LP CK.doc

55
1 LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya subtansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak. 2. Klasifikasi a. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): 1) Minor

description

LP CK.doc

Transcript of LP CK.doc

4321

LAPORAN PENDAHULUANCEDERA KEPALAA. KONSEP DASAR1. Pengertian

Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya subtansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak.2. Klasifikasia. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):

1) Minor

a) SKG 13 15

b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

c) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2) Sedang

a) SKG 9 12

b) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

c) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3) Berat

a) SKG 3 8

b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

c) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

b. Klasifikasi berdasarkan CK terbuka dan CK tertutup1) Cedera kepala terbukaLuka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap. Fractura Basis Cranii Fractura ini dapat terletak di depan, tengah atau di belakang. Gejala fractura di depan:a) Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal dan arachnoidal.b) Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.c) Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula. Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga yaitu otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia (I), gangguan penglihatan (II), gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V), gangguan rasa di wajah (VI), kelumpuhan facialis (VII), serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.2) Cedera kepala tertutupPada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembuluh darah kecil/perifer cabang-cabang arteri meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada fraktur capitis).a) Epiduralis haematoma Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani. b) Subduralis haematoma akutKejadian akut haematoma di antara durameter dan korteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).c) Subrachnoidalis HaematomaKejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysma pelebaran pembuluh darah. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.d) Kontusio CerebriDi antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe sentralis kelumpuhan nervus facialis atau nervus hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Kontusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).c. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua:1) Cedera Kepala PrimerAdalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasidecelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cedera primer dapat terjadi :

a) Gegar kepala ringan

b) Memar otak

c) Laserasi

2) Cedera Kepala SekunderAdalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :

a) Hipotensi sistemik

b) Hipoksia

c) Hiperkapnea

d) Udema otak

e) Komplikasi pernapasan

3. Etiologi Cedera Kepala a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau mobil.b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.c. Cedera akibat kekerasan.d. Cedera akibat peluru.

e. Cedera akibat di lempar.

f. Cedera tumpul karena benda tumpul seperti batu.4. Patofisiologi/Pathways

5. Manifestasi klinisa. Epidural hematomaPenurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi dan peningkatan suhu.

b. Subdural hematomaNyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

c. Perdarahan intraserebral

Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil dan perubahan tanda-tanda vital.

d. Perdarahan subarachnoidNyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.6. PenatalaksanaanPertolongan Pertama Yang Dilakukan Di Lingkungan.a. Pertolongan Pertama Penderita Cedera Pra Rumah SakitFokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit adalah menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit titik berat diberikan pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya perdarahan dan syock, stabilisasi pasien dan transportasi ke rumah sakit terdekat.

1) Airway (jalan nafas)Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus trauma. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas diatas segala masalah yang lainya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah1 airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.

Pengenalan segera terhadap adanya gangguan jalan nafas harus segera di ketahui. Terganggunya jalan nafas dapat secara tiba-tiba dan komplit, perlahan maupun progresif. Pada pasien sadar yang dapat berbicara biasa bisa dijamin memiliki airway yang baik (walaupun sementara), karena itu tindakan pertama adalah berusaha mengajak bicara dengan penderita. Jawaban yang baik menjamin airway dan sirkulasi oksigen ke otak masih baik.

Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain mengecek adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

2) Breathing (membantu bernafas)Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali terjadi pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat pernafasan atau bisa juga penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera kepala justru membuat pusat pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. Sehingga kemampuan dalam memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas kedua.

3) Circulations (Mengontrol perdarahan)Upaya untuk mempertahankan sirkulasi yang bisa dilakukan pra rumah sakit adalah mencegah hilangnya darah pada kasus-kasus trauma dengan perdarahan. Jika ditemukan adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol perdarahan itu dengan memberikan bebat tekan pada daerah luka. Pemberian cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan untuk mengganti hilangnya cairan dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu dipahami dalam tahap ini adalah mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya syok.4) Stabilisasi (mempertahankan posisi)Seringkali perubahan posisi pasien yang tidak benar justru akan menambah cedera yang dialami. Tidak jarang pada kasus cedera tulang belakang yang penanganan stabilisasi tidak baik justru menyebabkan cedera sekunder yang mengakibatkan gangguan menjadi lebih parah dan penyembuhan yang tidak sempurna. Pemasangan bidai pada trauma ekstremitas, long spine board pada kasus cedera tulang belakang dan neck colar pada cedera leher dapat serta alat-alat stabilisasi sederhana yang lain bisa mengurangi resiko kerusakan akibat sekunder karena posisi yang tidak stabil.

5) Transportasi (pengangkutan menuju Rumah Sakit)Sebisa mungkin segeralah penderita di bawa ke rumah sakit terdekat agar penanganan dapat dilakukan secara menyeluruh dengan peralatan yang memadai. Namun perlu di ingat kesalahan dalam transportasi juga menyebabkan cedera yang diderita bisa bertambah berat. Pilihkah alat transportasi yang memungkinkan sehingga stabilisasi dapat di pertahankan, airway, breathing dan cirkulasi dapat selalu di pantau .

b. Peran Masyarakat Awam1) Air Way (Menjaga kelancaran jalan nafas)Tanda obyektif dapat diketahui dengan tiga pengamatan look, listen and feel. Look berarti melihat adanya gerakan pengembangan dada dan listen adalah mendengarkan suara pernafasan. Seringkali suara mengorok dan bunyi gurgling (bunyi cairan) menandakan adanya hambatan jalan nafas. Sedangkan feel adalah merasakan adanya hembusan udara saat klien melakukan ekspirasi yang bisa kita rasakan pasa pipi maupun punggung tangan penolong. Jikas ketiga tanda ini dapat kita temukan artinya pernafasan klien masih ada.

Untuk memperlancar jalan nafas, lakukan upaya dengan dua metode yaitu Haed till dan Chin lift, yaitu tindakan mendorong kepala agak kebelakang dan menganggakt dagu ke atas. Dengfan manuver ini maka jalan nafas akan terbuka sehingga aliran udara bisa lancar sampai di paru. Bila korban dicurigai adanya trauma cervical yang biasanya ditandai dari adanya jejas pada dada, leher, dan muka/wajah, maka dua manuver tadi harus dihindari agar tidak menambah cedera leher yang terjadi tetapi lakukan Jaw Thrust Manoever.

2) Breathing (Menjaga/Membantu Bernafas)Bila airway sudah baik belum tentu pernafasan akan baik, sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah pernafasan penderita sudah adekuat atau belum.

Perubahan pernafasan dapat kita lihat dari pengamatan frekwensi pernafasan normalnya pada orang dewasa frekwensi pernafasan per menit adalah 12 20 kali permenit sedangkan anak 15 30 kali per menit. Sehingga pada orang dewasa dikatakan abnormal bila pernafasan lebih dari 30 atau kurang dari 10 setiap menit. Pada pasien yang didapati mengalami henti nafas, maka tindakan yang dilakukan adalah melakukan pernafasan buatan. Tindakan ini dapat dilakukan melalui mouth to mouth. Tindakan pemberian fasas buatan secara langsung dari mulut ke mulut sudah tidak dianjurkan karena beresio terjadinya infeksi atau penularan penyakit, karena itu penolong harus menggunakan barrier device (alat poerantara).

3) Circulations (Memertahankan Sirkuilasi Dan Kontrol Perdarahan).Seringkali pasien dengan trauma juga mengalami perdarahan. Hall yang harus dilakukan adalah bagaimana agar perdarahan bisa segera dihentikan. Beberapa perdahahan kecil dan perdarahan vena mungkin lebih mudah diatasi, sedangkan perdarahan arteri biasanya sulit diatasi dan dapat segera menyebabkan syock sirkulasi.

Tanda-tanda adanya kehilangan cairan (darah) dapat di ketahui dari pemeriksaan sederhana seperti nadi, tekanan darah dan respirasi. Pada perdarahan ringan kurang dari 750 ml biasanya ditemukan tekanan darah masih normal dan nadi lebih dari 100 kali per menit dan pernafasan meningkat 20 30 kali per menit. Pada perdarahan sedang dan berat Tekanan darah akan menurun disertai peningkatan nadi dan respirasi lebih dari perdarahan ringan.

Perdarahan dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan pada daerah luka. Dengan bebet tekan ini diharapkan pembuluh darah yang rusak akan dapat di tutup sehingga perdarahan akan dapat di kurangi. Penggunaan teknik ikatan (torniquet) tidak dianjurkan karena tindakan ini beresiko mengakibatkan terhentinya vaskularisasi ke ujung ekstremitas yang dapat mengakibatkan kematian jaringan.

4) Evakuasi dan Stabilisasi (Pemindahan dan Mempertahankan Posisi)Kebanyakan para penolong yang tidak tahu cara-cara pengangkatan dan pemindahan penderita yang benar akan membuat cedera semakin parah pada saat pemindahan penderita. Beberapa hal yang harus diperhatikan oelh penolong saat melakukan pemindahan adalah :

a) Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita, jika tidak mampu jangan paksakan

b) Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya.

c) Berjongkok jangan membungkuk saat mengangkat.

d) Tubuh sedekat mungkin dengan beban yang harus diangkat.

Pada pasien dengan trauma cervikal dan tulang belakang pemindahan penderita harus dilakukan dengan hati hati dan tidak dapat dilakukan sendirian. Tiga penolong dengan masing-masing menyangga bagian atas tengah dan bawah akan mengurangi kemungkinan cedera menjadi lebih parah. Dalam memiringkan juga perlu dilakukan secara bersama yang disebut dengan teknik log roll. Untuk menghindari cedera sekunder gunakan bidai, long spine board dan neck colar untuk mensabilkan posisi penderita.

5) Transpotrasi (Pengangkutan Menuju Rumah Sakit)Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa menimbulkan cedera yang lebih parah pada pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala adalah menggunakan ambulan dengan peralatan trauma. Tetapi untuk daerah yang akses pertolongan pertama oleh ambulan tidak bisa cepat, jangan berlama-lama untuk menunggu datangnya ambulan. Pilih mobil dengan kriteria sebagai berikut:

Pilih mobil yang bisa membawa pasien dengan tidur terlentang tanpa memanipulasi pergerakan tulang belakang, penolong leluasa bergerak untuk memberikan pertolongan bila selama perjalanan terjadi sesuatu. Hal yang juga penting selama perjalanan adalah komunikasi dengan pihak rumah sakit. Dengan melaporkan kondisi korban, penanganan yang telah dan sedang dilakukan termasuk meminta petunjuk darii petugas pelayanan gawat darurat rumah sakit tentang apa yang harus dikerjakan bila menemui kesulitan. Pihak unit gawat darurat juga dapat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pertolongan korban sesampainya di rumah sakit.

Prinsip Dasar Penanganan Cedera Kepalaa. Monitor tekanan intrakranial beserta penurunannya.

b. Elevasi kepala 30 derajat

c. Terapi medika mentosa untuk penurunan oedema otak

d. Penurunan aktivitas otak, menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma.

e. Pembedahan dekompresi

f. Terapi Profilaksi terhadap kejang.

Terapi Farmakologia. Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosaHiperventilasi fase akut (option): pada peningkatan tekanan intrakranial pertahankan PaCO2 pada 25-30 mmHg, hindari Pa CO2< 25 mmHg (vasokonstriksi).b. Terapi hiperosmoler -manitol (guideline)Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB.

Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.

Koma barbiturat (guideline)Koma barbiturat dilakukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskular adekuat. Mekanisme kerja barbiturat: menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari

KortikosteroidTidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%).

Nutrisi (guideline)Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.

Terapi prevensi kejang (guideline)Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.

Terapi suportif yang lain : pasang kateter, nasogastrik tube, koreksi gangguan elektrolit, kontrol ketat glukosa darah, regulasi temperatur, profilaksi DVT, ulkus stress, ulkus dekubitus, sedasi dan blok neuro muscular, induksi hipotermi.a. Penanganan cedera kepala ringan: Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.

b. Penanganan cedera kepala sedang (GCS 9-13) Beberapa ahli melakukan scoring Cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma Scale Extended (GCSE ) dengan menambahkan skala Amnesia postrauma (PTA) ) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.

Berdasarkan CT scan dan gejalanya, Batchelor (2003 ) membagi cedera kepala sedang menjadi :

1) Resiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness2) Resiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma3) Resiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah lebih dari sekaliPenanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness.

Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi ) untuk disfungsi kognitif , dan psiko edukasi .c. Cedera kepala berat (GCS 3-8)Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: primari survei: stabilisasi cardio pulmoner, secondary survei : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.7. Diagnostik Testa. Spinal X rayMembantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).

b. CT ScanMemperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

c. MyelogramDilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.

d. MRI (magnetic imaging resonance)Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

e. Thorax X rayUntuk mengidentifikasi keadaan pulmo.

f. Pemeriksaan fungsi pernafasanMengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

g. Analisa Gas DarahMenunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.B. KONSEP KEPERAWATAN1. Pengkajian

a. Identitasb. Keluhan utama : Cedera kepala dengan penurunan kesadaranc. Riwayat kesehatan1) Sakit kepala2) Pusing3) Kehilangan memori4) Bingung5) Kelelahan6) Kehilangan visual7) Kehilangan sensasi8) Muntah proyektil9) GCS menurun10) Tanda rangsangan meningeald. Pemeriksaan fisik1) Bingung / disorientasi2) Penurunan kesadaran 3) Perubahan status mental4) Gelisah5) Perubahan motorik (hemiplegi) 6) Kejang7) Dilatasi pupilDisebabkan oleh penekanan pada syaraf cranial III (okulomotorius)

Edema papilBila TIK meningkat, CSS didesak sepanjang selaput sub arahnoid saraf optic, tekanan ini dihantarkan pada vena sentral retina yang menyilang pada rongga sub arahnoid. Edema head saraf terjadi dan vena retina menjadi terbendungBila trejadi fraktur basis cranii :8) Otorea9) Rinorea10) Racoon eye11) Batle sign12) Penurunan nadi tetapi tekanan sistolik meningkat (Peningkatan ICP)Disebabkan oleh distorsi atau iskemik batang otak dan tidak berhubungan dengan tingkat tertentu dari peninggian TIK. Ini biasanya lambat terjadi dan merupakan tanda berbahaya dalam perjalanan dan perluasan lesi desak ruang.

13) Peningkatan tekanan darah14) Perubahan frekuensi, kedalaman dan irama nafasBeberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control volunteer terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Serebrum juga mempunyai beberapa control pada frekuensi dan irama pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak mengatur automatisasi dari pernafasan.

15) Cheynes stokeAdalah pernafasan periodic dimana setiap pernafasan meningkat sampai puncak dan kemudian menurun sampai keadaan apneu. Fase hiperpneu biasanya lebih panjang dari fase apneu. Pola nafas ini terjadi pada lesi bilateral yang terletak pada hemisfer serebral.

16) Suara nafas melemah atau hilang17) Tanda rangsangan meningeal18) Refleks patologis19) Gangguan nervus cranialis20) Gangguan sirkulasi21) Gangguan respirasi22) Gangguan eliminasie. Istirahat/ aktivitasf. Makanan / cairang. Psikologis, integritas egoh. Interaksi sociali. Pemeriksaan penunjang / Pemeriksaan Diagnostik 1) Foto Rontgen mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.2) CT Scan mengidentifikasi adanya SOL, haemoragi, menentukan ukuran ventrikel, pergeseran jaringan otak.3) MRI (penjelasan sama dengan CT Scan)4) EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis5) PET (Positron Emission Tomografi) menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.6) Pungsi Lumbal, CSS dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arachnoid2. Diagnosa Keperawatana. Gangguan perfusi jaringan b/d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.b. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan intra kranial.c. Perubahan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.d. Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.e. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.f. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.g. Gangguan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot untuk mengunyah dan menelanh. Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.3. Rencana Asuhan KperawatanNoDiagnosa KeperawatanTujuan dan KriteriaIntervensiRasional

1Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.Gangguan perfusi jaringan dapat diatasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... jam dengan KH:

Mampu mempertahankan tingkat kesadaran

Fungsi sensori dan motorik membaik TTV dalam batas normal, suhu 360-37,50c, nadi 16-24x/menit, napas 60-100x/menit, TD 110/90-130/100 mmhg (disesuaikan umur)a. Pantau status neurologis secara teratur.

b. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.

c. Pantau TTV dan catat hasilnya.d. Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).e. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien

f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat kontrola. Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSPb. Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal. Dikatakan sadar bila pasien mampu meremas atau melepas tangan pemeriksa.

c. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan TIK .Peningkatan ritme dan disritmia merupakan tanda adanya depresi atau trauma batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya. Nafas yang tidak teratur menunjukan adanya peningkatan TIKd. Menentukan tingkat kesadarane. Ungkapan keluarga yang menyenangkan klien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa klien koma yang akan menurunkan TIK

f. Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan Oedema cerebral: meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD) dan TIK

2Nyeri akut b/ d peningkatan tekanan intra kranial.Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama... jam diharapkan nyeri kien teratasi dengan kriteria hasil : Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal suhu:360c-37,50c, nadi:60-100x/menit, respirasi:16-20x/menit, tekanan darah: 100/90-130/100 mmhg (sesuaikan umur klien)a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.

b. Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma servikal.c. Berikan kompres dingin pada kepalad. Ajarkan tekhnik napas dalam pada kliene. Kolaborasi pemberian analgetika. Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting untuk menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari terapi.

b. Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya membantu dalam memilih intervensi yang sesuai.

c. Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.d. Memberikan perasaan rilekse. Pemberian obat dibutuhkan untuk nyeri yang tidak tertahankan.

3Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.

Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama ...... jam dengan KH :

Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar. Keadaan umum klien baik (compos metis) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya. Klien bisa berkomunikasi dengan baik.

Klien memberikan respon yang sesuai rangsangan

a. Observasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan proses pikir.

b. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.

c. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.d. Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika mungkin dan tinjau kembali.e. Gunakan penerangan siang atau malam.f. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.

a. Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara bertahap

b. Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.

c. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.d. Mengurangi kelelahan, kejenuhan dan memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensori).

e. Memberikan perasaan normal tentang perubahan waktu dan pola tidur.f. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana panatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah

4Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan KH :

Tidak adanya kontraktur, footdrop. Klien melaporkan secara verbal bahwa fungsi pergerakkannya membaik Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. Klien turut membantu dalam perubahan posisi tubuh. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.

b. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat atau tanda penekanan dari alat tersebut.

c. Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerakd. Ajarkan klien untuk melatih pergerakkane. Kolaborasi dengan tim therapy untuk program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.a. Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

b. Penggunaan sepatu jenis hak tinggi dapat membantu mencegah footdrop, penggunaan bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat membantu mencegah terjadinya abnormal pada bokong.

c. Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.d. Agar membantu proses pemulihan kliene. Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.

5Resiko infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..... jam dengan KH :

Bebas tanda- tanda infeksi seperti tumor, rubor, dolor, kalor. Mencapai penyembuhan luka tepat waktu Tanda vital dalam rentang normal suhu:360c-37,50c, nadi:60-100x/menit, respirasi:16-20x/menit, tekanan darah: 100/90-130/100 mmhg (sesuaikan umur klien) a. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.b. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.c. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas atas.d. Ajarkan klien untuk meminimalkan perubahan posisi yang berpotensi mencederai daerah traumae. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.a. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.b. Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi.c. Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi.d. Posisi tubuh yang salah akan mengakibatkan trauma baru pada trauma yang telah ada

e. Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran LCS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.

6Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..... jam ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan KH :

Menunjukan membran mukosa lembab

Turgor kulit elastis

Haluaran urine adekuat

Bebas oedema. TTV dalam batas normal suhu 360-37,50c, nadi 60-100x/s, RR 16-24x/s, TD 110/90-130/100mmhg (disesuaikan usia klien)a. Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.b. Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.c. Berikan air tambahan/ bilas selang sesuai indikasid. Ajarkan klien untuk memantau cairan yang masuk dan keluar dari tubuhnyae. Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.a. Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah kekurangan / kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.

b. Kehilangan urinarius dapat menunjukan terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.

c. Dengan formula kalori lebih tinggi, tambahan air diperlukan untuk mencegah dehidrasi.d. Klien peru dilibatkan secara langsung agar klien bisa menyesuaikan jumlah cairan yang harus diminume. Hipokalimia/ fofatemia dapat terjadi karena perpindahan intraseluler.

7Gangguan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan

Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama ...... jam dengan KH :

Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi rambut rontok dan rapuh serta kulit kering Bising usus 5-25x/menit

Turgor kulit elastis

Klien tidak mengalami kelemahan Peningkatan berat badan sesuai tujuan.a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi.

b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara hiperaktif.

c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT.

d. Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur.e. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah.

f. Kolaborasi dengan ahli gizi.a. Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.b. Fungsi bising usus pada umumnya tetap baik pada kasus cidera kepala. Jadi bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

c. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.

d. Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.

e. Perdarahan subakut/ akut dapat terjadi dan perlu intervensi dan metode alternatif pemberian makan.

f. Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori.

8Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.

Tidak terjadi gangguan pola nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... jam dengan KH :

Memperlihatkan pola nafas normal/ efektif 16-24x/menit

Bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien. Klien bernapas dengan rileks

Irama pernapasan teratur

Klien melaporkan secara verbal tidak ada masalah pernapasana. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.

c. Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.

d. Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara- suara tambahan yang tidak normal. (krekels, ronki dan whiszing).e. Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.

f. Berikan oksiegen sesuai indikasi.a. Perubahan dapat menunjukan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. b. Untuk memudahkan ekspansi paru dan menjegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.

c. Mencegah/ menurunkan atelektasis.d. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral atau menandakan adanya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi pada cidera kepala).

e. Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.

f. Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan menggunakan ventilator mekanis.

Daftar pustaka

Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Carpenito-Moyet, Lynda juall, buku saku diagnosis keperawatan, jakarta, penerbit buku kedokteran, EGC, 2000Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC

NANDA.(2012-2014).Nursing Diagnosis : Definition And Clasification. Philadelphia

Nurjannah, Intansari. 2008. Fast Methods Of Formulating Nursing Diagnoses. Yogyakarta : Macomedia.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patifisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.Vol.2. Jakarta: EGC.Syaifuddin. 2009. Fisiologi Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Salemba Medica.Cedera kepala

Stress

Kerusakkan sel-sel otak

Gangguan auto regulasi

Peningkatan katekolamin peningkatan sekresi asam lambung

Peningkatan Rangsangan

simpatis

Aliran darah ke otak

menurun

Peningkatan tahanan vaskuler,

sistemik dan tekanan darah meningkat

02 menurun menyebabkan gangguan metabolisme

Mual, muntah

Penurunan tekanan pembuluh darah pulmonal

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Asam laktat meningkat

Edema otak

Peningkatan tekanan hidrostatik

Gangguan perfusi jaringan serebral

Kebocoran cairan kapiler

Cardiac output menurun

Oedema paru

Gangguan perfusi jaringan

Difusi o2 terhambat

Gangguan pola nafas

Hipoksemia, hiperkapnea