Tuberkulosis Pada Anak
-
Upload
jawahir-madeaming -
Category
Documents
-
view
147 -
download
11
Transcript of Tuberkulosis Pada Anak
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
1
Jawahir Bin Madeaming
11-2011-150
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Anak Rs Panti Wilasa Dr.Cipto
Semarang
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Pembimbing: dr.Sedyo Wahyudi SpA
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
2
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “tuberkulosis anak” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas saya
selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr
Cipto” Semarang periode 8 Oktober – 15 Desember 2012.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Sedyo Wahyudi Sp.A , selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Ucapan
terima kasih juga saya tujukan kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan
referat ini.
Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan referat ini masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki. Oleh karena itu kritik dan saran serta masukan yang membangun terhadap referat ini akan
diterima dengan tangan terbuka semoga kedepannya akan lebih baik. Akhirnya, harapan penulis
semoga referat ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca.
Semarang, November 2012.
Penulis
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
3
Daftar isi
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
ISI
Pendahuluan…………………………………………………………………………………………………… 1
Epidemiologi…………………………………………………………………………………………………… 2
Etiologi ………………………………………………………………………………………………………….. 7
Pathogenesis dan perjalanan alamiah…………………………………………………………………… 8
Diagnosis ……………………………………………………………………………………………………….. 13
Manifestasi klinis…………………………………………………………………………………….. 14
Pemeriksaan penunjang……………………………………………………………………….….. 17
Penegakan diagnosis…………………………………………………………………………….… 23
Penatalaksanaan……………………………………………………………………………………….…….. 26
Pencegahan…………………………………………………………………………………………………… 37
Tuberkulosis milier…………………………………………………………………………………………….. 41
Tuberkulosis perinatal………………………………………………………………………………….…….. 43
Daftar pustaka…………………………………………………………………………………………….….. 46
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
4
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah lama dikenal manusia. Pada peninggalan Mesir
kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dewasa dengan gibbus. Kuman Mycobacterium
tuerculosis penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun
yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obat antituberkulosis
yang poten saat ini, namun TB masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia.
Sepanjang desawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 95%
kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB masih merupakan masalah yang menonjol.
Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak
di dunia.1
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB
anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta TB
pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak
seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan
mikrobiologis. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik.
Seringkali, sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme
penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun kultur. Di negara berkembang, dengan
fasilitias tes Mantoux dan foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.1,2
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di
lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber
penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif, sehingga
penanggulangan TB dalam program TB nasional selama ini lebih ditekankan pada pengobatan TB
dewasa. Akibatnya, penanggulangan TB anak kurang diperhatikan.1,2
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang
diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus
dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.
Peningkatan insidens infeksi HIV dan aquired immunodeficiency virus (AIDS) di berbagai negara turut
menambah permasalahan TB anak. Peningkatan insidens HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan
koinfeksi dan reaktivasi TB, serta peningkatan kejadian multidrug resistance (MDR).1.2
Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, diperlukan usaha penyegaran kembali TB anak. Bagi para
dokter anak maupun dokter umum yang sering menangani kasus TB anak, pemahaman yang benar
tentang TB anak harus dikuasai. Pemahaman terhadap TB anak harus didasari oleh pengertian tentang
patogenesis infeksi TB primer yang mempunyai lika liku yang kompleks.
Pendahuluan
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
5
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul dan
menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju, salah satunya adalah TB. WHO
memperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M.tuberculosis
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru merupakan
masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis
tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun
1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.1,2
Sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak mengakibatkan penanganan TB anak terabaikan, sehingga
sampai beberapa tahun TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di banyak negara,
termasuk Indonesia. Akan tetapi beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang dilakukan di negara
berkembang, penanggulangan TB anak cukup mendapat perhatian. Dari beberapa negara Afrika,
dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB) 7%-8% pada anak yang dirawat dengan
pneumonia berat akut dengan dan tanpa infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan TB
merupakan penyebab kematian pada kelompok anak tersebut.3,4,5 Dilaporkan juga dari Afrika Selatan
bahwa pada anak-anak yang sakit TB didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%.6,7
Masalah yang dihadapi saat ini adalah peningkatan kasus TB dengan pesat, peningkatan kasus
penyakit HIV/AIDS, juga meningkatnya kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di
Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam
pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi
vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%. Secara umum daya proteksi
BCG diperkirakan hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti milier
dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan TB miler 78% pada anak yang
mendapat vaksinasi.8
Salah satu metode untuk estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas atau di suatu negara
dilakukan dengan menilai ARTI (annual risk of tubeculosis infections) di populasi umum. Nilai ARTI
menggambarkan proporsi individu di komunitas yang berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam
kurun waktu satu tahun, diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum.8 Dilain pihak, ARTI
merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung pada prevalensi kasus TB yang infeksius
dan efikasi dari aktivitas pengendalian TB seperti penemuan kasus (case finding) dan pengobatan.9
Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Risiko infeksi TB tergantung
pada lamanya terpajan, kedekatan dengan kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber. Risiko
tinggi untuk sakit TB antara lain umur kurang dari 5 tahun (balita), malnutritisi, infeksi TB baru, dan
imunosupresi terutama karena HIV.8,9
Epidemiologi
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
6
Morbiditas dan mortalitas
Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira 100.000 kematian karena TB.
Diantara penyakit infeksi, TB merupakan penyebab kematian nomor satu dan menduduki tempat
ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
infeksi saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 5-15 tahun, merupakan
kelompok usia produktif. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.10, 11
Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta kasus dan 450.000 kematian karena TB
pada anak usia <15 tahun di dunia.12 Tahun 1994 diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0–14
tahun akan mencapai 1 juta kasus di tahun 2000, setengah dari jumlah kasus tersebut berada di Afrika.
Berarti ada peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990.13 Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB
di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan hampir 90% kematian tersebut terjadi di negara berkembang.
Pada tahun 2000 jumlah kematian diperkirakan 3,5 juta, dan kasus baru meningkat setiap tahun. Pada
tahun 1990 dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus
per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun
2000, dan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.1, 2
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah
5% sampai 6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak usia <15
tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Pad survei nasional di Inggeris dan Wales yang berlangsung
selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak usia <15 tahun menderita TB.14 Dari
Albama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (tahun 1983-1993) didapatkan 171 kasus TB anak
usia <15 tahun. Di negara berkembang, tuberkulosis pada anak usia <15 tahun adalah 15% dari seluruh
kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.1,2
Hasil penelitian di dua kecamatan di Kotamadya Bandung tahun 1999–2001, didapatkan 4,3%
(63/1482) anak usia 6–59 bulan menderita TB.15 Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) ditemukan 1086 kasus TB dengan angka kematian
bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan
didapatkan 16,5%.16
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru
klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun 0,76% dan
antara 5–14 tahun 0,53%.17
E p i d
e m i o
l o g i
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
7
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%), diikuti
usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari
tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat dan Kanada,
peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun 40%. Di Asia
Tenggara selama 10 tahun, diperkirakan jumlah kasus baru 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai
infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB
(0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus), 10% dari seluruh kasus
terjadi pada anak berusia <15 tahun.18,19
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal,
yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak
dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self
treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah anak berusia <15
tahun adalah 40%- 50% dari jumlah seluruh populasi (Gambar 1).1,2
Gambar 1 : jumlah populasi berdasarkan usia di negara berkembang 20
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583 000 orang
pertahun dan menyebabkan kematian sekitar 140 000 per tahun. WHO memperkirakan bahwa TB
merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan dewasa.1,2
Sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, maka data TB anak sangat terbatas termasuk di
Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya dengan cara
membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya konsensus TB, diharapkan
diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat
diperkecil dan angka prevalens pasti dapat diketahui.1,2
E p i d
e m i o
l o g i
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
8
FaKtor risiKo
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang rentan bila
terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious TB), dan setelah beberapa
lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor
risiko menjadi sakit TB.21 Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).2
RisiKo infeKsi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene
dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti
perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.2
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius,
terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko
tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.2
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi
udara yang tidak baik.2
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini
dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa
hal dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak umumnya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum.
Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah
parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.2
Penelitian mengenai faktor risiko terjadinya infeksi TB di Gambia mendapatkan prevalensi uji tuberkulin
positif pada anak laki laki dan perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi
pada anak laki laki. Hal ini diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada
lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap
respon hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya kontak dengan pasien TB merupakan faktor risiko
utama, dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah (household
E p i d
e m i o
l o g i
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
9
contact) dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan untuk terjadinya infeksi TB di
keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian),
lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di
malam hari, terutama bila satu tempat tidur.21
RisiKo saKit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang
dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah
usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB
karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB akan berkurang
secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% diantaranya
akan menjadi sakit TB, pada usia 1-5 tahun menjadi sakit 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%.
Anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6
bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari
1 tahun) dan timbul gejala akut.2
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan
imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan
imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada
epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat.
Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum
menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah
virulensi dari M. tuberkulosis dan dosis infeksi, namun secara klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan.2
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko
penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang dorman
mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara
bermakna di beberapa negara. Diperkirakan risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan
tuberkulin positif 7%-10% per tahun, dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit TB
5%-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan
diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah
menurun pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi
bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multiobat (multi drug resistance =MDR),
bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim (extreme drug resistance =XDR).2
E p i d
e m i o
l o g i
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
10
Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid
dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel
bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam –
alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan
protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa,
38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang
tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya
antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
BiomoleKuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan
sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda
genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria
yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi
antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan. Gen pab
dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein
kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan
gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria
antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan
dengan teknik PCR dan RFLP.
Etiologi
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
11
Paru merupakan porte d’entre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil
(<5µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada
sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik,
sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi dan koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebur fokus primer Ghon.1,2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional,
yaitu kalenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfeadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).1,2
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB.22 Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu 2-
12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.1
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga
jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin mengalami perkembangan
sensitivitas.1 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada
saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti, akan tetapi sejumlah kecil kuman TB
dapat hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity,
CMI).1,2
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara
sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Patogenesis dan perjalanan alamiah
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
12
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.1,2
Kompleks primer juga dapat mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh
fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang besat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).1,2
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial
pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kalenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.1,2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran
hematogen langsung, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.1,2
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.1,2
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagi
fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis TB, TB tulang, dan
lain-lain.1,2
Pato
genesis &
perjalan
an alam
iah
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
13
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute
generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar ke
dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut yang disebut dengan TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah 5 tahun (balita)
terutama di bawah 2 tahun.1,2
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman
yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh
darah akan tersangkut di ujung kapiler dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan
granuloma.1,2
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskular pecah dan menyebar ke seluruh
tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.1,2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi
komplikasi. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3% penyebaran limfohematogen
akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. TB
endobronkial lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional dapat terjadi dalam
waktu yang lebih lama (3-9 bulan). TB paru kronik sangat bervariasi, tergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tapi sering pada remaja dan
dewasa muda. 1,2
Tuberkulosis ekstrapulmonal yang biasanya juga merupakan manifestasi TB pascaprimer dapat terjadi
pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB sistem skeletal (tulang dan sendi) terjadi pada 5-10% anak
yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. Patogenesis yang kompleks ini harus benar-
benar difahami untuk membantu mendeteksi gejala dan melakukan diagnosis yang benar (lihat
gambar 2). 1,2
Pato
genesis &
perjalan
an alam
iah
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
14
Gambar 2: bagan patogenesis tuberkulosis1,2
*1 : penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenis spread). Kuman
TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari
*2 : kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfeadenitis regional
*3: tuberkulosis primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan
dapat menjadi sakit TB primer
*4 : sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya dapat melalui reaktivasi
fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar
(eksogen)
Pato
genesis &
perjalan
an alam
iah
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
15
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren
dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ (lihat gambar 3).2
Gambar 3: patogenesis tuberculosis2
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu
setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang
tinggi dan eritema nodosum, tapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit
TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama
setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningits TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama
setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah
infeksi primer. Sebagian besar manifestasi sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1
tahun pertama, dan 90% kematian TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosa TB.2
Pato
genesis &
perjalan
an alam
iah
Kompleks primer
sebagian besar
sembuh sendiri (3-
24 bulan)
Pleural effusion
(3-6 bulan)
Erosi bronkus
(3-9 bulan)
Meningitis TB
milier
(dalam 12 bulan)
TB tulang
(dalam 3 tahun)
TB ginjal
(setelah 5
tahun)
INFEKSI
HIPERSENSITIVITAS KEKEBALAN DIDAPAT
TES TUBERKULIN POSITIF
2-12 minggu
(6-8 minggu)
1 tahun
Risiko tertinggi untuk
Komplikasi lokal dan diseminasi
Risiko menurun
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
16
Diagonsis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M.tuberculosis pada pemeriksaan sputum,
bilasan lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan
menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary)
dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).1,2
Kesulitan pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa
karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kalenjar limfe hilus dan parenkim paru
bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan TB paru tidak seberat pada dewasa. Basil tahan asam (BTA)
baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5,000 kuman dalam 1 ml spesimen
dahak.1,2
Kesulitan kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi
kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum
tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan
pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen. Berwarna hijau kekuningan, dengan
volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya
dahaknya akan ditelan sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastric tube
(NGT), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak nyaman bagi pasien.1,2
Karena berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis,
yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena ditemukannya TB
dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium,
dan foto rontgen dada, adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin
positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (suggestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan
anak telah sakit TB.1,2
Ada beberapa jenis lesi TB paru (lihat tabel 1), dan bentuk klinis TB pada anak (tabel 3)
Lokasi lesi Jenis lesi
Kelenjar limfe hilus, paratrakeal, mediastinum
Parenkim fokus primer, pneumoniae, atelektasis, tuberkuloma, kavitas
Saluran napas air trapping, penyakit endobronkial, trakeobronkitis, stenosis bronkus, fistula
bronkopleura, bronkiektasis, fistula bronkoesofagus
Pleura efusi, fistula bronkopleura, empiema, pneumotoraks, hemotoraks
Pembuluh darah milier, perdarahan paru
Tabel 1: lesi tuberkulosis paru2
Diagnosis
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
17
Jenis Bentuk klinis
Infeksi TB uji tuberkulin positif tanpa kelainan klinis, radiologis, dan laboratorium
Penyakit TB
paru
TB paru primer (pembesaran kelenjar hilus dengan atau tanpa kelainan parenkim)
TB paru progresif (pneumoniae, TB endobronkial)
TB paru kronik (kavitas, fobrosis, tuberkuloma)
TB milier
Penyakit TB
ekstaparu
kelenjar limfe
otak dan selaput otak
tulang dan sendi
saluran cerna, termasuk hati, kantung empedu, pankreas
saluran kemih termasuk ginjal
kulit
mata
telinga dan mastoid
jantung
membran serous (peritoneum, perikardium)
kalenjar endokrin (adrenal)
saluran napas bagian atas (tonsil, laring, kelenjar endokrin)
Tabel 2: bentuk klinis tuberkulosis pada anak2
Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis sangat bervariasi dan bergantung pada
beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta interaksi antara keduanya.
Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung
pada usia dan kompetensi imun, serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil
seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto
toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.2
Manifestasi sistemiK
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan TB tidak memperlihatkan
gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah,
manifestasi klinis TB umumnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat
berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali orang tua tidak dapat menyebutkan secara pasti
kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai muncul. Tuberkulosis yang mengenai organ
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
18
manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ
yang terkena. Keluhan sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumor necrosis-factor- (TNF-
2
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar
antara 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup
lama. Manifestasi sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik
(turun, tetap, atau naik tapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.2
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang menonjol.
Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tapi pada anak bukan merupakan
gejala utama. Pada anak, gejala batuk berulang lebih sering disebabkan oleh asma, sehingga jika
menghadapi anak dengan batuk kronik berulang (BKB), telusuri dahulu kemungkinan asma. Fokus TB
paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Akan
tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus
sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena
anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik
akut (IRA) berulang. Gejala BKB dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain, misalnya sinusitis,
refluks gastroesofageal, pertusis, rhinitis kronik, dan lain-lain (lihat tabel 3). Gejala sesak jarang dijumpai,
kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB milier, efusi pleura, dan
pneumonia TB.2
Bayi Anak kecil Anak besar
refluks gastroesofagus hiperresponsif saluran napas pascainfeksi virus Asma
infeksi asma post-nasal drip
malformasi kongenital perokok pasif Merokok
penyakit jantung bawaan refluks gastroesofagus TB pulmoner
perokok pasif benda asing Bronkiektasis
polusi lingkungan bronkiektasis batuk psikogenik
asma
Tabel 3: penyebab batuk kronik berulang pada bayi dan anak2
Manifestasi spesifiK organ/loKal
Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf
pusat (SSP), tulang, dan kulit
Kelenjar limfe superficialis
Pembesaran kelenjar limfe superficialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang sering
terkena adalah kelenjar limfe koli anterior atau posterior, tapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal,
submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kalenjar yang dijumpai biasanya multipel,
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
19
unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling
melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul
kelenjar limfe (perifocal inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan oleh
penyakit lain (lihat tabel 4).2
Penyebab Contoh penyakit
Infeksi infeksi respiratorik berulang
demam tifoid
tuberkulosis
AIDS
mononukleosis
CMV
rubella
varisela
rubeola
histoplasmosis
toksoplasmosis
Keganasan penyakit Hodgkin
limfoma non-Hodgkin
kelainan histiolitik
Penyakit autoimun reumatoid artritis
lupus eritematosus
dermatomiositis
Gangguan penyimpanan lemak penyakit Gaucher
penyakit Niemann-Pick
Lain-lain sarkoidosis
serum sickness
Reaksi obat
Tabel 4: diagnosis banding pembesaran kelenjar limfe superfisialis2
Susunan saraf pusat (SSP)
Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini merupakan penyakit yang berat
dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala,
penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang. Proses patologis meningitis TB
biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala neurologis lain berhubungan dengan gangguan
saraf kranial.2
Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinisnya lebih samar dari meningitis TB
sehingga sering terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah terjadi lesi yang menyebabkan proses desak
ruang, maka manifestasi klinisnya sesuai dengan letak lesi.2
Sistem sKeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada sendi yang
terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik biasanya tidak nyata. Pada
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
20
bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan
vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi
pada anak daripada orang dewasa. TB sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB, koksitis
TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya muncul secara perlahan dan samar
sehingga sering lambat terdiagnosis. Manifestasi klinis dapat muncul pascatrauma yang berperan
sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah
lanjut dan iriversibel. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh, dan
sulit membungkuk.2
Kulit
Makanisme terjadinya manifestasi TB pda kulit dapat melalui dua cara, yaitu inokulasi langsung (infeksi
primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB
pascaprimer). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam
bentuk skrofuloderma. Skrofuloderma sering ditemukan di leher, wajah, di tempat yang mempunyai
kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan lateral leher.2
PemeriKsaan penunjang
Uji tuberKulin
tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika
disuntikkan intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam
tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi
di lokasi suntikan. Hal ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya
sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat
menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.2
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosa TB yang sudah sangat lama dikenal, tapi hingga saat ini masih
mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan
Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (purifies protein derivaitive) dari biofarma.Uji tuberkulin cara
Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian
volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian siameter transversal indurasi diukur
dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi
sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain
ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel atau bula.2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
21
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa
menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah tapi
masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M.atipik. Bacille
Calmette-Guerin (BCG) merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M.bovis yang dilemahkan,
sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif tidak sekuat infeksi
alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang
dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.2
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15mm dinyatakan uji tuberkulin
positif, kemungkinan besar oleh infeksi TB alamiah, tapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan
tetapi bila ukuran indurasi ≥15mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika
membaca hasill tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.2
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan
positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (terutama dan lain-lain), keadaan
anergi, atau reaksi silang dengan M.atipik. Bila mendapat hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat
diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan
penyuntikan dilakukan di lokasi lain, minimal jarak 2 cm.2
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (immunocompromised), maka cut off-point hasil
positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan immunocompromised ini dapat dijumpai pada
pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien-pasien yang
mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak erat
dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan ≥5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya
tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili; measles, mumps, rubella (MMR);
dan varisela, karena dapat terjadi anergi (negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin)
Pada reaksi uji tuberkulin, dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu tertentu dengan
derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat suntikan. Juga pernah
dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati regional, konjunktivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura,
yang dapat disertai demam walaupun jarang terjadi. Tuberkulosis pada anak tidak selalu
bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada
anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif
dapat diulang setiap tahun.2
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut; (1) infeksi alamiah TB yaitu
infeksi TB tanpa sakit (infeksi TB laten), infeksi TB dan sakit TB, TB yang telah sembuh, (2) imunisasi BCG
(infeksi TB buatan), (3) infeksi mikobakterium atipik. Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga
keadaan; (1) tidak ada infeksi TB, (2) dalam masa inkubasi infeksi TB, (3) anergi.2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
22
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh tidak
memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya telah terinfeksi TB. Beberapa keadaan
dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang,
sitostatik, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemakaian vasinasi dengan
vaksin virus hidup. Yang dimakasudkan dengan influenza adalah infeksi virus influenza, bukan batuk
pilek panas biasa yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai selesma (common
cold). Walaupun demikian, pada keadaan-keadaan yang disebutkan dapat terjadi uji tuberkulin
positif, sehingga pada pasien-pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji tuberkulin jika
dicurigai TB. Uji tuberkulin positif palsu juga dapat ditemukan pada keadaan penyuntikan dan
interpretasi yang salah, demikian juga dengan negatif palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang
tidak baik sehingga potensinya menurun (lihat tabel 5).2,23
Hasil pemeriksaan penyebab
Positif palsu penyuntikan salah
interpretasi tidak betul
reaksi silang dengan Mycobacterium atipik
Negatif palsu masa inkubasi
penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
interpretasi tidak betul
menderita ruberkulosis luas atau berat
disertai infeksi virus (campak, rubela, cacar air, influenza, HIV)
kekurangan komplemen
demam
leukositosis
malnutroso
sarkoidosis
pasoriasisterkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
uremia
Tabel 5: sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu uji tuberkulin23
Berdasarkan penilitian di RSCM-Jakarta, dari 49 pasien TB dengan biakan positif yang berstatus gizi
buruk, hanya 24 pasien yang menunjukkan hasil uji tuberkulin negatif palsu (anergi). Hal ini
menunjukkan bahwa anergi tidak selalu terjadi pada keadaan yang berpotensi menyebabkan
immunocompromised. Pada uji tuberkulin ulangan yang dilakukan 2 bulan setelah terapi dan pasien
mengalami perbaikan klinis, 10 dari 24 pasien anergi tersebut menunjukkan hasil positif. Keadaan ini
menunjukkan bawha anergi tidak menetap. Untuk memudahkan pemahaman mengenai konsep
infeksi TB dan sakit TB, klasifikasi yang dibuat oleh American Thoracic Society (ATS) dan Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) Amerika mungkin dapat membantu (lihat tabel 6).2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
23
Kelas Pajanan (kontak
dengan pasien TB aktif)
Infeksi (uji tuberkulin
positif)
Sakit (uji tuberkulin, klinis,
dan penunjang positif
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +
Tabel 6: klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosisnya2
Uji interferon
Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya penyakit infeksi dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah pemeriksaan untuk menemukan kuman patogen di
dalam spesimen, misalnya dengan pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase
chain reaction (PCR). Kedua adalah pemeriksaan untuk mendeteksi respons imun terhadap kuman
tersebut. Pemeriksaan untuk respons imun terhadap penyakit infeksi terdiri dari pemeriksaan respons
imun humoral (enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA), dan pemeriksaan respon imun selular.
Pada penyakit infeksi non-TB, yang banyak dipakai adalah pemeriksaan respon imun humoral yaitu
pemeriksaan serologi. Pada infeksi TB, respons imun selular lebih memegang peran, sehingga
pemeriksaan diagnostik yang lebih representatif adalah uji tuberkulin.2
Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang minimal dua kali untuk diagnostik,
yaitu saat penyuntikan dan saat pembacaan. Selain itu, pemeriksaan imunitas selular yang ada
biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Oleh karena itu, telah
dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang lebih praktis yaitu dengan memeriksa
spesimen darah, dan diharapkan dapat membedakan infeksi TB dan sakit TB. Pemeriksaan yang
dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma release assay, IGRA). Terdapat dua jenis IGRA,
pertama adalah inkubasi darah dengan early secretory antigenic target-6 (ESAT-6), dan culture filtrate
protein-10 (CFP-10) dengan nama dagang QFT/QFT-G (Quantiferon TB dan Quantiferon TB Gold).
Kedua adalah pemeriksaan enzyme-linked immuno spot dengan nama dagang T-spot TB.2
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu, di antaranya antigen
dari kuman TB. Bila sebelumnya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB (pasien telah
mengalami infeksi TB), maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma, yang kemudian
dikalkulasi. Dari hasil kalkulasi tadi diharapkan dapat dilakukan penentuan cutt-off point yang
membedakan infeksi dengan sakit TB. Antigen spesifik yang digunakan untuk uji ini adalah ESAT-6 dan
CFP-10. Akan tetapi, uji klinis menunjukkan bahwa uji QFT TB memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tidak terlalu baik, terlebih untuk pasien anak. Kemudian dikembangkan uji QFT-G, hanya saja jumlah
penilitian yang menyatakan efektifitas pemeriksaan ini pada pasien anak <17 tahun masih terbatas.
Sejauh ini hasilnya juga belum menggembirakan, sehingga harapan untuk dapat membedakan infeksi
TB dengan sakit TB belum dapat dicapai.2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
24
Selain itu, pemeriksaan imunitas selular lain dengan spesimen darah, yaitu enzyme-linked immunospot
interferon gamma untuk TB (ELISpoT TB). Cara kerjanya adalah dengan kalkulasi interferon gamma
yang dihasilkan oleh sel T CD4 dan CD8 yang tersensitisasi oleh M.tuberculosis. Pemeriksaan ini dapat
membedakan antara hasil positif yang disebabkan oleh infeksi M.tuberculosis, oleh BCG, dan oleh
infeksi M.atipik. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut hingga saat ini belum dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB.2
Radiologi
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai
pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi secara neurologis) tidak
dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan
demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendignosis TB, kecuali
gambaran millier. Secara umum, gambaran radiologis yang suggestif TB adalah sebagai berikut;
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, atelektasis, kavitas, efusi pleura, dan tuberkuloma.2
Foto toraks tidak hanya cukup dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai dengan foto
lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai
pegangan umum, jika dijumpai ketidaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang
berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila
perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CT-scan).2
Serologi
Pada awalnya, pemeriksan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
Berbagai penilitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigen-antibodi spesifik untuk
M.tuberculosis ELISA dengan menggunakan purified protein derivative (PPD), A60, 38kDa,
lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronchus
and brochoalveolar lavage,BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Juga yang belakangan ini
diteliti adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody (anti IFN-gamma). Beberapa pemeriksaan
serologis yang ada antaranya adalah PAP TB, mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-
lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat memenuhi
harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penilitian untuk pemakaian
klinis praktis.2
MiKrobiologi
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin, dan gambaran
radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis.
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
25
Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis
apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.tuberculosis. Pemeriksaan
ini sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai
gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari.
Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan
memerlukan waktu lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tapi biayanya mahal dan secara teknologi
lebih rumit.1,2
Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan PCR merupakan
tehnik amplifikasi urutan deoxyribonucleic acid (DNA) yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini,
kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu
kuman M.tuberculosis pada bahan pemeriksaan, sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.2
Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan PCR sebagai
pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi tingkat sensitivitas pada pemeriksaan PCR di berbagai
laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari kuman yang berasal dari
pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif pun tidak
selalu menunjukkan kuman yang aktif, karena kuman yang dorman atau persisten dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan ini. Selain itu, teknologi yang digunakan masih tergolong rumit, sehingga
menyebabkan tingginya biaya PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR masih
digunakan untuk keperluan penilitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin. Penilitian
lebih lanjut untuk melihat sensitivitas dan spesifisitasnya pada anak masih diperlukan.2
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan diperlukannya suatu sistem kontrol standar mutu
yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai pemeriksaan klinis rutin. Pada pasien TB dewasa,
metode ini telah terbukti sensitivitas dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya
dalam diagnosa TB anak masih kontroversial dan memerlukan penilitian lebih lanjut. Dalam
pemeriksaan PCR, perlu diperhatikan aspek pemilihan spesimen. Seperti kita ketahui, kuman TB ada di
dalam darah hanya dalam waktu singkat selama masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan
spesimen darah tidak bermanfaat. Spesimen yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung,
cairan pleura, atau CSS.2
Patologi anatomi (PA)
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi mikrobiologi adalah
pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA dapat
menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis
kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukan multinucleated giant cell
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
26
(sel datia langerhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan
(kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia langerhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.2
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendalanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah limfadenopati kolli.
Idealnya kalenjar diambil secara utuh agar gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat.
Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi M.atipik dan limfadenitis BCG yang
secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya, seringkali KGB kolli ini diambil
dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya, spesimen yang diambil dengan menggunakan jarum
halus kurang representatif karena jaringan yang diambil hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati
pemeriksaan sitologi yang sulit untuk dibuat kesimpulan pasti.2
PenegaKan diagnosis
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa
aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks.
Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat terindentifikasi, sehingga analisis yang
saksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang
merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau pemeriksaan PA TB. Hanya saja diagnosis
pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary),
dan lokasi kuman di daerah perenkim yang jauh dari bronkus sehingga hanya 10-15% pasien TB anak
yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis TB dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, atau pemeriksaan penunjang tunggal misalnya
hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak
mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.2
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat pedoman
diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO
(Organisasi Kesehatan Dunia), Stegan dan Jones, dan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi PP IDAI.
WHO membuat kriteria untuk membuat diagnosis TB pada anak (lihat tabel 7).2,23
Diagnosis kriteria diagnosis
Dicurigai
tuberkulosis
anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
anak dengan:
- keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
- berat badan menurun, baryk, dan mengi yang tidak membaik dengan
pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan
- pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
27
Mungkin
tuberkulosis
anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
- uji tuberkulin positif (10mm atau lebih)
- foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
- pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis
- Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
Pasti
tuberkulosis
ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
identifikasi mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan
Tabel 7: pentunjuk WHO untuk diagnosis TB23
UKK Respirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh Departement Kesehatan RI (Depkes RI).
Dalam alur diagnosis tersebut terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Bila terpenuhi tiga atau lebih,
anak sudah dapat di diagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaannya di lapangan, alur diagnosis
tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.2
Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan didukung oleh WHO,
membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu tugas Pokja ini adalah
mengembangkan sistem skoring yang baru untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis TB
pada anak (lihat tabel 8).1,2
Parameter 0 1 2 3
kontak TB tidak jelas - laporan keluarga
(BTA negatif atau
tidak jelas)
BTA+
Uji tuberkulin negatif - - positif (≥10mm,
ayau ≥5mm
pada keadaan
imunosupresi)
Berat
badan/keadaan
gizi
- BB/TB <90% atau
BB/U<80%
klinis gizi buruk
atau BB/TB <70%
atau BB/U>60%
-
Demam yang tidak
diketahui
penyebabnya
- ≥2 minggu - -
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe kolli,
aksila, inguinal
- ≥1cm, jumlah >1,
tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
- ada
pembengkakan
- -
Foto toraks normal/kelainan
tidak jelas
gambaran
suggestif TB
- -
Tabel 8: sistem skoring diagnosis tuberkulosis anak1,2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
28
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sistem skoring ini yaitu; (1) diagnosis
dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter, (2) bila dijumpai gambaran milier atau skofuloderma,
langsung didiagnosis TB, (3) berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname), (4) demam
dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku, (5) foto toraks bukan alat diagnosis utama
pada TB anak, (6) gambaran suggestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma.
Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus, (7) mengingat
pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di
tempat pelayanan kesehatan, (8) pada anak yang diberikan imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat
BCG (≤7 hari) harus dievaluasi dengan sisitem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik,
(8) diagnosis kerja anak ditegakan bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14).2
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau tanda-tanda
bahaya seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti
sesak napas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus dan koksitis, pasien harus
dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak.2
Sistem skoring dikembangkan terutama untuk penegakan diagnosis TB anak pada sarana kesehatan
dengan fasilitas yang terbatas. Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem skoring hanya
digunakan sebagai uji tapis. Setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lain, seperti bilas
lambung (BTA dan kultur M.tuberculosis), patologi anatomi, pungsi pleura, pungsi lumbal, CT-scan,
funduskopi, serta pemeriksaan radiologis untuk tulang dan sendi.2
D i a g n
o s i s
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
29
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian
medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk
dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan, sumber infeksi juga harus mendapatkan
pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara teratur dalam
jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa
obat diminum, dan sebagainya.2
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah: (1) obat TB diberikan dalam paduan obat
yang tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, (2) pemberian gizi yang adekuat, (3) mencari
penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.1
MediKamentosa
Obat TB yang digunaKan
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisisn (R), isoniaziad (H), pirazinamid (Z), etambutol (E),
dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid
(PAS), cycloserin terizidone, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikasin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat
bakterisid, sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif (kuman yang sedang
berkembang), dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel
dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang
sangat rendah.2
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15mg/kgBB/hari, maksimal
300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100mg dan 300mg, dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya
tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum,
PenatalaKsanaan
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
30
dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid
dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya
melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilator cepat lebih sering terjadi
pada orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeleminasi isoniazid
lebih cepat daripada orang dewasa. Isoniaizd terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat
isoniazid dan menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.2
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik, dan neuritis perifer. Keduanya jarang
pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Tiga hingga sepuluh persen pasien akan mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna
secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut lebih mungkin terjadi apada remaja atau anak-anak
dengan TB yang berat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tapi
karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan,
kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan
bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama fenobarbital atau fenitoin
juga dapat meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksik. Pemberian isoniazid tidak dilanjutkan bila
kadar transaminase serum naik lebih lima kali harga normal, atau tiga kali disertai ikterus dan/atau
manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah, dan nyeri perut.2
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis
perifer yang sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin
berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak
diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat,
anak-anak dengan asupan susu yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI,
memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25-50mg satu kali sehari, atau 10mg piridoksin
setiap 100mg isoniazid.2
Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh isoniazid sangat jarang terjadi.
Kadang-kadang isoniazid berinteraksi dengan teofilin, sehingga diperlukan penyesuaian dosis. Efek
samping yang jarang terjadi antara lain adalah pellagra, anemia hemolitik pada pasien dengan
defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), dan reaksi mirip lupus yang disertai
dengan ruam dan artritis.2
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dan dapat
membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
31
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-
20mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan
bersama isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10mg/kgBB/hari.
Seperti halnya isoniazid, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk
CSS. Distribusi rifampisin ke CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Eksresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar
yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.2
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi
pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye
kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah),
dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimptomatik. Jika rifampisin diberikan bersama isoniazid, terjadi
peningkatan resiko hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian
isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia,
dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan
beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium
warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg, dan 450mg, sehingga
kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat
dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorbsi.2
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk
CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30mg/kgBB/ hari dengan dosis maksimal 2
gram/hari. Kadar serum puncak 45µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih
sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang
diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis atau gout akibat hiperurisemia,
tapi pada anak manifestasi klinis akibat hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya
adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada
anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersama dengan makanan.2
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki
aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dalam dosisi tinggi dengan terapi
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
32
intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari,
dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250mg dan 500mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa dan anak-
anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada
SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.2
Eksresi utama melalaui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal.
Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga
penggunaannya dihindari pada anak yang belum diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO terakhir mengenai pelaksanaan TB anak menyatakan etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat
dan kecurigaan TB resisten obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal
atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan TB, tapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif
meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40mg/kgBB/hari,
maksimal 1gram/hari, dan kadar puncak 15-40µg/ml dalam waktu 1-2 jam.2
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput
otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dan
dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus
kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinitus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus
plasenta, sehingga perlu hati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2
Prinsip dasar OAT
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak.
Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap dosis obat
per kgBB lebih tinggi. Saat ini terdapat beberapa perbedaan dosis OAT di dalam kepustakaan. Oleh
karena itu, UKK respirologi PP IDAI telah menyepakati pedoman dosis OAT dengan
mempertimbangkan toleransi anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar ekstrapolasi dosis pasien
dewasa (lihat tabel 9).2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
33
Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg/hari)
Efek samping obat
INH 5 – 15 300 hepatitis, neuritis perifer hipersensitivitas
Rifampicin 10 - 20 600 gatrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15 – 30 2000 toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15 – 20 1250 neuritis optic, gangguan visus, buta warna
merah-hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15 - 40 1000 ototoksik, nefrotoksik
Tabel 9: obat anti tuberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian OAT yaitu: (1) bila isoniazid dikombinasikan
dengan rifampisin, dosisinya tidak bisa melebihi 10mg/kgBB/hari, (2) rifampisin tidak boleh diracik
dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin, (3) rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum
makan).2
Paduan obat OAT
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase
lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase intensif (2 bulan
pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian paduan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh
kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman
juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.2
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga kali
dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakaturan menelan obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus
TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan
rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid.2
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal atau ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem
skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid
selama 10 bulan. Untuk kasusu TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu (lihat tabel 10).2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
34
2 bln 6 bln 9 bln 12 bln
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Parednison
Tabel 10 : paduan obat anti tuberkulosis2
Fixed dose combination (FDC)
Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut,
dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan , yaitu FDC atau kombinasi
dosis tetap (KDT). Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah : (1)
menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep, (2) meningkatkan
pemenrimaan dan keteraturan pasien, (3) memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan
pengobatan standar dengan tepat, (4) mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola pemberantasan TB), (5)
mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi resistensi terhadap
obat TB, (6) mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan, (7)
mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat mengurangi beban
kerja, (8) mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan. Unit Kerja Koordinasi Respirologi
PP IDAI telah membuat rumusan mengenai penggunaan FDC pada anak (lihat tabel 11).2
Berat badan (kg) 2 bulan RHZ
(75/50/150mg)
4 bulan RH
(75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel 11: dosis kombinasi pada tuberkulosis anak2
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: (1) bila BB ≥33kg, dosis disesuaikan dengan tabel 7, (2) bila BB
<5kg, sebaiknya dirujuk ke RS, (3) obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet, (4) perhitungan
pemberian tablet ini sudah mempertimbangkan kesesuaian dosis per kgBB.2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
35
Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi.
Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah
diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan laju endap darah (LED). Evaluasi terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu
menghilang dan membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu
makan, dan lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.2
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB
dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura, atau bronkopneumonia TB.
Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB, pengulangan foto toraks dilakukan setelah 2 minggu. LED dapat
digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.2
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan
berat badan, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak ada
perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT.
Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih
tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis,
ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta
evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan
dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir pengobatan tidak dilakukan secara rutin.2
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M.tuberculosis
(tidak mati dengan obat-obatan) yang bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna
kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan leboh dari 6 bulan pada TB paru tanpa komplikasi
menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda secara bermakna dengan pengobatan 6 bulan.2
Evaluasi efeK samping pengobatan
Seperti telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping
yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam, dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan
adalah hepatotoksisitas.2
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari
dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai
oleh peningkatan serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic-pyruvic
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
36
transaminse (SGPT) hingga ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan
gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai
berapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah.2
Masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai pemantauan dan
penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa
pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang berat
seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis isoniazid dan
rifampisin lebih besar daripada dosis yang dianjurkan. Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya
terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup
sering (misalnya tiap 2 minggu) selama 2 bulan pertama, selanjutnya dapat lebih jarang.2
Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak melebihi anjuran,
pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan ini, hanya diperlukan
penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan gejala klinis
hepatotoksisitas.2
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan
gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli
berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat
mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥5 kali tanpa gejala,
atau ≥3 kali batas atas normal disertai gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau
penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan
yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan
bahwa paduan pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman diberikan dengan dosis
yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. 2
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal disertai
gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1
minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi berikutnya
dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan
harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul
kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung penuh (full dose) dan
pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.2
Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥2 minggu. Sikap selanjutnya
untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa
lama menjalani pengobatan, dan berapa lama obat telah putus.2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
37
Multidrug resistance TB
Multidrug resistance TB adalah isolat M.tuberculosis yang resisten terhadap 2 atau lebih OAT lini
pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila
secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan
meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya
resistensi terhadap OAT, yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak
memadai, termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar, dan kurangnya
keteraturan menelan obat.2
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan
di tempat-tempat dengan prevalensi TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah
besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di
dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian
TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5%, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu
dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcouse (DOTS), maka prevalens MDR-TB
hanya 1,6% saja. Bila terjadi MDR, maka digunakan OAT lini kedua (lihat tabel 12).2
Nama obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari
Dosis maksimal
(mg per hari)
Efek samping
Ethionamide atau
Prothionamide
15-20 1000 muntah, gangguan
gastrointestinal, sakit
sendi
Fluoroquinolones
Ofloxacin
Levofloxacin
Mexifloxacin
Gentifloxacin
Ciprofloxacin
15-20
7,5-10
7,5-10
7,5-10
20-30
800
1500
Aminoglycosides
kanamycin
amikacin
capreomycin
15-30
15-22,5
15-30
1000
1000
1000
ototoksisitas, toksisitas
hati
Cycloserine terizidone 10-20 1000 gangguan psikis,
gangguan neurologis
Para-aminosalycylic
acid
150 12 000 muntah, gangguan
gastrointestinal
Tabel 12: daftar OAT lini keuda untuk MDR-TB2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
38
NonmediKamentosa
PendeKatan directly observed treatment shortcourse (DOTS)
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien TB biasanya
telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh
dan tidak melanjutkan pengobatan. Nilasi sosial dan budaya serta pengertian yang kurang mengenai
TB dari pasien serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan obat.2
Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan
dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta
mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah
dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
Directly oserved treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam
pelaksanaan perogram penanggulangan TB, dan telah dilaksananakan di Indonesia sejak tahun 1995.
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu: (1) komitmen politisi
dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (2) diagnosis TB dengan pemeriksaan
sputum secara mikroskopis, (3) pengobatam dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO), (4) kesinambungan persediaan OAT
jangka pendek dengan mutu terjamin, (5) pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.2
Kelima komponen DOTS ini terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada butir dua dan lima. Butir
dua menyatakan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan sputum secara mikroskopis, yang pada anak
sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya, untuk diagnosis TB anak digunakan uji tuberkulin. Butir lima pun
sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kelompok usia 15
tahun ke atas, sedangkan format untuk 15 tahun kebawah belum ada.2
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang bertanggungjawab mengawasi pasien
menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien baru yang ditemukan harus didampingi seorang
PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati pasien, tempat tinggalnya
dekat dengan pasien, bersedia membantu pasien dengan sukarela, bersedia dilatih atau
mendapatkan penyuluhan.
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
39
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang
sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah, atau petugas unit kesehatan sekolah yang
sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, serta
memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.2
Sayangnya, ternyata hasil dari strategi DOTS masih kurang dari yang diharapkan. Tahun 1995-1998,
cakupan pasien TB dengan strategi DOTS baru mencapai sekitar 10%. Oleh karena itu, untuk lebih
meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT dibuat dalam bentuk kombinasi (kombinasi OAT dalam
satu paket) dan FDC (kombinasi OAT dalam satu tablet). Pada anak, kuman M.tuberculosis sulit
ditemukan, baik pada biakan apalagi pada pemeriksaan mikroskopis langsung. Oleh karena itu,
diagnosis pada anak tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan dalam
strategi DOTS. Maka diperlukan strategi diagnostik lain, yaitu dengan menggunakan sistem skoring
(DOTS-modifikasi).2
Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang
menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB
aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara
pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu
pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular,
dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya
atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan
tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemerikaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji
tuberkulin.2
AspeK eduKasi dan sosial eKonomi
Masalah TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan
kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan
cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan
makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan
keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar
TB anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,
kecuali pada TB berat.2
P e n
a t a l a k s a n a a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
40
Imunisasi BCG
Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M.bovis yang dibiak berulang
selama 1-3 tahun, sehingga didapatkan kuman yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenisitas. ImunisasI BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk neonates 0,05 ml
dan untuk bayi dan anak 0,10 ml, diberikan secara intradermal di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan
sebagai tanda baku, dan bila terjadi limfeadenitis BCG akan lebih muda terdeteksi). Penyuntikan harus
dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (superfisial) sehingga terbentuk suatu benjolan (wheal)
berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan tampak gambaran pori-pori.2
Satgas Imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi ≤2 bulan. Pemberian BCG setelah
usia 1 bulan lebih baik. Bayi yang diduga mempunyai kontak erat dengan pasien TB aktif, atau yang
akan diimunisasi pada usia ≥3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG tidak perlu
diulang sebagai booster, demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi
ulangan BCG memberikan proteksi tambahan.2
Bila kita melakukan vaksinasi BCG, akan timbul reaksi bengkak dan merah, biasanya dalam waktu 4-6
minggu setelah penyuntikan. Akan tetapi, bila reaksi ini sudah timbul dalam kurun waktu 1 minggu,
maka disebut reaksi cepat BCG. Hal ini dapat menjadi penanda kecurigaan adanya infeksi TB pada
bayi tersebut, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan uji tuberkulin dan
pemeriksaan lain. Akan tetapi, melakukan vaksinasi BCG sebagai sarana diagnostik sebagai
pengganti tuberkulin tidak dibenarkan. Pada vaksinasi BCG rutin, perlu diinformasikan pada orang tua
pasien bahwa bila ada reaksi cepat setelah penyuntikan harus segera dilaporkan untuk evaluasi lebih
lanjut.2
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif
terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini
memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningits TB, TB sistem skeletal, dan kavitas.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak
negara lain termasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang menimbulkan efek samping yang
serius. Efek samping yang serius ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfeadenitis (adenitis supuratif)
dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya
defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga
bayi mencapai berat-badan optimal.2
Pencegahan
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
41
EfeKtivitas BCG
Pemberian vaksin BCG telah dilakukan sejak tahun 1921, dan selama ini lebih dari 3 milyar dosis vaksin
BCG telah diberikan di seluruh dunia. Meskipun demikian, perdebatan mengenai efektivitas BCG
dalam memproteksi bayi/anak terhadap TB masih berlangsung. Efek proteksi atau efektivitas BCG
bervariasi 0-80%, dari berbagai publikasi dari berbagai negara. Efek proteksi atau efektivitas BCG
adalah kemampuan BCG untuk menurunkan angka kejadian TB baru dalam populasi, bukan pada
seorang individu.2
Temuan yang berbeda-beda dari berbagai penilitian mengenai efektivitas BCG di berbagai negar
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: (1) bias metodologi, yaitu perbedaan desain dan
pelaksanaan studi, (2) strain dan dosis vaksin, yaitu perbedaan jenis vaksin ( Tice, Danish, Pasteur,
Tokyo, Marieux), perbedaan cara penyuntikan (multipuncture/intrakutan), bentuk vaksin (vaksin cair
atau vaksin kering beku), (3) perbedaan jadwal pemberian imunisasi, (4) tinggi/rendahnya prevalensi
bakteri lingkungan (M.atipik), (5) virulensi strain kuman TB, (6) faktor lain sepeti faktor genetik, faktor
pejamu (status imun dan nutrisi), paparan, dan lain-lain.2
Hingga saat ini, pemberian imunisasi BCG masih menjadi bagian dari trategi WHO dalam
menanggulangi masalah TB, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga
BCG termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang wajib diberikan pada bayi di
Indonesia.2
KompliKasi BCG
Sekitar 1-2% anak mengalami komplikasi BCG. Komplikasi tersering adalah abses lokal, infeksi bakteri
sekunder, limfeadenitis supuratif BCG, dan timbulnya keloid. Sebagian besar reaksi in akan membaik
dalam beberapa bulan. Akan tetapi, anak yang mengalami penyakit BCG diseminta harus diperiksa
lebih lanjut terhadap kemungkinan difisensi imun dan diobati dengan OAT lini pertama (kecuali
pirazinamid karena M.bovis umumnya resisten terhadap obat tersebut). Limfadenitis BCG merupakan
efek samping yang sering dijumpai pada vaksiniasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang
serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi.2
Limfeadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi BCG. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar, bahkan dapat timbul pus
(supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG, akan terjadi multiplikasi secara cepat, dan melalui
sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe regional. Reaksi pada sisi yang sama dengan vaksinasi
dan kelenjar, bersama-sama membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan komples
primer akibat infeksi TB alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan, dan
pembesaran pada kelenjar limfe regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan penyakit
(TB). Tidak ada patokan baku untuk pembesaran kelenjar itu normal atau abnormal. Beberapa ahli
sepakat menyatakan abnormal apabila ukurannya besar, dalam arti mudah untuk diraba dan orang
P e n
c e g a h a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
42
tua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar limfe regional yang terlibat sebagian besar
adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti oleh kelenjar supraklavikula dan servikal. Limfeadenitis
BCG terjadi setelah 2 minggu atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan. Umumnya kelenjar yang
membesar soliter meskipun ada yang multipel.2
Kejadian limfeadenits BCG berhubungan dengan tipe vaksin dan pejamu. Faktor vaksin mencakup
virulensi substrain BCG (bebarapa strain BCG memang lebih reaktogenik), viabilitas (proporsi kuman
yang hidup dan yang mati) pada produk akhir, dan dosis vaksinasi. Faktor yang berperan pada
pejamu pula adalah: (1) usia vaksinasi (pemberian vaksinasi pada neonatus mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi limfeadenitis TB), (2) respon imunologik terhadap vaksin (pasien imunokompromais
mempunyai resiko lebih tinggi), (3) karakteristik resipien (termasuk di dalamnya salah
penyuntikan/keahlian menyuntik).2
Ada dua jenis limfeadenitis BCG, yaitu nonsupuratif dan supuratif. Bentuk yang non supuratif biasanya
muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan menghilang dalam beberapa minggu
tanpa ada sekuele yang berarti. Sedangkan pada jenis supuratif timbul dalam beberapa bulan
kemudian, pembesaran kelenjar dapat bersifat progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema,
bahkan dapat membentuk sinus pada tempat penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan
intensif terhadap luka yang timbul, dan diperlukan beberapa bulan untuk dapat hilang secara
spontan. Jenis supuratif ini terjadi pada 30-80% kasus limfeadenitis BCG.2
Limfeadenitis BCG biasanya tidak disertai demam, tidak nyeri pada tempat edema, dan tidak
didapatkan tanda-tanda yang menyokong ke arah TB seperti penurunan berat badan, demam lama,
dan nafsu makan yang berkurang. Pemeriksaan laboratorium, uji tuberkulin, dan foto toraks kurang
membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari biopsi
kelenjar kadang-kadang justru membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan TB.2
Tatalaksana limfeadenitis BCG masih kontroversial. Pada limfeadenitis tipe nonsupuratif biasanya tidak
menjadi masalah, karena dengan penjelasan yang baik orang tua akan dapat menerima. Akan
tetapi, pada limfeadenitis tipe supuratif terdapat beberapa perbedaan dalam penanganannya.
Pemberian antibiotik eritromisin dan OAT (isoniazid dan rifampisin) pernah dilaporkan penggunaannya,
tetapi hasilnya tidak memuaskan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan dengan OAT tidak
diperlukan karena tidak efektif. Obat-obat lain yang digunakan biasanya berhubungan dengan
komplikasi yang timbul, misalnya perawatan luka. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfeadenitis BCG, melainkan hanya
melakukan pemantauan.2
Komplikasi limfeadenitis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang baik (kurang estetis),
sehingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfeadenitis supuratif. Salah satu
yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang biasanya dilakukan sekali saja. Dengan
aspirasi pus, lama penyembuhan dapat dipersingkat.2
P e n
c e g a h a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
43
Tindakan eksisi dilakukan apabila aspirasi tidak menunjukkan hasil yang baik, sudah terbentuk sinus,
atau kelenjarnya multipel. Selain itu, tindakan eksisi lebih diindikasikan pada kosmetik, yaitu mencegah
pecahnya kelenjar dengan luka dan parut yang tidak beraturan.2
KemoprofilaKsis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer, dan kemoprofilaksis sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.2
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10mg/kgBB/hari dengan dosis tuggal.
Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir
bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis
dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.
Pada akhir bulan keenam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif
profilaksis dihentikan. Tapi jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.2
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai
dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi
kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak dengan imunokompromais. Contoh anak-anak imunokompromais
adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu
kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.2
P e n
c e g a h a n
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
44
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB,
dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). Tuberkulosis milier merupakan
penyakit limfohematogen sistemik akibat penyebaran kuman M.tuberculosis dari kompleks primer,
yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering dalam 3 bulan pertama setelah infeksi
awal. Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <2 tahun, karena
imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar ke seluruh
tubuh. Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan
penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi
kuman yang dorman.2
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kuman M.tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan
status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga
dapat memudahkan timbulnya TB milier seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes
melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang
juga mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan yaitu kurangnya paparan sinar
matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta
sosial ekonomi.2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya kuman dan jenis organ
yang terkena. Gejala yang sering dijumpai adalah keluhan kronis yang tidak khas, seperti TB pada
umumnya misalnya anoreksia, berat badan menurun atau gagal tumbuh, demam lama dengan
penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas.2
Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang
timbul (remitent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari. Tetapi gejala dan tanda respiratorik
belum ada. Pada lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali
akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terus
menerus/kontinu, tanpa disertai gelaja respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks
biasanya normal. Beberapa minggu kemudian, hampir di semua organ terbentuk tuberkel difus
multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan sum-sum tulang. Gejala klinis biasanya timbul akibat
gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronki dan mengi.
Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala
gangguan pernapasan, hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum. Dapat juga terjadi
gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah
kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, dan purpura. Tuberkel koroid ditemukan
TuberKulosis milier
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
45
pada 13-87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier. Maka pada TB milier perlu dilakukan funduskopi untuk menemukan
tuberkel koroid. Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20-40% pasien yang berat. Sakit
kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya meningitis dan merupakan
indikasi untuk melakukan pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran
abdomen.2
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kuman secara
hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (milli) yang tersebar merata di
seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi
kecil ini dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang
luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak
beraturan seperti kepingan salju.2
Diagnosis
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa
yang infeksius (BTA positif), gambaran klinis, gambaran radiologis yang khas, serta uji tuberkulin yang
positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin
yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB. Uji tuberkulin negatif
terjadi pada lebih dari 40% TB diseminata. Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur
M.tuberculosis tetap penting dilakukan. Pemeriksaan akan menunjukkan hasil positif pada 30-50%
pasien. Akan tetapi, untuk diagnosis dini, pemeriksaan sputum atau bilas lambung kurang sensitif
dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis dan histologis dari biopsi hepar atau sumsum tulang.
Untuk menegakkan diagnosis meningitis TB, sebaiknya dilakukan pada setiap pasien TB milier walaupun
belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.2
TatalaKsana
Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama,
dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 6-10 bulan sesuai dengan perkembangan klinis.
Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura, dan
peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu,
kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2-6 minggu.Dengan pengobatan yang
tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah
menghilangnya demam setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan
kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi
mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan.2
T B M
i l I e r
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
46
Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital (prenatal), selama proses kelahiran (natal),
maupun transmisi pascanatal oleh ibu penghidap TB aktif. Oleh karena itu, transmisi pada neonatus ini
disebut sebagai TB perinatal. Pada TB kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen
melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada TB natal, transmisi dapat
terjadi melalui proses persalinan, sedangkan pada TB pascanatal terjadi akibat penularan secara
droplet dengan patogenisitas yang sama dengan TB anak pada umumnya.2
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat melewati sawar plasenta yang sehat, sehingga kuman akan
menempel pada plasenta dan membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, terjadi penyebaran
hematogen dan menyebabkan infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat
penyebaran hematogen, M.tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan kelenjar
getah bening periportal, dan pada perkembangan selanjutnya akan menyebar ke paru. Selain cara
ini, penyebaran ke paru dapat terjadi melalui aspirasi cairan amnion yang mengandung
M.tuberculosis langsung ke paru.2
Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelaj lahir atau pada minggu ke 2-3 kehidupan.
Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis neonatal, sehingga sering terjadi keterlambatan
dalan mendiagnosis. Gejala yang sering timbul adalah distress pernapasan, hepatosplenomegali, dan
demam. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain prematuritas, berat lahir rendah, sulit minum,
letargi, dan kejang. Selain itu, dapat juga terjadi abortus/kematian bayi.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan M. tuberculosis
melalui darah vena umbilicus dan plasenta. Pada plasenta sebaiknya diperiksa gambaran
histopatologis dengan kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan
kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.
Penentuan diagnosis TB kongenital adalah dengan ditemukannya BTA dan M.tuberculosis pada vena
umbilicus dan plasenta. Bitzke memberikan kriteria untuk TB kongenital yaitu ditemukannya
M.tuberculosis dan memenuhi salah stau kriteria sebagai berikut: (1)lesi pada minggu pertama, (2)
kompleks primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau traktus genitalia,
4)kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan. Untuk menentukan TB natal dan pascanatal,
kriterianya sama denga TB anak.2
Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri, yaitu melibatkan beberapa aspek seperti
aspek ibu, bayi, dan lingkungan. Ibu harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari penularan
selanjutnya. Selain itu, harus dicari sumber lain dari lingkungannya serta memperbaiki kondisi
lingkungan. Tatalaksana pada bayi adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan isoniazid
selama 9-12 bulan, sedangkan pirazinamid diberikan selama 2 bulan. Air susu ibu (ASI) tetap diberikan,
dan tidak perlu cemas akan kelebihan dosis OAT karena kandungan OAT dalam ASI sangat kecil.
TuberKulosis perinatal
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
47
Apabila bayi tidak terkena TB kongenital maupun TB perinatal, tetapi ibu menderita TB dengan BTA
positif, maka bayi memerlukan perlakuan khusus, yaitu pemberian OAT profilaksis isoniazid 5-
10mg/kgBB/hari, dan bayi tetap diberikan ASI. Alur penanganan bayi dari ibu dengan TB aktif
(lihatgambar 3).2
Gambar 3: alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif1
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tuberkulosis perinatal yaitu: (1) diagnosis TB pada ibu
dibuktikan secara klinis, radiologis, dan mikrobiologis. Bila ibu telah didiagnosis TB aktif, maka diobati
dengan OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tapi ibu harus memakai masker
T B P
e r I n a t a l
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
48
untuk mencegah penularan TB pada bayinya. Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi
dipisahkan sampai terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tapi tetap diberikan ASI
yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang memberi ASI dilakukan 2 minggu setelah
pengobatan. Dosis obat TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis
terapeutik bayi, (2) dilakukan pemeriksaan plasenta (PA, mikrobiologis, dan mikroskopis), dan darah
vena umbilikalis (mikrobiologi-BTA dan biakan TB), (3) klinis: prematuritas, berat lahir rendah, distres
pernapasan, hepatosplenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal tumbuh, dan distensi
abdomen. Bila klinis sesuai sepsis bakerialis, dapat diberikan terapi kombinasi, (4) pemeriksaan
penunjang: foto toraks dan bilas lambung, bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit,
atau ear dischagre, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA. Bila selama perjalanan klinis
terdapat hepatomegali, lakukan pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan
dengan biopsi hati, 5) imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan tidak
infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif, isoniazid dihentikan dan diberikan
BCG pada bayi. 2
T B P
e r I n a t a l
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
49
Daftar pustaKa
1. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis anak. Jakarta
Juni 2008.
2. Supriyatno B, Setyanto D, Setiawati L, Kaswandani N, Rahajoe N et al. Pedomen Nasional
Tuberkulosis Anak. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi ke-2 April 2007.
3. Zar HJ, Hanslo D, Tannenbaum E. Aetiology and outcome of pneumonia in human
immunodeficiency virus infected children hospitalized in South Africa. Acta Paediatr
2001;90:119-25.
4. Madhi SA, Petersen K, Madhi A, Khoosal M, Klugman KP. Increased disease burden and
antibiot5ic resistance of bacteria causing severe community-aquired lower respiratory tract
infections in human immunodeficiency virus type I infected children. Clin Infect Dis 2000;3170-6.
5. Chintu C, Mudenda V, Lucas S. Lung diseases at necropsy in African children dying from
respiratory illnesses: a descriptive necropsy study. Lancet 2002;360:985-90.
6. Jeena PM, Pillay T, Coovadia HM. Impact of HIV-1 co-infection on presentation and hospital-
related mortality in children with culture proven pulmonary tuberculosis in Durban, South Africa.
Int J Tuberc Lung Dis 2002;6:672-8.
7. Madhi SA, Huebner RE, DoedensL, Aduc T, Wesley D, Cooper PA. HIV-1 co-infection in children
hospitalized with tuberculosis in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis 2000;4:448-54
8. Nelson LJ, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis
2004;8:636-47.
9. Graham SM, Gie RP, Schaaf HS, Coulter JBS, Espinal MA, Beyers N. Childhood tuberculosis:
clinical research needs. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:648-57.
10. Departemen Kesehatan RI. Rencana strategi nasional penanggulangan tuberkulosis tahun
2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001.
11. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
12. Kochi A. The global tuberculosis situation and the new control strategy of the world health
organization. Tubercle 1991;72:1-6.
13. Dolin PJ, Raviglione MC, Kochi A. Global tuberculosis incidence and mortality during 1990 -
2000. Bull World Health Organ 1994;72:213-20.
14. Medical Research Council Tuberculosis and Chest Disease Unit (MRCT-CDU). Tuberculosis in
children: a national survey of notifications in England and Wales in 1983. Arch Dis of Child
1988;63:266-76.
15. Kartasasmita CB, Said M, Supriyatno B. Penapisan dan pengobatan tuberkulosis pada anak
sekolah dasar di Majalaya, Kabupaten Bandung. MKB 2001;3:105-12.
16. Kartasasmita CB. Childhood tuberculosis in the community. Disampaikan pada International
Paediatric. Respiratory and Allergy Congress; Prague, Czech Republic 2001.
R E F E R A T
TUBERKULOSIS ANAK
NOVEMBER 2012
50
17. Rikesdas Indonesia tahun 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta, 2008.
18. WHO 2004 WHO. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva: World Health Organization; 2004.
19. WHO—SEARO. Tuberculosis control in the South-East Asia Region. New Delhi, India: WE--
Regional Office for South-East Asia; 2003.
20. Peter R D. Childhood tuberculosis: the hidden epidemic. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:627-9.
21. Lienhardt C, Fielding K, Sillah J, Tunkara A, Donkor S, Manner K, Warndoff D, McAdam KP,
Bennett S. Risk factors for Tuberculosis infection in Sub-Sahara Africa. Am J Respir Crit Care Med
2003;168:448-55.
22. Donald PR. Chilhood tuberculosis. In:Madklour MM.Tuberculosis. Berlin:Springer, 2004;16: p243-
64.
23. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB, et al. Buku ajar respirologi anak, Ikatan Dokter Indonesia.
Badan penerbit IDAI 2008;1; 162-261