laporan kasus
-
Upload
christophorus-t-alexander -
Category
Documents
-
view
66 -
download
0
description
Transcript of laporan kasus
Laporan Kasus
STRUMA COLLOIDES UNINODUSA NON TOKSIK DEKSTRA
Oleh :Romario PolitonNatasha TrivenaGabriella LintinJaqueline KairupanIrfadah DinarChrisillia Longdong
PEMBIMBING :
Dr. Marselus Merung, SpB(K)Onk
BAGIAN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGIMANADO 2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelenjar tiroid berfungsi mengatur proses oksidasi, pengeluaran karbondioksida, pada
anak mempengaruhi perkembangan fisik dan mental, kelenjar ini juga mensekresi hormon
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang berasal dari yodium yang masuk ke dalam tubuh dari
makanan dan air minum.
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma merupakan penyakit yang diakibatkan
oleh kekurangan yodium sebagai unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga
untuk mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan menimbulkan
pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid dan struma nodular serta berdasarkan klinis
dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik.
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk di dalamnya
eutirodisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Berdasarkan morfologi dibedakan atas struma
hyperplastica diffusa, struma colloides diffusa.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid
terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak,
jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Berdasarkan hasil Depkes RI tahun 2003 program pencegahan dan penanggulangan
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia PR struma difusa non toksik
(gondok) pada anak sekolah dasar di Indonesia sebesar 11,1%. Berdasarkan data Depkes tahun
2005, dari 56.890 kasus penyakit metabolik dan lainnya yang dirawat inap di rumah sakit seluruh
Indonesia sebanyak 913 kasus (1,6%) tirotoksikosis dengan CFR (case fatality rate) 7,3% dan
4.065 kasus (7,14%) struma lainnya dengan CFR 3,6%.
Penelitian Azamris di Rumah Sakit Perjan Dr. M Jamil Padang pada Mei- November
2004 pada 30 orang penderita struma (25 wanita dan 5 pria) dilakukan pemeriksaan histopatologi
ditemukan keganasan struma pada 4 orang (0,13%). 16 Penelitian Retno Adriyanto di Kecamatan
Bulak Surabaya tahun 2008, pada 23 siswa kelas IV yang dipilh secara acak kemudian diperiksa
pembesaran kelenjar gondok secara palpasi diketahui PR struma 24,3%.
Penelitian Gunanti dan Inang Retno di Desa Randegesari Jawa Timur selama Maret
2004-Agustus 2004, PR GAKY pada anak usia sekolah 26,8% dengan mengambil sampel
sejumlah 50 orang anak usia sekolah dasar dan dilakukan pemeriksaan dengan metode palpasi
kelenjar gondok.
Berdasarkan hasil survey nasional tahun 2003 PR GAKY pada anak sekolah dasar di
Indonesia sebesar 11,1 % dan PR GAKY di Provinsi Sumatera adalah sebagai berikut Sumatera
Utara 5,3 %, Sumatera Barat 5,8 %, Riau 1,7 %, Jambi 5,5 %, Sumatera Selatan 9,9 %, Bengkulu
2,5 %, dan Lampung 13,2 %.
Hasil survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Santa Elisabeth Medan terdapat
135 orang penderita struma pada tahun 2005-2009. Pada tahun 2005 ada 17 kasus, 2006 ada 25
kasus, 2007 ada 34 kasus, 2008 ada 36 kasus, 2009 ada 40 kasus. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita struma rawat inap di
Rumah Sakit Umum Santa Elisabeth Medan tahun 2005-2009
Anatomi
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua bagian
lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong berukuran panjang
2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting
untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh.
Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom
yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang
tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan
minuman yang mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 1. Gambar Anatomi Kelenjar Tiroid
Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme
energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan
energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam
ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang
pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak
adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada
saat lahir dan bayi.
Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh
hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH. kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran
folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa
hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).
Klasifikasi Struma
Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat
mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis
dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar
plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang
mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.25,26 Gejala
hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan,
pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara. 27,28 Gambar penderita
hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
Gambar Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai respon
jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.29 Keadaan
ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar
tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid
menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat
gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus),
diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.27,28 Gambar penderita hipertiroidisme
dapat terlihat di bawah ini.
Gambar Hipertiroidisme
Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa
toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana
struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan
medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau
lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan
tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering
adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang
paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah
pembentuknya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa
penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat,
mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma
diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh
kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik,
atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita
datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea
(sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam
nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas
dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang
masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah
endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10
%-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
Determinan Struma
a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun dengan
bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada. Struma dapat menyerang
penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit
lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang semakin
menurun seiring dengan bertambahnya usia.
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat
dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab struma adalah goitrogen
yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan
membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-padian,
singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti
propylthiouraci, lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung
yodium secara berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan salah
satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang sebelumnya
mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada tirotoksikosis berat serta
operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme
mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di Eropa,
pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau
masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan
Sulawesi.
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun 1993
dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam serta
diantara pantai dan pedalaman sebanyak 2.450 orang.
Diagnosis
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi
duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau
nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus
atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada
permukaan pembengkakan.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi
fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari
kedua tangan pada tengkuk penderita.
c. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum
diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi
yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi
pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien
yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk
mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
d. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea
(jalan nafas).
e. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV.
USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin
tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan
USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
f. Sidikan (Scan) Tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m dan
yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah
suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop
adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.
g. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum
tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan
ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik
biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
intrepertasi oleh ahli sitologi.
Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai berikut :
a. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan
dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau
mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid.
Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis
parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi
hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan
pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan
tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian
diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup
memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
b. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid
sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian
yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik .
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah
sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat
tiroksin.
c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan
TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid
(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan umur 51 tahun, agama islam, pekerjaan iburumah tangga,
alamat singkil II masuk rumah sakit dengan keluhan utama benjolan dan luka di payudara kanan.
luka di payudara kanan dialami pasien ± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
timbul benjolan sebesar kelereng dibawah puting susu. Pasien lalu memeriksakan diri ke dokter
praktek tetapi oleh dokter praktek dikatakan bahwa tidak apa-apa selama tidak sakit. Lama
kelamaan benjolan pecah dan mengembang seperti bunga kol. Tidak berdarah dan tidak
bernanah. Tiga bulan terakhir semakin meluas dengan cepat. Pasien lalu berobat ke dokter
spesialis dan oleh dokter spesialis disarankan untuk ke RS Prof dr R.D Kandou. Demam (-),
pusing (+), mual (+), muntah (+) dua kali volume satu gelas aqua, isi cairan dan makanan. Pasien
sudah menopause sejak usia 48 tahun, siklus haid normal tiap bulan selama empat sampai enam
hari. Pasien menggunakan KB suntik sebelum menopause. Buang air besar dan buang air kecil
biasa.
Riwayat Penyakit ginjal,jantung, hipertensi, DM, paru, disangkal penderita. Riwayat
penyakit dalam keluarga, hanya pasien yang mengalami penyakit seperti ini. Riwayat sosial,
riwayat merokok dan alkohol disangkal penderita.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, denyut nadi 64 x/m, pernapasan 20 x/m,
suhu badan 36,7 0 C. berat badan 45 kg, tinggi badan 160 cm, IMT 17,57 %. Pemeriksaan kepala:
konjugtiva anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan leher: tidak ada pembesaran kelenjar gatah
bening. Pemeriksaan dada: a) paru: pada inspeksi paru asimetris, benjolan dan luka pada
payudara kanan; pada palpasi, stem fremitus kiri sama dengan kanan; pada perkusi, hipersonor
kiri dan kanan; dan pada auskultasi, suara pernapasan vesikuler normal, ronki/whezing tidak ada.
b) jantung: pada inspeksi, iktus kordis tidak tampak; pada palpasi, iktus kordis teraba di
interkostal 5, 1 cm medial garis midklavikila kiri; pada perkusi batas jantung kanan pada
interkostal 4 garis parasternal kanan dan batas jantung kiri pada interkostal 5 garis midklavikula
kiri; dan pada auskultasi S1S2 normal, bising tidak ada. Pemeriksaan perut: pada inspeksi,
tampak datar; pada palpasi, lemas, nyeri tekan epigastrium tidak ada, nyeri tekan suprapubik
tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada massa, nyeri ketok pinggang tidak ada, dan tidak
ada pekak berpindah; pada perkusi, bunyi tympani; pada auskultasi, bising usus positif normal.
Pemeriksaan ekstremitas: akral hangat dan tidak ada ditemukan edema.
Status lokalis: regio mammae dextra tampak benjolan dan luka ukuran 30x25 cm,
permukaan berbenjol-benjol, konsistensi keras, terfiksasi, juga ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening aksila dextra.
Hasil pemeriksaan laboratorium: leukosit 22.000/mm3, eritrosit 1,50 /mm3, Hb 4 g/dL,
hematokrit 12,3/mm3, trombosit 66/mm3, gula darah sewaktu (GDS) 97 mg/dL, cratinin darah
0,9 mg/dL, ureum darah 34 mg/dL, natrium 148 mEq/L, kalium 5,6 mEq/L, klorida 102 mEq/L.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien di diagnosis dengan
karsinoma mammae dextra.
Pasien direncanakan untuk dikemoterapi, sambil dilakukan perbaikan keadaan umum,
melalui pemasangan infus cairan, pemberian ceftriaxone 2x1 gr, ranitidin inj 2x1 amp, transfusi
darah, rawat luka serta rencana pemeriksaan lanjutan (FNAB).
Prognosis pada kasus ini buruk
Follow up
16-10-2012
S : Benjolan dan luka di payudara kanan
O : T 100/70 mmHg, N 60x/m, R 22x/m, S 36,50 C
FNAB, kesan: - Carsinoma Mammae.
- Cenderung jenis infasif ductal Carsinoma Mammae.
A : ca mammae dextra
P :
13/11/2012
S : Benjolan dan luka di payudara kanan
O : VS dalam batas normal
region mamae dextra : benjolan u,kuran 30x25cm, berbenjol-benjol, konsistensi keras,
fixed, pembesaran KGB axial dextra.
A : Ca mammae dextra T4N1Mx
P : Tranfusi PRC 2 bag/hari target Hb ≥10gr%
Rawat luka
Rencana kemoterapi bila KU membaik
14/11/2012
S : Batuk kering
O : VS dbn. mata conjungtiva anemis +/+
Region mamae dextra : luka terawatt, perdarahan aktif (+)
A : Ca mammae dextra T4N1Mx
P : Tranfusi PRC 1 bag hari ini
Rawat luka
DMP syr 3x CI
Cefixime 2x1 tab
Vitamin B complex 1x1
15/11/2012
S : Batuk kering
O : VS dbn. mata conjungtiva anemis +/+
Region mamae dextra : luka terawat, perdarahan aktif (-)
A : Ca mammae dextra T4N1Mx
P : Rawat luka
DMP syr 3x CI
Cefixime 2x1 tab
Vitamin B complex 1x1
Diet bebas
Lab: Leu :18.100 Eri : 282 Hb: 7.8 Hct : 239 Trombo : 714
GDS : 110 Cr : 0.9 Ur : 37 Na : 128 K : 3.7 Cl : 107
PEMBAHASAN
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan benjolan dan luka di payudara
kanan yang dirasakan oleh pasien sejak ± 1 tahun yang lalu yang diawali oleh benjolan sebesar
kelereng dibawa putting susu payudara kanan dan dalam 3 bulan terakhir benjolan dirasakan
semakin membesar dengan cepat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan pasien
karsinoma mammae sering datang dengan keluhan adanya benjolan padat di daerah mamme
yang pada stadium awal tidak nyeri, dan cenderung pertumbuhan bersifat agresif.6,12
Sedangkan pada pemeriksaan fisik status lokaslis ditemukan pada regio mammae dextra
tampak benjolan dan luka ukuran 30x25 cm, permukaan berbenjol-benjol, konsistensi keras,
terfiksasi, juga ditemukan pembesaran kelenjar getah bening aksila dextra. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan dimana pada pemeriksaan fisik kanker payudara ditemukan ada massa yang padat,
perubahan warna kulit sekitar massa serta bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di
daerah sekitar benjolan, sering kelenjar getah bening aksila. 6,12
Pada pemeriksaan penunjang patologi anatomi pada penilaian fisik / Aspirat FNAB tumor
(R) mammae (D), padat, berulkus, berbenjol-benjol. Ditemukan Aspirat : Darah
Mikroskopik : Sediaan hapus terdiri dari kelompokkan dan sebaran sel-sel epitel yang
tampak anaplastik dengan kohesi yang berukuran latar belakang yang terdiri dari eritrosit.
Kesimpulan dari pemeriksaan ini ialah massa merupakan suatu karsinoma mammae yang
cenderung jenis infasive ductal carscinoma mammae.
Berdasarkan klasifikasi stadium TNM kanker yang di derita oleh pasien masuk dalam
grade IIIb (T4N1Mx). Hal ini didasarkan pada penemuan massa dengan ukuran 30x25 cm yang
telah berinfiltrasi pada kulit (T4), adanya metastasis ke kelenjar getah bening aksila ipsilateral
(N1), dan kemungkinan metastasis jauh belum dapat di nilai (Mx).
Pada penatalaksanaan kasus ini direncanakan akan dilakukan kemoterapi, karena
mengingat stadium kanker merupakan stadium lanjut, dan metastasis jauh belum dapat dinilai.
Prognosis pada kasus ini buruk karena berdasarkan kepustakaan Pasien dengan karsinoma
invasif yang lebih kecil dari 1 cm memiliki harapan hidup yang sangat baik jika tidak ada
keterlibatan kelenjar getah bening, pada pasien ini ukuran tumor lebih dari 1 cm dan juga
ditemukan adanya keterlibatan kelenjar getah bening. Semua karsinoma tipe khusus memiliki
prognosis yang sedikit lebih baik dibanding dengan karsinoma tanpa tipe khusus, pada pasien ini
merupakan karsinoma tanpa tipe khusus dan serta didasarkan pada anamnesis didapatkan adanya
laju pertumbuhan (3 bulan), dimana proliferasi yang tinggi berkaitan dengan prognosis yang
buruk.6,12
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar V, Cortan R, Robbins SL. Neoplasma. Dalam: Buku ajar patologi Robbins II. Edisi
ke-7. Vol-1. Alih bahasa: Pendit BU. Editor bahasa Indonesia; Hartanto H, Darmaniah N,
Wulandari N. Jakarta:EGC;2007. Hal 405185-6
2. Crum CP, Lester SC, Cotran RS. Sistem genetalia perempuan dan payudara. Dalam: Kumar
V, Cortan R, Robbins SL, editor. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke-7. Vol-2.Alih bahasa:
Pendit BU. Editor bahasa Indonesia; Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N.
Jakarta:EGC;2007. Hal 788-802
3. Rutgers EJT. Screen detected breast cancer. In: Poston GJ, Beauchamp RD, Ruers TJM.
Textbook of surgical onkology. London: Informa Heathcare; 2007. P. 105-12
4. Witt TR. Early invasive breast cancer. In: Saclarides TJ, Millikan KW, Godellas CV, editor.
Sugical onkology an algorithmic approach. New York: Springer;2003. P. 204-17
5. Cassidy J, Bissett D, Obe RAJS. Oxford handbook of oncology. New York: Oxford
University Press;2002. P. 298-302
6. Manuaba IBTW. Panduan penatalaksanaan kanker solid PERABOI 2010. Jakarta: Segung
Seto;2010
7. Jatoi I, Kaufmann M, Petit JY. Atlas of breast surgery. Germany: Springer;2006. P. 7-11
8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. buku ajar ilmu badah. Jakarta:EGC;1998. Hal. 534-55
9. Ramli HM. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FK-UI;2010.
10. Zager J, Solorzano CC, Thomas E, Feig BW, Babiera BV. Invasive breast cancer. In: Feig
BW, Berger, David H, Furhman, George M, editor. MD Anderson Surgical Oncology
Handbook, The, 4th edition. 2006.
11. Iglehart JD, Smith BL. Disease of Breast. In: Sabiston Textbook of Surgery, 18th edition.
2008.
12. Copeland EM. The breast. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter
JG, Pallock RE. Schwartz's principles of surgery. The McGraw-Hill Companies;2004
13. Devita. Breast Cancer. In DevitaVT, Lawrence TS, Rosenberg SA, eds. Devita, Hellman, and
Rosenberg’s Cancer : Priciple and pratice of oncology vol 2. 8 th ed. Lippicott williams &
wilkins