laporan kasus

27
Laporan Kasus STRUMA COLLOIDES UNINODUSA NON TOKSIK DEKSTRA Oleh : Romario Politon Natasha Trivena Gabriella Lintin Jaqueline Kairupan Irfadah Dinar Chrisillia Longdong PEMBIMBING : Dr. Marselus Merung, SpB(K)Onk BAGIAN ILMU BEDAH

description

STRUMA COLLOIDES UNINODUSA NON TOKSIK DEKSTRA

Transcript of laporan kasus

Page 1: laporan kasus

Laporan Kasus

STRUMA COLLOIDES UNINODUSA NON TOKSIK DEKSTRA

Oleh :Romario PolitonNatasha TrivenaGabriella LintinJaqueline KairupanIrfadah DinarChrisillia Longdong

PEMBIMBING :

Dr. Marselus Merung, SpB(K)Onk

BAGIAN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGIMANADO 2012

Page 2: laporan kasus

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelenjar tiroid berfungsi mengatur proses oksidasi, pengeluaran karbondioksida, pada

anak mempengaruhi perkembangan fisik dan mental, kelenjar ini juga mensekresi hormon

tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang berasal dari yodium yang masuk ke dalam tubuh dari

makanan dan air minum.

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena

pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau

perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma merupakan penyakit yang diakibatkan

oleh kekurangan yodium sebagai unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga

untuk mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan menimbulkan

pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid dan struma nodular serta berdasarkan klinis

dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik.

Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk di dalamnya

eutirodisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Berdasarkan morfologi dibedakan atas struma

hyperplastica diffusa, struma colloides diffusa.

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat

mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid

terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,

esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan

berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila

pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak,

jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

Berdasarkan hasil Depkes RI tahun 2003 program pencegahan dan penanggulangan

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia PR struma difusa non toksik

(gondok) pada anak sekolah dasar di Indonesia sebesar 11,1%. Berdasarkan data Depkes tahun

2005, dari 56.890 kasus penyakit metabolik dan lainnya yang dirawat inap di rumah sakit seluruh

Page 3: laporan kasus

Indonesia sebanyak 913 kasus (1,6%) tirotoksikosis dengan CFR (case fatality rate) 7,3% dan

4.065 kasus (7,14%) struma lainnya dengan CFR 3,6%.

Penelitian Azamris di Rumah Sakit Perjan Dr. M Jamil Padang pada Mei- November

2004 pada 30 orang penderita struma (25 wanita dan 5 pria) dilakukan pemeriksaan histopatologi

ditemukan keganasan struma pada 4 orang (0,13%). 16 Penelitian Retno Adriyanto di Kecamatan

Bulak Surabaya tahun 2008, pada 23 siswa kelas IV yang dipilh secara acak kemudian diperiksa

pembesaran kelenjar gondok secara palpasi diketahui PR struma 24,3%.

Penelitian Gunanti dan Inang Retno di Desa Randegesari Jawa Timur selama Maret

2004-Agustus 2004, PR GAKY pada anak usia sekolah 26,8% dengan mengambil sampel

sejumlah 50 orang anak usia sekolah dasar dan dilakukan pemeriksaan dengan metode palpasi

kelenjar gondok.

Berdasarkan hasil survey nasional tahun 2003 PR GAKY pada anak sekolah dasar di

Indonesia sebesar 11,1 % dan PR GAKY di Provinsi Sumatera adalah sebagai berikut Sumatera

Utara 5,3 %, Sumatera Barat 5,8 %, Riau 1,7 %, Jambi 5,5 %, Sumatera Selatan 9,9 %, Bengkulu

2,5 %, dan Lampung 13,2 %.

Hasil survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Santa Elisabeth Medan terdapat

135 orang penderita struma pada tahun 2005-2009. Pada tahun 2005 ada 17 kasus, 2006 ada 25

kasus, 2007 ada 34 kasus, 2008 ada 36 kasus, 2009 ada 40 kasus. Berdasarkan latar belakang

tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita struma rawat inap di

Rumah Sakit Umum Santa Elisabeth Medan tahun 2005-2009

Anatomi

Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua bagian

lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong berukuran panjang

2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting

untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh.

Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan

hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom

yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang

tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.

Page 4: laporan kasus

Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan

minuman yang mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 1. Gambar Anatomi Kelenjar Tiroid

Fisiologi Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme

energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan

energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam

ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang

pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak

adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada

saat lahir dan bayi.

Patogenesis Struma

Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon

tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh

hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang

berlebihan. TSH. kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah

yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.

Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran

folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.

Page 5: laporan kasus

Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa

hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses

peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh

suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya

thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma

non toksik (struma endemik).

Klasifikasi Struma

Berdasarkan Fisiologisnya

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan

stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis

menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak

menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat

mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis

dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar

plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang

mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop

atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.25,26 Gejala

hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit

berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan,

pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara. 27,28 Gambar penderita

hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Page 6: laporan kasus

Gambar Hipotiroidisme

c. Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai respon

jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.29 Keadaan

ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar

tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid

menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,

keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat

gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus),

diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.27,28 Gambar penderita hipertiroidisme

dapat terlihat di bawah ini.

Gambar Hipertiroidisme

Page 7: laporan kasus

Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

a. Struma Toksik

Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa

toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana

struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan

medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau

lebih benjolan (struma multinoduler toksik).

Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan

tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering

adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang

paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.

Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama

berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,

mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.

Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan

pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai

hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah

pembentuknya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa

penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat,

mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.

b. Struma Non Toksik

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma

diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh

kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik,

atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali

mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini

disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan

hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada

usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita

Page 8: laporan kasus

tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita

datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian

pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea

(sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam

nodul.

Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas

dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang

masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah

endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10

%-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.

Determinan Struma

a. Host

Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun dengan

bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada. Struma dapat menyerang

penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit

lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang semakin

menurun seiring dengan bertambahnya usia.

b. Agent

Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat

dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab struma adalah goitrogen

yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan

membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-padian,

singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti

propylthiouraci, lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung

yodium secara berlebih.

Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan salah

satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang sebelumnya

mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis berat serta

operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme

mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.

Page 9: laporan kasus

c. Environment

Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali

mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di Eropa,

pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau

masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan

Sulawesi.

Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun 1993

dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam serta

diantara pantai dan pedalaman sebanyak 2.450 orang.

Diagnosis

a. Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi

duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau

nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus

atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada

permukaan pembengkakan.

b. Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi

fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari

kedua tangan pada tengkuk penderita.

c. Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid

untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum

diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi

yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.

Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi

pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien

peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien

yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk

mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

Page 10: laporan kasus

d. Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea

(jalan nafas).

e. Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV.

USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin

tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan

USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

f. Sidikan (Scan) Tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m dan

yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah

suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop

adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.

g. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum

tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan

ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik

biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah

intrepertasi oleh ahli sitologi.

Penatalaksanaan Medis

Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai berikut :

a. Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan

dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau

mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid.

Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis

parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini

disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan

pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.

Page 11: laporan kasus

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan

tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian

diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup

memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk

menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.

b. Yodium Radioaktif

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid

sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian

yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut

berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh

lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik .

Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah

sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat

tiroksin.

c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa

pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan

TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi

hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid

(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

Page 12: laporan kasus

LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan umur 51 tahun, agama islam, pekerjaan iburumah tangga,

alamat singkil II masuk rumah sakit dengan keluhan utama benjolan dan luka di payudara kanan.

luka di payudara kanan dialami pasien ± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Awalnya

timbul benjolan sebesar kelereng dibawah puting susu. Pasien lalu memeriksakan diri ke dokter

praktek tetapi oleh dokter praktek dikatakan bahwa tidak apa-apa selama tidak sakit. Lama

kelamaan benjolan pecah dan mengembang seperti bunga kol. Tidak berdarah dan tidak

bernanah. Tiga bulan terakhir semakin meluas dengan cepat. Pasien lalu berobat ke dokter

spesialis dan oleh dokter spesialis disarankan untuk ke RS Prof dr R.D Kandou. Demam (-),

pusing (+), mual (+), muntah (+) dua kali volume satu gelas aqua, isi cairan dan makanan. Pasien

sudah menopause sejak usia 48 tahun, siklus haid normal tiap bulan selama empat sampai enam

hari. Pasien menggunakan KB suntik sebelum menopause. Buang air besar dan buang air kecil

biasa.

Riwayat Penyakit ginjal,jantung, hipertensi, DM, paru, disangkal penderita. Riwayat

penyakit dalam keluarga, hanya pasien yang mengalami penyakit seperti ini. Riwayat sosial,

riwayat merokok dan alkohol disangkal penderita.

Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,

kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, denyut nadi 64 x/m, pernapasan 20 x/m,

suhu badan 36,7 0 C. berat badan 45 kg, tinggi badan 160 cm, IMT 17,57 %. Pemeriksaan kepala:

konjugtiva anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan leher: tidak ada pembesaran kelenjar gatah

bening. Pemeriksaan dada: a) paru: pada inspeksi paru asimetris, benjolan dan luka pada

payudara kanan; pada palpasi, stem fremitus kiri sama dengan kanan; pada perkusi, hipersonor

kiri dan kanan; dan pada auskultasi, suara pernapasan vesikuler normal, ronki/whezing tidak ada.

b) jantung: pada inspeksi, iktus kordis tidak tampak; pada palpasi, iktus kordis teraba di

interkostal 5, 1 cm medial garis midklavikila kiri; pada perkusi batas jantung kanan pada

interkostal 4 garis parasternal kanan dan batas jantung kiri pada interkostal 5 garis midklavikula

kiri; dan pada auskultasi S1S2 normal, bising tidak ada. Pemeriksaan perut: pada inspeksi,

tampak datar; pada palpasi, lemas, nyeri tekan epigastrium tidak ada, nyeri tekan suprapubik

Page 13: laporan kasus

tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada massa, nyeri ketok pinggang tidak ada, dan tidak

ada pekak berpindah; pada perkusi, bunyi tympani; pada auskultasi, bising usus positif normal.

Pemeriksaan ekstremitas: akral hangat dan tidak ada ditemukan edema.

Status lokalis: regio mammae dextra tampak benjolan dan luka ukuran 30x25 cm,

permukaan berbenjol-benjol, konsistensi keras, terfiksasi, juga ditemukan pembesaran kelenjar

getah bening aksila dextra.

Hasil pemeriksaan laboratorium: leukosit 22.000/mm3, eritrosit 1,50 /mm3, Hb 4 g/dL,

hematokrit 12,3/mm3, trombosit 66/mm3, gula darah sewaktu (GDS) 97 mg/dL, cratinin darah

0,9 mg/dL, ureum darah 34 mg/dL, natrium 148 mEq/L, kalium 5,6 mEq/L, klorida 102 mEq/L.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien di diagnosis dengan

karsinoma mammae dextra.

Pasien direncanakan untuk dikemoterapi, sambil dilakukan perbaikan keadaan umum,

melalui pemasangan infus cairan, pemberian ceftriaxone 2x1 gr, ranitidin inj 2x1 amp, transfusi

darah, rawat luka serta rencana pemeriksaan lanjutan (FNAB).

Prognosis pada kasus ini buruk

Page 14: laporan kasus

Follow up

16-10-2012

S : Benjolan dan luka di payudara kanan

O : T 100/70 mmHg, N 60x/m, R 22x/m, S 36,50 C

FNAB, kesan: - Carsinoma Mammae.

- Cenderung jenis infasif ductal Carsinoma Mammae.

A : ca mammae dextra

P :

13/11/2012

S : Benjolan dan luka di payudara kanan

O : VS dalam batas normal

region mamae dextra : benjolan u,kuran 30x25cm, berbenjol-benjol, konsistensi keras,

fixed, pembesaran KGB axial dextra.

A : Ca mammae dextra T4N1Mx

P : Tranfusi PRC 2 bag/hari target Hb ≥10gr%

Rawat luka

Rencana kemoterapi bila KU membaik

14/11/2012

S : Batuk kering

O : VS dbn. mata conjungtiva anemis +/+

Region mamae dextra : luka terawatt, perdarahan aktif (+)

A : Ca mammae dextra T4N1Mx

P : Tranfusi PRC 1 bag hari ini

Rawat luka

DMP syr 3x CI

Cefixime 2x1 tab

Page 15: laporan kasus

Vitamin B complex 1x1

15/11/2012

S : Batuk kering

O : VS dbn. mata conjungtiva anemis +/+

Region mamae dextra : luka terawat, perdarahan aktif (-)

A : Ca mammae dextra T4N1Mx

P : Rawat luka

DMP syr 3x CI

Cefixime 2x1 tab

Vitamin B complex 1x1

Diet bebas

Lab: Leu :18.100 Eri : 282 Hb: 7.8 Hct : 239 Trombo : 714

GDS : 110 Cr : 0.9 Ur : 37 Na : 128 K : 3.7 Cl : 107

Page 16: laporan kasus

PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan benjolan dan luka di payudara

kanan yang dirasakan oleh pasien sejak ± 1 tahun yang lalu yang diawali oleh benjolan sebesar

kelereng dibawa putting susu payudara kanan dan dalam 3 bulan terakhir benjolan dirasakan

semakin membesar dengan cepat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan pasien

karsinoma mammae sering datang dengan keluhan adanya benjolan padat di daerah mamme

yang pada stadium awal tidak nyeri, dan cenderung pertumbuhan bersifat agresif.6,12

Sedangkan pada pemeriksaan fisik status lokaslis ditemukan pada regio mammae dextra

tampak benjolan dan luka ukuran 30x25 cm, permukaan berbenjol-benjol, konsistensi keras,

terfiksasi, juga ditemukan pembesaran kelenjar getah bening aksila dextra. Hal ini sesuai dengan

kepustakaan dimana pada pemeriksaan fisik kanker payudara ditemukan ada massa yang padat,

perubahan warna kulit sekitar massa serta bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di

daerah sekitar benjolan, sering kelenjar getah bening aksila. 6,12

Pada pemeriksaan penunjang patologi anatomi pada penilaian fisik / Aspirat FNAB tumor

(R) mammae (D), padat, berulkus, berbenjol-benjol. Ditemukan Aspirat : Darah

Mikroskopik : Sediaan hapus terdiri dari kelompokkan dan sebaran sel-sel epitel yang

tampak anaplastik dengan kohesi yang berukuran latar belakang yang terdiri dari eritrosit.

Kesimpulan dari pemeriksaan ini ialah massa merupakan suatu karsinoma mammae yang

cenderung jenis infasive ductal carscinoma mammae.

Berdasarkan klasifikasi stadium TNM kanker yang di derita oleh pasien masuk dalam

grade IIIb (T4N1Mx). Hal ini didasarkan pada penemuan massa dengan ukuran 30x25 cm yang

telah berinfiltrasi pada kulit (T4), adanya metastasis ke kelenjar getah bening aksila ipsilateral

(N1), dan kemungkinan metastasis jauh belum dapat di nilai (Mx).

Pada penatalaksanaan kasus ini direncanakan akan dilakukan kemoterapi, karena

mengingat stadium kanker merupakan stadium lanjut, dan metastasis jauh belum dapat dinilai.

Prognosis pada kasus ini buruk karena berdasarkan kepustakaan Pasien dengan karsinoma

invasif yang lebih kecil dari 1 cm memiliki harapan hidup yang sangat baik jika tidak ada

keterlibatan kelenjar getah bening, pada pasien ini ukuran tumor lebih dari 1 cm dan juga

Page 17: laporan kasus

ditemukan adanya keterlibatan kelenjar getah bening. Semua karsinoma tipe khusus memiliki

prognosis yang sedikit lebih baik dibanding dengan karsinoma tanpa tipe khusus, pada pasien ini

merupakan karsinoma tanpa tipe khusus dan serta didasarkan pada anamnesis didapatkan adanya

laju pertumbuhan (3 bulan), dimana proliferasi yang tinggi berkaitan dengan prognosis yang

buruk.6,12

Page 18: laporan kasus

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Cortan R, Robbins SL. Neoplasma. Dalam: Buku ajar patologi Robbins II. Edisi

ke-7. Vol-1. Alih bahasa: Pendit BU. Editor bahasa Indonesia; Hartanto H, Darmaniah N,

Wulandari N. Jakarta:EGC;2007. Hal 405185-6

2. Crum CP, Lester SC, Cotran RS. Sistem genetalia perempuan dan payudara. Dalam: Kumar

V, Cortan R, Robbins SL, editor. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke-7. Vol-2.Alih bahasa:

Pendit BU. Editor bahasa Indonesia; Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N.

Jakarta:EGC;2007. Hal 788-802

3. Rutgers EJT. Screen detected breast cancer. In: Poston GJ, Beauchamp RD, Ruers TJM.

Textbook of surgical onkology. London: Informa Heathcare; 2007. P. 105-12

4. Witt TR. Early invasive breast cancer. In: Saclarides TJ, Millikan KW, Godellas CV, editor.

Sugical onkology an algorithmic approach. New York: Springer;2003. P. 204-17

5. Cassidy J, Bissett D, Obe RAJS. Oxford handbook of oncology. New York: Oxford

University Press;2002. P. 298-302

6. Manuaba IBTW. Panduan penatalaksanaan kanker solid PERABOI 2010. Jakarta: Segung

Seto;2010

7. Jatoi I, Kaufmann M, Petit JY. Atlas of breast surgery. Germany: Springer;2006. P. 7-11

8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. buku ajar ilmu badah. Jakarta:EGC;1998. Hal. 534-55

9. Ramli HM. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FK-UI;2010.

10. Zager J, Solorzano CC, Thomas E, Feig BW, Babiera BV. Invasive breast cancer. In: Feig

BW, Berger, David H, Furhman, George M, editor. MD Anderson Surgical Oncology

Handbook, The, 4th edition. 2006.

11. Iglehart JD, Smith BL. Disease of Breast. In: Sabiston Textbook of Surgery, 18th edition.

2008.

12. Copeland EM. The breast. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter

JG, Pallock RE. Schwartz's principles of surgery. The McGraw-Hill Companies;2004

13. Devita. Breast Cancer. In DevitaVT, Lawrence TS, Rosenberg SA, eds. Devita, Hellman, and

Rosenberg’s Cancer : Priciple and pratice of oncology vol 2. 8 th ed. Lippicott williams &

wilkins