referat sirosis hepatis

47
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distori arsitektur hati yang normal, penyakit ini ditandai oleh adanya peradangan difus dan manahun pada hati, dikuti oleh proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati,sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, 1

Transcript of referat sirosis hepatis

Page 1: referat sirosis hepatis

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distori arsitektur hati

yang normal, penyakit ini ditandai oleh adanya peradangan difus dan manahun pada hati,

dikuti oleh proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati,sehingga timbul

kekacauan dalam susunan parenkim hati.

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada

pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh

dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal

setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan

dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar

kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti

perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites,

Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carsinoma.

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah asites, terlihat pada 39,1% pasien

sirosis, dan ensefalopati hati 21,7%; penelitian lain juga mencatat asites sebagai komplikasi

yang sering muncul dan tanda pengembangan pada orang dengan koinfeksi. Tetapi, kanker

sel hati (hepatocellular carcinoma/HCC) hanya terjadi pada 13%. 1

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui beberapa komplikasi pada Sirosis Hepatis dan

penatalaksanaannya.

1

Page 2: referat sirosis hepatis

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui penatalaksanaan Asites.

2. Untuk mengetahui penatalaksanaan Peritonoitis Bakterial Spontaneus.

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan Hematemesis Melena.

4. Untuk mengetahui penatalaksanaan Sindrom Hepatorenal.

1.3. Batasan Masalah

Pembahasan referat ini dibatasi pada komplikasi sirosis hepatis yang mencakup

Asites,Peritonoitis Bakterial Spontaneus, Hematemesis Melena, dan Sindrom hepatorenal

beserta penatalaksanaan dari komplikasi tersebut.

1.4. Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari

berbagai literatur.

2

Page 3: referat sirosis hepatis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KOMPLIKASI SIROSIS HEPATIS

2.1.1. ASITES

Defenisi

Asites adalah akumulasi cairan di rongga abdomen.

Patogenesis

3

sirosis

Tahanan portal meningkat

Hipertensi Portal

Dilatasi Splanknikus

Tekanan kapiler splanknik meningkat

Pengisisan arteri menurun

Akumulasi cairan di abdomen

asites

Retensi garam dan air

Ekskresi air terganggu

Vasokonstriksi ginjal

Volume plasma meningkat

Hiponatremi dilusional

Sindrom hepatorenal

Page 4: referat sirosis hepatis

Pemeriksaan umum

1. Fungsi hati

- Tes fungsi hati dan tes koagulan

- Tes standar hematologi

- USG abdomen dan CT scan abdomen

Endoskopi traktus gastrointestinal bagian atas

2. Fungsi renal dan fungsi sirkulasi, saat pasien tidak mendapat terapi diuretik

- Pengukuran kreatinin serum dan elektrolit

- Pengukuran natrium urin ( terutama dari urin 24 jam yang telah dikumpul)

- Tekanan darah arteri

3. Pemeriksaan cairan asites (untuk menyingkirkan kemungkinan peritoneal bakteria

spontan)

- Hitung jenis sel

- Kultur bakteri

- Pengukuran protein total

- Tes lainnya ( albumin, glukosa, laktat dehidrogenase, amylase, dan trigliserida)

Terapi

o Terapi umum, berupa pengaturan diet, meliputi:

- Pembatasan asupan Natrium.

Dilakukan terutama pada pasien retensi Na yang berat, yang tidak berespon atau

respon minimal terhadap diuretik. Asupan natrium yang dianjurkan adalah 1500-2000

mg/hari

- Pembatasan cairan

4

Page 5: referat sirosis hepatis

Hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hiponatremi dilusional yang

disebabkan oleh ekskresi air dan ginjal yang rendah. Asupan cairan yang dianjurkan

adalah 1000 ml/hari

o Terapi khusus

Volume asites sedikit

Akumulasi cairan asites dalam jumlah yang sedikit sudah dapat menimbulkan rasa

tidak nyaman yang ringan pada beberapa pasien. Pada pasien ini, ekskresi natrium ginjal

tidak terlalu terganggu, tapi pasien sudah memiliki keseimbangan natrium yang positif.

Terapi bisa dilakukan dengan rawat jalan jika tidak terdapt komplikasi sirosis hepatis yang

lainnya.

Obat pilihan pada asites dengan jumlah cairan yang masih sedikit adalah

spironolakton (50-200 mg/hari) dan amiloride (5-10 mg/hari), bisa juga ditambah dengan

furosemide dosis rendah (20-40 mg/ hari) bila terdapat udem perifer.

Terapi dievaluasi dengan pengukuran berat badan dan pemeriksaan fisik. Penurunan

berat badan yang dianjurkan adalah 300-500 gram/hari (jika tanpa udem perifer) atau 800-

1000 gram/hari (jika disertai udem perifer)

Volume asites banyak

Banyaknya cairan yang terakumulasi menyebabkan rasa tidak nyaman yang hebat

sampai mengganggu aktifitas sehari-hari. Biasanya sudah terjadi retensi natrium yang hebat

sehingga peningkatan akumulasi cairan asites terjadi dengan cepat walaupun asupan natrium

dibatasi.

Strategi terapi yang dianjurkan:

a. Parasentesis dalam jumlah yang banyak

5

Page 6: referat sirosis hepatis

Berhubungan dengan perubahan fungsi sirkulasi yaitu penurunan volume arteri

efektif , aktivasi vasokontriktor dan aktivasi natiuretik faktor jika tidak disertai

dengan plasma expanders.

b. Diuresis dengan dosis yang ditingkatkan sampai dosis maksimal spironolakton:

400 mg/hari atau furosemide: 160 mg/hari

Asites yang refrakter

Strategi terapi yang saat ini digunakan:

- Parasentesis dalam jumlah banya yang berulang dengan plasma expander setiap 2-4

minggu

- Shunt porto-sistemik transjugular

Tujuannya untuk menurunkan retensi natrium dan meningkatkan respon ginjal terhadap

diuretik. Kekuranga dari cara terapi ini adalah tingginya angka kejajian stenosis shunt yang

bisa mengakibatkan asites yang berulang, ensefalopati hepatik, tingginya biaya dan tida bisa

dilakukan di beberapa tempat.2

2.1.2 PERITONITIS BAKTERIAL SPONTAN

Defenisi

Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) adalah komplikasi serius pada

pasien sirosis dengan asites. PBS didefinisikan sebagai infeksi cairan

asites tanpa dapat ditemukan penyebab dari intraabdominal yang dapat

diterapi secara bedah. Disebut PBS bila didapatkan peningkatan sel

polimorfonuklear PMN melebihi 250/mm3 dengan atau tanpa bakteriemia

yang diisolasi dari dalam cairan asites.1 Peritonitis Bakterial Spontan

(PBS) adalah komplikasi serius pada pasien sirosis dengan asites

6

Page 7: referat sirosis hepatis

Epidemiologi

Diera diagnosis dini dan pemberian terapi antibiotika segera,

prevalensi PBS masih berkisar antara 10-30%, dan yang lebih meresahkan

adalah angka kematian yang masih cukup tinggi sekitar 20-40%. Sedang

harapan hidup 1 tahun 67%.2,3 Di Indonesia angka kejadian PBS pada

sirosis hati yang dirawat di Rumah Sakit berkisar antara 10-30%, kurang

lebih separuh kejadian PBS terjadi selama perawatan.4 Dari jumlah

sampel penelitian 62 pasien, yang mengalami PBS adalah 19 orang

(30,6%), sedang yang bukan PBS adalah 43 orang (69,4%).

Etiologi

Pada pasien-pasien dengan kultur positif monomikrobial tersebut 10 (77%)

diantaranya disebabkan oleh kuman aerob Gram negatif, sedang 3 (23%) pasien disebabkan

kuman aerob Gram positif.

Suatu penelitian skala besar di Perancis melaporkan dari

dokumentasi klinis dan laboratories pasien PBS di satu pusat

Hepatogastroenterologi selama 20 tahun yang dibagi menjadi 5 periode.

Penyebab infeksi PBS terbanyak adalah Enterobacteriacheae 78,7%

(Escherichia coli 51%, sisanya Citrobacter feundi, Enterobacter cloacae

dan Serratia marcescens,) sedang 19% coccus gram positif

(Staphylococcus aureus dan Staphylococcus coagulase negatif). Hal ini

tidak berbeda selama 5 periode tersebut.12 Hasil penelitian ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, didapatkan kuman

penyebab PBS terbanyak adalah kuman aerob gram negatif (77%),

7

Page 8: referat sirosis hepatis

dominan Escherichia coli (15,4%) dan Acinettobacter baumanii (15,4%).

Sedang sisanya oleh kuman aerob Gram positif (23%).

Patofisisologi.

Perkembangan penyakit PBS pada sirosis hati dipengaruhi oleh

respon imun cairan asites, yang tergantung pada mekanisme pertahanan

dalam rongga peritoneal yaitu opsonisasi dan bakterisidal cairan asites

yang sangat ditentukan oleh kadar protein cairan asites.17

Dalam penelitian oleh Llovet,dkk.16 megenai translokasi bakteri

usus penyebab PBS pada tikus sirosis, dilaporkan bahwa terjadinya infeksi

cairan asites dipengaruhi oleh, galur kuman penyebab dan sistem

pertahanan tubuh host yang terdiri dari: respon imun sistemik (sistem

retikuloendotelial) serta respon imun lokal (kemampuan eradikasi

organism penyebab oleh makrofag peritoneum dan netrofil). PBS terjadi

apabila terdapat kombinasi keduanya, yaitu adanya galur kuman yang

lebih virulen dari kumankuman lain yang dapat dibunuh oleh sistem imun

pertahanan tubuh host, serta menurunnya sistem imun pertahanan tubuh

host.

Hitung trombosit yang rendah pada pasien sirosis dengan asites

adalah akibat hipersplenisme sesuai derajat sirosis dan hipertensi portal.

Derajat sirosis yang berat memilki hubungan independen sebagai faktor

risiko PBS.7 Kemungkinan hitung trombosit yang rendah tidak memiliki

efek langsung pada patogenesis PBS, hanya merupakan petanda adanya

hipertensi portal. Belum ada bukti penelitian yang melaporkan hitung

8

Page 9: referat sirosis hepatis

trombosit yang rendah dengan PBS secara terpisah dengan faktorfaktor

risiko lain.

Dari 62 pasien sirosis hati dengan asites, pasien Child C lebih

banyak mengalami PBS dibanding Child B dan tidak ada pasien dengan

Child A. Derajat sirosis hati adalah kategori beratnya gangguan fungsi

hati. Pada pasien sirosis terutama dengan derajat berat (Child C) akan

terjadi penurunan fungsi sel Kupfer, penurunan jumlah serta fungsi sel

leukosit terutama PMN akibat hipersplenisme serta penurunan sintesis

komplemen (C3) oleh hati, mengakibatkan penurunan aktifitas opsonisasi

dan fagositosis yang memudahkan terjadinya PBS.

Gejala klinis

Karakteristik pasien berdasarkan manifestasi klinis yang meliputi

demam, keluhan nyeri perut, muntah, diare, gangguan kesadaran,

abdominal tenderness, ileus paralitik, hipotensi, dan hipotermi. Dari

pemeriksaan laboratorium didapat pasien dengan HbsAg positif 28

(45,2%) dan Anti HCV positif 14 (23%). Sedang hasil pemeriksaan lab lain

meliputi AST, ALT, albumin, globulin, bilirubin total serum, urea dan

kreatinin serum, INR serta protein dan PMN cairan asites.

Terapi

Antibiotika yang sensitif adalah yang dapat mengeliminasi kuman

golongan tersebut diatas. Cefotaxim merupakan antibiotika yang banyak

diteliti pada pasien PBS. Penelitian oleh Ricart dkk.13 mendapatkan

bahwa Amoxicilin-asam klavulanik sama efektifnya dengan Cefotaxim

untuk terapi infeksi pasien sirosis dengan asites. Penelitian ini tidak jauh

9

Page 10: referat sirosis hepatis

berbeda dengan penelitian- penelitian terdahulu, didapatkan Cefotaxim

dan Amoxicilin masih sensitif untuk pasien PBS. Dengan demikian hasil

penelitian ini masih relevan dengan rekomendasi antibiotika terapi dan

profilaksis PBS sesuai konsensus dan pedoman dari PPHI.3

2.1.3 HEMATEMESIS MELENA

Defenisi

Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah buang air besar berdarah

seperti aspal, umumnya disebabkan perdarahan saluran makan bagian atas (SMBA) mulai

dari esofagus sampai duodenum.

Etiologi

Penyebab-penyebab dari perdarahan saluran makan bagian alas antara lain :

- Kelainan pada esofagus: varises, esofagitis, ulkus, sindroma Mallory-Weiss,

keganasan.

- Kelainan pada lambung dan doudenum: gastritis hemoragika, ulkus peptikum

ventrikuli dan duodeni, keganasan,polip.

- Penyakit darah: leukemia, DIC, trombositopeni.

- Penyakit sistemik: uremia.

Penyebab perdarahan SMBA yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah :

- pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 40 - 55%

- gastritis hemoragika dengan20 - 25%

- ulkus peptikum dengan 15 - 20%

- sisanya oleh keganasan, uremia dan sebagainya.

10

Page 11: referat sirosis hepatis

Umumnya perdarahan SMBA termasuk penyakit gawat darurat yang memerlukan

tindakan medik intensif yang segera di rumah-sakit/puskesmas karena angka kematiannya

yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus yang dahulu berkisar antara 40 -

85%.

Diagnosis

Diagnosa perdarahan SMBA ditegakkan melalui :

i. Anamnesis

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan penderita lemah atau

kesadarannya menurun dapat diambil alloanamnesa dari pengantarnya.

Beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain :

o Apakah penderita pernah menderita atau sedang dalam perawatan karena penyakit

hati seperti hepatitis kronis, sirosis hati, penyakit lambung atau penyakit lain?

o Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah mengalami sebelumnya?

o Apakah penderita minum obat-obat analgetik antipiretik atau kortison? Apakah

minum alkohol atau jamu-jamuan?

o Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual atau muntah?

o Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa banyaknya atau terjadi terus

menerus tetapi sedikit-sedikit?

o Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena atau hanya melena saja?

ii. Pemeriksaan fisik

1. Penderita perlu segera diperiksa keadaan umumnya yaitu derajat kesadaran,tekanan

darah, nadi, pernapasan, suhu badan dan apakah ada tanda-tanda syok, anemi, payah jantung,

kegagalan ginjal atau kegagalan fungsi hati berupa koma. Penderita dalam keadaan umum

11

Page 12: referat sirosis hepatis

yang buruk atau syok perlu segera ditolong dan diatasi dahulu syoknya Pemeriksaan

penunjang diagnosis ditunda dahulu sampai keadaan umum membaik

2. Bila dugaan penyebab perdarahan SMBA adalah pecahnya varises esofagus, perlu

dicari tanda-tanda sirosis hati dengan hipertensi portal seperti: hepatosplenomegali, ikterus,

asites, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi

dinding perut. Bila pada palpasi ditemukan massa yang padat di daerah epigastrium, perlu

dipikirkan kemungkinan keganasan lambung atau keganasan hati lobus kiri.

iii. Pemeriksaan penunjang diagnosis

1. Pemeriksaan laboratorik

Golongan darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit, trombosit,waktu

perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi dan fibrinogen.

Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gama GT

kolinesterase, protein total, albumin, globulin,HBSAg, AntiHBS .

Pemeriksaan yang diperlukan pada komplikasi kegagalan fungsi ginjal, koma

atau syok adalah kreatinin, ureum, elektrolit, analisa gas darah, gula darah

sewaktu, amoniak.

2. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan radiologik dilakukan sedini mungkin bila perdarahan telah berhenti.

Mula-mula dilakukan pemeriksaan esofagus dengan menelan bubur barium, diikuti dengan

pemeriksaan lambung dan doudenum, sebaiknya dengan kontras ganda. Pemeriksaan

dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada tidaknya varises di daerah 1/3 distal

esofagus, atau apakah terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung, doudenum.

3. Pemeriksaan endoskopik

Pemeriksaan endoskopik ini sangat penting untuk menentukan dengan tepat

sumberperdarahan SMBA. Tergantung keetrampilan dokternya, endoskopi dapat dilakukan

12

Page 13: referat sirosis hepatis

sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti.

Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto

slide, film atau video untuk dokumentasi, juga dapat dilakukan aspirasi serta biopsi untuk

pemeriksaan sitologi.

4. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati

Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjang diagnosa hematemesis/melena bila

diduga penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus, karena secara tidak langsung

memberi informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi

portal, keganasan hati dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah

perdarahan akut berhenti.

Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop mutakhir dengan transducer

ultrasonografi yang berputar di ujung endoskop, maka keganasan pada lambung dan pankreas

juga dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning hati diagnosa sirosis hati dengan hipertensi portal

atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan.

Terapi

a. Tindakan Umum

1. Resusitasi

a. Infus/Transfusi darah

Penderita dengan perdarahan 500 -- 1000cc perlu diberi infus Dextrose 5%,

Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada penderita sirosis hati dengan asites/edema tungkai

sebaiknya diberi infus Dextrose 5%.

Penderita dengan perdarahan yang masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang

dari 8g%, perlu segera ditransfusi.

13

Page 14: referat sirosis hepatis

Pada hipovolemik ringan diberi transfusi sebesar 25% dari volume normal,

sebaiknya dalam bentuk darah segar.

Pada hipovolemik berat/syok, kadang kala diperlukan transfusi sampai 40 -

50% dari volume normal. Kecepatan transfusi berkisar pada 80 - 100 tetes atau dapat lebih

cepat bila perdarahan masih terus berlangsung, sebaiknya di bawah pengawasan tekanan vena

sentral.

Pada perdarahan yang tidak berhenti perlu dipikirkan adanya DIC, defisiensi

faktor pembekuan path sirosis hati yang lanjut atau fibrinolisis primer.

Bilamana darah belum tersedia, dapat diberi infus plasma ekspander maksimal

1000 cc, selang seling dengan Dextrose 5%, karena plasma ekspander dapat mempengaruhi

agregasi trombosit.

Setiap pemberian 1000 cc darah perlu diberi 10 cc kalsium glukonas i.v. untuk

mencegah terjadinya keracunan asam sitrat

2. Lavas lambung dengan air es

Setelah keadaan umum penderita stabil, dipasang pipa nasogastrik untuk aspirasi isi

lambung dan lavas air es, mula-mula setiap 30 menit1 jam. Bila air kurasan lambung tetap

merah, penderita terus dipuasakan. Sesudah air kurasan menjadi merah muda atau jernih,

maka disarankan dilakukan pemeriksaan endoskopi yang dapat menentukan lokasi

perdarahannya. Pada perdarahan varises esofagus yang tidak berhenti setelah lavas air es,

diperlukan tindakan medik intensif yang akan dibicarakan kemudian. Sedangkan pada

perdarahan ulkus peptikum, gastritis hemoragika dan lainnya, setelah perdarahan berhenti

dapat mulai diberi susu + aqua calcis 50 -- 100 cc/jam, dan secara bertahap ditingkatkan pada

diit makanan lunak/bubur saring dalam porsi kecil setiap 1 -- 2 jam.

3. Hemostatika

14

Page 15: referat sirosis hepatis

Yang dianjurkan adalah pemberian Vitamin K dalam dosis 10 - 40 mg sehari

parenteral, karena bermanfaat untuk memperbaiki defisiensi kompleks protrombin.

Pemberian asam traneksamat dan karbazokrom dapat pula diberikan.

b. Tindakan khusus

1. Medik Intensif

a. Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik

Bila perdarahan tetap berlangsung, dicoba lavas lambung dengan air es ditambah

2 ampul Noradrenalin atau Aramine 2 - 4 mg dalam 50 cc air. Dapat pula diberikan bubuk

trombin (Topostasin) misalnya 1 bungkus tiap 2 jam melalui pipa nasogastrik. Ada ahli yang

menyemprotkan larutan trombin melalui saluran endoskop tepat di daerah perdarahan di lam-

bung, sehingga di bawah pengawasan endoskopik dapat mengikuti langsung apakah

perdarahannya berhenti dan apakah terbentuk gumpalan darah yang agak besar yang perlu

aspirasi dengan endoskop.

b. Sterilisasi usus dan lavement usus

Terutama pada penderita sirosis hati dengan perdarahan varises esofagus perlu

dilakukan tindakan pencegahan terjadinya koma hepatikum/ensefalopati hepatik yang

disebabkan antara lain oleh peningkatan produksi amoniak pada pemecahan protein darah

oleh bakteri usus.

Hal ini dapat dilakukan dengan jalan :

o Sterilisasi usus dengan antibiotika yang tidak dapat diserap misalnya Neomisin 4

x 1 gram atau Kanamycin 4 x 1 gram/hari, sehingga pembuatan amoniak oleh

bakteri usus berkurang.

o Dapat diberikan pula laktulosa atau sorbitol 200 gram/hari dalam bentuk larutan

400 cc yang bersifat laksansia ringan atau magnesiumsulfat 15g/400cc melalui

pipa nasogastrik.Selain itu perlu dilakukan lavement usus dengan air biasa setiap

15

Page 16: referat sirosis hepatis

12 -- 24 jam. Untuk pencegahan ensefalopati hepatik dapat diberi infus

Aminofusin Hepar 1000 -- 1500 cc per hari. Bila penderita telah berada dalam

keadaan prekoma atau koma hepatikum, dianjurkan pemberian infus Comafusin

Hepar 1000 -- 1500 cc per hari.

c. Beta Bloker

Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif seperti propanolol,

oksprenolol, alprenolol ternyata dapat menurunkan tekanan vena porta pada penderita sirosis

hati,akibat penurunan curah jantung sehingga aliran darah kehati dan gastrointestinal akan

berkurang. Obat golongan betabloker ini tidak dapat diberikan pada penderita syok atau

payah jantung, juga pada penderita asma dan penderita gangguan irama jantung seperti

bradikardi/AV Blok.

d. Infus Vasopresin

Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos seluruh sistem baskuler

sehingga terjadi penurunan aliran darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan

penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri gastrika dan mesenterika ikut

mengalami kontraksi, maka selain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum

juga ikut berhenti.Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan varises esofagus

yang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambung dengan air es. Cara pemberian

vasopresin ialah 20 unit dilartkan dalam 100 -- 200 cc Dextrose 5%, diberikan dalam 10 -- 20

menit intravena. Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah dilaporkan

adalah angina pektoris, infark miokard, fibrilasi ventrikel dan kardiak arest pada penderita

penderita jantung koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi dari vasopresin pada

arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang mengeluh tentang kolik abdomen, rasa

mual, diare. Beberapa ahli lain menganjurkan pemberian infus vasopresin dengan dosis

rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 16 jam pertama dan bila perdarahan

16

Page 17: referat sirosis hepatis

berhenti setelah itu, dosis diturunkan 0,1 unit per menit untuk 8 jam berikutnya. Pada cara

pemberian infus vasopresin dosis rendah lebih sedikit efek sampingyang ditemukan.Efek

vasopresin dalam menghentikan perdarahan SMBA berkisar antara 35 - 100%, perdarahan

ulang timbul pada 21 - 100% dan mortalitas berkisar pada 21 - 80%. Balontamponade

Tamponade dengan balon jenis Sengstaken Blakemore Tube atau Linton Nachlas Tube

diperlukan pada penderita –penderita varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung

setelah lavas lambung dan pemberian infus vasopresin. Tindakan pemasangan balon ini

merupakan pilihan pertama pada penderita jantung koroner dan usia lanjut, yang tidak dapat

diberikan infus vasopresin. Prinsip bekerjanya SB atau LN Tube adalah mengembangkan

balon di daerah kardia dan esofagus yang akan menekan, dan dengan demikian menghentikan

perdarahan di esofagusdan kardia. SB Tube terdiri dari 2 balon, masing-masing untuk

lambung dan esofagus, sedangkan LN Tube terdiri hanya dari 1 balon yang mengkompresi

daerah distal esofagus dan kardia.

e. Koagulasi laser endoskopik

Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan sklerosis varises endiskopik

gagal dalam menghentikan perdarahan varises esofagus, mungkin dapat diterapkan terapi

koagulasi dengan Argon/Neodym Yag Laser secara endoskopik. Ada ahli yang melaporkan

keberhasilan sampai 91,3% (116 dari 127 penderita). Hanya alat ini sangat mahal.Demikian

juga perdarahan SMBA lainnya seperti pada ulkus peptikum dan keganasan ternyata dapat

dihentikan dengan koagulasi laser endoskopik.

f. Embolisasi varises transhepatik

Caranya, dengan tuntunan ultrasonografi dimasukkan jarum ke dalam hati sampai

mencapai vena porta yang melebar, kemudian disorong kateter melalui mandrin tersebut

sepanjang vena porta sampai mencapai vena koronaria gastrika dan disuntikkan kontras

angiografin. Pada transhepatik portalvenografi ini akan terlihat vena-vena kolateral utama

17

Page 18: referat sirosis hepatis

termasuk varises esofagus.Selanjutnya sebanyak 30 -- 50 cc Dextrose 50% disuntikkan

melalui kateter diikuti dengan suntikan trombin, ditambah gel foam atau otolein. Perdarahan

varises esofagus umumnya segera berhenti. Metoda ini belum banyak laporannya dalam

kepustakaan, karena tekniknya sukar dan sering mengalami kegagalan yang disebabkan

trombosis vena porta atau adanya asites. Komplikasi yang membahayakan adalah perdarahan

intraperitoneal dari bekas tusukan jarum tersebut. Seorang peneliti melaporkan bahwa 5 bulan

sesudah embolisasi timbul varises esofagus yang baru.

2. Tindakan Bedah

Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami kegagalan dan perdarahan masih

berlangsung, maka perlu dilakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan portosistemik

atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus.Perdarahan dari ulkus peptikum

ventrikuli atau duodeni serta keganasan SMBA yang tidak berhenti dalam 48 jam juga

memerlukan tindakan bedah. Bila tidak diperlukan tindakan bedah darurat, setelah keadaan

umum penderita membaik dan pemeriksaan diagnostik telah selesai dilakukan, dapat

dilakukan tindakan bedah elektif setelah 6 minggu.4

2.1.4 SINDROMA HEPATORENAL

Definisi

Sindroma Hepato Renal adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati

kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi

ginja dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system vasoactive

endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus

rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi arteriol yang luas menyebabkan

penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.

18

Page 19: referat sirosis hepatis

Patofisiologi

Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang reversible dan

hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata pada penderita SHR telah

ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk arteriografi ginjal, klirens para

aminohipuric acid dan yang terbaru ultrasonografi Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini

mendapatkan beberapa perubahan dalam perfusi ginjal yang berkesinambungan pada

penderita sirosis dengan ascites, dan SHR adalah akhir dari spectrum ini. Penyebab utama

dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan

banyak factor antara lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,

peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di

ginjal. Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan pengisian

sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik. Pengurangan pengisian

arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin

angiotension dan system saraf simpatis).

1. Faktor Vasokonstriktor

Sistem rennin – angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari system utama

yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal berperan sebagai mediator utama

vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal. Aktifitas dari system vasokonstruksi ini

meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascites, terutama penderita dengan sindroma

hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.

Kadar hormon anti diuretic atau vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi

non osmolar, walaupun sering timbul hiponatremia.

Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endothelin adalah substansi

vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kemungkinan karena penambahan

produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi splandik yang hubungannya dengan

19

Page 20: referat sirosis hepatis

vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dkk melaporkan pada tiga penderita SHR

memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor

endhothelin –A. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan produksi cysteinyl leukotrienes

sebagai vasokonstriksi ginjal yang kuat pada penderita SHR.

Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin, F2 – isoprostanes dapat juga sebagai

factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme

yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan

dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan SHR timbul setelah infeksi bakteri

yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi bakteri dan

portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal

pada sirosis masih merupakan perdebatan.

2. Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang

memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal memaikan peran yang

penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek

yang merusak dari factor vasokonstriktor. Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting

adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu

mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya.

Bukti yang paling kuat menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal

pada sirosis dengan ascietes diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid

anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal. Pemberian NSAIDs,

sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan

penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang

perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas

20

Page 21: referat sirosis hepatis

vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita dengan aktifitas

vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit atau sedikit efek pada penderita tanpa

aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam

mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida

dan PGs dihambat secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi

penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi

ginjal pada sirosis adalah natriuretic peptide. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C

Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional,

selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium

urin,CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan

aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi

ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari mekanisme vasokonstriktor ginjal.

3. Sistem saraf simpatis

Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan

vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini telah diperlihatkan oleh

beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan

splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi pada arteiol afferent ginjal menimbulkan

penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di

tubulus.

Patogenesis

Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul

pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal berhubungan dengan

penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang berhubungan dengan gangguan system

hemodinamik.

21

Page 22: referat sirosis hepatis

Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua

mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal

dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang dapat

menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang diperlihatkan bahwa

hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua menerangkan bahwa

hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan patogenetik dalam system hemodinamik

dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini

menerangkan bahwa kekurangan pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap

hipoperfusi yang bukan sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi

arteriolar yang luar biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan

aktifasi yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor, yang mana dapat

menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi juga pada pembuluh

darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan,

kemingkinan karena adanya rangsangan vasodilator local yang sangat kuat. Timbulnya

hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal

vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas

vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau keduanya.

22

SIROSIS HATI

Vasodilatasi arteri splanknik

Arterial underfiling

Sintesa faktor vasodilator intrarenal

Baroreseptor aktifitas faktor vasokontiktor sistemik

Sintesa faktor vasokontriktor intrarenal

Page 23: referat sirosis hepatis

Gambaran Klinis

Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal,

gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif

dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema dan

dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan

kemampuan buang air (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai

dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan

pembuluh darah sistemik. Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan

analisa urin dalam keadaan normal.

Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:

1. Sindroma Hepatorenal tipe I

Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea

nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin

23

Vasokontriksi renal

Sindrom hepato renal

Page 24: referat sirosis hepatis

klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.

Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi

natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang

sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe

ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga

timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa

ada factor presipitasi yang diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi

hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti

inveksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis

(SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35%

penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR Tipe I adalah komplikasi dengan

prognostic yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-

rata wktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya

hidup disbanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.

2. Sindroma Hepatorenal Tipe II

Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi

glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I

SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya

terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretic. Diduga harapan hidup penderita

dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I.

Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang dianut sekarang

adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal

Syndrome:

24

Page 25: referat sirosis hepatis

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.

2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.

3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat

nefrotoksik.

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretic

(penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi >

40 ml/mnt)

5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit parenkim ginjal

secara ultrasonografi.

Kriteria tambahan :

1. Volume urin < 500 ml / hari

2. Natrium urin < 10 meg/liter

3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma

4. Eritrosit urin < 50 /lpb

5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR, sedangkan criteria

tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR. Beberapa faktor prediktor timbulnya

SHR pada sirosis dengan ascites 3:

- Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum

- Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan

- Ekskresi natrium urin yang rendah

- Hipotensi arterial

- Aktifitas plasma rennin meninggi

- Kadar norepinefrin plasma tinggi

- Refrakter ascites

25

Page 26: referat sirosis hepatis

- Tidak ada hepatomegali

- Peningkatan vascular resistive index ginjal

Terapi

Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis

dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini.

Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin,

mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotik untuk mencegah SBP pada

penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi

insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan

efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama sekali.

1) Vasodilator

Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada penderita

dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra

vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati

dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor

juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus

dopamine selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah

ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis

endhothelin spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan

SHR.

2) Vasokonstriktor

Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan

pengurangan pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dalam usaha

memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan

26

Page 27: referat sirosis hepatis

aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin,

angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan

vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik.

Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan

pemberian pada periode waktu yang singkat, hanya menyebabkan perubahan yang ringan

atau tidak ada dalam aliran darah ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam

pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat

pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian

vasokonstriktor (ornipressin, norepenephrine) dan vasodilator ginjal (dopamine,prostacyclin)

juga gagal memperbaiki fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa

pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan albumin

memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis

dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan

aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiot natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki

sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi

ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini

dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini tidak

dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide

pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas

plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1

penderita dilakukan transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal

hati 16.

3) Peritoneovenous shunt

Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lalu di dalam

pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan aliran yang

27

Page 28: referat sirosis hepatis

terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan

dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler.

Efek hemodinamik dari peritoneovenousshunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata

dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus

memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan

rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

4) Portosystemic shunt

Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi

standar dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung

memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati

dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas

menunjukkan bahwa TIPS. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan

menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin

angiotension dan system saraf simpatis.

5) Dialisa

Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan

penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi

ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari sialisa

pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang

buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden

efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap

digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

6) Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang

dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transpalntasi

28

Page 29: referat sirosis hepatis

ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang

lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati,

kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi

glomerulus mulai mengalami perbaikan.5

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pasien-pasien dengan sirosis pada umumnya tidak menunjukkan gejala penyakit

hati yang spesifik pada awal perjalanan penyakitnya. Gejala-gejala yang timbul

merupakan tanda perkembangan dari komplikasi-komplikasi sirosis. Komplikasi yang

paling sering ditemui adalah asites, peritonitis bakterial spontan, hematemesis melena

dan sindrom hepatorenal.

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa pada asites yang paling penting

diperhatikan adalah pencegahan timbulnya asites yang refrakter. Pada asites dengan

jumlah akumulasi cairan yang masih sedikit, asupan garam dan cairan sangat

berpengaruh dalam penangannya. Sedangkan pada asites dengan jumlah akumulasi

29

Page 30: referat sirosis hepatis

cairan yang banyak, penatalaksanaan yang dianjurkan adalah parasentesis jumlah besra

yang berulang dengan plasma expanders.

Peritonitis bakterial spontan merupakan kelanjutan dari komplikasi pasien sirosis

hepatis dengan asites. Oleh karena itu pada pasien SH dengan asites sangat penting untuk

dilakukan penatalaksanaan yang adekuat. Jika PBS terjadi, tatalaksana yang dianjurkan

adalah dengan pemberian antibiotik yang sensitif terhadap kuman penyebab.

Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian

atas, khususnya berupa hematemesis melena akibat pecahnya varises esofagus pada

pasien sirosis hepatis tergantung pada sifat dan lamanya perdarahan yang berlangsung,

oleh sebab itu diperlukan penanganan yang segera berdasarkan modalitas terapi yang

telah dianjurkan.

SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak hanya

gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodinamik dan aktifitas sistem vasoaktif

endogen. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian

sirkulasi arteriol sekunder terhadap sirkulasi vasodilasi arteriol di splanik, gangguan

keseimbangan antara factor vasokonstriktor dan vasodilator. Diagnosa SHR berdasarkan

International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. Pilihan

pengobatan yang baik adalah transplantasi hati. Pengobatan pendukung hanya diberikan

jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan

transplantasi hati.

30

Page 31: referat sirosis hepatis

DAFTAR PUSTAKA

1. Sutadi, Sri Mulyani, USU Digitalized library, Sirosis Hepatis dari Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara, 2003.

2. Gines, Pere, et al. Management of Cirrhosis and ascites. The New England Journal of

Medicine, 2004;1647-1652.

3. Gayatri, Anak Agung Ayu Yuli, et al. Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati

dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Resiko. Jurnal Penyakit Dalam no.2, 2006;

halaman 84-90.

4. Sien, Oey Tjeng. Hematemesis dan Melena, 2008.

5. Sutadi, Sri Mulyani, dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara

USU Digitalized library, Sindrom Hepatorenal, 2003.

31