LAPORAN KASUS
description
Transcript of LAPORAN KASUS
LAPORAN KASUS TONSILITIS KRONIS
KEPANITERAAN PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
Pembimbing :
dr. Stivina Azrial, Sp THT-KL
Oleh :
Nur Afiqah binti Mohd Mataridi 11.2013.328
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 8 DESEMBER 2014 - 17 JANUARI 2015
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama: An. Raisya D Pekerjaan: Tidak bekerja
Umur: 11 tahun 7 bulan Alamat: Jakarta Selatan
Jenis kelamin: Perempuan Pendidikan: SD
Agama: Islam Status menikah: Belum menikah
ANAMNESA
Diambil secara: Autoanamnesa dan Alloanamnesa
Pada Tanggal: 22 Desember 2014, Jam 10.30 WIB
Keluhan utama:
Tidur mendengkur sejak kurang lebih 10 bulan yang lalu.
Keluhan tambahan:
Rasa mengganjal dan nyeri saat menelan, kadang sesak saat tidur, batuk pilek dan meriang hilang timbul
Riwayat perjalanan penyakit(RPS)
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dibawa ibunya dengan keluhan tidur mendengkur sejak 10 bulan SMRS. Ibu pasien mengatakan gejala mendengkur ini dialami pasien sehingga kadang pasien kedengaran seperti sesak, namun tidak sampai terlalu mengganggu tidur pasien atau sehingga menyebabkan pasien mengantuk saat di sekolah atau merasa lemas.
Nyeri tenggorok juga sering dirasakan pasien, selalunya bersamaan dengan batuk pilek dan demam. Dalam 1 bulan pasien bisa mengalami demam atau rasa meriang sampai dua kali. Pasien mengaku nyeri tenggorok akan lebih terasa saat pasien mau menelan makanan dan terasa seperti ada yang mengganjal saat mau makan. Oleh karena itu ibu pasien mengatakan bahwa dia sering sekali masak bubur di rumah untuk pasien.
Pasien menyangkal adanya nyeri alih ke telinga atau bagian wajah yang lain. Pasien sering berobat ke Puskesmas untuk gejala demam dan nyeri tenggoroknya, tetapi selepas obat habis, gejalanya timbul lagi.
2
Ibu pasien mengatakan pasien sering pilek yang kadang disertai oleh batuk. Pilek disertai dengan keluarnya cairan yang sedikit bening dan kental. Pasien sering dibawa berobat ke Puskesmas untuk pileknya dan diberikan obat untuk mengurangi pileknya. Gejala pasien membaik selepas minum obat dari Puskesmas. Dalam beberapa bulan ini pileknya sering kambuh-kambuhan dan berkurang dengan adanya obat.
Pasien menyangkal sering bersin-bersin pada pagi hari atau bersin saat terkena debu Pasien mengaku adanya hidung tersumbat ataupun cairan yang keluar dari hidung dalam tempoh satu tahun ini. Riwayat adanya gangguan penciuman, mimisan atau bersin-bersin pagi hari disangkal oleh pasien. Ibu pasien menyangkal adanya riwayat trauma atau operasi pada hidung pasien.
Riwayat trauma atau operasi pada tenggorok pasien disangkal oleh ibunya. Ibunya juga menyangkal adanya riwayat pasien makan makanan yang bersifat tajam seperti tulang ikan. Ibu pasien mengaku pasien sering jajan saat pulang dari sekolah dan suka minum minuman yang dingin.
Riwayat Penyakit Dahulu(RPD)
Pasien berobat di Puskesmas karena sering batuk pilek sdan demam sejak 11 bulan yang lalu. Gejala pasien berkurang selepas mendapat obat dari Puskesmas. Apabila obat pasien habis, gejala akan mulai timbul lagi. Riwayat sering bersin-bersin pagi hari atau nafas mengi disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tiada yang sakit seperti pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
– Keadaan umum : tampak sakit ringan
– Kesadaran : compos mentis
– Status gizi : cukup
– Nadi : -
– Suhu : -
– RR : -
– BB : 54 kg
B. STATUS LOKALIS3
– Kepala : normosefali,rambut tidak mudah dicabut
– Mata : gerakan bola mata baik,nistagmus (-),diplopia(-)
– Wajah : simetris
TELINGA
KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan congenital Tidak ada kelainan.
Fistula preauricular(-),
microtia(-), atresia (-), bat’s ear
(-)
Tidak ada kelainan.
Fistula preauricular(-),
microtia(-), atresia (-), bat’s ear
(-)
Radang, tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tiada nyeri tekan tragus Tiada nyeri tekan tragus
Penarikan daun
telinga
Nyeri (-) Nyeri (-)
Kelainan pre-, infra-,
retroaurikuler
Abses (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), benjolan (-), fistula (-)
Abses (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), benjolan (-), fistula (-)
Region mastoid Hiperemis (-), hipertermi (-)
oedema (-), nyeri tekan (-)
Hiperemis (-), hipertermi (-)
oedema (-), nyeri tekan (-)
Liang telinga Lapang, furunkel (-), jar.granulasi
(-), serumen (-) , edema (-),
sekret (-), darah (-), hiperemis
(-), corpus alienum (-)
Lapang, furunkel (-), jar.granulasi
(-), serumen (+) , edema (-),
sekret (-), darah (-), hiperemis
(-), corpus alienum (-)
Membran timpani Reflek cahaya (+) jam 5, Intak,
hiperemis (-), perforasi (-),
retraksi (-), buldging (-),
atelektasis (-)
Reflek cahaya (+) jam 7, Intak,
hiperemis (-), perforasi
(-),retraksi (-), buldging (-),
atelektasis (-)
4
TES PENALA
KANAN KIRI
Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala Yang Dipakai 512 Hz 512 Hz
HIDUNG
KANAN KIRI
Bentuk Normal, saddle nose (-),
supuratif deprssion (-),
deformitas (-), humped nose (-)
Normal, saddle nose (-),
supuratif deprssion (-),
deformitas (-), humped nose (-)
Tanda peradangan Hiperemis(-), nyeri tekan(-),
tumor(-)
Hiperemis(-), nyeri tekan(-),
tumor(-)
Daerah sinus frontalis
dan maksilaris
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-),
bengkak (-)
Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-),
bengkak (-)
Vestibulum Bulu / vibrissae (+), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-), polip (-),
massa (-), pucat/ livid (-)
Bulu / vibrissae (+), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-),polip (-),
massa (-), pucat/ livid (-)
Cavum nasi Lapang, sekret (-), polip (-),
massa (-)
Lapang, sekret (-), polip (-)
massa (-)
Konka inferior Permukaan licin, Hiperemis (-),
edema (-), hipertrofi (-), sekret
(-), atrofi (-)
Permukaan licin, Hiperemis (-),
edema (-), hipertrofi (-), sekret
(-), atrofi (-)
Konka media Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus inferior Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus media Tidak terlihat Tidak terlihat
Septum deviasi Deviasi (-), dislokasi (-), hematoma (-), abses (-), perforasi (-),
penonjolan ( krista, spina) (-), sinekia (-)
5
RHINOPHARYNX
Koana : Tidak dilakukan
Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
Muara tuba Eustachius : Tidak dilakukan
Fossa Rosenmuller :Tidak dilakukan
Torus tubarius : Tidak dilakukan
Post nasal drip : Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Sinus Frontalis kanan, grade : Tidak dilakukan
Sinus Frontalis kiri, grade : Tidak dilakukan
Sinus Maxillaris kanan, grade : Tidak dilakukan
Sinus Maxillaris kiri, grade : Tidak dilakukan
TENGGOROK
PHARYNX
Dinding pharynx : Hiperemis (-), post nasal drip (-), granul (-), ulkus (-)
Arcus : Hiperemis (-), ulkus (-)
Tonsil : T3-T3, Hipertrofi(+), kripta (+), detritus (+), Hiperemis (-)
Uvula : Terletak di tengah, hiperemis (-)
Gigi : Normal, lubang (-), karies (-)
LARYNX
Epiglottis : Tidak dilakukan
Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
Arytenoids : Tidak dilakukan
Ventricular band : Tidak dilakukan
Pita suara : Tidak dilakukan
Rima glotidis : Tidak dilakukan
Cincin trakea : Tidak dilakukan
Sinus piriformis : Tidak dilakukan
6
Kelenjar limfe submandibula dan cervical : Tidak ditemukan massa pada palpasi
kelenjar getah bening
RESUME
Pasien anak perempuan, 11 tahun datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dibawa ibunya dengan keluhan tidur mendengkur sejak kira-kira 10 bulan SMRS. Gejala mendengkur yang dialami pasien semakin buruk sehingga kedengaran seperti sesak saat tidur. Odinofagia dirasakan lebih memberat sejak beberapa bulan terakhir ini. Pasien mengaku nyeri akan lebih terasa saat pasien mahu menelan makanan dan terasa seperti ada yang mengganjal saat mahu makan. Pasien mengaku nyeri tenggorokan disertai dengan demam tetapi hilang apabila ibunya memerikan obat penurun panas. Pasien menyangkal adanya nyeri alih ke telinga atau bagian wajah yang lain. Pasien sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas untuk gejala demam dan nyeri tenggoroknya, tetapi selepas obat habis, gejalanya timbul lagi.
Pasien juga mengeluh sering rhinorea yang kadang disertai oleh batuk. Rhinorea disertai dengan keluarnya cairan yang mucoserous. Pasien sudah berobat ke Puskesmas untuk pileknya dan diberikan obat untuk mengurangi pileknya. Gejala pasien membaik selepas minum obat dari Puskesmas. Dalam 10 bulan ini pileknya sering kambuh-kambuhan dan berkurang dengan adanya obat. Pasien menyangkal adanya alergi pada debu. Riwayat adanya hiposmia, epsitaksis atau alergi disangkal oleh pasien. Ibu pasien menyangkal adanya riwayat trauma atau operasi pada hidung pasien.
Dari pemeriksaan didapatkan pada :
Telinga
Kanan : Tidak ditemukan kelainan saat ini.
Kiri : Tidak ditemukan kelainan saat ini
Hidung
Kanan: Tidak ditemukan kelainan saat ini
Kiri: Tidak ditemukan kelainan saat ini
Tenggorok
Dinding pharynx : Hiperemis (-)post nasal drip (-), granul (-), ulkus (-)
Arcus : Hiperemis (-) ulkus (-)
Tonsil : T3-T3, Hipertrofi(+), kripta (+), detritus (+), Hiperemis (-)
Uvula : Terletak di tengah, hiperemis (-)
Gigi : Normal
Kelenjar limfe submandibula dan cervical : pembesaran KGB (-)
7
DIAGNOSA BANDING
- Tonsilitis Kronis
o Hal yang mendukung: Pada anamnesa adanya nyeri tenggorok, tenggorokan kering,
dan rasa mengganjal saat menelan. Ada juga riwayat sakit tenggorok, batuk pilek yang
hilang timbul dalam satu tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang
membesar dengan permukaan tidak rata, kripta sedikit melebar terisi detritus.
- Obstructive Sleep Apneu Syndrome(OSAS)
o Hal yang mendukung: Ibu pasien mengaku pasien tidur mendengkur pada saat tidur
malam mahupun siang. Ibu pasien juga pernah melihat pasien seperti sesak saat
tidur, pasien punya faktor risiko pada anatomi yaitu pembesaran tonsillar, juga
terdapat gejala malam hari saat tidur pada OSAS seperti tidur tidak nyenyak, tersedak
atau napas tersengal saat tidur.
o Hal yang tidak mendukung: Tidak ditemukan pusing saat bangun pagi hari, , kelihatan
mengantuk dan penat, rasa tersedak tiap kali makan atau adanya refluks esofageal,
depresi atau tidak bisa konsentrasi. Pasien juga tidak ada gaya hidup yang menjadi
risiko seperti merokok dan obesitas. Prevalensi OSAS juga meningkat dengan
bertambahnya usia dan risiko pada laki-laki lebih tiggi dibandingkan perempuan
sampai menpause. Baku emas untuk diagnosis OSAS adalah pemeriksaan tidur
semalam dengan alat polysomnography (PSG) yang pada kasus ini tidak dilakukan.
WORKING DIAGNOSIS
- Tonsilitis kronis
o Hal yang mendukung: Pada anamnesa adanya nyeri tenggorok, tenggorokan kering
dan rasa mengganjal saat menelan. Ada juga riwayat sakit tenggorok, batuk pilek yang
hilang timbul dalam satu tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang
membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus sedikit melebar terisi detritus.
ANJURAN PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan kultur kuman pada dinding faring
8
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Antibiotik: Cefixime tablet 2x200mg
Antiseptik untuk kumur
Non Medikamentosa
Makan makanan yang bergizi
Istirahat dirumah
Banyak makan sayur dan buah-buahan dan diet makanan lunak.
Operasi tonsilektomi apabila gejala-gejala akut sudah tenang.
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pada anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa pasien ini diagnosa kerja sementara yang dapat dilakukan adalah tonsilitis kronis. Hasil anamnesa yang mendukung adalah adanya gejala mendengkur saat pasien tidur sejak 10 bulan yang lalu. Gejala mendengkur ini semakin memburuk, sehingga pasien kadang kelihatan sesak, namun tidak sampai menggangu tidur pasien dan tidak sampai menyebabkan kelemahan atau kelelahan dalam aktivitas harian. Pasien juga sering mengalami nyeri tenggorok, demam dan batuk pilek yang sering kambuh sejak 10 bulan yang lalu, sehingga ibu pasien sering menyediakan bubur untuk pasien di rumah. Dalam waktu satu bulan pasien boleh demam sehingga 2 kali. Pasien sering berobat ke Puskesmas namun setelah obatnya habis gejala tersebut kambuh lagi. Secara teori, pada tonsillitis kronis pasien biasanya akan mengeluh gejala nyeri tenggorok dan rasa mengganjal di leher saat mahu menelan, serta tenggorokan kering. Selain itu biasanya terdapat juga napas berbau.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang membesar T3-T3, tidak hiperemis , ditemukan juga detritus dan kripta yang sedikit melebar. Dinding faring tidak hiperemis atau membengkak. Secara teori, pada pemeriksaan fisik pasien tonsilitis kronis akan ditemukan
9
tonsil yang membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Pada pasien ini gejala dan pemeriksaan fisik hanya ditemukan beberapa gejala ringan atau yang sudah membaik, seperti nyeri menelan terdapat pada anamnesis namun dinding faring atau uvula tidak kelihatan hiperemis, yang jelas pada anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah tidur mendengkur yang semakin buruk dan juga pembesaran tonsil T3-T3. Hal ini berikutan faktor pengobatan awal yang telah diberikan pada pasien ini. Selain itu, faktor penyembuhan secara sendiri juga menyebabkan manifestasi gejala bervariasi bagi tiap pasien. Untuk pemeriksaan lanjut, pasien ini dianjurkan untuk melakukan tes laboratorium darah rutin untuk mengetahui telah terjadi infeksi secara sistemik atau tidak. Selain itu, dianjurkan juga untuk dilakukan tes uji resistensi dan uji kultur usap tonsil untuk memastikan kuman yang menginfeksi tonsil pasien ini. Jika sudah dapat diketahui jenis kuman tersebut, pengobatan akan lebih terfokus dan prognosisnya akan lebih baik.
Pada pasien ini telah diberikan antibiotik cefixime 2 x 200 mg untuk menghentikan infeksi di tonsildan persediaan untuk operasi tonsilektomi. Pasien juga disarankan untuk menjaga kebersihan mulut dan makan makanan yang bergizi. Pasien juga direncanakan operasi tonsilektomi karena gejala yang sering kambuh dan tidak berkurang dengan pengobatan. Pasien ini diindikasikan untuk operasi karena adanya ISPA yang berulang dan pasien tidur mendengkur sehingga bisa menyebabkan gangguan saat tidur yang lebih buruk, cor pulmonale, dan keaktifannya dalam aktivitas harian akan turut terganggu.
Prognosis pada pasien ini tergantung pada pengobatan yang adekuat, sistem imun badan yang baik, pencegahan terhadap sumber infeksi yang bisa menyebabkan tonsilitis dan menjaga hygiene mulut untuk menghilangkan sumber infeksi.
KESIMPULAN
Hasil dari anamnesa dan pemeriksaan, saya mendiagnosa pasien ini dengan tonsilitis kronis. Oleh karena terdapat indikasi maka pasien direncanakan untuk operasi tonsilektomi.
10
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil
palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal. 1
Gambar 1. Tonsil
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral– m. konstriktor faring superior
Anterior – m. palatoglosus
Posterior – m. palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).2
Fosa Tonsil
11
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke
atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar
posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring.1,2
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah. 1,2
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu
1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina
asenden;
2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden;
3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal;
4) A. faringeal asenden.3
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden.
12
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 3
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Immunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 4
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya.
13
Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus.
Gambar 2. Adenoid
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. 2
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
II. MIKROANATOMI
Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat, jaringan interfolikuler,
jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula yang berfungsi sebagai penyokong
tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini 14
mengandung pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel statified squamous.
Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel induk
pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel terdiri dari jaringan limfoid dalam
berbagai tingkat pertumbuhan.16,18 Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel
permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun di dalam
jaringan interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan
jaringan limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil. 5
III. DEFINISI TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-
anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan
tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai
pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. 2,3
Gambar 5. Tonsilitis
IV. EPIDEMIOLOGI
Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di
antaranya pada usia 6-15 Tahun. Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode
15
April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau
6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.6
V. ETIOLOGI
Bakteriologi Tonsilitis
Flora normal
Bakteri di dalam saluran tenggorok bayi akan mulai muncul sejak pemberian makanan
melalui mulut. Bakteri tersebar di dinding faring permukaan tonsil maupun ke rongga mulut.
Bakteri di dalam tenggorok pada umumnya adalah flora normal. Flora normal di tenggorok
terdiri dari bakteri gram positif dan gram negatif baik yang aerob maupun anaerob. Bakteri
anaerob seperti Actinomyces, Nocardia, dan Fusobacterium mulai ditemukan pada usia 6
sampai 8 bulan. Bacteroides, Leptotrichia, Propioni bacterium, dan Candida muncul sebagai
flora rongga mulut. Populasi Fusobacterium akan meningkat dengan terbentuknya gigi.
Bakteri aerob termasuk; Streptococcus non hemolyticus, Streptococcus mitis, Streptococcus
spp, Staphylococcus non coagulatif, Gemella haemolysans, Neisseria spp dan lain-lain.
Kondisi yang menguntungkan dari host terhadap perkembangan bakteri dapat
mengakibatkan terjadinya perobahan flora normal menjadi patogen. 7
Peranan bakteri anaerob pada tonsilitis sulit dijelaskan. Bakteri anaerob merupakan flora
normal pada tonsil. Reilly melaporkan tidak ditemukan perbedaan bakteri anaerob pada
tonsil yang sehat dengan tonsilitis akut. Dari 15 pasien tonsilitis akut bakteri anaerob
diisolasi pada 93,7% tonsil, dan pada tonsil sehat (kontrol) bakteri anaerob diisolasi
sebanyak 92% tonsil. Pada tonsilitis kronis juga tidak ditemukan perbedaan bermakna
antara bakteri anaerob di permukaan tonsil dengan di inti tonsil, masing-masing 94,6% dan
100%. Namun demikian Brook6 melaporkan bahwa secara invitro ditemukan sinergi antara
bakteri anaerob dengan pertumbuhan Streptococcus β hemolyticus group A. Bakteri
anaerob mempengaruhi pertumbuhan bakteri patogen. Peranan bakteri anaerob penghasil
β laktamase seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp, dapat menurunkan penetrasi
penisilin terhadap bakteri patogen. Bakteri anaerob penghasil β laktamase yang resisten
terhadap penisilin dapat melindungi organisme patogen dimaksud. Pemeriksaan
bakteriologi terhadap tonsil kanan dan tonsil kiri tidak ditemukan perbedaan.7
16
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi dari tonsil dapat dilakukan dengan pemeriksaan sediaan swab
secara gram dengan pewarnaan Ziehl-Nelson atau dengan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan. Pemeriksaan ini dapat diambil dari swab permukaan tonsil maupun jaringan inti
tonsil. Daerah tenggorok banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil mengalami
kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang didapatkan dari
daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan kultur
dari permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya.7
Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang
lebih akurat. Bakteri yang menginfeksi tonsil adalah bakteri yang masuk ke parenkim tonsil.
Bakteri ini sering menumpuk di dalam kripta tersumbat.
Pemeriksaan swab permukaan tonsil dan inti tonsil
Pemeriksaan swab dari permukaan tonsil dilakukan pada saat pasien telah dalam narkose.
Permukaan tonsil diswab dengan lidi kapas steril. Sebelumnya tidak dilakukan tindakan
aseptik anti septik pada tonsil. Pemeriksaan bakteriologi dari inti tonsil dilakukan dengan
mengambil swab sesaat setelah tonsilektomi. Tonsil yang telah diangkat disiram dengan
cairan salin steril kemudian diletakkan pada tempat yang steril. Tonsil dipotong dengan
menggunakan pisau steril dan jaringan dalam tonsil diswab memakai lidi kapas steril.8
Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril. Biakan
bakteri aerob dan anaerob fakultatif dapat dilakukan dengan menggunakan agar darah, agar
coklat, eosin-methilene blue (EMB). Tempat pembiakan ini di inkubasi pada suhu 370C, 5%
CO2.
Gaffney melakukan pemeriksaan bakteriologi inti tonsil dengan menggunakan aspirasi jarum
halus pada tonsil. Teknik pengambilan dengan aspirasi jarum halus dilakukan pada orang
dewasa dengan posisi duduk kemudian tonsil dianestesi lokal menggunakan silokain
semprot. Pada anak-anak dilakukan dalam narkose umum setelah pengangkatan tonsil.
Pola Bakteri
17
Bakteri penyebab tonsilitis dapat berasal dari flora normal di saluran nafas atas yang
berubah menjadi patogen atau adanya invasi bakteri patogen baik secara inhalan maupun
ingestan. Bakteri penyebab terdiri dari bakteri aerob gram positif maupun gram negatif.
Penyebab terbanyak adalah Streptococcus β hemolyticus group A mencapai 50-80%. Bakteri
lain adalah Streptococcus β hemolyticus group B,C dan G, Streptococcus pneumonia,
Staphylococcus aureus, Kleibsiella sp, Haemofilus influenzae dan lain-lain.
Obstruksi kripta tonsil mengakibatkan penumpukan bakteri di dalam kripta tonsil. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi yang kronis pada tonsil atau dapat juga sebagai sumber infeksi
berikutnya. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadi perbedaan bakteri yang terdapat di
permukaan tonsil dengan di inti tonsil. Permukaan tonsil selalu terkontaminasi dengan
sekret orofaring yang mengandung flora normal. Genus stafilokokus yang memiliki
kepentingan klinis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus saprophyticus.
Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia dan bersifat koagulasi-positif.
Dengan sifat koagulasi ini memiliki potensi menjadi patogen invasif. Beberapa strain dari
Staphylococcus aureus mempunyai kapsul sehingga menyulitkan tubuh untuk melakukan
fagositosis. Infeksi Staphylococcus aureus dapat bersifat hebat, terlokalisir, nyeri dan dapat
membentuk supurasi.7,8
Kemampuan mutasi Staphylococcus aureus mengakibatkan terbentuk strain baru yang
resisten terhadap berbagai antibiotik. Methichilin Resistence Staphylococcus aureus (MRSA)
merupkan salah satu strain yang terbentuk akibat mutasi. Ini Mutasi ini merupakan usaha
bakteri untuk dapat bertahan hidup terhadap antibiotik. Kemampuan mutasi bakteri
Staphylococcus aureus telah terlihat 4 tahun setelah ditemukan penisilin. Mutasi terjadi
pada struktur protein sehingga bakteri tidak dapat berikatan dengan antibiotik.
Infeksi MRSA dapat mengenai berbagai organ tubuh manusia termasuk kulit, hidung,
tenggorok maupun paru. Gambaran klinis dapat berupa eritem, abses maupun nekrotik
jaringan. Dalam pemilihan antibiotik terhadap MRSA lebih sulit akibat resisten terhadap
metisilin, golongan penisilin lainnya, maupun sefalosforin. Diagnosis pasti dari infeksi ini
dengan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan terhadap berbagai antibiotik.18
Staphylococcus epidermidis bersifat koagulasi negatif dan bersifat flora normal pada tubuh
manusia seperti di saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi jika terdapat lesi, atau pada daya
tahan tubuh yang rendah. Supurasi lokal merupakan ciri khas infeksi stafilokokus baik
koagulasi-positif maupun koagulasi negatif. Dari fokus manapun, organisme dapat
menyebar melalui vena maupun limfatik ke bagian lain tubuh. Supurasi dalam vena yang
menimbulkan trombosis merupakan gambaran umum penyebaran tersebut.
Streptokokus mempunyai berbagai grup sesuai dengan sifat dari bakteri tersebut dan tidak
ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya secara sempurna. Pada tonsilitis yang
banyak berperan adalah Streptococcus β-haemolyticus, Streptococcus α- haemolyticus, dan
Streptococcus pneumonia. Temuan klinis akibat infeksi streptokokus ini sangat bervariasi
tergantung sifat biologi organisme penyebab, respon imun penjamu, dan tempat infeksi.
Salah satu yang ditakutkan akibat infeksi streptokokus group A adalah terjadinya
glomerulonefritis dan demam reumatik akibat reaksi hipersensitivitas terhadap bakteri
tersebut.7,8
Entrobacteriaceae adalah bakteri batang gram negatif yang besar dan heterogen.
Pembiakan pada agar MacConkey, dapat tumbuh secara aerob maupun anaerob (fakultatif
anaerob). Yang termasuk dalam famili ini antara lain Klebsiella sp, Proteus sp, E coli.
Klebsiella pneumonia terdapat dalam saluran nafas pada sekitar 5% individu normal.
Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen oportunistik dalam tubuh manusia, bersifat
invasif dan patogen nasokomial yang penting. Menimbulkan penyakit jika daya tahan tubuh
penjamu lemah.
Al-Roosan pada penelitian terhadap 100 pasien dengan tonsilitis rekuren di rumah sakit
Princess Haya di Jornia tahun 2008 mendapatkan bakteri patogen, Staphylococcus aureus
Streptococcus β haemolyticus group A, Staphylococcus pneumonia, haemofilus influenzae, E.
coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus viridans. Hampir sama dengan penelitian
Abdulrahman, pada 27 anak dengan tonsilitis kronis di Ain Shams University Hospital Mesir
19
tahun 2004 mendapatkan bakteri patogen Staphylococcus aureus 77,7%, Streptococcus β
haemolyticus group A 18,5%, E coli 3,7%, Klebsiella pneumonia 3,7%.
Hammouda tahun 2008 di Mesir juga menemukan bakteri patogen yang hampir dengan
frekwensi yang berbeda pada 72 kasus tonsilitis kronis yaitu, Staphylococcus aureus 56,9%,
Haemofilus influenzae 44,6%, Streptococcus β haemolyticus group A 38,5%, Streptococcus
pneumonia 20%, Klebsiella pneumonia 7,7%.
Kurien pada 40 pasien tonsilitis kroni smenemukan bakteri patogen sebagai penyebab
adalah, Staphylococcus aureus, haemofilus influenzae, Streptococcus β haemolyticus group
A, Pseudomonas aeruginosa, E coli, Klebsiella pneumonia. Rekabi23 menemukan bakteri
patogen pada 65% dari 120 pasien tonsilitis rekuren. Bakteri patogen yang ditemukan
adalah Streptococcus pneumoni 35,9%, Streptococcus β haemolyticus group A 28,2%,
Haemofilus influenzae 17,9%, Staphylococcus aureus 15,4% , E coli 2,6%.
Brook mendapatkan hasil kultur yang berasal dari tonsillitis kronis dan tonsilitis rekuren
terbanyak adalah Streptococcus β hemolyticus 25%, Streptococcus non hemoltycus 30%,
Provotella spp 32,5%, Peptostreptococcus sp 40%. Piacentini mendapatkan bakteri patogen
terbanyak pada 30 pasien tonsilitis kronis adalah Streptococcus β hemolyticus 16 (53,3%),
Moraxella catarrhalis dan Haemofilus influenzae
(46,7%).7,8
Pada penelitian yang membandingkan bakteri patogen pada permukaan tonsil dengan inti
tonsil terdapat variasi. Penelitian Kurien31 menemukan adanya perbedaan bakteri pada
permukaan tonsil dengan di dalam inti tonsil. Bakteri di permukaan tonsil adalah
Staphylococcus aureus 22,5%, Streptococcus β haemolyticus group A 27,5%, Pseudomonas
aeruginosa 2,5%, E coli 5%, Klebsiella pneumonia 5%, dan pada inti tonsil Staphylococcus
aureus 27,5%, Haemofilus influenzae 10%, Streptococcus β haemolyticus group A 30%,
Klebsiella pneumonia 15%. Dalam perbandingan jenis bakteri antara permukaan dengan inti
tonsil di dapatkan bakteri yang sama sebesar 45% dan 55% lainnya berbeda. Rekabi, Al
Roosan, Hammouda, Abdurrahman, Shaihk, mendapatkan bakteri yang berbeda pada
20
permukaan tonsil dengan inti tonsil. Bakteri yang terdapat di permukaan tonsil tidak selalu
terdapat di inti tonsil, demikian juga sebaliknya.
Pemakaian antibiotik yang sangat luas serta pemberian antibiotik yang tidak berdasarkan
evidence base medicine telah meningkatkan terjadinya resitensi bakteri terhadap berbagai
antibiotik. Kemampuan bakteri untuk membentuk strain baru yang resisten terhadap
antibakteri semakin menambah permasalahan dalam pemilihan antibiotik yang sensitif.
Faktor lain yang mempengaruhi kepekaan antibiotik terhadap antibiotik adalah kemampuan
bakteri untuk membentuk enzim β laktamse yang akan menghambat penetrasiantibiotik β
laktam untuk melakukan penetrasi terhadap bakteri. 7,8
Bakteri yang pertama sekali dikenal sebagai penghasil β laktamase adalah E. coli, kemudian
dikenal berbagai jenis bakteri gram negatif sebagai penghasil enzim β laktamase.
Hammouda8 menemukan bakteri yang diisolasi dari 152 tonsil didapatkan 50%
menghasilkan enzim β laktamase. Bakteri Staphylococcus aureus bakteri paling banyak
menghasilkan enzim β laktamase yaitu 54 dari 57(95%) isolat, Haemofilus influenzae 15 dari
26 (58%) isolat, Streptococcus β haemolyticus group A 7 dari 27 (26%) isolat. Enzim β
laktamase yang diproduksi oleh berbagai bakteri tersebut dapat menurunkan penetrasi
antibiotik β laktam terhadap bakteri. Hal ini menyebabkan resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan bakteri penyebab perlu
dilakukan uji kepekaan terhadap berbagai antibiotik. Jenis bakteri yang bervariasi
menyulitkan dalam pemberian antibiotik secara empiris tanpa ada uji kepekaan yang rutin.
Uji kepekaan yang dilakukan Abdurrahman24 terhadap bakteri patogen yang ditemukan
pada penderita tonsilitis kronis di Ain Shams University Hospital Mesir tahun 2004
didapatkan bahwa bakteri Staphilococcus aureus, Streptococcus β haemolyticus group A dan
bakteri basil gram negatif mempunyai angka resistensi yang tinggi terhadap antibiotik
golongan penisilin. 7,8
VI. FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk21
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat. 9
VII. DERAJAT TONSILITIS
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di
kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar
dan ditutupi eksudat yang purulen
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 9
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
22
Gambar 8. Gradasi Pembesaran Tonsil
VIII. PATOFISIOLOGI
Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada fosa
tonsil yang terfiksasi oleh jaringan ikat longgar. Tonsil terdiri dari banyak jaringan
limfoid yang disebut folikel. Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang ujungnya
bermuara pada permukaan tonsil. Muara tersebut tampak berupa lubang yang
disebut kripta.
Saat folikel mengalami peradangan tonsil akan membengkak dan membentuk
eksudat yang akan mengalir dalam saluran lalu keluar dan mengisi kripta yang
terlibat sebagai kotoran putih atau bercak kuning. Karena proses radang berulang,
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis sehingga pada proses 23
penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh detritus. Detritus sendiri terdiri
atas kumpulan leukosit, PMN.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak,
proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula. 10,11
24
Bakteri
(dalam udara & makanan)
(dalam udar(dalam udara & makanan)
a & makanan)
Virus
(dalam udara & makanan)
Peradangan tonsil Prod. Secret berlebih
Tonsillitis
Pembesaran tonsilPeningkatan suhu tubuh
Bersihan jln nafas tidak efektif
Benda asing di jln nafasDiproses
Obst. Jln nafas
Obs. mekanik
Kekurangan vol. cairan
Bersihan jln nafas tdk efektif Resiko kerusakan menelan
Gangguan rasa nyaman (nyeri)
Tonsilektomi
anoreksia
Kurang pemahaman Resiko perdarahan
Resiko perub. Nutrisi kurang dari kebutuhan
Kurang pengetahuan Darah di sal. nafas
Bersihan jln nafas tidak efektif
IX. DIAGNOSIS
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
25
Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang
kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang
tipis terlihat pada kripta.
Perbedaan Tonsilitis akut, tonsillitis kronis eksaserbasi akut dan tonsillitis kronis
AKUT KRONIS EKSASERBASI AKUT KRONIS
Tonsil
hiperemis+ + -
Tonsil
edema+ + +/-
Kriptus
melebar- + +
Detritus +/- + +
Perlengketan - + +
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan
swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah,
seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. 10
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada
penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika
26
disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan
disebabkan mononukleosis).
Operatif
Dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian Khasanov et al
mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data
bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis,
sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi. 11
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di
indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah
obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of
Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi
terbagi menjadi :10,11
1) Indikasi Absolut
2) Indikasi Relatif
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
27
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Komplikasi Tonsilektomi
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi
yang dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti
jantung
28
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat
terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali
karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya
14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir,
lidah, gigi dan pneumonia.10
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun
berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 11
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
29
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran
dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh
darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe
faringeal, os mastoid dan os petrosus.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3
bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur.11
2. Komplikasi Organ jauh
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
Artritis dan fibrositis.11
30
XII. PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh penegakkan diagnosis yang cermat dan tindakan yang tepat bila
pemberian antibiotik dan tindakan insisi yang tepat dan adekuat, maka prognosis umumnya
baik, tetapi bila keadaan dimana terdapat komplikasi berupa pneumonia aspirasi, abses
paru ataupun mediastinitis maka prognosis akan menjadi kurang baik apalagi bila kuman
penyebabnya fulminans.
PENUTUP
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak
dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil
diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar
anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau
nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun,
nyeri kepala dan badan terasa meriang.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan
medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi
tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun
dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
2. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-3
3. Kornblut AD. Non-neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In: Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors Otolaryngology 3th ed. Philadelphia WB Saunders Company 1991: p.2129-46.
4. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan Saluran Nafas Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994 : 194-224.
31
5. Ugras S, Kutluhan A. Chronic tonsillitis can be diagnosed with histopathologic findings. Eur J gen med 2008;5(2):95-103.
6. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55.
7. Brook I, Gober AE. Interference by aerobic and anaerobic bacteria in children with recurrent group A β-hemolytic Streptococcal Tonsillitis. Archotolaryngol head neck surg, 1999;125:552-4.7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.
8. Shaihk SM, Jawaid MA, Tariq N, Farooq MU. Bacteriology of tonsilar surface and core in patients with recurrent tonsillitis, undergoing tonsilectomy. Otolaryngology, 2009;15(4):95-7.
9. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity, oropharynx, and nasopharynxn. In: Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed.Hamilton Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.
10. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1183-98.
11. Mawson SR. Diseases of the tonsils and adenoids. In: Ballantyne J, Groves J. Editors. Scowt Brown’s Diseases of the ear, nose and throat 4th ed vol 4. London Butterworths 1984:p.123-71.
32