10 yang berdiri sendiri dan 15 asma yang

bergandengan. Semua ayat tersebut berbicara kepada umat

manusia, orang-orang beriman, orang-orang kafir dan munafik

terkait hukum, sosial, akidah dan akhlak.

Al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an

membagi bentuk munasabah kandungan dan penutup ayat dalam

empat kategori, yaitu tamkīn (dari segi pemahaman keseluruhan

teks), tasdīr (dari segi pemahaman bagian teks), tausīkh (dari segi

pemahaman bagian makna), al-Īghal (pemahaman struktur

kalimat).1 Dari klasifikasi tersebut hanya tamkīn yang murni

mewakili munasabah kandungan pembuka ayat dan penutupnya.

Namun, ketika melihat ayat-ayat al-Qur’an terutama yang tedapat

asma al-husna dalam surah al-Nisā’, terdapat dua kondisi

teks/munasabah yang wajib diperhatikan yaitu;

Memahami munasabah kandungan ayat dengan asma al-

husna yang terdapat pada penutup ayat adakalanya dapat

dipahami dalam satu ayat, namun dalam kesempatan lain dituntut

untuk melihat ayat-ayat sebelumnya karena tidak dapat dipahami

jika hanya melihat dalam satu ayat saja.

A. Tamkīn: Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-

Husna dalam Satu Ayat

Munasabah asma al-husna dengan kandungan ayat bisa

dilihat dalam satu ayat, berikut contohnya dalam ayat-ayat yang

berbicara terkait hukum, sosial, akidah dan akhlak, seperti:

1. Hukum

Bentuk pertama—munasabah kandungan ayat dengan asma

al-husna dalam satu ayat—bisa dilihat dalam ayat hukum, seperti

1 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460.

Page 102: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

88

ayat berikut yang berbicara mengenai wasiat Allah terkait

pembagian harta warisan;

ء ٱلأنثيين فإن كن نسا لذ كر مثل حظ ه في أولدكم ل يوصيكم ٱلل لثا لهن ث لها ٱلن صف فوق ٱثنتين ف ف ما ترك وإن كانت وحدة

ا ترك إن كان لهۥ ولد فإن دس مم وحد م نهما ٱلس لكل يه ولأبوۥ إخوة لث فإن كان له ٱلث فلأم ه ۥ أبواه م يكن ل هۥ ولد وورثه ل

ؤكم فلأم ه ة يوصي بها أو دين ءابا دس من بعد وصي ٱلس ه إن م ن ٱلل يضة هم أقرب ل كم نفعا فر ؤكم لا تدرون أي وأبنا

ه كان عليما حكيما ٱلل Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian

pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak

lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan

dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka

bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika

anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh

separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, masing-

masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan,

jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-

bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang

meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di

atas, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau sesudah

dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu,

kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih

dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari

Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.2

Asbāb al-Nuzūl ayat di atas adalah mengenai kunjungan

Rasulullah yang ditemani oleh Abu Bakar untuk menjenguk Jabir

bin Abdillah dengan berjalan kaki sewaktu Jabir sakit keras

2 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 11

Page 103: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

89

dikampung Bani Salamah. Ketika didapatkannya Jabir tidak

sadarkan diri, Rasulullah meminta air untuk berwudhu dan

memercikkan air kepada Jabir, sehingga sadar. Lalu Jabir

berkata: apa yang tuan perintahkan kepadaku tentang hartaku?

Maka turunlah ayat di atas sekaligus ayat yang kedua belas

sebagai pedoman dalam pembagian harta waris. Riwayat ini

diriwayatkan oleh imam yang enam.3

Seseorang yang meninggal dunia kadangkala meninggalkan

harta yang banyak, seringkali menimbulkan permusuhan dan

ketidakadilan. Pembuka ayat di atas menjadi pedoman dalam

membagikan harta warisan tersebut, seperti yang dijelaskan oleh

al-Marāghi terkait rincian pembagian harta warisan. Anak laki-

laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan—

kecuali ada penghalang untuk bisa mewarisi seperti anak tersebut

kafir, membunuh salah satu anggota keluarganya, budak belian

dan mewaris dari Nabi—hikmahnya adalah karena laki-laki akan

menafkahi dirinya dan keluarganya di masa depan. Perintah ini

sekaligus membatalkan perilaku jahiliyah yang melarang kaum

wanita mewarisi,4 pendapat ini juga disetujui oleh Ibn Katsir.5

Kemudian al-Marāghi melanjutkan bahwa bagian dua

pertiga diberikan kepada anak perempuan yang terdiri dari dua

orang atau lebih jika tidak ada anak laki-laki. Jika hanya satu

anak perempuan maka ia mendapatkan setengah. Namun jika

hanya satu anak laki-laki maka ia bisa mewarisi semuanya. Orang

tua si mayit mendapatkan seperenam bagian, demikian juga jika

si mayit memiliki seorang anak atau lebih.6Al-Razi mengutip

pendapat al-Zujāj terkait yang dimaksud dengan kata yūsīkum

adalah yafradu ‘alaikum.7Hukum mengenai pembagian harta

warisan yang disebutkan dalam ayat di atas harus dibagi dengan

adil, dan hamba-Nya tidak boleh menyalahi ketentuan yang telah

ditetapkan oleh Allah, demikian papar Ma’mūn.8

3 Jalaluddin Abi Abdirrahman al-Syuyuthi, Asbāb al-Nuzūl (Al-

Musamma-Lubab al-Nuqul fi Asbāb al-Nuzūl), cet. I (Bairut: Muassah al-

Kutub al-Tsaqafiyah, 2002), 71. 4 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 195-197. 5 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 3, 368. 6 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 197-198. 7 Muhammad al-Razi Fakhr al-Dīn Ibn al-‘Allāmah Diyā’ al-Dīn

‘Umar, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 9, cet. I (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), 209. 8 Ma’mūn Hammūs, Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, cet. I (Suriah: tp, 2007),

193.

Page 104: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

90

Bagian selanjutnya yaitu jika si mayit tidak memiliki

keturunan maka ibu si mayit mendapatkan sepertiga dan sisanya

untuk sang ayah. Apabila si mayit memiliki saudara baik laki-

laki atau perempuan maka sang ibu hanya mendapatkan

seperenam. Sebuah catatan penting diberikan oleh al-Marāghi

yaitu semua wasiat tentang warisan tersebut baru bisa

dilaksanakan setelah dilunasinya hutang-hutang si mayit.9

Allah menutup ayat di atas dengan ungkapan;

ه كان عليما حكيم اإن ٱلل Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.10

Penutup ayat di atas dijelaskan oleh al-Marāghi sebagai

berikut;

أى إنه تعالى لعلمه بشئونكم ولحكمته العظيمة لا يشرع ل كم إلا مافيه المنفعة ل كم. إذ لا تخفى عليه خافية من وجوه المصالح

إلى أنه منزه عن الغرض والهوى اللذين من شأنهما أن —والمنافعيمنعا من وضع الشيء فى غير موضعه ومن إعطاء الحق لمن

يستحقه.Artinya: Sesungguhnya Allah Swt, berkat pengetahuan

tentang urusan-urusan kalian dan kebijaksanaan-Nya yang

agung. Dia tidak sekali-kali mensyariatkan suatu hukum

kepada kalian kecuali hal itu mengandung manfaat bagi

kalian. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi daan

samar dari pengetahuan-Nya. Juga Dia Maha Suci dari

tujuan dan keinginan, yang keduanya dapat mencegah hal

meletakkan sesuatu pada bukan tempatnya, dan mencegah

dari memberikan kewajiban kepada orang yang berhak

menerimanya.11

Kandungan pembuka ayat menurut al-Marāghi adalah

ketentuan Allah terkait harta warisan untuk anak dan orang tua.

Kemudian ayat ditutup dengan dua sifat Allah yaitu ‘Alīman dan

Hakīman.

9 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 199. 10 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 11 11 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 4, 202.

Page 105: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

91

Dalam surah al-Nisā’, sifat Alīman Hakīman menjadi

penutup pada 8 ayat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104, 111

dan 170. Tiga ayat berbicara kepada umat manusia yaitu ayat 11,

17 dan 170. Satu kepada kaum munafik dalam ayat 111 dan

empat kepada masyarakat mukmin pada ayat 24, 26, 92 dan 104.

Kandungan dari kedelapan ayat tersebut terdiri dari 4 ayat terkait

hukum, tiga terkait ibadah dan satu terkait adab.

Al-Marāghi menghubungkan sifat ‘Alīman yang terdapat

pada penutup ayat yang menunjukkan Allah sebagai Yang Maha

Mengetahui terkait ketentuan terbaik bagi hamba-Nya. Hal

tersebut mengindikasikan juga bahwa penetapan bagian harta

warisan di dalam pembuka ayat di atas adalah ketentuan terbaik

yang mengandung kemaslahatan bagi para hamba sesuai dengan

pengetahuan-Nya. Demikian juga menurut al-Biqā’i yang

menghubungkan sifat ‘Alīman sebagai Allah Yang Maha

Mengetahui, maka sifat tersebut menunjukkan pengetahuan Allah

terkait hukum-hukum yang disebutkan dalam ayat.12

Sedangkan sifat Hakīman dihubungkan oleh al-Marāghi

bahwa Allah bebas dari tujuan dan keinginan sehingga

menghalangi untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Penetapan takaran dari harta warisan bukanlah keinginan untuk

melebihkan kaum laki-laki dengan bagian yang lebih besar dan

merendahkan perempuan dengan bagian yang lebih kecil, namun

pembagian tersebut memiliki tujuan untuk membuat hamba-Nya

bisa menjalani fungsinya sebagai khalifah dengan baik.

Sedangkan menurut al-Biqā’i, Allah Maha Bijaksana dalam

menetapkan hukum tersebut.13Selamanya dan tidak pernah

berubah bahwa Allah selalu ‘Alīman dan Hakīman.14

Munasabah asma al-husna dengan kandungan ayat bisa

dilihat dalam satu ayat di atas yaitu ‘Alīman menunjukkan bahwa

Allah menetapkan hukum yang ada pada pembuka ayat, sesuai

dengan pengetahuan-Nya dan sifat Hakīman yang

mengindikasikan jika hukum tersebut adalah yang terbaik sesuai

dengan kebijaksanaan-Nya pula. Melihat klasifikasi munasabah

12 Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqā’i, Nazm al-

Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5, (Kairo: Darr Kitāb al-Islāmi,

tt), 208. 13 Al-Biqā’i, Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5,

208. 14 Ma’mūn Hammūs, Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, 197-198.

Page 106: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

92

yang dipaparkan oleh al-Suyuti maka Posisi sifat Allah yang ada

pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari kandungan ayat

sehingga disebut dengan tamkīn. Tamkīn adalah penutup ayat

yang menjadi penguat dari kandungan ayat.

2. Sosial Contoh berikutnya munasabah kandungan pembuka ayat

dan asma al-husna dalam satu ayat, juga terdapat dalam ayat-ayat

yang berbicara terkait sosial masyarakat, seperti;

وا بأ ي ة فح وها وإذا حي يتم بتحي ه كان على حسن منها أو رد إن ٱلل شيء حسيبا كل

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu

penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan

yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan

itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah

memperhitungankan segala sesuatu.15

Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas

terkait ajaran Allah terkait hubungan antar manusia dalam bentuk

memberikan ucapan selamat. Apabila seseorang mengucapkan

selamat kepada kalian dengan suatu ucapan selamat maka

balaslah dengan ucapan yang serupa atau yang lebih baik, seperti

misal jika ada yang mengucapkan Assalāmu’alaikum, ucapkanlah

Wa’alaikum al-salam atau ditambah wa rahmatullah.16Hal ini

juga disepakati oleh Muhammad Abduh, namun Muhammad

Abduh menyebutkan, bentuk ucapan tersebut sangat banyak

seperti as’ada Allah sabāhukum wa masā’ukum kemudian

dijawab dengan as’ada Allah jami’a auqātikum, maka sudah

dianggap menjawab dengan yang lebih baik dari salam yang

diucapkan.17

Pada mulanya, menurut al-Qāsimy, masyarakat Arab ketika

bertemu antar sesama mereka mengucapkan hayyāka Allah,

kemudian perilaku ini menjadi syariat di dalam Islam dengan

mengganti redaksinya menjadi assalām, atau yang lebih

15 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 16 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 17 Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II

(Kairo: Dar al-Manār, 1947), 311.

Page 107: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

93

sempurna.18 Hal tersebut sesuai dengan dua ayat al-Qur’an

berikut;

ت تجري من تحتها لحت جن وأدخل ٱل ذين ءامنوا وعملوا ٱلص تهم فيها سلم هم تحي ب ٱلأنهر خلدين فيها بإذن ر

Artinya: Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman

dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan

seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam

surga itu ialah "salaam".19

يما لقونهۥ سلم وأعد لهم أجرا كر تهم يوم ي تحي Artinya: Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang

mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam;

dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.20

Al-Marāghi melanjutkan bahwa balasan ucapan selamat

tidak selamanya hanya dengan ucapan saja tapi bisa juga seperti

membalas perbuatan orang yang berbuat baik dengan yang lebih

baik. Kesimpulannya adalah bahwa ada dua tingkatan dalam

menjawab ucapan selamat yaitu yang paling rendah adalah

menjawab dengan ucapan yang serupa dan yang paling tinggi

adalah dengan memberikan jawaban yang lebih baik, dan orang

yang menjawab bebas memilih antara keduanya tersebut.21

Kritik al-Marāghi terkait sikap umat muslim dewasa ini

yang tidak suka bila ada kaum lain yang mengucapkan selamat

kepada mereka dengan al-salam, terlebih untuk menjawab salam

mereka. Menurut al-Marāghi bahwa kaum muslimin lupa tentang

adab-adab islami yang telah diajarkan. Sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Hakim yaitu;22

أفشوا السلام تسلموا Artinya: Sebarkanlah salam, niscaya kalian selamat.

Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;

18 Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimy, Tafsīr al-Qāsimy: Mahāsin

al-Ta’wīl, Jilid I, cet. I (tt: Dar al-Hayā’ al-Kitāb al-‘Arabiyyah, 1957) 1423 19 Lihat: QS. Ibrahim [14]: 23 20 Lihat: QS. Al-Ahzab [33]: 44 21 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 22 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111.

Page 108: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

94

شيء حسيبا ه كان على كل إن ٱلل Artinya: Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala

sesuatu.23

Penjelasan al-Marāghi terkait penutup ayat di atas;

بينكم بالتحية أي إنه تعالى رقيب عليكم في مراعاة هذه الصلة .ويحاسبك على ذلك ، وفي هذا إشارة إلى تأكيد أمر هذه الصلة

. بين الناس ، ووجوب رد التحية على من يسلم علينا و يحييناArtinya: Sesungguhnya Allah mengawasi kalian di dalam

memelihara hubungan di antara kalian dengan saling

mengucapkan salam dan memperhitungkan perbuatan

kalian. Ayat di atas menunjukkan kepada penekanan

perintah mengadakan hubungan ini di antara manusia dan

kewajiban membalas penghormatan kepada orang yang

mengucapkan salam dan penghormatan kepada kita.24

Dalam surah al-Nisā’, sifat Hasīban menjadi penutup ayat

sebanyak dua kali yaitu pada ayat 6 dan 86. Jika pada ayat 6

berbicara terkait memperlakukan anak yatim dengan baik maka

dalam hal ini terkait cara membalas perbuatan baik seseorang.

Al-Maraghi menghubungkan asma al-husna yang ada pada

penutup ayat berupa Hasīban sebagai Allah Yang Maha

Mengawasi dengan kandungan ayat yang berbicara tentang

keharusan untuk memelihara hubungan silaturrahim dengan siapa

pun seperti dalam bentuk membalas ucapan salam yang

disampaikan kepada kalian dengan balasan yang lebih baik—

menurut al-Marāghi—meski dari orang yang bukan Islam

sekalipun.

Hubungan antara asma al-husna dengan kandungan ayat di

atas dapat dipahami dari dalam satu ayat tersebut bahwa yang

Allah awasi adalah perihal yang disebutkan di dalam ayat. Bentuk

munasabah kandungn ayat dan penutup ayat seperti ayat di atas

menurut al-Sayuti, disebut dengan tamkīn, karena posisi sifat

Allah yang ada pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari

kandungan dalam satu ayat langsung.

23 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 24 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111.

Page 109: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

95

3. Akidah Munasabah kandungan pembuka ayat dengan asma al-

husna dalam satu ayat juga bisa terlihat dalam ayat-ayat akidah

seperti berikut;

ه يذهبكم أي ين إن يشأ اس ويأت باخر على ذلك ا ٱلن ه وكان ٱلل قديرا

Artinya: Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan

kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain

(sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa

berbuat demikian.25

Al-Maraghi menjelaskan kandungan pembuka ayat

mengenai kemampuan Allah untuk memusnahkan umat manusia

dan menggantikannya dengan umat yang lain dalam menjalankan

hukum dan bertindak sesuai dengan hukum tersebut. Allah

membiarkan kalian tetap berada dalam kedurhakaan tidak lain

karena Allah benar-benar tidak membutuhkan ketaatan kalian,

papar al-Marāghi. Allah belum memusnahkan kalian disebabkan

oleh suatu hukum dan maslahat atas kehendak-Nya, bukan

disebabkan oleh kelemahan Allah untuk memusnahkan hal

tersebut. Di samping itu, terdapat peringatan bagi manusia supaya

merenungi sunah-sunah Allah yang berlaku di dalam kehidupan

dan kematian umat, apabila sunah tersebut telah berkaitan dengan

kehendak Allah maka tidak mustahil hal tersebut pasti terjadi.26

Bahkan al-Sya’rawi mengkritik orang filsafat sebagai orang

yang hilang akalnya, karena mereka mengatakan bahwa benar

Allah telah menciptakan umat manusia pada awalnya namun

manusia sebagai makhluknya sudah tidak terikat lagi dengan

hukum-hukumnya. Menurut al-Sya’rawi, Allah mampu

menggantikan umat manusia dengan makhluk lainnya, jika Ia

menghendaki, sebagai bukti jika Allah terus mempunyai kuasa

atas manusia atau makhluk lainnya sampai kapan pun.27

25 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 33 26 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 176-177 27 Muhammad Mutawally al-Sya’rāwi, Tafsīr al- Sya’rāwi, Jilid 5, (tt:

Akhbār al-Yaum, 1991) 2702.

Page 110: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

96

Ayat di atas ditutup dengan firman Allah berikut;

ه على ذلك قديرا وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.28

Al-Marāghi menjelaskan penutup ayat di atas sebagai

berikut;

آخر إذ بيده خلق أى وكان الل ه قديرا على ذلك الإفناء وإيجاد مل كوت كل شيء, ل كنه لحكم يعلمها لم تتعلق إرادته بذلك.

Allah Maha Kuasa untuk membinasakan dan mengadakan

makhluk lain, karena Dia menguasai kerajaan segala

sesuatu. Akan tetapi, karena hikmah-hikmah yang

diketahui-Nya, maka Dia tidak menghendaki kebinasaan

itu.29

Dalam surah al-Nisā’, sifat Qadīran hanya menjadi penutup

ayat di atas yang berbicara tentang kekuasaan Allah Swt.

Kandungan pembuka ayat di atas terkait Allah kuasa mengganti

makhluk lain untuk menggantikan manusia, jika Ia

menginginkannya seperti penjelasan al-Maraghi. Ayat di atas

ditutup dengan sifat Qadīran yang menunjukkan kemahakuasaan

Allah untuk menggantikan makhluknya. Sifat Qadīran menjadi

penguat kandungan ayat di atas. Munasabah seperti yang

dilakukan oleh al-Marāghi tersebut dinamakan dengan tamkīn,

jika merujuk ke klasifikasi munasabah menurut al-Sayuti.30

Hubungan antara pembuka kandungan dan penutup ayat di

atas bisa dilihat dalam satu ayat di atas. Sifat Allah Qadīran pada

penutup ayat terkait langsung dengan kandungan pembuka ayat

berupa kemampuan Allah untuk mengganti umat dengan umat

yang lain.

4. Ibadah Munasabah kandungan pembuka ayat dengan sifat Allah

pada ayat yang sama bisa juga terlihat lihat pada ayat yang

berbicara tentang ibadah untuk selalu melakukan perdamaian

ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangga seperti dalam

ayat berikut;

28 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 133 29 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 176.

Page 111: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

97

وإن ٱمرأة خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أن يصلحا بينه لح خ ح و يرما صلحا وٱلص أحضرت ٱلأنفس ٱلش

ه كان بما تعملون خبيرا قوا فإن ٱلل وإن تحسنوا وتت Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz

atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa

bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-

benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)

walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika

kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara

dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka

sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan.31

Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas

terkait kekawatiran isteri terhadap suaminya yang berbuat nusyuz

dan kesombongan suami terhadapnya, terlihat dari tanda-tanda

yang ada seperti tidak memberi nafkah, tidak mencampuri, tidak

mendapat kasih sayang sebagaimana mestinya, dll. Maka isteri

harus melihat dengan teliti kenapa suami berbuat demikian boleh

jadi karena permasalahan ekonomi atau agama dan lainnya

hendaklah diberi uzur.32 Hamka menjelaskan bahwa ayat di atas

terkait suami yang berlaku nusyuz setelah pada ayat 34 dalam

surah yang sama dijelaskan terkait isteri yang berbuat nusyuz.33

Dilanjutkan oleh al-Marāghi jika berdamai itu jauh lebih

baik dari pada bercerai karena ikatan suami-isteri adalah ikatan

yang agung, paling berhak untuk dipelihara, dan janji setianya

merupakan janji setia yang paling kuat. Namun sudah menjadi

perkara alami akan terjadinya perselisihan di dalam hubungan

tersebut maka cara yang diajarkan oleh Islam adalah tentang

persamaan antara suami dan isteri dalam segala hal kecuali dalam

hal memimpin rumah tangga yang menjadi hak laki-laki karena

lebih kuat dari pada isteri dari segi badan dan akal.34Dilanjutkan

oleh Hamka bahwa kedua pasangan tersebut harus saling

mengalah supaya perdamaian bisa diraih bukan malah sebaliknya

31 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 128 32 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174. 33 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir al-Azhar, jilid 2,

(Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989),1453. 34 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174.

Page 112: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

98

saling menyalahkan. Suami menyalahkan isterinya sebagai isteri

yang tidak mampu menunaikan kewajibannya, begitupun isteri

yang menuduh suaminya tidak pernah memenuhi kewajibannya

sebagai kepada rumah tangga.35

Isteri yang kawatir suaminya akan memisahkan atau

menceraikannya karena ia sudah tua dan tidak mampu lagi untuk

melayani suaminya maka dibolehkan memberikan kemudahan

kepada suaminya seperti mengizinkannya untuk menikah lagi

atau membebaskan suaminya dari menafkahinya ketika suami

merasa berat untuk menghidupi dua orang isteri. Hal tersebut

dilakukan demi terjaganya rumah tangga atau tidak terjadi

perceraian, demikian tutur ‘Abd al-Qādir.36

Kemudian dalam pembuka ayat di atas juga terdapat

peringatan terkait tabiat manusia yang kikir. Di satu sisi, isteri

membutuhkan nafkah yang tercukupi namun di sisi yang lain

suami sangat tamak pada hartanya sehingga berbuat kikir. Maka

keduanya hendaklah saling toleransi, karena telah ada ikatan kuat

dengan perjanjian agung yang menyatukan keduanya dulu.37

Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah;

ه كان بما تعملون خبيرا فإن ٱلل Artinya: Maka sesungguhnya Allah adalah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan.38

Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;

أى و إن تحسنوا العشرة فيما بينكم وتتقوا أسباب النشوز والإعراض ومايترتب عليهما من الشقاق ، فإن الل ه كان خبيرا بذالك لايخفى عليه شيء منه ، فهو يجازى من أحسن الحسنى و

. يثيبه على ذلكArtinya: Sekiranya kalian bergaul dengan baik dan

menghindarkan sebab-sebab nusyuz, ketidakacuhan dan

implikasinya yang berupa perpecahan, sesungguhnya Allah

35 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 2, 1455. 36 ‘Abd al-Qādir bin Syaibah al-Hamdi, Tahzib al-Tafsīr wa Tajrīd al-

Ta’wīl, jilid 4, cet. I (Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li Nasr wa al-Tauzī’, 1993),

8-9. 37 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 173. 38 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 128

Page 113: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

99

Maha Mengetahui tentang hal itu. Dia akan memberikan

pahala kepada orang-orang yang melakukan kebaikan.

Dalam surah al-Nisā’, sifat Khabīran menjadi penutup

pada 4 ayat yaitu pada ayat 35, 94, 128 dan 135. Semua ayat yang

berakhiran dengan Khabīran berbicara terkait hukum.

Al-Marāghi menghubungkan sifat Khabīran sebagai Allah

Yang Maha Mengetahui dengan kandungan pembuka ayat yang

berbicara terkait isteri yang kawatir jika suaminya berbuat nusyuz

dan anjuran untuk mencari jalan perdamaian dalam setiap

masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Hubungan tersebut—

antara pembuka dan penutup ayat—bisa terlihat dalam satu ayat

di atas.

Sifat Allah yang ada pada penutup ayat memiliki kaitan

langsung dengan kandungan pada pembuka ayat. Posisi sifat

Allah yang ada pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari

kandungan ayat sehingga disebut dengan tamkīn. Al-Sayuti

mengklasifikasi munasabah tamkīn sebagai penutup ayat yang

menjadi penguat dari kandungan ayat.

B. Tafsīr: Munasabah Asma Al-Husna dengan Kandungan

beberapa Ayat

Melihat munasabah kandungan ayat dengan asma al-husna

yang terdapat pada penutup ayat pada beberapa tempat tidak bisa

dipahami hanya dalam satu ayat saja, melainkan harus melihat

kandungan ayat atau beberapa ayat sebelumnya, contohnya:

1. Hukum Dalam ayat yang berbicara terkait hukum juga bisa dilihat

bagaimana untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat

tersebut harus melihat ayat-ayat sebelumnya seperti pada ayat

berikut;

ه أن يعفو عنهم فأولئك عس ا غفورا ى ٱلل ه عفو وكان ٱلل Artinya: Mereka itu, mudah-mudahan Allah

memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha

Pengampun.39

Penjelasan al-Marāghi terkait pembuka ayat di atas

berkaitan dengan orang-orang tertindas sehingga tidak mampu

39 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 99

Page 114: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

100

berhijrah karena kelemahan dan tidak mempunyai jalan untuk itu

sehingga mereka berharap, Allah tidak menyiksa mereka dan

mengampuni mereka karena tetap tinggal di negeri

kafir.40Penyebutan kata anak-anak di dalam ayat, menurut

Quraish Shihab, untuk menggambarkan betapa hijrah merupakan

sesuatu hal yang sangat penting. Orang tua dianjurkan untuk

membawa anak-anak mereka ketika berhijrah, guna

menyelamatkan mereka dan agar mereka mendapatkan

lingkungan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Masih

menurut Quraish Shihab, ulama sepakat bahwa kewajiban hijrah

dari Mekah ke Madinah sudah gugur setelah dikuasainya kota

tersebut oleh Nabi Saw dan hancurnya rezim kekufuran. Kendati

demikian, para ulama mengambil kesimpulan berkaitan dengan

kewajiban meninggalkan lokasi kekufuran, yang jika tinggal pada

negeri tersebut mengharuskan ia tunduk kepada hukum-hukum

yang bertentangan dengan hukum Allah, meski pendapat ini tidak

direstui banyak ulama.41

Dalam pembuka ayat di atas, menurut al-Marāghi

terkandung isyarat bahwa ampunan Allah adalah sesuatu yang

diharapkan bukan sesuatu yang dimestikan. Catatan penting

berikutnya adalah bahwa orang yang terkena beban untuk hijrah

tersebut tidak memandang sesuatu yang bukan penghalang

menjadi sebuah penghalang. Dalam pembuka ayat di atas juga

terkandung kesan supaya mengagungkan perintah hijrah dalam

ayat sebelumnya dan yang melanggarnya akan mendapatkan dosa

besar.42

Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah berikut;

ا غفورا ه عفو وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha

Pengampun.43

40 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134. 41 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 2, 683-684. 42 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134. 43 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 99.

Page 115: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

101

Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;

لها أعذار صحيحة أى وكان شأن الل ه تعالى العفو عن الذنوب التى بعدم المؤاخذة عليها، ومغفرتها بسترها وعدم فضيحة صاحبها في

الآخرةArtinya: Allah memaafkan dosa-dosa yang mempunyai

uzur yang benar dengan tidak menjatuhkan siksaan

karenanya, serta mengampuni dosa-dosa itu dengan

menutupinya dan tidak membukakan aib pelakunya di

akhirat kelak.44

Dalam surah al-Nisā’, sifat ‘Afuwwan Ghafūran menjadi

penutup pada ayat 43 dan 99. Kedua ayat tersebut berbicara

terkait hukum kepada orang-orang yang beriman.

Al-Marāghi dalam tafsirnya mengaitkan sifat ‘Afuwwan

sebagai Allah yang Maha Pemaaf kepada orang-orang yang tidak

berhijrah karena berbagai uzur yang dibenarkan dalam ayat

sebelumnya. Sedangkan sifat Ghafūran berhubungan dengan

dosa tersebut akan Allah tutupi dengan tidak membukanya

diakhirat kelak untuk diadili.

Dari penafsiran al-Marāghi bisa dilihat bahwa untuk

memahami sifat ‘Afuwwan Ghafūran tersebut harus memahami

juga ayat sebelumnya yang berbicara terkait orang-orang yang

berhijrah dan orang-orang yang tidak berhijrah, seperti dalam

ayat berikut;

رر وٱلمجهدون في ل ا يستوي ٱلقعدون من ٱلمؤمنين غير أولي ٱلض ه ٱلمجهدين بأمولهم بأمولهم وأنفسهم سبيل ٱلل ه ل ٱلل فض

وأنفسه م على ٱلقعدين درجة ٱوك ه ه لحسنى ل ا وعد ٱلل ل ٱلل وفض ٱلمجهدين على ٱلقعدين أجرا عظيما درجت م نه ومغفرة ورحمة

حيماوك غفورا ر ه ظالمي أن ان ٱلل ىهم ٱلملئكة فسهم إن ٱل ذين توف كنتم فيم كن قالو قالوا ألم تكن ا مستضعفين في ٱلأرض ا قالوا

ه فيهاأرض ٱلل فتهاجروا فأو وسعة م ءت لئك مأوىهم جهن وسا

44 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134.

Page 116: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

102

ء وٱلولدن لا يستطيعو ا ٱلمستضعفين من ٱلر جال وٱلن سا ن مصيرا إل حيلة ولا يهتدون سبيلا

Artinya: Tidaklah sama antara mukmin yang duduk—yang

tidak ikut berperang—yang tidak mempunyai 'uzur dengan

orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta

mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang

berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang

duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah

menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-

orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala

yang besar, yaitu beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan

serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang

diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri

sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam

keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab:

"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri

(Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu

luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-

orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu

seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang

tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang

tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan

(untuk hijrah).45

Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa mereka yang

dimaafkan oleh Allah adalah mereka yang tertindas baik laki-laki

atau wanita, anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan

tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Dan mereka juga lah yang

akan mendapatkan ampunan dari Allah Swt dengan sifat

Ghafūran-Nya.

Melihat penjelasan di atas, dapat diketahui jika munasabah

sifat Afuwwan Ghafūran dalam ayat 99 harus melihat kandungan

dari ayat 95. Munasabah seperti di atas dinamai dengan

munasabah tafsīr.

45 Lihat: QS. Al-Nisā [4]: 95-98.

Page 117: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

103

2. Sosial Memahami asma al-husna pada penutup ayat namun harus

melihat kepada beberapa ayat sebelumnya, bisa terlihat pada ayat

yang berbicara tentang sosial yang berkaitan dengan hubungan

suami-isteri, seperti berikut;

قا يغن ه كل ا م ن سعتهۦ وإن يتفر ه وسعا حكيما ٱلل وكان ٱلل Artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi

kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan

karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya)

lagi Maha Bijaksana.46

Al-Maraghi menjelaskan kandungan pembuka ayat

mengenai keterangan dari Allah bahwa terkadang perceraian

mengandung kebaikan, jika perdamaian dan keharmonisan tidak

bisa dicapai. Apabila terjadi perceraian antara suami isteri karena

takut tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, seperti suami

tidak suka kepada isterinya karena jelek atau sombong, suami

ingin menikah lagi atau suami memiliki dua isteri namun tidak

bisa berbuat adil. Sebagai contoh Allah menundukkan lelaki lain

kepada wanita yang dicerai yang lebih dari pada suaminya dan

sebaliknya.47Demikian pula menurut al-Razi yang berpendapat

bahwa kebolehan berpisah yang disebutkan dalam ayat di atas

disebut setelah anjuran untuk melakukan perdamaian antara

pasangan suami isteri tersebut.48

Kandungan selanjutnya menurut al-Maraghi adalah

mengenai keadaan suami isteri yang bercerai maka Allah akan

mencukupkan masing-masing di antara mereka dengan karunia

yang luas dan kebaikan yang banyak.49

Allah menutup firman-Nya di atas dengan ungkapan;

ه وسعا حكيما وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi

Maha Bijaksana.50

Al-Maraghi menjelaskan penutup ayat di atas sebagai

berikut;

46 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 130 47 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 174. 48 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 69. 49 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 174. 50 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 130

Page 118: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

104

أى وكان الل ه ولا يزال واسع الفضل والرحمة, حكيما فيما شرعه من الأحكام التى جعلها وفق مصالح العباد.

Artinya: Allah tetap dan senantiasa Maha Luas karunia dan

rahmat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam mensyariatkan

hukum-hukum yang sesuai dengan berbagai maslahat

hamba.51

Sifat Wāsī’an Hakīman dalam surah al-Nisā’ menjadi

penutup pada ayat di atas saja yang berbicara kepada orang yang

sudah tidak mungkin untuk mempertahankan rumah tangganya.

Al-Maraghi menjelaskan pembuka ayat di atas terkait suami isteri

yang berpisah karena sudah tidak mungkin lagi bersama. Sifat

Wasī’an sebagai Yang Maha Luas karunianya akan selalu

melimpahkan karunia kepada hambanya yang telah berpisah.

Ketetapan tersebut sesuai dengan sifat Hakīman sebagai Yang

Maha Bijaksana dalam menetapkan ketetapan sesuai dengan

kemaslahatan hamba-Nya.

Mengetahui ayat di atas berbicara terkait hubungan suami

isteri harus melihat ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang

hubungan yang ada dalam rumah tangga, apalagi jika melihat

huruf waw yang ada di awal ayat adalah huruf ‘ataf,52merujuk

seperti dalam ayat berikut;

ن بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أ وإن ٱمرأة خافت من لح خير و يصلحا بينهما صلحا ح وٱلص وإن أحضرت ٱلأنفس ٱلش

أن كان بما تعملون خبيرا ولن تستطيعوا ه فإن ٱلل قوا وتت تحسنوا بين تع دلوا ء ولو حرصتم كل ٱلميل ٱلن سا ميلوا فتذروها فلا ت

قة حيما كٱلمعل ه كان غفورا ر قوا فإن ٱلل وإن تصلحوا وتت Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau

sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi

keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,

dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun

manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul

51 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174. 52 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa

I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, cet. I (Beirut: Dar Ibn Kasir, 2009), 644.

Page 119: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

105

dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari

nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah

adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan

kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara

isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat

demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang

lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan

perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.53

Setelah melihat ayat-ayat di atas maka dapat diketahui

bahwa dalam ayat 130 itu berbicara tentang suami isteri sebagai

mana menurut Ibn ‘Atiyyah bahwa damir pada lafaz yatafarraqā

merujuk kepada pasangan sebagaimana yang telah disebutkan

pada ayat terdahulu54 dengan makna talak55. Ketika terjadi

permasalahan dalam rumah tangga seperti suami yang tidak

menjalankan kewajibannya atau isteri yang mengabaikan

kewajibannya pula sehingga usaha perdamaian sudah tidak bisa

dicapai maka tidak mengapa keduanya berpisah.

Berpisahnya kedua insan tersebut tidak akan lepas dari

keluasan rahmat Allah, bisa jadi dengan berpisah mereka bisa

menemukan pasangan baru yang lebih bisa mengerti atau lebih

baik dari pasangan sebelumnya, mengganti kehidupan yang jauh

lebih baik dari kehidupan sebelumnya56 sehingga tujuan sakinah,

mawaddan dan warahmah dalam rumah tangga tersebut bisa

tercapai.

Hubungan sifat Wāsi’an Hakīman pada penutup ayat

menjadi penjelas dari beberapa ayat sebelumnya sehingga

munasabah dinamakan dengan munasabah tafsīr. Sifat Wāsi’an

Hakīman pada penutup ayat tidak hanya terkait dengan pembuka

53 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 128-129 54 Abi Muhammad Abdul al-Haq bin Ghālib bin ‘Atiyyah al-

Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz, jilid 2, cet. I (Bairut: Dar al-Kutub al-

‘Alamiyyah, 2001), 121. 55 ‘Abd al-Rahmān bin Kamāl Jalal al-Dīn al-Suyuti, Al-Dur mansur

fi al-Tafsī al-Ma’sūr, Jilid 2, (Beirūt: Dar al-Fikr, 2011) 714. 56 Abu al-Qāsim Jar Allah Mahmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyary al-

Khawārizmi, Tafsīr al-Kasyāf, cet III (Beirut: Dar al-Marefah, 2009), 271.

Page 120: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

106

ayat saja namun juga terkait erat dengan kandungan ayat-ayat

sebelumnya.

3. Akidah Dalam ayat yang berbicara terkait akidah juga bisa dilihat

bagaimana untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat

tersebut harus melihat ayat-ayat sebelumnya seperti pada ayat

berikut;

ه إليه فعه ٱلل يزا حكيما بل ر ه عز وكان ٱلل Artinya: Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat

Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.57

Penjelasan al-Marāghi terkait pembuka ayat di atas

mengenai Nabi Isa diangkat oleh Allah kesuatu tempat yang tidak

dikuasai oleh hukum kecuali hukum Allah,58 disepakati juga oleh

al-Biqā’i59 sedang menurut al-Razi Nabi Isa diangkat dari dunia ke

langit,60 hal ini disetujui juga oleh Ibn Jauzi dengan dalil hadis

tentang isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad Saw yang bertemu Nabi

Isa di langit kedua,61 hal ini menurut al-Alusy juga menjadi

pengingkaran terhadap terbunuhnya Nabi Isa dan sekaligus

menjadi penguat akan diangkatnya Nabi Isa ke sisi Allah.62

Imam al-Tabari dalam tafsirnya mengutip pendapat dari

Abu ja’far bahwa maksud lafaz bal rafa’ahu Allahu ilaihi adalah

diangkatnya Nabi Isa ke sisi Allah dan beliau tidak dibunuh

maupun disalib, tetapi Allah mengangkat Nabi Isa ke sisi-Nya

untuk mensucikannya dari orang-orang kafir.63

Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;

57 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 158 58 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 6, 14. 59 Al-Biqā’i, Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5,

467. 60 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104. 61 Abi Faraj Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin ‘Ali bin Muhammad

al-Jauzi al-Qursy al-Baghdādi, Zād al-Masīr fi ‘Ilmi Tafsīr, jilid 2, (tt: al-

Maktāb al-Islāmi, tt), 246. 62 Abi Fadl Syihābuddin Mahmud al-Alusi al-Bagdadi, Rauh al-

Ma’āni, jilid 6, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi). 12. 63 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib al-

Amali al- Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wīl al-Qur’an, jilid 9, cet. II (Kairo:

Maktabah ibn Taimiyah, tt), 378.

Page 121: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

107

يزا حكيما ه عز وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.64

Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;

يغلب ولا يغلب، وبهذه العزة أنقذ عبده .أي إن الل ه عزيزورسوله من اليهود الماكرين وحكام الروم الظالمين و بحكمته .جازی كل عامل بعمله ، ومن ثم أحلى باليهود ما أحل بهم من

وسيوفهم جزاءهم يوم .الذلة والمسكنة والتشريد في الأرض .يوم لا تملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لل ه»القيامة

Allah Maha Perkasa yakni Maha Menang dan tak

terkalahkan. Dengan keperkasaan tersebut Dia

menyelamatkan hamba dan Rasul-Nya dari rombongan

kaum Yahudi yang berbuat makar, dan dari penguasa

Romawi yang zalim. Allah Maha Bijaksana, yang dengan

kebijaksanaan-Nya itu Dia memberi balasan kepada siapa

pun sesuai dengan amal perbuatan.65

Dalam surah al-Nisā’, sifat Alīman Hakīman menjadi

penutup pada 8 ayat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104, 111

dan 170. Tiga ayat berbicara kepada umat manusia yaitu ayat 11,

17 dan 170. Satu kepada kaum munafik dalam ayat 111 dan empat

kepada masyarakat mukmin pada ayat 24, 26, 92 dan 104.

Kandungan dari kedelapan ayat tersebut terdiri dari 4 ayat terkait

hukum, tiga terkait ibadah dan satu terkait adab.

Sifat ‘Azīzan dihubungkan oleh al-Marāghi dengan

keputusan Allah yang mengangkat Nabi Isa ke sisi-Nya

sedangkan menurut al-Razi yang dimaksud ‘Azīzan dalam ayat di

atas adalah sempurna kekuasaannya.66 Sedangkan sifat Hakīman

sebagai Allah Yang maha Bijaksana menurut al-Razi sempurnya

ilmu-Nya,67maka dia akan memberikan balasan kepada mereka

yang sudah berbuat anianya kepada Nabi Isa.

64 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 158 65 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 6, 15. 66 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104. 67 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104.

Page 122: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

108

Dalam ayat di atas tidak disebutkan mengenai pengangkatan

Nabi Isa tersebut, sehingga harus merujuk kepada ayat

sebelumnya—yang diindikasikan oleh kalimat bal pada awal ayat

sebagai huruf ‘ataf68—sebagai berikt;

بغير فبما نقضهم م يثقهم وكفرهم بايت ء وقتلهم ٱلأنبيا ه ٱلل ا ه عليها بكفرهم فلا يؤمنون إل بنا غلف بل طبع ٱلل حق وقولهم قلو

ليلا وبكفرهم وقولهم على بهتنا عظيما ق يم ا قتلنا مر وقولهم إن وما ص ٱ وما قتلوه ه رسول ٱلل يم ولكن لمسيح عيسى ٱبن مر لبوه

لهم شب ه وإن ٱل ذين ٱختل فيه لفي شك م نه ما لهم بهۦ من علم فواباع ٱل ا ٱت ن إل ا ظ وما قتلوه يقين

Artinya: Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa

tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan

karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan

Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang

benar dan mengatakan: "Hati kami tertutup". Bahkan,

sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena

kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali

sebagian kecil dari mereka. Dan karena kekafiran mereka

terhadap Isa dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan

kedustaan besar zina, dan karena ucapan mereka:

"Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra

Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak

membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang

mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi

mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham

tentang pembunuhan Isa, benar-benar dalam keragu-raguan

tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai

keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali

mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin

bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.69

Pemahaman bahwa ayat tersebut berbicara terkait Nabi Isa

setelah melihat ayat sebelumnya di atas. Hubungan antara sifat

68 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa

I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, 685. 69 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 155

Page 123: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

109

‘Azīzan Hakīman tersebut berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya,

yang munasabah seperti demikian dinamai dengan tafsīr. Sifat

‘Azīzan Hakīman memiliki kaitan erat tidak hanya pada pembuka

ayat di atas namun juga dengan kandungan beberapa ayat

sebelumnya.

4. Ibadah Munasabah asma al-husna dengan kandungan beberapa

ayat sebelumnya seperti untuk memahami sifat Ghafūran

Rahīman harus melihat beberapa ayat sebelumnya seperti contoh

ayat berikut;

ه حيما وٱستغفر ٱلل ه كان غفورا ر إن ٱلل Artinya: dan mohonlah ampun kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.70

Asbāb al-Nuzūl ayat di atas sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Ibn jarīr dari Qatadah, terkait Tu’mah bin

Ubairiq, seorang laki-laki dari kaum Ansar dan termasuk anggota

Bani Zafar, yang mencuri baju besi pamannya yang dititipkan

kepadanya. Tu’mah menuduh bahwa pencurinya adalah seorang

Yahudi bernama Zaid bin Samin yang pernah menipu mereka.

Orang Yahudi itu kemudian datang kepada Nabi Saw. Ketika

kaumnya (Tu’mah bin Ubairiq), Bani Zafar, melihat hal itu,

mereka segera datang kepada Nabi Saw, untuk memberikan uzur

temannya. Nabi Saw pun hampir menerima uzurnya itu. Sehingga

Allah Swt menurunkan surah al-Nisā’ ayat 105, Tu’mah

menuduh pencurian itu kepada orang yang tidak bersalah. Ketika

Allah menjelaskan keadaan Tu’mah, dia munafik dan bergabung

dengan kaum musyrikin di Makkah. Maka Allah menurunkan

ayat;

سبيل بع غير ٱلهدى ويت سول من بعد ما تبي ن له ومن يشاقق ٱلر ءت مصيرا م وسا ٱلمؤمنين نول هۦ ما تول ى ونصلهۦ جهن

Artinya; Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah

jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan

jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa

70 QS. Al-Nisā’ [4]: 106.

Page 124: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

110

terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami

masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu

seburuk-buruk tempat kembali.71

Al-Marāghi menjelaskan kandungan ayat di atas tekait

perintah untuk memohon ampun kepada Allah di dalam

memutuskan perkara manusia karena kecenderungan kamu

terhadap orang-orang yang lebih pandai mengemukakan

hujjahnya, atau cenderung kepada seorang muslim karena berbaik

sangka kepada keislamannya. Al-Marāghi menyebutkan seorang

yang melakukan dosa dengan secara tidak sengaja tetap wajib

memohon ampun kepada Allah.72

Dalam ayat di atas, menurut al-Marāghi terkandung pula

isyarat agar meningkatkan perhatian terhadap kebenaran,

meskipun hanya sekedar berpaling kepada orang yang hendak

memperdaya. Keyakinan pribadi dan agamis tidak boleh

mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam memutuskan

perkara dengan adil.73

Al-Marāghi melanjutkan bahwa sebelum ayat ini

diturunkan Nabi Saw mengamalkan sesuatu sesuai dengan

keyakinannya sehingga beliau selalu berbaik sangka terhadap

suatu perkara yang pada hakikatnya telah Allah jelaskan secara

gaib.74Perintah istigfar dalam ayat di atas terkait dengan dosa

pada ayat sebelumnya75 yaitu ketika terdetik dalam hati Rasul

untuk membela Tu’mah bin Ubayriq yang disebut dalam asbāb

al-nuzūl di atas,76 namun menurut Abu Hayyan, Nabi

diperintahkan untuk istigfar karena dosa umatnya yang membela

kaum kaum munafik.77

71 QS. Al-Nisā’ [4]: 115. 72 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 73 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 74 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 75 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 69 76 Sabuni, Safwah al-Tafāsīr, jilid I 290. 77 Muhammad bin Yusuf al-Sayyid bi abi Hayyān al-Andalusi, al-

Bahr al-Muhīt, jilid 3, cet. III (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 1993), 381.

Page 125: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

111

Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;

حيما ه كان غفورا ر إن ٱلل Artinya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.78

Penjelasana al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;

.أى إنه تعالى مبالغ فى المغفرة والرحمة لمن استعفرهArtinya: Sesungguhnya Allah Maha Sempurna

pengampunan dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang

meminta ampun kepada-Nya.79

Kemudian ayat di atas ditutup dengan sifat Ghafūran

menunjukkan Allah sebagai yang Maha Pengampun dan

Rahīman, Allah sebagai yang Maha Penyayang. Al-Marāghi

menafsirkan sifat Ghafūran sebagai dorongan untuk umat

manusia supaya senang meminta ampum kepada Allah yang

sempurnya pengampuna dan rahmat-Nya.

Padahal melihat dari struktur kalimat maka didapati jika

kalimat istaghfir adalah bentuk fi’il amar yang failnya adalah

dhamiīr mustatir dalam bentuk huwa yang merujuk kepada

tunggal, sehingga kurang tepat jika ditujukan kepada umat

manusia secara kaidah kebahasaan, begitu juga jika merujuk

kepada huruf waw pada awal kalimat adalah huruf ‘ataf,80

sehingga harus merujuk ke ayat sebelumnya.

ا أنزلنا ين ٱ إن لتحكم ب إليك ٱل كتب بٱلحق ه اس بما أرىك ٱلل لن ين خصيما ن ئ ولا تكن ل لخا

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab

kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu

mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah

wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi

penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)

orang-orang yang khianat.81

78 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 106. 79 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 80 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa

I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, 106. 81 QS. Al-Nisā’ [4]: 105

Page 126: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

112

Ayat di atas menurut Quraish Shihab, ditujukan kepada

Nabi Muhammad Saw yang telah diturunkan kepadanya sebuah

kitab yang amat sempurna yang mengandung tuntunan yang

sesuai lagi haq dalam segala aspeknya supaya Nabi mengadili

perkara ditengah umat manusia sesuai dengan yang telah Allah

wahyukan. Ayat di atas juga sebagai sebuah larangan kepada

Nabi Saw supaya tidak menjadi penantang orang yang bersalah

karena membela pengkhiatan.82

Dengan melihat ayat 105 di atas maka dapatlah diketahui

bahwa perintah istaghfir merujuk kepada Nabi Saw sehingga

Allah Maha Pengampun dan Penyayang ketika Nabi meminta

ampun kepada Allah karena sempat terlintas dalam benak Nabi

niat untuk membela orang-orang yang berkhianat, meski hal itu

berdasarkan ketidaktahuan dan sangkaan baik beliau kepada

sesama muslim.

Hubungan asma al-husna di atas tidak hanya berkaitan

dengan ayat tersebut namun juga menjadi penjelas dari ayat

sebelumnya sehingga munasabah demikian dinamakan dengan

munasabah tafsīr.

82 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 699-700

Page 127: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

113

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Temuan yang dihasilkan dari penelitian yang berjudul

“Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Husna sebagai

Penutup Ayat Dalam Surah Al-Nisā’ Menurut Al-Marāgi”

sebagai berikut;

Al-Maraghi mengungkapkan munasabah antara kandungan

ayat dan asma al-husna sebagai penutup ayat tidak secara

langsung sebagaimana ketika ia menjelaskan munasabah antar

surat dan antar kelompok ayat, namun munasabah tersebut bisa

diteliti dengan melihat indikasi-indikasi yang menunjukkan

tentang adanya munasabah. Al-Marāghi juga tidak menggunakan

klasifikasi munasabah—tamkīn, tausīkh, tashdīr dan al-ighal—

antara kandungan dan penutup ayat seperti yang telah digagas

oleh pakar ‘Ulum Al-Qur’an seperti al-Suyuti dan al-Zarkasy.

Boleh jadi hal tersebut menunjukkan bentuk komitmen al-

Maraghi yang berusaha untuk menggali hidayah yang terdapat

pada al-Qur’an dengan tidak memperumit para pembaca

mengenai uraian yang rumit dan berbelit. Komitmen tersebut

beliau sampaikan pada permulaan penulisan Tafsīr Al-Marāghi

Corak munasabah yang dikemukakan oleh al-Marāghi

terkait munasabah kandungan ayat dan asma al-husna sebagai

penutup ayat adalah ijtihadiyyah—hasil dari pemahaman beliau

sendiri mengenai teks. Dalam mengungkapkan munasabah

kandungan ayat dan asma al-husna sebagai penutup ayat, al-

Marāghi menggali dari segi maknawiyyah bukan uslūbiyyah.

Temuan di atas semakin menguatkan tentang adanya

munasabah dalam kitab suci al-Qur’an terutama dalam hubungan

kandungan dan asma al-husna yang terdapat pada penutup ayat.

Selain itu, ada juga temuan lainnya berupa asma al-husna

pada penutup ayat adakalanya berhubungan dengan kandungan

ayat yang terlihat dalam satu ayat ada juga yang berhubungan

dengan beberapa ayat sebelumnya dalam memahami maksud

asma tersebut.

Page 128: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

114

B. Saran-Saran

Mengakhiri tulisan ini, penulis menyarankan untuk peneliti

selanjutnya yaitu;

1. Kesatuan al-Qur’an adalah sebuah tema yang menarik

dibahas mengingat al-Qur’an tidak disusun berdasarkan

kronologis turunnya sehingga menimbulkan pertanyaan

filosofis terkait alasan penyusunan mushaf seperti yang kita

saksikan dewasa ini.

2. Penelitian mengenai aspek-aspek penafsiran yang

menggunakan teori-teori Ulumul Qur’an masih kurang masif

dikalangan ilmuan muslim. Untuk itu diharapkan para

pemerhati ilmu-ilmu al-Qur’an untuk mengarahkan

penelitiannya pada aspek yang disebutkan.

3. Penelitian yang penulis lakukan masih berupa bagian kecil

dari besarnya ilmu ulumul Qur’an yang telah ditulis oleh para

ulama, sehingga peneliti selanjutnya bisa mempertajam hasil

dari penlitian ini.

Page 129: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

115

DAFTAR PUSTAKA

‘Abduh, Muhammad. Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II,

Kairo: Dar al-Manār, 1947.

al-Andalusi, Abi Muhammad Abdul al-Haq bin Ghālib bin

‘Atiyyah. al-Muharrar al-Wajiz, jilid 2, cet. I Bairut: Dar

al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2001.

al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Sayyid bi abi Hayyān. al-

Bahr al-Muhīt, jilid 3, cet. III, Beirut: Dar al-Kutub al-

Islami, 1993.

Ali, Iyazi Muhammad. al-Mufassirun (hayatuhum wan

manhajuhum), Taheran; 1414.

Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir al-Azhar, jilid 2,

Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989.

Ansori. Ulumul Qur’an (Kaidah-kaidah Memahami Firman

Tuhan), Cet. III Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.

Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ilmu Tafsir, cet.

I Jakarta: Fikahati Aneska, 1995.

Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka

Setia, 2009.

Baidowi, A. Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas

Tafsir al-Marāghi), Tesis: UIN Jakarta, 2003.

Baqi’, Muhammad Fuad Abdul. Mu’jam Mufarras li Alfaz al-

Qur’an al-Hakīm, Kairo: Dar al-Hadis, 2007.

Boullata, Issa J. I’Jaz al-Qur’an al-Karim ‘Abra al-Tarikh

diterjemahkan oleh Bachrum Tangerang: Lentera Hati,

2008.

al-Badr, Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad. Fiqh Asma

Al-Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib,

Jakarta: Darus Sunnah, 2018.

al-Bagdadi, Abi Fadl Syihābuddin Mahmud al-Alusi. Rauh al-

Ma’āni, jilid 6, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi.

al-Baghdādi, Abi Faraj Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin ‘Ali bin

Muhammad al-Jauzi al-Qursy. Zād al-Masīr fi ‘Ilmi Tafsīr,

jilid 2, tt: al-Maktāb al-Islāmi, tt.

Page 130: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

116

al-Biqā’I, Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar. Nazm al-

Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5, Kairo: Darr

Kitāb al-Islāmi, tt.

al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari,

Kairo: Dar al-Atrak, tt.

-------, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari,

Kairo: Al-Quddus, 2014.

Damanhuri. Ijtihad Hermeneutis, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.

Darwazah, M. Izzat. Tafsir al-Hadis, Jilid. VI, Cet. I kairo: Darr

al-Qarbu al-Islami, 2000.

Djalal, Abdul. Tafsir al-Marāghi dan al-Nur (Sebuah Studi

Perbandingan), IAIN Jakarta: Disertasi, 1985.

al-Durrah, Muhammad ‘Ali Taha. Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa

I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, cet. I, Beirut: Dar Ibn Kasir,

2009.

Fath, Amir Faishol. The Unity of al-Qur’an diterjemahkan

Naisiruddin Abbas, cet.1 Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2010.

Fitrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa

al-Maraghi Dalam Kitab Tafsir al-Maraghi, Vol 1, 117.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an,

Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.

al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Maqsad

al-Asna (Syarh Ma’ani al-Asma al-Husna, Cet. I Cyprus:

Dar Ibn Hazm, 2003.

Hakim, Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an,

Jakarta: el-SiQ, 2013.

Hakim, Lukmanul. Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalah

Kitab Tafsir al-Marāghi, Disertasi: UIN Jakarta, 2006.

Haleem, Muhammad Abdel. Understanding Quran: Themes and

Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. I, Tebuireng:

Marja’, 2002.

Hamid, Shalahuddin. Study Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Intimedia

Ciptanusantara, tt.

Hammūs, Ma’mūn. Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, cet. I, Suriah: tp, 2007.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an, cet. III Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Offset, 2016.

al-Hamdi, ‘Abd al-Qādir bin Syaibah. Tahzib al-Tafsīr wa Tajrīd

al-Ta’wīl, jilid 4, cet. I, Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li Nasr

wa al-Tauzī’, 1993.

Page 131: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

117

Katsir, Ibn. Tafsīr al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid. II Jepang: Maktabah

al-Walad al-Syaikh li al-Turas, 2000.

al-Khawārizmi, Abu al-Qāsim Jar Allah Mahmūd bin ‘Umar al-

Zamakhsyary. Tafsīr al-Kasyāf, cet III Beirut: Dar al-

Marefah, 2009.

Maarif, Muhammad Syafii. al-Qur’an dan Realitas Umat, Jakarta:

Republika, 2010.

Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang

Sejarah (diterjemahkan oleh: Khoirul Amru Harahap, dkk),

Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Musaddad, Endad. Munasabah Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib,

Tesis: UIN Jakarta, 2005.

al-Marāghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Marāghi, Jilid 1 Bairut:

Darul Fikr, 1974.

Nasrudin, Juhana. Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, cet. I

Yogyakarta: Deepublish, 2012.

Nugraha, Eva. Komodisfikasi Dan Preservasi Kitab Suci, cet. I

Ciputat: Hipius, 2019.

Qadrdan, Muahammad Hasan. al-Qur’an wa Sekulorizm

diterjemahkan oleh Ammar Fauzi Heryadi Jakarta: Sadra

International Institute, 2011.

Qiraati, Muhsin. Lesson From al-Qur’an diterjemahkan oleh M

MJ. Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah, Bogor:

Cahaya, 2004.

al-Qāsimy, Muhammad Jamāl al-Dīn. Tafsīr al-Qāsimy: Mahāsin

al-Ta’wīl, Jilid I, cet. I, tt: Dar al-Hayā’ al-Kitāb al-

‘Arabiyyah, 1957.

al-Qattan, Manna Khalil. Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an

diterjemahkan oleh Muzakir, cet. xviii, Bogor: Pustaka

Litera Antar Nusa, 2015.

al-Qattan, Manna. Mabahīs fi ‘Ulūm al-Qur’an, cet. III, Riyadh:

Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’,2000.

al-Qazwaini, Ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin

Habib Abu Husain al-Razi. Maqāyis al-Lughah, Kairo: Dar

al-Ifaq al-Arabiyyah, 2017.

Rauf, Mu’min. Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-

ayat Mutasyabihat, Tesis: UIN Jakarta, 2007.

Said, Hasani Ahmad. Diskurs Munasabah al-Qur’an (Kajian Atas

Tafsir al-Mishbah), UIN Jakarta: Disertasi, 2011.

Page 132: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

116

------, Hasani Ahmad. Studi Islam 1: Kajian Islam Kontemporer,

cet. I Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Sayadi, Wajidi. Telaah Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam

tafsir al-Marāghi (Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), UIN

Jakarta: Disertasi, 2006.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Pisangan: Lentera Hati, 2013.

--------, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw Dalam

Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, Cet. IV

Ciputat: Lentera Hati, 2014.

-------, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-

Qur’an, cet. II Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pisangan: Lentera Hati, 2012.

Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas

Ayat-ayat Hukum Dalam al-Qur’an, cet. V, Jakarta:

Penamadani, 2008.

Syafe’I, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II, Bandung:

Pustaka Setia, 2012.

Syarif, Jamaluddin Muhammad. al-Qiraah al-‘Asyirah al-

Mutawatirah min Thariq al-Syatibiiyah wa al-Dhurah,

Cet. V Darr al-Shahabah, 2016.

al-Sabuni, Ali. Safwah al-Tafāsir, Jilid. I Kairo: Dar Al-Shabuni,

1399 H.

al-Suyuti, ‘Abd al-Rahmān bin Kamāl Jalal al-Dīn. Al-Dur

mansur fi al-Tafsī al-Ma’sūr, Jilid 2, Beirūt: Dar al-Fikr,

2011.

--------, Dur al-Mansyur fi Tafsīr al-Ma’sur, Jilid II Libanon: Darr

al-Fikr, 2011.

al-Sya’rāwi, Muhammad Mutawally. Tafsīr al- Sya’rāwi, Jilid 5,

tt: Akhbār al-Yaum, 1991.

al-Syuyuti, Jalaluddin Abi Abdirrahman. Asbāb al-Nuzūl (Al-

Musamma-Lubab al-Nuqul fi Asbāb al-Nuzūl), cet. I

Bairut: Muassah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002.

Taqiyuddin, M. Ulumul Qur’an, cet. 1 Bengkulu: LP2 Stain Curup,

2010.

al- Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin

Ghalib al-Amali. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wīl al-Qur’an,

jilid 9, cet. II Kairo: Maktabah ibn Taimiyah, tt.

al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah. Sunan al-Tirmidzi,

kairo: Al-Quds, 2009.

Page 133: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

119

al-Tubany, Ziyad. Membaca dan Memahami Konstruksi al-

Qur’an, Jakarta: Indomedia Group, 2006.

‘Umar, Muhammad al-Razi Fakhr al-Dīn Ibn al-‘Allāmah Diyā’

al-Dīn. Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 9, cet. I, Bairut: Dar

al-Fikr, 1981.

Zaid, Nasr Hamid Abu. Mafhūn Al-Nas Dirāsah fi Ulūm al-Qur’an

dialihbahasakan oleh Khoiron Nahdliyyin, cet. IV,

Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.

Zaini, Abdul Wahid dan Muhammad. Pengantar ‘Ulumul Qur’an

& ‘Ulumul Hadis, cet.I, Banda Aceh: Yayasan PeNA,

2016.

Zaini, Hasan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Marāghi, IAIN

Jakarta: Disertasi, 1995.

al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdillah. al-Burhān fi

‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1 Cairo: Al-Quddus, 2016.

al-Zarkasyi. al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, Kairo: Dar Al-Turas,

tt.

Page 134: MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49960/1/Tesis Hasiolan Br.pdfMUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN ASMA AL-HUSNA SEBAGAI

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Hasiolan. M.Ag lahir di Dusun Payo

Kumbang, Desa Muara Cuban, Kec.

Batang Asai, Kab. Sarolangun, Jambi.

Tepat pada tanggal 25 September

1993.

Riwayat pendidikan di mulai di

Sekolah Dasar (SD) 227 Muara Sungai

Pinang, 1999- 2005, dan Madrasah

Ibtidaiyah (MI) 1999-2005. Sekolah

Menengah Pertama (SMP), 2005-

2008. Madrasah Aliyah (MA), 2008-

2011. Pesantren Al-Irsyadiyah, Mensango-Tabir Lintas, 2008-

2011. Institut PTIQ Jakarta, 2011-2015. Dan Pesantren Nurul

Qur’an, 2012-2015. Pare, 2015-2016. STIS Al-Manar, 2017-

2018. Magister UIN Jakarta, 2016-2020.

Semasa sekolan dan kuliah penulis aktif sebagai peserta dalam

event MTQ baik kota atau provinsi, pada saat ini, penulis

diamanahi menjadi Pembina organisasi daerah KMA Jambi dan

turut serta mengisi dakwah-dakwah keislaman seperti pengajian

rutin, dll. Kesibukan sehari-hari dipercaya untuk menjadi Imam

Masjid Al-Bilal Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta Pusat.