BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98992/potongan/S1-2016...1...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Umumnya sinar matahari memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia seperti sebagai sumber cahaya dan energi, untuk mengubah provitamin D menjadi vitamin D, serta dalam proses fotosintesis. Namun, pemaparan sinar matahari (sinar UV) yang berlebihan dapat menyebabkan eritema, hiperpigmentasi, bahkan sampai menyebabkan kanker kulit. Sinar UV yang paling berpotensi menyebabkan eritema adalah sinar UV B (290 nm-320 nm), dan yang menyebabkan pigmentasi adalah sinar UV A (320 nm-400 nm). Sinar UV C (100 nm-290 nm) bersifat karsinogenik, namun sinar tersebut dapat disaring oleh lapisan ozon sehingga tidak sampai di permukaan bumi (Elmarzugi, dkk., 2013). Adanya dampak negatif sinar matahari tersebut maka kita perlu menggunakan pelindung kulit tabir surya. Tabir surya akan menyerap sinar UV dan menghalangi penetrasi sinar UV ke lapisan epidermis (Elmarzugi, dkk., 2013). Yuliani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai tabir surya. Senyawa yang diduga berpotensi sebagai tabir surya adalah kurkumin yang mampu menyerap sinar UV A dan UV B. Berdasarkan dampak negatif dari paparan sinar matahari dan kandungan temu mangga yang berpotensi sebagai agen tabir surya, maka perlu dikembangkan sediaan kosmetika yang berfungsi sebagai tabir surya. Pada umumnya sediaan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98992/potongan/S1-2016...1...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umumnya sinar matahari memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia

seperti sebagai sumber cahaya dan energi, untuk mengubah provitamin D menjadi

vitamin D, serta dalam proses fotosintesis. Namun, pemaparan sinar matahari

(sinar UV) yang berlebihan dapat menyebabkan eritema, hiperpigmentasi, bahkan

sampai menyebabkan kanker kulit. Sinar UV yang paling berpotensi

menyebabkan eritema adalah sinar UV B (290 nm-320 nm), dan yang

menyebabkan pigmentasi adalah sinar UV A (320 nm-400 nm). Sinar UV C (100

nm-290 nm) bersifat karsinogenik, namun sinar tersebut dapat disaring oleh

lapisan ozon sehingga tidak sampai di permukaan bumi (Elmarzugi, dkk., 2013).

Adanya dampak negatif sinar matahari tersebut maka kita perlu

menggunakan pelindung kulit tabir surya. Tabir surya akan menyerap sinar UV

dan menghalangi penetrasi sinar UV ke lapisan epidermis (Elmarzugi, dkk.,

2013). Yuliani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak etanolik

Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai tabir surya. Senyawa yang

diduga berpotensi sebagai tabir surya adalah kurkumin yang mampu menyerap

sinar UV A dan UV B.

Berdasarkan dampak negatif dari paparan sinar matahari dan kandungan

temu mangga yang berpotensi sebagai agen tabir surya, maka perlu dikembangkan

sediaan kosmetika yang berfungsi sebagai tabir surya. Pada umumnya sediaan

2

tabir surya berupa sediaan lotion (Elmarzugi, dkk., 2013) dan termasuk dalam

salah satu jenis skin care cosmetics. Lotion merupakan salah satu jenis produk

kosmetik yang berupa emulsi minyak dalam air (o/w) yang dapat membersihkan

dan menjaga kesehatan kulit. Pada dasarnya skin care cosmetics dapat melindungi

kulit radiasi ultraviolet dan membersihkan kulit sehingga tetap indah dan sehat

(Mitsui,1997).

Umumnya, lotion o/w tabir surya berbentuk emulsi dengan substantivitas

yang bagus untuk dapat mengoptimalkan aktivitas sun protection factor (SPF)

(Shaath, 2005). Untuk menjaga kestabilan dan substantivitas lotion diperlukan

pengaturan jumlah bahan pengental yang digunakan yaitu setil alkohol. Untuk

mendapatkan emulsi yang stabil maka diperlukan pengaturan terhadap emulgator

yang digunakan yaitu trietanolamin-stearat. Pengaturan emulgator perlu dilakukan

untuk menjamin stabilitas emulsi, sehingga lotion yang dihasilkan dapat berfungsi

secara optimal.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam

formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma

mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum?

2. Bagaimana sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik

rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)?

3. Bagaimana stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik

rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)?

3

4. Bagaimana aktivitas formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang

temu mangga (Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam

formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma

mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum.

2. Mengetahui sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik

rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.).

3. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik

rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.).

4. Mengetahui aktivitas lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga

(Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya.

D. Tinjauan Pustaka

1. Uraian Temu Mangga

Klasifikasi tanaman temu mangga adalah sebagai berikut:

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma mangga Val.

Nama dagang : Temu mangga

(Hutapea, dkk., 1993)

4

Gambar 1. Temu mangga (Curcuma mangga Val.)

Dwinugraheni (2013) menyebutkan bahwa ciri-ciri makroskopis rimpang

temu mangga adalah berbentuk bulat dan memanjang, berwarna coklat dengan

sayatan kuning seperti yang terlihat pada gambar 1. Selain itu temu mangga

memiliki bau dan rasa seperti mangga muda. Berdasarkan pengamatan secara

mikroskopik rimpang temu mangga memiliki amilum dan sel minyak berwarna

kekuningan.

Temu mangga mengandung senyawa flavonoid, kurkumin,

demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, asam galat, katekin, epikatekin,

epigalokatekin, epigalokatekingalat, dan galokatekingalat (Setyaningrum A., dkk.,

2013; Abas, dkk.., 2005; dan Pujimulyani, 2013). Ekstrak etanolik Curcuma

mangga Val. mengandung kurkumin sebesar (0,19 ± 0,0131) % (Sumarny, dkk.,

2012) dan mengandung total flavonoid sebesar (0,15 ± 0,00) mg Eq kuersetin/kg

bk (Setyaningrum, A., dkk., 2013).

2. Sinar

Paparan sinar matahari dapat memberikan efek menguntungkan maupun

merugikan bagi manusia. Efek menguntungkan dari sinar matahari antara lain

untuk forosintesis, sintesis vitamin D, dan fototerapi. Akan tetapi, paparan sinar

5

matahari dapat merugikan manusia berupa radiasi sinar UV yang tergantung pada

waktu penyinaran, letak geografis, cuaca, dan lingkungan. Radiasi UV tidak dapat

dirasakan dan dilihat, serta tidak bergantung pada suhu dan masih memiliki

intensitas yang tinggi walaupun cuaca berawan (WHO, 2003).

Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian:

a. Ultraviolet A ialah sinar dengan panjang gelombang antara 320-400 nm,

menginduksi kerusakan kulit, seperti kulit terlihat lebih kering, pigmentasi

tidak merata, peradangan pada kulit, dan UVA lebih mudah menembus kaca

jendela (Elmarzugi, dkk., 2013).

b. Ultraviolet B ialah sinar dengan panjang gelombang antara 290 – 320 nm yang

dapat menimbulkan sunburn. Sunburn merupakan eritema akut yang terjadi

dalam hitungan jam dan mencapai maksimum kira-kira 12-24 jam setelah

paparan sinar UV B. Kerusakan DNA setelah radiasi UV B menghasilkan

eritema (Arakane, 2016).

c. Ultraviolet C ialah sinar dengan panjang gelombang di bawah 100-290 nm,

bersifat paling karsinogenik, tetapi sebagian besar telah tersaring oleh lapisan

ozon dalam atmosfer (Elmarzugi, dkk., 2013).

Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kulit mengalami beberapa perubahan.

Respon pertama adalah terjadinya immediate pigment darkening (IPD) yaitu

perubahan warna kulit menjadi kecoklatan sampai abu-abu setelah paparan sinar

UV A. IPD dapat terjadi setelah 1 menit paparan sinar UV A dan dapat

berlangsung selama 30 menit. Respon yang kedua adalah persistent pigment

darkening (PPD) yaitu respon tahan lama dari individu terhadap pigmentasi

6

setelah terpapar radiasi sinar UV. Dalam respon ini juga terjadi pembentukan

melanin baru. PPD terjadi dalam hitungan jam dan mungkin bisa berhari-hari,

bahkan berminggu-minggu. Terjadinya PPD terutama disebabkan oleh paparan

sinar UV A dan bisa dimungkinkan paparan sinar UV B juga berpengaruh

(Nelson, 2005).

Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kerusakan akut dan kronis pada kulit.

Apabila terjadi kerusakan DNA maka dapat menyebabkan kanker kulit. Akan

tetapi kulit memiliki mekanisme untuk melindungi diri dari kerusakan akibat

paparan sinar UV. Bentuk perlindungan yang dilakukan adalah dengan pigmentasi

dan penebalan lapisan epidermis kulit. Sehingga kulit dengan pigmen lebih

banyak atau kulit gelap tidak lebih sensitif terhadap sunburn daripada kulit putih.

Namun, pada beberapa manusia mekanisme pertahanan kulit kurang bekerja

dengan baik. Hal ini terjadi pada pasien penderita lupus (Bakker, 2012).

3. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan komponen aktif dari jaringan tanaman

menggunakan pelarut cair (solven) yang sesuai prosedur. Poses ekstraksi

digunakan untuk memisahkan metabolit yang larut dan yang tidak larut dalam

solven yang digunakan. Ekstrak yang dihasilkan terdiri dari campuran metabolit

yang kompleks dalam bentuk cair, semisolid, atau serbuk yang dapat digunakan

secara oral maupun eksternal (Handa, 2008).

Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan

penyari yang baik harus meemnuhi kriteria sebagai berikut:

a. Murah dan mudah diperoleh

7

b. Stabil secara fisika dan kimia

c. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki

d. Tidak memengaruhi zat yang berkhasiat (Depkes RI, 1986)

Salah satu metode ekstraksi yang dapat dilakukan adalah maserasi. Maserasi

adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan

sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong atau berupa

serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman

tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis

cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali

sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope

mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan

simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang

diperoleh (Voigt, 1994).

4. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Depkes RI, 1995).

Berdasarkan konsistensinya ekstrak dikelompokkan menjadi 4 kelompok,

yaitu:

8

a. Ekstrak encer

Ekstrak jenis ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang.

b. Ekstrak kental

Ekstrak kental dalam keadaan dingin tidak dapat dituang dan kandungan

airnya kurang dari 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan instabilitas

sediaan obat (cemaran bakteri).

c. Ekstrak kering

Ekstrak kering memiliki konsistensi kering dan memiliki kandungan air

kurang dari 5%.

d. Ekstrak cair

Suatu ekstrak cair dibuat sedemikian, sehingga 1 bagian jamu sesuai

dengan 2 bagian ekstrak cair (Voigt, 1994).

5. Kulit

Kulit merupakan bagian tubuh manusia dengan luas pemukaan terbesar.

Daerah permukaan kulit orang dewasa sekitar 2 m2 dengan berat 4,5 – 5 kg atau

sekitar 16% dari total berat tubuh manusia. Sedangkan, ketebalan kulit tubuh

mencapai 1-2 mm, kecuali pada kelopak mata yaitu 0,5 mm dan pada tungkai kaki

setebal 4 mm. Kulit memiliki fungsi antara lain mengatur suhu tubuh,

mengekskresi dan mengabsorbsi senyawa, melindungi tubuh dari lingkungan

eksternal, dan sebagai indera peraba (Tortora, 2009).

Menurut Tortora (2009), kulit terdiri dari 2 bagian utama, yaitu epidermis dan

dermis.

9

a. Epidermis

Lapisan epidermis berfungsi memperkuat pertahanan kulit dengan proses

regenerasi permukaan kulit (keratogenesis) dan proses pigmentasi kulit

(melanogenesis) (Couturaud, 2009). Dalam lapisan epidermis terdapat 4 lapisan

yaitu:

1) Stratum basale

Stratum basale merupakan lapisan yang paling bawah dari lapisan

epidermis dan dikenal juga sebagai stratum germinativum. Pada lapisan

ini, terdapat stem cell yang melalui pembelahan sel secara terus menerus

menghasilkan sel keratinosit yang baru.

2) Stratum spinosum

Keratinosit pada lapisan spinosum sama dengan keratinosit pada

lapisan basale. Selain keratinosit terdapat pula sel Langerhans dan

melanosit.

3) Stratum granulosum

Pada lapisan granulosum, sel mulai mengalami degeneratif.

4) Stratum lusidum

Pada lapisan lusidum terdapat keratinosit yang mati dengan jumlah

keratin yang banyak.

5) Stratum korneum

Pada lapisan korneum terdiri dari banyak sel keratin yang mati yang

secara terus menerus akan diganti dengan sel yang terletak di lapisan

bawahnya.

10

b. Dermis

Lapisan dermis terdiri dari jaringan kolagen dan serat elastis. Lapisan ini

berperan dalam pengaturan elastisitas dan termoregulasi kulit dengan

menyediakan nutrisi bagi kulit (Couturaud, 2009).

Gambar 2. Struktur kulit (Tortora, 2009)

6. Lotion

Lotion merupakan bentuk sediaan farmasi yang berupa larutan atau suspensi,

digunakan secara topikal (Jones, 2008), dan biasanya berupa emulsi. Lotion lebih

disukai pemakai karena memiliki daya sebar dan estetika yang lebih baik (Levy,

2009). Selain itu, lotion bersifat lebih ringan, tidak berminyak, dan dapat

memberikan efek dingin dengan segera saat dioleskan pada kulit. Lotion memiliki

sifat alir newtonian atau pseudoplastik (Buhse, dkk., 2005).

Lotion ditujukan untuk pemakaian pada kulit sebagai pelindung atau sebagai

obat karena sifat bahan-bahannya. Sifat cair yang dimilikinya memungkinkan

pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Lotion

dimaksudkan untuk dapat segera kering pada kulit setelah pemakaian dan

11

meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit. Pada pemakaiannya lotio harus

dikocok kuat-kuat saat akan memakainya supaya bahan-bahan yang telah

memisah dapat terdispersi kembali. Hal ini dikarenakan, fase terdispersi pada lotio

cenderung untuk memisahkan diri dari sistem dispersi (Ansel, 1989).

Untuk pemakaian kulit lotion merupakan sediaan yang dipilih dalam

menghidrasi kulit. Sediaan lotion berbentuk emulsi yang terdiri dari humektan,

emolien, dan occlusive agent yang ketiganya berfungsi untuk mengatur

kelembapan kulit. Occlusive agent mengatur kelembapan kulit dengan

menghambat secara fisik penguapan air dari dalam tubuh. Humektan mengatur

kelembapan kulit dengan menarik air di sekelilingnya. Emolien dapat

menghambat penguapan air dari dalam tubuh, namun lebih efektif di dalam

melembutkan kulit (Liverman, 2009).

Untuk mencegah terjadinya penggabungan fase dispers satu dengan yang

lain atau untuk mengurangi laju penggabungan tersebut, maka perlu ditambahkan

zat pengemulsi yang akan membentuk suatu lapisan di sekeliling tetesan-tetesan

fase dispers (Martin, dkk., 2008). Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan

dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan

dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi.

Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antara fase, sehingga

meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. (Depkes RI, 1995).

12

7. Surfaktan

Surfaktan memiliki sisi hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul.

Berdasarkan bentuk ionisasinya, surfaktan diklasifikasikan menjadi 4 kelompok,

yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Iwata, 2013).

a. Surfaktan anionik

Surfaktan anionik memiliki kemampuan menyabun, emulsifikasi, dan

permeabilitas dengan baik. Pada umumnya, surfaktan anionik digunakan

dalam formulasi sampo, sabun mandi, dan pembersih wajah. Surfaktan jenis

ini, dikelompokkan menjadi 4 grup hidrofilik yaitu asam sulfonat, asam

sulfat, asam karboksilat, dan fosfat (Iwata, 2013). Contoh dari surfaktan

anionik adalah trietanolamin-stearat.

b. Surfaktan kationik

Surfaktan kationik mempunyai struktur dengan 4 atom hidrogen pada ion

amonium yang digantikan oleh gugus alkil dan metil. Surfaktan kationik

dapat memberikan efek lembut pada kulit (Iwata, 2013). Contoh surfaktan

kationik adalah laurildimetilbenzilamonium klorida.

c. Surfaktan nonionik

Gugus lipofilik bertanggung jawab terhadap sifat emulgator dari surfaktan

nonionik. Gugus hidrofilik yang paling banyak digunakan adalah gliserin dan

polietilen (Iwata, 2013). Contoh surfaktan nonionik adalah ester asam lemak

sorbitan dan lanolin alkohol.

13

d. Surfaktan amfoterik

Struktur surfaktan amfoterik terdiri dari asam amino. Surfaktan jenis ini

banyak digunakan dalam sampo dan sabun mandi untuk meningkatkan

kemampuan menyabun dan mengurangi iritasi (Iwata, 2013).

Surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan antara fase

minyak dan fase air. Hal ini penting karena dapat meningkatkan stabilitas emulsi.

Supaya dapat bekerja secara efektif maka surfaktan harus memiliki sifat-sifat

sebagai berikut.

a. Surfaktan harus mampu menurunkan tegangan permukaan pada air dan

minyak supaya proses emulsifikasi dapat terjadi. Sehingga harus ada

keseimbangan antara gugus hidrofilik dan lipofilik.

b. Pada permukaan air-minyak, surfaktan dapat bekerja secara sendiri atau

bersama dengan molekul lainnya untuk membentuk lapisan tipis yang

elastis, kuat, dan kental.

c. Surfaktan harus mampu dengan cepat berada di antara permukaan minyak-

air untuk menurunkan tegangan permukaan selama proses emulsifikasi.

d. Surfaktan harus menyesuaikan dengan polaritas fase minyak. Minyak yang

sangat polar memerlukan surfaktan yang lebih hidrofilik daripada minyak

dengan polaritas rendah (Dahms, 2005) .

8. Tabir Surya

Tabir surya merupakan zat yang menghambat efek dari sinar matahari yang

berbahaya. Tabir surya apabila digunakan sebagai lotion maka dapat mengurangi

risiko kanker kulit, termasuk melanoma (Anonim, 2015).

14

Menurut Black (1997) , mekanisme kerja tabir surya antara lain:

a. Senyawa mengabsorpsi atau menghalangi sinar UV.

b. Senyawa akan berkompetisi dengan target molekul yaitu senyawa yang

dapat dirusak oleh sinar UV.

c. Senyawa yang dapat memperbaiki senyawa yang rusak oleh sinar

matahari.

d. Senyawa akan menekan respon inflamasi. Sehingga dapat menutupi

manifestasi kerusakan akibat sinar UV.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan formula tabir surya

adalah:

a. Harus nyaman digunakan.

b. Tabir surya harus dalam jumlah yang cukup agar efektif.

c. Bahan tabir surya dan pembawa harus kompatibel.

d. Harus dipertimbangkan sifat yang diinginkan dari bahan nonvolatil

yang tertinggal di kulit (Wilkinsoon dan Moore, 1982).

Tabir surya dibagi dalam 2 macam, yaitu yang bersifat kimia dan fisik.

Tabir surya yang bersifat kimmia (contohnya PABA, salisilat, dan antranilat) yang

dapat mengabsorbsi 95% sinar UVB yang dapat menyebabkan sunburn (eritema

dan kerut), namun tidak dapat menghalangi UV A penyebab direct tanning,

kerusakan sel elastin, dan timbulnya kanker kulit. Tabir surya yang bersifat fisik

(contohnya titanium dioksida dan ZnO) yang dapat memantulan sinar serta

menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).

15

Analisis aktivitas tabir surya dapat dilakukan dengan menghitung nilai SPF,

% transmitasi eritema, dan % transmitasi pigmentasi (Khan, 2014; Cumpelik,

1972).

a. Evaluasi SPF secara in vitro

Sun Protection Factor (SPF) merupakan rasio yang menggambarkan

respon terhadap paparan sinar UV pada kulit yang diolesi tabir surya dan

yang tidak diolesi tabir surya (Nash, 2006). Penentuan nilai SPF dapat

ditentukan secara in vitro dan in vivo. Pengukuran SPF secara in vitro

merupakan uji yang menirukan pengukuran SPF secara in vivo menggunakan

energi transmisi yang menembus tabir surya. Pengukuran SPF secara in vitro

bertujuan untuk memprediksi nilai SPF produk di laboratorium dengan

menggunakan spektrofotmeter. Apabila pengukuran SPF secara in vitro

akurat, maka formulator dapat meminimalisir biaya yang digunakan dalam

skrining formula baru untuk diuji selanjutnya. Apabila nilai SPF secara in

vitro sesuai dengan nilai SPF secara in vivo, dapat diasumsikan bahwa hasil

transmitasi pada pengukuran secara in vitro adalah benar (Stanfield, 2005).

Penentuan nilai SPF secara in vitro dilakukan dengan spektrofotometer

UV-Vis. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Mansur.

Dalam metode Mansur, pembacaan absorbansi larutan sampel dilakukan pada

panjang gelombang 290-320 nm dengan rentang 5 nm dan dibaca sebanyak 3

kali pada titik yang sama. Kategori proteksi suatu sediaan tabir surya dapat

ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini.

16

Tabel 1. Klasifikasi SPF (Murphy, 2005)

SPF Kategori Level Proteksi

≥ 30 Proteksi tinggi Untuk kulit yang mudah

mengalami sunburn

12-29 Proteksi sedang Untuk kulit yang kemungkinan

mengalami sunburn-nya sedang

2-11 Proteksi minimal Untuk kulit yang sulit mengalami

sunburn

b. Evaluasi nilai % TE dan % TP

% TE dapat ditentukan dengan cara spektrofotometri yaitu dengan

mengukur absorbansi larutan sampel pada rentang panjang gelombang yang

menimbulkan eritema pada panjang gelombang 292,5 – 337,5 nm, sedangkan

untuk % TP dilakukan pembacaan absorbansi larutan sampel pada panjang

gelombang yang menimbulkan pigmentasi, yaitu pada panjang gelombang

332,5-372,5 nm. Pembacaan dilakukan dengan interval 5 nm. Dari nilai

serapan yang didapat, dihitung nilai serapan untuk 1 g/L/cm dan T% 1 g/L

dengan rumus A=- log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan mengalikan

nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang

gelombang 292,5 – 337,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan

mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor pigmentasi (Fp) pada panjang

gelombang 332,5-372,5 nm (Cumpelik, 1972).

Tabel 2. Kategori penilaian aktivitas tabir surya (Balsam, 1972)

Kategori penilaian Rentang sinar UV yang ditransmisi

% eritema % pigmentasi

Sunblock < 1 3-40

Proteksi ekstra 1-6 42-86

Suntan standar 6-12 45-86

Fast tanning 10-18 45-86

17

9. Metode Simplex Lattice Design (SLD)

Metode SLD merupakan metode yang sangat tepat untuk digunakan dalam

optimasi formula pada jumlah komposisi bahan yang berbeda-beda, akan tetapi

jumlah total bahan adalah konstan. Untuk menentukan formula yang optimal

digunakan persamaan sistematik (Bolton, 2010)

Implementasi dari metode SLD adalah menyiapkan berbagai macam

formulasi yang terdiri dari kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Kombinasi

dipersiapkan dengan suatu cara yang mudah dan efisien seperti menggunakan data

eksperimental untuk memprediksi respon yang berada dalam ruang simplex

(simplex space). Data eksperimental digunakan untuk membuat persamaan

polinomial yang digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton, 2010).

10. Kurkumin

Kurkumin merupakan salah satu senyawa yang khas dari suku Zingiberaceae

yang memberikan warna kuning. Kurkumin merupakan salah satu jenis

antioksidan alami yang dapat mencegah pertumbuhan sel kanker secara sendiri

maupun bila dikombinasikan dengan zat antioksidan lainnya (Fitria, 2008). Pada

dasarnya kurkumin relatif stabil pada suasana asam, tetapi mudah terdegradasi

pada pH basa (Kumavat, 2013).

11. Monografi

a. Setil Alkohol

Setil alkohol dapat berfungsi sebagai agen penyalut, agen pengemulsi, dan

agen pengeras. Setil alkohol banyak digunkan dalam sediaan kosmetik dan

18

sediaan farmasetis seperti suppositoria, sediaan solid dengan pelepasan

termodifikasi, emulsi, lotion, krim, dan ointment. Pada lotion, krim, dan ointment

setil alkohol digunakan sebagai emolien, pengental, dan pengemulsi. Hal tersebut

dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi. Sifat emolien tergantung

pada absorpsi dan retensi setil alkohol pada lapisan epidermis, yang mana

memiliki sifat sebagai lubrikat dan pelembut kulit, tetapi juga meningkatkan

konsistensi atau teksturnya. Pada emulsi o/w, setil alkohol diketahui mampu

meningkatkan stabilitas apabila dikombinasikan dengan agen pengemulsi larut air.

Kombinasi tersebut akan mencegah terjadinya koalesen dengan mekanisme

pembentukan lapisan monomolekuler pada antarmuka minyak dan air ( Rowe,

dkk., 2006).

b. Asam Stearat

Asam stearat banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis

sebagai agen pengemulsi ketika direaksikan dengan alkali dan trietanolamin.

Asam stearat berupa partikel padat, berwarna putih atau kekuningan, agak

mengkilap, sedikit berbau, dan rasanya seperti ada lemaknya. Asam stearat

memiliki titik lebur pada suhu 69o-70

oC dan bagiannya larut dalam 15 bagian

etanol, serta tidak larut dalam air (Rowe, dkk., 2006).

c. Minyak mineral

Minyak mineral berfungsi sebagai emolien, lubrikan, pembawa oleaginous,

dan solven. Pada pembuatan emulsi o/w, minyak mineral digunakan sebagai

solven. Minyak mineral bersifat transparan, tidak berwarna, cairan berminyak,

tidak berfluoresensi di siang hari, tidak berasa, tidak berbau ketika dingin, tidak

19

larut dalam etanol 95%, gliserin, dan air, tetapi larut dalam kloroform, benzene,

dan eter (Rowe, dkk., 2006).

d. Propil paraben

Propil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan

sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan

dengan ester paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain.

Propil paraben efektif melawan jamur dan kapang. Propil paraben berwarna

serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe, dkk., 2006).

e. Gliserin

Gliserin berfungsi sebagai antimikroba, emolien, humektan, plasticizer, pelarut,

dan agen pemanis. Pada formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik,

gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin tidak berwarna,

kental, tidak berbau, cairan higroskopik, dan memiliki rasa manis (Rowe, dkk.,

2006).

f. Trietanolamin

Trietanolamin berfungsi sebagai agen pengalkalis dan agen pengemulsi.

Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis

terutama pada sediaan emulsi. Ketika dicampur dengan asam lemak, seperti asam

stearat atau asam oleat, trietanolamin membentuk sabun anionik yang digunakan

sebagai agen pengemulsi untuk membentuk emulsi o/w yang stabil. Trietanolamin

tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat, berupa cairan kental yang sedikit

berbau amoniak (Rowe, dkk., 2006).

20

g. Metil paraben

Metil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan

sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan

dengan paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain. Metil

paraben efektif melawan jamur dan kapang. Metil paraben berupa kristal putih

atau kristal tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan memiliki rasa terbakar

ringan (Rowe, dkk., 2006).

h. Lanolin

Lanolin dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin

banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik.

Lanolin digunakan sebagai pembawa hidrofobik. Lanolin dicampur dengan air

seberat dua kalinya untuk menghasilkan emulsi yang stabil (Rowe, dkk., 2006).

E. Landasan Teori

Yuliani (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ekstrak etanolik

Curcuma mangga Val. memiliki aktiivitas sebagai tabir surya. Hal tersebut

dibuktikan dengan pengukuran nilai SPF terhadap ekstrak etanolik Curcuma

mangga Val. menunjukkan nilai SPF sebesar 15,18. Suatu bahan bisa dikatakan

memiliki aktivitas sebagai tabir surya jika memiliki nilai SPF minimal 2 (Murphy,

2005). Tabir surya dengan nilai SPF setidaknya 15 direkomendasikan untuk

digunakan sebagai sunscreen dalam kehidupan sehari-hari.

Temu mangga diketahui mengandung kurkuminoid yang memiliki

kromofor dan gugus auksorom yang mampu menyerap sinar UV (Yuliani, 2010).

21

Dalam penelitian Sumarny, dkk (2012), kadar kurkumin dalam temu mangga

diketahui sebesar (0,19 ±0,0131)%. Selain itu, kurkuminoid termasuk golongan

polifenol yang memiliki sifat antioksidan. Sifat ini menjadi salah satu alasan

utama digunakannya tanaman herbal sebagai bahan kosmetik (Kole, 2005).

Pemilihan basis dalam formulasi sediaan lotion sangat mempengaruhi

karakter lotion yang terbentuk. Teori emulsi tidak mampu untuk memprediksi

komposisi yang sesuai untuk memperoleh emulsi dengan sifat fisik tertentu.

Sehingga untuk mendapatkan formulasi yang sesuai diperlukan optimasi antara

lain terhadap prosedur evaluasi, komposisi bahan yang digunakan, dan perumusan

formulasi yang dimodifikasi (Lieberman, dkk., 1996). Dalam penelitian ini,

optimasi dilakukan terhadap TEA-stearat dan setil alkohol. TEA merupakan salah

satu komponen dalam lotion yang berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi

(Kwan, 2014). TEA berfungsi sebagai pengemulsi dan pengatur pH pada

konsentrasi (2-4)% (Rowe, dkk., 2006). Asam stearat berfungsi sebagai bahan

pengemulsi dan solubilisasi pada konsentrasi (1-20)% untuk sediaan topikal

(Rowe, dkk., 2006). Asam stearat dan TEA akan membentuk kompleks TEA-

stearat yang berfungsi sebagai emulgator (Fiume, 2013). Setil alkohol berfungsi

sebagai penstabil dan pengental (Kwan, 2014). Bahan tersebut berfungsi sebagai

bahan pengemulsi pada konsentrasi (2-5)% dan sebagai bahan pengental pada

konsentrasi (2-10)% (Rowe, dkk., 2006).

22

F. Hipotesis

1. Kombinasi TEA-stearat dan setil alkohol dalam formula lotion o/w ekstrak

etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) dapat menghasilkan

formula yang optimum.

2. Formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (

Curcuma mangga Val.) yang optimum ditunjukkan oleh sifat fisik yang

optimum.

3. Formula lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga ( Curcuma

mangga Val.) yang stabil ditunjukkan oleh sifat fisik yang stabil.

4. Lotion o/w ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai

tabir surya.