BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sabtu malam. Ketika bunyi diesel telah meraung bersahutan menyalakan
lampu-lampu di tiap rumah, saya dijemput Taher di rumah Kadus Ensunak, diajak
berburu. Tempatnya di hutan dekat Sokek, dan kami berangkat dengan motor,
menempuh perjalanan sebelas kilometer. Dua hari tak ada hujan, sehingga tanah
padat mampu membuat roda menggelinding dengan baik di sepanjang jalan yang
kanan-kirinya melewati kebun sawit dan hutan bawas itu. Kami sempat mampir
ke Longsat untuk mengambil lantak1, lalu melanjutkan perjalanan, dan
sesampainya di Sokek, kami sudah ditunggu oleh Pah, Socek, Jaton, serta Dodi2.
Mereka mengikutsertakan dua anjing, katanya, anjing-anjing itu cerdik dan piawai
dalam gelap, ‗spesialis‘ untuk berburu malam hari.
Kami berangkat ke hutan setelah sebatang rokok habis sembari
berbincang. Jalan kaki dua kilometer di barat Sokek, lalu belok kiri. Melangkahi
jalan setapak seiring rentetan pohon yang semakin rimbun di tengah rimba. Lama-
lama jalan setapak pun hilang. Di kanan kiri teraba ranting-ranting juga batang
pohon yang basah. Dengan hati-hati saya mengambil pijakan, karena beberapa
jalan berlumpur, ada juga kubangan. Kadang kami harus melompat, merunduk
dan berpijak pada akar-akar besar demi mengikuti denai anjing yang sepertinya
telah mengerti ke mana harus melangkah. Gelap, dan langit kurang tampak
lantaran tertutup rindang pepohonan, cahaya terang hanya dari lampu senter kami.
1. Senjata api laras panjang, biasanya rakitan dan pelurunya dari gotri yang lontarkan oleh ledakan
keppotai (semacam bubuk mesiu) 2 Semua nama-nama di dalam tesis ini sudah disamarkan.
2
Di dalam hutan itu, suara binatang malam bersahutan, ada yang terdengar
samar namun ada juga yang tiba-tiba keras seperti berada dekat di sebelah telinga.
Serbuan nyamuk tak ada ampun meski saya telah memakai pakaian rangkap.
Kami bungkam, hanya sekali Pah bicara ketika saya sibuk menepuk serangan
nyamuk, ―merokok bah, nyamuk takut sama asap‖, katanya tanpa menengok.
Tiba-tiba anjing menggonggong, dia berlari. Pah mengejar anjing-anjing itu
dengan sigap sembari berteriak-teriak pada kami yang tersisa untuk membagi
arah, ―Ambek sana, sana!‖ Taher dan Jatun berlari ke kanan, lenyap. Socek
mengepung dari kiri bersama Dodi sesuai instruksi Pah. Cepat luar biasa, saya
melihat mereka meloncat seperti kelinci, bergelantungan serupa kera, kemudian
menghilang ditelan gelap. ―Kijang! kijang!,” suara mereka terdengar samar,
bersahutan seiringan dengan dua letusan lantak dari arah yang berbeda. Semakin
kecil suara mereka, semakin sadar bahwa saya telah sendiri dalam hitungan detik.
Ketakutan menyergap, saya kehilangan mereka di tengah hutan belantara.
―Puuu, puuu, puuuu!”, teriak saya menirukan orang dusun ketika memberi tanda
bahwa ada orang lain di dalam hutan. Saya lupa arah dan tidak tahu jalan pulang.
Terpaku, karena setiap langkah rawan jebakan, jika tidak berhati-hati bisa tertelan
rawa gambut, digigit ular, atau lainnya. Satu keppotai dalam lantak tak cukup
mengusir rasa khawatir waktu itu. Sampai kiranya belasan menit kemudian Pah
menemukan saya, dan kami pulang setelah semua berkumpul kembali. Perburuan
malam itu berakhir tanpa hasil. Namun tetap saja saya takjub melihat mereka tadi,
berlari dan bergelantungan sembari memegang lantak. Mereka itu manusia yang
telah terlatih untuk hidup dengan kondisi material, lingkungan dan alamnya.
3
Beberapa hari setelah perburuan malam itu saya pulang ke Yogyakarta
selama sepuluh hari. Ketika kembali ke dusun Ensunak lewat Kecamatan Toba,
saya terperangah melihat di kanan-kiri jalan saat menuju Sokek. Hutan tempat
saya berburu itu sudah musnah sepertiganya. Pohon-pohon terlanjur tumbang dan
menjadi arang, sisanya hanya hamparan padang sampai ujung usaha saya
memandang. Hutan yang masih tersisa, tinggal menunggu waktu untuk binasa.
Konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit terus terjadi di Kalimantan
Barat ini. Di kecamatan Meliau saja, perkebunan kelapa sawit sudah berdiri sejak
tahun 1983 dengan nama PTP VII, dan kini menjadi PTPN XIII (PT. Perkebunan
Nusantara XIII). Perkebunan Swasta bernama BHD (Bintang Harapan Desa)
masuk lima tahun setelahnya, meski baru mendapatkan izin tanam pada tahun
1991. Sementara PTPN XIII masuk pada masa tanam kedua, perusahaan swasta
itu kini sudah mempunyai empat ‗anak perusahaan‘ (atau aliansi) yang semuanya
juga bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit: PT. SISA (Sepanjang Inti Surya
Abadi), PT. SISA 2, PT. DSP (Duta Surya Pratama), dan PT. AAC (Agro Abadi
Cemerlang). Dua yang terakhir berekspansi ke dusun (Ensunak) tempat penelitian
saya ini.
DSP datang pertama. Lebih dari dua windu DSP bertanam sawit di
Ensunak, menjalankan model "PIR-BUN-TRANS‖—yang akrab disebut ―sistem
Inti-Plasma‖ oleh masyarakat. Inti perusahaan, plasma milik petani. Ironisnya,
saya melihat kebun inti kelapa sawit (DSP) yang setiap pohonnya ‗rapi‘ berbaris
dengan jarak 3 meter, tidak ada tumbuhan lain ‗dibiarkan hidup‘ di sekitarnya.
Sedangkan, kebun plasma yang ada di Ensunak malah seperti bawas.
4
Di kebun plasma yang jaraknya hanya satu kilometer dari dusun saja,
pohon kelapa sawit hidup akrab dengan rumput, anyelir dan ilalang rindang.
Bahkan saya juga melihat ada pohon lain yang tingginya lebih dari empat meter di
antara pokok sawit. Kompetisi hara tentu saja menyebabkan kelapa sawit kurang
subur, belum lagi jika jarang dipupuk. Simpang siur berita berkata, ―Mereka
(pemilik kebun) itu malas. Kalau kebunnya dirawat, dipupuk pasti udah kaya‖,
namun ada juga yang berkilah, ―percuma (dirawat), perusahaan suka ngakal‖.
Perusahaan kedua adalah AAC. Dialah yang membabat hutan tempat saya
berburu, kemudian membakarnya. Perusahaan itu datang di Ensunak tahun 2007
lalu. Pada tahun yang sama masyarakat mulai ―menyerahkan‖ tanahnya, tetapi
baru tahun 2010 mulai dikerjakan. Pola yang ditawarkan adalah Kemitraan:
masyarakat menyerahkan tanahnya pada perusahaan, kemudian perusahaan yang
akan menanam dan merawat panennya, ―kami cuma terima bersih‖, mengutip
beberapa warga. Seolah-olah pola ini adalah jawaban dari persoalan yang dihadapi
sebelumnya, memberi solusi bagi ―pemilik kebun plasma yang malas‖. Namun
sama halnya dengan DSP, kini ―kemitraan‖ AAC juga dianggap sebagai akal-
akalan saja oleh sebagian besar warga Ensunak.
Rasa tidak percaya pada perusahaan beredar dari mulut ke telinga, dari
dusun ke dusun, menyebar dan membuat antipati pada perusahaan kelapa sawit.
Kini beberapa dari mereka ada yang tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidup
dengan cara lama; sebagai peladang dan penyadap getah karet. Ada juga yang
lantas membuka usaha dagang sembari tetap mengurus kebun plasma yang
distopia itu. Ada juga yang pindah, cari kerja di kota.
5
Mayoritas penduduk Ensunak tamatan SMP, dan sampai kini belum ada
yang bekerja dengan ―jabatan strategis‖, misalnya sebagai asisten kebun, paling
banter satu-dua orang jadi mandor di perusahaan. Banyak yang kecewa pada
perusahaan kelapa sawit, namun banyak juga yang menyikapi dengan cara lain,
alih-alih mempertahankan tanah yang masih tersisa, mereka malah menjual
tanahnya pada ‗orang kaya dari luar‘ yang tidak mereka kenal sebelumnya. ―Di
dusun ini memang sedang marak jual-beli tanah‖, kalimat itu saya dengar ketika
pertama kali sampai di Ensunak. Hari- hari berikutnya di rumah kepala dusun
saya selalu menemukan surat-surat perjanjian jual-beli tanah, juga obrolan-
obrolan tentang tanah dijual, dan dibeli untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Proposal berubah. Niat awal melakukan penelitian tentang penyerobotan
tanah dan resistensi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit batal.
Kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan dan
dibaca dari buku-buku. Banyak orang sengaja ‗menyerahkan‘ serta menjual
tanahnya untuk menjadi kebun kelapa sawit, dan banyak juga yang berkata
bahwa, ―Kami maju karena sawit‖. Kiranya hal-hal itulah membuat saya tertarik
untuk melakukan penelitian ini.
B. Studi Pustaka
Studi tentang perubahan agraria telah banyak dilakukan oleh para ahli
antropologi maupun ilmuwan sosial lainnya. Namun yang kaitannya dengan
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, juga aksi dan reaksi masyarakat
dalam menghadapi perubahan itu bisa dibilang masih minim. Kendati minim,
beberapa studi mempunyai kemiripan dengan penelitian saya, seperti studi
6
Zamawi Ibrahim (1998), James C. Scott (1985), Eckstein (1989) dan Bambang
Suta Purwana (2003)
Di dalam studi Zamawi Ibrahim (1998) yang berlokasi di Perkebunan
Kelapa, di Terengganu, Malaysia itu, terdapat dua bentuk resistensi Sawit, yaitu,
personal resistance dan mediated resistance. Personal Resistance bisa dilakukan
secara pasif, agresif, spontan, delayed (memperlambat/menunda perkerjaan),
verbal (lisan) ataupun fisik. Memang cara-cara ini dianggap tidak efektif, namun
sering kali masih dilakukan ketika pegawai ataupun mandor melakukan tindakan
kasar atau tidak berkenan di hati mereka. Umumnya cara yang mereka lalukan
hanya mengubah raut muka yang memperlihatkan ketidaksukaan, namun
kadangkala dapat juga berubah menjadi kemarahan hingga pertengkaran.
Keinginan mereka adalah ―semua sama-sama mencari makan di sini dan haruslah
ada timbang rasa‖. Sedangkan mediated resistance biasanya terbentuk melalui
serikat buruh, karena akan ada pemimpin organisasi yang mengatur serta menjaga
hubungan antara pekerja dengan pegawai kebun, pun jika terjadi masalah dengan
pekerja maka serikat buruh akan menjadi tempat pengaduan.
Tampaknya studi Zamawi Ibrahim diilhami oleh studi yang dilakukan
James C. Scott (1985). Dalam studinya Scott menguraikan dengan baik tentang
perjuangan sehari-hari kaum tani miskin terhadap golongan kaya di desanya
sendiri, maupun terhadap ―kekuatan-kekuatan‖ dari luar desanya yang mewujud
dalam pemerintah, pemodal, hingga aparat yang dianggap menjadi sumber
ketidak-adilan. Lebih jauh, Scott menunjukkan bahwa program Revolusi Hijau
telah merubah tatanan sosial ekonomi di pedesaan Sedaka, Malaysia.
7
Negara memiliki peranan yang luas dalam proses transformasi pedesaan.
Melalui program modernisasi sistem pertanian padi, negara telah menggeser
hubungan antara petani kaya dan petani miskin. Revolusi Hijau telah memperkuat
daya akumulasi surplus ekonomi bagi petani, yang kaya menjadi tambah kaya,
dan sebaliknya justru mengurangi kemampuan petani miskin untuk memanfaatkan
insentif material yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Tak pelak, para petani
miskin itu menunjukkan eksistensinya melalui everyday form of resistance dalam
bentuk perlawanan terselubung yang muncul sebagai reaksi terhadap everyday
form of repression yang dilakukan tuan tanah, petani kaya yang menjadi musuh
bersama mereka, kaum petani miskin.
Senada dengan Scott, Eckstein (1989) juga menyatakan bahwa secara
umum petani memang pasif dan diam. Akan tetapi para petani itu sangat mungkin
dengan gampang menolak kondisi yang tidak mereka sukai melalui cara
mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari
pemilik modal. Karena itu, sebagaimana dikatakan Scott, bentuk perlawanan
secara terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara terang-
terangan. Tetapi para petani akan siap mengambil resiko dengan mengadakan
konfrontasi langsung bila ketidakadilan sudah dirasa keterlaluan. Biasanya hal itu
terjadi bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, atau bila
institusi lokal, nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk
menggunakan jubah kolektif.
8
Terakhir adalah studi yang dilakukan Bambang Suta Purwana (2003).
Laporan penelitian yang tidak diterbitkan ini paling berdekatan dengan lokasi
studi yang saya lakukan. Temuan dari penelitian yang dilakukan di seluruh
Kabupaten Sanggau bicara tentang klaim negara terhadap tanah dan sumber daya
alam dengan tidak memperhatikan kepemilikan adat. Hal ini menyebabkan hak-
hak masyarakat adat berangur-angsur hilang, dan berganti oleh ‗hak semu‘ yang
mengatas-namakan kepentingan investasi skala besar berupa pemberlakuan HPH
(Hak Penguasaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri) sampai PIR (Perkebunan
Inti Rakyat). Kerusakan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup
penduduk terjadi karena dieksploitasi secara berlebihan. Suta juga mengatakan
bahwa, perlawanan petani-peladang sudah dimulai sejak terjadinya ‗perampasan
tanah adat‘ oleh perusahaan kelapa sawit milik negara.
Meski banyak alinea yang diulang dalam laporan ini, namun pada bab
akhir Bambang Suta berhasil memberi deskripsi dari pertanyaannya, bahwa
resistensi penduduk lokal atau masyarakat petani ladang terhadap keberadaan
PTPN XIII itu diwujudkan dalam gerakan reklaiming tanah, perusakan tanaman,
pencurian buah kelapa sawit yang hampir terjadi di seluruh afdeling di Meliau,
penerapan sanksi hukum adat kepada staf PTPN XIII, perusakan fasilitas pegawai
areal perkebunan dan tuntutan warga masyarakat lokal untuk mendapat jabatan
atau posisi strategis dalam perkebunan (Suta, 2003: 112-119). Minimnya narasi
saat menjelaskan bentuk-bentuk perlawanan serta, tidak adanya contoh kasus yang
cukup representatif membuat perlawanan seolah-olah dilakukan secara komunal
dan terjadi di seluruh wilayah PTPN XIII.
9
Berbagai studi yang dilakukan para ahli diatas menunjukan hal menarik
mengenai respons petani terhadap perubahan agraria yang terjadi di Asia
Tenggara. Kesemuanya menunjukan bahwa respons dari perubahan yang terjadi
adalah resistensi. Termasuk studi Suta (2003) dan Zamawi (1998) yang lebih
spesifik membahas tentang bentuk-bentuk resistensi petani terhadap perkebunan
kelapa sawit. Namun ada yang janggal dari semua studi yang dilakukan oleh para
ahli di atas. Seolah-olah mereka menunjukan bahwa perubahan terjadi secara tiba-
tiba, serupa dongeng yang bercerita, ―ada orang-orang dengan kekuasaan (power)
besar dari luar (wilayah petani) datang, melakukan perubahan besar dan
mengorbankan petani‖. Perubahan agraria ditempatkan seperti sebuah tragedi.
Petani-peladang hanya bisa menerima dengan pasrah dan menjadi korban dengan
―datangnya revolusi hijau sampai perampasan tanah adat‖. Setelah terjadi
perubahan, baru ada perlawanan. Bentuk perlawanannya pun ―terselubung‖. Oleh
karena itu, terdapat celah yang masih perlu dikaji lebih dalam yakni, menyoal
peran petani-peladang dalam proses perubahan itu.
C. Permasalahan
Berbagai kajian di atas masih saja menempatkan petani sebagai aktor
pasif, korban dan tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi perubahan
agraria. Seolah terlupakan bahwa petani juga manusia, semua manusia selalu
punya pilihan, keinginan dan harapan —namun juga tindakan demi― kehidupan
yang lebih baik. Perusahaan sawit datang ke dusun Ensunak dengan menawarkan
‗sistem‘ inti-plasma. Sampai suatu kali masyarakat menilai bahwa ―perusahaan
suka ngakal‖, mereka merasa ditipu dan kehilangan tanahnya.
10
Namun seperti yang telah saya paparkan pada latar belakang di atas,
terjadi paradoks yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Pertama, semenjak AAC
datang, harapan apa yang ditawarkan “pola kemitraan” sehingga mampu
membuat masyarakat (yang telah kecewa pada perusahaan kelapa sawit itu)
masih mau menyerahkan tanahnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit?.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa mereka yang kehilangan tanahnya
karena merasa ditipu oleh perusahaan justru menjual tanah-tanah yang tersisa?
Lantas apa konsekuensinya?
D. Kerangka Pemikiran
Seperti membangun rumah. Fondasi dibuat dengan berpedoman pada
asumsi dasar yang berkata bahwa, ―hanya ada satu hal yang kekal dalam
kehidupan manusia, yaitu perubahan‖. Sedangkan rusuk, tiang, dan kuda-kudanya
terbentuk serupa kerangka pemikiran yang membahas perihal konsep, teori, serta
gambaran umum untuk menjelaskan bentuk perubahan itu.
1. Dayak Dalam Perubahan Agraria
Masyarakat Dayak adalah konsep yang mengacu pada suatu realita jamak;
konsep yang biasa dipakai untuk menyebut ―penduduk asli‖ Pulau Kalimantan,
dan secara etnik mereka itu masih membedakan diri lagi dalam berbagai
kelompok dan sub-kelompok (Coomans, 1987; King, 1978; Lebar, 1972 via Pujo
Semedi, 1996:197). Namun setelah sampai di Kalimantan Barat, beberapa orang
Melayu mengaku bahwa nenek moyang mereka adalah orang Dayak. Uniknya
mereka ―menjadi‖ orang Melayu setelah masuk Islam, dan jika beragama Kristen
Protestan ataupun Katholik mereka masih orang Dayak. Pun pernah pada
11
Desember 2009 lalu, saat saya berkunjung ke Rumah Bentang di Pontianak. Salah
satu anggota Dewan Adat Dayak berkata, ―Kalau sudah tidak lagi makan dalam
satu priuk berarti bukan orang Dayak‖, kata ‗satu priuk‘ bisa diartikan sebagai
makan bersama sampai memakan babi yang seringkali digunakan dalam ritual
adat. Sedangkan Islam mengatur makanan dengan ―halal-haramnya‖, sehingga
jika ada orang Dayak yang pindah ke agama Islam, maka secara ‗otomatis‘ ia
menjadi orang Melayu. Malah, ketika ada orang Dayak yang menikah dengan
orang Jawa (Islam) misalnya, anak mereka akan dianggap sebagai orang Melayu.
Hal ini serupa dengan apa yang ditulis oleh Weintré (2004:22-23), dewasa ini
istilah Melayu tidak lagi digunakan sebagai referensi etnis, tetapi sebagai referensi
Islam untuk mengkontraskan dengan yang non-Islam. Peningkatan jumlah besar
orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang Dayak yang memeluk Islam,
bukan karena orang Melayu yang merantau ke Kalimantan dalam jumlah besar.
Konon dahulu orang Dayak hidup sebagai peladang yang secara periodik
membuka ladang baru di kawasan hutan sekunder (bawas) dan hutan primer
(rimba). Kawasan hutan primer dan sekunder yang disebut tanah adat itu
‗dikelola‘ oleh binua. Binua adalah kesatuan sosial masyarakat Dayak terbesar
gabungan dari beberapa kampung yang didasarkan pada kepercayaan satu garis
nenek moyang dan ―bahasa ibu‖ yang sama. Organisasi sosial masyarakat Dayak
pada masa lalu dapat dipahami dari pola tempat tinggal mereka. Rumah panjang
terdiri dari puluhan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga
batih. Kerangka sosial seperti ini memainkan peranan penting sebagai tali
pengikat kekeluargaan, sehingga satu sama lain di dalam desa merasa dirinya satu
12
kekerabat, pun itu karena kesatuan sosialnya terbentuk oleh faktor genealogis. Di
setiap wilayah, Pimpinan Binua mempunyai sebutan yang berbeda, seperti: Toa
So, Toa Langko, Tamatoa, Toa-toa, Adat, ataupun Tumenggung. Mereka dipilih
berdasarkan kriteria seperti penguasaan mereka terhadap (aturan) adat istiadat,
kemampuan berbicara dan keberaniannya. Biasanya status ekonomi ketua
kampung tadi relatif sama dengan warga kampung yang lain, dan wewenangnya
terbatas pada suatu kelompok setempat dari beberapa betang yang terletak pada
satu aliran batang sungai atau anak sungai (Semedi, 1996; Mudiyono, 1994).
Masyarakat Dayak ketika masih tinggal bersama dalam satu rumah
panjang umumnya belum mengenal kepemilikan pribadi atas faktor produksi.
Lahan perladangan dinyatakan sebagai tanah ulayat dengan hak pemakaian
ekslusif pada rumah tangga. Sekali satu hutan dibuka menjadi ladang, maka hak
pakai atas lahan tersebut ada pada rumah tangga yang pertama kali membukanya
(op. cit, 1996: 201). Perladangan berpindah (shifting cultivation) menjadi dasar
terbentuknya wilayah teritorial yang diakui adat. Oleh itu wilayah genealogis dan
teritorial merupakan kesatuan sosial politik yang membentuk kesatuan integratif.
Dahulu Masyarakat Dayak menganggap tanah bukan saja sekedar bernilai
ekonomis namun juga mempunyai hubungan magis dengan kehidupan dan
menyangkut harga diri mereka. Dalam segi teritorial komunitas, masyarakat adat
adalah penguasa dan pemilik tanah di wilayah desa yang diakui dan dihormati
bersama. Orang dari kelompok lain harus menghormati keberadaan itu secara
utuh, dengan demikian tiap-tiap komunitas Dayak saling bertetangga dengan
pemerintahannya sendiri-sendiri (Mudiyono, 1994:211-214).
13
Sistem kepemilikan dan budaya perladangan yang sarat dengan kearifan
lokal pada masyarakat dayak itu telah teruji berabad-abad lamanya. Namun kini,
budaya bertani telah diganti dengan teknis bisnis bertani (agro-bisnis), yang
bersifat instan dan hanya berdasar pada janji limpahan pasar. Hilangnya budaya
bertani para petani berarti juga hilangnya nilai-nilai dan ilmu bertani sarat kearifan
lokal serta ramah lingkungan (Wahono, 2008:7-9).
Di Ensunak mayoritas penduduknya adalah (sub-etnik) Dayak Desa.
Rumah panjang, mandau, sumpit, Tumenggung, dan segala bentuk ritual adat khas
Dayak masih dilakoni kendati mereka mengaku sebagai keturunan Jawa. Uniknya,
pasca konflik yang terjadi di seantrero Sanggau pada tahun 1997 lalu
menyebabkan mereka mengidentifikasi ―komunitasnya‖ sebagai ―Orang Desa‖
saja, kata ―Dayak‖ dihilangkan karena dinilai ―kasar‖ dan mereka enggan terlibat.
Sehingga konsep etnik dayak tidak lagi tepat jika dipakai untuk melihat
masyarakat Ensunak sekarang, apalagi, di dalam komunitas itu sudah banyak
transmigran yang sudah diakui sebagai penduduk setempat dan hidup dengan
mencurahkan tenaga kerjanya pada sumberdaya alam yang ada.
Karet mengenalkan mereka pada pemenuhan kebutuhan pasar, sementara
ladang untuk kebutuhan subsisten, namun kini, perladangan semakin ditinggalkan.
Sehingga sistem kepemilikan yang sebelumnya sama dengan pemaparan di atas
juga telah berubah. Pembukaan perkebunan kelapa sawit besar-besaran –demi
minyak masak sampai bahan bakar (biodisel),– telah ―menggantikan‖ tatanan
lama dan membentuk kesepakatan baru. Tentu saja dengan persoalan dan
konsekuensi yang baru pula.
14
2. Ekonomi Moral, Rasional dan Akal-akalan
Petani subsisten menganggap perubahan yang terjadi sebagai akibat
intensifikasi dan komersialisasi hasil-hasil agraria sangat membahayakan
kelangsungan hidup, adat istiadat dan hak-hak tradisional yang mereka miliki.
Oleh karena itu, para petani mengambil sikap defensif terhadap perubahan yang
terjadi. Namun para petani subsisten ini bisa sangat rentan, jika gagal dalam satu
musim panen saja bisa jadi harus menjual harta benda bahkan tanahnya untuk
sekedar bertahan hidup. Kondisi seperti ini melahirkan moralitas yang disebut
mendahulukan selamat (Scott, 1976). Prinsip mendahulukan keselamatan itu
menjadi sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani menolak
perubahan dan siap melakukan perlawanan jika terpaksa. Tujuan perlawanannya
bukan untuk menggulingkan dan mengubah sebuah sistem dominasi, melainkan
lebih pada upaya bertahan untuk tetap hidup dalam sistem itu (Basrowo, 2003:7).
Dengan kata lain, pendekatan moral ekonomi mengganggap ‗perlawanan petani‘
adalah suatu tindakan defensif untuk tetap subsisten terhadap kapitalisme.
Perspektif moral ekonomi itu ditentang oleh Popkin (1979) yang
mengatakan, resistensi petani merupakan pilihan rasional terhadap berbagai
alternatif yang tersedia. Logika Popkin menyatakan bahwa perilaku manusia
selalu dilandasi motif mencari keuntungan atau kemanfaatan yang sebesar-
besarnya, sehingga setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih ‗perilaku‘
yang paling efisien guna mencapai keuntungan yang maksimal bagi dirinya.
Relasi sosial dalam perspektif Popkin merupakan perjuangan kepentingan atas
ekonominya sendiri, dan bukan dilandasi oleh pertimbangan moral kolektif.
15
Setiap petani dalam komunitas petani pada dasarnya termotivasi menuntut
keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi sekecil mungkin.
Bagi Popkin, semua bentuk perlawanan petani itu bukan untuk menentang
Revolusi Hijau atau perubahan yang ada, melainkan perlawanan terhadap
kekuasaan elite desa dan petani kaya yang mengorganisir namun justru
merugikan. Perlawanan ada karena sebagian besar individu merasa dirugikan,
bukan sebagai reaksi defensif untuk mempertahankan institusi tradisional seperti
yang dikatakan Scott. Hendaknya Popkin menyatakan bahwa gerakan yang
dilakukan petani adalah gerakan anti feodal, bukan gerakan restorasi untuk
mengembalikan tradisi lama, tetapi untuk membangun tradisi baru. Dalam pada
itu, Popkin hendak berkata bahwa petani merupakan individu-individu yang bebas
mengembangkan kreativitasnya secara rasional dan mengharapkan kesejahteraan
dengan memaksimalkan keuntungan3. Itulah yang tampak dalam logika tindakan
kolektif, dimana mereka memberi kontribusi dengan mengkalkulasi prospek
kembalinya investasi dan kualitas organisasi sebelumnya. Kesadaran ideologis
saja tidak cukup untuk menggerakkan petani miskin untuk berdemonstrasi, lebih-
lebih menjadi seorang pejuang bersenjata. Bagi petani subsisten, keuntungan
material itu lebih menarik daripada gairah ideologis yang tampaknya lebih bisa
diterima oleh golongan petani dari kelas menengah yang stabil dan berlebih
(Mashud, 2003:128)4.
3. Bentuk lain yang sesungguhnya meminimalkan resiko dan kerugian dari para petani sebenarnya
dianggap suatu yang rasional, mereka rasional dengan keadaan dan situasi kondisi mereka saat itu.
Perlu diingat suatu rumah tangga petani tidak hanya sebagai suatu unit produksi tapi juga
merupakan suatu unit konsumsi. (Lihat Schultz, T.W, 1964 via Martinussen, 1999: 135-136).. 4. Lebih jauh lihat juga Eric Wolf (1969) di mana petani kelas menengah menjadi massa utama
pendukung gerakan revolusioner. Karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak
16
Scott (1985) merespon dengan baik kritikan Popkin, studinya di Sedaka,
Malaysia mampu memberi gambaran menarik tentang kaum tani yang melakukan
perlawanan terhadap dampak Revolusi Hijau –yang mengancam keamanan
subsistensi mereka. Petani miskin secara perorangan melakukan tindakan-
tindakan perlawanan terhadap hegemoni negara lewat penetrasi pada proses
transformasi hubungan-hubungan produksi yang terwujud dalam mekanisasi
pertanian dan modernisasi pertanian. Bentuk perlawanan sehari-hari dilakukan
secara terselubung, mereka tidak memiliki wadah atau organisasi politik formal
seperti kelas menengah dan kaum cendekiawan.
Kaum tani ini melakukan bentuk perlawanan sehari-hari secara jangka
panjang terhadap pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan
bunga dari mereka. Senjata yang dipergunakan oleh kaum lemah ini antara lain
seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura
memenuhi permohonan, pencurian, dan sabotase. Mereka hampir tidak
memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit
serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri dan secara
khas menghindari konfrontasi simbolis dengan kekuasaan, dalam jangka panjang
cara ini justru terbukti paling efektif.
Sesekali dalam bukunya Scott mempertanyakan, apakah perbuatan seperti
mencuri hingga membunuh hewan ternak dapat dianggap sebagai resistensi
meskipun tidak dilakukan secara kolektif dan terbuka untuk menantang struktur
perubahan pasar dan kebijakan agraria maka mereka lebih mudah menerima ideologi revolusioner
yang menjanjikan perbaikan tata politik dan stabilitas ekonomi. Hal tersebut karena mereka
memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis, yang tidak dimiliki oleh
petani ‗gurem‘ ataupun buruh perkebunan
17
dasar hak milik dan dominasi. Terdapat dua ―penelusuran‖ penting dalam hal ini.
Pertama, memahami makna dibalik tindakannya, hingga dalam temuan Scott,
mencuri itu dikatakan sebagai bentuk pemberian zakat oleh orang kaya yang harus
diambil sendiri oleh si petani miskin. Para petani menganggap bahwa mencuri
adalah tindakan sah untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi hak mereka,
meski sebenarnya mereka enggan melakukannya (Scott, 1985:289-291). Kedua
berkaitan dengan definisi dan analisisnya, kecenderungan pemikiran yang sudah-
sudah selalu mengatakan bahwa mencuri adalah sebagai aksi pengorbanan jangka
pendek seseorang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan jangka panjang yang
lebih menguntungkan. Namun Scott punya pendapat lain, sebagaimana ia
memberi contoh kasus seperti yang terjadi pada sebagian besar petani di Asia
Tenggara. Para petani menyembunyikan padi dan harta miliknya dari incaran mata
pemungut pajak. Hal ini selain merupakan bentuk protes terhadap pengenaan
pajak yang tinggi, tetapi juga merupakan upaya untuk memastikan keluarganya
memiliki persediaan padi yang cukup sampai musim panen berikutnya.
Jika memakai konsep Scott tentang resistensi dan perlawanan sehari-hari
itu, di Ensunak bentuknya mengambil rupa yang lain. Terminologi yang sering
dipakai adalah ―ngakal‖, atau ―akal-akalan‖. ―Perusahaan suka ngakal‖, bukan
berarti masyarakat tidak. Akal disebut sebagai daya pikir (untuk memahami
sesuatu), perihal pikiran sampai ingatan termasuk didalamnya. Semua manusia
punya akal, oleh karena itu ―orang gila‖ seringkali dianggap sedang ―kehilangan
akal‖. Akal terwujud dari cara manusia melakukan sesuatu, daya upaya, atau
kemampuan melihat dan memahami lingkungannya. Sedangkan ―akal-akalan‖
18
atau ―ngakal‖ seringkali berkonotasi dengan pura-pura dan bohong-bohongan.
Konsep ―ngakal‖ erat kaitanya dengan ‗siasat‘, namun ―ngakal‖ atau ―akal-
akalan‖ itu lebih ‗bersifat negatif‘ karena merujuk pada daya-upaya untuk
melakukan sesuatu (demi memenuhi suatu tujuan yang menguntungkan diri
sendiri) dengan cara menipu, licik, mencurangi, membodohi, ataupun berpura-
pura bodoh5.
Pertarungan dan perlawanan bukan hanya terjadi antara level bawah
(masyarakat) melawan penguasa (yang dalam hal ini perusahaan, tokai, ataupun
elit desa) saja, namun juga antarsesama masyarakatnya. ―Di mana ada penindasan
di situ ada perlawanan‖, ternyata tidak sepenuhnya tepat. Ada kemungkinan lain
yang berbentuk serupa rantai makanan: yang kuat memakan yang lemah,
sedangkan yang lemah memakan yang lebih lemah lagi, dan seterusnya. Ada pula
yang ―kacau-balau‖(chaos), saling menyerang, memanfaatkan demi keuntungan
diri sendiri. Segala kompleksitas itu terwujud dalam fenomena (baca: kenyataan
yang sering terulang) akal-akalan di Ensunak.
3. Ekslusi dan Resiprositas Negatif
Sejak berakhirnya Perang Dingin hingga Krisis Ekonomi tahun 2007 lalu.
Banyak ahli telah berbicara tentang tentang globalisasi dan proses eksklusi, tetapi
yang perlu dilihat di kedua konteks di atas adalah, powers yang bekerja di ruang
geografis-sejarah masyarakat di Asia tenggara selalu berubah dari waktu ke
waktu, demikian juga prosesnya, aktor-aktor yang terlibat, dampak bagi mereka
(baik yang kalah maupun menang), hingga bentuk-bentuk ―perlawanan” atas
5. Lihat Tesaurus Bahasa Indonesia (2008: 10) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi
offline yang mengacu pada data KBBI Darling (Edisi III ), diunduh gratis dari
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. Kata pencarian ―akal‖.
19
eksklusi yang terjadi. Pada ranah inilah Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania
Murray Li (2003) mencoba mengeksplorasi, bagaimana dan mengapa berbagai
kenyataan di atas bisa muncul, kekuasaan (power) seperti apa yang bekerja dalam
transformasi itu, siapa aktor yang mendorong atau melawan perubahan yang
terjadi, pada relasi pertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditimbulkan dari
perubahan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan
waktu dikupas.
Tania Li dan kawan-kawan (op. cit) itu melihat ―eksklusi‖ yang terbagi
dalam dua pengertian, yang pertama sebagai ―kondisi‖, di mana seseorang berada
dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi ketika tanah dikuasai dalam
bentuk kepemilikan pribadi (private property). Sedangkan kedua adalah
―eksklusi‖ yang bermakna ―proses‖, di mana aksi-aksi kekerasan intens dan
berskala luas mampu mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya
dikarenakan ―orang yang berkuasa‖. Eksklusi bukanlah proses acak, ia dibentuk
oleh pelbagai relasi kekuasaan. Seperti yang terjadi pada sebagian besar kawasan
pedesaan di Asia Tenggara, temuan mereka mengatakan bahwa, kondisi dan
proses eksklusi tercipta dari interaksi empat unsur, yakni: kebijakan (regulation),
kekuatan (force), pasar (market) dan pengesahan (legitimation).
Kendati tidak eksklusif, namun ‗kebijakan‘ seringkali diasosiasikan
dengan ‗instrumen‘ legal-negara yang menetapkan aturan (terhadap) akses atas
tanah dan kondisi penggunaannya. ‗Kekuatan‘ adalah kekerasan ataupun ancaman
kekerasan yang dilakukan negara atau asing. ‗Pasar‘ juga sebagai wujud dari
kekuatan eksklusi yang bekerja untuk membatasi akses melalui bentuk ―harga dan
20
kreasi insentif‖ dengan semakin ter-privatisasi-nya tanah. Sedangkan
‗pengesahan‘ yang menentukan dasar moral atas klaim, sehingga dapat berperan
dalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan untuk menjadi basis eksklusi yang
secara politik dan sosial dapat diterima.
Sedangkan “powers of exclusion” untuk menandai transformasi agraria di
Asia Tenggara berhasil mereka temukan dalam 6 bentuk, yang pertama adalah;
‗keberlangsungan‘ akses atas tanah melalui program pemerintah, sertifikasi tanah,
formalisasi dan (proses) pemukiman6. Kedua, ―ekspansi spasial‖ dan intensifnya
upaya untuk melakukan konservasi hutan dalam bentuk pelarangan pertanian.
Ketiga, hadirnya ―boom crops‖ yang sekonyong-konyong terlihat masif, cepat,
dan keras, hingga mampu membuat tanah-tanah berganti menjadi lahan untuk
produksi monocrops. Keempat adalah terjadinya “konversi‖ lahan pertanian
untuk tujuan-tujuan ―pasca-agraria‖. Kelima adalah terbentuknya formasi kelas
agraris yang ―intim‖ dalam skala desa. Sedangkan yang keenam ialah mobilisasi
massa untuk mempertahankan atau menuntut akses atas tanah mereka, namun
dengan mengorbankan para pengguna lain.
Dalam bukunya Stone Age Economics, Marshal Sahlins (1974) pada
intinya mengungkapkan bahwa masyarakat berburu dan meramu yang selama ini
dianggap sebagai masyarakat yang tidak efektif dalam memenuhi kebutuhannya,
justru sejatinya adalah masyarakat yang paling mudah untuk dipenuhi
kebutuhannya. Ini adalah tangkisan dari temuan para peneliti sebelumnya
6. Settlement di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ‗penyelesaian‘ dan dalam konteks
wilayah diartikan ‗perkampungan‘ atau ‗permukiman‘. Bedakan antara ―permukiman‖ yang
bermakna daerah tempat tinggal (kampung, dusun, desa, hingga negara), sedangkan ―pemukiman‖
berarti proses, tindakan, atau cara memukimkan. Oleh itu, settlement process dapat diartikan
sebagai pemukiman.
21
menganggap bahwa masyarakat berburu dan meramu yang tradisional itu masih
belum memiliki kemampuan teknis yang baik, sehingga ia bekerja terus menerus
dan belum memiliki waktu luang. Padahal masyarakat ini berbeda dengan
masyarakat konsumtif yang kebutuhannya banyak, tapi kerjanya sedikit.
Kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan membeli dari masyarakat lain, ini berarti
ada industri di sana. Masyarakat berburu-meramu memiliki kebutuhannya sedikit
tapi kerjanya banyak, dan yang demikian, adalah masyarakat makmur sejati.
Sahlins menyebutkan tiga bentuk resiprositas dalam masyarakat berburu
dan meramu. Pertama adalah resiprosiatas umum (generaled reciprocity). Pada
resiprositas ini transaksi yang terjadi punya kecenderungan yang sifatnya
altruistik. Misalnya, jika A memberikan ‗sesiatu‘ kepada B, jika mungkin dan
diharapkan, B pada gilirannya memberikan ‗sesuatu pada A. Dalam tipe ideal
Malinowski contohnya adalah pemberian murni (yang digambarkan dengan
model: AB). Hubungan timbal balik ini tidak ada aturan yang mewajibkan satu
pihak untuk memberi kembali (atau mengembalikan) pada pihak yang telah
memberi sesuatu padanya. Ketika pemberian tidak dibalas maka tidak masalah,
hal itu tidak menyebabkan pemberian berikutnya berhenti. Resiprositas umum ini
juga mirip dengan terminologi Islam yang biasa disebut ikhlas. Biasanya,
resiprositas jenis ini terjadi dalam hubungan yang lebih personal. Seperti orang
tua kepada anak, atau pada sesama keluarga batih (rumah tangga).
Kedua adalah resiprositas berimbang (balance reciprocity). Sahlins
menggambarkan dengan model AB yang maksudnya adalah pertukaran
langsung. Suatu barang yang diberikan masing-masing pihak equivalen atau
22
setara. Ditukar tanpa ada penundaan waktu dan memiliki nilai yang sama.
Contohnya seperti ‗perdagangan‘ atau transaksi jual beli yang dilakukan secara
langsung. Tidak ada penundaan waktu: saya bayar, kamu kasih barang atau jasa.
Bentuk ini sifatnya lebih ekonomis dan karakternya kurang ‗personal‘ dibanding
resiprositas umum. Tidak ada hubungan akrab yang intens dalam pertukaran itu.
Dilihat dari sudut pandang kita yang lebih ekonomis‘ (modern) kedua belah pihak
berhadapan ini berhadapan secara langsung dengan segala perbedaaan ekonomi
dan sosial yang berlainan. Jika pada resiprosiatas umum arus barang (material)
dipertahankan keberlangsungannya melalui relasi sosial, dalam pertukaran model
ini, relasi sosial justru bergantung pada arus barang.
Resiprositas ketiga adalah resiprositas negatif. Inilah bentuk pertukaran
yang paling impersonal. Resiprositas ini merupakan usaha untuk mendapatkan
sesuatu tidak untuk apapun dengan terbebas dari hukuman. Menjadi impersonal
(atau kurang personal) tadi karena yang diutamakan adalah manfaat dan
kepentingannya. Terminologi yang dipakai ditunjukkan dalam istilah ‗tawar-
menawar‘, barter, berjudi, penipuan, pencurian dan variasi lain-lain yang serupa.
Tiap partisipan berhadapan satu sama lain sebagai representasi dari ketertarikan
yang saling berlawanan, masing-masing memaksimalkan kegunaan yang ada dan
bisa didapatkan dari pihak lain. Arus barang mungkin berjalan satu arah, proses
timbal-balik bergantung pada pengumpulan tekanan atau akal-akalan dari
kekuatan yang bisa menyeimbangkan pihak lain dengan efek berlawanan yang
dimilikinya. Modelnya digambarkan dengan (Efek A) A---> <--B (Efek B). Ciri
resiprositas ini ditunjukkan Sahlins dengan adanya kepentingan yang berbeda dari
23
tindakan, berjalan searah, atau hanya menguntungkan salah satu pihak. Contohnya
begini, perusahaan ingin dapat tanah untuk membuat kebun sawit dan masyarakat
pun ingin punya kebun kelapa sawit. Masyarakat menyerahkan 7 ha tanah pada
perusahaan, untuk mendapatkan 2 ha kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat
tetap saja membayar kredit atas 2 ha kebun itu, sementara ia telah ―menyerahkan‖
5 hektar tanah pada perusahaan. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja perusahaan.
Dalam pada itu, Sahlins menggambarkan model untuk menganalisis
resiprositas, yang mana terdapat 4 sektor di dalamnya. Semakin luas sektor tempat
tinggal-kekerabatan (kinship-residential sectors) maka sifatnya pun semakin
inklusif. Ada berbagai macam karakter resiprositas seturut kedudukan sektornya.
Kerabat dekat yang berperan dalam pertukaran adalah kerabat yang dekat secara
‗ruang‘, spasial/ tempat tinggal: seperti rumah tangga, kerabat, permukman, sektor
suku atau bisa juga desa.
Resiprositas umum dominan di ranah paling sempit (rumah tangga).
Resiprositas berimbang ada pada sektor tengah-tengah, dan resiprositas negatif
berada pada ranah pinggiran (intertribal sector). Pada setiap sektor selalu ada
aktor yang punya relasi ekonomi. Pada sektor suku (intertribal sektor) misalnya,
relasi ekonomi yang terjadi antar suku, atau suku dengan komunitas lain dari luar.
24
Karakter resiprositas, semakin keluar atau semakin besar maka semakin
impersonal. Jika dilihat dari konsep ini, maka resiprositas negatif dengan pihak
perusahaan, aktornya adalah ―orang yang mempunyai posisi dalam lingkup tribal
atau suatu komunitas. Kepala adat yang punya posisi struktural, dia yang punya
akses untuk berhubungan dengan orang diluar komunitasnya. Namun dalam
bukunya, Sahlins juga melihat bahwa evolusi kebudayaan yang terjadi pada
masyarakat tribal sebagai produk sekunder dari ekspansi negara. Sama saja
dengan di Ensunak, pejabat negara masuk mengubah struktur sosial masyarakat,
menjadi jembatan antara orang luar dengan masyarakat dan ternyata resiprositas
negatif terjadi. Pada kasus Ensunak resiprositas negatif, uang menjadi instrumen
paling penting dalam kehidupan, bahkan merebak hingga sektor rumah tangga,
dan terwujud dengan ngakal demi dapat uang.
E. Metode Penelitian
Meliau, di warung kopi seberang makam Pangsuma saya bertemu dengan
seorang pemilik biro perjalanan yang pernah menjadi guru di ‗pedalaman‘ Meliau.
Keluh kesah menjadi guru disampaikan, cerita-cerita tentang masyarakat ―di
pedalaman‖ pun dibagikan. Konon, di sana masih banyak hutan, masih ada orang
berladang, dan segala hal yang sifatnya ‗tradisional‘ masih bisa ditemui, meskipun
kini ada juga perkebunan kelapa sawit. Namanya dusun Ensunak, Desa Enggadai,
Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak itulah, dusun
Ensunak ‗dipilih‘ sebagai lokasi penelitian saya. Besar harapan bahwa di dusun
itu sedang terjadi proses perubahan agraria –atau konversi hutan, ladang, bawas
(hutan bekas ladang), kebun karet menjadi perkebunan kelapa sawit.
25
Alasan lain dipilihnya dusun Ensunak lokasi dalam penelitian ini adalah
karena cakupan wilayah dusun ini sangat luas. Kendati tidak diketahui berapa luas
pasti Ensunak, namun dua pemukiman yang letaknya lebih dari 11 km di sebelah
barat (pusat) dusun saja masih menjadi bagian administratifnya, Longsat dan
Sokek. Saat saya melakukan penelitian di dusun ini, jumlah kepala keluarga 134,
sedangkan total penduduknya 413 jika termasuk balita dan anak-anak. Pun dalam
satu dusun ini saja, sudah ada perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta,
kebun pribadi skala besar (lebih dari seratus HA), kebun plasma, kebun karet,
hutan dan ladang juga masih bisa ditemui. Belum lagi masih ada yang sedang
melakukan transaksi jual-beli tanah dalam sekala besar juga, dan perusahaan -
perkebunan kelapa sawit yang sedang mulai tanam. Demikian saya putuskan
untuk fokus penelitian hanya di dusun Ensunak saja, kendati saya tetap
berkunjung ke dusun dan desa lain.
Berbekal ‗metode penelitian‘ yang saya pelajari saat kuliah dan
berpedoman pada buku Participant Observation karya Danny L. Jorgensen
(1989). Rencananya, saya hendak menggunakan metode ‗participant observation
diam-diam‘ dalam penelitian ini. Seperti: saya hendak berkerja di perkebunan
kelapa sawit, ―menyamar‖ sebagai buruh dan tinggal di camp selama sebulan,
lantas beberapa bulan sisanya, saya akan tinggal di rumah guru yang ada di
perkampungan penduduk. Kala itu di benak saya, guru adalah karena sosok yang
(biasanya dianggap) netral dan dihormati. Namun rencana itu gagal sejak hari
pertama sampai di Ensunak. Selain karena izin dari Kabupaten-Kecamatan belum
saya dapatkan kendati sudah diurus beberapa bulan sebelumnya, niat untuk
26
tinggal di rumah (dinas) guru SD justru membuat saya dicurigai. Di rumah dinas
itu tidak ada listrik dan hanya sebulan sekali sang guru datang, dan disana pernah
ada guru (bantu) yang tertangkap tangan melakukan pencurian –lalu dihukum
adat. Alhasil Pak Kadus meremomendasikan untuk tinggal di rumahnya, ―agar
mudah diawasi‖, katanya di kemudian hari. Tinggallah saya di sana, berbagi
kamar dengan tenaga kerja pembibitan dan agen pembeli tanah.
Di luar rumah penampilan dan tampang saya selalu menjadi ‗perhatian‘
banyak orang, namun bukan dalam ‗arti yang positif‘. Karena mata mereka
melihat saya dengan kecurigaan sempurna. Beberapa orang berpaling saat diajak
bicara, ada juga yang (hanya) mengangguk namun tetap melotot saat diajak
berkenalan. Sampai hari ketiga, rasa bosan dan terasing membuat saya
memberanikan diri untuk mendekati bapak-bapak yang berkumpul di depan
warung. Berlagak heroik, saya membeli arak segelas, barulah ada yang mengajak
bicara dan bertanya-tanya. Hari-hari berikutnya, kalimat yang sekiranya berkata,
―Saya kira kamu orang jahat. Gondrong, punya bulu dagu pula‖, sering sekali
saya dengar7. Pun semenjak itulah ‗saya selalu terbuka‘ dan mengaku pada semua
orang (yang bertanya) bahwa saya tinggal di Ensunak untuk melakukan penelitian
sosial. Hanya saja topiknya selalu berubah-ubah, kadang mengaku tentang
perubahan agraria, kadang hal lain. Misalnya ketika sedang berhadapan dengan
kepala Adat, maka saya mengatakan jika penelitian saya tentang sejarah-budaya.
Namun ketika di perkebunan dan sedang membahas tentangnya, maka saya bilang
bahwa saya sedang penelitian tentang kelapa sawit.
7. Mayoritas penduduk Ensunak (terdata) beragama Katolik. Sedangkan pada tahun 2010 televisi
sering memberitakan tentang kekerasan yang dilakukan salah satu Ormas Islam (baca FPI) yang
notabene memiliki jenggot.
27
Mengenai aturan dan strategi agar bisa diterima di masyarakat itu,
Jorgensen (1989: 37) berpendapat bahwa, seringkali yang mempengaruhi
―terbukanya‖ suatu masyarakat itu adalah karena politik (kekuasaan orang tertentu
dalam masyarakat tersebut). Jadi penerimaan dapat diperoleh secara terang-
terangan, dengan meminta ijin kepada pihak petinggi masyarakat; juga secara
diam-diam, yang kurang disukai beberapa ahli karena menurut mereka bersifat
tidak etis dan tidak jujur pada masyarakat yang diteliti. Namun jika ‗terang-
terangan‘ hanya dengan ―petinggi masyarakat‖ saja, saya kira tetap tidak etis.
Karena saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: bagaimana jika
informan marah ketika tahu bahwa mereka sedang menjadi subyek penelitian
saya, dan apa manfaatnya bagi mereka jika hidupnya sama saja? Oleh karena itu,
seringkali saya pun meminta izin secara lisan jika kelak, ceritanya, obrolan, dan
semua pengalaman saya selama di Ensunak ataupun di seluruh Kalimantan Barat
akan menjadi sebuah tulisan.
Dalam pada itu, tinggal di rumah kepala dusun justru sangat
menguntungkan penelitian ini. Segala urusan administrasi sampai siapapun ‗orang
dari luar dusun Ensunak‘ yang datang –wajib untuk mendapat ijin dari Kepala
Dusun, ia adalah perantara ‗orang luar‘ dengan ‗orang Ensunak‘. Kepala Dusun
biasa menjadi ‗jembatan‘ antara perusahaan dan masyarakat, ia bahkan selaku
akses untuk urusan jual-beli tanah. Mengenai ―politik kekuasaan‖ yang
menempatkan orang lain menjadi kawan atau lawan, itu bukan soal penting lagi
bagi saya. Karena pada bulan pertama ketika melakukan penelitian ini, saya hanya
‗mencukupkan diri‘ dengan melihat, dalam arti mengamati atau observasi.
28
Dengan metode itu saja sudah cukup banyak hal baru yang tertangkap oleh mata
saya. Cukup dengan ‗melihat‘, saya mengetahui rumah-rumah siapa saja yang
dialiri listrik, mengetahui tingkat konsumsi dari sampah yang ada di depan
rumahnya, juga mengamati kebiasaan orang, dan telatahnya. Pertanyaan-
pertanyaan yang saya lontarkan hanya untuk mengakrabkan, bukan untuk
wawancara, dan saya malah lebih sering ditanya daripada bertanya.
Bulan-bulan berikutnya, banyaknya informasi yang saya dapatkan justru
berasal dari mengobrol di halaman rumah, di warung arak, ataupun di kebun sawit
sembari menemani berkerja. Saya datang untuk penelitian, tetapi saya juga datang
untuk menjadi teman bagi narasumber. Menjadi orang yang bisa dipercaya atau
‗teman‘ itu membuat saya mendapatkan banyak data. Keluhan, siasat, prinsip,
intrik, ide, strategi, akal-akalan, impian hingga apa saja yang pernah dilakukan
adalah data yang penting saya dapatkan dari ngobrol. Saya tidak membuat
pertanyaan dengan terstruktur, semua obrolan ‗mengalir‘ sampai pada satu bulan
terakhir ‗di lapangan‘, kemudian fokus pada soal jual-beli tanah.
Dalam mengumpulkan data, saya jarang membawa buku catatan ke mana-
mana, apalagi menulis ketika orang bicara, itu membuat orang yang sedang bicara
tidak merasa nyaman. Mencuri waktu untuk menulis juga susah, karena setiap
orang akan melihat dan mencoba membaca. Pernah suatu kali saya menulis
setelah mengobrol, karena melihat orang mencatat mereka bertanya dan curiga
tentang apa yang saya tulis. Hal itu membuat narasumber enggan berbagi cerita
lagi pada saja. Jadi, saat mendapat data, yang bisa saya lakukan hanya menulis
poin-poin penting dalam ‗program Notes‘ yang ada ponsel saya. Berpura-pura
29
sedang menulis SMS (pesan teks). Kendati tidak ada sinyal, saya punya alasan
sedang menulis kegiatan hari ini, untuk diberi tahukan pada keluarga, sehingga,
kelak ditempat sinyal hanya mengirim SMS saja. Selain itu saya mensiasati
dengan membawa kamera, memfoto situasi atau orang-orang guna mengingat
urutan kejadian yang sudah saya lewati dalam sehari. Setelah pulang dari
observasi ataupun mengobrol itu, poin-poin yang ada dalam notes ponsel itu saya
deskripsikan, dijabarkan dan dicatat dalam komputer jinjing, pada malam hari
selagi listrik yang dialirkan oleh mesin diesel milik Pak Kadus menyala 3 sampai
5 jam setiap harinya.
Metode wawancara tidak banyak digunakan dalam penelitian ini. Karena
selain membosankan, saya juga merasa bahwa metode itu membuat ‗komunikasi
berjalan searah‘ dan tidak berimbang: saya bertanya lantas narasumber menjawab.
Cukup beruntung jika ada mau menjawab, apalagi sampai mendapat jawaban
yang jujur. Karena demi mendapatkan data yang valid (atau jujur itu) diperlukan
probing (bertanya kembali pada informan yang sama ataupun informan lain).
Menurut pengalaman, biasanya narasumber hanya menceritakan ―hal-hal baik
saja‖ atau menempatkan diri pada posisi yang dirugikan. Namun wawancara itu
tetap saya pakai untuk mencari data sejarah –lisan, meskipun pada praktiknya, hal
itu seperti memaksa orang untuk mengingat tentang apa yang sudah ingin
dilupakan. Adapun metode wawancara ternyata juga saya gunakan ketika saya
sudah tidak lagi di Ensunak, ‗kemajuan teknologi‘ (dalam hal ini seluler atau
ponsel itu) membatu saya dalam melengkapi kekurangan data di lapangan.
30
Agar data penelitian ini dapat menghasilkan tulisan yang ‗berisi dan tetap
renyah dibaca‘, maka saya tetap mengikuti anjuran Geertz (1973:10), thick
description yang rasanya masih diperlukan untuk memahami konteks atau situasi.
Dalam pada itu, selain sumber data dari lapangan sebagai data primer, tidak
menutup kemungkinan penggumpulan data juga diambil dari koran, artikel-
artikel, buku, ataupun majalah yang berkaitan dan relevan sebagai data sekunder.
Pun itu juga berguna sebagai data pendukung, pembanding, sekaligus literatur.
Setelah semua data terkumpul, maka peneliti akan mencoba menafsirkan serta
menggambarkan berbagai pemikiran, perasaan, penglihatan dan tindakan yang
dilakukan oleh tineliti berdasarkan nilai kepercayaan, norma yang dianut oleh
tineliti (Geertz, 1973: 10 via Budiawan, 2008: 24). Harapannya adalah, penelitian
ini mampu menjadi (atau dianggap) sebagai etnografi yang efektif, menarik untuk
dibaca, dan mampu menggugurkan bentuk-bentuk gagasan yang sifatnya
generatif.