BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sabtu malam. Ketika bunyi diesel telah meraung bersahutan menyalakan lampu-lampu di tiap rumah, saya dijemput Taher di rumah Kadus Ensunak, diajak berburu. Tempatnya di hutan dekat Sokek, dan kami berangkat dengan motor, menempuh perjalanan sebelas kilometer. Dua hari tak ada hujan, sehingga tanah padat mampu membuat roda menggelinding dengan baik di sepanjang jalan yang kanan-kirinya melewati kebun sawit dan hutan bawas itu. Kami sempat mampir ke Longsat untuk mengambil lantak 1 , lalu melanjutkan perjalanan, dan sesampainya di Sokek, kami sudah ditunggu oleh Pah, Socek, Jaton, serta Dodi 2 . Mereka mengikutsertakan dua anjing, katanya, anjing-anjing itu cerdik dan piawai dalam gelap, ‗spesialis‘ untuk berburu malam hari. Kami berangkat ke hutan setelah sebatang rokok habis sembari berbincang. Jalan kaki dua kilometer di barat Sokek, lalu belok kiri. Melangkahi jalan setapak seiring rentetan pohon yang semakin rimbun di tengah rimba. Lama- lama jalan setapak pun hilang. Di kanan kiri teraba ranting-ranting juga batang pohon yang basah. Dengan hati-hati saya mengambil pijakan, karena beberapa jalan berlumpur, ada juga kubangan. Kadang kami harus melompat, merunduk dan berpijak pada akar-akar besar demi mengikuti denai anjing yang sepertinya telah mengerti ke mana harus melangkah. Gelap, dan langit kurang tampak lantaran tertutup rindang pepohonan, cahaya terang hanya dari lampu senter kami. 1 . Senjata api laras panjang, biasanya rakitan dan pelurunya dari gotri yang lontarkan oleh ledakan keppotai (semacam bubuk mesiu) 2 Semua nama-nama di dalam tesis ini sudah disamarkan.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sabtu malam. Ketika bunyi diesel telah meraung bersahutan menyalakan

lampu-lampu di tiap rumah, saya dijemput Taher di rumah Kadus Ensunak, diajak

berburu. Tempatnya di hutan dekat Sokek, dan kami berangkat dengan motor,

menempuh perjalanan sebelas kilometer. Dua hari tak ada hujan, sehingga tanah

padat mampu membuat roda menggelinding dengan baik di sepanjang jalan yang

kanan-kirinya melewati kebun sawit dan hutan bawas itu. Kami sempat mampir

ke Longsat untuk mengambil lantak1, lalu melanjutkan perjalanan, dan

sesampainya di Sokek, kami sudah ditunggu oleh Pah, Socek, Jaton, serta Dodi2.

Mereka mengikutsertakan dua anjing, katanya, anjing-anjing itu cerdik dan piawai

dalam gelap, ‗spesialis‘ untuk berburu malam hari.

Kami berangkat ke hutan setelah sebatang rokok habis sembari

berbincang. Jalan kaki dua kilometer di barat Sokek, lalu belok kiri. Melangkahi

jalan setapak seiring rentetan pohon yang semakin rimbun di tengah rimba. Lama-

lama jalan setapak pun hilang. Di kanan kiri teraba ranting-ranting juga batang

pohon yang basah. Dengan hati-hati saya mengambil pijakan, karena beberapa

jalan berlumpur, ada juga kubangan. Kadang kami harus melompat, merunduk

dan berpijak pada akar-akar besar demi mengikuti denai anjing yang sepertinya

telah mengerti ke mana harus melangkah. Gelap, dan langit kurang tampak

lantaran tertutup rindang pepohonan, cahaya terang hanya dari lampu senter kami.

1. Senjata api laras panjang, biasanya rakitan dan pelurunya dari gotri yang lontarkan oleh ledakan

keppotai (semacam bubuk mesiu) 2 Semua nama-nama di dalam tesis ini sudah disamarkan.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

2

Di dalam hutan itu, suara binatang malam bersahutan, ada yang terdengar

samar namun ada juga yang tiba-tiba keras seperti berada dekat di sebelah telinga.

Serbuan nyamuk tak ada ampun meski saya telah memakai pakaian rangkap.

Kami bungkam, hanya sekali Pah bicara ketika saya sibuk menepuk serangan

nyamuk, ―merokok bah, nyamuk takut sama asap‖, katanya tanpa menengok.

Tiba-tiba anjing menggonggong, dia berlari. Pah mengejar anjing-anjing itu

dengan sigap sembari berteriak-teriak pada kami yang tersisa untuk membagi

arah, ―Ambek sana, sana!‖ Taher dan Jatun berlari ke kanan, lenyap. Socek

mengepung dari kiri bersama Dodi sesuai instruksi Pah. Cepat luar biasa, saya

melihat mereka meloncat seperti kelinci, bergelantungan serupa kera, kemudian

menghilang ditelan gelap. ―Kijang! kijang!,” suara mereka terdengar samar,

bersahutan seiringan dengan dua letusan lantak dari arah yang berbeda. Semakin

kecil suara mereka, semakin sadar bahwa saya telah sendiri dalam hitungan detik.

Ketakutan menyergap, saya kehilangan mereka di tengah hutan belantara.

―Puuu, puuu, puuuu!”, teriak saya menirukan orang dusun ketika memberi tanda

bahwa ada orang lain di dalam hutan. Saya lupa arah dan tidak tahu jalan pulang.

Terpaku, karena setiap langkah rawan jebakan, jika tidak berhati-hati bisa tertelan

rawa gambut, digigit ular, atau lainnya. Satu keppotai dalam lantak tak cukup

mengusir rasa khawatir waktu itu. Sampai kiranya belasan menit kemudian Pah

menemukan saya, dan kami pulang setelah semua berkumpul kembali. Perburuan

malam itu berakhir tanpa hasil. Namun tetap saja saya takjub melihat mereka tadi,

berlari dan bergelantungan sembari memegang lantak. Mereka itu manusia yang

telah terlatih untuk hidup dengan kondisi material, lingkungan dan alamnya.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

3

Beberapa hari setelah perburuan malam itu saya pulang ke Yogyakarta

selama sepuluh hari. Ketika kembali ke dusun Ensunak lewat Kecamatan Toba,

saya terperangah melihat di kanan-kiri jalan saat menuju Sokek. Hutan tempat

saya berburu itu sudah musnah sepertiganya. Pohon-pohon terlanjur tumbang dan

menjadi arang, sisanya hanya hamparan padang sampai ujung usaha saya

memandang. Hutan yang masih tersisa, tinggal menunggu waktu untuk binasa.

Konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit terus terjadi di Kalimantan

Barat ini. Di kecamatan Meliau saja, perkebunan kelapa sawit sudah berdiri sejak

tahun 1983 dengan nama PTP VII, dan kini menjadi PTPN XIII (PT. Perkebunan

Nusantara XIII). Perkebunan Swasta bernama BHD (Bintang Harapan Desa)

masuk lima tahun setelahnya, meski baru mendapatkan izin tanam pada tahun

1991. Sementara PTPN XIII masuk pada masa tanam kedua, perusahaan swasta

itu kini sudah mempunyai empat ‗anak perusahaan‘ (atau aliansi) yang semuanya

juga bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit: PT. SISA (Sepanjang Inti Surya

Abadi), PT. SISA 2, PT. DSP (Duta Surya Pratama), dan PT. AAC (Agro Abadi

Cemerlang). Dua yang terakhir berekspansi ke dusun (Ensunak) tempat penelitian

saya ini.

DSP datang pertama. Lebih dari dua windu DSP bertanam sawit di

Ensunak, menjalankan model "PIR-BUN-TRANS‖—yang akrab disebut ―sistem

Inti-Plasma‖ oleh masyarakat. Inti perusahaan, plasma milik petani. Ironisnya,

saya melihat kebun inti kelapa sawit (DSP) yang setiap pohonnya ‗rapi‘ berbaris

dengan jarak 3 meter, tidak ada tumbuhan lain ‗dibiarkan hidup‘ di sekitarnya.

Sedangkan, kebun plasma yang ada di Ensunak malah seperti bawas.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

4

Di kebun plasma yang jaraknya hanya satu kilometer dari dusun saja,

pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang.

Bahkan saya juga melihat ada pohon lain yang tingginya lebih dari empat meter di

antara pokok sawit. Kompetisi hara tentu saja menyebabkan kelapa sawit kurang

subur, belum lagi jika jarang dipupuk. Simpang siur berita berkata, ―Mereka

(pemilik kebun) itu malas. Kalau kebunnya dirawat, dipupuk pasti udah kaya‖,

namun ada juga yang berkilah, ―percuma (dirawat), perusahaan suka ngakal‖.

Perusahaan kedua adalah AAC. Dialah yang membabat hutan tempat saya

berburu, kemudian membakarnya. Perusahaan itu datang di Ensunak tahun 2007

lalu. Pada tahun yang sama masyarakat mulai ―menyerahkan‖ tanahnya, tetapi

baru tahun 2010 mulai dikerjakan. Pola yang ditawarkan adalah Kemitraan:

masyarakat menyerahkan tanahnya pada perusahaan, kemudian perusahaan yang

akan menanam dan merawat panennya, ―kami cuma terima bersih‖, mengutip

beberapa warga. Seolah-olah pola ini adalah jawaban dari persoalan yang dihadapi

sebelumnya, memberi solusi bagi ―pemilik kebun plasma yang malas‖. Namun

sama halnya dengan DSP, kini ―kemitraan‖ AAC juga dianggap sebagai akal-

akalan saja oleh sebagian besar warga Ensunak.

Rasa tidak percaya pada perusahaan beredar dari mulut ke telinga, dari

dusun ke dusun, menyebar dan membuat antipati pada perusahaan kelapa sawit.

Kini beberapa dari mereka ada yang tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidup

dengan cara lama; sebagai peladang dan penyadap getah karet. Ada juga yang

lantas membuka usaha dagang sembari tetap mengurus kebun plasma yang

distopia itu. Ada juga yang pindah, cari kerja di kota.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

5

Mayoritas penduduk Ensunak tamatan SMP, dan sampai kini belum ada

yang bekerja dengan ―jabatan strategis‖, misalnya sebagai asisten kebun, paling

banter satu-dua orang jadi mandor di perusahaan. Banyak yang kecewa pada

perusahaan kelapa sawit, namun banyak juga yang menyikapi dengan cara lain,

alih-alih mempertahankan tanah yang masih tersisa, mereka malah menjual

tanahnya pada ‗orang kaya dari luar‘ yang tidak mereka kenal sebelumnya. ―Di

dusun ini memang sedang marak jual-beli tanah‖, kalimat itu saya dengar ketika

pertama kali sampai di Ensunak. Hari- hari berikutnya di rumah kepala dusun

saya selalu menemukan surat-surat perjanjian jual-beli tanah, juga obrolan-

obrolan tentang tanah dijual, dan dibeli untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Proposal berubah. Niat awal melakukan penelitian tentang penyerobotan

tanah dan resistensi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit batal.

Kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan dan

dibaca dari buku-buku. Banyak orang sengaja ‗menyerahkan‘ serta menjual

tanahnya untuk menjadi kebun kelapa sawit, dan banyak juga yang berkata

bahwa, ―Kami maju karena sawit‖. Kiranya hal-hal itulah membuat saya tertarik

untuk melakukan penelitian ini.

B. Studi Pustaka

Studi tentang perubahan agraria telah banyak dilakukan oleh para ahli

antropologi maupun ilmuwan sosial lainnya. Namun yang kaitannya dengan

perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, juga aksi dan reaksi masyarakat

dalam menghadapi perubahan itu bisa dibilang masih minim. Kendati minim,

beberapa studi mempunyai kemiripan dengan penelitian saya, seperti studi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

6

Zamawi Ibrahim (1998), James C. Scott (1985), Eckstein (1989) dan Bambang

Suta Purwana (2003)

Di dalam studi Zamawi Ibrahim (1998) yang berlokasi di Perkebunan

Kelapa, di Terengganu, Malaysia itu, terdapat dua bentuk resistensi Sawit, yaitu,

personal resistance dan mediated resistance. Personal Resistance bisa dilakukan

secara pasif, agresif, spontan, delayed (memperlambat/menunda perkerjaan),

verbal (lisan) ataupun fisik. Memang cara-cara ini dianggap tidak efektif, namun

sering kali masih dilakukan ketika pegawai ataupun mandor melakukan tindakan

kasar atau tidak berkenan di hati mereka. Umumnya cara yang mereka lalukan

hanya mengubah raut muka yang memperlihatkan ketidaksukaan, namun

kadangkala dapat juga berubah menjadi kemarahan hingga pertengkaran.

Keinginan mereka adalah ―semua sama-sama mencari makan di sini dan haruslah

ada timbang rasa‖. Sedangkan mediated resistance biasanya terbentuk melalui

serikat buruh, karena akan ada pemimpin organisasi yang mengatur serta menjaga

hubungan antara pekerja dengan pegawai kebun, pun jika terjadi masalah dengan

pekerja maka serikat buruh akan menjadi tempat pengaduan.

Tampaknya studi Zamawi Ibrahim diilhami oleh studi yang dilakukan

James C. Scott (1985). Dalam studinya Scott menguraikan dengan baik tentang

perjuangan sehari-hari kaum tani miskin terhadap golongan kaya di desanya

sendiri, maupun terhadap ―kekuatan-kekuatan‖ dari luar desanya yang mewujud

dalam pemerintah, pemodal, hingga aparat yang dianggap menjadi sumber

ketidak-adilan. Lebih jauh, Scott menunjukkan bahwa program Revolusi Hijau

telah merubah tatanan sosial ekonomi di pedesaan Sedaka, Malaysia.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

7

Negara memiliki peranan yang luas dalam proses transformasi pedesaan.

Melalui program modernisasi sistem pertanian padi, negara telah menggeser

hubungan antara petani kaya dan petani miskin. Revolusi Hijau telah memperkuat

daya akumulasi surplus ekonomi bagi petani, yang kaya menjadi tambah kaya,

dan sebaliknya justru mengurangi kemampuan petani miskin untuk memanfaatkan

insentif material yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Tak pelak, para petani

miskin itu menunjukkan eksistensinya melalui everyday form of resistance dalam

bentuk perlawanan terselubung yang muncul sebagai reaksi terhadap everyday

form of repression yang dilakukan tuan tanah, petani kaya yang menjadi musuh

bersama mereka, kaum petani miskin.

Senada dengan Scott, Eckstein (1989) juga menyatakan bahwa secara

umum petani memang pasif dan diam. Akan tetapi para petani itu sangat mungkin

dengan gampang menolak kondisi yang tidak mereka sukai melalui cara

mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari

pemilik modal. Karena itu, sebagaimana dikatakan Scott, bentuk perlawanan

secara terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara terang-

terangan. Tetapi para petani akan siap mengambil resiko dengan mengadakan

konfrontasi langsung bila ketidakadilan sudah dirasa keterlaluan. Biasanya hal itu

terjadi bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, atau bila

institusi lokal, nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk

menggunakan jubah kolektif.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

8

Terakhir adalah studi yang dilakukan Bambang Suta Purwana (2003).

Laporan penelitian yang tidak diterbitkan ini paling berdekatan dengan lokasi

studi yang saya lakukan. Temuan dari penelitian yang dilakukan di seluruh

Kabupaten Sanggau bicara tentang klaim negara terhadap tanah dan sumber daya

alam dengan tidak memperhatikan kepemilikan adat. Hal ini menyebabkan hak-

hak masyarakat adat berangur-angsur hilang, dan berganti oleh ‗hak semu‘ yang

mengatas-namakan kepentingan investasi skala besar berupa pemberlakuan HPH

(Hak Penguasaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri) sampai PIR (Perkebunan

Inti Rakyat). Kerusakan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup

penduduk terjadi karena dieksploitasi secara berlebihan. Suta juga mengatakan

bahwa, perlawanan petani-peladang sudah dimulai sejak terjadinya ‗perampasan

tanah adat‘ oleh perusahaan kelapa sawit milik negara.

Meski banyak alinea yang diulang dalam laporan ini, namun pada bab

akhir Bambang Suta berhasil memberi deskripsi dari pertanyaannya, bahwa

resistensi penduduk lokal atau masyarakat petani ladang terhadap keberadaan

PTPN XIII itu diwujudkan dalam gerakan reklaiming tanah, perusakan tanaman,

pencurian buah kelapa sawit yang hampir terjadi di seluruh afdeling di Meliau,

penerapan sanksi hukum adat kepada staf PTPN XIII, perusakan fasilitas pegawai

areal perkebunan dan tuntutan warga masyarakat lokal untuk mendapat jabatan

atau posisi strategis dalam perkebunan (Suta, 2003: 112-119). Minimnya narasi

saat menjelaskan bentuk-bentuk perlawanan serta, tidak adanya contoh kasus yang

cukup representatif membuat perlawanan seolah-olah dilakukan secara komunal

dan terjadi di seluruh wilayah PTPN XIII.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

9

Berbagai studi yang dilakukan para ahli diatas menunjukan hal menarik

mengenai respons petani terhadap perubahan agraria yang terjadi di Asia

Tenggara. Kesemuanya menunjukan bahwa respons dari perubahan yang terjadi

adalah resistensi. Termasuk studi Suta (2003) dan Zamawi (1998) yang lebih

spesifik membahas tentang bentuk-bentuk resistensi petani terhadap perkebunan

kelapa sawit. Namun ada yang janggal dari semua studi yang dilakukan oleh para

ahli di atas. Seolah-olah mereka menunjukan bahwa perubahan terjadi secara tiba-

tiba, serupa dongeng yang bercerita, ―ada orang-orang dengan kekuasaan (power)

besar dari luar (wilayah petani) datang, melakukan perubahan besar dan

mengorbankan petani‖. Perubahan agraria ditempatkan seperti sebuah tragedi.

Petani-peladang hanya bisa menerima dengan pasrah dan menjadi korban dengan

―datangnya revolusi hijau sampai perampasan tanah adat‖. Setelah terjadi

perubahan, baru ada perlawanan. Bentuk perlawanannya pun ―terselubung‖. Oleh

karena itu, terdapat celah yang masih perlu dikaji lebih dalam yakni, menyoal

peran petani-peladang dalam proses perubahan itu.

C. Permasalahan

Berbagai kajian di atas masih saja menempatkan petani sebagai aktor

pasif, korban dan tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi perubahan

agraria. Seolah terlupakan bahwa petani juga manusia, semua manusia selalu

punya pilihan, keinginan dan harapan —namun juga tindakan demi― kehidupan

yang lebih baik. Perusahaan sawit datang ke dusun Ensunak dengan menawarkan

‗sistem‘ inti-plasma. Sampai suatu kali masyarakat menilai bahwa ―perusahaan

suka ngakal‖, mereka merasa ditipu dan kehilangan tanahnya.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

10

Namun seperti yang telah saya paparkan pada latar belakang di atas,

terjadi paradoks yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Pertama, semenjak AAC

datang, harapan apa yang ditawarkan “pola kemitraan” sehingga mampu

membuat masyarakat (yang telah kecewa pada perusahaan kelapa sawit itu)

masih mau menyerahkan tanahnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit?.

Pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa mereka yang kehilangan tanahnya

karena merasa ditipu oleh perusahaan justru menjual tanah-tanah yang tersisa?

Lantas apa konsekuensinya?

D. Kerangka Pemikiran

Seperti membangun rumah. Fondasi dibuat dengan berpedoman pada

asumsi dasar yang berkata bahwa, ―hanya ada satu hal yang kekal dalam

kehidupan manusia, yaitu perubahan‖. Sedangkan rusuk, tiang, dan kuda-kudanya

terbentuk serupa kerangka pemikiran yang membahas perihal konsep, teori, serta

gambaran umum untuk menjelaskan bentuk perubahan itu.

1. Dayak Dalam Perubahan Agraria

Masyarakat Dayak adalah konsep yang mengacu pada suatu realita jamak;

konsep yang biasa dipakai untuk menyebut ―penduduk asli‖ Pulau Kalimantan,

dan secara etnik mereka itu masih membedakan diri lagi dalam berbagai

kelompok dan sub-kelompok (Coomans, 1987; King, 1978; Lebar, 1972 via Pujo

Semedi, 1996:197). Namun setelah sampai di Kalimantan Barat, beberapa orang

Melayu mengaku bahwa nenek moyang mereka adalah orang Dayak. Uniknya

mereka ―menjadi‖ orang Melayu setelah masuk Islam, dan jika beragama Kristen

Protestan ataupun Katholik mereka masih orang Dayak. Pun pernah pada

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

11

Desember 2009 lalu, saat saya berkunjung ke Rumah Bentang di Pontianak. Salah

satu anggota Dewan Adat Dayak berkata, ―Kalau sudah tidak lagi makan dalam

satu priuk berarti bukan orang Dayak‖, kata ‗satu priuk‘ bisa diartikan sebagai

makan bersama sampai memakan babi yang seringkali digunakan dalam ritual

adat. Sedangkan Islam mengatur makanan dengan ―halal-haramnya‖, sehingga

jika ada orang Dayak yang pindah ke agama Islam, maka secara ‗otomatis‘ ia

menjadi orang Melayu. Malah, ketika ada orang Dayak yang menikah dengan

orang Jawa (Islam) misalnya, anak mereka akan dianggap sebagai orang Melayu.

Hal ini serupa dengan apa yang ditulis oleh Weintré (2004:22-23), dewasa ini

istilah Melayu tidak lagi digunakan sebagai referensi etnis, tetapi sebagai referensi

Islam untuk mengkontraskan dengan yang non-Islam. Peningkatan jumlah besar

orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang Dayak yang memeluk Islam,

bukan karena orang Melayu yang merantau ke Kalimantan dalam jumlah besar.

Konon dahulu orang Dayak hidup sebagai peladang yang secara periodik

membuka ladang baru di kawasan hutan sekunder (bawas) dan hutan primer

(rimba). Kawasan hutan primer dan sekunder yang disebut tanah adat itu

‗dikelola‘ oleh binua. Binua adalah kesatuan sosial masyarakat Dayak terbesar

gabungan dari beberapa kampung yang didasarkan pada kepercayaan satu garis

nenek moyang dan ―bahasa ibu‖ yang sama. Organisasi sosial masyarakat Dayak

pada masa lalu dapat dipahami dari pola tempat tinggal mereka. Rumah panjang

terdiri dari puluhan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga

batih. Kerangka sosial seperti ini memainkan peranan penting sebagai tali

pengikat kekeluargaan, sehingga satu sama lain di dalam desa merasa dirinya satu

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

12

kekerabat, pun itu karena kesatuan sosialnya terbentuk oleh faktor genealogis. Di

setiap wilayah, Pimpinan Binua mempunyai sebutan yang berbeda, seperti: Toa

So, Toa Langko, Tamatoa, Toa-toa, Adat, ataupun Tumenggung. Mereka dipilih

berdasarkan kriteria seperti penguasaan mereka terhadap (aturan) adat istiadat,

kemampuan berbicara dan keberaniannya. Biasanya status ekonomi ketua

kampung tadi relatif sama dengan warga kampung yang lain, dan wewenangnya

terbatas pada suatu kelompok setempat dari beberapa betang yang terletak pada

satu aliran batang sungai atau anak sungai (Semedi, 1996; Mudiyono, 1994).

Masyarakat Dayak ketika masih tinggal bersama dalam satu rumah

panjang umumnya belum mengenal kepemilikan pribadi atas faktor produksi.

Lahan perladangan dinyatakan sebagai tanah ulayat dengan hak pemakaian

ekslusif pada rumah tangga. Sekali satu hutan dibuka menjadi ladang, maka hak

pakai atas lahan tersebut ada pada rumah tangga yang pertama kali membukanya

(op. cit, 1996: 201). Perladangan berpindah (shifting cultivation) menjadi dasar

terbentuknya wilayah teritorial yang diakui adat. Oleh itu wilayah genealogis dan

teritorial merupakan kesatuan sosial politik yang membentuk kesatuan integratif.

Dahulu Masyarakat Dayak menganggap tanah bukan saja sekedar bernilai

ekonomis namun juga mempunyai hubungan magis dengan kehidupan dan

menyangkut harga diri mereka. Dalam segi teritorial komunitas, masyarakat adat

adalah penguasa dan pemilik tanah di wilayah desa yang diakui dan dihormati

bersama. Orang dari kelompok lain harus menghormati keberadaan itu secara

utuh, dengan demikian tiap-tiap komunitas Dayak saling bertetangga dengan

pemerintahannya sendiri-sendiri (Mudiyono, 1994:211-214).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

13

Sistem kepemilikan dan budaya perladangan yang sarat dengan kearifan

lokal pada masyarakat dayak itu telah teruji berabad-abad lamanya. Namun kini,

budaya bertani telah diganti dengan teknis bisnis bertani (agro-bisnis), yang

bersifat instan dan hanya berdasar pada janji limpahan pasar. Hilangnya budaya

bertani para petani berarti juga hilangnya nilai-nilai dan ilmu bertani sarat kearifan

lokal serta ramah lingkungan (Wahono, 2008:7-9).

Di Ensunak mayoritas penduduknya adalah (sub-etnik) Dayak Desa.

Rumah panjang, mandau, sumpit, Tumenggung, dan segala bentuk ritual adat khas

Dayak masih dilakoni kendati mereka mengaku sebagai keturunan Jawa. Uniknya,

pasca konflik yang terjadi di seantrero Sanggau pada tahun 1997 lalu

menyebabkan mereka mengidentifikasi ―komunitasnya‖ sebagai ―Orang Desa‖

saja, kata ―Dayak‖ dihilangkan karena dinilai ―kasar‖ dan mereka enggan terlibat.

Sehingga konsep etnik dayak tidak lagi tepat jika dipakai untuk melihat

masyarakat Ensunak sekarang, apalagi, di dalam komunitas itu sudah banyak

transmigran yang sudah diakui sebagai penduduk setempat dan hidup dengan

mencurahkan tenaga kerjanya pada sumberdaya alam yang ada.

Karet mengenalkan mereka pada pemenuhan kebutuhan pasar, sementara

ladang untuk kebutuhan subsisten, namun kini, perladangan semakin ditinggalkan.

Sehingga sistem kepemilikan yang sebelumnya sama dengan pemaparan di atas

juga telah berubah. Pembukaan perkebunan kelapa sawit besar-besaran –demi

minyak masak sampai bahan bakar (biodisel),– telah ―menggantikan‖ tatanan

lama dan membentuk kesepakatan baru. Tentu saja dengan persoalan dan

konsekuensi yang baru pula.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

14

2. Ekonomi Moral, Rasional dan Akal-akalan

Petani subsisten menganggap perubahan yang terjadi sebagai akibat

intensifikasi dan komersialisasi hasil-hasil agraria sangat membahayakan

kelangsungan hidup, adat istiadat dan hak-hak tradisional yang mereka miliki.

Oleh karena itu, para petani mengambil sikap defensif terhadap perubahan yang

terjadi. Namun para petani subsisten ini bisa sangat rentan, jika gagal dalam satu

musim panen saja bisa jadi harus menjual harta benda bahkan tanahnya untuk

sekedar bertahan hidup. Kondisi seperti ini melahirkan moralitas yang disebut

mendahulukan selamat (Scott, 1976). Prinsip mendahulukan keselamatan itu

menjadi sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani menolak

perubahan dan siap melakukan perlawanan jika terpaksa. Tujuan perlawanannya

bukan untuk menggulingkan dan mengubah sebuah sistem dominasi, melainkan

lebih pada upaya bertahan untuk tetap hidup dalam sistem itu (Basrowo, 2003:7).

Dengan kata lain, pendekatan moral ekonomi mengganggap ‗perlawanan petani‘

adalah suatu tindakan defensif untuk tetap subsisten terhadap kapitalisme.

Perspektif moral ekonomi itu ditentang oleh Popkin (1979) yang

mengatakan, resistensi petani merupakan pilihan rasional terhadap berbagai

alternatif yang tersedia. Logika Popkin menyatakan bahwa perilaku manusia

selalu dilandasi motif mencari keuntungan atau kemanfaatan yang sebesar-

besarnya, sehingga setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih ‗perilaku‘

yang paling efisien guna mencapai keuntungan yang maksimal bagi dirinya.

Relasi sosial dalam perspektif Popkin merupakan perjuangan kepentingan atas

ekonominya sendiri, dan bukan dilandasi oleh pertimbangan moral kolektif.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

15

Setiap petani dalam komunitas petani pada dasarnya termotivasi menuntut

keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi sekecil mungkin.

Bagi Popkin, semua bentuk perlawanan petani itu bukan untuk menentang

Revolusi Hijau atau perubahan yang ada, melainkan perlawanan terhadap

kekuasaan elite desa dan petani kaya yang mengorganisir namun justru

merugikan. Perlawanan ada karena sebagian besar individu merasa dirugikan,

bukan sebagai reaksi defensif untuk mempertahankan institusi tradisional seperti

yang dikatakan Scott. Hendaknya Popkin menyatakan bahwa gerakan yang

dilakukan petani adalah gerakan anti feodal, bukan gerakan restorasi untuk

mengembalikan tradisi lama, tetapi untuk membangun tradisi baru. Dalam pada

itu, Popkin hendak berkata bahwa petani merupakan individu-individu yang bebas

mengembangkan kreativitasnya secara rasional dan mengharapkan kesejahteraan

dengan memaksimalkan keuntungan3. Itulah yang tampak dalam logika tindakan

kolektif, dimana mereka memberi kontribusi dengan mengkalkulasi prospek

kembalinya investasi dan kualitas organisasi sebelumnya. Kesadaran ideologis

saja tidak cukup untuk menggerakkan petani miskin untuk berdemonstrasi, lebih-

lebih menjadi seorang pejuang bersenjata. Bagi petani subsisten, keuntungan

material itu lebih menarik daripada gairah ideologis yang tampaknya lebih bisa

diterima oleh golongan petani dari kelas menengah yang stabil dan berlebih

(Mashud, 2003:128)4.

3. Bentuk lain yang sesungguhnya meminimalkan resiko dan kerugian dari para petani sebenarnya

dianggap suatu yang rasional, mereka rasional dengan keadaan dan situasi kondisi mereka saat itu.

Perlu diingat suatu rumah tangga petani tidak hanya sebagai suatu unit produksi tapi juga

merupakan suatu unit konsumsi. (Lihat Schultz, T.W, 1964 via Martinussen, 1999: 135-136).. 4. Lebih jauh lihat juga Eric Wolf (1969) di mana petani kelas menengah menjadi massa utama

pendukung gerakan revolusioner. Karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

16

Scott (1985) merespon dengan baik kritikan Popkin, studinya di Sedaka,

Malaysia mampu memberi gambaran menarik tentang kaum tani yang melakukan

perlawanan terhadap dampak Revolusi Hijau –yang mengancam keamanan

subsistensi mereka. Petani miskin secara perorangan melakukan tindakan-

tindakan perlawanan terhadap hegemoni negara lewat penetrasi pada proses

transformasi hubungan-hubungan produksi yang terwujud dalam mekanisasi

pertanian dan modernisasi pertanian. Bentuk perlawanan sehari-hari dilakukan

secara terselubung, mereka tidak memiliki wadah atau organisasi politik formal

seperti kelas menengah dan kaum cendekiawan.

Kaum tani ini melakukan bentuk perlawanan sehari-hari secara jangka

panjang terhadap pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan

bunga dari mereka. Senjata yang dipergunakan oleh kaum lemah ini antara lain

seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura

memenuhi permohonan, pencurian, dan sabotase. Mereka hampir tidak

memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit

serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri dan secara

khas menghindari konfrontasi simbolis dengan kekuasaan, dalam jangka panjang

cara ini justru terbukti paling efektif.

Sesekali dalam bukunya Scott mempertanyakan, apakah perbuatan seperti

mencuri hingga membunuh hewan ternak dapat dianggap sebagai resistensi

meskipun tidak dilakukan secara kolektif dan terbuka untuk menantang struktur

perubahan pasar dan kebijakan agraria maka mereka lebih mudah menerima ideologi revolusioner

yang menjanjikan perbaikan tata politik dan stabilitas ekonomi. Hal tersebut karena mereka

memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis, yang tidak dimiliki oleh

petani ‗gurem‘ ataupun buruh perkebunan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

17

dasar hak milik dan dominasi. Terdapat dua ―penelusuran‖ penting dalam hal ini.

Pertama, memahami makna dibalik tindakannya, hingga dalam temuan Scott,

mencuri itu dikatakan sebagai bentuk pemberian zakat oleh orang kaya yang harus

diambil sendiri oleh si petani miskin. Para petani menganggap bahwa mencuri

adalah tindakan sah untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi hak mereka,

meski sebenarnya mereka enggan melakukannya (Scott, 1985:289-291). Kedua

berkaitan dengan definisi dan analisisnya, kecenderungan pemikiran yang sudah-

sudah selalu mengatakan bahwa mencuri adalah sebagai aksi pengorbanan jangka

pendek seseorang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan jangka panjang yang

lebih menguntungkan. Namun Scott punya pendapat lain, sebagaimana ia

memberi contoh kasus seperti yang terjadi pada sebagian besar petani di Asia

Tenggara. Para petani menyembunyikan padi dan harta miliknya dari incaran mata

pemungut pajak. Hal ini selain merupakan bentuk protes terhadap pengenaan

pajak yang tinggi, tetapi juga merupakan upaya untuk memastikan keluarganya

memiliki persediaan padi yang cukup sampai musim panen berikutnya.

Jika memakai konsep Scott tentang resistensi dan perlawanan sehari-hari

itu, di Ensunak bentuknya mengambil rupa yang lain. Terminologi yang sering

dipakai adalah ―ngakal‖, atau ―akal-akalan‖. ―Perusahaan suka ngakal‖, bukan

berarti masyarakat tidak. Akal disebut sebagai daya pikir (untuk memahami

sesuatu), perihal pikiran sampai ingatan termasuk didalamnya. Semua manusia

punya akal, oleh karena itu ―orang gila‖ seringkali dianggap sedang ―kehilangan

akal‖. Akal terwujud dari cara manusia melakukan sesuatu, daya upaya, atau

kemampuan melihat dan memahami lingkungannya. Sedangkan ―akal-akalan‖

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

18

atau ―ngakal‖ seringkali berkonotasi dengan pura-pura dan bohong-bohongan.

Konsep ―ngakal‖ erat kaitanya dengan ‗siasat‘, namun ―ngakal‖ atau ―akal-

akalan‖ itu lebih ‗bersifat negatif‘ karena merujuk pada daya-upaya untuk

melakukan sesuatu (demi memenuhi suatu tujuan yang menguntungkan diri

sendiri) dengan cara menipu, licik, mencurangi, membodohi, ataupun berpura-

pura bodoh5.

Pertarungan dan perlawanan bukan hanya terjadi antara level bawah

(masyarakat) melawan penguasa (yang dalam hal ini perusahaan, tokai, ataupun

elit desa) saja, namun juga antarsesama masyarakatnya. ―Di mana ada penindasan

di situ ada perlawanan‖, ternyata tidak sepenuhnya tepat. Ada kemungkinan lain

yang berbentuk serupa rantai makanan: yang kuat memakan yang lemah,

sedangkan yang lemah memakan yang lebih lemah lagi, dan seterusnya. Ada pula

yang ―kacau-balau‖(chaos), saling menyerang, memanfaatkan demi keuntungan

diri sendiri. Segala kompleksitas itu terwujud dalam fenomena (baca: kenyataan

yang sering terulang) akal-akalan di Ensunak.

3. Ekslusi dan Resiprositas Negatif

Sejak berakhirnya Perang Dingin hingga Krisis Ekonomi tahun 2007 lalu.

Banyak ahli telah berbicara tentang tentang globalisasi dan proses eksklusi, tetapi

yang perlu dilihat di kedua konteks di atas adalah, powers yang bekerja di ruang

geografis-sejarah masyarakat di Asia tenggara selalu berubah dari waktu ke

waktu, demikian juga prosesnya, aktor-aktor yang terlibat, dampak bagi mereka

(baik yang kalah maupun menang), hingga bentuk-bentuk ―perlawanan” atas

5. Lihat Tesaurus Bahasa Indonesia (2008: 10) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi

offline yang mengacu pada data KBBI Darling (Edisi III ), diunduh gratis dari

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. Kata pencarian ―akal‖.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

19

eksklusi yang terjadi. Pada ranah inilah Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania

Murray Li (2003) mencoba mengeksplorasi, bagaimana dan mengapa berbagai

kenyataan di atas bisa muncul, kekuasaan (power) seperti apa yang bekerja dalam

transformasi itu, siapa aktor yang mendorong atau melawan perubahan yang

terjadi, pada relasi pertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditimbulkan dari

perubahan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan

waktu dikupas.

Tania Li dan kawan-kawan (op. cit) itu melihat ―eksklusi‖ yang terbagi

dalam dua pengertian, yang pertama sebagai ―kondisi‖, di mana seseorang berada

dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi ketika tanah dikuasai dalam

bentuk kepemilikan pribadi (private property). Sedangkan kedua adalah

―eksklusi‖ yang bermakna ―proses‖, di mana aksi-aksi kekerasan intens dan

berskala luas mampu mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya

dikarenakan ―orang yang berkuasa‖. Eksklusi bukanlah proses acak, ia dibentuk

oleh pelbagai relasi kekuasaan. Seperti yang terjadi pada sebagian besar kawasan

pedesaan di Asia Tenggara, temuan mereka mengatakan bahwa, kondisi dan

proses eksklusi tercipta dari interaksi empat unsur, yakni: kebijakan (regulation),

kekuatan (force), pasar (market) dan pengesahan (legitimation).

Kendati tidak eksklusif, namun ‗kebijakan‘ seringkali diasosiasikan

dengan ‗instrumen‘ legal-negara yang menetapkan aturan (terhadap) akses atas

tanah dan kondisi penggunaannya. ‗Kekuatan‘ adalah kekerasan ataupun ancaman

kekerasan yang dilakukan negara atau asing. ‗Pasar‘ juga sebagai wujud dari

kekuatan eksklusi yang bekerja untuk membatasi akses melalui bentuk ―harga dan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

20

kreasi insentif‖ dengan semakin ter-privatisasi-nya tanah. Sedangkan

‗pengesahan‘ yang menentukan dasar moral atas klaim, sehingga dapat berperan

dalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan untuk menjadi basis eksklusi yang

secara politik dan sosial dapat diterima.

Sedangkan “powers of exclusion” untuk menandai transformasi agraria di

Asia Tenggara berhasil mereka temukan dalam 6 bentuk, yang pertama adalah;

‗keberlangsungan‘ akses atas tanah melalui program pemerintah, sertifikasi tanah,

formalisasi dan (proses) pemukiman6. Kedua, ―ekspansi spasial‖ dan intensifnya

upaya untuk melakukan konservasi hutan dalam bentuk pelarangan pertanian.

Ketiga, hadirnya ―boom crops‖ yang sekonyong-konyong terlihat masif, cepat,

dan keras, hingga mampu membuat tanah-tanah berganti menjadi lahan untuk

produksi monocrops. Keempat adalah terjadinya “konversi‖ lahan pertanian

untuk tujuan-tujuan ―pasca-agraria‖. Kelima adalah terbentuknya formasi kelas

agraris yang ―intim‖ dalam skala desa. Sedangkan yang keenam ialah mobilisasi

massa untuk mempertahankan atau menuntut akses atas tanah mereka, namun

dengan mengorbankan para pengguna lain.

Dalam bukunya Stone Age Economics, Marshal Sahlins (1974) pada

intinya mengungkapkan bahwa masyarakat berburu dan meramu yang selama ini

dianggap sebagai masyarakat yang tidak efektif dalam memenuhi kebutuhannya,

justru sejatinya adalah masyarakat yang paling mudah untuk dipenuhi

kebutuhannya. Ini adalah tangkisan dari temuan para peneliti sebelumnya

6. Settlement di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ‗penyelesaian‘ dan dalam konteks

wilayah diartikan ‗perkampungan‘ atau ‗permukiman‘. Bedakan antara ―permukiman‖ yang

bermakna daerah tempat tinggal (kampung, dusun, desa, hingga negara), sedangkan ―pemukiman‖

berarti proses, tindakan, atau cara memukimkan. Oleh itu, settlement process dapat diartikan

sebagai pemukiman.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

21

menganggap bahwa masyarakat berburu dan meramu yang tradisional itu masih

belum memiliki kemampuan teknis yang baik, sehingga ia bekerja terus menerus

dan belum memiliki waktu luang. Padahal masyarakat ini berbeda dengan

masyarakat konsumtif yang kebutuhannya banyak, tapi kerjanya sedikit.

Kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan membeli dari masyarakat lain, ini berarti

ada industri di sana. Masyarakat berburu-meramu memiliki kebutuhannya sedikit

tapi kerjanya banyak, dan yang demikian, adalah masyarakat makmur sejati.

Sahlins menyebutkan tiga bentuk resiprositas dalam masyarakat berburu

dan meramu. Pertama adalah resiprosiatas umum (generaled reciprocity). Pada

resiprositas ini transaksi yang terjadi punya kecenderungan yang sifatnya

altruistik. Misalnya, jika A memberikan ‗sesiatu‘ kepada B, jika mungkin dan

diharapkan, B pada gilirannya memberikan ‗sesuatu pada A. Dalam tipe ideal

Malinowski contohnya adalah pemberian murni (yang digambarkan dengan

model: AB). Hubungan timbal balik ini tidak ada aturan yang mewajibkan satu

pihak untuk memberi kembali (atau mengembalikan) pada pihak yang telah

memberi sesuatu padanya. Ketika pemberian tidak dibalas maka tidak masalah,

hal itu tidak menyebabkan pemberian berikutnya berhenti. Resiprositas umum ini

juga mirip dengan terminologi Islam yang biasa disebut ikhlas. Biasanya,

resiprositas jenis ini terjadi dalam hubungan yang lebih personal. Seperti orang

tua kepada anak, atau pada sesama keluarga batih (rumah tangga).

Kedua adalah resiprositas berimbang (balance reciprocity). Sahlins

menggambarkan dengan model AB yang maksudnya adalah pertukaran

langsung. Suatu barang yang diberikan masing-masing pihak equivalen atau

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

22

setara. Ditukar tanpa ada penundaan waktu dan memiliki nilai yang sama.

Contohnya seperti ‗perdagangan‘ atau transaksi jual beli yang dilakukan secara

langsung. Tidak ada penundaan waktu: saya bayar, kamu kasih barang atau jasa.

Bentuk ini sifatnya lebih ekonomis dan karakternya kurang ‗personal‘ dibanding

resiprositas umum. Tidak ada hubungan akrab yang intens dalam pertukaran itu.

Dilihat dari sudut pandang kita yang lebih ekonomis‘ (modern) kedua belah pihak

berhadapan ini berhadapan secara langsung dengan segala perbedaaan ekonomi

dan sosial yang berlainan. Jika pada resiprosiatas umum arus barang (material)

dipertahankan keberlangsungannya melalui relasi sosial, dalam pertukaran model

ini, relasi sosial justru bergantung pada arus barang.

Resiprositas ketiga adalah resiprositas negatif. Inilah bentuk pertukaran

yang paling impersonal. Resiprositas ini merupakan usaha untuk mendapatkan

sesuatu tidak untuk apapun dengan terbebas dari hukuman. Menjadi impersonal

(atau kurang personal) tadi karena yang diutamakan adalah manfaat dan

kepentingannya. Terminologi yang dipakai ditunjukkan dalam istilah ‗tawar-

menawar‘, barter, berjudi, penipuan, pencurian dan variasi lain-lain yang serupa.

Tiap partisipan berhadapan satu sama lain sebagai representasi dari ketertarikan

yang saling berlawanan, masing-masing memaksimalkan kegunaan yang ada dan

bisa didapatkan dari pihak lain. Arus barang mungkin berjalan satu arah, proses

timbal-balik bergantung pada pengumpulan tekanan atau akal-akalan dari

kekuatan yang bisa menyeimbangkan pihak lain dengan efek berlawanan yang

dimilikinya. Modelnya digambarkan dengan (Efek A) A---> <--B (Efek B). Ciri

resiprositas ini ditunjukkan Sahlins dengan adanya kepentingan yang berbeda dari

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

23

tindakan, berjalan searah, atau hanya menguntungkan salah satu pihak. Contohnya

begini, perusahaan ingin dapat tanah untuk membuat kebun sawit dan masyarakat

pun ingin punya kebun kelapa sawit. Masyarakat menyerahkan 7 ha tanah pada

perusahaan, untuk mendapatkan 2 ha kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat

tetap saja membayar kredit atas 2 ha kebun itu, sementara ia telah ―menyerahkan‖

5 hektar tanah pada perusahaan. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja perusahaan.

Dalam pada itu, Sahlins menggambarkan model untuk menganalisis

resiprositas, yang mana terdapat 4 sektor di dalamnya. Semakin luas sektor tempat

tinggal-kekerabatan (kinship-residential sectors) maka sifatnya pun semakin

inklusif. Ada berbagai macam karakter resiprositas seturut kedudukan sektornya.

Kerabat dekat yang berperan dalam pertukaran adalah kerabat yang dekat secara

‗ruang‘, spasial/ tempat tinggal: seperti rumah tangga, kerabat, permukman, sektor

suku atau bisa juga desa.

Resiprositas umum dominan di ranah paling sempit (rumah tangga).

Resiprositas berimbang ada pada sektor tengah-tengah, dan resiprositas negatif

berada pada ranah pinggiran (intertribal sector). Pada setiap sektor selalu ada

aktor yang punya relasi ekonomi. Pada sektor suku (intertribal sektor) misalnya,

relasi ekonomi yang terjadi antar suku, atau suku dengan komunitas lain dari luar.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

24

Karakter resiprositas, semakin keluar atau semakin besar maka semakin

impersonal. Jika dilihat dari konsep ini, maka resiprositas negatif dengan pihak

perusahaan, aktornya adalah ―orang yang mempunyai posisi dalam lingkup tribal

atau suatu komunitas. Kepala adat yang punya posisi struktural, dia yang punya

akses untuk berhubungan dengan orang diluar komunitasnya. Namun dalam

bukunya, Sahlins juga melihat bahwa evolusi kebudayaan yang terjadi pada

masyarakat tribal sebagai produk sekunder dari ekspansi negara. Sama saja

dengan di Ensunak, pejabat negara masuk mengubah struktur sosial masyarakat,

menjadi jembatan antara orang luar dengan masyarakat dan ternyata resiprositas

negatif terjadi. Pada kasus Ensunak resiprositas negatif, uang menjadi instrumen

paling penting dalam kehidupan, bahkan merebak hingga sektor rumah tangga,

dan terwujud dengan ngakal demi dapat uang.

E. Metode Penelitian

Meliau, di warung kopi seberang makam Pangsuma saya bertemu dengan

seorang pemilik biro perjalanan yang pernah menjadi guru di ‗pedalaman‘ Meliau.

Keluh kesah menjadi guru disampaikan, cerita-cerita tentang masyarakat ―di

pedalaman‖ pun dibagikan. Konon, di sana masih banyak hutan, masih ada orang

berladang, dan segala hal yang sifatnya ‗tradisional‘ masih bisa ditemui, meskipun

kini ada juga perkebunan kelapa sawit. Namanya dusun Ensunak, Desa Enggadai,

Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak itulah, dusun

Ensunak ‗dipilih‘ sebagai lokasi penelitian saya. Besar harapan bahwa di dusun

itu sedang terjadi proses perubahan agraria –atau konversi hutan, ladang, bawas

(hutan bekas ladang), kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

25

Alasan lain dipilihnya dusun Ensunak lokasi dalam penelitian ini adalah

karena cakupan wilayah dusun ini sangat luas. Kendati tidak diketahui berapa luas

pasti Ensunak, namun dua pemukiman yang letaknya lebih dari 11 km di sebelah

barat (pusat) dusun saja masih menjadi bagian administratifnya, Longsat dan

Sokek. Saat saya melakukan penelitian di dusun ini, jumlah kepala keluarga 134,

sedangkan total penduduknya 413 jika termasuk balita dan anak-anak. Pun dalam

satu dusun ini saja, sudah ada perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta,

kebun pribadi skala besar (lebih dari seratus HA), kebun plasma, kebun karet,

hutan dan ladang juga masih bisa ditemui. Belum lagi masih ada yang sedang

melakukan transaksi jual-beli tanah dalam sekala besar juga, dan perusahaan -

perkebunan kelapa sawit yang sedang mulai tanam. Demikian saya putuskan

untuk fokus penelitian hanya di dusun Ensunak saja, kendati saya tetap

berkunjung ke dusun dan desa lain.

Berbekal ‗metode penelitian‘ yang saya pelajari saat kuliah dan

berpedoman pada buku Participant Observation karya Danny L. Jorgensen

(1989). Rencananya, saya hendak menggunakan metode ‗participant observation

diam-diam‘ dalam penelitian ini. Seperti: saya hendak berkerja di perkebunan

kelapa sawit, ―menyamar‖ sebagai buruh dan tinggal di camp selama sebulan,

lantas beberapa bulan sisanya, saya akan tinggal di rumah guru yang ada di

perkampungan penduduk. Kala itu di benak saya, guru adalah karena sosok yang

(biasanya dianggap) netral dan dihormati. Namun rencana itu gagal sejak hari

pertama sampai di Ensunak. Selain karena izin dari Kabupaten-Kecamatan belum

saya dapatkan kendati sudah diurus beberapa bulan sebelumnya, niat untuk

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

26

tinggal di rumah (dinas) guru SD justru membuat saya dicurigai. Di rumah dinas

itu tidak ada listrik dan hanya sebulan sekali sang guru datang, dan disana pernah

ada guru (bantu) yang tertangkap tangan melakukan pencurian –lalu dihukum

adat. Alhasil Pak Kadus meremomendasikan untuk tinggal di rumahnya, ―agar

mudah diawasi‖, katanya di kemudian hari. Tinggallah saya di sana, berbagi

kamar dengan tenaga kerja pembibitan dan agen pembeli tanah.

Di luar rumah penampilan dan tampang saya selalu menjadi ‗perhatian‘

banyak orang, namun bukan dalam ‗arti yang positif‘. Karena mata mereka

melihat saya dengan kecurigaan sempurna. Beberapa orang berpaling saat diajak

bicara, ada juga yang (hanya) mengangguk namun tetap melotot saat diajak

berkenalan. Sampai hari ketiga, rasa bosan dan terasing membuat saya

memberanikan diri untuk mendekati bapak-bapak yang berkumpul di depan

warung. Berlagak heroik, saya membeli arak segelas, barulah ada yang mengajak

bicara dan bertanya-tanya. Hari-hari berikutnya, kalimat yang sekiranya berkata,

―Saya kira kamu orang jahat. Gondrong, punya bulu dagu pula‖, sering sekali

saya dengar7. Pun semenjak itulah ‗saya selalu terbuka‘ dan mengaku pada semua

orang (yang bertanya) bahwa saya tinggal di Ensunak untuk melakukan penelitian

sosial. Hanya saja topiknya selalu berubah-ubah, kadang mengaku tentang

perubahan agraria, kadang hal lain. Misalnya ketika sedang berhadapan dengan

kepala Adat, maka saya mengatakan jika penelitian saya tentang sejarah-budaya.

Namun ketika di perkebunan dan sedang membahas tentangnya, maka saya bilang

bahwa saya sedang penelitian tentang kelapa sawit.

7. Mayoritas penduduk Ensunak (terdata) beragama Katolik. Sedangkan pada tahun 2010 televisi

sering memberitakan tentang kekerasan yang dilakukan salah satu Ormas Islam (baca FPI) yang

notabene memiliki jenggot.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

27

Mengenai aturan dan strategi agar bisa diterima di masyarakat itu,

Jorgensen (1989: 37) berpendapat bahwa, seringkali yang mempengaruhi

―terbukanya‖ suatu masyarakat itu adalah karena politik (kekuasaan orang tertentu

dalam masyarakat tersebut). Jadi penerimaan dapat diperoleh secara terang-

terangan, dengan meminta ijin kepada pihak petinggi masyarakat; juga secara

diam-diam, yang kurang disukai beberapa ahli karena menurut mereka bersifat

tidak etis dan tidak jujur pada masyarakat yang diteliti. Namun jika ‗terang-

terangan‘ hanya dengan ―petinggi masyarakat‖ saja, saya kira tetap tidak etis.

Karena saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: bagaimana jika

informan marah ketika tahu bahwa mereka sedang menjadi subyek penelitian

saya, dan apa manfaatnya bagi mereka jika hidupnya sama saja? Oleh karena itu,

seringkali saya pun meminta izin secara lisan jika kelak, ceritanya, obrolan, dan

semua pengalaman saya selama di Ensunak ataupun di seluruh Kalimantan Barat

akan menjadi sebuah tulisan.

Dalam pada itu, tinggal di rumah kepala dusun justru sangat

menguntungkan penelitian ini. Segala urusan administrasi sampai siapapun ‗orang

dari luar dusun Ensunak‘ yang datang –wajib untuk mendapat ijin dari Kepala

Dusun, ia adalah perantara ‗orang luar‘ dengan ‗orang Ensunak‘. Kepala Dusun

biasa menjadi ‗jembatan‘ antara perusahaan dan masyarakat, ia bahkan selaku

akses untuk urusan jual-beli tanah. Mengenai ―politik kekuasaan‖ yang

menempatkan orang lain menjadi kawan atau lawan, itu bukan soal penting lagi

bagi saya. Karena pada bulan pertama ketika melakukan penelitian ini, saya hanya

‗mencukupkan diri‘ dengan melihat, dalam arti mengamati atau observasi.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

28

Dengan metode itu saja sudah cukup banyak hal baru yang tertangkap oleh mata

saya. Cukup dengan ‗melihat‘, saya mengetahui rumah-rumah siapa saja yang

dialiri listrik, mengetahui tingkat konsumsi dari sampah yang ada di depan

rumahnya, juga mengamati kebiasaan orang, dan telatahnya. Pertanyaan-

pertanyaan yang saya lontarkan hanya untuk mengakrabkan, bukan untuk

wawancara, dan saya malah lebih sering ditanya daripada bertanya.

Bulan-bulan berikutnya, banyaknya informasi yang saya dapatkan justru

berasal dari mengobrol di halaman rumah, di warung arak, ataupun di kebun sawit

sembari menemani berkerja. Saya datang untuk penelitian, tetapi saya juga datang

untuk menjadi teman bagi narasumber. Menjadi orang yang bisa dipercaya atau

‗teman‘ itu membuat saya mendapatkan banyak data. Keluhan, siasat, prinsip,

intrik, ide, strategi, akal-akalan, impian hingga apa saja yang pernah dilakukan

adalah data yang penting saya dapatkan dari ngobrol. Saya tidak membuat

pertanyaan dengan terstruktur, semua obrolan ‗mengalir‘ sampai pada satu bulan

terakhir ‗di lapangan‘, kemudian fokus pada soal jual-beli tanah.

Dalam mengumpulkan data, saya jarang membawa buku catatan ke mana-

mana, apalagi menulis ketika orang bicara, itu membuat orang yang sedang bicara

tidak merasa nyaman. Mencuri waktu untuk menulis juga susah, karena setiap

orang akan melihat dan mencoba membaca. Pernah suatu kali saya menulis

setelah mengobrol, karena melihat orang mencatat mereka bertanya dan curiga

tentang apa yang saya tulis. Hal itu membuat narasumber enggan berbagi cerita

lagi pada saja. Jadi, saat mendapat data, yang bisa saya lakukan hanya menulis

poin-poin penting dalam ‗program Notes‘ yang ada ponsel saya. Berpura-pura

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

29

sedang menulis SMS (pesan teks). Kendati tidak ada sinyal, saya punya alasan

sedang menulis kegiatan hari ini, untuk diberi tahukan pada keluarga, sehingga,

kelak ditempat sinyal hanya mengirim SMS saja. Selain itu saya mensiasati

dengan membawa kamera, memfoto situasi atau orang-orang guna mengingat

urutan kejadian yang sudah saya lewati dalam sehari. Setelah pulang dari

observasi ataupun mengobrol itu, poin-poin yang ada dalam notes ponsel itu saya

deskripsikan, dijabarkan dan dicatat dalam komputer jinjing, pada malam hari

selagi listrik yang dialirkan oleh mesin diesel milik Pak Kadus menyala 3 sampai

5 jam setiap harinya.

Metode wawancara tidak banyak digunakan dalam penelitian ini. Karena

selain membosankan, saya juga merasa bahwa metode itu membuat ‗komunikasi

berjalan searah‘ dan tidak berimbang: saya bertanya lantas narasumber menjawab.

Cukup beruntung jika ada mau menjawab, apalagi sampai mendapat jawaban

yang jujur. Karena demi mendapatkan data yang valid (atau jujur itu) diperlukan

probing (bertanya kembali pada informan yang sama ataupun informan lain).

Menurut pengalaman, biasanya narasumber hanya menceritakan ―hal-hal baik

saja‖ atau menempatkan diri pada posisi yang dirugikan. Namun wawancara itu

tetap saya pakai untuk mencari data sejarah –lisan, meskipun pada praktiknya, hal

itu seperti memaksa orang untuk mengingat tentang apa yang sudah ingin

dilupakan. Adapun metode wawancara ternyata juga saya gunakan ketika saya

sudah tidak lagi di Ensunak, ‗kemajuan teknologi‘ (dalam hal ini seluler atau

ponsel itu) membatu saya dalam melengkapi kekurangan data di lapangan.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75306/potongan/S2-2014...pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang. Bahkan

30

Agar data penelitian ini dapat menghasilkan tulisan yang ‗berisi dan tetap

renyah dibaca‘, maka saya tetap mengikuti anjuran Geertz (1973:10), thick

description yang rasanya masih diperlukan untuk memahami konteks atau situasi.

Dalam pada itu, selain sumber data dari lapangan sebagai data primer, tidak

menutup kemungkinan penggumpulan data juga diambil dari koran, artikel-

artikel, buku, ataupun majalah yang berkaitan dan relevan sebagai data sekunder.

Pun itu juga berguna sebagai data pendukung, pembanding, sekaligus literatur.

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti akan mencoba menafsirkan serta

menggambarkan berbagai pemikiran, perasaan, penglihatan dan tindakan yang

dilakukan oleh tineliti berdasarkan nilai kepercayaan, norma yang dianut oleh

tineliti (Geertz, 1973: 10 via Budiawan, 2008: 24). Harapannya adalah, penelitian

ini mampu menjadi (atau dianggap) sebagai etnografi yang efektif, menarik untuk

dibaca, dan mampu menggugurkan bentuk-bentuk gagasan yang sifatnya

generatif.