LAPORAN KASUS
Transcript of LAPORAN KASUS
LAPORAN KASUS
VESIKOLITHIASIS DAN HIPERTROFI PROSTAT GRADE II
I. IDENTITAS
• Nama : Ny. R
• Umur : 40 thn
• JK : Perempuan
• Tgl MRS : 17/06/2013
• No. RM : 275075
• Alamat : Dusun 2 Lumpue Tellu
Kab. Bone
• Jaminan : JKM
II. ANAMNESIS
• KU : Nyeri pinggang kanan
• AT : dialami kira-kira sejak 8 bulan yang lalu, memberat dalam 1 bulan
terakhir. Nyeri hilang timbul. Nyeri menjalar hingga ke pusar serta perut
bagian bawah dan sisi dalam paha kanan. Riwayat kencing berwarna merah
(+), riwayat kencing bercampur pasir (+), riwayat kencing bernanah (-),
riwayat demam (-).
1
III. PEMERIKSAAN FISIS
• STATUS GENERALIS :
KU : sakit sedang / gizi cukup
GCS : E4M6V5 = 15
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
TD : 110/70mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : afebris
• STATUS UROLOGIS
Regio Costovertebra Dextra
• I : Tampak alignment tulang vertebra baik, gibbus tidak ada, warna kulit
sama dengan sekitar, massa tumor tidak tampak
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba.
• P : nyeri ketuk tidak ada.
Regio Costovertebra Sinistra
• I : Tampak alignment tulang vertebra baik, gibbus tidak ada, warna kulit
sama dengan sekitar, massa tumor tidak tampak
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba.
• P : nyeri ketuk tidak ada.
2
Regio Suprapubik
• I : Bulging tidak tampak,warna kulit sama dengan sekitar, massa tumor
tidak tampak.
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba.
Regio Genetalia Eksterna
Penis
• I : Tampak penis telah tersimkumsisi, OUE pada ujung gland penis, massa
tumor tidak tampak, tidak terpasang kateter.
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba
Scrotum
• I :Tampak warna lebih gelap dari sekitar, massa tumor tidak tampak, oedem
tidak tmpak, hematom tidak tampak
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba, teraba dua buah testis
dalam cavum scrotum kiri dan kanan sama besar.
Perineum
• I : Tampak warna lebih gelap dari sekitar, massa tumor tidak tampak.
• P : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak teraba.
Rectal Touche
• Sphincter ani mencekik.
• Mukosa ani licin.
• Ampula berisi feses.
• Teraba penonjolan prostat ke arah rektum 2 cm, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, pole atas dapat dicapai dengan palpasi bimanual, nyeri tidak
3
ada. Teraba juga massa padat keras, mobil pada buli-buli dengan palpasi
bimanual.
• Handscoon : lendir tidak ada, Feces ada, darah tidak ada.
IV. RESUME
Seorang laki-laki, 62 tahun, MRS RS wahidin rujukan dari RS Takalar dengan
keluhan sulit buang air kecil. dialami sejak kira-kira 2 tahun yang lalu SMRS. Awalnya
pasien mengeluhkan adanya hesitansi dan pasien juga mengeluh pancaran kencingnya
melemah bahkan pernah hanya menetes, pasien mengeluhkan tidak lampias setelah
kencing dan pasien juga ada riwayat nokturi dan frekuensinya 3-4 kali tiap malam.
Semakin lama keluhan ini dirasakan semakin memberat. Riwayat 1 tahun yang lalu
pasien mengeluh buang air kecil bercampur butiran seperti pasir beberapa kali, riwayat
hematuri tidak ada. Dua bulan yang lalu pasien juga kadang-kadang mengeluhkan retensi
urine dengan posisi berdiri tetapi dapat keluar jika posisi miring kiri atau miring kanan
dan terkadang adanya intermitensi. Satu bulan yang lalu pasien dibawa ke RS Takalar
karena mengeluh nyeri pada perut bawah dan sulit serta nyeri saat kencing dan dirujuk ke
RS Wahidin untuk pengobatan lebih lanjut. Skor IPSS yaitu 28. Pada pemriksaan fisis,
status generalis dan tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan rectal touche,
teraba penonjolan prostat ke arah rektum 2 cm, konsistensi padat kenyal, permukaan rata,
pole atas dapat dicapai dengan palpasi bimanual, nyeri tidak ada. Teraba juga massa
padat keras, mobil pada buli-buli dengan palpasi bimanual. Pada pemeriksaan radiologi,
pada foto thorax PA kesan KP dextra lama dan dilatio aortae. Pada foto polos abdomen
AP ditemukan tampak bayangan massa radioopak berbatas tegas tepi reguler berukuran
58x 38 mm pada rongga pelvis.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (23/5/2013)
Pemeriksaan Hasil
4
WBC 6,82 x 10^3/uL
RBC 4,7 x 10^6/uL
HB 13,3 g/dL
HCT 37,3%
PLT 209 x 10^3/uL
GDS 87
Na/K/Cl 141/3,7/107
Ur/Cr 43/1,7
Asam Urat 6,1
Albumin 4,8
CT/BT 7’00’/3’00’
PT/APTT 11,6/25,6
PSA 2,04
HBsAg Non Reactive
2. Radiologi
Foto Thorax PA 11/4/2013)
5
• Tampak bercak berawan pada lapangan atau paru kanan dan garis-garis fibrosis
yang meretraksi hilus kanan.
• Cor CTI dalam batas normal, aorta
dilatasi
• Kedua sinus dan diafragma baik.
• Tulang-tulang intak.
Kesan : - KP dextra lama aktif
- Dilatatio aortae
USG Abdomen (10/5/2013)
• VU : Dinding dan mukosa tampak
dalam batas normal. Tampak echo
batu dengan berbagai ukuran
dengan ukuran terbesar ± 8 mm.
Kesan : Vesikolithiasis.
TRUS dan TAUS (10/5/2013)
TRUS Volume : 25,6 cc
TAUS Volume : 24,1 cc
Foto Polos Abdomen AP (20/5/2013)
6
• Tampak foto sesuai dengan identitas
pasien, tampak simetris kiri dan kanan,
psoas line intak, preperitonial fat line
tampak.
• Alignment tulang tampak baik.
• Tampak bayangan radioopak berbentuk
bulat dengan ukuran 58 mm x 38 mm
dalam cavum pelvic.
Kesan : Vesikolithiasis
Foto IVP (20/5/2013)
• 5 menit pertama, tampak kontras pada
kedua PCS ginjal dan kedua ureter.
• 15 menit, tampak sebagian kontras
sudah memasuki ke buli-buli dan
masih terdapat disepanjang ureter.
• 30 menit, tampak kontras seluruhnya
masuk ke buli-buli dan tampak
bayangan filling defect pada buli-buli
sesuai dengan gambaran pada foto
BNO.
Kesan : - Vesikolithiasis.
- Delay function kedua ginjal.
VI. DIAGNOSIS
7
Hipertrofi Prostat Grade II + Vesikolithiasis
VII. TINDAKAN
1. Vesikolitothomi
Tanggal operasi 03/06/2013
2. TUR-P
Tanggal operasi 03/06/2013
VIII. DIAGNOSIS POST OPERASI
Hipertrofi Prostat Grade II +Vesikolithiasis
IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
X. DISKUSI
Anamnesis yang diperoleh dari pasien ini, keluhan utamanya susah buang air
kecil, pasien juga mengeluhkan adanya hesitansi, pancaran kencingnya melemah bahkan
pernah menetes (trminal dribbling) dan juga adanya keluhan tidak lampias setelah
kencing. Riwayat nokturi dialami juga oleh pasien. Dari anamnesis diatas, hal-hal
tersebut mengacu pada gejala LUTS ( lower urinary tract symptoms) sehingga
didiagnosis dengan suspek hipertrofi prostat. Hal ini diperkuat pada pemeriksaan fisik
yang didapatkan, pemeriksaan rectal touche, teraba penonjolan prostat ke arah rektum 2
cm, konsistensi padat kenyal, permukaan rata, pole atas dapat dicapai dengan palpasi
bimanual, nyeri tidak ada.
Dari anamnesis, didapatkan juga adanya riwayat buang air kecil bercampur
butiran seperti pasir beberapa kali. Pasien juga mengeluhkan adanya retensi urin dengan
posisi berdiri tetapi dapat keluar jika posisi miring kiri atau miring kanan dan terkadang
adanya intermitensi. Hal-hal diatas mendukung diagnosis suspek batu pada buli-buli. Hal
ini didukung pada pemeriksaan rectal touche yaitu teraba massa padat keras, mobil pada
buli-buli dengan palpasi bimanual.
8
Untuk memastikan diagnosis, dianjurkan pemeriksaan laboratorium termasuk
darah rutin yang mungkin didapatkan leukositosis jika ada infeksi dan anemia jika fungsi
ginjal terganggu. Kimia darah didapatkan peningkatan kadar ureum / kreatinin jika fungsi
dari ginjal terganggu. Pemeriksaan urinalisis dan kultur urin yang didapatkan banyak
leukosit dan mungkin menandakan adanya bakteri. Dilakukan pemeriksaan PSA pada
pasien ini untuk menyingkirkan adanya keganasan pada prostat.
Pemeriksaan radiologik yang dianjurkan termasuk USG abdomen dan foto BNO-IVP.
Pada pemeriksaan USG, kemungkinan didapatkan batu pada buli-buli dan hipertrofi
prostat. Dan pada pemeriksaan TRUS and TAUS didapatkan volume prostas sebesar 25,6
cc. Pada pemeriksaan BNO-IVP, didapatkan tampak bayangan radioopak berbentuk bulat
dengan ukuran 58 mm x 38 mm dalam cavum pelvic. Sehinggal dari pemeriksaan
radiologik mendukung diagnosis pasien ini dengan vesikolithiasis dan hipertrofi prostat.
Pada penalaksanaan pada pasien ini, dilakukan vesikolitothomi, yaitu suatu
tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari buli-buli dengan membuka buli-buli
dari arterior. Pada saat pengangkatan batu didapatkan batu berwarna kekuningan dengan
ukuran 70 mm x 40 mm.
Pada pasien ini, dilakukan juga TUR-P. Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian
adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop
dan elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi
BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan endoskopi.
Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan
retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi
retrograd (75%), inkontinensia (<1%),>3.
TINJAUAN PUSTAKA
BATU SALURAN KEMIH
A. Definisi
9
Batu di dalam saluran kemih (calculus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang berada di ginjal dan salurannya dan dapat menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih, atau infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (nephrolith) maupun di dalam
kandung kemih (vesicolith). Proses pembentukan batu ini disebut urolithiasis
Vesikolithiasis adalah batu dalam kandung kemih dapat terbentuk ditempat
atau berasal dari ginjal masuk ke dalam kandung kemih. Karena kandung kemih
berkontraksi untuk mengeluarkan air kencing maka batu tertekan pada trigonum
yang peka itu, maka menyebabkan sangat sakit. Bisanya terdapat sedikit hematuri
dan infeksi sering menyertai keadaan ini
B. Anatomi dan Fisiologi
Vesika urinaria merupakan kantong muscular yang berfungsi untuk
menampung sementara urine, terletak didalam cavum pelvis, tepat dorsal os
pubis. Vesika urinaria dengan os pubis dipisahkan adanya spatium rotropubic
cavum retzii. Di dorsal vesika urinaria, pada laki-laki terdapat rectum dan pada
wanita ada uterus, portio supravaginalis dan vagina. Bentuk dan ukuran
vesika urinaria dipengaruhi oleh derajat pengisian dan organ di sekitarnya.
10
Vesika urianaria inferior pad wanita berhadapan dengan diafragma pelvis dan
pada laki-laki berhadapan dengan prostate.
Pada permukaan dalam vesika urinaria terdapat dua osteum uorteris dan
satu ostium urethrae. Di antara ke tiga trigonum visicae licin, rata dan melekat
erat dengan banguan yang ada di superficialnya. Di lantai trigonum visicae
terdapat musculus trigonalis, muculus ini merupakan lanjutan tunika
muscularis ureter. Musculus trigonalis ke anterior, mengadakan kondensasi
membentuk uvula visicae pada tepi otium medius prostate, atau oleh kedua
bangunan tersebut secara bersamaan. Di antara kedua ostium ureteris terdapat
plica interuretica yang ditimbulkan oleh lanjutan stratum longitudinale tunika
muscularis ureter.
Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot
yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis medius :
Bagian vesika urinaria terdiri dari :a. Fundus yaitu bagian yang menghadap ke belakang dan bawah. Bagian ini
terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh
jaringan ikat duktus deferent, vesika seminalis dan prostate.
b. Korpus yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, bagian yang ke arah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.
Mukosa kandung kemih terdiri atas lapisan epitel transitional yang tebal
(5-8 lapis sel) dengan sel-sel basal yang berbentuk torak. Permukaan mukosa
lumen kandung kemih ini mensekresi suatu lapisan clicosaminoglycans,
yang merupakan suatu protein yang melindungi kandung kemih dari infiltrasi
bakteri atau zat-zat yang bersifat karsinogenik.
11
Di bawah lapisan mukosa terdapat lapisan tunika propia yang longgar, di
sini sering dijumpai serbukan tunika muskularis yang terdiri atas otot-otot polos
yang tersebar merata dimana pada muara ureter dan uretra otot ini lebih padat
dan membentuk spingter. Lapisan paling luar adalah lapisan sorosa, yang berupa
selaput tipis dan hanya terdapat pada bagian kandung kemih yang berhubungan
dengan peritoneum. Peritoneum dapat digerakan membentuk lapisan dan
menjadi lurus apabila kandung kemih berisi penuh.
Kandung
kemih dapat
mengembang dan mengempis sepertti balon karet, terletak di belakang simpisis
pubis di dalam rongga pangul. Memiliki 2 fungsi yaitu sebagai tempat
penyimpanan kemih sebelum meninggalkan tubuh dan dibantu oleh urethra
kandung kemih berfungsi mendorong kemih keluar tubuh.
Proses miksi (rangsangan berkemih) yaitu distensi kandung kemih, oleh
air kemih akan merangsang stress dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk
merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi refleks kontraksi
dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinter
internus, segera diikuti oleh relaksasi spinter eksterus, akhirnya terjadi
pengosongan kandung kemih.
12
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi
spinter internus. Dihantarkan melalui serabut-serabut saraf para simpatis.
Kontraksi spinter eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau
menghentikan miksi, control volunter ini hanya mungkin bila saraf-sarat yang
menangani kandung kemih urethra, medulla spinalis dan otak masih utuh. Bila ada
kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka akan terjadi inkontensia urine (urine
keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi urine (kencing tertahan).
C. Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran
kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang
berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan sekitarnya
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1. Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:
1. Geografi
13
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang
lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah stone belt
(sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai
penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih.
5. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk
atau kurang aktivitas atau sedentary life.
Faktor- faktor yang mempengaruhi batu kandung kemih (Vesikolitiasis)
adalah
1. Hiperkalsiuria
Suatu keadaan dimana kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-
300 mg/24 jam, disebabkan karena, hiperkalsiuria idiopatik (meliputi
hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan protein),
hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau kelebihan
kalsium.
2. Hipositraturia
14
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih,
khususnya sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I (lengkap atau
tidak lengkap), minum Asetazolamid, dan diare dan masukan protein tinggi.
3. Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu
pembentukan batu kalsium karena masukan diet purin yang berlebih.
4. Penurunan jumlah air kemih
Dikarenakan masukan cairan yang sedikit.
5. Jenis cairan yang diminum
Minuman yang banyak mengandung soda seperti soft drink, jus apel dan
jus anggur.
6. Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini
disebabkan oleh diet rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium intestinal, dan
penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi
garam empedu.
7. Ginjal Spongiosa Medula
Disebabkan karena volume air kemih sedikit, batu kalsium idiopatik (tidak
dijumpai predisposisi metabolik).
8. Batu Asam Urat
Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan
hiperurikosuria (primer dan sekunder).
9. Batu Struvit
15
Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan
organisme yang memproduksi urease. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar
membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal. Kuman
penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang
dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa
melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi:
CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya adalah
matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple
phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula
terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat
(MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri
atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama batu triple-
16
phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus
spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun
E.coli banyak menyebabkan infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan
termasuk bakteri pemecah urea.
D. Epidemiologi
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit batu
mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan berubah sesuai
dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan pembandingan data
penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa di negara
yang mulai berkembang terdapat banyak batu saluran kemih bagian bawah,
terutama terdapat di kalangan anak.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih relatif
rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran kemih
bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu saluran kemih
bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku bangsa tertentu,
penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika
Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada wanita
daripada pria.
E. Patogenesis
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti
pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik merupakan
keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
17
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada
dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-
keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal
yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian
akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal
yang lebih besar.
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum
cukup mampu menyumbat saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada
epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain
diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk
menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan,
adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya
korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.
Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari :
1. 75 % kalsium.
2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
3. 6 % batu asam urat.
4. 1-2 % sistin (cystine).
F. Manifestasi Klinis
18
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat karena
distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan yang
disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan
penyulit yang telah terjadi.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter
meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan
peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat saluran
kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic junction),
dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang (flank) yang sering
menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter distal sering ke
kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini.
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan
nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat
hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai
infeksi didapatkan demam-menggigil.
Tanda dan gejala vesikolithiasis adalah
1. Kencing kurang lancar tiba-tiba terhenti sakit yang menjalar ke penis bila
pasien merubah posisi kencing lama, pada anak-anak mereka akan
berguling-guling dan menarik penis.
2. Kalau terjadi infeksi ditemukan tanda : sistitis, kadang-kadang terjadi
hematuria.
19
3. Adanya nyeri tekan suprasimpisis karena infeksi/ teraba adanya urine yang
banyak (retensi).
4. Hanya pada batu besar yang dapat dirasa secara bimanual.
5. Pada pria diatas 50 tahun biasanya ditemukan pembesaran prostat.
6. Demam akibat obstruksi saluran kemih memerlukan dekompensasi segera.
7. Kolik.
8. Rasa terbakar pada saat ingin kencing dan setelah kencing.
G. Diagnosis
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan
diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi
saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat
radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu
sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang
dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan
menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara
terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini
dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup
sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen
saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama
tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.
20
H. Diagnosis Banding
Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut,
misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika
dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu
dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau
apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan adneksitis.
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan keganasan
apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga diingat bahwa batu
saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan terjadinya tumor yang
umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan inflamasi. Pada batu ginjal
dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor ginjal mulai dari
jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis
dan rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio lusen). Urutan
radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1.
Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/Sistin Non opak
Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih
21
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain
itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang
tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belum dapat
menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu
pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat
menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai
echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi
ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase alkali
serum.
J. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus
segera dikeluarkan.
22
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu yang
diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti disebutkan
sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum,
berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat
lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya
infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan
observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi,
apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan
dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien
seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
23
24
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi
obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan
gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada ESWL generasi
terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal
sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi
akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai
posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni.
Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis
yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing
generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan
air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan
gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga
tidak akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan
gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. ESWL hanya sesuai untuk
menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di
ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang
terhalang oleh tulang panggul). Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat
monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh
digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan
25
darah dan fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan
berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan
anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang
valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-
jelasnya
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan
langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau
melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat
dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi
gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil.
26
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat
diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter
bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan
segera dapat diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL
perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi.
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
c. ureteroskopi atau uretero-renoskopi.
Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu
ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang
disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu
tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan
ketersediaan alat tersebut.
d. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia).
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL,
pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka itu antara lain adalah: vesikolitotomi untuk mengambil pada pada
27
vesika urinaria, pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada
saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien
harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya
sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat
tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang
menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
Vesikolitotomi perkutan :
Merupakan alternatif terapi pada kasus batu pada anak-anak atau
pada penderita dengan kesulitan akses melalui uretra, batu besar atau batu
múltipel. Tindakan ini indikasi kontra pada adanya riwayat keganasan kandung
kemih, riwayat operasi daerah pelvis, radioterapi, infeksi aktif pada saluran
kemih atau dinding abdomen.
Angka bebas batu : 85-100%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : 40-100 menit.
Vesikolitotomi terbuka :
Diindikasikan pada batu dengan stone burden besar, batu keras,
kesulitan akses melalui uretra, tindakan bersamaan dengan prostatektomi atau
divertikelektomi.
Angka bebas batu : 100%.
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-
tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang
melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka
28
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50%
dalam 10 tahun.
K. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur
yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada
umumnya pencegahan itu berupa :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin 2-
3 liter per hari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup.
4. Pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat.
3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
4. Rendah purin.
Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita
hiperkalsiuri tipe II.
L. Komplikasi
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi
akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan ginjal,
kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang tidak direncanakan.
Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter
memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang
signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah
avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau
pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan
29
perforasi ureter, hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK
dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu,
terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari yang
ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita tidak
dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan
terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang
berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya dapat
terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya adalah
pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka maupun
noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah dilakukannya PNL,
atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat pecahan batu lewat dan
obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat seperti lien, hepar, kolon dan
paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi
yang adekuat, penanganan yang hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat
menurunkan resiko terjadinya komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah,
demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih sedikit
dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL. Demikian
pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat
dibandingkan PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi
terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada
hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka mencapai
25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada
pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan komplikasi akut lainnya.
30
Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko kematian pada operasi
terbuka kurang dari 1%.
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%),
urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL,
dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang kembali
normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang pasca ESWL
pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat
perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus
dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi terbuka meliputi
leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan
pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada anak adalah
dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka.
M. Prognosis
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu,
dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin buruk
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah
terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor
obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan
bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada sisa
fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan PNL,
80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula oleh
pengalaman operator.
31
HIPERTROFI PROSTAT
A. Definisi
Hipertrofi prostat adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel (hiperplasia)
kelanjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat.
B. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat.
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus (kerucut) terbalik yang dilapisi
oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah
anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar
yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.
Pada bagian anterior digantung oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers
berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan
biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium
lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang
berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika
persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat
melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian inferiornya
terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan
perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada
wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih tipis.
32
Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra
Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas 4 bagian utama:
1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini
merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang
glandular dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular,
membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara
skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian
distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk
menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-
saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian
distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular,
dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus
ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada
33
leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika
bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong
yang berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak
lengkap tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang
terkecil (5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang
berbentuk silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona
transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadang-kadang
disebut sebagai kelenjar preprostatik.
Prostat diperdarahi oleh arteri vesika inferior, arteri pudendalis interna arteri
hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral
persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu operasi
prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika
yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka
interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur
inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang
pelvis dan vertebra lumbalis.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian
inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat
dialirkan kedalam lymph node iliaka interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan
iliaka aksterna
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama
ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan
ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat
dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Pengetahuan
mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar
prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen,
ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan
yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua
34
bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang
berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut.
C. Etiologi
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hipertrofi prostat antara lain :
1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a
reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar
prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk
merangsang pertumbuhan epitel.
3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying.
Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di
bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth
factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya
penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan
menghasilkan pembesaran prostat.
5. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan
kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan
kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk
terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon
estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan
pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
35
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain
ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan
menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan
penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal
hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen
testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari
sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat
merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional
histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang
bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap
estrogen.
D. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan
ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat
dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5,
prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia. Keadaan ini dialami oleh 50% pria
yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
E. Patogenesis
Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler,
nodul asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi
berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar
biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin
36
di antara otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan
neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil.
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor
ini disebut fase kompensasi
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1. Dengan semakin meningkatnya
resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan
intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
37
F. Manifestasi klinis
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan
kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain;
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
38
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara
klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing tidak ada
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih
bagian atas + sisa urin > 150 ml.8
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi
yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic
Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan
dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas
hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat,
yaitu: - Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica
urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan
mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
International Prostatic Symptom Score
Pertanyaan Jawaban dan skor
39
Keluhan pada bulan terakhirTidak
sekali<20% <50%
50
%>50%
Hampir
selalu
a. Adakah anda merasa buli-
buli tidak kosong setelah
berkemih
0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda berkemih
lagi dalam waktu 2 menit0 1 2 3 4 5
c. Berapa kali terjadi arus urin
berhenti sewaktu berkemih0 1 2 3 4 5
d. Berapa kali anda tidak dapat
menahan untuk berkemih0 1 2 3 4 5
e. Beraapa kali terjadi arus
lemah sewaktu memulai
kencing
0 1 2 3 4 5
f. Berapa keli terjadi bangun
tidur anda kesulitan memulai
untuk berkemih
0 1 2 3 4 5
g. Berapa kali anda bangun
untuk berkemih di malam hari0 1 2 3 4 5
40
Jumlah nilai : 0 = baik sekali 1 = baik 2 = kurang baik 3 = kurang
4 = buruk 5 = buruk sekali
G. Diagnosis
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menegakkan diagnosis, penyakit ini perlu ditunjang dengan pemeriksaan
radiologik, laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan
adanya penyakit ini.
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat
penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan
tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan1:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan
atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
41
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica
urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai
diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus
H. Diagnosis Banding
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang
menggunakan obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
I. Pemeriksaan Penunjang
42
Pemeriksaan Laboratorium
· Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific
Antigen (PSA), Gula darah
· Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis,
sedimen
Laboratory FindingsUrinalisa dapat memberikan bukti adanya infeksi.
Residual urin biasanya meningkat (> 50 cc), dan waktu laju aliran urin akan
menurun ( 10 ng/mL, kanker harus dicurigai (normal < 4 ng/mL). Serum alkaline
phosphatase biasanya meningkat jika tumor telah menyebar ke tulang.Prostatitis
akut dapat menyebabkan gejal-gejala obstruksi, tetapi pasien biasanya mengalami
infeksi saluran kemih (ISK) atau bisa dalam sepsis. Prostat terasa nyeri terutama
dengan penekanan meskipun secara halus.Striktur uretra mengurangi kaliber
pancaran urin. Biasanya terdapat riwayat gonorrhea atau trauma lokal. Retrograde
urethrogram akan menunjukkan area stenosis. Striktur juga dapat menghambat
pasase kateter.
Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya
batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat
untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat
pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk
43
seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
(trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi dapat
dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter
karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam – macam potongan
Pemeriksaan lain
Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal
laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya
kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut
dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan
laju pancaran urin dapat diukur.
44
Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun
kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
J. Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi
bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat
keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa
watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal
invasif.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor
IPSS 3):
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa:
skoring, uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
45
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat
(medikamentosa). Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini
dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a
reduktase, dan fitoterapi.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan
pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan
demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars
prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan
perbaikan gejala obstruksi relatif cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat
menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah
(fatique). Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan
beberapa pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya
akan tetap baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat
dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1
mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4
mg/hari2.
Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga
testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi
DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein.
Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah
satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2.
Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a
46
reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a
reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996.
Terdapat penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang
menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan
mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain.
Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa
dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari
tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla,
Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih
diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.
Terapi Bedah Konvensional
PenatalaksanaanIndikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi
ginjal dan gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena
derajat obstruksi berjalan dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi
konservatif dapat juga adekuat. Obat-obatan yang merelaksasi kapsul prostat dan
spinter internal (α-adrenergic blocking agent) atau yang menurunkan volume
prostat (5 α-reductase inhibitor atau antiadrogen) telah dicoba dengan tingkat
keberhasilan yang cukup tinggi.
Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala.
Resolusi dari komplikasi sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka
melindungi tonus vesikal, pasien sebaiknya diperingatkan agar segera BAK ketika
terjadi urgensi. Memaksa cairan urin keluar dalam waktu yang pendek
menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan menurunkan tonus vesikal; ini adalah
penyebab umum dari retensi urin akut dan oleh sebab itu harus dihindari. Pasien-
47
pasien dengan gejala obstruksi urin sebaiknya menghindari pemakaian obat flu
termasuk antihistamin, karena juga dapat menyebabkan retensi urin. Terapi
konservatif ini hanya sementara menolong.Kateterisasi diharuskan untuk retensi
urin akut. BAK spontan dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya dibiarkan
terpasang selam 3 hari sementara tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal,
terapi konservatif atau operatif diindikasikan.
Terdapat empat pendekatan klasik yang digunakan dalam prostatectomy:
transurethral, retropubic, suprapubic, dan perineal. Transurethral dipilih pada
pasien dengan berat prostat di bawah 50 g karena morbiditas lebih rendah dan
perawatan di RS lebih singkat. Prostat yang lebih besar memerlukan tindakan
bedah terbuka, tergantung dengan pilihan dan pengalaman dari urologist. Angka
kematian rendah dalam masing-masing prosedur (1–2%). Potensi risiko tertinggi
jika pendekatan transperineal digunakan, tetapi impotensi kadang-kadang terjadi
setelah reseksi prostat transuretra.Pendekatan alternative dalam penatalaksanaan
BPH adalah transurethral incision of the prostate (TUIP). Prosedur ini terdiri dari
insisi prostat pada leher VU ke atas verumontanum, sehingga memungkinkan
ekspansi seluruh uretra prostat. Terutama efektif ketika titik primer obstruksi
disebabkan di "median bar" atau bibir leher VU letak tinggi posterior.Terapi
alternatif lainnya yang kini sedang berkembang adalah teknik minimally invasive
seperti transurethral vaporization, laser prostatectomy, transurethral microwave
thermotherapy, transurethral needle ablation, dan high intensity focused
ultrasound ablation of the prostate.Prognosiskebanyakan pasien dengan gejala
yang khas BPH dapat mengalami perbaikan dan peningkatan fungsi kemih.
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan:
1. Prostatektomi terbuka :
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
48
c. Prostatektomi perinealis (Young)
2. Prostatektomi tertutup :
a. Reseksi transuretral.
b. Bedah beku
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu
besar, di atas 100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat
dilakukan dengan teknik transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka
memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada TUR-P1-2.
Terapi Invasif Minimal
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat
yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan
elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi
BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat dilakukan dengan
endoskopi3. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia
(sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia (<1%),>3.
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan
dengan ukuran prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior
(leher kandung kemih yang tinggi)3. Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5
dan 7. Penyulit yang bisa terjadi adalah ejakulasi retrograd.
Terapi laser
49
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium
YAG. Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP)
yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser
ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy3. Keuntungan
terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom TUR, mungkin
dilakukan pada pasien yang menjalani terapi antikoagulan, dan dapat dilakukan
tanpa perlu dirawat di rumah sakit3. Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan
jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, diperlukan waktu pemasangan kateter
yang lebih lama, keluhan iritatif yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2.
Efek samping yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri
pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd (3%), dan disfungsi ereksi
(1%).
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui
uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur,
dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan
panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan
prostat.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi
ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus.
Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk
mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan
harapan hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan
50
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa
prostatika dan leher kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat
kurang dari 40 g, sifatnya sementara, dan jarang dilakukan lagi.
K. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut.
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan
prostat dan kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk
dihilangkan.Obstruksi juga dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi
residual urin berperan terhadap pembentukan batu (calculi).Obstruksi fungsional
pada intravesical ureter, disebabkan oleh hipertropi trigonum, dapat menyebabkan
hydroureteronephrosis.
L. Pencegahan
51
Sekarang sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya
saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak,
yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha
reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi
dehidrotestosteron (penyebab BPH)5. Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di
antaranya adalah :
Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan
sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi
kanker prostat.
1. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
2. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan
pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.
3. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan
ke susunan syaraf pusat.
4. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan
laut), vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal
M. Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
52
segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi
kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh
nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
2. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA
Davis Company; 2007.
3. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill Companies;
2001.
4. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. EGC:
Jakarta
5. Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku ajar ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034. EGC :
Jakarta.
6. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC : Jakarta. 588-
589
7. Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto: Jakarta
8. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia.,
http://ababar.blogspot .com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret
2009
9. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke –
2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
10. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
11. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9.
Jakarta : EGC
12. Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit”. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC
53
54